Anda di halaman 1dari 12

Nama

:Irvanus Destavino

NPM

Mata Kuliah :Politik Hukum

Tugas rangkuman Buku Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia

A. Transisi Politik Menuju Demokrasi


1. Dari Otoritarianisme ke Demokrasi: Kemunculan Negara-negara Demokrasi
Baru
Dalam 3 dekada terakhir telah terjadi revolusi politik yang luar biasa dimana transisi
dari otoritarianisme menuju demokrasi telah terjadi di lebih dari 40 negara. Rezim
otoriter sebelumnya berubah secara signifikan, dalam beberapa kasus termasuk di
berbagai rezim militer, kelompok reformis menguat di rezim otoriter dan mengambil
inisiatif untuk mendorong transisi. Dalam kasus lainnya, transisi ini muncul dari
negosiasi antara pemerintah dengan kelompok transisi. Dan ada yang lahir dari
digusurnya rezim otoritarian.
Menurut Anthony Giddens fungsi pemerintahan dalam perspeksif dunia kontemporer
saat ini, antara lain:

menyediakan sarana untuk perwakilan kepentingan-kepentingan beragam;


menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang

saling bersaing ini;


menciptakan dan melindungi ruang publik terbuka, dimana debat bebas

mengenai isu-isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;


menyediakan bergam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara,

termasuk bentuk keamanan dan kesejahteraan kolektif;


mengatur pasar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar
ketika monopoli mengancam;

menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui

penetapan kebijakan;
mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya

dalam sistem pendidikan;


menopang sitem hukum yang efektif;
memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam

intervensi makro maupun mikro-ekonomi, serta penyedia infrastruktur;


membudayakan masyarakat- pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang
berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma

tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;


mendorong aliansi regional dan transnasional, serta meraih sasaran global.

Beberapa hasil studi menunjukan bahwa rezim-rezim otoritarian tidak dapat


disamakan antara satu dengan yang lainnya. Tidak ada rezim otoritarian yang bisa
dianggap

monolitik, dan juga tidak ada kekuatan-kekuatan lainnya yang

memperjuangkan demokrasi yang dapat dianggap seperti itu. Pembeda-pembeda


dapat ditarik antara demokrasi dan poliarki; antara demokratisasi dan liberalisasi;
antara transisi dan konsolidasi; antara kaum garis keras dan para akomodasionis
dalam koalisi otoritarian; dan antara kaum maksimalis, moderat, dan oportunis
dalam koalisi yang mendukung liberalisasi.
Negara totaliter merupakan negara dengan sebuah sistem politik yang melebihi
bentuk

kekuasaan

negara,

dimana

negara

mengontrol,

menguasai,

dan

memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat. Ada 2 (dua) rezim totaliter yang
dikenal, yaitu pemerintahan NAZI Adolf Hitler di Jerman dan kekuasaan Bolshevisme
Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin
2. Reposisi Hubungan Sipil Militer

Sesungguhnya semua rezim otoritarian, apapun tipenya mempunyai kesamaan


dalam satu hal yakni hubungan sipil-militer mereka tidak begitu diperhatikan. Hampir
semua tidak memiliki karakteristik hubungan sipil-militer sebagaimana yang ada di
negara industri yang demokratis, yang disebut sebagai kontrol sipil objektif. Dalam
rezim militer yang otoritarian tidak ada kontrol sipil, dan pemimpin serta organisasi
militer sering melakukan fungsi yang luas dan bervariasi yang jauh dari misi militer
yang normal.
Karena itu negara-negara demokrasi baru menghadapi tantangan yang serius untuk
mereformasi hubungan sipil militer mereka secara drastis. Hal ini juga sedang
dihadapi oleh Indonesia yang baru lepas dari rezim orde baru yang cenderung
otoriter. Kondisi di Indonesia pada saat ini menunjukan bahwa dominasi besar dan
hegemoni orde baru merupakan faktor struktural yang masih sulit dinetralisir oleh
kekuatan sipil. Kemampuan militer untuk melakukan pemulihan jelas akan
mengancam transisi politik di Indonesia. Apalagi jika rezim sipil tidak mempunyai
konsep yang tajam dan konsistensi yang kuat untuk menetralisir militer. Sedangkan
alam negara-negara maju pemetaan fungsi militer dan sipil telah berjalan seimbang.
Masing-masing bisa berperan sesuai fungsinya, tidak tumpang tindih dan intervensi.

3. Perumusan Kebijakan baru Untuk menyelesaikan Hubungan dengan Rezim


Sebelumnya
Rezim-rezim

Demokrasi

Baru

telah

mencari

suatu

kebijakan

untuk

menjadikan mereka sebagai suatu negara bersih, yakni pencarian untuk mengubur

masa lalunya dan untuk mendahulukan segala bentuk pertanggungjawaban


terhadap masa lalunya tersebut. Spanyol dan Polandia telah sukses melakukan hal
tersebut, jika kesuksesan diukur secara eksklusif berdasarkan stabilitas politik dari
pemerintahan baru. Dalam kasus lain seperti di Chile pemerintahannya memilih cara
membuka kebenaran-kebenaran dari pelanggaran Hanm dan dorongan terhadap
suatu pengakuan publik akan kejahatan-kejahatan dan bahkan suatu permintaan
maaf terhadap para korban.
Pada kenyataannya, sikap ini mungkin merefleksikan suatu permusuhan yang
lebih mendalam pada gagasan tentang pengadilan sendiri, dan tidak hanya
pengakuan yang dapat dipahami dari kesulitan-kesulitan untuk menngatur mereka.
Solon menjabarkan unsur-unsur dalam kebijakan-kebijkan dan tindakan-tindakannya
yang mencerminkan cara-cara pemerintahan modern dalam mencoba untuk
mengadakan rekonsiliasi dengan masa lampau yakni:
a. Memberikan perlindungan yang bear bagi populasi penduduk dan
memberikan perlindungan terhadap pihak-pihak yang paling lemah melalui
kekuasaan hukum.
b. Masyarakat baru memerlukan tatanan sosial baru, contohnya melalui
pembersihan, propaganda dan lain lain.
c. Penanganan masa lampau tidak seharusnya menghina pihak dulunya
kaya dan sangat berkuasa.
d. Tidak memaksa masyarakat untuk melakukan keberpihakan terhadap
rezim yang baru
4. Demiliterisasi Tidak Hanya Berkaitan dengan Militer
Perubahan opini terhadap militer seringkali dikaitkan dengan ideologi-ideologi
keamanan nasional. Referensi ini mengingatkan bahwa demiliterisasi bukan
merupakan suatu masalah yang hanya terkait dengan militer. Dalam paradigma baru

ada yang disebut sebagai kelompokn reformis yang menyarankan agar militer tetap
berperan dalam mempengaruhi perkembangan politik tetapi tidak lagi mendominasi
kursi pemerintahan. Pada kenyaataannya, npihal militer tidak akan melakukan
intervensi jika tidak ada dukungan dari pihak sipil, karena bila militer memaksakan
diri tanpa dukungan sipil akan terjadi tindakan yang dianggap represif oleh sipil.
Menurut Harod Crouch, ada 5 langkah yang perlu ditempuh untuk mengubah
paradigma TNI-POLRI, yaitu:

Mengurangi peranan TNI-POLRI dalam pemerintahan;


Menghapus kekaryaan;
Menetralisasi politik;
Pemisahan TNI dengan POLRI;
Orientasi pertahanan.

Dari langkah-langkah diatas, tampak bahwa kepemimpinan TNI POLRI yang


baru telah menunjukan dukungan terhadap demokratisasi dan secara berkala
merujuk pada sepremasi sipil yang mana merupakan suatu terminologi yang selalu
dihindari oleh rezim militer di masa lalu.
Menurut Robert Lowry mengenai peningkatan anggot militer dengan sipil
seharusnya meningkat 24% selama 19 tahun terakhir. Jika kenaikan tersebut
tercapai maka hal itu merupakan suatu kenaikan yang signifikan dan dapat merubah
serta memperkuat struktur keanggotaan militer dalam konteks perbandingan antara
jumlah personel yang berdinas aktif dibandingkan dengan jumlah penduduk.
B. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik
1. Kasus Pembunuhan Steven Biko di Afrika Selatan
Pada tanggal 18 Agustus !977, Steven Biko, Pendiri dari gerakan Kesadaran Kaum
Kulit Hitam, ditahan di suatu pos polisi penghadang jalan. Ia ditahan dip pos polisi

tersebut dan meninggal di tempat satu bulan dari waktu penahanannya. Meninggal
dengan mulut berbusa dan penuh luka bekas pukulan.
20 tahun kemudian para polisi yang berada dalam pos tempat Steven Biko
ditahan meminta pengampunan kepada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika
Selatan, namun hal tersebut hanya bisa dikabulkan apabila mereka menceritakan
segala tindakan mereka kepada stevenBiko. Konstitusi Transisi Afrika Selatan
Mengabulkan permintaan mereka dengan memperhatikan berbagai aspek yang
akan ditimbulkan dari putusan tersebut. Jika kekerasan dilawan dengan kekerasan
maka akan muncul kekerasan lainnya.
2. Makna Keadilan Dalam Proses Rekonsiliasi
Janda Steven Biko, Ntsiki Biko, mengajukan tuntutan kepada pelaku yang
menganiaya suaminya agar dihukum sebelum para pelaku tersebut melakukan
pengajuan amnesti dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan. Bahkan,
Ntsiko Biko mengajukan gugatan di Mahkamah Konstitusi Afrika Selatan bahwa
pengajuan amnesti adalah inkonstitusional dan bertentangan dengan hukum
internasional. Namun, gugatan tersebut ditolak dan mendalilkan bahwa kewenangan
komisi untuk memberikan amnesti bahkan yang diberlakukan atas tindakan
kejahatan adalah demi kepentingan kemanusiaan.
Pada akhirnya Komisi kebenaran dan Rekonsiliasi Afrika Selatan kemudian
menyatakan menolak untuk memberikan amnesti terhadap para pembunuh Steven
Biko dikarenakan para pembunuh sebelumnya memberika kesaksian dengan jujur
dan pembunuhan tersebut tidak terkait dengan suatu tujuan politik.
3. Perspektif Hukum Internasional

Pemberian

amnesti

kepada

pembunuh

steven

Biko

merupakan

tindakan

inkonstitusonal dan bertentangan dengan hukum internasional. Begitu juga dengan


negara-negara domestik lebih memilih penghukuman dari pada amnesti karena
sudah memiliki hukum yang sah untuk menjatuhkan hukuman daripada upaya untuk
pembalasan

dendam.

Masyarakat

internasional

dapat

dengan

sendirinya

menegakkan ketentuan-ketentuan hukum dan menghukum kejahatan terhadap


kemanusiaan.
Dalam Praktek perbedaan pendapat mengenai pelaksanaan HAM secara samarsamar terus berlangsung. Ada perdebatan antara kelompok yang menganut prinsip
inward looking versus kelompok yang mengutamakan prinsip outward looking.
Outward looking adalah semua ketentuan dan badan internasional bersifat mengikat
(binding) dan harus dilaksanakan sedangkan inward looking adalah keputusankeputusan internasional memang perlu dihormati dan dilaksanakan, sebab konsep
kedaulatan negara.
C. Pengalaman Beberapa Negara
1. Negara Amerika Latin
Di beberapa negara Amerika Latin, transisi politiknya mempunyai karakteristik
tersendiri. Menurut ODonnell ada beberapa karakteristik transisi politik di Amerika
Latin dan Eropa Selatan, antara lain : heterogenitas yang lebih tinggi di Amerika
Latin dari pada Eropa Selatan; memenuhi kategori otoriterisme birokratis; dan
memiliki unsur-unsur patrimonialis.
Contoh negara otoriter birokratis dan otoriter tradisional, yaitu Nikaragua yang
dikuasai oleh rezim Somoza adalah termasuk salah satu negara yang memenuhi
kategori ini dan Rezim Batista di Kuba, serta rezim Stroessner di Paraguay yang

merupakan sisa terakhir dari sesuatu yang dulu menjadi bentuk kekuasaan yang
sangat lazim di kawasan Amerika Latin.
2. Non Amerika Latin
Kejatuhan rezim otoriter Yunani pada tanggal 23 juli 1974 telah membuka jalan bagi
pendirian suatu pemerintahan yang demokratis dalam sejarah modern. Di Yunani,
pada tanggal 21 April 1967 suatu kelompok perwira militer tingkat menengah yang
disebut junta telah mengambil alih pemerintahan dari Perdana menteri George
Papandreou yang menjamin untuk memegang kekuasaan secara sementara dengan
dalih mengontrol komunis, menghindari korupsi dan mengembalikan Yunani ke arah
demokrasi.
Di Spanyol, pada tahun 1939 Jenderal Fransisco Franco muncul sebagai pemenang
dalam Perang Sipil Spanyol dengan memerintah secara totaliter dengan tujuan
untuk memberikan pengarahan-pengarahan kepada masyarakat. Namun, pada
tahun 1980-an, rezim totaliter di Spanyol tersebut diganti dengan rezim yang
demokratis yang benar-benar berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.
II. Keadilan Transisional
A. Pengantar
1. Pemutusan Kaitan dengan Masa Lalu, Pencarian Jalan Baru
Semenjak akhir Perang Dunia II, serangkaian negara telah tumbuh dan melepaskan
diri dari kediktatoran, dan mempunyai cara masing-masing berdasarkan latar
belakang sejarah. Masyarakat demokrasi yang baru berusaha untuk memutuskan
kaitan dengan pemerintahan otoriter dan mulai membangun. Ada timbul pertanyaan
apakah masyarakat menghukum penguasanya yang lama atau membiarkannya.

Namun, biasanya beberapa bangsa hanya menutup mata terhadap masa lalunya
yang kacau.
Menurut Bronkhorst, ada yang perlu dibahas dalam konteks keadilan pada masa
transisi yaitu: kebenaran; rekonsiliasi; dan keadilan. Meskipun demikian peran
keadilan lebih banyak menimbulkan perdebatan dari pada kebenaran dan
rekonsiliasi.
Komisi-komisi pada sekitar 40 (empat puluh) negara yang dibentuk untuk
menuntaskan masalah masa lalu yang otoriter menunjukkan bahwa pentingnya
konsepsi keadilan transisional.
2. Empat Permasalahan Utama : Politik Memori
Menurut Ruti G. Teitel, jika suatu negara yang otoriter sudah berubah ke arah
demokrasi maka permasalahannya sekarang adalah bagaimana masyarakat
memperlakukan kejahatan-kejahatan yang terjadi pada masa lampau karena
berkaitan dengan masa depan negara, antara lain:

Bagaimanakah pemahaman masyarakat terhadap komitmen suatu rezim

baru terhadap aturan-aturan hukum yang dilahirkannya?


Tindakan-tindakan hukum apakah yang memiliki signifikansi transformatif?
Apakah jika ada terdapat kaitan antara pertanggungjawaban suatu
negara terhadap masa lalunya yang represif dan prospeknya untuk

membentuk suatu tata pemerintahan yang liberal?


Hukum apakah yang potensial sebagai pengantar ke arah liberalisasi?
B. KONTEKS INTERNASIONAL PADA WAKTU TRANSISI
1. Internasionalisasi Permasalahan
Penyelesaian masalah keadilan transisional dan menjadi fokus utama kalangan
internasional adalah membersihkan suatu kelompok besar dari para mantan pejabat

komunis dan kolaboratornya. Penyelesaian masalah keadilan transisional telah


meningkat menjadi permasalahan pemerintah yang baru dengan mereka-mereka
yang berada di luar negeri.
Menurut Kritz, pemerintahan-pemerintahan asing didorong untuk memainkan suatu
peranan baik dalam bentuk pemberian perlindungan bagi mereka yang berasal dari
rezim sebelumnya atau memfasilitasi pengeluaran atau ekstradisi mereka untuk
diadili. Isu-isu mengenai keadilan transisional menjadi pembangkit suatu titik nyala
api yang tinggi di berbagai negara yang baru bangkit dari represi politik, sejarahsejarah kelam dimasa rezim sebelumnya

2. Hukum Internasional dan Keadilan Retroaktif


Konsep penengah dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional.
Hukum internasional berguna untuk mengurangi dilemma dari aturan hukum yang
dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi
legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif (azas berlaku
surut).
3. Keadilan Retrospektif di Belgia, Perancis, dan Belanda
Menurut

Lawrence

Weschler

dalam

bukunya

yang

membahas

mengenai

penyelesaian masalah dengan para penyiksa adalah secara retrospektive, penyiaran


kebenaran sampai kepada tahap tertentu untuk menebus penderitaan korban bekas
suatu rezim. Sedikitnya, sampai pada batas tertentu ini adalah untuk menjawab dan
menghargai para korban tersebut, yang merupakan pembuktian terbalik bagi para
penyiksa yang berpura-pura untuk menuntut sesuatu. Secara prospektif, penyiaran

kebenaran menggunakan banyak cara yang halus dalam hal menuntut para pelaku
kejahatan kemanusiaan. Untuk itu hal tersebut adalah struktur pokok dari
penyiksaan bahwa itu terjadi secara rahasia, di dalam kegelapan, merupakan
ganjaran untuk membuat perhitungan dengan membuat malu para pelaku dan para
penyiksa tersebut perlu diperlakukan seperti itu dan dengan tidak seorangpun akan
pernah tahu; jika tidak seluruh pernyataan yang mendasari penalaran memberikan
kontribusi miliknya akan dengan cepat masuk ke dalam pertanyaan.
4. UU Lustrasi Cekoslovakia
Rezim komunis di Cekoslovakia memaksakan suatu sistem pemerintahan yang
sama dengan Uni Soviet dimana partai melakukan kontrol terhadap negara. Pada
tahun

1950-an,

kelompok

Nasionalis

Borjuis

membersihkan

pemerintahan

negaranya dari komunis dan para pengikutnya, tahanan politik dipenjara dan
dipekerjakan di kamp-kamp perburuhan dan sisanya ada yang dibunuh oleh
kekuatan pemerintah yang berkuasa.
Proses transisi di negara ini menggunakan sistem Uni Soviet juga. Namun,
perekonomian ambruk lalu program ekonomi yang barupun didiskusikan. Lalu pada
Januari 1968 terjadilah reformasi demokrasi dan ekonomi tapi usaha tersebut sia-sia
dikarenakan Cekoslovakia kembali diduduki oleh rezim komunis yaitu Uni Soviet,
Jerman Timur, Hongaria, Polandia, dan Bulgaria yang menginvasi mereka. Paham
komunis kembali diberlakukan di negara tersebut.
Hal tersebut mengakibatkan munculnya pemerintahan baru yang dengan cepat
melawan warisan-warisan ketidakadilan dari rezim komunis. Pada tanggal 4 Oktober
1991 diberlakukanlah Law on Lustration. Yang bertujuan untuk mengungkapkan
kasus 100,000 (seratus ribu) tahanan politik yang diidentifikasikan komunis dan
memberikan amnesti kepada 200,000 (dua ratus ribu) orang lainnya.

Law on Lustration selanjutnya di review kembali di Mahkamah Konstitusi


Cekoslovakia atas kritikan dari ILO (International Labor Organization) karena telah
melanggar undang-undang tersebut.
Dalam hal lustrasi ini Uhde menyatakan bahwa tingkat pelanggaran dan kejahatan
yang telah dilakukan melawan hak, hak azasi manusia, dan kehidupan menjadi lebih
tinggi dari pada beberapa hukum yang akan menyelesaikannya.

Anda mungkin juga menyukai