Anda di halaman 1dari 19

BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

REFARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

MARET 2016

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR

PELECEHAN SEKSUAL (KASUS ASUSILA)

Oleh:
DEVI RATNA PRATIWI
10542015510

PEMBIMBING :

Dr. Eko Yunianto, MH. Kes, Sp.F


DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
MAKASSAR
2016

BAB I
PENDAHULUAN
Di zaman era globalisasi ini banyak sekali munculnya remaja yang melakukan perilaku
menyimpang terhadap orang lain dengan lebih variatif dan memprihatinkan. Jika perilaku remaja
pada zaman dahulu hanya menyebabkan terjadinya senyuman bagi mereka yang melihatnya,
tetapi kini mereka mengekpresikannya dengan perilaku yang tidak disukai oleh banyak orang
yang melihatnya. Betapa tidak, perilaku remaja kini telah bergeser kepada tindakan perilaku
yang menyimpang dan mengancam taraf keselamatan, ketentraman, dan kenyamanan hidup
masyarakat. Kita tahu, bahwa persoalan anak adalah persoalan orangtua dan persoalan keluarga.
Sebagai salah satu contoh adalah bentuk perilaku yang dilakukan oleh remaja yang melakukan
pelecehan seksual. Dimana kejadian pelecehan seksual yang dilakukan oleh remaja itu terjadi
dan hal yang umum yang sering kita jumpai yang ada di sekeliling kita. Pelecehan seksual juga
suatu bentuk perilaku yang memberikan dampak yang tidak menyenangkan terhadap korban
yang mendapatkan perlakuan tersebut. Banyak kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh
remaja mulai dari yang sekedar gurauan yang bersifat seksual yang tidak diinginkan sampai
tindakan yang hampir menjurus ke pemerkosaan. Kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan
oleh remaja terhadap perempuan antara lain gurauan yang bersifat seksual seperti meraba-raba
tubuh si korban, sampai dengan tindakan-tindakan yang melecehkan orang lain yang
menyangkut tentang perendahan harkat dan martabat orang lain. Padahal dampak yang
dihasilkan sama, meski mungkin dalam kadar yang berbeda. Hampir setiap hari jenis dari kasus
pelecehan seksual terjadi, survei yang dilakukan oleh survey Alfred Marks (dalam Collier, 1992)
menunjukan bahwa 62% pelaku pelecehan seksual adalah laki-laki, dan hampir semua

perempuan mengaku pernah mendapatkan pengalaman pelecehan seksual dari laki-laki. Menurut
Red Magazine (tanpa tahun) mengatakan bahwa 90% dari korban perempuan maupun laki-laki
pernah mendapatkan pelecehan seksual ditempat umum.
Menurut Collier (1992) biasanya yang merupakan pelaku dari pelecehan seksual adalah
laki-laki yang mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan mempunyai harga diri (self esteem)
yang rendah. Hal ini dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau menganggap dirinya
lebih berkuasa daripada yang dilecehkan, sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. Pelecehan
seksual lebih sering terjadi sebagai kasus yang dilakukan sekelompok orang terhadap korbannya.
Yang terjadi pada kaum perempuan di masyarakat Indonesia secara umum adalah si pelaku
belum mengenal korbanya dan lebih sering terjadi di tempat-tempat umum seperti pasar, pusat
pembelanjaan, pemberhentian bus (halte bus), didalam kendaraan angkutan umum, gedung
bioskop atau sering pula terjadi di jalan umum dimana banyak laki-laki sedang bergerombol dan
duduk-duduk.
Pelecehan seksual merupakan komentar verbal, gerakan tubuh atau kontak fisik yang
bersifat seksual yang dilakukan seseorang dengan sengaja, dan tidak dikehendaki atau tidak
diharapkan oleh target. Menurut Woodrum (dalam Collier, 1992) pelecehan seksual juga dapat
terjadi dan dialami oleh perempuan. Sedangkan menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi
(2001) pelecehan seksual dapat diartikan sebagai jenis tindakan seksual yang tidak diundang dan
tidak dikehendaki oleh korbannya dan menimbulkan perasaan tidak suka. Bentuk tindakan
seksual itu dapat berupa menyiuli perempuan di jalanan, menceritakan lelucon kotor pada
seseorang yang merendahkan derajatnya hingga tindakan tidak senonoh seperti memamerkan
tubuh atau alat kelamin terhadap orang lain.

Pelecehan seksual itu dapat dikatakan sebagai perbuatan segala bentuk perilaku yang
melecehkan atau merendahkan martabat yang berhubungan dengan dorongan seksual, merugikan
atau membuat tidak senang pada orang yang dikenai perlakuan itu, atau bisa juga dikatakan
setiap perbuatan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau
menempatkan sesorang sebagai obyek perhatian seksual yang tidak di inginkannya. Sebagai
contoh, pelecehan seksual yang terjadi tidak hanya merugikan korbannya saja tetapi juga
menimbulkan dampak dari si pelaku. Akibat dari tindakan dan perbuatan dari pelaku pelecehan
seksual remaja itu bukan saja mengenai dirinya sendiri yang menjadi pelaku pelecehan seksual,
tetapi juga melibatkan keluarga, masyarakat dan kehidupan pada umumnya. Pelecehan seksual
juga dapat diperiksa yang melibatkan adanya gejala-gejala pendidikan, psikologis dan fisik yang
berkaitan dengan kesehatan (Rumini & Sundari, 2004). Para remaja yang melakukan pelecehan
seksual pada umumnya kurang memiliki kontrol diri tersebut, dan suka menegakkan standar
tingkah laku sendiri. Pelecehan seksual pada pelaku remaja yang mereka lakukan pada umumnya
disertai dengan unsur-unsur mental dengan motif-motif subjektif yaitu untuk mencapai objek
tertentu yang disertai dengan kekerasan dan agresi (Basri, 1994).
Menurut Collier (1992) mengingat amat banyaknya faktor penyebab pelecehan seksual
yang diambil dari pelecehan seksual, dapat dikatakan bahwa awal mulanya terjadinya remaja
melakukan pelecehan seksual yaitu disebabkan karena adanya rasa traumatis yang mendalam
didalam diri remaja itu sendiri, dan juga terhadap orang lain yang telah melakukan perbuatan
pelecehan seksual tersebut terhadap remaja itu sendiri.. Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa pelaku remaja pelecehan seksual adalah remaja yang melakukan pelecehan seksual dalam
bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak diharapkan
oleh orang lain yang menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas perilaku

tersebut yang dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.
Pelecehan seksual itu sendiri merupakan perilaku atau tindakan yang mengganggu,
menjengkelkan, dan tidak diundang yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang terhadap
pihak lain yang berkaitan langsung dengan jenis kelamin yang diganggunya dan dirasakan
menurunkan martabat dan harkat diri orang yang diganggunya. Pelecehan seksual juga bertindak
sebagai tindakan yang bersifat seksual atau kecenderungan bertindak seksual yang bersifat non
fisik (kata-kata, bahasa, gambar) atau fisik (gerakan kasat mata dengan memegang, menyentuh,
meraba, atau mencium) yang dilakukan seorang laki-laki terhadap perempuan.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pelecehan Seksual
1. Pengertian Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1992) pelecehan seksual secara Etiologi dapat diartikan sebagai segala
macam bentuk perilaku yang berkonotasi seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak
diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, dan penolakan atau penerimaan korban atas
perilaku tersebut dijadikan sebagai bahan pertimbangan baik secara implisit maupun eksplisit.
Pelecehan seksual sebenarnya adalah suatu istilah yang diciptakan sebagai padanan apa
yang didalam Bahasa Inggris disebut dengan Sexual Harassement. Menurut Collier (1992) di
dalam Kamus Bahasa Indonesia, pelecehan berasal dari kata Leceh yang artinya adalah suatu
penghinaan atau peremehan. Dihubungkan dengan kata seksual, maka perbuatan Harassing
atau pelecehan itu berkaitan dengan perilaku atau pola perilaku (normatif atau tak normatif) yang
berkaitan dengan jenis kelamin. Karena kata Harass atau pelecehan itu dikonotasikan dengan
perilaku seksual yang dinilai negatif dan menyalahi standar. Maka perbincangan tentang
pelecehan seksual ini ditinjau dari perspektif sosial budaya adalah untuk menentukan tolok ukur
standar, tidak hanya relevan tetapi juga menarik. Dalam setiap perilaku pelecehan seksual selalu
terkandung makna yang dinilai negatif, dan yang karena itu mengandung reaksi serta sanksi ialah
bahwasanya seks itu boleh dimaknakan sebagai sarana pemuas nafsu dan lawan seks itu boleh
dimaknakan sebagai obyek instrumental guna pemuas nafsu seksual itu. Pelecehan seksual secara
umum menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) adalah segala macam bentuk

perilaku yang berkonotasi atau mengarah kepada hal-hal seksual yang dilakukan secara sepihak
dan tidak diharapkan oleh orang yang menjadi sasaran, sehingga menimbulkan reaksi negatif
seperti malu, marah, benci, tersinggung, dan sebagainya pada diri individu yang menjadi korban
pelecehan tersebut. Sedangkan secara operasional, pelecehan seksual di definisikan berdasarkan
hukum sebagai adanya bentuk dari diskriminasi seksual (Guntoro Utamadi & Paramitha
Utamadhi, 2001). Menurut Collier (1992) pengertian pelecehan seksual disini merupakan segala
bentuk perilaku bersifat seksual yang tidak diinginkan oleh yang mendapat perlakuan tersebut,
dan pelecehan seksual yang dapat terjadi atau di alami oleh semua perempuan. Sedangkan
menurut Rubenstein (dalam collier, 1992) pelecehan seksual sebagai sifat perilaku seksual yang
tidak diinginkan atau tindakan yang didasarkan pada seks yang menyinggung penerima.
Pelecehan seksual adalah segala bentuk perilaku yang melecehkan atau merendahkan yang
berhubungan dengan dorongan seksual, yang merugikan atau membuat tidak senang pada orang
yang dikenai perlakuan itu. Atau bisa juga diartikan setiap perbuatan yang memaksa seseorang
terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian
seksual yang tidak diinginkannya. Pada dasarnya perbuatan itu dipahami sebagai merendahkan
dan menghinakan pihak yang dilecehkan sebagai manusia (Guntoro Utamadi & Paramitha
Utamadhi, 2001).
2. Bentuk-Bentuk Pelecehan Seksual
Pelecehan seksual mencakup perilaku menetap, berbicara mengenai seksualitas,
menyentuh tubuh perempuan, mencoba memaksa perempuan untuk melakukan tindakan seksual
yang tidak diinginkan, mengajak kencan berulang kali hingga sampai dengan pemerkosaan
(Matlin, 1987). Selain itu secara lebih jelas, bentuk-bentuk yang dianggap sebagai pelecehan
seksual (Collier, 1992) adalah sebagai berikut :

a. Menggoda atau menarik perhatian lawan jenis dengan siulan.


b. Menceritakan lelucon jorok atau kotor kepada seseorang yang merasakannya sebagai
merendahkan martabat.
c. Mempertunjukan gambar-gambar porno berupa kalender, majalah, atau buku bergambar
porno kepada orang yang tidak menyukainya.
d. Memberikan komentar yang tidak senonoh kepada penampilan, pakaian, atau gaya
seseorang.
e. Menyentuh, menyubit, menepuk tanpa dikehendaki, mencium dan memeluk seseorang
yang tidak menyukai pelukan tersebut.
f. Perbuatan memamerkan tubuh atau alat kelamin kepada orang yang terhina karenanya.
Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) membagi kategori pelecehan seksual
yang dipakai dalam dasar pengukuran dalam Sexual Experience Questionnaire (SEQ), yaitu
dalam bentuk yang lebih tersistematis :
a. Gender Harassment yaitu pernyataan atau tingkah laku yang bersifat merendahkan
berdasarkan jenis kelamin.
b. Seductive Behaviour yaitu permintaan seksual tanpa ancaman, rayuan yang bersifat tidak
senonoh atau merendahkan.
c. Sexual Bribery yaitu penyuapan untuk melakukan hal yang berbau seksual dengan
memberikan janji akan suatu ganjaran.

d. Sexual Coercion yaitu tekanan yang disertai dengan ancaman untuk melakukan hal-hal
yang bersifat seksual.
e. Sexual Assault yaitu serangan atau paksaan yang bersifat seksual, gangguan seksual yang
terang-terangan atau kasar.
Sedangkan Kelly (1988) membaginya dalam bentuk pelecehan seksual yang dapat dilihat
sebagai berikut:
a. Bentuk Visual : tatapan yang penuh nafsu, tatapan yang mengancam, gerakgerik yang
bersifat seksual.
b. Bentuk Verbal : siulan-siulan, gosip, gurauan seksual, pernyataanpernyataan yang bersifat
mengancam (baik secara langsung maupun tersirat).
c. Bentuk Fisik : menyentuh, mencubit, menepuk-nepuk, menyenggol dengan sengaja,
meremas, mendekatkan diri tanpa diinginkan.
Menurut Guntoro Utamadi & Paramitha Utamadi (2001) ciri-ciri utama yang
membedakan pelecehan seksual adalah sebagai berikut :
a. Tidak dikehendaki oleh individu yang menjadi sasaran.
b. Seringkali dilakukan dengan disertai janji, iming-iming ataupun ancaman.
c. Tanggapan (menolak atau menerima terhadap tindakan sepihak tersebut dijadikan
pertimbangan dalam penentuan karir atau pekerjaan.

d. Dampak dari tindakan sepihak tersebut menimbulkan berbagai gejolak psikologis,


diantarannya : malu, marah, benci, dendam, hilangnya rasa aman dan nyaman dalam bekerja,
dan sebagainya.
3. Penyebab Pelecehan Seksual Secara umum tentang asal penyebab pelecehan seksual
menurut Collier (1992) dibagi menjadi lima bagian, yaitu :
a. Pengalaman pelecehan seksual dari faktor biologik. Dikarenakan melihat kecenderungan
biologiknya, bahwa lelaki itu berperilaku sebagai seks yang aktif-ofensif (dalam fungsi
reproduktifnya untuk mencari dan membuahi lewat suatu aktivitas yang relative cuma sesaat)
dan perempuan itu pelaku seks yang pasif-defensif (dalam fungsi reproduktifnya untuk
menunggu, dan selanjutnya menumbuh kembangkan kehidupan baru didalam rahim dan
dipangkuannya lewat suatu aktivitas dan proses yang berjangka panjang). Oleh karena itu, dalam
kasus pelecehan seksual bolehlah diduga bahwa lelaki itulah yang berkemungkinan lebih besar
sebagai pelaku jahatnya. Sedangkan perempuan itulah yang lebih berkemungkinan untuk
diposisikan sebagai korbannya. Selain itu, atribut pelecehan seksual terhadap perempuan
merupakan kelemahan laki-laki dalam mengontrol dorongan alamiahnya tersebut. Lakilaki
melakukan pelecehan seksual untuk memenuhi kebutuhannya sendiri yaitu melakukan
rangsangan erotis untuk menutupi dan mengatasi kelemahannya. Ketidakmampuannya dalam
menahan keinginan dan dorongan-dorongan seksualnya sendiri yang diungkapkan melalui
pelecehan seksual.
b. Peristiwa pelecehan seksual dari faktor sosial budaya
Pada garis besarnya, masyarakat Indonesia yang sarat dengan berbagai etnis terbagi
dalam dua garis besar sistem kekeluargaan, yakni berdasarkan garis ibu (Matrilineal) dan garis

bapak (Patrilineal). Akan tetapi, pada umumnya garis yang dianut oleh masyarakat Indonesia
adalah berdasarkan garis bapak (Patrilineal). Hal tersebut disadari atau tidak, seakan akan telah
mendominasi pola kehidupan dalam masyarakat. Pola kehidupan sosial budaya yang dijalani
seseorang semenjak kecil dalam etnis keluarganya, tanpa disadari sedikit banyak berpengaruh
terhadap pola tingkah laku seseorang kemudian dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya realita
bahwa fisik lelaki lebih kuat daripada perempuan telah turut mempengaruhi pola pikir, sikap dan
tingkah laku lelaki terhadap perempuan dan sebaliknya. Selain itu, budaya pun mempengaruhi
perlakuan seksualitas yang memungkinkan pelecehan seksual terjadi. Hal ini berdasarkan peran
jenis kelamin atau social-role stereotype, dimana dengan kebudayaan Indonesia yang partiakal
tersebut menempatkan laki-laki pada posisi superordinat dan perempuan dalam posisi subordinat.
Hal ini lebih memungkinkan timbulnya pelecehan (perendahan secara harkat dan martabat)
sampai timbulnya pelecehan seksual.
c. Pengaruh pendidikan terhadap pelecehan seksual
Pendidikan dalam hal ini juga berpengaruh terhadap adanya pelecehan seksual. Hal ini,
khususnya di Indonesia, perempuan belum punya banyak kesempatan untuk menikmati jenjang
pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga belum mampu menolak perlakuan, sikap dan anggapan
yang diskriminatif terhadap dirinya. Kejadian ini terjadi, biasanya dengan keberadaan atau posisi
laki-laki sebagai atasan dan perempuan sebagai bawahannya. Dimana, perempuan dengan tingkat
pendidikan yang lebih rendah daripada laki-laki.
d. Keluarga dilihat dari faktor ekonomi
Pada masyarakat dengan tingkat kehidupan sosial ekonomi rendah, mobilitas (dalam
artian untuk kepentingan rekreasi) sangat rendah frekuensinya hingga realisasi mobilitas tersebut

terpaku pada lingkungannya saja. Hal mana mendorong budaya kekerasan sebagai jalan
keluarnya dan sasaran paling mudah adalah kaum perempuan. Hali ini dilakukan dengan
anggapan sebagai pelarian yang paling mudah mengingat adanya anggapan bahwa secara fisik
perempuan lemah. Apalagi adanya budaya kekerasan yang mendominir realitas kehidupan
sehari-hari, hingga kekuatan fisik atau jasmani, kekuatan kelompok merupakan symbol dan
status sosial dalam masyarakat tersebut dan hal mana berdampak pula terhadap pandangan,
anggapan serta sikap dalam mengartikan kehadiran kaum perempuan di lingkungan tersebut.
e. Timbulnya pelecehan seksual yang diambil dari faktor pembelajaran sosial dan motivasi.
Dengan adanya pengkondisisan tingkah laku yang dianggap disetujui secara sosila
budaya seperti yang telah dikemukakan diatas, maka pengkondisian tingkah laku tersebut
dianggap disetujui untuk tetap dilakukan dalam masyarakat. Hal ini mengingat bahwa hukum
yang menindak dengan tegas kasus-kasus pelecehan seksual belum juga sempurna, malah
memperkuat dan menegaskan bagi timbulnya pelecehan seksual. Selain itu, seseorang selalu
belajar dari lingkungan di sekitarnya dan apabila hal ini dipertegas dari hasil observasinya, maka
kecenderungan tingkah laku ini akan terus berulang. Dalam beberapa kasus, pelecehan seksual
dilakukan agar laki-laki tetap menempati posisinya. Hal ini di dorong oleh motif ekonominya.
4. Pelaku Pelecehan Seksual
Biasanya yang merupakan pelaku dari pelecehan seksual adalah laki-laki yang
mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dan yang mempunyai harga diri (self esteem) yang
rendah. Hal ini dilakukan dengan menyalahgunakan kekuasaan atau menganggap dirinya lebih
berkuasa daripada yang dilecehkan, sehingga dapat meningkatkan harga dirinya. Pelecehan
seksual lebih sering terjadi sebagai kasus yang dilakukan sekelompok orang terhadap korbannya.

Yang terjadi pada kaum perempuan di masyarakat Indonesia secara umum adalah si pelaku
belum mengenal korbannya dan lebih sering terjadi ditemapt-tempat umum seperti pasar, pusat
pembelanjaan, pemberhentian bus, di dalam kendaraan angkutan umum, gedung bioskop atau
sering pula terjadi di jalan umum dimana banyak laki-laki bergerombol duduk-duduk.
Pelaku pelecehan seksual menurut Collier (1992) terbagi dalam :
a. Normal dari sisi kejiwaan, karena baru berani melakukan pelecehan seksual apabila
beramai-ramai dan tidak punya keberanian mental apabila sendirian.
b. Abnormal atau mempunyai kelainan kejiwaan dari sisi kejiwaan, karena berani
melakukan tindak pelecehan walaupun hanya seorang diri yang biasannya dalam
golongan ini tindak pelecehan yang dilakukannya langsung mengarah pada masalah
seksualitas dan bahkan berani melakukan pelecehan secara fisik seperti memegangmegang bagian terlarang dari tubuh perempuan atau memperlihatkan secara fisik bagian
terlarang dari dirinya (si pelaku) terhadap perempuan yang menjadi sasaran
pelecehannya.
5. Respon Terhadap Pelecehan Seksual
Seperti yang dikemukakan oleh Collier (1992), yang biasanya dilakukan sebagai respon
terhadap pelecehan seksual meliputi :
a. Strategi yang Terfokus Secara Internal
1) Menjaga jarak (detachment) yaitu seseorang yang menggunakan strategi memisah
atau menjaga jarak, termasuk dengan meminimalisasi situasi, menganggapnya sebagai

lelucon, menceritakan kepada diri sendiri sebagai hal yang tidak penting, dan
sebagainya.
2) Menyangkal (denial) yaitu seseorang menyangkal pelecehan yang terjadi,
menganggapnya tidak ada atau tidak menghiraukannya, dan menganggap tidak mau
melanjutkannya dan berusaha melupakannya.
3) Pemberian nama ulang (relabeling) yaitu seseorang menilai ulang situasi sebagai hal
yang kurang mengancam, memaafkan peleceh atau menginterprestasikan tingkah laku
tersebut sebagai menggoda. Misalnya : dia tidak bermaksud mengecewakan saya.
4) Ilusi pengendalian (illusory control), yaitu seseorang berusaha untuk mengontrol
dengan mengambil tanggung jawab terhadap kejadian dengan memberikan atribusi
pelecehan kepada tingkah lakunya sendiri.
5) Menyerah (endurance), yaitu secara esensial, seseorang tidak melakukan apa-apa, dia
menyerah terhadap tingkah laku tersebut; baik dengan rasa takut (terhadap rasa sakit,
menyakiti peleceh, tidak percaya, merasa bersalah, atau malu) atau karena dia percaya
bahwa tak ada sumber yang tersedia untuk dimintai tolong.
b. Strategi yang Terfokus secara Eksternal
1) Menjauh (avoidance), yaitu seseorang berusaha untuk menghindari situasi dengan
menjauh dari pelaku pelecehan (misalkan, keluar kelas, ganti guru, berhenti kerja, dan
lain-lain)

2) Melakukan asertivitas atau konfrontasi (assertion/confrontation), yaitu seseorang


menolak ancaman seksual atau sosial tersebut. Secara verbal melakukan konfrontasi
terhadap peleceh atau membuat tingkah laku tersebut tidak diterima.
3) Mencari institusi atau organisasi yang dapat menangani (seeking institutional or
ganizational relief), yaitu seseorang melaporkan kejadian, mengkonsultasikannya dengan
bantuan administrator, dan berkas pertentangan/perlawanan.
4) Mendapatkan dukungan sosial (social support), yaitu seseorang mencari dukungan dari
orang-orag yang signifikan, mencari validasi dari persepsinya, atau pengetahuan dari
kenyataan yang ada.
5) Mendapatkan kesepakatan (appeasement), yaitu seseorang erusaha untuk mendapat
kesepakatan, tanpa konfrontasi atau asertivitas. Dia memaafkannya atau berusaha tidak
marah terhadap pelaku pelecehan.
6. Dampak Psikologis Pelecehan Seksual
Menurut Collier (1992), dampak-dampak psikologis pelecehan seksual tergantung pada :
a. Frekuensi terjadi pelecehan : semakin sering terjadi, semakin dalam pula luka yang
ditimbulkan.
b. Parah tidaknya (halus atau kasar, taraf) : semakin parah tindak pelecehan seksual dan
semakin tindakan tersebut menghina martabat dan integritas seseorang, semakin dalam
pula luka yang ditimbulkan, apalagi jika menyangkut keluarga korban.

c. Apakah secara fisik juga mengancam atau hanya verbal : semakin tindakan pelecehan
ini dirasakan mengancam korban secara fisik, lebih dalam dampak dan luka yang
ditimbulkan. Bila pelecehan seksual dilakukan dengan ancaman pemecatan dan korban
tidak yakin mampu menemukan pekerjaan lain, maka dampak psikologis akan lebih
besar.
d. Apakah menggangu kinerja pekerja : bila ya, maka akan disertai dengan rasa frustasi.
Ini tentunya juga tergantung seberapa parah dan jauh pelecehan itu mengganggu kinerja
korban. Semakin parah gangguan yang dialaminya, semakin tinggi taraf frustasi dan
semakin parah kerusakan psikologisnya.
Secara umum, menurut Kelly (1998) dampak utama psikologis pelecehan seksual yang
paling sering tampil adalah:
a. Jengkel, senewen, marah, stress hingga breakdown
b. Ketakutan, frustasi, rasa tidak berdaya dan menarik diri
c. Kehilangan rasa percaya diri
d. Merasa berdosa atau merasa dirinya sebagai penyebab
e. Kebencian pribadi hingga generalisasi kebencian pada pelaku atau mereka dari jenis
kelamin yang sama dengan pelaku.
Menurut Rumini & Sundari (2004) wanita yang mengalami pelecehan seksual dapat
mengalami akibat fisik seperti gangguan perut, nyeri tulang belakang, gangguan makan,
gangguan tidur rasa cemas dan mudah marah

Sedangkan akibat psikologis ynag dirasakan antara lain adalah perasaan terhina, terancam
dan tidak berdaya. Hasil ini diperkiat oleh penelitian Goodman (dalam Rumini & Sundari, 2004)
yang menyatakan bahwa wanita korban pelecehan seksual sebagian besar mengalami simtomsimtom fisik dan stress emosional. Beberapa peneliti mencoba menyimpulkan akibat dari
pelecehan seksual pada kehidupan perempuan dan kesejahteraannya dapat diperiksa dari tiga
perspektif utama yaitu yang berkaitan dengan pekerjaan atau pendidikan, faktor psikologis dan
fisik yang berkaitan dengan masalah kesehatan (Basri, 1994).

DAFTAR PUSTAKA
Agustiani (2006). Psikologi Perkembangan : Pendekatan Ekologi Dengan Konsep Diri dan
Penyesuain Diri Pada Remaja. Cetakan Pertama. Bandung : PT. Refika Aditama.
Basri, H (1994). Remaja Berkualitas : Problematika Remaja dan Solusinya. Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
Basuki, H. 2006. Penelitian Kualitatif Untuk Ilmu-ilmu Kemanusiaan Dalam Kebudayaan.
Jakarta : Universitas Gunadarma
Chaplin, C.P (2000). Kamus lengkap Psikologi. Penerjemah : Kartini Kartono. Jakarta : Raja
grafindo. Collier, Rohan (1992). Pelecehan SeksuaL : Hubungan Dominasi Mayoritas dan
Minoritas. Yogyakarta : PT. Tiara Wacana.
Ester (2002). Psikologi Remaja. Gulo, W (2000). Metodologi Penelitian. Jakarta : Grasindo
Hurlock, E.B (2000). Psikologi Perkembangan. Edisi 5. Jakarta : Erlangga
Kartini, K (1990). Pengantar Metodologi Penelitian Riset Sosial. Cetakan ke 6. Bandung :
Mandar Maju. Kelly, Liz (1988). Surviving Sexsual Violence. Minneapolis : University of
Minnesota Press. Maaruf, N (1998). Disonasi Kognitif Pada Remaja Putri Pelaku Hubungan
Seksual Pranikah. Depok : Psikologi Universitas Indonesia
Martlin, M.W (1987). The Psychology of Women. Florida : Holt, Rinehort and Wiston Inc. 98
Moleong, L.J (2002). Metode Pendekatan Kualitatif. Bandung : Remaja Rodaskarya.

Monks, K.J (2002). Psikologi Perkembangan. Yogyakarta : Gajah Mada. University Press.
Muchtar, Z (1996). Perubahan Hemodinamik dan Terapi Hipertensi Dari Aspek Kardiovaskular /
Penyunting. Edisi 1, Cetakan 1. Jakarta : Bamboedoen Graphic Communication.
Narbuko, C. dan Ahmadi, H.A (2002). Meodologi Penelitian. Jakarta : Bumu Aksara.
Poerwandari, A.W., Brown. W.K (2002). Pendekatan Kualitatif Untuk Perilaku Manusia. Depok :
Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi Universitas Indonesia.
Rumini, S. dan Siti, S (2004). Perkembangan Anak dan Renaja : Buku Pegangan Kuliah. Cetakan
Pertama. Jakarta : PT. Rineka Cipta. Fakultas Ilmu Pendidikan. Universitas Yogyakarta.
Sarwono, S.W (2002). Psikologi Sosial : Individu dan Teori Psikologi Sosial. Jakarta : Balai
Pustaka. Utamadi, Guntoro dan Paramita Utamadi (2001). Pelecehan Seksual ? Hiiii Seraam !.
Kompas.
Zulkifli, L. (1999). Psikologi Perkembangan. Cetakan 2. Bandung : Remaja karya

Anda mungkin juga menyukai