Anda di halaman 1dari 38

1. Jelaskan patomekanisme gejala!

Patomekanisme semua gejala.


1. Batuk.

Batuk merupakan suatu reflex vagal dimana sebagai efektor utamanya adalah
otot-otot serat lintang yang mencakup otot pernapasan dan diafragma dan mungkin
juga otot polos saluran pernapasan. Akseptor dari batuk tersebar sangat luas, bukan
saja pada sepanjang saluran pernapasan,yakni laring, trakea dan bronkus akan tetapi
juga ada pada faring, sinus paranasalis, pericardium, diafragma dan lain-lain.
Batuk dibagi atas 3 fase:
Fase inspirasi: dimana terjadi peninggian volume paru dengan tekanan
yang sama dengan atmosfer. Bedanya dengan pernapasan biasa adalah
terjadinya dalam waktu yang pendek dan volume udara lebih banyak.
Fase apnea: disebut juga dengan fase kompresi dimana glottis tertutup
dan terjadi penggian tekanan thoraks yang disebabkan oleh otot-otot.
Fase ekspirasi: atau dekompresi dimana glottis terbuka secara tiba-tiba
disertai pengeluaran sekret dan debris.
Sebab terjadinya batuk adalah iritasi dari mukosa bronkus yang dapat disebabkan oleh
inflamasi baik oleh bakteri, virus, jamur, disertai dengan mucus yang banyak. Dapat pula
disebabkan oleh iritasi karena benda asing. Selain itu juga dapat disebabkan karena tumor
THT, tumor saluran pernapasan dan payah jantung. Baik PPOK dan penyakit paru restriktif.
Iritasi saluran pernapasan selain disebabkan oleh factor mekanik,dapat pula oleh iritan:
rokok, gas dan bahan kimia lain bisa menjadi stimulant dalam terjadinya batuk.
Ref: Prof. dr. H. Tabrani Rab. 2013. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta: TIM
1

Sesak Napas.

Dispnea atau sesak napas bisa terjadi dari berbagai mekanisme seperti jika ruang

fisiologi meningkat maka akan dapat menyebabkan gangguan pada pertukaran gas
antara O2 dan CO2 sehingga menyebabkan kebutuhan ventilasi makin meningkat
sehingga terjadi sesak napas. Pada orang normal ruang mati ini hanya berjumlah
sedikit dan tidak terlalu penting, namun pada orang dalam keadaan patologis pada
saluran pernapasn maka ruang mati akan meningkat. Begitu juga jika terjadi
peningkatan tahanan jalan napas maka pertukaran gas juga akan terganggu dan juga
dapat menebab kan dispnea.
Dispnea juga dapat terjadi pada orang yang mengalami penurunan terhadap
compliance paru, semakin rendah kemampuan terhadap compliance paru maka
semakin besar gradien tekanan transmural yang harus dibentuk selama inspirasi
untuk menghasilkan pengembangan paru yang normal. Penyebab menurunnya
compliance paru bisa bermacam salah satu nya adalah digantinya jaringan paru
dengan jaringan ikat fibrosa akibat inhalasi asbston atau iritan yang sama.
Sumber penyebab dispnea termasuk:
1. Reseptor-reseptor mekanik pada otot-otot pernapasan, paru, dinding dada dalam
teori tegangan panjang, elemen- elemen sensoris, gelendong otot pada khususnya
berperan penting dalam membandingkan tegangan otot dengan derajat elastisitas
nya. Dispnea dapat terjadi jika tegangan yang ada tidak cukup besar untuk satu
panjang otot.
2. Kemoreseptor untuk tegangan CO2 dan O2.
3. Peningkatan kerja pernapasan yang mengakibatkan sangat meningkat nya rasa
sesak napas.
4.Ketidak seimbangan antara kerja pernapasan dengan kapasitas ventilasi.

1. Demam.

Sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik, maka monosit, makrofag, dan sel-sel
Kupffer mengeluarkan suatu zat kimia yang dikenal sebagai pirogen endogen IL1(interleukin 1), TNF (Tumor Necrosis Factor ), IL-6 (interleukin 6), dan INF (interferon)

yang bekerja pada pusat termoregulasi hipotalamus untuk meningkatkan patokan termostat.
Hipotalamus mempertahankan suhu di titik patokan yang baru dan bukan di suhu normal.
Sebagai contoh, pirogen endogen meningkatkan titik patokan menjadi 38,9 C, hipotalamus
merasa bahwa suhu normal prademam sebesar 37 C terlalu dingin, dan organ ini memicu
mekanisme- mekanisme respon dingin untuk meningkatkan suhu tubuh (Ganong, 2002).
Berbagai laporan penelitian memperlihatkan bahwa peningkatan suhu tubuh berhubungan
langsung dengan tingkat sitokin pirogen yang diproduksi untuk mengatasi berbagai rangsang.
Ransangan endogen seperti eksotoksin dan endotoksin menginduksi leukosit untuk
mengeluarkan pirogen endogen, dan yang poten diantaranya adalah IL-1 dan TNF, selain
IL-6 dan IFN. Pirogen endogen ini akan bekerja pada sistem saraf pusat tingkat OVLT
(Organum Vasculosum Laminae Terminalis) yang dikelilingi oleh bagian medial dan lateral
nukleus preoptik, hipotalamus anterior, dan septum palusolum. Sebagai respon terhadap
sitokin tersebut maka pada OVLT terjadi sintesis prostaglandin, terutama prostaglandin E2
melalui metabolisme asam arakidonat jalur COX-2 (cyclooxygenase 2), dan menimbulkan
peningkatan suhu tubuh terutama demam (Nelwan dalam Sudoyo, 2006).
Mekanisme demam dapat juga terjadi melalui jalur non prostaglandin melalui sinyal aferen
nervus vagus yang dimediasi oleh produk lokal MIP-1 (machrophage inflammatory protein1) ini tidak dapat dihambat oleh antipiretik (Nelwan dalam Sudoyo, 2006).
Menggigil ditimbulkan agar dengan cepat meningkatkan produksi panas, sementara
vasokonstriksi kulit juga berlangsung untuk dengan cepat mengurangi pengeluaran panas.
Kedua mekanisme tersebut mendorong suhu naik. Dengan demikian, pembentukan demam
sebagai respon terhadap rangsangan pirogenik adalah sesuatu yang disengaja dan bukan
disebabkan oleh kerusakan mekanisme termoregulasi (Sherwood, 2001).
Ref: Repository.USU.ac.id
2. Rhinorrhea.
Alergen yang masuk tubuh melalui saluran pernafasan, kulit, saluran pencernaan dan lainlain akan ditangkap oleh makrofag yang bekerja sebagai antigen presentingcells (APC).
Setelah alergen diproses dalam sel APC, kemudian oleh sel tersebut, alergendipresentasikan
ke sel Th. Sel APC melalui penglepasan interleukin I (II-1) mengaktifkan sel Th. Melalui
penglepasan Interleukin 2 (II-2) oleh sel Th yangdiaktifkan, kepada sel B diberikan signal
untuk berproliferasi
menjadi sel plasthmadan membentuk IgE. IgE yang terbentuk akan segera diikat oleh
mastosit yang ada dalam jaringan dan basofil yang ada dalam sirkulasi. Hal ini dimungkinkan
oleh karena kedua seltersebut pada permukaannya memiliki
reseptor untuk IgE. Sel eosinofil, makrofagdan trombosit juga memiliki reseptor untuk IgE
tetapi dengan afinitas yang lemah. Bila orang yang sudah rentan itu terpapar kedua kali atau
lebih dengan allergen yang sama, allergen yang masuk tubuh akan diikat oleh IgE yang sudah
ada padapermukaan mastofit dan basofil. Ikatan tersebut akan menimbulkan influk Ca++
kedalam sel dan terjadi perubahan dalam sel yang menurunkan kadar cAMP. Kadar cAMP
yang menurun itu akan menimbulkan degranulasi sel. Dalam prosesdegranulasi sel ini yang
pertama kali dikeluarkan adalah mediator yang sudahterkandung dalam granul-granul
(preformed) di dalam sitoplasma yang mempunyaisifat biologik, yaitu histamin, Eosinophil
Chemotactic Factor-A (ECF-A),Neutrophil Chemotactic Factor (NCF), trypase dan kinin.
Efek yang segera terlihatoleh mediator tersebut ialah obstruksi olehhistamin. Histamin
menyebabkan Vasodilatasi, penurunan tekanan kapiler & permeabilitas,sekresi mucus.
Sekresi mukus yang berlebih itulah yang menghasilkan pilek.

Ref: Repository.USU.ac.id
2.Sebutkan penyakit yang dapat menyebabkan sesak dan batuk
Jawab :
A. Penyebab sesak
Penyakit saluran napas
- asma
- bronkitis kronis
- emfisema
- sumbatan laring
- tertelan benda asing
Penyakit parenkimal
- pneumonia
- gagal jantung kongestif
- adult respiratory distress syndrome
(ARDS)
- pulmonary infiltrates with eosiniphilia
(PIE)

Penyakit vaskular paru


- emboli paru
- kor pulmonal
- hipertensi paru primer
- penyakit vena-oklusi paru
Penyakit pleura
- pneumotoraks
- efusi pleura, hematoraks
- fibrosis
Penyakit dinding paru
- trauma
- penyakit neurologik
- kelainan tulang

B. Penyebab batuk
C.
D. Penyakit saluran napas akut
- faringitis
- laringitis
- bronkitis
- bronkiolitis
E. Penyakit saluran napas kronis
- bronkitis
- bronkiektasis
F. Penyakit parenkimal
- pneumonia
- abses
- parasit
G. Penyakit interstisial
- granulomas
- fibrosing alveolitis
- alveolar proteinosis

H. Penyakit kardiovaskular
- edema paru
- infark paru
I. Iritan lingkungan
- gas
- debu
- perubahan temperatur
J. Benda asing
- saluran napas
- membran timpanik
K. Neoplasma
- karsinoma paru
- metastasis tumor
L. Alergi
- demam karena alergi jerami
- rinitis vasomotor
- asma bronkial

M. 3.Sebutkan penyakit pernafasan apa saja yang dapat menyerang


anak? Jelaskan patomekanisme
N. Jawab:
a. TB ANAK
O. Definisi : Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon
imunitas perantara sel. Sel efektornya adalah makrofag sedangkan limfosit
( biasanya sel T ) adalah imunoresponsifnya. Tipe imunitas seperti ini
basanya lokal, melibatkan makrofag yang diaktifkan ditempat infeksi oleh
limposit dan limfokinnya.Raspon ini desebut sebagai reaksi
hipersensitifitas (lambat).Menurut Ginanjar (2008), bahwa anak-anak dan
bayi lebih rentan terinfeksi bakteri Tuberkulosis.1
P. Etiologi :
Q. Situasi TB anak diIndonesia saat ini
Proporsi kasus TB anak diantara semua
kasus yang diobati di Indonesia dari 2007
sampai 2013 berkisar pada 7,9% sampai 12
%, angka ini masih berada pada bats
normal proporsi kasus TB anak diantara
semua kasus.
Proporsi kasus TB anak diantara semua
kasus TB yang diobati sangat bervariasi
pada level provinsi, kabupaten/kota sampai
fasilitas pelayanan kesehatan (Fasyankes)
Dari grafik diatas menunjukkan bahwa
beberapa provinsi memiliki proporsi kasus
TB anak >15%
Dari data tersebut menunjukkan kecendrungan adanya overdiagnosis,
underdiagnosis maupun underreported kasus TB anak.3
R.
S.
T. Patomekanisme : Menurut Gomes (2011) penularan Tuberkulosis paru
terjadi karena kuman
U. dibersinkan atau dibatukkan keluar menjadi droplet nuklei dalam udara.
Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam,
tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang buruk dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan selama
berhari-hari sampai berbulan-bulan. Bila partikel infeksi ini terhisap oleh
orang sehat akan menempel pada jalan nafas atau paru-paru. Partikel dapat
masuk ke alveolar bila ukurannya kurang dari 5 mikromilimeter.1
V.
W. Manifestasi klinis :
X. Menurut Suryo (2010), gejala penyakit TB paru adalah sebagai berikut.
Y. 1. Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan
malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam
seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
Z. 2. Penurunan nafsu makan dan berat badan.

AA.
3. Batuk-batuk selama lebih dari tiga minggu
AB.
4. Perasaan tidak enak (malaise), dan lemah.1
AC.
Pada anak yang tidak menimbulkan gejala TB karena gejalanya
tidak khas3. :
a Dapat terdeteksi jika diketahui adanya kontak dengan pasian TB
dewasa.Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TB paru
dewasa memberikan hasil uji tuberculin positif.
b

Pada anak usia 3-5 tahun yang timbul serumah dengan penderita TB paru
dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfensi.1

Deman yang tidak diketahui penyebabnya 2 minggu

Batuk kronik 3 minggu

Pembesaran kelenjar limfe kolli, aksilla, inguinal 1 cm (tidak nyeri)

Pembesaran tulang atau sendi panggul, lutut, atau phalang.3

AD.
Pemeriksaan penunjang :
a Uji Tuberculin (Mantoux) +
b

Foto thoraks (gambaran sugestif TB).3

AE.
Tatalaksana TB anak :
1 Penanganan TB anak dengan pemberian terapi obat dan nutrisi yang
adekuat.
2

Penatalaksaan juga terhadap penyakit penyerta yang diderita dilakukan


secara bersamaan

Pemberian terapi obat terdiri dari pemberian obat anti TB (OAT) dan terapi
pencegahan dengan INH profilaksis

OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat dan


diberikan setiap hari baik terhadap tahap intensif ataupun lanjut

Obat yang diberikan dalam bentuk KDT (kombinasi dosis tetap) harus
diberikan secara utuh, tidak boleh di belah atau digerus. Obat bisa
diberikan secara utuh atau dilarutkan dalam air sebelum diminum.

Apabila diberikan dalam bentuk punyer, harus di pisah masing-masing


obat. Tidak boleh dicampur beberapa jenis obat dalam satu jenis punyer.

Apabila ada kenaikan berat badan anak maka dosis menyesuaikan dengan
berat badan terakhir.

Pada anak obesita, dosis KDT sesuai dengan berat badan ideal sesuai
dengan umur.

OAT kategori anak dalam bentuk KDT terdiri dari kombinasi INH,
Rifampisin dan Pirazinamid masing-masing 50mg, 75mg dan 150mg
untuk fase intensif dan kombinasi INH dan Rifampisin masing-masing
50mg dan 75mg untuk fase lanjutan yang diberikan kepada anak balita
yang kontak dengan pasien TB BTA +

10 Terapi pencegahan dengan INH diberikan kepada anak Balita yang kontak
dengan pasien TB BTA +, tetapi tidak terinfeksi TB dan anak terinfeksi TB
tetapi tidak sakit TB (profilaksis primer dan sekunder).
11 INH profilaksis diberikan dengan dosis 10mg/kgBB/hari selama 6 bulan.
12 Bukti adanya infeksi TB diperoleh dari hasil uji tuberculin (mantoux tes)
yang positif yaitu munculnya indurasi dengan diameter 10mm.3
AF.Faktor penyebab resistensi Obat pada TB :
1 Pengobatan tidak adekuat (menimbulkan mutan M.tuberculosis yang
resisten)
2

Pasien yang lambat terdiagnosis resisten, sehingga menjadi sumber


penularan terus menerus,

Pasien dengn TB resisten obat yang tidak bisa disembuhkan, akan


meneruskan penularan,

Pasien dengan TB resisten obat meskipun diobati terus tetapi dengan obat
yang tidak adekuat mengakibatkan penggandaan mutan resisten

Ko-inveksi HIV mempermudah terjadinya resistensi primer maupun


sekunder.2

AG.
1

Pencegahan TB anak :
Anak sangat beresiko terkena TB terutama apabila terdapat kontak
pasien TB menular (pasien dewasa atau anak BTA positif)

Dengan mengobati setiap pasien TB BTA positif secara benar, berarti


juga mengurangi resiko terjadinya TB pada anak

System imunitas pada anak juga mempengaruhi terjadinya infeksi atau


sakit TB pada anak

Vaksinasi BCG tidak dapat mencegah terjadinya penyakit TB pada


anak, dapat mencegah timbulnya penyakit TB berat pada anak.2

AH.
AI.
AJ.
AK.
Refrensi :
1
http://kti.unai.edu/wp-content/uploads/2014/10/Yossie-ImarruahSkripsi.pdf
AL.
2

http://ppti.info/ArsipPPTI/PPTI-Jurnal-Maret-2012.pdf

http://www.tbindonesia.or.id/tb-anak/

AM.
AN.
AO.

AP.
AQ.
AR.
b. Pneumonia
AS.
2.1.1 Definisi Pneumonia
AT.Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract
(LRT)) akut, biasanya disebabkan oleh infeksi (Jeremy, 2007). Sebenarnya
pneumonia bukan penyakit tunggal. Penyebabnya bisa bermacam-macam
dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber utama bakteri, virus,
mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel. Penyakit
ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah
muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis (Elin, 2008).
AU.
2.1.2 Etiologi
AV.Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Tabel 2.1 memuat daftar
mikroorganisme dan masalah patologis yang menyebabkan pneumonia
(Jeremy, 2007).
AW.
AX.
AY.
AZ.
BA.
BB.
BC.
BD.
BE.
BF.
BG.
BH.
BI.
BJ. Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan
mikroorganisme, keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme

pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di paru merupakan akibat


ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan
berakibat timbulnya sakit.
BK.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat
memlalui berbagai cara:
BL.
a. Inhalasi langsung dari udara
BM.
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
BN.
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
BO.
d. Penyebaran secara hematogen (Supandi, 1992).
BP.2.1.4 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia
BQ.
Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya
pneumonia yaitu:
BR.
a. Mekanisme pertahanan paru
BS.Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang
terhirup seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di
dalam paru. Beberapa bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis
saluran napas, reflex batuk, sistem mukosilier, juga sistem fagositosis yang
dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan memakan partikel-partikel yag
mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan baik, maka bahan
infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran pernapasan,
sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran
napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru
yang tidak bekerja dengan baik.
BT.2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan Di dalam saluran napas atau
cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila jumlah mereka
semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman
ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat
kegagalan mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini
bermanifestasi sebagai penyakit. Mikroorganisme yang tidak menempel
pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut dengan sekresi saluran
napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga tidak
terjadi kolonisasi.
BU.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
BV.
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai
mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan
sakit, ini menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang
efisien sehingga dapat menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka
bermultiplikasi dan menimbulkan penyakit. Pertahanan paru terhadap
bahan-bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex batuk, penyempitan
saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral (Supandi, 1992).
BW.
2.1.5 Epidemiologi
BX.
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45%
perlu di rawat dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU.
Insidensi paling tinggi pada pasien yang sangat muda dan usia lanjut.
Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di rumah sakit; 25-50% pada

pasien ICU (Jeremy, 2007). Di United States, insidensi untuk penyakit ini
mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat
jalan kurang dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah
sakit cukup tinggi yaitu sekitar 14% (Alberta Medical Association, 2002).
Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yang memerlukan perawatan
di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi,
yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi
penyakit ini cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 2050% (Farmacia, 2006).
BY.
2.1.6 Klasifikasi Pneumonia
BZ.
a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired
pneumonia, CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu
terjadinya infeksi di luar lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi
dalam 48 jam setelah dirawat di rumah sakit pada pasien yang belum
pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari (Jeremy, 2007).
CA.
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial):
pneumonia yang terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk
rumah sakit. jenis ini didapat selama penderita dirawat di rumah sakit
(Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita yang dirawat di rumah sakit
mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya. Demikian pula
halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan
menderita pneumonia (Supandi, 1992).
CB.
c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan
organisme anaerob lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung.
Pneumonia jenis ini biasa didapat pada pasien dengan status mental
terdepresi, maupun pasien dengan gangguan refleks menelan (Jeremy,
2007).
CC.
d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun
(misalnya steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus,
jamur, dan mikobakteri, selain organisme bakteria lain (Jeremy, 2007).
CD.
e. Pneumonia rekuren: disebabkan organisme aerob dan aneorob
yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis (Jeremy, 2007).
CE.
2.1.7 Faktor Risiko
CF.Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko
pneumonia antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik
(misalnya ginjal, dan paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya
obat-obatan, HIV), ketergantungan alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi),
penyakit virus yang baru terjadi (misalnya influenza), malnutrisi, ventilasi
mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan, pendingin ruangan (Jeremy,
2007; Misnadirly, 2008).
CG.
2.1.8 Anamnesis
CH.
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah
sesak napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan
pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang
setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada
awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan

berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuningkuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri
dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala
nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).
CI. 2.1.9 Diagnosis
CJ. Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi
komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk
membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia
utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaaan foto polos dada
perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat
luasnya kelainan patologi secara lebih akurat (Supandi, 1992).
CK.
2.1.9.1 Gambaran Klinis
CL.
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut
bagian atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam,
menggigil, suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok,
nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum purulen, kadangkadang berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan
pneumonia atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi
(misalnya konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007).
CM.
CN.
Referensi : respository.usu.ac.id
CO.
CP.
CQ.
CR.
CS.
CT.C.Bronkiolitis
CU.
Definisi
CV.

Bronkiolitis adalah infeksi saluran napas kecil atau bronkiolus

yang disebabkan oleh virus, biasanya dialami lebih berat pada bayi atau anak
berusia kurang dari 2 tahun, insidens tertinggi terjadi pada usia 3-6 bulan dan
ditandai dengan obstruksi saluran napas dan mengi. Penyebab paling sering
adalah Respiratory Syncytial Virus (RSV). Episode mengi dapat terjadi beberapa
bulan setelah serangan bronkiolitis.
CW.
CX.
CY.

Etiologi
Sebagian besar kasus (95%) disebabkan oleh respiratory

syncytial virus (RSV). Penyebab lainnya meliputi rinovirus, adenovirus,


parainfluenza virus, enterovirus, dan virus influenza. Faktor resiko

terjadinya bronkiolitis berat terdiri dari usia muda, lahir premature,


kelainan jantung bawaan, chronic lung disease of prematury, orang tua
perokok, berada ditempat penitipan dan tingkat sosioekonomi rendah.
CZ.
DA.
DB.

Diagnosis
Gejala pada anak dengan bronkiolitis antara lain mengi (yang tidak

membaik dengan tiga dosis bronkodilator kerja cepat), ekspirasi memanjang,


hiperinflasi dinding dada, hipersonor pada perkusi, retraksi dinding dada, crackles
atau ronki pada auskultasi, sulit makan, menyusu atau minum.
DC.

Klinisi harus dapat menegakkan diagnosis bronkiolitis dan menilai

derajat keparahan berdasarkan riwayat penyakit serta pemeriksaan klinis;


pemeriksaan laboratorium dan radiologis tidak harus rutin dilakukan. Di samping
itu, faktor risiko penyakit lain perlu diperhatikan, seperti usia kurang dari 12
minggu, riwayat prematuritas, penyakit jantung-paru yang mendasari, serta
imunodefisiensi.
DD.
DE.
DF.
DG.
DH.

Diagnosis Banding
Diagnosis

banding

utama

bronkiolitis

pada

anak

adalah

asma.Kedua penyakit ini sulit dibedakan pada episode pertama, namun adanya
kejadian mengi berulang, tidak adanya gejala prodromal infeksi virus, dan adanya
riwayat keluarga dengan asma dan atopi dapat membantu menegakkan diagnosis
asma.
DI.
DJ.
DK.
nfeksi

DL.

Tabel diagnosis banding mengi pada anak


Respiratory

Syncytial

Virus

(RSV),

Human

metapneumovirus, Parainfluenza, Adenovirus, Influenza,


Rhinovirus,

Bocavirus,

Chlamydia

trachomatis,

Tuberculosis, Histoplasmosis, Papilomatosis

DM.

A DN.

sma

Transient wheezer, Persistent wheezer, Late onset

wheezer

DP.Abnormalitas saluran napas sentral (malacia laring,


trakea, dan/atau bronki, trakeoesofageal fistula, laryngeal
cleft)
DO.

K DQ.

Kompresi saluran napas (tumor, benda asing)

elainan

Anomali saluran napas intrinsik (hemangioma saluran

Anato

napas, malformasi cystic adenomatoid, kista bronchial

mi

atau paru, emfisema lobar kongenital, benda asing,


penyakit jantung kongenital)
DR.

Imunodefisiensi

(Imunoglobulin

deficiency,

defisiensi -cell, AIDS, bronkiektasis)

DS.

elainan
DT.

M DU.

ucocili

Fibrosis

kistik,

diskinesia

silier

bronkiektasis

ary
Cleara
nce

DV.
indrom
a
Aspira

DW.

Gastroesofageal refluks, disfungsi faringeal

primer,

si

DX.

ainnya

DY.Displasia bronkopulmoner, bronkiolitis obliterans, gagal


jantung, anafilaksis, luka bakar

DZ.
EA.

Tata Laksana

EB.

Infeksi virus RSV biasanya bersifat self limiting, sehingga

pengobatan biasanya hanya suportif.


EC.

Prinsip Pengobatan

Oksigenasi
ED.

Pemberian oksigen dilakukan pada semua anak dengan mengi dan

distres pernapasan berat, metode yang direkomendasikan adalah dengan nasal


prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal dengan kadar oksigen 30
40%.Apabila tidak ada oksigen, anak harus ditempatkan dalam ruangan
dengan kelembapan udara tinggi, sebaiknya dengan uap dingin (mist tent)
untuk mencairkan sekret di tempat peradangan.Terapi oksigen diteruskan
sampai tanda hipoksia hilang.Penggunaan kateter nasal >2 L/menit dengan
maksimal 8-10 L/menit dapat menurunkan kebutuhan rawat di Paediatrics
Intensive Care Unit (PICU). Penggunaan kateter nasal serupa efektifnya
dengan nasal CPAP bahkan mengurangi kebutuhan obat sedasi.
EE.Pemberian oksigen suplemental pada anak dengan bronkiolitis
perlu memperhatikan gejala klinis serta saturasi oksigen anak, karena
tujuannya adalah untuk pemenuhan kebutuhan oksigen anak yang terganggu
akibat obstruksi yang mengganggu perfusi ventilasi paru.Transient oxygen
desaturation pada anak umum terjadi saat anak tertidur, durasinya <6 detik,

sedangkan hipoksia pada kejadian bronkiolitis cenderung terjadi dalam


hitungan jam sampai hari.
EF.
EG.

Cairan
EH.

Pemberian cairan sangat penting untuk koreksi asidosis metabolik

dan respiratorik yang mungkin timbul dan mencegah dehidrasi akibat


keluarnya cairan melalui mekanisme penguapan tubuh (evaporasi) karena pola
pernapasan cepat dan kesulitan minum. Jika tidak terjadi dehidrasi, dapat
diberikan cairan rumatan, bisa melalui intravena maupun nasogastrik.
Pemberian cairan melalui lambung dapat menyebabkan aspirasi, dapat
memperberat sesak, akibat tekanan diafragma ke paru oleh lambung yang
terisi cairan.Pemberian cairan melalui jalur nasogastik atau intravena perlu
pada anak bronkiolitis yang tidak dapat dihidrasi oral.

Bronkodilator dan Kortikosteroid


EI. Albuterol dan epinefrin, serta kortikosteroid sistemik tidak harus
diberikan.Beberapa penelitian meta-analisis dan systematic reviews di
Amerika menemukan bahwa bronkodilator dapat meredakan gejala klinis,
namun tidak mempengaruhi penyembuhan penyakit, kebutuhan rawat inap,
ataupun

lama

perawatan,

sehingga

dapat

disimpulkan

tidak

ada

keuntungannya, sedangkan efek samping takikardia dan tremor dapat lebih


merugikan.
EJ. Sebuah penelitian randomized controlled trial di Eropa pada tahun
2009 menunjukkan bahwa nebulisasi epinefrin dan deksametason oral pada
anak dengan bronkiolitis dapat mengurangi kebutuhan rawat inap, lama
perawatan di rumah sakit, dan durasi penyakit.

EK.

Nebulisasi hypertonic saline dapat diberikan pada anak

yang dirawat. Nebulisasi ini bermanfaat meningkatkan kerja mukosilia saluran


napas untuk membersihkan lendir dan debris-debris seluler yang terdapat pada
saluran pernapasan.
EL.

Anti virus
EM.

Ribavirin

Penggunaannya

adalah

masih

obat

antivirus

kontroversial

baik

bersifat

virus

efektivitas

statik.
maupun

keamanannya.The American Academy of Pediatrics merekomendasikan


penggunaan ribavirin pada keadaan yang diperkirakan akan menjadi lebih
berat seperti pada penderita bronkiolitis dengan kelainan jantung, fibrosis
kistik,

penyakit

paru

kronik,

imunodefisiensi,

dan

pada

bayi-bayi

prematur.Ribavirin dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitas


penderita bronkiolitis dengan penyakit jantung jika diberikan sejak awal.
Penggunaan ribavirin biasanya dengan cara nebulizer aerosol dengan dosis 20
mg/mL diberikan dalam 12-18 jam per hari selama 3- 7 hari.

Antibiotik
EN.

Anti-bakterial tidak perlu karena sebagian besar kasus disebabkan

oleh virus, kecuali bila dicurigai ada infeksi tambahan. Terapi antibiotik sering
digunakan berlebihan karena khawatir terhadap infeksi bakteri yang tidak
terdeteksi, padahal hal ini justru akan meningkatkan infeksi sekunder oleh
kuman yang resisten terhadap antibiotik tersebut; sehingga penggunaannya
diusahakan

hanya

berdasarkan

indikasi.

Pemberian

antibiotik

dapat

dipertimbangkan untuk anak dengan bronkiolitis yang membutuhkan intubasi


dan ventilasi mekanik untuk mencegah gagal napas. Antibiotik yang dipakai
biasanya yang berspektrum luas, namun untuk Mycoplasma pneumoniae
diatasi dengan eritromisin.

Fisioterapi
EO.

Fisioterapi dada pada anak bronkiolitis dengan teknik vibrasi

ataupun perkusi (5 trials) atau teknik pernapasan pasif tidak lebih baik selain
pengurangan durasi pemberian terapi oksigen. Penghisapan sekret daerah
nasofaring untuk meredakan sementara kongesti nasal atau obstruksi saluran
napas atas, namun sebuah studi retrospektif menyatakan deep suctioning
berhubungan dengan durasi rawat inap lebih lama pada anak usia 2 12 bulan.
EP.
EQ.
ER.

Pencegahan
Salah satu bentuk pencegahan terhadap RSV adalah higiene

perorangan meliputi desinfeksi tangan menggunakan alcohol based rubs atau


dengan air dan sabun sebelum dan sesudah kontak langsung dengan pasien atau
objek tertentu yang berdekatan dengan pasien. Perlindungan terhadap paparan
asap rokok serta polusi udara serta pemberian ASI
ES.

eksklusif selama 6 bulan mencegah kejadian bronkiolitis. Perlu

dilakukan edukasi anggota keluarga mengenai diagnosis, tatalaksana, dan


pencegahan bronkiolitis sesuai evidence-base.
ET.

Palivizumab merupakan salah satu terapi profilaksis terhadap

infeksi paru, terutama yang disebabkan RSV, dapat diberikan terutama pada anak
yang memiliki risiko tinggi terinfeksi agen tersebut. Palivizumab perlu dibatasi
pada anak yang dilahirkan sebelum usia kehamilan 29 minggu, kecuali dengan
penyakit jantung yang signifikan atau penyakit paru kronik akibat prematuritas;
dosis maksimum palivizumab 15 mg/kgBB/dosis diberikan 1 dosis setiap bulan,
dapat diberikan 5 bulan berturut-turut selama musim RSV pada anak yang
memiliki kualifikasi diberi palivizumab pada tahun pertama kehidupan

EU.

Vitamin D adalah salah satu faktor yang berperan dalam perjalanan

penyakit bronkiolitis Studi prospektif Birth Cohort oleh Camargo, dkk. pada 922
anak-anak Selandia Baru, menyatakan bahwa rendahnya kadar 25-hydroxyvitamin
D (25 [OH] D) darah tali pusat berkaitan dengan peningkatan risiko infeksi
pernapasan dan mengi berulang. Selain itu, studi case-control oleh Karatekin, dkk.
menemukan bahwa pada bayi baru lahir dengan kadar 25-hydroxyvitamin D (25
[OH] D) <10 ng/mL memiliki risiko lebih besar terkena infeksi saluran napas
bawah. Hal ini terkait dengan peran vitamin D dalam aktivitas sistem kekebalan
bawaan. Sistem kekebalan tubuh bawaan, khususnya aktivitas cathelicidin,
membantu mencegah infeksi bakteri dan virus.Wang, et al, menunjukkan bahwa
vitamin D adalah pemicu langsung gen cathelicidin ini. The American Academy of
Pediatrics (AAP) merekomendasikan konsumsi vitamin D 400 IU setiap hari
untuk bayi baru lahir dilanjutkan sampai memasuki usia remaja.
EV.
EW.

Prognosis
Beberapa studi telah mencatat peningkatan risiko asma bronkiale

pada anak-anak yang awalnya menderita bronkiolitis, meskipun tidak jelas apakah
karena bronkiolitis atau faktor risiko lain seperti kecenderungan genetik untuk
asma dan faktor lingkungan seperti asap rokok. Pada sebagian besar kasus, mengi
biasanya disebabkan oleh virus. Riwayat episode mengi berulang dan keluarga
atau riwayat penyakit asma, riwayat alergi, atau eksim membantu mendukung
diagnosis asma.Beberapa bayi akan memiliki episode berulang mengi selama
masa kanak-kanak. Tatalaksana episode mengi yang dipicu virus sama dengan
asma bronkial.
EX.
EY.
EZ.

Referensi

:www.kalbemed.com/ Diagnosis dan Penanganan

Terkini pada Anak.

FA.

Tanto chris. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 4. Hal 171172

FB.
FC.D.Bronkiekstasis
FD.
Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan
adanya dilatasi (ektasis) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis
dan berjalan kronik, persisten atau ireversibel. Kelainan bronkus tersebut
disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding bronkus berupa
destruksi elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang rawan dan
pembuluh-pembuluh darah. Bronkus yang terkena umumnya adalah
bronkus kecil (medium size), sedangkan bronkus besar umumnya jarang.
Kenyataannya penyakit ini cukup sering ditemukan di klinik-klinik dan
diderita oleh laki-laki maupun perempuan. Penyakit ini dapat diderita
mulai sejak anak, bahkan dapat merupakan kelainan konginetal.
A ETIOLOGI
FE. Penyebab bronkiektasis sampai sekarang masih belum diketahui dengan
jelas. Pada kenyataannya kasus-kasus bronkiektasis dapat timbul secara
kongenital maupun didapat.
FF.
Kelainan kongenital
FG.
Dalam hal ini bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam
kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan
fetus memegang peran penting. Bronkiektasis kongenital mempunyai ciri
sebagai berikut. Pertama, bronkiektasis mengenai hampir seluruh cabang
bronkus pada satu atau kedua paru. Kedua, bronkiektasis kongenital sering
menyertasi penyakit-penyakit kongenital lainnya, misalnya :
Mucoviscidosis (Cystic pulmonary fibrosis), sindrom Kartagener
(Broniektasis kongenital, sinusitis, paranasal, dan istus inversus), hipo
atau agamaglobulinemia, bronkiektasis pada anak kembar satu telur (anak
yang satu menderita bronkiektasis, ternyata kembarnya juga ikut
menderita), bronkiektasis sering bersamaan dengan kelainan kongenital
berikut : tidak adanya tulang rawan bronkus, penyakit jatung bawaan,
kifoskoliosis kongenital.
Kelainan Didapat
FH.
Bronkiektasis sering merupakan kelainan didapat dan kebanyakan
merupakan akibat proses berikut :
FI.
Infeksi. Bronkiektasis sering terjadi sesudah seorang anak
menderita pneumonia yang sering kambuh dan berlangsung lama.
Pneumonia ini umumnya merupakan komplikasi pertusis maupun
influenza yang diderita semasa anak, tuberkulosis paru, dan sebagainya.

FJ.
Obstruksi bronkus. Obstruksi bronkus dapat disebabkan oleh
berbagai macam sebab : korpus alienum, karsinoma bronkus atau tekanan
dari luar. Menurut penelitian para ahli, diketahui adanya infeksi ataupun
obstruksi bronkus tidak selalu secara nyata (automatis) menimbulkan
bronkiektasis. Oleh karenanya diduga masih ada faktor instrinsik (yang
sampai sekarang belum diketahui) ikut berperan terhadap timbulnya
bronkiektasis.
FK.
B PERUBAHAN PATOLOGI ANATOMIS
FL. Terspaat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau
luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.
Tempat predisposisi bronkiektasis : bagian paru yang sering terkena
predisposisi adalah lobus tengah paru kanan, bagian lingula paru kiri lobus
atas, segmen basal pada lobus bawah kedua paru.

Bronkus yang terkena : bronkus yang terkena umumnya bronkus ukuran


sedang (medium size), sedangkan bronkus besar jarang terkena.

Perubahan morfologis bronkus yang terkena

Dinding bronkus. Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami


proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan reversibel. Pada
emeriksaan patologi anatomi sering ditemukan tingkatan inflamasi
serta proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan
selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis, pembuluh
darah dan tulang rawan bronkus.

Mukosa bronkus. Permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel


epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan
terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi
akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan
pernanahan.

Jaringan paru peribronkial. Dapat ditemukan kelainan antara lain


berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prsesnya dekat
pleura. Pada keadaan berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan
diganti oleh jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah. Arteri
bronkialis di sekitar bronkiektasis dapat mengalami pelebaran
(aneurysma Rasmussen) atau membentuk anyaman/anastomosis
dengan pembuluh sirkulasi pulmonal.

Variasi kenainan anatomis bronkiektasis

FM.
Telah dikenal ada 3 variasi bentuk kelainan anatomis bronkiektasis,
yaitu : a) Bentuk tabung (Tubular, Cylincdrical, Fusiform bronchiectasis).
Ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan, yang sering ditemukan
pada bronkiektasis yang paling ringan, dan sering ditemukan pada
bronkiektasis yang menyertai bronkitis kronik. b) bentuk kantung (Saccular
bronchiectasis), bentuk ini merupakan bronkiektasis yang klasik, ditandai
dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat iregular.
Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista. c) varicose bronchiectasis.
Bentuknya merupakan bentuk tabung dan kantong.
Pseudobronkiektasis. Bentuk ini tidak termasuk bronkiektasi yang
sebenarnya, karena terdapat pelebaran bronkus yang bersifat sementara,
umumnya bentuk silindris dan tidak terdapat kerusakan dinding bronkus.
Kelainan ini bersifat sementara karena dalam beberapa bulan akan
menghilang. Bentuk ini biasanya merupakan komplikasi pneumonia.

FN.
C PATOGENESIS
FO. Patogenesis bronkiektasis tergantung faktor penyebabnya. Apabila
bronkiektasis timbul kongenital, patogenesisnya tidak diketahui, diduga erat
hubungannya dengan faktor genetik serta pertumbuhan dan perkembangan
fetus dalam kandungan. Pada bronkiektasis yang didapat, patogenesisnya
diduga melalui beberapa mekanisme. Ada beberapa faktor yang diduga ikut
berperan, antara lain ; 1) faktor obstruksi bronkus; 2) faktor infeksi pada
bronkus atau paru ; 3) faktor adanya beberapa penyakit tertentu seperti fibrosis
paru, asthmatic pulmonary eosinophilia, dan 4) faktor intrinsik dalam bronkus
atau paru. Patogenesis pada kebanyak bronkiektasis yang didapat, diduga
melalui dua mekanisme dasar.
1 permulaannya didahului adanya faktor infeksi bakterial. Secara singjat
dapat dikatakan bahwa infeksi pada bronkus atau paru, akan diikuti
oleh proses destruksi dinding bronkus daerah infeksi kemudian
bronkiektasis
2

permulaannya didahului adanya obstruki bronkus. Adanya osbtruksi


bronkus oleh beberapa penyebab. Misalnya tuberkulosis kelenjar limfe
pada anak; karsinoma bronku, korpus alienum dalam bronkus). Pada
bagian distal obstruksi biasanya akan terjadi infeksi dan destruksi
bronkus.

FP.
Seperti diketahui, bronkiektasis merupakan penyakit paru yang
mengenai bronkus dan sifatnya kroni. Keluhan-keluhan yang timbul juga
berlangsung kronik dan menetap. Keluhan-keluhan yang timbul berhubungan
erat dengan :
1

Luas atau banyaknya bronkus yang terkena

Tingkatan beratnya penyakit

Lokasi bronkus yang terkena

Ada atau tidaknya komplikasi lanjut.

FQ. Pada bronkiektasis, keluhan-keluhan timbul umumnya sebagai akibat


adanya beberapa hal berikut :
1

Adanya kerusakan dinding bronkus

Adanya kerusakan fungsi bronkus

Adanya akibat lanjut bronkiektasis atau komplikasi dan sebagainya.

FR.
Kerusakan dinding bronkus berupa dilatasi dan distorsi dinding
bronkus, kerusakan elemen elastis, tulang rawan, otot-otot polos, mukosa dan
silia, kerusakan tersebut akan menimbulkan stasis sputum, gangguan
ekspetorasi, gangguan refleks batuk dan sesak napas.
FS. Mengenai infeksi dan hubungannya dengan patogenesis bronkiektasis,
dapat dijelaskan sebagai berikut :
a Infeksi pertama (primer). Menurut hasil penelitian ditemukan bahwa
infeksi yang mendahului bronkiektasis adalah infeksi bakterial, yaitu
mikroorganisme penyebab pneumonia atau bronkitis yang
mendahuluinya. Dikatakan bahwa hanya infeksi bakteri saja yang dapat
menyebabkan kerusakan pada dinding bronkus sehingga terjadi
bronkiektasis, sedangkan infeksi virus tidak dapat. Boleh jadi bahwa
pneumonia atau bronkitis yang mendahului bronkiektasis tadi didahului
infeksi virus.
b

Infeksi sekunder. Tiap paseien bronkiektasis tidak selalu disertai


infeksi sekunder pada lesi (daerah bronkiektasis). Secara praktis apabila
sputum pasien bronkiektasis bersifat mukoid dan putih jernih,
menandakan tidak atau belum ada infeksi sekunder. Sebaliknya apabila
sputum pasien yang berwarna putih jernih kemudian berubah warnanya
menjadi kuning atau kehijauan atau berbau busuk berarti telah terjadi
infeksi sekunder. Sputum berbau busuk menandakan adanya infeksi
sekunder oleh kuman anaerob.

FT.
D GAMBARAN KLINIS
FU. Gejala dan tanda klinis yang timbul pada pasien bronkiektasis tergantung
pada luas dan beratnya penyakit, lokasi kelainannya dan ada atau tidak adanya
komplikasi lanjut. Ciri khas penyakit ini adalahbatuk kronik disertai produksi

sputum, adanya hemoptisis, dan pneumonia berulang. Bronkiektasis yang


mengenai bronkus pada lobus atas sering dan memberikan gejala.
a Batuk. Batuk pada bronkiektasis mempunyai ciri antara lain batuk
produktif berlangsung kronik dan frekuens mirip seperti pada bronkitis
kronik, jumlah sputum bervariasi, umum jumlahnya banyak terutama
pada pagi hari sesudah ada perubahan posisi tidur atau bangun dari
tidur. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid, sedang
apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan
bau mulut. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob, akan
menimbulkan sputum sangat berbau busuk. Pada kaus ringan, pasien
dapat tanpa batuk atau hanya timbul batuk apabila ada infeksi sekunder.
Pada kasus yang sudah berat, misalnya pada saccular type
bronchlectesis, sputum jumlahnya banyak sekali, putulen, dan apabila
ditampung beberapa lama, tampak terpisah menjadi 3 lapisan : a)
Lapisan teratas keruh, mukus, b) Lapisan tengah, saliva, dan c) Lapisan
terbawah keruh, nanah dan jaringan nekrosis dari bronkus yang rusak
(cellular debris).
b Hemoptisis. Hemoptisis terjadi kira-kira pada 50% kasus bronkiektasis.
Kelainan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus
mengenai pembuluh darah (pecah) dan timbul perdarahan. Perdarahan
terjadi bervariasi, mulai yang paling ringan sampai perdarahan yang
cukup banyak (masif) yaitu apabila nekrosis yang mengenai mukosa
amat hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis
(daerah berasal dari peredaran daerah sistemik).

FV. Pada bronkiektasis kering, hemoptisis justru merupakan


gejala satu-satunya, karena bronkiektasis jenis ini letaknya di lobus atas
paru, drainasenya baik, sputum tidak pernah menumpuk dan kurang
menimbulkan refleks batuk.
Sesak napas (Dispnea). Timbul dan beratnya sesak napas tergantung
pada seberapa luasnya bronkitis kronik terjadi serta seberapa jauh
timbulnya kolaps paru dan destruksi jaringan paru yang terjadi akibat
infeksi berulang (ISPA), yang biasanya menimbulkan fibrosis paru dan
emfisema. Kadang-kadang ditemukan pula suara mengi (wheezing),
akibat adanya obstruksi bronkus. Wheezing dapat lokasl atau tersebar
tergantung pada distribusi kelainannya.

d Demam berulang. Bronkiektai merupakan penyakit yang berjalan


kronik, sering mengalami infeksi berulang pada bronkus maupun pau,
sehingga sering timbul demam (demam berulang).

FW.Kelainan Laboratorium
FX. Pada keadaan lanjut dan sudah mulai ada insufisiensi paru dapat
ditemukan polisitemia sekunder. Bila penyakitnya ringan gambaran darahnya
normal. Sering-sering ditemukan anemia, yang menunjukkan adanya infeksi
kronik, atau ditemukan leukositosis yang menunjukkan adanya infeksi
supuratif. Urin umumnya normal, kecuali bila sudah ada komplikasi
amiloidosis akan ditemukan proteinuria. Pemeriksaan sputum dengan
pengecatan langsung dapat dilakukan untuk menentukan kuman apa yang
terdapat dalam sputum. Pemeriksaan kultur sputum dan uji sensitivitas
terhadap antibiotik perlu dilakukan, apabila ada kecurigaan adanya infeksi
sekunder. Perlu segera dicurigai adanya infeksi sekunder apabila misalnya
dijumpai sputum pada hari-hari sebelumnya warnanya putih jernih, yang
berubah menjadi warna kuning atau hijau.
FY.
FZ. Kelainan Radiologis
GA. Gambaran foto dada (plain film) pasien bronkiektasis posisi berdiri sangat
bervariasi, tergantung berat ringannya kelainan serta letak kelainannya.
Gambaran radiologis khas bronkiektasis biasanya menunjukkan kista-kista
kecil dengan fluid level, mirip seperti gambaran sarang tawon (honey comb
appearance) pada daerah yang terkena. Kadang-kadang gambaran radiologis
paru pada bronkiektasis menujukkan adanya bercak-bercak pneumonia, fibrosis
atau kolaps (atelektasis), bahkan kadang-kadang gambaran seperti pada paru
normal. Gambaran bronkiektasis akan jelas pada bronkogram.
GB.
GC. Tingkatan Beratnya Penyakit
GD. Brewis membagi tingkatan beartnya bronkiektasis menjadi derajat ringan
ringan, sedang, dan berat.
Bronkiektasis ringan. Ciri klinis batuk-batuk dan sputum warna hijau
hanya terjadi sesudah demam (ada infeksi sekunder), produksi sputum
terjadi dengan adanya perubahan posisi tubuh, biasanya ada hemoptisis
sangat ringan, pasien tampak sehat dan fungsi paru normal. Foto dada
normal.
Bronkiektasis sedang. Ciri klinis : batuk-batuk produktif terjadi tiap
saat, spitim timbul setiap saat (umumnya warna hijau dan jarang
mukoid, serta bau mulut bususk), sering ada hemoptisi, pasien
umumnya tampak sehat dan fungsi paru normal, jarang terdapat jari
tabuh, pada pemeriksaan fisis sering ditemukan ronki basah kasar pada
daerah paru yang terkenagambaran foto dada boleh dikatakan masih
normal.
Bronkiektasis berat. Ciri klinis : batuk-batuk produktif dengan sputum
banyak berwarna kotor dan berbau. Sering ditemukan adanya
pneumonia dengan hemoptisis dan nyeri pleura. Seing ditemukan jari
tabuh. Bila ada obstruksi saluran napas akan dapat dimeukan adanya
dispnea, sianosis atau tanda kegagalan paru. Sering ditemukan infeksi

piogenik kulit infeksi mata dan sebagainya. Pada pemeriksaan fisis


dapat ditemukan ronki basah kasar pada daerah yang terkena. Pada
gambaran foto dada ditemukan penambahan bronchovascular marking,
mutiple cysts containing fluid levels (honeycomb appearance).
GE.
E DIAGNOSIS
GF. Diagnosis pasti bronkiektasis dapat ditegakkna aoabila telah ditemukan
adanya dilatasi dan nekrosis dinsing bronkus dengan prosedur pemeriksaan
bronkografi, melihat bronkogram yang didapatkan dan CT scan. Bronkografi
tidak selalu dapat dikerjakan pada tiap pasien bronkiektasis, karena terikat
adanya indikasi, kontraindikasi, syarat-syarat kapan melakukannya dan
sebagainya.
GG.
CT scan paru, menjadi alternatif pemeriksaan penunjang yang
paling sesuai untuk evaluasi bronkiektasis karena sifatmya in vasif dan
hasilnya akurat bila menggunakan potongan yang lebih tipis dan mempunyai
spesifisitas dan sensitivitas lebih dari 95%. Karena pasien bronkiektasis
umumnya memberikan gambaran klinis yang dapat dikenal penegakan
diagnosis brokiektasis dapat ditempuh melewati proses diagnostik yang lazim
dikerjakan di bidang kedokteran, meliputi anamnesis, pemeriksaan fisis,
pemeriksaan penunjang, terutama pemeriksaan radiologik.
GH.
F KOMPLIKASI
Bronkitis kronik
Pneumonia dengan atau tanpa atelektasis.
Pleuritis. Komplikasi ini dapat timbul bersama dengan timbulnya
pneumonia.
Efusi pleura atau empiema (jarang)
Abses metastasis di otak
Hemoptisis
Sinusitis
Kor pulmonal kronik (KPK)
Kegagalan pernapasan
Amiloidosis
GI.
G PENGOBATAN
GJ. Tujuan
1 Tata laksana infeksi, terutama pada serangan akut
2 Peningkatan klirens sekresi trakeobronkial
3 Penurunan inflamasi
4 Tata laksana pada masalah lainnya yang terientifikasi
GK.
GL. Medikamentosa
GM.
Terapi antibiotik merupakan tata laksana utama pada
bronkiektasis. Terapi antibiotik dapat dibagi menjadi terapi ekssaserbasi akut

dan jangka panjang. Pemberian terapi antibiotik jangka sebaiknya dilakukan


oleh pelayanan kesehatan tingkat sekunder atau diatasnya.
1 Eksaserbasi akut
GN.
Indikasi terapi antibiotik pada eksaserbasi akut, antara lain terjadi
perburukan keadaan umum mendadak, niasanya dalam beberapa hari,
berupa bertambahnya keluhan batu, volume sputum atau terdapat keluhan
sesak atau hemoptisis. Terapi antibiotik bersifat empiris dan diberikan
selama 10-14 hari. Regimen antibitotik dapat diubah setelah terdapat hasil
pemeriksaan bakteriologis.
2 Jangka panjang
GO.
Indikasi terapi antibiotik jangka panjang antara lain jika keluhan
sangat berat dan sering (eksaserbasi akut >3x/tahun). Regimen antibiotik
ditentukan berdasarkan hasil pemeriksaan mikrobiologis ketika tidak dalam
eksaserbasi akut.
GP.
GQ.
Tata laksana lainnya, yaitu pemberian bronkodilator dikatakan
dapat memperbaiki penyumbatan dan meningkatkan klirens. Sedankan
pemberian mukolitik untuk mengurangi sekret dan memperbaiki klirens hingga
saat ini masih diperdebatkan.
GR. Referensi : Ilmu Penyakit Dalam. Jilid 3.
GS.
5 Sebutkan macam-macam imunisasi wajib!
GT.
Jawab :
GU. 1. BCG
GV.
Imunisasi BCG merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit TBC yang berat sebab terjadinya penyakit TBC
yang primer atau yang ringan dapat terjadi walaupun sudah dilakukan
imunisasi BCG. TBC yang berat contohnya adalah TBC pada selaput otak,
TBC milier pada seluruh lapangan paru, atau TBC tulang. Vaksin BCG
merupakan vaksin yang mengandung kuman TBC yang telah dilemahkan.
GW.
Frekuensi pemberian imunisasi BCG adalah 1 dosis sejak lahir
sebelum umur 3 bulan. Vaksin BCG diberikan melalui intradermal/intracutan.
Efek samping pemberian imunisasi BCG adalah terjadinya ulkus pada daerah
suntikan, limfadenitis regionalis, dan reaksi panas.
GX. 2. Hepatitis B
GY.
Imunisasi hepatitis B merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit hepatitis B. kandungan vaksin ini adalah HbsAg
dalam bentuk cair. Frekuensi pemberian imunisasi hepatitis B adalah 3 dosis.
Imunisasi hepatitis ini diberikan melalui intramuscular.
GZ. 3. Polio
HA.
Imunisasi polio merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit poliomyelitis yang dapat menyebabkan
kelumpuhan pada anak. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan.
Frekuensi pemberian imunisasi polio adalah 4 dosis. Imunisasi polio diberikan
melalui oral.

HB. 4. DPT
HC.
Imunisasi DPT merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit difteri, pertusis dan tetanus. Vaksin DPT ini
merupakan vaksin yang mengandung racun kuman difteri yang telah
dihilangkan sifat racunnya, namun masih dapat merangsang pembentukan zat
anti (toksoid).
HD.
Frekuensi pemberian imuisasi DPT adalah 3 dosis. Pemberian
pertama zat anti terbentuk masih sangat sedikit (tahap pengenalan) terhadap
vaksin dan mengaktifkan organ-organ tubuh membuat zat anti. Pada
pemberian kedua dan ketiga terbentuk zat anti yang cukup. Imunisasi DPT
diberikan melalui intramuscular.
HE.
Pemberian DPT dapat berefek samping ringan ataupun berat. Efek
ringan misalnya terjadi pembengkakan, nyeri pada tempat penyuntikan, dan
demam. Efek berat misalnya terjadi menangis hebat, kesakitan kurang lebih
empat jam, kesadaran menurun, terjadi kejang, encephalopathy, dan syok.
HF.5. Campak
HG.
Imunisasi campak merupakan imunisasi yang digunakan untuk
mencegah terjadinya penyakit campak pada anak karena termasuk penyakit
menular. Kandungan vaksin ini adalah virus yang dilemahkan. Frekuensi
pemberian imunisasi campak adalah 1 dosis. Imunisasi campak diberikan
melalui subkutan. Imunisasi ini memiliki efek samping seperti terjadinya ruam
pada tempat suntikan dan panas. (Alimul, 2009)
HH.
HI.
HJ. 1) Cara Pemberian Imunisasi
HK.
HN.
Cara
HL.
Vaksin
HM.
Dosis
pemberian
HQ.
Disuntikkan
secara intrakutan
didaerah kanan
HO.
BCG
HP.0,05 ml
HR.
atas
HS.
(insertio
musculus deltoideus)
HV.Secara intramuscular
HT.
DPT
HU.
0,5 ml
HW.
HZ.
Diteteskan ke
HX.
Polio
HY.
2 tetes
mulut
IA.
IB. Campak

IC. 0,5 ml

ID. Subkutan, biasanya


dilengan kiri atas

IE. Hepatitis B

IF. 0,5 ml

IG. Intramuscular pada


anterolateral paha
IH.

1
2
3
4
5
6

II.
IJ. Tabel 2.1 Cara pemberian imunisasi dasar (DepKes 2006).
IK.
IL. Umur Jenis imunisasi
IM.
IO. Hepatitis B 1
IN. 0-7 hari
IP.
IR. BCG
IQ. 1 bulan
IS.
IU. Hepatitis B 2, DPT 1, Polio 1
IT. 2 bulan
IV.
IX. Hepatitis B 3, DPT 2, Polio 2
IW.3 bulan
IY.
JA. DPT 3, Polio 3
IZ. 4 bulan
JB.
JC. 9 bulan
JD. Campak, Polio 4
JE.
JF. Tabel 2.2 Waktu yang tepat untuk pemberian imunisasi dasar (DepKes RI,
JG. 2006)
JH.
JI.
JJ.
JK.
JL. Daftar pustaka.
Arikunto, Suharsimi.2006.Prosedur Penelitian.Jakarta:Rineka Cipta.
Dinkes Jombang.2007. Stimulasi, Deteksi dan Intervensi Dini Tumbuh
Kembang Anak Ditingkat Pelayanan Dasar.Jombang:Dinkes Jombang.
Dinkes Jombang, SE.2010.Laporan UCI Kumulatif Tahun 2010 Kabupaten
Jombang.Jombang:Dinkes Jombang.
Djiwandono, Sri Esti Wuryani.2005.Konseling dan Terapi Dengan Anak dan
Orang Tua.Jakarta:PT. Gramedia Widiasarana Indonesia (Grasindo).
Hidayat, A. Aziz Alimul.2009.Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk
Pendidikan Kebidanan.Jakarta:Salemba Medika.
Jadwal imunisasi 2007 rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
periode 2007
JM.
JN.6.Bagaimana lengkah diagnose, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan
penunjang dari diagnosis utama ?
JO. Jawab :
JP. - Anamnesis
JQ. Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak
napas, peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan
pneumonia, keluhan batuk biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang

setelah meminum obat batuk yang biasanya tersedia di pasaran. Pada


awalnya keluhan batuk yang tidak produktif, tapi selanjutnya akan
berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen kekuningkuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri
dada, sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala
nyeri (Supandi, 1992; Jeremy, 2007; Alberta Medical Assosiation, 2011).
JR. - Diagnosis
JS. Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi
komplikasi, menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk
membantu memilih antibiotika (Jeremy, 2007). Diagnosis pneumonia
utamanya didasarkan klinis,
JT. Universitas Sumatera Utara

JU. sedangkan pemeriksaaan foto polos dada perlu dilakukan untuk


menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya kelainan patologi
secara lebih akurat (Supandi, 1992).
JV. - Gambaran Klinis
JW.Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian
atas selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil,
suhu tubuh kadang-kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan
sendi. Juga disertai batuk, dengan sputum purulen, kadang-kadang
berdarah (Supandi, 1992). Pada pasien muda atau tua dan pneumonia
atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya
konfusi, ruam, diare) dapat menonjol (Jeremy, 2007).
JX. - Pemeriksaan Penunjang
JY. Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel
darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC
15.000-40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah
WBC dapat normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam
keadaan leukopenia laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga
100/mm3, dan protein reaktif C mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah
mengidentifikasi gagal napas (Jeremy, 2007). Kultur darah dapat positif
pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang didapatkan
peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam batas
normal (Supandi, 1992).
JZ. Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia
yang disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya
infiltrate bilateral atau bronkopneumonia.
KA.
KB.
Referensi : repository.usu.ac.id
KC.
KD.
7.Bagaimana tatalaksana dari diagnosis utama ?
KE.
Jawab :
KF.a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan pada
klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan bila ada
hasil dan sensitivitas antibiotika (Jeremy, 2007).
KG.
b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO 2 >
8 kPa (SaO2< 90%) dan resusitasi cairan intravena untuk memastikan
stabilitas hemodinamik. Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya
tekanan jalan napas positif kontinu (continous positive airway pressure), atau
ventilasi mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan
bronkoskopi membantu bersihan sputum (Jeremy, 2007).
KH.
2.2 Antibiotika
KI. 2.2.1 Definisi Antibiotika

KJ. Antibiotika adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi dan bakteri, yang
memiliki khasiat mematikan atau menghambat pertumbuhan kuman.
Peresepan antibiotika untuk pasien yang tidak membutuhkan dapat
mengakibatkan resistensi (Setiabudy, 2007).
KK.
2.2.2 Pilihan Antibiotika dan Posologi
KL.
Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada
pasien, cara berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis
dan cara pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus
dipertimbangkan faktor sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan
tubuh hospes, dan faktor biaya pengobatan (Setiabudy, 2007).
KM.
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti
perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji
kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum
pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam
keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai
dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien.
Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan
pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman penyebab
dan pola kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila dari hasil uji
kepekaan ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta gejala klinik jelas
membaik dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan antibiotika tersebut.
Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada antibiotika yang lebih
efektif, sedangkan dengan antibiotika semula gejala klinik penyakit
menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan, antibiotika semula
tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil perbaikan klinik kurang
memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat diganti dengan yang
lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas (Setiabudy, 2007).
KN.
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika
sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini
harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan
perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk infeksi
tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum kerjanya,
tidak dibenarkan karena
KO.
hasil terapi tidak lebih unggul daripada hasil terapi dengan antibiotika
berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi lebih sering terjadi dengan
antibiotika berspektrum luas (Setiabudy, 2007).

KP.
KQ.
KR.
KS.
KT.
KU.
KV.
KW.
KX.
KY.
KZ.
LA.
LB.
LC.
LD.
LE.
LF.
LG.
LH.
LI.
LJ.
LK.
LL.
LM.
LN.
LO.
LP.
LQ.
LR.
LS.
LT.
LU.
LV.
LW.
LX.
LY.
LZ.
MA.
MB.
Antibiotika ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu kelompok penisilin
dan sefalosporin.
MC.
A. Kelompok Penisilin
MD.
Penisilin diperoleh dari jamur Penicillium chrysogenum dari berbagai
jenis yang dihasilkannya, perbedaannya hanya pada gugus samping-R saja.
Penisillin bersifat bakterisid dan bekerja dengan cara menghambat sintesis
dnding sel. Efek samping yang terpenting adalah reaksi yang dapat

menimbulkan urtikaria, dan kadang-kadang reaksi analfilaksis dapat menjadi


fatal (Elin, 2008).
ME.
1. Benzilpenisilin: penisilin G bersifat bakterisid terhadap kuman
Gram-positif (khususnya cocci) dan hanya beberapa kuman negatif. Penisilin
G tidak tahan-asam, maka hanya digunakan sebagai injeksi i.m atau infus
intravena. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 60%; plasma t nya
sangat singkat, hanya 30 menit dan kadar darahnya cepat menurun.
Eksresinya berlangsung sebagian besar melalui transport aktif tubuler dari
ginjal dan dalam keadaan utuh. Aktivitas penisilin G masih dinyatakan dalam
Unit Internasional (UI) (Tjay, 2007).
MF.
2. Fenoksimetilpenisilin: Penisilin-V; derivate semisintesis ini tahan
asam dan memiliki spektrum kerja yang dapat disamakan dengan pen-G,
tetapi terhadap kuman negatif (antara lain suku Nesseira dan bacilli H.
influenzae) 5-10 kali lebih lemah. Resorpsi penisilin-V tidak diuraikan oleh
asam lambung. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 80%, plasma t
30-60 menit. Sebagian besar zat dirombak di dalam hati, dan rata-rata 30%
dieksresikan lewat kemih dalam keadaan utuh. Dosis oral 3-6 dd 25-500 mg 1
jam sebelum makan, atau 2 jam sesudah makan (Tjay, 2007; Elin, 2008).
MG.
3. Ampisilin: penisilin broad spectrum ini tahan asam dan lebih luas
spektrum kerjanya yang meliputi banyak kuman gram-negatif yang hanya
peka bagi penisilin-G dalam dosis intravena tinggi. Kuman-kuman yang
memproduksi penisilinase tetap resisten terhadap ampisilin (dan amoksisilin).
Ampisilin efektif terhadap E. coli, H. influenzae, Salmonella, dan beberapa
suku Proteus. Resorpsinya dari usus 30-40% (dihambat oleh makanan),
plasma t nya 1-2 jam. Ikatan dengan protein plasmanya jauh lebih ringan
daripada penisilin G dan penisilin V. Eksresinya berlangsung melalui ginjal
yaitu 30-45% dalam keadaan utuh aktif dan sisanya sebagai metabolit. Efek
samping berkaitan dengan gangguan lambung-usus dan alergi. Dosis untuk
oral 4 dd sehari 0,5-1 g (garam-K atau trihidrat) sebelum makan (Tjay, 2007;
Elin, 2008).
MH.
4. Amoksisilin: derivat hidroksi dengan aktivitas sama seperti
ampisilin. Resorpsinya lebih lengkap (80%) dan pesat dengan kadar darah dua
kali lipat. Ikatan dengan protein plasma dan t nya lebih kurang sama, namun
difusinya ke jaringan dan cairan tubuh lebih baik. Kombinasi dengan asam
klavulanat efektif terhadap kuman yang memproduksi penisilinase. Efek
samping yang umum adalah gangguan lambung-usus dan radang kulit lebih
jarang terjadi. Dosis untuk oral 3 dd 375-1.000 mg, anak-anak < 10 tahun 3
dd 10 mg/kg, juga diberikan secara i.m/i.v (Istiantoro, 2007; Tjay, 2007; Elin,
2008).
MI.5. Coamoksiklav terdiri dari amoksilin dan asam klavulanat (penghambat beta
laktamase). Asam klavulanat sendiri hampir tidak memiliki antibakterial.
Tetapi dengan menginaktifkan penisilinase, kombinasi ini aktif terhadap
bakteri penghasil penisilinase yang resisten terhadap amoksisilin (Tjay, 2007).
MJ.6. Penisilin antipseudomonas: obat ini diindikasikan untuk infeksi berat yang
disebabkan oleh Pseudomonas aeruginosa. Selain itu juga aktif terhadap
beberapa kuman gram negatif, termasuk Proteus spp dan Bacteroides fragilis
(Tjay, 2007).
MK.
B. Kelompok Sefalosporin

ML.
Sefalosporin diperoleh dari jamur Cephalorium acremonium yang
berasal dari Sicilia. Sefalosporin merupakan antibiotika betalaktam dengan
struktur, khasiat, dan sifat yang banyak mirip penisilin, tetapi dengan
keuntungan-keuntungan antara lain spektrum antibakterinya lebih luas tetapi
tidak mencakup enterococci dan kuman-kuman anaerob serta resisten
terhadap penisilinase, tetapi tidak efektif terhadap Staphylococcus yang
resisten terhadap metisilin (Istiantoro, 2007; Elin, 2008).
MM.
Berdasarkan sifat farmakokinetika, sefalosporin dibedakan menjadi
dua golongan. Sefaleksim, sefaklor, dan sefadroksil dapat diberikan per oral
karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya dapat
diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan secara i.v.
karena menimbulkan iritas pada pemberian i.m. Beberapa sefalosporin
generasi ketiga misalnya mosalaktam, sefotaksim, seftizoksim, dan
seftriakson mencapai kadar tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga
bermanfaat untuk pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin
juga melewati sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan synovial
dan cairan perikardium. Pada pemberian sistemik kadar sefalosporin generasi
ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus. Kadar
dalam empedu umumnya tinggi terutama sefoperazon. Kebanyakan
sefalosporin dieskresi dalam bentuk utuh ke urin, kecuali sefoperazon yang
sebagian besar dieskresi melalui empedu. Oleh karena itu dosisnya harus
disesuaikan pada pasien gangguan fungsi ginjal (Elin, 2008).
MN.
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi.
Reaksi anafiilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat terjadi. Reaksi
silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi penisilin berat, sedangkan
pada alergi penisilin yang ringan dan sedang kemungkinannya kecil.
Sefalosporin merupakan zat yang nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksis
dibandingkan dengan aminoglikosida. Kombinasi sefalosporin dengan
aminoglikosida mempermudah terjadinya nefrotoksisitas (Elin, 2008).
MO.
Yang termasuk dalam kelompok sefalosporin adalah:
MP.
1. Sefalosporin generasi pertama: sefalotin, sefazolin, sefradin,
sefaleksin, dan sefadroksil. Terutama aktif terhadap kuman gram positif.
Golongan ini efektif terhaap sebagina besar S. aureus dan streptokokus
termasuk Str. pyogenes, Str. viridans, dan Str. pneumoniae. Bakteri gram
positif yang juga sensitif adalah Clostridium perfringens, dan
Corinebacterium diphtheria. Sefaleksim, sefradin, sefadroksil aktif pada
pemberian per oral. Obat ini diindikasikan untuk infeksi salura kemih yang
tidak berespons terhadap obat lain atau yang terjadi selama kehamilan, infeksi
saluran napas, sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak (Tjay, 2007; Elin,
2008).
MQ.
2. Sefalosporin generasi kedua: Sefaklor, sefamandol, sefmetazol,
sefuroksim. Dibandingkan dengan generasi pertama, sefalosporin generasi
kedua kurang aktif terhadap bakteri gram positif, tetapi lebih aktif terhadap
gram negatif, misalnya H. Influenza, E. Coli, dan Klebsiella. Golongan ini
tidak efektif terhadap kuman anaerob. Sefuroksim dan sefamandol lebih tahan
terhadap penisilinase dibandingkan dengan generasi pertama dan memiliki
aktivitas yang lebih besar terhadap H. Influenzae dan N. Gonorrheae (Tjay,
2007; Elin, 2008).

MR.
3. Sefalosporin generasi ketiga: sefoperazon, sefotaksim, seftriakson,
sefiksim, sefodoksim, sefprozil. Golongan ini umumnya kurang efektif
terhadap kokus gram positif dibandingkan dengan generasi pertama, tapi jauh
lebih aktif terhadap Enterobacteriaceae termasuk strain penghasil penisilinase
(Elin, 2008). Aktivitasnya terhadap gram negatif lebih kuat dan lebih luas lagi
dan meliputi Pseudomonas dan Bacteroides, khususnya seftazidim (Tjay,
2007).
MS.
4. Sefalosporin generasi keempat: sefepim dana sefpirom. Obat-obat
baru ini sangat resisten terhadap laktamase, sefepim juga aktif sekali terhadap
pseudomonas (Tjay, 2007)
MT.
MU.
MV.
C. Antibiotika Laktam Lainnya
MW.
1. Imipenem: khasiat bakterisidnya berdasarkan perintangan sintesis
dinding-sel kuman. Spektrum kerjanya luas meliputi, banyak kuman grampositif dan negatif termasuk Pseudomonas, Enterococcus, dan Bacteroides,
juga kuman patogen anaerob. Tahan terhadap kebanyakan betalaktamase
kuman, tetapi berdaya menginduksi produksi enzim ini. Oleh ginjal
dehidropeptidase-1 dirombak menjadi metabolit nefrotoksis, maka hanya
digunakan terkombinasi dengan suatu penghambat enzim yaitu silastatin.
Dosis terkombinasi dengan cilastatin i.v. sebagai infus 250-1.000mg setiap 5
jam (Tjay, 2007). Efek samping sama dengan antibiotika betalaktam lainnya.
Neurotoksisitas pernah dilaporkan pada dosis sangat tinggi dan pada pasien
gagal ginjal (Elin, 2008).
MX.
2. Meropenem sama dengan imipenem, tetapi lebih tahan terhadap
enzim di ginjal sehingga dapat diberikan tanpa silastin. Penetrasinya ke dalam
semua jaringan baik termasuk ke dalam cairan serebrospinal sehingga efektif
terhadap meningitis bakterial. Dosisnya untuk intravena atau infus 10-120
mg/kg dalam 3-4 dosis atau setiap 8-12 jam (Elin, 2008).
MY.
2.2.2.2 Golongan Makrolida
MZ.
Kelompok antibiotika ini terdiri dari eritromisin dengan derivatnya
klaritromisin, roksitromisin, azitromisin, dan diritromisin. Semua makrolida
diuraikan dalam hati, sebagian oleh sistem enzim oksidatif sitokrom-P450
menjadi metabolit inaktif. Pengecualian adalah metabolit OH dari
klaritromisin dengan aktivitas cukup baik. Eksresinya berlangsung melalui
empedu, tinja serta kemih, terutama dalam bentuk inaktif (Elin, 2008).
NA.
Efek samping yang terpenting adalah pengaruhnya bagi lambung-usus
berupa diare, nyeri perut, nausea, dan kadang-kadang muntah, yang terutama
terlihat pada eritromisin akibat penguraiannya oleh asam lambung.
Eritromisin pada dosis tinggi dapat menimbulkan ketulian yang reversibel.
Semua makrolida dapat mengganggu fungsi hati, yang tampak sebagai
peningkatan nilai-nilai enzim tertentu dalam serum (Iriantoro, 2007; Elin,
2008).
NB.
a. Eritromisin memiliki spektrum antibakteri yang hampir digunakan
sama dengan penisilin, sehingga obat ini digunakan sebagai alternatif
pengganti penisilin (Elin, 2008). Eritromisin bersifat bakteriostatis terhadap
bakteri gram-positif. Mekanisme kerjanya melalui pengikatan reversibel pada
ribosom kuman, sehingga sintesis proteinnya dirintangi. Absorpsinya tidak

teratur, agak sering menimbulkan efek samping saluran cerna, sedangkan


masa paruhnya singkat, maka perlu ditakar sampai 4 x sehari. Eritromisin
merupakan pilihan pertama khususnya pada infeksi paru-paru dengan
Legionella pneumophila dan Mycoplasna pneumonia. Eritromisin
menyebabkan mual, muntah, dan diare. Dosis: oral 2-4 dd 250-500 mg pada
saat perut kosong selama maksimal 7 hari (Tjay, 2007; Elin, 2008).
NC.
b. Azitromosin dan klaritromisin merupakan derivat dari eritromisin.
Memiliki sifat farmakokinetik yang jauh lebih baik dibandingkan eritomisin,
antara lain resorpsinya dari usus lebih tinggi karena lebih tahan asam, begitu
pula daya tembus ke jaringan dan intra-seluler. Azitromisin mempunyai t 1/213
jam yang memungkinkan pemberian dosis hanya 1 atau 2 kali sehari.
Makanan memperburuk resorpsinya, maka sebaiknya diminum pada saat
perut kosong (Tjay, 2007).
ND.
NE.
NF.
NG.
2.2.2.3 Golongan Aminoglikosida
NH.
Aminoglikosida dihasilkan oleh jenis-jenis fungi Streptomyces dan
Micromonospora. Aminoglikosida bersifat bakterisid berdasarkan dayanya
untuk menembus dinding bakteri dan mengikat diri pada ribosom di dalam
sel. Proses translasi (RNA dan DNA) diganggu sehingga biosintesis
proteinnya dikacaukan. Spektrum kerjanya luas yaitu aktif terhadap bakteri
gram positif dan gram negatif. Yang termasuk ke dalam golongan ini adalah
streptomisin, gentamisin, amikasin, kanamisin, neomisin, dan paramomisin
(Tjay, 2007).
NI. a. Amikasin: merupakan turunan kanamisin. Obat ini tahan terhadap 8 dari 9
enzim yang merusak aminoglikosida, sedangkan gentamisin dapat dirusak
oleh 5 dari enzim tersebut. Terutama diindikasikan untuk infeksi berat gram
negatif yang resisten terhadap gentamisin. Guna menghindari resisten, jangan
digunakan lebih dari 10 hari (Tjay, 2007).
NJ. b. Gentamisin: spektrum antibakterinya luas, tapi tida efektif terhadap kuman
anaerob, kurang efektif terhadap Str. Hemolyticus. Bila digunakan pada
infeksi berat yang belum diketahui penyebabnya, sebaiknya dikombinasi
dengan penisilin dan/atau metronidazol (Elin, 2008). Dosis harian 5 mg/kg
dalam dosis terbagi tiap 8 jam (bila fungsi ginjal normal). Sebaiknya
pemberian jangan melebihi 7 hari. Dosis lebih tinggi kadang-kadang
diperlukan pada neonatus dan defisiensi imunologis (Tjay, 2007; Elin, 2008).
NK.
2.2.2.4 Golongan Fluorokuinolon
NL.
a. Kloramfenikol: berkhasiat bakteriostatik terhadap hampir semua
kuman gram-positif dan sejumlah kuman gram-negatif, juga terhadap
Chlamydia trachomatis dan Mycoplasma. Bekerja bakterisid terhadap S.
pneumonia, dan H. influenzae. Mekanisme kerjanya berdasarkan perintangan
sintesis polipeptida kuman. Resorpsinya dari usus cepat dan lengkap dengan
bioavaibilitas 75-90%. Ikatan dengan protein plasma lebih kurang 50% , t
nya rata-rata 3 jam. Dalam hati 90% zat ini dirombak menjadi glukuronida
inaktif. Eksresinya melaui ginjal, terutama sebagai metabolit inaktif dan lebih
kurang 10% secara utuh. Efek samping umum berupa gangguan lambungusus, neuropati optis dan perifer, radang lidah dan mukosa mulut. Tetapi yang

sangat berbahaya adalah depresi sumsum tulang yang dapat berwujud dalam
bentuk anemia (Tjay, 2007; Elin, 2008).
NM.
b. Vankomisin: antibiotika glikopeptida ini dihasilkan oleh
Streptpmyces orientalis. Berkhasiat bakterisid terhadap kuman Gram-positif
aerob dan anaerob termasuk Staphylococcus yang resistensi terhadap
metisilin. Daya kerjanya berdasarkan penghindaran pembentukan
peptidoglikan. Penting sekali sebagai antibiotika terakhir pada infeksi parah
jika antibiotika yang lain tidak ampuh lagi. Obat ini juga digunakan bila
terdapat alergi untuk penisilin/sefalosporin. Resorpsinya dari usus sehat
sangat buruk, tetapi lebih baik pada enteris. Vankomisin mempunyai t nya
5-11 jam. Eksresinya berlangsung 80% melalui kemih. Efek sampingnya
berupa gangguan fungsi ginjal, terutama pada penggunaan lama dosis tinggi,
juga neuropati perifer, reaksi alergi kulit, mual, dan demam. Kombinasinya
dengan aminoglikosida meningkatkan risiko nefro dan ototoksisitas. Dosis
untuk infeksi parah i.v. (infuse) 1 g dalam 200 ml larutan NaCl 0,9% (atau
glukosa 5%) setiap 12 jam dengan jangka waktu minimal 2 jam (Elin, 2008).
NN.
c. Doksisiklin: derivat long-acting ini berkhasiat bakteriostastik
terhadap kuman yang resisten terhadap tetrasiklin atau penisilin. Resorpsinya
dari usus hampir lengkap. Bioavaibilitasnya tidak dipengaruhi oleh makanan
atau susu seperti tetrasiklin, namun tidak boleh dikombinasi dengan logam
berat (besi, aluminium, dana bismuth). Doksisiklin mempunyai t yang
panjang (14-17 jam), sekali sehari 100 mg setelah dimulai, dengan loading
dose 200 mg. Efek samping dapat mengakibatkan borok kerongkongan bila
ditelan dalam keadaan berbaring atau dengan terlampau sedikit air( Tjay,
2007; Elin, 2008).
NO.
NP. Untuk penatalaksanaan pneumonia pada anak yaitu :
NQ.
-PENGOBATAN
NR.
a. PEMBERIAN ANTIBIOTIK ORAL
NS. Beri antibiotik oral PILIHAN PERTAMA
(KOTRIMOKSAZOL) bila tersedia. Ini dipilih karena sangat efektif, cara
pemberiannya mudah dan murah. Antibiotik PILIHAN KEDUA
(AMOKSISILIN) diberikan hanya apabila obat pilihan pertama tidak tersedia
atau apabila dengan pemberian obat pilihan pertama tidak memberi hasil yang
baik.
NT.
Untuk menentukan dosis antibiotik yang tepat:
NU.
- Lihat kolom yang berisi daftar kandungan obat dan sesuaikan
dengan sediaan tablet atau sirup yang ada di Puskesmas.
NV.
- Selanjutnya pilih baris yang sesuai dengan umur atau berat badan
anak. Untuk
NW.
menentukan dosis yang tepat, memakai berat badan lebih baik
daripada umur. Dosis yang tepat tertera pada perpotongan antara kolom
jenis obat dan baris umur atau berat badan.
NX.
- Antibiotik diberikan selama 3 hari dengan jumlah pemberian 2
kali per hari.
NY.
- Jangan memberikan antibiotik bila anak atau bayi memiliki
riwayat anafilaksis atau reaksi alergi sebelumnya terhadap jenis obat

tersebut. Gunakan jenis antibiotik lain. Kalau tidak mempunyai antibiotik


yang lain maka rujuklah.
NZ.

Anda mungkin juga menyukai