2. Builder (Permbentuk) berfungsi meningkatkan efisiensi pencuci dari surfaktan dengan cara
menon-aktifkan mineral penyebab kesadahan air. Baik berupa Phosphates (Sodium Tri Poly
Phosphate/STPP), Asetat (Nitril Tri Acetate/NTA, Ethylene Diamine Tetra Acetate/EDTA),
Silikat (Zeolit), dan Sitrat (asam sitrat).
3. Filler (pengisi) adalah bahan tambahan deterjen yang tidak mempunyai kemampuan
meningkatkan daya cuci, tetapi menambah kuantitas atau dapat memadatkan dan
memantapkan sehingga dapat menurunkan harga. Contoh : Sodium sulfate
4. Additives adalah bahan suplemen/ tambahan untuk membuat produk lebih menarik,
misalnya pewangi, pelarut, pemutih, pewarna dan sebagainya yang tidak berhubungan
langsung dengan daya cuci deterjen. Additives ditambahkan lebih untuk maksud
komersialisasi produk. Contoh : Enzyme, Borax, Sodium chloride, Carboxy Methyl
Cellulose (CMC) dipakai agar kotoran yang telah dibawa oleh detergent ke dalam larutan
tidak kembali ke bahan cucian pada waktu mencuci (anti Redeposisi). Wangi wangian atau
parfum dipakai agar cucian berbau harum, sedangkan air sebagaibahan pengikat.
Jenis jenis detergen
1. Detergen jenis keras
Detergen jenis keras sukar dirusak oleh mikroorganisme meskipun bahan tersebut dibuang
akibatnya zat tersebut masih aktif. Jenis inilah yang menyebabkan pencemaran air.
Contoh: Alkil Benzena Sulfonat (ABS).
2. Detergen jenis lunak
Contoh: Lauril Sulfat atau Lauril Alkil Sulfonat. (LAS).
Detergen jenis lunak, bahan penurun tegangan permukaannya mudah dirusak oleh
mikroorganisme, sehingga tidak aktif lagi setelah dipakai .
Proses pembuatan (LAS) adalah dengan mereaksikan Lauril Alkohol dengan asam Sulfat
pekat menghasilkan asam Lauril Sulfat dengan reaksi:
Asam Lauril Sulfat yang terjadi dinetralisasikan dengan larutan NaOH sehingga dihasilkan
Natrium Lauril Sulfat.
Awalnya deterjen dikenal sebagai pembersih pakaian, namun kini meluas dalam bentuk
produk-produk seperti:
1. Personal cleaning product, sebagai produk pembersih diri seperti sampo, sabun cuci
tangan, dll.
2. Laundry, sebagai pencuci pakaian, merupakan produk deterjen yang paling populer di
masyarakat.
3. Dishwashing product, sebagai pencuci alat-alat rumah tangga baik untuk penggunaan
manual maupun mesin pencuci piring.
4. Household cleaner, sebagai pembersih rumah seperti pembersih lantai, pembersih bahanbahan porselen, plastik, metal, gelas, dll.
Kemampuan deterjen untuk menghilangkan berbagai kotoran yang menempel pada kain atau
objek lain, mengurangi keberadaan kuman dan bakteri yang menyebabkan infeksi dan
meningkatkan umur pemakaian kain, karpet, alat-alat rumah tangga dan peralatan rumah
lainnya, sudah tidak diragukan lagi. Oleh karena banyaknya manfaat penggunaan deterjen,
sehingga menjadi bagian penting yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat
modern.
Unsur kunci dari deterjen adalah bahan surfaktan atau bahan aktif permukaan, yang beraksi
dalam menjadikan air menjadi lebih basah (wetter) dan sebagai bahan pencuci yang lebih
baik. Surfaktan terkonsentrasi pada batas permukaan antara air dengan gas (udara), padatanpadatan (debu), dan cairan-cairan yang tidak dapat bercampur (minyak). Hal ini terjadi karena
struktur Amphiphilic, yang berarti bagian yang satu dari molekul adalah suatu yang bersifat
polar atau gugus ionik (sebagai kepala) dengan afinitas yang kuat untuk air dan bagian
lainnya suatu hidrokarbon (sebagai ekor) yang tidak suka air.
B. Sabun
Sabun adalah suatu gliserida (umumnya C karboksilat suku rendah) yang merupakan hasil
reaksi antara ester(suatu derivat asam alkanoat yaitu reaksi antara asam karboksilat dengan
alkanol yang merupakan senyawa aromatik dan bermuatan netral) dengan hidroksil dengan
residu gliserol. Apabila gliserol bereaksi dengan asam asam yang jenuh (suatu olefin atau
polyunsaturat) maka akan terbentuk lipida (trigliserida atau triasilgliserol).
Sabun ditemukan oleh orang Mesir kuno (egyptian) beberapa ribu tahun yang lalu. Pembuatan
sabun oleh suku bangsa Jerman dilaporkan oleh Julius Caesar.
Teknik pembuatan sabun dilupakan orang dalam Zaman Kegelapan (Dark Ages), namun
ditemukan kembali selama Renaissance. Penggunaan sabun meluas pada abad ke 18.
Gliserida (lelehan lemak sapi atau lipida lain) dididihkan bersama sama dengan larutan
lindi (dulu digunakan abu kayu karena mengandung K-karbonat tapi sekarang NaOH) terjadi
hidrolisis menjadi gliserol dan garam Sodium dari asam lemak, setelah sabun terbentuk
kedalamnya ditambahkan NaCl agar sabun mengendap dan dapat dipisahkan dengan cara
penyaringan. Gliserol, lindi dan NaCl berlebih dipisahkan dengan cara destilasi. Sabun yang
masih kotor dimurnikan dengan cara pengendapan berulang ulang (represipitasi). Akhirnya
ditambahkan zat aditif (batu apung, parfum dan zat pewarna)
Jenis jenis Sabun :
1. Sabun keras atau sabun cuci.
2. Sabun lunak atau sabun mandi.
Deterjen Sintetik mempunyai sifat-sifat mencuci yang baik dan tidak membentuk garamgaram tidak larut dengan ion-ion kalsium dan magnesium yang biasa terdapat dalam air
sadah. Deterjen sintetik mempunyai keuntungan tambahan karena secara relatif bersifat asam
kuat, oleh karena itu tidak menghasilkan endapan sebagai asam-asam yang mengendap suatu
karakteristis yang tidak nampak pada sabun.
Sabun yang masuk kedalam buangan air atau suatu sistem ekuatik biasanya langsung terendap
sebagai garam garam kalsium dan magnesium. Oleh karena itu beberapa pengaruh dari
sabun dalam larutan mungkin dapat dihilangkan. Akibatnya dengan biodegradasi, sabun
secara sempurna dapat dihilangkan dari lingkungan.
C. Dampak yang ditimbulkan surfaktan pada lingkungan dan kesehatan
Dengan makin luasnya pemakaian surfaktan sebagai bahan utama pembersih maka risiko bagi
kesehatan dan lingkungan pun makin rentan. Deterjen sangat berbahaya bagi lingkungan
karena dari beberapa kajian menyebutkan bahwa detergen memiliki kemampuan untuk
melarutkan bahan dan bersifat karsinogen, misalnya 3,4 Benzonpyrene, selain gangguan
terhadap masalah kesehatan, kandungan detergen dalam air minum akan menimbulkan bau
dan rasa tidak enak. Deterjen kationik memiliki sifat racun jika tertelan dalam tubuh, bila
dibanding deterjen jenis lain (anionik ataupun non-ionik).
Ada dua ukuran yang digunakan untuk melihat sejauh mana produk kimia aman di lingkungan
yaitu daya racun (toksisitas) dan daya urai (biodegradable). ABS
(alkylbenzene
sulphonate) dalam lingkungan mempunyai tingkat biodegradable sangat rendah, sehingga
deterjen ini dikategorikan sebagai non-biodegradable.
Dalam pengolahan limbah konvensional, ABS tidak dapat terurai, sekitar 50% bahan aktif
ABS lolos dari pengolahan dan masuk dalam sistem pembuangan. Hal ini dapat menimbulkan
masalah keracunan pada biota air dan penurunan kualitas air. LAS (linear alkyl sulphonate)
mempunyai karakteristik lebih baik, meskipun belum dapat dikatakan ramah lingkungan. LAS
mempunyai gugus alkil lurus/ tidak bercabang yang dengan mudah dapat diurai oleh
mikroorganisme.
LAS relatif mudah didegradasi secara biologi dibanding ABS. LAS bisa terdegradasi sampai
90 persen. Akan tetapi prorsesnya sangat lambat, karena dalam memecah bagian ujung rantai
kimianya khususnya ikatan o-mega harus diputus dan butuh proses beta oksidasi. Karena itu
perlu waktu. Menurut penelitian, alam membutuhkan waktu sembilan hari untuk mengurai
LAS. Itu pun hanya sampai 50 persen.
Detergen ABS sangat tidak menguntungkan karena ternyata sangat lambat terurai oleh bakteri
pengurai disebabkan oleh adanya rantai bercabang pada spektrumya. Dengan tidak terurainya
secara biologi deterjen ABS, lambat laun perairan yang terkontaminasi oleh ABS akan
dipenuhi oleh busa, menurunkan tegangan permukaan dari air, pemecahan kembali dari
gumpalan (flock) koloid, pengemulsian gemuk dan minyak, pemusnahan bakteri yang
berguna, penyumbatan pada pori pori media filtrasi. Kerugian lain dari penggunaan deterjen
adalah terjadinya proses eutrofikasi di perairan. Ini terjadi karena penggunaan deterjen dengan
kandungan fosfat tinggi.
Eutrofikasi menimbulkan pertumbuahan tak terkendali bagi eceng gondok dan menyebabkan
pendangkalan sungai. Sebaliknya deterjen dengan rendah fosfat beresiko menyebabkan iritasi
pada tangan dan kaustik. Karena diketahui lebih bersifat alkalis. Tingkat keasamannya (pH)
antara 10 -12.
Tanpa mengurangi makna manfaat deterjen dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari, harus
diakui bahwa bahan kimia yang digunakan pada deterjen dapat menimbulkan dampak negatif
baik terhadap kesehatan maupun lingkungan. Dua bahan terpenting dari pembentuk deterjen
yakni surfaktan dan builders, diidentifikasi mempunyai pengaruh langsung dan tidak langsung
terhadap manusia dan lingkungannya.
Umumnya pada deterjen anionik ditambahkan zat aditif lain (builder) seperti golongan
ammonium
kuartener
(alkyldimetihylbenzyl-ammonium
cloride,
diethanolamine/
DEA), chlorinated trisodium phospate (chlorinated TSP) dan beberapa jenis surfaktan
seperti sodium lauryl sulfate (SLS), sodium laureth sulfate(SLES) atau linear alkyl benzene
sulfonate (LAS). Golongan ammonium kuartener ini dapat membentuk senyawa nitrosamin.
Senyawa nitrosamin diketahui bersifat karsinogenik, dapat menyebabkan kanker.
Senyawa SLS, SLES atau LAS mudah bereaksi dengan senyawa golongan ammonium
kuartener, seperti DEA untuk membentuk nitrosamin. SLS diketahui menyebabkan iritasi
pada kulit, memperlambat proses penyembuhan dan penyebab katarak pada mata orang
dewasa.
Dalam sebuah penelitian disebutkan deterjen dalam badan air dapat merusak insang dan organ
pernafasan ikan yang mengakibatkan toleransi ikan terhadap badan air yang kandungan
oksigennya rendah menjadi menurun. Keberadaan busa-busa di permukaan air menjadi salah
satu penyebab kontak udara dan air terbatas sehingga menurunkan oksigen terlarut. Dengan
demikian akan menyebabkan organisme air kekurangan oksigen dan dapat menyebabkan
kematian.
Builders, salah satu yang paling banyak dimanfaatkan di dalam deterjen adalah phosphate.
Phosphate memegang peranan penting dalam produk deterjen, sebagai softener air. Bahan ini
mampu menurunkan kesadahan air dengan cara mengikat ion kalsium dan magnesium. Berkat
aksi softenernya, efektivitas dari daya cuci deterjen meningkat.
Phosphate yang biasa dijumpai pada umumnya berbentuk Sodium Tri Poly Phosphate (STPP).
Phosphate tidak memiliki daya racun, bahkan sebaliknya merupakan salah satu nutrisi penting
yang dibutuhkan mahluk hidup. Tetapi dalam jumlah yang terlalu banyak, phosphate dapat
menyebabkan pengkayaan unsur hara (eutrofikasi) yang berlebihan di badan air, sehingga
badan air kekurangan oksigen akibat dari pertumbuhan algae (phytoplankton) yang berlebihan
yang merupakan makanan bakteri.
Populasi bakteri yang berlebihan akan menggunakan oksigen yang terdapat dalam air sampai
suatu saat terjadi kekurangan oksigen di badan air dan pada akhirnya justru membahayakan
kehidupan mahluk air dan sekitarnya. Di beberapa negara, penggunaan phosphate dalam
deterjen
telah
dilarang.
Sebagai
alternatif,
telah
dikembangkan
penggunaan zeolite dan citrate sebagai builder dalam deterjen.