Anda di halaman 1dari 9

2.

SISTEM PEMANTAUAN LAHAR


2.1 SEJARAH PEMANTAUAN LAHAR MERAPI
Beikut ini terdapat beberapa perkembangan monitoring pada
pemantauan lahar di Merapi sejak tahun 1976 :
2.1.1 Sebelum 1976
Sistem monitoring aliran lahar (debris flow) terdiri atas sensor
kawat yang menyebrangi sungai pada ketinggian satu meter dari
permukaan sedimentasi lahar sebelumnya. Sensor kawat dipasang pada
beberapa titik disepanjang sungai dengan jarak 500 meter. Masingmasing kawat dihubungkan dengan simple recorder yang merekam waktu
terputusnya kawat oleh aliran lahar. Dengan diketahui jarak antar kawat,
maka kecepatan aliran lahar dapat dihitung.
2.1.2 1977 1983
Pada tahun 1977-1983, system yang digunakan masih sama ,
dengan menggunakan sensor kawat. Akan tetapi, ditambahkan dengan
pemasangan kamera untuk merekam aliran lahar.
2.1.3 1984 1998
Pada tahun 1984 1998 , sistem telemetri dan raingauge radar
telah terpasang pada stasiun utama . sistem telemetri terdiri atas
raingauge, monitoring lahar dengan sensor seismic, sensor kawat, water
level gaunge tipe ultrasonic, dipasang pada bagian atas sabodam. Sistem
ini menggunakan radio telemetri pada frekuensi 70 MHz dan transmisi
data analog. Sistem ini diimplementasikan berdasarkan Master Plan
pencegahan aliran lahar di regional gunung Merapi.
2.1.4 1998 2005
Pada jenjang waktu 1998 2005 , penggunaan radar rain gauge
ditambah. Sehingga, sistem radio telemetri mengunakan transmisi data
digital. Pada sistem ini rentang frekuensi yang diperoleh lebih sempit
sehingga banyak stasiun monitoring yang dapat dikontrol.
2.1.5 2006 6 november 2010
Pada perioe ini jumlah stasiun telemetri terdapat peningkatan.
Sehingga, stasiun telemetri yang baru menggunakan sistem selular dan
transmisi data digital.
2.1.6 6 november sekarang
Pasca erupsi, pada tahun 2011 dilakukan evitalisasi sistem
monitoring karena semua sistem telemetri tidak dapat digunakan karena
rusak dan beberapa diantaranya hanyut.

2.2 Pemantauan Visual


Teknik pemantauan visual dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu
secara konvensional dan non konvensional. Teknik konvensional dilakukan
dengan cara pengamatan langsung, yaitu mengirimkan petugas ke
tempat-tempat saat terjadi aliran lahar (biasanya di daerah aliran sungai)
untuk dihitung berapa kecepatan mengalirnya lahar. Sementara teknik
non- konvensional saat ini yang digunakan pada umumnya secara
instrumental, yaitu dengan memanfaatkan lensa kamera (kamera
monitoring). Teknik pemantauan visual yang saat ini digunakan lebih
canggih dan modern, dapat dilakukan dengan menggunakan kamera web
seperti CCTV. Kamera web ini sudah berbasiskan IP sehingga dapat
ditransmisikan melalui saluran TCP/IP broadband. Data yang dikirim dari
lapangan untuk selanjutnya dikumpulkan pada stasiun penerima dan
dikirim ke komputer server. Pada komputer penerima visual (BPPTK,Pos
Ngepos, Pemda Magelang) telah dipasang suatu perangkat lunak yang
akan meminta (acquiring) data visual dari komputer server, untuk
selanjutnya ditampilkan pada layar monitor. Dari pemantauan visual ini
dapat diperkirakan debit dari lahar tersebut.

2.3 Pemantauan curah Hujan


Alat pengukur curah hujan merupakan alat untuk mengukur curah
hujan yang terjadi pada suatu daerah baik pedesaan, kecamatan, ataupun
propinsi yang mengacu pada standar WMO (World Metrological
Organization). Curah hujan dapat diukur dengan alat penakar curah hujan
otomatis atau manual. Dengan menggunakan panakar hujan yang bekerja
secara manual, maka pengambilan data juga dilakukan secara manual.
Data yang diperoleh merupakan kumpulan curah hujan selama selang
waktu tertentu dan dilakukan secara terus menerus. Penakar hujan
ombrometer tidak dapat mencatat sendiri (nonrecording), bentuknya
sederhana terbuat dari bahan Galvanis dan Stainless Steel, tingginya
sekitar 60Cm dicat aluminium anti karat.

Gambar Rain Gauge Manual (Sumber: Teknologisurvey.


com)

Cara kerja dari raingauge manual adalah saat terjadi hujan maka
akan tertampung melalui corong dan tersimpan pada leher penakar
hujan. Selanjutnya untuk mengetahui nilai curah hujan pada satuan
waktu tertentu, maka dilakukan dengan mengambil sejumlah air yang
tersimpan dalam leher penakar hujan melalui kran, pada tiap satuan
waktu tertentu. Kemudian ditakar dengan gelas ukur dan dicatat dalam
satuan volume/ satuan waktu.
Sedangkan yang semi-otomatis adalah raingauge hellmann
dimana cara kerjanya adalah ketika hujan turun, air hujan masuk melalui

corong, kemudian terkumpul dalam tabung tempat pelampung. Air hujan


ini menyebabkan pelampung serta tangkainya terangkat atau naik
keatas.Pada tangkai pelampung terdapat tongkat pena yang gerakkannya
selalu mengikuti tangkai pelampung Gerakkan pena dicatat pada pias
yang ditakkan/digulung pada silinder jam yang dapat berputar dengan
bantuan tenaga per.
Jika air dalam tabung hampir penuh (dapat dilihat pada lengkungan
selang gelas),pena akan mencapai tempat teratas pada pias.Setelah air
mencapai atau melewati puncak lengkungan selang gelas,maka
berdasarkan sistem siphon otomatis (sistem selang air),air dalam tabung
akan keluar sampai ketinggian ujung selang dalam tabung.Bersamaan
dengan keluarnya air,tangki pelampung dan pena turun dan
pencatatannya pada pias merupakan garis lurus vertikal.Jika hujan masih
terus-menerus turun,maka pelampung akan naik kembali seperti
diatas.Dengan demikian jumlah curah hujan dapat dihitung atau
ditentukan dengan menghitung garis-garis vertical.
Karena raingauge manual tidak mengetahui jam berapa terjadinya
hujan pada suatu hari karena data yang didapat merupakan data rata
rata dalam selang waktu tertentu, maka dibuat raingauge otomatis.
Prinsip alat, air hujan ditampung pada bejana yang berjungkit. Bila air
mengisi bejana penampung yang setara dengan tinggi hujan 0,5 mm akan
berjungkit dan air dikeluarkan. Terdapat dua buah bejana yang saling
bergantian menampung air hujan. Tiap gerakan bejana berjungkit secara
mekanis tercapat pada pias atau menggerakkan counter (penghitung).
Jumlah hitungan dikalikan dengan 0,5 mm adalah tinggi hujan yang
terjadi. Curah hujan di bawah 0,5 mm tidak tercatat.
Hujan memiliki peranan yang cukup besar dalam proses terjadinya
gerakan massa tanah dengan jumlah cukup besar baik yang berupa aliran
lahar (aliran debris ataupun mudflow), atau longsoran tanah (Fathani dan
Karnawati, 2009). Hujan dapat diklasifikasikan menjadi dua hal yaitu
berdasarkan intensitasnya atau relatif lebatnya (satuan mm/jam) dan
waktunya yang relative lama (satuan jam). Bersama dengan faktor lain
yaitu sumber gerakan massa tanah yang dinyatakan sebagai kestabilan
massa tanah (fungsi dari rapat massa, sudut gesek dalam, sifat kohesif,
kadar air massa tanah, bentuk timbunan massa tanah), maka durasi dan
intensitas hujan yang tinggi akan menghasilkan aliran lahar.

Gambar di atas adalah hubungan antara karakteristik hujan


(intensitas dan akumulasi hujan) dengan aliran lahar sebelum erupsi
Gunung Merapi 2010 (Legono dkk, 2008). Pada data tersebut terlihat
bahwa intensitas hujan sebesar 50 mm yang berlangsung selama lebih
dari dua jam dapat menghasilkan aliran lahar, sedangkan sesudah erupsi
Gunung Merapi 2010 sejak tanggal 29 November 2010 dengan intensitas
yang lebih rendah dari 50 mm dan durasi kurang dari dua jam sudah
menghasilkan aliran lahar.

Grafik di atas adalah kondisi curah hujan terbaru di merapi yaitu


sejak Oktober 2014 hingga November 2015. Sumber gambar :
http://merapi.bgl.esdm.go.id/index.php Curah hujan yang terjadi pada
daerah aliran lahar berpengaruh pada besarnya volume lahar yang
dihasilkan oleh sumber lahar atau piroklastik. Curah hujan yang
digunakan dalam perhitungan pelaharan yaitu menggunakan curah hujan
harian pasca terjadinya banjir lahar.
2.3 Pemantauan Getaran Tanah
Selain data visual dan data curah hujan yang dideteksi untuk
keentingan monitoring lahar, data kegempaan juga menjadi bagian dari
sistem pemantauan lahar gunung api. Berdasarkan rekaman hasil data
yang pernah diterapkan di Indonesia (khususnya di Merapi), ada tiga

system seismometer yang pernah diinstalasi dan diterapkan dalam


monitoring lahar gunung api.
Tiga sistem yang pernah dipakai, yaitu (oleh U.S. Geological Survey
Volcano Crisis Asistance Team (USGS VCAT) dan Merapi Volcano
Observatory (MVO), 1995):
1. Real-Time Seismic Amplitude Measurement (RSAM)
Real Time Seismic Amplitude Measurement (RSAM) adalah
data hasil integrasi data seismik yang telah disampling dengan
kecepatan 60 data 100 data perdetiknya. Data tersebut kemudian
dirata-rata setiap 5 / 10 menit sekali dan kemudian disimpan dalam
bentuk teks ke dalam hardisk / memory untuk kemudian dapat
diinformasikan melalui layar komputer ataupun dapat dikirim
secara jarak jauh melalui SMS. Bentuk data yang tersimpan dalam
bentuk teks dapat dibuka menggunakan program spread sheet
yang ada dipasaran. Komponen komponen yang terdiri dari filter,
integrator, ADC,dan mikrokontroler 8 bit yang telah dirangkai
menjadi rangkaian RSAM. Instalasi rangkaian RSAM pada
seismograf kinemetrics PS-2 dengan kecepatan putar drum 120
mm/menit, dengan setting diskriminator pada frekuensi center
2040 Hz. Rangkaian sistem RSAM diinstal pada out dari
diskriminator seismometer dan kemudian masuk ke komputer
melalui serial port.
2. Seismic Spectral Amplitude Measurement (SSAM)
Data SSAM adalah PC based system, mengoperasikan
spektrum sinyal seismik pada near-real time (Stephens et al.,
1994). SSAM mendigitalisasi amplitudo sinyal analog berdasarkan
band frekuensi saat itu (16 data channel dengan range 0.25 - 9.25
Hz) pada rate sekitar 100 sample/s. Untuk setiap band, spektrum
amplitudo adalah rata2 dari 12 set data berurutan, untuk durasi
sinyal 1 menit. (Stephens et al., 1994; Power et al., 1997), karena
alat ini menghitung spektrum seismik selama aktivitas tinggi, jadi
bisa untuk bervariasi tipe seismic (seperti volcano-tektonik dan
long period event) untuk diidentifikasi dan menghilangkan noise.
SSAM juga bisa digunakan untuk monitoring lahar.
3. Acoustic Flow Monitor (AFM)
AFM terdiri dari subsistem fungsional (Hadley and Lahusen,
1993). Contoh geophonenya Mark L10-AR, mengkonversi vertical
ground velocity ke alternating current voltage signal. Instrumentasi
meningkatkan signal noise to ratio dan signal yang terimplifikasi
difilter menjadi 3 komponen frekuensi dan menghasilkan AFM.

Instrumentasi alat yang digunakan untuk deteksi getaran tanah dan


moitoring lahar gunung api.

Keterangan :
1. Diskriminator berfungsi sebagai pemisah sinyal pembawa dan
sinyal asli gempa pada telemetri seismic analog,
2. VCO-amplifier berfungsi Sebagai penguat dan pembangkit sinyal
frekuensi pada telemetri seismic analog,
3. RSAM adalah alat untuk melihat amplitude (energy) rata-rata
gempa dalam waktu tertentu,
4. Regulator solar panel untuk menyambung dan memutus arus dari
solar panel ke accu
5. Penakar hujan digital
6. Timer digital untuk seismograf analog
7. Alat pengukur level air tanah
8. Akuisisi data dan pengirim dengan SMS,
9. Wachtdog listrik untuk menghidupkan computer secara otomatis,
10.Seismometer digital suhu kawah,
11.Radio modem penerima sinyal,
12.Mobile instrument untuk menerima dan mengontrol data lapangan,
13.Data akuisisi dan pengirim lapangan,
14.Ektensometer (modifikasi),
15.Mini Doas untuk mengukur konsentrasi gas SO2 (tahap
experiment),
16.Recorder analog gempa (modifikasi).

Pemantauan kegempaan dengan telemetri seismic aalog terdiri atas dua


bagian yaitu sisttem lapangan dan sistem penerima.

Komponen utama sistem lapangan :


- Seismometer (4)

- VCO-amplifier (5)
- Gelombang radio pembawa (6)
- Antenna yagi (7)
Catu daya terdii dari :
- Solar panel (1)
- Regulator (2)
- Aki (3)
Pada stasiun penerima sinyal akan diterima oleh :
- Radio eceiver (a)
- Diteruskan ke discriminator (b)
- Sinyal disalurkan langsung ke rekorder (seismograf) (d)
- Atau disimpan dan ditampilkan secara digital di PC (e)
- Dengan bantuan ADC (c)
Sinyal diproses menjadi 3 band frekuensi, yaitu :
- Low-gain Broad-Frekuensi (10-300 Hz)
- High-gain Low-Frekuensi (10-100 Hz)
- High-gain High-Frekuensi (100-300 Hz)
Untuk keperluan kalibrasi, band yang digunakan adalah low-gain,
karena tidak tersaturasi dan go off scale. High-gain menyediakan
high sensitivity untuk small flow. Low frekuensi dengan High gain
digunakan untuk mendeteksi debris flow yang kecil atau relatif jauh
dari sensor. High frekuensi dengan High gain digunakan untuk
mendeteksi watery flow yang kecil atau relatif jauh dari sensor.

Anda mungkin juga menyukai