Anda di halaman 1dari 11

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

Phebe Illenia S.
Woelan Handadari
Fakultas Psikologi Universitas Airlangga Surabaya

Abstract.
This research was aimed to discover how the healing process of sexual abuse victim from their
trauma. This research used qualitative approach with intrinsic case study. This research was
conducted by exploring the experience of two sexual abuse victims who have recovered from their
trauma. The researcher carried out depth interview as data collecting technique. Data were
analyzed by thematic analysis technique. The result showed that sexual abuse victims passed
through emotional process such as denial stage, angry stage, and depression stage, before finally
they reached the acceptance stage. On the healing process, sexual abuse victims suffered from
traumatic experiences such as feel profane the name of the family, feel shame, and feel dirty. They
also suffered from sleep disorder, easily suspicious, inadequate emotion, etc. As the healing
effort, they tried to consult their problem to psychologist and psychiatric, did meditation and
yoga exercise, shared story with friend, and joined with the spritual activity. Their supporting
factors were support from environment, religion faith, and personality characteristic.

Key words: self-healing, trauma, sexual abuse.


Abstrak.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana proses pemulihan diri korban kekerasan
seksual pulih dari trauma yang dialaminya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif
dengan metode studi kasus intrinsik. Penelitian ini dilakukan pada dua korban kekerasan
seksual yang telah pulih dari trauma mereka. Penggalian data dilakukan dengan teknik
wawancara mendalam. Data yang diperoleh dianalisis dengan analisis tematik. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa korban kekerasan seksual melewati tahap emosi seperti tahap
penyangkalan, tahap kemarahan, dan tahap depresi sebelum akhirnya mencapai tahap
penerimaan. Dalam proses pemulihan dirinya, korban kekerasan seksual mengalami
pengalaman traumatis seperti perasaan takut mencemarkan nama keluarga, perasaan aib, dan
perasaan kotor. Mereka juga mengalami gangguan tidur, sikap yang mudah curiga, emosi yang
tidak adekuat, dan sebagainya. Sebagai usaha memulihkan diri, mereka mencoba berkonsultasi
ke psikolog, psikiater, latihan meditasi dan yoga, bercerita kepada teman, dan mengikuti
kegiatan spiritual. Faktor yang mendukung mereka adalah dukungan lingkungan, keyakinan
agama, dan karakteristik kepribadian.

Kata kunci: pemulihan diri, trauma, korban kekerasan seksual.

Korespondensi: Woelan Handadari, Departemen Psikologi Klinis dan Kesehatan Mental Fakultas Psikologi Universitas
Airlangga Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks (031) 5025910, E-mail:
buwoelan@yahoo.com atau e-mail: phebeillenia@hotmail.com
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

118

Phebe Illenia S., Woelan Handadari

Ke ke ra s a n i n te r pe r s on a l , te r m a s u k
kekerasan fisik dan seksual, seperti pemerkosaan,
inses dan pembunuhan, sangat umum terjadi pada
wanita (Stenius & Veysey, 2005). Berdasarkan data
dari Pusat Krisis Terpadu PSCM, terdapat 1.200
kasus kekerasan seksual pada anak sejak Juni 2000
hingga 2005 (Zahra, 2007). Hasil studi di Jakarta
memperlihatkan bahwa setiap bulan sekitar 15
remaja putri menjadi korban perkosaan. Data
Komisi Nasional Perlindungan Anak juga
menunjukkan bahwa korban kekerasan terus naik
hingga mencapai 50 persen dan berdasarkan data
yang diperoleh dari LBH Apik, sepanjang 2005
yang lalu telah melakukan pendampingan hukum
terhadap 22 orang korban kekerasan seksual
(Awas, 2009, 28 Januari).
Kekerasan seksual cenderung menimbulkan
dampak traumatis baik pada anak maupun pada
orang dewasa (Faulkner, 2003 dalam Zahra, 2007).
Namun, kasus kekerasan seksual sering tidak
terungkap karena adanya penyangkalan peristiwa
kekerasan seksual (Zahra, 2007). Secara spesifik,
Faulkner (2003, dalam Zahra, 2007) menjelaskan
bahwa kendala yang menghambat seseorang
dalam melaporkan kasus kekerasan seksual adalah
anak-anak korban kekerasan seksual tidak
mengerti bahwa dirinya menjadi korban, korban
sulit mempercayai orang lain sehingga
merahasiakan peristiwa kekerasan seksualnya.
Selain itu, korban cenderung takut melaporkan
karena mereka merasa terancam akan mengalami
konsekuensi yang lebih buruk bila melapor,
korban merasa malu untuk menceritakan
peristiwa kekerasan seksualnya, korban merasa
bahwa peristiwa kekerasan seksual itu terjadi
karena kesalahan dirinya dan peristiwa kekerasan
seksual membuat korban merasa bahwa dirinya
mempermalukan nama keluarga.
Kekerasan seksual yang menimpa para
korban, terutama anak-anak dan wanita,
terkadang menjadi stressor yang tidak dapat
diatasi dan menimbulkan masalah di kemudian
hari, seperti menderita gangguan makan
(anoreksia atau bulimia), masalah seksual,
penganiayaan diri dan bunuh diri, gejala somatik,
kecemasan, hancurnya penghargaan diri, atau
depresi berkepanjangan (Knauer, 2002). Bahkan,
Fa u l k n e r ( 2 0 0 3 , d a l a m Z a h r a , 2 0 0 7 )
mengemukakan sejumlah data bahwa 31%
narapidana perempuan di Amerika merupakan

119

korban kekerasan seksual di masa kecil mereka,


95% pekerja seks remaja merupakan korban
kekerasan seksual anak, 40% penyerang seksual
dan 76% pemerkosa berantai mengalami
kekerasan seksual di masa anak-anaknya.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa 64% dari
140 wanita yang menjadi pasien rawat jalan
psikiatrik memiliki sejarah kekerasan seksual dan
dari 303 wanita yang mengalami depresi, 63%
mengalami kekerasan seksual dalam hidupnya
(Surrey, dkk., 1990; Scholle, dkk., 1998 dalam
Warshaw & Barnes, 2003). Sebagian besar korban
kekerasan seksual juga menderita stres pasca
trauma (post-traumatic stress disorder atau
PTSD).
PTSD merupakan sindrom kecemasan,
labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional,
dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih
itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan,
1998). PTSD sering terjadi pada korban
pengalaman traumatis, tidak terkecuali pada
korban kekerasan seksual. Korban membutuhkan
proses pemulihan dari PTSD agar kualitas
hidupnya dapat meningkat dan tidak terus
menerus menyesali kejadian traumatis tersebut.
Namun, penyembuhan PTSD sendiri tidak
mudah. Korban yang sembuh dari trauma tersebut
bukan berarti melupakan kejadian tersebut.
Ada orang-orang yang mampu memulihkan
dirinya dari trauma tersebut dan menjadi orang
yang berprestasi, misalnya Caroline Roberts yang
mengalami pelecehan seksual ketika berusia 13
tahun dan mengalami kekerasan seksual pada usia
17 tahun. Awalnya, dia terjerumus dalam narkoba
dan seks, namun pada akhirnya dia dapat berjuang
mengatasi traumanya dengan mendekatkan diri
pada Tuhan dan sebagai terapi, dia menulis buku
berjudul The Lost Girl yang menceritakan
tentang pengalaman traumatisnya (Roberts,
2007). Ada pula Somaly Mam (penulis buku The
Road of Lost Innocence, penerima Anugerah
Penghargaan Wanita tahun 2006, presiden
AFESIP, presiden Yayasan Somaly Mam dan
penerima Anugerah Penghargaan Anak-Anak
Dunia untuk Hak-Hak Anak tahun 2008 yang
pernah mengalami kekerasan seksual pada usia 12
tahun dan dijual sebagai PSK oleh kakek
angkatnya) (Mam, 2005).
Selain wanita, ada pula contoh korban
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

kekerasan seksual yang terjadi pada pria dan telah


pulih dari trauma kekerasan seksual yang
dialaminya yaitu Greg LeMond (pemenang Tour
de France tiga kali yang pernah mengalami
kekerasan seksual pada usia 12 tahun dan penulis
buku Playing with Fire) dan Theoren Fleury
(bintang hoki NHL dan pemenang medali emas di
Olimpiade yang mengalami kekerasan seksual di
usia 13-14 tahun) (Gillis, 2009; Ruibal, 2009).
Dari contoh-contoh di atas, maka dapat
dilihat bahwa baik wanita maupun pria dapat
mengalami kekerasan seksual dan dampaknya pun
sama yaitu trauma. Namun, keduanya pun samasama dapat memulihkan diri dari trauma
kekerasan seksual yang dialami. Ada banyak faktor
yang membantu proses pemulihan diri
diantaranya dukungan dari orang sekitar, konsep
diri sebelumnya, kekuatan personal dan
penyembuhan profesional dari sistem hukum dan
medis (Dunmore, dkk., 1999 dalam ChiversWilson, 2006). Ada pula terapi yang biasa
digunakan untuk PTSD yaitu cognitive-behavioral
therapy (CBT), exposure techniques, somatic
experiencing, sensorimotor therapy, craniosacral
therapy, eye movement desensitization and
reprocessing (EMDR) (Pratt, 2010).
Me n u r u t p e n e l i t i a n P r i ge r s o n d a n
Maciejewski (2008), tahapan pemulihan diri
Kubler-Ross (1969) adalah lima tahap kesedihan
yang umum digunakan sebagai teori pemulihan
diri dari segala hal yang berhubungan dengan rasa
kehilangan, misalnya kehilangan seseorang yang
dicintai, kehilangan kepercayaan, dan kehilangan
pekerjaan. Namun, teori ini juga digunakan dalam
proses pemulihan diri dari perselingkuhan dan
kecanduan (Prigerson dalam Kotulak, 2007).
Sanders (2002) juga mengatakan tentang
penggunaan teori Kubler-Ross (1969) tersebut
dalam memulihkan seseorang dari adiksi yang
diakibatkan banyak hal, termasuk trauma
kekerasan seksual. Ada pula penelitian Rasmussen
(2007) tentang penggunaan TOPA (trauma
outcome process) sebagai cara menangani remaja
yang pernah mengalami kekerasan seksual.
Rasmussen (2007) menggunakan teori KublerRoss (1969) sebagai salah satu dasar model TOPA.
Karena beberapa alasan di atas, maka penulis
memilih menggunakan teori Kubler-Ross (1969)
sebagai model pemulihan diri korban kekerasan
seksual.
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Menurut Kubler-Ross (1969) ada lima yaitu


tahap penyangkalan (subyek merasa tidak percaya
tentang apa yang terjadi padanya), tahap
kemarahan (subyek mengalami perasaan marah
karena peristiwa tersebut terjadi pada dirinya),
tahap bargaining (subyek melakukan banyak hal
yang kurang rasional agar tidak terjadi hal yang
sama), tahap depresi (subyek kehilangan gairah
hidup, merasa sedih dan seringkali tidak nafsu
makan), dan tahap penerimaan (subyek menerima
apa yang terjadi pada dirinya secara intelektual
dan emosional. Perkembangan hidupnya pun
lebih positif ). Tahapan pemulihan diri yang
dialami setiap korban kekerasan seksual ini
berbeda-beda, begitupun dengan waktu yang
dibutuhkan untuk pulih dari trauma kekerasan
seksual yang dialaminya. Contohnya, Caroline
Roberts membutuhkan waktu sekitar 20 tahun
untuk dapat pulih dari traumanya (Roberts, 2007).
Berbeda dengan Somaly Mam yang membutuhkan
waktu sekitar 16 tahun untuk pulih dari trauma
kekerasan seksual yang menimpanya (Mam,
2005).
Di luar negeri, penelitian dengan tema yang
sama telah banyak dilakukan, namun di Indonesia
sendiri, penulis jarang menemukan penelitian
dengan tema pemulihan diri, terutama pemulihan
diri dari trauma kekerasan seksual. Penulis justru
menemukan bahwa ada orang yang bunuh diri
karena diperkosa dan orang yang terjerumus
menjadi PSK karena pernah mengalami kekerasan
s e k s u a l ( A i d a, 2 0 1 0 ; H a m i l , 2 0 1 0 ;
Setyorakhmadi, 2010). Ada penelitian Ginanjar
(2009) tentang proses pemulihan diri, namun
partisipannya adalah istri yang suaminya
berselingkuh, bukan korban kekerasan seksual.
Penelitian ini mengulang tema sebelumnya
dengan konteks berbeda yaitu pemulihan diri pada
korban kekerasan seksual.
Penelitian Baumann (2007) mengangkat
pemulihan diri dari kekerasan sebagai tema,
namun yang lebih ditekankan adalah
perbandingan tiga cara pemulihan diri. Pada
penelitian ini, tema yang akan diangkat adalah apa
saja yang dilakukan subjek sehingga dapat pulih
dari traumanya.
Dalam penelitian Moody (1999) yang
menjadi tema bukanlah proses pemulihan diri,
melainkan segala hal tentang pria korban
kekerasan seksual, mulai dari efek psikologis, efek

120

Phebe Illenia S., Woelan Handadari

fisik hingga intervensi dari layanan sosial. Begitu


pula dengan penelitian Lisak (1994) yang bertema
efek psikologis kekerasan seksual saja.
Hal ini menyebabkan penulis ingin
mengetahui bagaimana seseorang dapat pulih dari
trauma kekerasan seksual yang menimpanya,
mengetahui secara lebih mendalam perasaan apa
saja yang mereka rasakan dan usaha apa saja yang
telah dilakukan sehingga bisa pulih dari trauma
kekerasan seksual yang dialaminya. Hasil ini
diharapkan dapat memberi informasi dan manfaat
bagi korban yang memiliki masalah sama.

Kekerasan Seksual, PTSD dan Pemulihan


Diri
Kekerasan seksual sangat sering terdengar
dalam kehidupan kita, baik di koran maupun di
televisi. Hal ini sangat umum terjadi pada wanita
(Salasin & Rich, 1993 dalam Stenius & Veysey,
2005). Pria pun dapat menjadi korban kekerasan
seksual, tidak hanya wanita saja. Karena
banyaknya kasus kekerasan seksual, hal ini perlu
diperhatikan baik oleh orangtua maupun
masyarakat.
Menurut Supardi dan Sadarjoen (2006),
kekerasan seksual adalah setiap bentuk perilaku
yang memiliki muatan seksual yang dilakukan
seseorang atau sejumlah orang namun tidak
disukai dan tidak diharapkan oleh orang yang
menjadi sasaran sehingga menimbulkan akibat
negatif, seperti rasa malu, tersinggung, terhina,
marah, kehilangan harga diri, dan kehilangan
kesucian. Kekerasan seksual mencakup tindakan
pemaksaan hubungan seksual hingga kontak
nonfisik, misalnya mempertontonkan adegan
seksual atau mempertontonkan alat kelamin
(Supardi & Sadarjoen, 2006). Kekerasan seksual
menimbulkan dampak bagi korbannya. Pada
umumnya, dampak pada pria dan wanita tidak
jauh berbeda. Perasaan buruk akibat pengalaman
kekerasan seksual yang mereka alami dan pendam
akan menjadi lebih buruk dari hari ke hari, dan
menjadikan identitas yang buruk bagi korban
(Lisak, 1994). Pengalaman traumatis dan perasaan
buruk akan diri sendiri ini menyebabkan korban
tidak dapat melupakan kekerasan seksual yang
dialaminya dan dapat menjadi gangguan stres
yang disebut PTSD.
PTSD merupakan sindrom kecemasan,
labilitas autonomik, ketidakrentanan emosional,

121

dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih


itu setelah stress fisik maupun emosi yang
melampaui batas ketahanan orang biasa. PTSD
dapat dialami siapapun yang telah mengalami
kejadian traumatik, tidak peduli usia dan jenis
kelamin (Kaplan & Sadock, 1998). Menurut
Knauer (2002), ada beberapa jenis gangguan
akibat PTSD yaitu gangguan disosiatif, gangguan
akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang,
gangguan makan, dan perilaku kecanduan atau
kompulsif. Tentunya hal ini memerlukan
pemulihan diri agar korban dapat pulih dari
traumanya dan fungsinya sebagai individu dapat
berlangsung dengan baik.
Kesedihan sebagai dampak traumatis dapat
dijelaskan melalui model pemulihan diri dari
Kubler-Ross (1969). Model pemulihan diri ini
memiliki lima tahapan dan setiap korban tidak
selalu melewati setiap tahapan. Lima tahapan
tersebut adalah:
1. Tahap penyangkalan
Awal tahap ini diwarnai dengan perasaan tidak
percaya bahwa kekerasan seksual tersebut
menimpa diri korban. Para korban selalu
berkata, Tidak, bukan saya, itu tidak benar.
Penyangkalan ini hampir selalu dilakukan
oleh semua korban dan merupakan
pertahanan sementara.
2. Tahap kemarahan
Ketika masa penyangkalan tidak tertahankan
lagi, korban akan mengalami perasaan marah,
gusar, cemburu, dan benci. Pertanyaan yang
sering muncul adalah, Mengapa aku? atau
Mengapa bukan orang itu saja?.
Kemarahan ini dapat terjadi kapanpun dan
diproyeksikan ke lingkungan pada saat yang
tidak terduga. Mereka biasanya akan memakimaki diri sendiri, orang lain atau Tuhan atas
kejadian traumatis tersebut, sering menangis,
bahkan melakukan kekerasan fisik terhadap
diri sendiri atau orang lain.
3. Tahap penawaran
Ketika perasaan marah sudah agak mereda,
maka korban akan memasuki tahap
penawaran. Tahap ini mampu menolong
korban meskipun hanya untuk beberapa saat.
Karena menyadari kondisi dirinya yang sedang
dalam masa krisis, maka korban berusaha
melakukan berbagai hal bagi dirinya asalkan
pengalaman tersebut dapat hilang. Tahap ini

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

merupakan salah satu mekanisme pertahanan


diri, dimana korban berharap trauma itu akan
hilang dengan sendirinya.
4. Tahap depresi
Kelelahan fisik, perubahan mood yang terus
menerus, dan usaha-usaha untuk
memperbaiki dirinya dapat membuat korban
masuk ke dalam kondisi depresi. Mereka dapat
kehilangan gairah hidup, merasa sangat sedih,
tidak ingin merawat diri dan kehilangan nafsu
makan. Mood depresif menjadi semakin
buruk bila korban meyakini bahwa dirinyalah
yang salah dan menyebabkan terjadinya
pengalaman tersebut.
5. Tahap penerimaan
Setelah korban mencapai tahap penerimaan,
barulah dapat terjadi perkembangan yang
positif. Penerimaan terbagi menjadi dua tipe.
Pertama, penerimaan intelektual yang artinya
menerima dan memahami apa yang telah
terjadi. Kedua, penerimaan emosional yang
artinya dapat mendiskusikan pengalaman
traumatisnya tanpa reaksi-reaksi berlebihan.
Proses menuju penerimaan tidak sama bagi
semua orang dan rentang waktunya juga
berbeda.

mempunyai kemampuan dan kemauan untuk


memberikan informasi sesuai tema penelitian.
Partisipan utama penelitian ini berjumlah
dua orang, sedangkan untuk memenuhi prinsip
triangulasi data, maka penulis menggunakan dua
orang significant others yang terdiri dari orang
terdekat masing-masing partisipan. Sehingga
total partisipan penelitian berjumlah empat orang.
Penelitian ini menggunakan alat
pengumpulan data berupa wawancara mendalam
(depth interview) terhadap partisipan penelitian
yang terpilih. Teknik analisis data yang digunakan
pada penelitian ini adalah analisis tematik dengan
melakukan koding terhadap hasil transkrip
wawancara yang telah diverbatim.

HASIL DAN BAHASAN


Hasil penelitian disajikan dalam tabel sebagai
berikut.

METODE PENELITIAN
Tipe penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini adalah penelitian kualitatif,
sedangkan pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah studi kasus. Tipe dari studi
kasus yang dipilih dalam penelitian ini adalah
studi kasus intrinsik.
Karakteristik partisipan penelitian ini adalah
berusia 20-40 tahun, pernah mengalami
kekerasan seksual, memiliki kemampuan dan
ke m a u a n u n t u k m e n ce r i t a k a n ke m b a l i
pengalaman pribadi mereka serta dapat memberi
informasi yang relevan dengan tema penelitian,
dan telah mengalami perubahan positif dalam
kondisi emosi dan penyesuaian diri dalam
kehidupan sehari-hari.
Significant other partisipan adalah keluarga,
teman atau orang terdekat bagi partisipan.
Karakteristik significant other penelitian ini
adalah orang yang merupakan orang terdekat bagi
pasrtisipan dan mengetahui kehidupan seharihari partisipan, bersedia diwawancarai, dan
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

122

Phebe Illenia S., Woelan Handadari

Tabel 1
No.
1.

2.

Hasil

Partisipan 1 danSignificant Other 1

Usia ketika 11 tahun


mengalami
kekerasan
seksual
Pengalaman 1. Takut mencemarkan nama baik orangtua
traumatis
2. Tabu untuk dibicarakan
3. Aib bagi dirinya

3.

Dampak

4.

Perasaan

5.

Usaha

6.

Faktor

7.

Waktu yang
dibutuhkan
untuk pulih

1. Insomnia
2. Kecanduan rokok
3. Sering sakit
4. Serangan panik
5. Mati rasa
6. Destruktif
7. Depresif dan tidak mudah percaya
8. Obsesi mempermalukan gurunya
9. Percobaan bunuh diri
10. Trauma mendengar orang mengaji, orang
yang berjalan tanpa sandal dan diseret,
berjalan di lorong dan kata centil
11. Emosi labil.
12. Sangat tergantung.
13. Emosi tidak adekuat.
14. Ketergantungan obat.
15. Ingin balas dendam.
16. Merasa tidak aman.
1. Tahap penyangkalan
2. Tahap kemarahan
3. Tahap depresi
4. Tahap penerimaan
1. Konsultasi ke psikolog
2. Konsultasi ke psikiater
3. Mengikuti pengobatan ilmu tenaga dalam
4. Latihan meditasi dan yoga
1. Dukungan keluarga dan teman
2. Keyakinan diri
3. Karakteristik kepribadian
4. Proses terapi
15-16 tahun

Partisipan 2 danSignificant
Other 2
7 tahun

1. Takut mencemarkan nama


baik orangtua
2. Perasaan bersalah karena
melakukan hal tersebut
3. Merasa dirinya tidak perawan
dan kotor
1. Takut terhadap tetangganya
2. Sensitif dengan sentuhan
3. Sering terbawa mimpi
4. Menjadi lebih emosional dan
lebih penakut
5. Mudah curiga
6. Selektif dalam berhubungan
dengan pria.

1. Tahap penyangkalan
2. Tahap kemarahan
3. Tahap penerimaan
1. Sharing dengan teman
2. Menghadapi traumanya
3. Pengembangan diri
4. Mengikuti kegiatan SKI
1. Dukungan dari teman
2. Keyakinan agama
3. Karakteristik kepribadian
7-8 tahun

Perbandingan Pemulihan Diri Partisipan

Data tersebut menunjukkan bahwa ada


perbedaan dalam cara memulihkan diri pada
kedua partisipan. Kedua partisipan sama-sama
memiliki pengalaman traumatis, dampak akibat
kekerasan seksual, proses pemulihan diri dalam
bentuk perasaan, usaha yang dilakukan, faktor
yang mendukung pemulihan diri mereka.

123

Bahasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan
penulis, maka didapatkan hasil bahwa kedua
partisipan mengalami kekerasan seksual yang
menyebabkan pengalaman traumatis. Partisipan
pertama mengalami kekerasan seksual ketika
berusia 11 tahun sedangkan partisipan kedua
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

mengalami kekerasan seksual pada usia 7 tahun.


Kekerasan seksual yang dialami keduanya
menimbulkan pengalaman traumatis dan
perasaan buruk seperti anggapan bahwa diri
mereka tidak perawan, mencemarkan nama baik
keluarga, dan sebagainya, namun mereka dapat
memulihkan dirinya dari trauma kekerasan
seksual tersebut.
Sebagai akibat dari pengalaman traumatis
tersebut, kedua partisipan mengalami dampakdampak negatif setelah mengalami kekerasan
seksual. Menurut Knauer (2002), dampak negatif
akibat PTSD adalah gangguan disosiatif, gangguan
akibat penggunaan alkohol dan obat terlarang,
gangguan makan, dan gangguan kecanduan.
Secara umum, kedua partisipan mengungkapkan
bahwa mereka mengalami berbagai macam
dampak negatif seperti trauma terhadap sesuatu
dan menjadi mudah curiga terhadap orang lain.
Partisipan pertama mengungkapkan bahwa
dirinya mengalami kecanduan rokok, percobaan
bunuh diri, trauma pada orang yang mengaji dan
suara orang berjalan tanpa sandal yang diseret,
depresif, serangan panik, tidak mudah percaya
pada orang lain, dan sebagainya. Significant other
partisipan pertama mengungkapkan bahwa
partisipan mengalami kecanduan rokok,
ketergantungan obat, percobaan bunuh diri,
emosi labil dan tidak adekuat, serangan panik, dan
sebagainya. Ada beberapa pernyataan yang sama
bahwa setelah mengalami kekerasan seksual
tersebut, partisipan pertama mengalami berbagai
macam dampak negatif seperti kecanduan rokok,
percobaan bunuh diri, dan serangan panik.
Partisipan kedua mengungkapkan bahwa
setelah mengalami kekerasan seksual tersebut,
dirinya juga mengalami dampak negatif seperti
ketakutan terhadap pelaku, sensitif terhadap
sentuhan, dan sebagainya. Significant other
partisipan kedua mengungkapkan bahwa
partisipan menjadi sangat selektif dalam
berhubungan dengan pria dan sensitif terhadap
sentuhan. Pernyataan partisipan dan significant
other memiliki kesamaan yaitu bahwa partisipan
menjadi sangat selektif terhadap pria dan sensitif
terhadap sentuhan.
Dalam hal tersebut, terjadi perbedaan yang
cukup signifikan dimana partisipan pertama
mengalami dampak negatif yang lebih banyak
daripada partisipan kedua. Hal ini perlu
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

diperhatikan dari perbedaan usia keduanya.


Ketika mengalami kekerasan seksual, partisipan
pertama berusia 11 tahun dan partisipan kedua
berusia 6 tahun. Perbedaan ini tentunya
menimbulkan perbedaan tingkat kognitif dimana
menurut Piaget (dalam Monks, dkk., 2006), tahap
kognitif partisipan pertama adalah tahap
operasional formal sedangkan tahap kognitif
partisipan kedua adalah tahap pra-operasional.
Ketika partisipan pertama telah mencapai
tahap operasional formal, maka dia telah dapat
berpikir idealistis, logis dan abstrak sehingga saat
kekerasan seksual tersebut terjadi, partisipan
dapat berpikir apa yang terjadi pada dirinya. Secara
kognitif, dia mungkin telah memahami sedikit apa
yang terjadi padanya, namun secara emosi, dia
belum dapat mengatasi perasaannya sehingga
dampaknya cukup banyak terutama dari sisi
emosi. Sebaliknya pada partisipan kedua yang
masih dalam tahap pra-operasional, dia dapat
berpikir konkrit, cara berpikirnya belum dapat
dibalik, egosentris dan sangat memusat sehingga
saat hal itu terjadi, partisipan belum mampu
memikirkan apa yang terjadi pada dirinya. Secara
kognitif, dia mungkin belum memahami yang
terjadi dan secara emosi pun, dia belum mengerti
sehingga trauma tersebut muncul namun
dampaknya pun lebih sedikit daripada partisipan
pertama. Hal inilah yang menyebabkan perbedaan
jumlah dampak yang muncul pada kedua
partisipan.
Setelah dampak-dampak negatif tersebut
muncul, kedua partisipan berusaha untuk
memulihkan dirinya. Dalam teori Kubler-Ross
(1969), dikatakan bahwa selama proses pemulihan
diri, mereka akan melewati tahapan emosi seperti
menyangkal, kemarahan sebelum akhirnya
mereka dapat pulih dari trauma dan menerima
keadaan mereka apa adanya. Begitu pula yang
terjadi pada kedua partisipan penelitian ini
dimana mereka berdua juga melewati beberapa
tahap emosi sebelum mereka dapat mencapai
tahap penerimaan.
Memang tidak semua tahap emosi
tersebut dialami oleh partisipan, namun sebagian
besar muncul pada kedua partisipan. Partisipan
pertama mengatakan bahwa proses pemulihan
dirinya dilewati dengan tahap menyangkal, tahap
kemarahan, tahap depresi sebelum dia mencapai
tahap penerimaan tersebut. Partisipan pertama

124

Phebe Illenia S., Woelan Handadari

mengatakan bahwa tahap-tahap ini dilewatinya


dengan sangat menyakitkan dan membutuhkan
waktu 15 hingga 16 tahun untuk pulih. Partisipan
kedua mengatakan bahwa proses pemulihan
dirinya dilewati dengan tahap menyangkal, tahap
kemarahan, dan pada akhirnya tahap penerimaan.
Partisipan kedua mengatakan bahwa tahapan ini
dilaluinya selama 7 hingga 8 tahun.
Partisipan pertama membutuhkan waktu
sekitar 15-16 tahun karena setelah terjadinya
kekerasan seksual di India pada usia 11 tahun,
partisipan tidak menyadari dampak-dampak yang
muncul setelahnya. Partisipan juga melakukan
tahap penyangkalan yang lama karena adanya
tuntutan diri sendiri agar tidak mencemarkan
nama baik keluarga, perasaan tabu dan aib pada
dirinya. Sewaktu SMA, perasaan marah partisipan
mulai muncul terutama pada keluarganya. Hal ini
juga ditunjukkan dalam bentuk pemberontakan
dan tindakan partisipan. Partisipan baru
mengetahui dirinya mengalami PTSD ketika
hamil anak kedua yaitu ketika partisipan berusia
sekitar 23 tahun dan mulai berkonsultasi ke
psikolog di Swiss. Perasaan depresi muncul dalam
diri partisipan sehingga dia tidak dapat mengurus
anak, tidak nafsu makan, hanya tidur saja, dan
sebagainya. Pada usia 25 tahun, partisipan kembali
ke Indonesia tahun dan mengikuti latihan
meditasi dan yoga sampai akhirnya partisipan
mencapai tahap penerimaan pada usia 27 tahun
dimana dia dapat menerima dirinya apa adanya
dan kejadian yang dialaminya sebagai bagian
hidupnya. Partisipan juga dapat memaafkan
pelakunya dan menceritakan kejadian tersebut
tanpa reaksi yang berlebihan.
Partisipan kedua membutuhkan waktu
sekitar 7-8 tahun karena setelah terjadinya
kekerasan seksual pada usia 7 tahun, partisipan
belum memahami apa yang terjadi pada dirinya.
Selain itu, partisipan juga tidak berani untuk
bercerita kepada siapapun. Karena tuntutan diri
untuk tidak mencemarkan nama baik keluarga,
perasaan kotor dan tidak perawan, partisipan
melakukan tahap penyangkalan dan tahap
kemarahan yang lama. Dia hanya berusaha untuk
mengembangkan diri dengan mengalihkan
pikirannya ke sekolah. Ketika berusia 13 tahun,
partisipan hampir mengalami kekerasan seksual
oleh pacarnya sehingga traumanya kembali
muncul. Ketika partisipan masuk kelas 1 SMA,

125

partisipan bertemu dengan teman yang mau


menceritakan pengalaman pribadinya. Partisipan
mencapai tahap penerimaan ketika berusia 15
tahun dimana dia dapat menerima keadaan
dirinya, dapat bercerita dengan nyaman, dan dapat
memaafkan pelakunya.
Tugas perkembangan dapat menjadi salah
satu indikator pulih dari trauma, artinya bahwa
individu dapat mencapai tugas perkembangannya
dan melaksanakan dalam tindakan nyata. Dilihat
dari tugas perkembangan, partisipan pertama
dapat menemukan kelompok sosialnya, bekerja
dan menerima tanggung jawab sebagai warga
negara. Dia juga membaktikan diri pada
kehidupan dengan menjadi aktivis di beberapa
bidang. Partisipan kedua juga telah menemukan
kelompok sosial dan dapat menerima tanggung
jawab sebagai warga negara. Namun perlu
diperhatikan bahwa hal ini harus dikaji lebih
lanjut dalam penelitian berikutnya karena
penelitian ini belum membahas secara mendalam
tentang tugas perkembangan individu.
Selain mengalami dampak kekerasan seksual
dan tahap emosional tersebut, ada beberapa usaha
yang dilakukan kedua partisipan sebagai usaha
pemulihan dirinya dari trauma kekerasan seksual.
Partisipan pertama mengatakan bahwa dia
melakukan berbagai usaha seperti berkonsultasi
ke psikolog, psikiater, ilmu tenaga dalam, serta
meditasi dan yoga. Significant other partisipan
pertama juga mengatakan bahwa partisipan
berusaha ke psikiater, psikolog, latihan meditasi
dan yoga sehingga ada kesamaan antara partisipan
dan significant other.
Partisipan kedua juga melakukan usaha
pemulihan diri dengan cara sharing ke temanteman, mengikuti kegiatan SKI, menghadapi
trauma, dan mengembangkan dirinya dimana
significant other partisipan kedua mengatakan
bahwa partisipan berusaha untuk bercerita
sebagai usaha menghilangkan beban hidupnya.
Sehingga ada kesamaan bahwa partisipan
melakukan sharing sebagai usaha pemulihan
dirinya.
Kedua partisipan mengungkapkan bahwa
dirinya dapat mencapai tahap penerimaan karena
beberapa faktor yang mendukungnya. Menurut
Ginanjar (2009), faktor yang mempengaruhi
proses pemulihan diri seseorang adalah
karakteristik kepribadian, keyakinan dan agama,
INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

dukungan emosi dari keluarga dan sahabat,


kegiatan aktualisasi diri, dan proses terapi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi partisipan
pertama adalah dukungan dari keluarga dan
teman, keyakinan diri, karakteristik kepribadian
partisipan, dan proses terapi yang diikutinya.
Significant other partisipan pertama mengatakan
pula bahwa faktor yang mempengaruhi proses
pemulihan diri partisipan adalah dukungan
lingkungan, teman, dan proses terapi. Sehingga
ada kesamaan bahwa faktor yang mendukung
adalah dukungan dari orang lain dan proses terapi.
Bagi partisipan kedua, faktor yang
mempengaruhi yaitu dukungan dari teman,
karakteristik kepribadian partisipan, dan
keyakinan agama. Significant other partisipan
kedua mengatakan bahwa dia tidak tahu pasti,
namun karena bercerita pada orang lain, maka
dukungan dari teman dapat menjadi salah satu
faktor yang mempengaruhi partisipan.
Kedua partisipan memiliki latar belakang
berbeda dan mengalami pengalaman kekerasan
seksual yang berbeda, namun mereka dapat pulih
dari trauma yang mereka alami walaupun waktu
yang mereka lewati untuk memulihkan diri juga
berbeda. Hal ini menunjukkan bahwa korban
kekerasan seksual dapat memulihkan diri mereka
dari traumanya.

beberapa tahap emosi. Tahap emosi yang


muncul pada kedua partisipan adalah tahap
penyangkalan, tahap kemarahan, dan tahap
penerimaan. Pada partisipan pertama, tahap
depresi juga muncul. Tahap penyangkalan
dimunculkan dengan cara mengatakan bahwa
diri mereka baik-baik saja, padahal tidak.
Tahap kemarahan muncul dengan kemarahan
terhadap orangtua, pelaku dan diri sendiri.
c) Ada beberapa usaha yang dilakukan oleh
partisipan selain mengatasi emosi mereka.
Partisipan pertama mengatakan bahwa
dirinya berusaha untuk konsultasi ke psikolog,
psikiater, pengobatan ilmu tenaga dalam,
hingga meditasi dan yoga. Partisipan kedua
mengatakan bahwa dirinya melakukan
pengembangan diri, mengikuti SKI, dan
sharing.
d) Ada beberapa faktor yang mendukung
dalam proses pemulihan diri mereka yaitu
dukungan dari teman dan keluarga,
keyakinan, dan kepribadian partisipan
menjadi faktor-faktor yang mendukung. Pada
partisipan pertama, faktor proses terapi ikut
mendukung pemulihan dirinya.

SIMPULAN
Simpulan yang dapat penulis rumuskan dari
penelitian ini adalah sebagai berikut:
a) Perbedaan tahap kognitif kedua partisipan
yang disebabkan perbedaan umur partisipan
mempengaruhi banyaknya dampak yang
dialami keduanya. Partisipan pertama
mengalami kekerasan pada usia 11 tahun
(tahap operasional formal) dan partisipan
kedua berusia 7 tahun (tahap pra-operasional)
sehingga cara mereka memandang masalah
secara kognitif juga berbeda. Namun secara
umum, gangguan dan masalah yang dialami
oleh kedua partisipan sebagai dampak dari
pengalaman traumatis yang mereka alami
adalah gangguan tidur, trauma terhadap
sesuatu, lebih emosional dan tidak mudah
percaya pada orang lain.
b) Partisipan dapat memulihkan dirinya lewat

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

126

Phebe Illenia S., Woelan Handadari

PUSTAKA ACUAN
Aida Saskia lima kali mencoba bunuh diri. (2010, 11 Oktober). Yahoo [on-line]. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010 dari http://id.omg.yahoo.com/news/aida-saskia-lima-kali-mencoba-bunuh-diri-khjx0000344598.html?cmtnav=/mwphucmtgetnojspage/headcontent/helium_article/khjx:0000344598/n
a/date/desc/41.
Awas, kekerasan seksual pada anak!. (2009, 28 Januari). Kompas [on-line]. Diakses pada tanggal 22 Juli 2010
dari http://nasional.kompas.com/read/2009/01/28/19183187/awas.kekerasan.sekSual.terhadap.anak.
Baumann, S.L. (2007). Recovering from abuse: A comparison of three paths. Nursing Science Quarterly, 20, 342348.
Chivers-Wilson, K.A. (2006). Sexual assault and posttraumatic stress disorder: A review of the biological,
psychological and sociological factors and treatments. McGill Journal of Medicine, 9, 111-118.
Gillis, C. (2009, Oktober). Harrowing details from his new book and interview with the retired NHL Star.
Macleans [on-line]. Diakses pada tanggal 23 Oktober 2010 dari
http://www2.macleans.ca/2009/10/09/theoren-fleury-was-abused-an-absolute-nightmare-every-dayof-my-life/2/.
Ginanjar, A.S. (2009). Proses healing pada istri yang mengalami perselingkuhan suami. Makara, Social
Humaniora, 13, 66-76.
Hamil diperkosa, siswi SMK bunuh diri. (2010, 1 Oktober). Bataviase [on-line]. Diakses pada tanggal 26
Oktober 2010 dari http://bataviase.co.id/node/402145.
Kaplan, H. & Sadock, B.J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Jakarta: Widya Medika.
Knauer, S. (2002). Recovering from sexual abuse, addicting, and compulsive behaviors Numb survivors. New
York: The Haworth Press, Inc.
Kotulak, R. (2007, Februari). Scientists measure 5 stages of grief: Most people's Anguish eases after six months;
Others might need treatment, study finds. Proquest [on-line]. Diakses pada tanggal 10 Maret 2011 dari
http://proquest.umi.com/pqdweb?index=37&sid=6&srchmode=1&vinst=PROD&fmt=3&s.
Kubler-Ross, E. (1969). On death and dying (ed.terjemahan). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Lisak, D. (1994). The Psychological Impact of Sexual abuse: Content analysis of interviews with male survivors.
Journal of Traumatic Stress, 7, 525-548.
Mam, S. (2005). The road of lost innocence. Jakarta: Hikmah.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P. & Haditono, S. R. (2006). Psikologi perkembangan (16th ed). Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Moody, C.W. (1999). Male child sexual abuse. Journal of Pediatric Health Care, 13, 112-119.
Pratt, A. (2010, Februari). Post traumatic stress disorder: A framework for understanding. LinkedIn [on-line].
D i a k s e s
p a d a
t a n g g a l
1 8
M a r e t
2 0 1 0
d a r i
http://www.linkedin.com/news?viewArticle=&articleID=115899350&gid=831767&articleURL=http%3A
%2F%2Fwww.articlesbase.com%2Fmental-health-articles%2Fpost-traumatic-stress-disorder-aframework-for-understanding-1903514.html&urlhash=BVX3&goback=.hom&trk=NUS_DISC_Nnd_title.
Prigerson, H.G. & Maciejewski, P.K. (2008). Grief and acceptance as opposite sides of the same coin: setting
a research agenda To study peaceful acceptance of loss. The British Journal of Psychiatry, 193, 435-437.
Rasmussen, L.A. (2007). Challenging traditional paradigms: Applying the trauma outcome process (TOPA)
model in treating sexually abusive youth who have histories of abusive trauma. San Diego State University,
School of Social Work.
Roberts, C. (2007). The lost girl: Perjuangan seorang korban pelecehan seksual melawan trauma masa lalunya.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ruibal, S. (2009, Juli). LeMond. Reaching out to victims of sexual abuse. USA Today [on-line]. Diakses pada
tanggal 23 Oktober 2010 dari http://www.usatoday.com/sports/cycling/2009-08-05greglemondnonprofitwork_N.htm.
Sanders, M. (2002, November). Blending grief therapy with addiction recovery: What to do when your client
suffers a loss in recovery. Counselor Magazine [on-line]. Diakses pada tanggal 11 Maret 2011 dari
http://www.counselormagazine.com/component/content/article/27-treatment-strategies-or-

127

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

Pemulihan Diri pada Korban Kekerasan Seksual

protocols/147-blending-grief-therapy-with-addiction-recovery.
Setyorakhmadi, K. (2010, 21 Oktober). Awalnya terjebak, selanjutnya terima order. Jawa Pos, hal. 29, 43.
Stenius, V.M.K & Veysey, B.M. (2005). It's the little things: Women, trauma, and strategies for healing. Journal
of Interpersonal Violence, 20, 1155-1174.
Supardi, S. & Sadarjoen. (2006, Desember). Dampak psikologis pelecehan seksual pada anak perempuan.
K o m p a s [ o n - l i n e ] . D i a k s e s p a d a t a n g g a l 2 3 O k t o b e r 2 0 1 0 d a r i h t t p : / / w w w.
kompas.com/kesehatan/news/0409/12/201621.htm.
Warshaw, C. & Barnes, H. (2003, April). Domestic violence, mental health, & trauma. Chicago: The Domestic
Violence and Mental Health Policy Initiative.
Zahra, R.P. (2007). Kekerasan seksual pada anak. Arkhe, 12, 2, 133-142.

INSAN Vol. 13 No. 02, Agustus 2011

128

Anda mungkin juga menyukai