Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Cikal bakal dari suatu kehidupan berumah tangga yaitu terselenggaranya prosesi
upacara pernikahan yang dalam budaya Bali disebut pawiwahan. Dalam Masyarakat Bali,
ada berbagai jenis upacara pawiwahan yang disesuaikan dengan desa, kala, patra. Umumnya
dalam upacara pernikahan di Bali, pihak purusa (laki-laki) memiliki peran andil yang sangat
besar dibandingkan dengan pihak pradana (perempuan). Tetapi pada upacara Kawin pada
gelahang secara faktual eksistensinya sudah berlangsung sejak tahun 1945 sebagaimana
dikemukakan dalam hasil penelitian Wayan P. Windia, Dkk. Sebagai terminologi, periodisasi,
isi gagasan tampaknya masih menjadi problema dan menyandang muatan kontroversi.
Namun hal tersebut tidak seberapa mengganggu perkembangan isu dan substansi yang
ditawarkan oleh perkawinan pada gelahang itu.
Sebagai trend, kawin pada gelahang sudah sejak kemunculannya diwadahi dalam
berbagai kemasan ritual terlebih dilegalisasi desa mawacara, maka kawin pada gelahang
secara substansi justru berkembang hingga kini, ibarat sesuatu yang tak mungkin
terelakkan. Bahkan dari sudut ini substansi kawin pada gelahang sepertinya baru lahir dan
berkembang. Tak berlebihan hampir disegala lini wacana, mulai agama, adat, sosial, moral,
hukum, filsafat sampai teologi menuai berhamburan kerangka-kerangka pikir baru yang
hanya dapat dimengerti jika kita memahami segala isu yang bermula dilemparkan oleh
fenomen kawin pada gelahang.
Sebagai suatu peringatan ketika kita review terhadap pemahaman konsep kawin pada
gelahang kita memang mudah terjebak ke dalam berbagai kerancuan perspektif, terutama
jika kita hendak amat risih membuat batasan-batasaan tegas yang memisahkan antara kawin
pada gelahang, kawin biasa, dan kawin nyentana. Mungkin saja secara karikatoris kawin
pada gelahang mudah bercampur baur dengan substansi isinya yang sangat kompleks. Kawin
pada gelahang dalam perspektif etika (moralitas) kerap tumpang tindih dengan kawin pada
gelahang dalam perspektif filosofis. Yang pertama bicara tentang harmonisasi korelasi Tri
Hita Karana dengan pembabakan tersendiri, yang kedua bicara tentang perubahan kerangka
dasar pemikiran dengan pembabakannya yang karakeristik pula. Belum lagi pada
pembicaraan fenomena kultural menyebabkan antara kulturkritik dan ideologikritik saling
berbantahan/berbenturan.

Namun apapun label yang kita gunakan, setidak-tidaknya realita kawin pada
gelahang yang berkembang telah membukakan persoalan-persoalan mendasar dan
paradigmatik dalam peradaban manusia (umat hindu) diabad reformasi kini. Pakar Hukum
Adat seperti Wayan P. Windia dkk misalnya telah membantu menegaskan secara populer
relativitas dan sisi ideologis dunia hukum adat kita.
Pernikahan Pada Gelahang tidak seperti pada umumnya. Sehingga ini menarik minat
penulis untuk membuat makalah yang berjudul Kawin Pada Gelahang sebagai jawaban
sistem Patrilineal dalam keturunan Purusa dan Pradana pada Masyarakat Hindu di Bali".

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat ditarik suatu rumusan masalah adalah sebagai
berikut :
1. Apakah yang dimaksud dengan Perkawinan Pada Gelahang?
2. Bagaimana Kaitan Perkawinan Pada Gelahang terhadap perubahan status Purusa dan
Pradana pada kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali?
C. Tujuan Penulisan
Setiap tindakan sudah barang tentu memiliki suatu tujuan, baik sesuai dengan
rumusan masalah diatas adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui perkawinan Pada Gelahang
2. Untuk mengetahui perkawinan Pada Gelahang terhadap perubahan status Purusha

dan Pradana pada kehidupan sosial masyarakat Hindu di Bali.


D. Metodelogi Penulisan
Metode penulisan paper ini dengan metode deskriftif analisis yaitu penulis menyajikan materi
yang disampaikan dengan penelusuran terhadap beberapa kepustakaan, setelah dirangkum penulis
mengadakan analisis terhadap materi yang sudah disajikan dengan kondisi riil di dalam kehidupan
sosial sehari-hari.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PERKAWINAN DI BALI
1. Pengertian
Sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 1 U.U. No 1/1974 tentang U.U. No
1/1974 tentang arti perkawinan itu dikandung maksud adanya ikatan lahir bhatin antara
seorang purusha (pria) dengan seorang pradana (wanita) menjadi suami istri dengan
tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga (grahasta) yang bahagia dan kekal
(langgeng) yang berkiblat dan berdasar kepada Tuhan Yang Maha Esa/ Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. U.U. Perkawinan Nasional telah menampung prinsip-prinsip falsafah hidup
bangsa Indonesia yang tercantum di dalam Pancasila dan UUD 1945 di satu pihak, serta
menampung di dalam kenyataan hidup yang dilandasi oleh Hukum Agama dan
Kepercayaan yang di anut dan hidup di dalam masyarakat dewasa ini, antara lain:
a. Menghormati serta melaksanakan perjuangan pergerakan kedudukan serta fungsi

pradana (wanita) dalam rangka emansipasi wanita Indonesia pada khususnya dan
hak azasi manusia pada umumnya yang mengandung maksud antara lain:
1) Perkawinan itu harus dan patut dilakukan berdasarkan sreda cita (ikatan rasa
cinta mencintai) antara calon mempelai berdua.
2) Kedudukan Ardhanareswari (suami istri) serta hak dan kewajiban adalah saling

berimbang baik dalam kehidupan. berumah tangga maupun dalam kehidupan


pergaulan di masyarakat.
3) Suami istri mempunyai hak yang sama terhadap harta (harta benda) bersama

yang di peroleh (guna kaya) selama perkawinan.


4) Suami istri mempunyai kewajiban yang sama untuk memelihara serta
mendidik anak-anak mereka sebaik-baiknya sampai anak-anak tersebut
dewasa, kawin atau dapat berdiri sendiri.Dalam hal ini orang tuanya disamping
disebut guru rupaka (orang yang melahirkan anak-anak) dan juga disebut guru
pengajian (orang tua sebagai pendidik).
5) Undang-Undang perkawinan ini berazaskan monogami.Hal ini harus di
laksanakan secara tuntas walaupun perkawinan antara kedua orang tuanya
terputus di tengah-tengah jalan karena suatu perceraian atau kematian salah
satu pihak.(Nyonya. M. Mertami,1987:1-2)

b. Di dalam U.U. Perkawinan Nasional ini menganut prinsip-prinsip bahwa si

calon mempelai harus mempunyai jiwa dan raga yang masak, untuk dapat
mewujudkan perkawinan yang kekal dan bahagia (suka sadia rahayu) serta
mampu mendapatkan keturunan yang sehat dan sempurna. U.U. No. 1/74
untuk daerah Bali tidak membawa pengaruh baru dalam bidanh hukum yang
berlaku dalam perkawinan menurut agana Hindu. Bahkan merupakan
peningkatan baru untuk menegaskan bahwa sahnya suatu perkawinan di
dasarkan atas hukum masing-masing agamanya atau kepercayaanya. Dalam
hubungan ini sejak berlakunya U.U. Perkawinan Nasional tanggal 1 Oktober
1974, maka persyaratan syahnya suatu perkawinan bagi Umat Hindu ditambah
satu syarat lagi yaitu harus mencatatkan perkawinannya melalui proses
administrasi pencatatan, untuk mendapatkan kepastian hukum sebagai alat
pembuktian yang sah dan kuat. (Nyonya. M. Mertami,1987:2)
Pengertian wiwaha artinya perkawinan suatu gejala sosial masyarakat yang
memasuki Grahasta Asrama dalam Catur Asrama. Perkawinan menurut Hindu
adalah perintah agama yang dianggap suatu jalan untuk melepaskan derita leluhurnya/
orang tuanya yang telah meninggal.
Menurut Manawa Dharmasastra, Maharesi Manu menyebutkan :
Untuk menjadikannya ibu maka wanita diciptakannya dan pria diciptakan
untuk dijadikan bapak dan karena itu weda itu akan di abadikan oleh dharma yang
harus di lakukan oleh wanita pria sebagai suami istri. (Ida Bagus Anom,1-2)
2.Arti dan Tujuan Perkawinan Menurut Hukum Hindu.
Setelah upacara wiwaha maka pasangan pria dan wanita telah di pandang resmi
menjadi suami istri ( damphati) dan berkewajiban melaksanakan tugas dan
kewajibannya sebagai grhastin. Wiwaha menurut Hindu adalah mulia dan luhur karena
dengan kawin akan melahirkan keturunan yang akan menebus dosa leluhurnya.
Tujuan utama adalah memperoleh keturunan yang suputra yaitu anak hormat
kepada orang tua, cinta kasih terhadap sesama, dan berbakti kepada Tuhan, jadi wiwaha
sebagai yajna. Menurut Manawa Dharma Sastra wiwaha itu sama
dengan samsara yang mendudukkan perkawinan sebagai lembaga yang erat kaitannya
dengan agama hindu sehingga semua persyaratan yang di tentukan harus ditaati oleh

umat Hindu. Perkawinan suatu puncak upakara manusa yadnya untuk membayar
hutang kepada orang tua atau leluhur sehingga perkawinan adalah suatu
dharma. Wiwaha samshara yaitu penyucian diri melalui perkawinan.
Menurut Menawa Dharma Sastra, perkawinan di anggap sah menurut hukum
Hindu bila :
a. Dilakukan oleh rohaniawan atau pejabat Agama Hindu memenuhi syarat
b. Kedua calon mempelai telah menganut Agama Hindu.(Ida Bagus Anom,4-5)
3. Jenis perkawinan

Salah satu keunikan yang kita jumpai hingga saat ini di Bali ialah adanya
bentuk-bentuk atau jenis perkawinan yang cukup banyak yang mungkin tidak kita
jumpai di daerah lainnya di Indonesia. Menurut hukum adat di Bali, kita jumpai tidak
hanya satu jenis perkawinan saja melainkan ada dua jenis perkawinan yaitu :
a. Jenis pertama ,terdiri dari 3 bentuk perkawinan :
1) Memadik atau Ngidih atau Meminang
Ialah suatu bentuk perkawinan yang di dahului dengan tata cara
peminangan yang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, kepada pihak calon
istri/wanita. Peminangan ini dilakukan pada hari-hari yang baik ( menurut
Dewasa). Sebelum peminangan resmi dilakukan dalam pelaksanaan dilakukan
beberapa kali utusan yang disebut ngecub untuk merundingkan hari dan
datangnya utusan keluarga pihak pria. Apabila pinangan itu sudah dapat
disetujui oleh pihak calon wanita, maka pada hari yang telah ditentukan untuk
itu, pihak keluarga laki-laki membawa dan menyerahkan Paweweh dan
Basan pupur beserta sirih pinang yang diserahkan kepada keluarga pihak
wanita. Paweweh ini berupa sejumlah uang kepeng yang melambangkan
kejujuran, sedangkan Basan pupur yang terdiri dari pakaian wanita beserta alatalat perhiasan. Kemudian dari pihak keluarga calon istri akan membalas pula
dengan Paweweh yang juga berupa uang kepeng dan pakaian pria. Dengan
selesainya serah terima untuk paweweh ini, dianggap sahlah pertunangan kedua
calon mempelai itu. Beberapa hari kemudian saat baik yang telah ditentukan
bersama oleh kedua belah pihak, maka dapatlah diselenggarakan upakara
perkawinan dengan natab bebanten.

2) Mejangkepan/ Kapekardiang

Suatu bentuk perkawinan yang inisiatifnya sebetulnya timbul dari


pihak orang tua kedua calon mempelai. Merekalah sebenarnya menghendaki
supaya perkawinan ini dilaksanakan. Biasanya mereka itu adalah orang yang
bertalian kekeluargaan dekat satu sam lainnya ( paternalisme)., dengan maksud
untuk mempererat hubungan kekeluargaan yang sudah ada diantara mereka.
Kedua belah pihak orang tua masing-masing akan berusaha membujuk anak
mereka agar menuruti kehendak orang tua masing-masing.
3) Merangkat/Ngerorod/ Ngelayat

Yang dimaksud dengan bentuk perkawinan ini ialah suatu bentuk


perkawinan yang diselenggarakan atas inisiatif sendiri yang bebas oleh kedua
calon mempelai dengan jalan melarikan diri bersama-sama. Dalam bentuk
perkawinan ini baik si pria maupun si wanita adalah merupakan pelaksana yang
aktif. Dengan demikian merangkat hanya mungkin dilakukan atas dasar
kehendak dan kemauan bersama dari kedua belah pihak atas dasar cinta
mencintai dan tidak ada unsur paksaan. Pada jenis perkawinan ini tampak jelas
titik puncak kemerdekaan wanita Bali untuk memilih jodoh mereka, bebas dari
rintangan-rintangan dan hambatan - hambatan. Namun tidak terlepas pula,
bahwa seandainya si gadis dilarikan dengan adanya unsur paksaan (diluar
kehendak si gadis) di samping diancam oleh UU, maka menurut adat/Agama
Hindu di Bali sendiri adalah suatu pelanggaran yang disebut melegandang dan
dapat dijatuhi hukuman-hukuman adat.

b. Bentuk perkawinan yang kedua


Perkawinan nyeburin ialah suatu perkawinan, dimana upacara/upakara
itu diselenggarakan oleh pihak keluarga istri dan diselenggarakan di tempat
kelahiran istri (wanita). Dalam perkawinan ini merupakan kebalikan dari semua
jenis perkawinan-perkawinan diatas. Di sini si suamilah yang dilepaskan
hubungannya dari sanak keluarganya dan dimasukkan ke keluarga si istri. Dengan
demikian si istri tetap menjadi ahli waris dari ayahnya sendiri. Oleh karena itu

bentuk perkawinan ini merupakan perkawinan yang mempunyai sifat tersendiri,


maka perkawinan ini dianggap sah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1) Betul-betul orang tua si wanita tidak mempunyai anak laki-laki.
2) Upacara/upakara dilakukan di rumah si wanita (calon istri) dan semua

ditanggung sepenuhnya oleh pihak si wanita.


3) Mendapat persetujuan dari keluarga besar kedua pihak keluarga calon

pengantin dan disaksikan oleh para pamong desa adat/dinas.


4) Sudah dengan sendirinya si calon pengantin saling mencintai dan tidak ada
unsur paksaan.(Nyonya. M. Mertami,1987:2-7)
Menurut Manawa Dharma Sastra III. 21. Jenis perkawinan terdiri dari :
a. Brahma Wiwaha adalah perkawinan suka sama suka dari semua pihak keluarga

dan calon pengantin dengan upacara di hias dan pemberian permata dan dipuja
oleh pendeta.
b. Daiwa Wiwaha adalah penyerahan gadis calon penganti yang dihias dan telah
dipuja oleh pendeta.
c. Rsi/Arsa Wiwaha adalah penyerahan gadis calon mempelai oleh orang tua setelah

calon pengantin pria menyerahkan lembu kepada keluarga perempuan.


d. Prajapati Wiwaha adalah penyerahan setelah ayah si wanita berpesan kepada
kedua mempelai, setelah si gadis memberi penghormatan kepada pengantin pria.
e. Asura wiwaha adalah Pria menerima si gadis setelah menyerahkan mas kawin.
f. Gandharwa Wiwaha adalah perkawinan antara pria dan wanita berdasar saling
mencintai yang timbul dari nafsunya bertujuan berhubungan kelamin.
g. Raksasa Wiwaha adalah kawin paksa, dimana pria melarikan gadis untuk
dikawininya secara paksa.
h. Paisaca Wiwaha adalah seorang pria secara diam-diam mencuri memperkosa

wanita sedang tidur / mabuk/ bingung, lalu dikawini. (Ida Bagus Anom:5-6)
4. Pelaksanaan Perkawinan
a. Secara Adat dan Agama Hindu
1) Bagi jenis perkawinan mapadik didahulukan upacara paweweh.
2) Melaksanakan upacara/upakara pengluku.
3) Melakukan upacara/upakara natab banten kalameji.
4) Melakukan upacara/upakara natab banten mekala-kalaan.
5) Melakukan upacara/upakara natab banten pesakapan/ widi widana.
6) Membawa ketipat bantal (mejauman) ke rumah mempelai wanita dengan

tujuan mohon maaf dan pamitan (ngunye).


b. Secara Administrasi

1)

Bagi umat Hindu di Bali yang berhasrat mengesahkan perkawinannya

secara adat dan agama Hindu, sebelumnya harus memberitahukan


kehendaknya kepada Kepala Desa dengan mengisi formulir.
Kepala desa bersama-sama kelihan dinas dan kelihan adat meneliti

2)

identitas calon mempelai, apakah tidak melanggar ketentuan adat dan agama
serta peraturan yang berlaku.
3)
Apabila sudah lolos secrining maka upacara/upakara perkawinan dapat
dilangsungkan yang dipimpin oleh rohaniawan atau sulinggih yang telah
ngloka phala sraya dengan disaksikan oleh kepala desa, kelihan desa adat,
kelihan dinas, kelihan adat banjar serta para pemuka desa yang lainnya.
4)
Setelah selesai upacara/upakara perkawinan itu barulah dapat
dikeluarkan surat keterangan perkawinan sebagaimana yang ditetapkan
dalam formulir.
5)
Surat kepala desa tersebut disampaikan kepada Camat selaku pegawai
pencatat perkawinan bagi Umat Hindu, lalu diterbitkan akte perkawinannya.

5. Upacara Perkawinan
Upacara perkawinan bagi umat Hindu di Bali disebut dengan nama Pesakapan,
Pekalaa-kalaan, Pawiwahan, pekeraban, atau kerab kambe. Upacara perkawinan
adalah merupakan suatu persaksian baik kehadapan Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan,
ataupun kehadapan masyarakat, bahwa kedua mempelaai mengikat diri sebagai suami
istri, sehingga hubungan sexnya dapat dibenarkan dan segala akibat perbuatannya
menjadi tanggung jawab mereka bersama. Secara rohaniah, upacara tersebut
merupakan pembersihan terhadap kedua mempelai, terutama sukla swanita kedua
bibit mereka, yaitu kama jaya, bibit dari laki-laki dan kama ratih bibit dari perempuan.
Pembersihan ini mengharapkan agar kedua bibit itu bebas dari pengaruh-pengaruh roh
buruk, sehingga bila keduanya bertemu (terjadi pembuahan) akan terbentuklah suatu
janin (manik) yang sudah bersih, dengan demikian dapat diharapkan roh yang akan
menjiwai janin itu atau roh yang akan menjelma adalah roh yang suci dan kemudian
akan lahirlah seorang anak yang baik sesuai dengan keturunan mereka. (Nyonya.
M.Mertami,1987:8)
6. Rangkaian Upacara
a. Upacara Pendahuluan

Upacara byakala kecil atau byakawon (yang akan dilanjutkan dengan upacara
lainnya).
b. Upacara Pokok

Upacara ini merupakan upacara pamuput (penyelesaian) baik secara adat


agama maupun kemasyarakatan , serta kesuciannya dan kesalahannya tidak
diragukan , yang dapat dibedakan menjadi dua:
1) Upacara Madengen-dengen atau mekala-kalaan.

Merupakan bagian terpenting dalam rangkaian upacara perkawinan,


karena pada upacara inilah dilakukan pembersihan terhadap kedua mempelai,
terutama sukla swanita mereka, pesaksian terhadap Ida Sang Hyang Widhi/
Tuhan dan masyarakat. Banten/sajen untuk upacara mekala-kalaan ini adalah:
a) Tikeh dadakan adalah sebuah tikar kecil yang dibuat dari daun pandan

yang masih muda, yang melambangkan kesucian selaput dara


mempelai wanita.
b) Kala Sepetan adalah sebah bakul yang berisi telur ayam,batu

bulitan,kunir,keladi/talas,andong kemudian ditutupi dengan serbut


kelapa yang dibelah tiga,diikat dengan benang tridatu dan didalam
serabut itu diisi sebuah kwangen.
c) batang dadap/dadapsrerp.ketiganya diikat diisi sasap(terbuat dari janur)

pada ujungnya satunya digantungkan sebuah periuk tanah yang


tertutup,sedangkan ujung satunya lagi digantungi bakul yang
d) Sok pedagangan adalah sebuah bakul yang berisi beras,bumbubumbuan,pohon kunir,keladi dan andong(tanaman hias berdaun
mer,berbentuk panjang).
e) Paneteg adalah tiang untuk pemujaan keluarga=adegan sanggah
kemulan dihias dengan kain putih kuning.
f) Pepegatan adalah dua buah cabang dadap/dadapsrep yang ditancapkan

agak berjauhan didekat upacar kemudian dihubungkan keduanya


dengan benang putih (benang bebali atau benang kapas)
g) Tetimpug adalah tiga potong bamboo mentah yang masih kedua

ruasnya, (bamboo itu sebelum dipakai dicuci, diberi sedikit minyak


kelapa), lalu diisi sasap dari janur.
2) Upacara Natab Banten Beduur (Mewidi Widana)

Merupakan penyempurnaan didalam pelaksaan upaca wiwaha,untuk


meningkatkan pembersihan yang telah dilakukan pada upacara mekala kalaan,dipimpin oleh pinpinan upacara (Sulinggih/IdaPeranda).
3) Upacara Mepejati /Mejauman (Ngabe Tipat Bantal)

Upacara ini adalah upacara mapejati atau mejauman atau ngabe tipat
bantal, sebagai lanjutan dari upaca pokok, yang bertujuan untuk menentukan
status dari pihak wanita (pradana) ke pihak laki-laki (purusha). (Nyonya. M.
Mertami,1987:9-12)
B. PERKAWINAN PADA GELAHANG
1. Pengertian Perkawinan Pada Gelahang
Ada beberapa istilah yang dipergunakan untuk menyebut bentuk perkawinan Pada
Gelahang seperti, perkawinan negen dua, mapanak bareng, negen dadua mepanak bareng,
nadua umah, makaro lemah, magelar warang, ada juga yang menyebutkan lumayan
panjang seperti : perkawinan nyentana (nyeburin) dengan perjanjian tanpa upacara
mepamit. Apapun istilah yang diperlukan pada dasarnya mengandung makna yang sama.
Dalam konteks perkawinan yang dilangsungkan umat hindu, istilah-istilah tersebut
mengandung makna, perkawinan yang dilangsungkan yang dilangsungkan sesuai ajaran
agama hindu dan hukum adat Bali, yang tidak termasuk perkawinan biasa (dikenal pula
dengan sebutan kawin keluar) dan juga tidak termasuk perkawinan nyentana (dikenal
pula dengan sebutan kawin kejeburin atau kawin kedalam), melainkan suami dan istri
tetap berstatus kapurusa dirumahnya masing-masing, sehingga harus mengemban
dua tanggug jawab dan kewajiban (swadarma), yaitu meneruskan tanggugjawab istri dan
juga meneruskan tanggug jawab suami, sekala maupun niskala, secara terus menerus atau
dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari kesepakatan pasangan suami istri beserta
keluarganya.
Menurut Ida Bagus Sudarsana, seorang tokoh Agama Hindu Dibali mengemukakan
bahwa "perkawinan dengan sistem makaro lemah atau madua umah ini sangat didasarkan
oleh kekerabatan yang sama, karena waris kewaris dikemudian hari. Perkawinan ini terjadi
karena dari kedua pihak keluarga sama-sama tidak memiliki keluarga pewaris yang lain
yang berhak serta berkewajiban pada masing-masing keluarga tersebut. Pada pewaris nanti
diharapakan dari keturunan sang pengantin diberikan hak dan kewajiban masing-masing.

Perkawinan ini juga berdasarkan cinta sama cinta, suka sama suka dan mendapat
persetujuan dari kedua keluarga".
Walaupun dikenal banyak istilah untuk menyebut bentuk perkawinan ini, dalam
uraian selanjutnya akan dipergunakan perkawinan Pada Gelahang, yang berarti duenang
sareng atau memiliki bersama. Dipilihnya istilah ini disebabkan 2 hal yaitu :
a. Istilah ini mudah dimengerti karena sudah umum dipergunakan dalam kehidupan

bermasyarakat.
b. Istilah ini juga sejalan dalam salah satu prinsip dasar dalam mewujudkan kedamaian
dalam kehidupan bermasyarakat dibali, yaitu duenang sareng atau memiliki
bersama, yang mengandung makna saling menghargai. (Dr.Wayan P.
Windia,SH.,M.SI, dkk,2008:23-26)
2. Faktor Penyebab Perkawinan Pada Gelahang
Perkawinan Pada Gelahang oleh pasangan calon pengantin beserta keluarganya,
disebabkan karena pasangan calon pengantin terlahir sebagai anak tunggal dirumahnya
masing-masing, sehingga tidak mungkin melihat bentuk perkawinan biasa atau bentuk
perkawinan nyentana. Beberapa pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan
Pada Gelahang karena saudara kandungnya diyakini tidak mungkin mengurus dan
meneruskan warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya.
Berdasarkan beberapa contoh pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan
Pada Gelahang, dapat diketahui bahwa faktor yang membelakangi pasangan pengantin dan
keluarga sepakat melangsungkan perkawinan Pada Gelahang adalah :
a. Adanya kekhwatiran warisan yang ditinggalkan oleh orang tua dan leluhur , baik

yang berwujud tanggug jawab atau kewajiban (swadharma) maupun


hak (swadikara), tidak ada yang mengurus dan meneruskan.
b. Adanya kesepakatan di antara calon pengantin beserta keluarganya, untuk

melangsungkan perkawinan Pada Gelahang.


Munculnya kekhwatiran bahwa warisan yang ditinggalakan oleh orang tua dan
leluhurnya tidak ada yang mengurus dan meneruskan, didasarkan atas dua hal. Pertama,
calon pasangan suami istri adalah anak tunggal dirumahnya masing-masing. Kedua.
Adanya keyakinan bahwa saudaranya yang lain, tidak mungkin mengurus dan meneruskan
warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya, karena sesuatu sebab tertentu seperti : sakit

yang tidak mungkin disembuhkan, tidak dikaruniai keturunan atau karena sudah
melangsungkan perkawinan biasa (kawin keluar).
3. Proses Melangsungkan Perkawinan Pada Gelahang
a. Cara Melangsungkan Perkawinan
Pada bab sebelumnya sudah di jelaskan bahwa ada dua cara melangsungkan
perkawin yang lazim dilaksanakan berdasarkan hukum adat Bali, yaitu (1) Perkawinan
dengan cara memadik (meminang) dan (2) perkawinan dengan cara ngerorod (lari
bersama).
Tata cara melangsungkan pepadikan dalam perkawiana biasa atau perkawinan
nyentana, dengan beberapa pembicaraan tambahan berupa kesepakantan tambahan terkait
dengan pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang
dilahirkan di kemudian hari.
Persamaannya antara lain dilaksanakan sesuai tata cara yang sudah lazim berjalan
seperti (memadik) sesuai dengan ajaran agama hindu. Pembicaraan dimulai dari kedua
calon pengantin, dilanjutkan dengan melibatkan orang tua kedua belah pihak terakhir
melibatkan keluarga yang lebih luas serta disaksikan oleh prajuru (perangkat pimpinan)
banjar atau desa pakraman masing-masing. Materi pembicaraan tambahan mengenai
pelaksanaan upacara perkawinan dan keberadaan anak-anak (keturunan) yang dilahirkan
di kemudian hari , dapat dijelaskan sebagai berikut. (Dr.Wayan P.Windia,
SH.,M.Si,dkk,2008:51-52)
b. Upacara perkawinan

Telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa dalam hal melangsungkan


perkawinan biasa, keluarga laki-laki relative lebih sibuk dibandingkan dengan keluarga
perempuan, karena upacaranya dilangsungkan di tempat kediaman pengantin laki-laki.
Sebaliknya dalam melangsungkan perkawinan nyentana, keluarga perempuan relatif lebih
sibuk karena berbagai hal yang harus disiapkan dan dilaksanakan terkait dengan
pelaksanaan upacara perkawinan di tempat kediaman perempuan, menjadi tanggung jawab
keluarga perempuan, sementara keluarga laki-laki hanya bersikap nodia atau
mengikuti rangkaian upacara sesuai tata urutan penyelenggaraan upacara perkawinan
menurut Agama Hindu dan hukum adat Bali.

Dalam hal melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, kesibukan tampak dikedua


belah pihak, baik keluarga laki-laki, maupun keluarga perempuan. Hal ini disebabkan
karena semua pasangan pengantin yang memilih bentuk perkawinan Pada Gelahang
sepakat melangsungkan upacara perkawinannya (upacara byakaonan) di dua tempat.
Ditempat kediaman suami dan di tempat kediaman istri, pada hari yang sama. Soal di
tempat mana dilaksanakan lebih dulu, lagi-lagi tergantung kesepakatan kedua belah pihak
beserta keluarganya. Ada yang melangsungkan melangsungkan upacara di tempat
kediaman suami lebih dulu, kemudian dilanjutkan dengan upacara yang sama di tempat
kediaman istri, atau sebaliknya, ditempat kediaman istri pada pagi hari, kemudian
pada sore hari atau pada hari yang lain, dilanjutkan dengan upacara yang sama ditempat
kediaman suami.
Semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang, tidak
melanjutkanya dengan melaksanakan upacara mapejati di tempat pemujaan keluarga
(sanggah). Selain itu, semua pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada
Gelahang, juga merumuskan kesepakatan keluarga mengenai masa depan kehidupan
pasangan suami istri ini, pada waktu dilaksanakannya pembicaraan meminang (memadik)
mengenai bentuk dan substansi pokok kesepatan keluarga yang dimaksud, tampak seperti
di uraikan di bawah ini.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk, 2008: 52-53)
4.Kesepakatan Keluarga
Adanya kesepakantan calon pengantin dan keluarganya bahwa mereka akan
melangsukan perkawinan Pada Gelahang, merupakan salah satu unsur penting dapat
dilangsungkannya perkawinan yang dimaksud. Rintisan kearah tercapainya kesepakatan
biasanya telah dimulai secara informal oleh orang tuan masing-masing, semasa calon
pengantin masih berstatus berpacaran (magelanan). Apabila peluang dianggap terbuka,
barulah melanjutkan dengan pembicaraan yang lebih formal, pada waktu pembicaraan
antara orang tua kedua belah pihak. Kesepakatan yang di dapat pada waktu pembicaraan
informal ini diteruskan dalam penentuan formal, yaitu pada waktu melangsungkan
Pepandikan (meminang). Disaksikan keluarga yang lebih luas dan perangkat pimpinan
(prajuru) banjar atau Desa Pakraman.
Lebih dari itu, kesepakan keluarga mengenai bentuk perkawinan Pada Gelahang
yang dipilih, tata cara melangsungkannya, tanggung jawab (swadarma) para pihak
dikemudian hari terhadap kelurga dan orang tua masing-masing, serta keberadaan anak-

anak (keturunan) yang dilahirkan, pada umumnya disampaikan secara lisan dengan
disaksikan oleh prajuru adat dan keluarga besar masing-masing. Hanya beberapa keluarga
saja yang membuat kesepakan yang dituangkan dalam bentuk perjanjian atau pernyataan
tertulis.( Dr.Wayan P.Windia, SH.,M.Si,dkk,2008:53-54)
5. Administrasi Perkawinan
Perubahan signifikan dalam hubungan dengan melaksanakan perkawinan dan
perceraian di Bali, terjadi setelah berlakunya U.U. No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan.
Perubahan terutama tampak pada persyaratan perkawinan dan perceraian serta
penyelesaian administrasi atau akte perkawinan dan akte perceraian bagi pasanagan suami
istri yang bercerai. Walaupun pada awal berlakunya, ketentuan ini tidak efektif, tetapi
sekarang ini tidak ada pasangan suami istri yang telah kawin, tidak memiliki akte
perkawinan. Demikian pula halnya dengan akte perceraian bagi pasangan suami istri yang
bercerai.
Akte perkawinan bagi pasangan suami istri yang memilih bentuk perkawinan
nyentana, juga dibuat sesuai dengan tata cara pembuatan akte perkawianan yang berlaku
secara nasional, dengan catatan yang menerangkan bahwa pihak istri yang berkedudukan
sebagai purusa.
Akte perkawinan untuk bentuk perkawianan Pada Gelahang, sampai sekarang belum
ada persamaan persepsi, sehingga belum beragam. Hal itu dapat diketahui dari beberapa
akte perkawinan pasangan suami istri yang melangsungkan perkawinan Pada Gelahang,
yang dilangsungkan sebelum maupun sesudah berlakunya undang-undang no 1 tahun 1974
tentang perkawinan.
6. Keanggotaan di Desa Pakraman
Berkaitan dengan domisili sesudah perkawinan dilangsungkan, ditemui adanya variasi
domosili. Ada pasangan suami istri yang telah memilih dirumah suaminya, ditempat
kediaman yang baru dan ada pula yang menggunakan semacam jadwal. Dalam hal ini
yang penting bukan domisilinya, melaikan keanggotaannya didesa pakramannya. Sesuai
dengan latar belakang dan faktor penyebab dilangsungkannya perkawianan Pada
Gelahang, maka dengan sendirinya pasangan suami istri ini tercatat sebagai anggota
(krama desa) didua desa pakraman, kalau pasanagn suami istri ini berasal dari desa

pakraman yang berbeda. Tetapi kenyataanya , keanggotaannya (pipil) mereka sering


kurang jelas. Kekurang jelasan ini disebabkan oleh dua hal.
Sampai sekarang krama desa memang belum meliliki kartu tanda krama desa
(KTKD) bagi semua anggota keluarga ditempat yang bersangkutan tercatat (mipil),
sehinggah segala kewajiban (swadharma)terhadap masyarakat dilaksanakan oleh orang
tua atau mertuanya. Sesudah anak yang dilahirkan oleh pasangan suami istri Pada
Gelahang dianggap dewasa dan orang tuanya bestatus nyada, barulah pipil di Desa
Pakraman digantikan oleh salah seorang keturunannya.
7. Perkawinan Pada Gelahang Dimasa Depan
Keberadaan perkawinan Pada Gelahang dilangsungkan di Bali, satu hal yang patut
dicatat adalah bahwa dari tahun ketahun pelaksanaan Pada Gelahang, senantiasa
mengalami peningkatan. Tim peneliti menduga, pada tahun mendatang jumlah pasangan
suami istri yang melilih bentuk perkawinan ini cendrung akan semakin meningkat.
Munculnya kenyataan ini disebabkan oleh beberapa hal.
Kemajuan dalam bidang pendidikan yang mendorong semakin tumbuhnya
kesadaran akan hak asasi manusia (HAM) dan penghargaan terhadap harkat dan martabat
manusia, serta semakin tumbuhnya kesadaran akan kesetaraan. (Dr.Wayan P.
Windia,SH.,M.SI,2008:59-69 )

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Dari pemaparan diatas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa Perkawinan Pada
Gelahang adalah salah satu sistem perkawinan di Bali yang berbeda dari biasanya karena baik
suami maupun istri bertindak sebagai Purusa. Perkawinan Pada Gelahang tidak bertentangan
dengan Adat Bali maupun Ajaran Agama Hindu. Adapun dampak secara nyata dari sistem
perkawinan ini yaitu: pasutri memiliki beban gandan dalam melaksanakan kewajiban
dalam Desa Pakraman seperti ayah-ayahan di pura, banjar, dll. Jika pasutri hanya memiliki
satu anak, maka beban anak akan berlipat ganda apalagi anak tersebut akan menikah.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini, adapun saran - saran yang dapat penulis berikan
yaitu adalah sebagai berikut:
1. Sistem Perkawinan Pada Gelahang hendaknya dapat dijadikan solusi di dalam sistem
perkawinan yang dilaksanakan oleh masyarakat Bali.
2. Hendaknya masyarakat memiliki pemikiran yang luas dan memahami persamaan
gender di dalam Masyarakat Bali.

DAFTAR PUSTAKA

Martami, Ny. M. 1993. Tata Rias Pengnatin Bali. Denpasar : Upada Satra
Ida Bagus Anom. Perkawinan Menurut Adat Agama Hindu. Denpasar : Cv. Kayu Mas
Agung.
P. Windia,Wayan,dkk. 2008. Perkawinan Pada Gelahang di Bali. Denpasar : Udayana
University Press.
Pudja.G.M.A. 1996. Manawa Dharmasastra. Jakarta : Hanoman Sakti.
Undang-undang Perkawinan no 1 Tahun 1974

Anda mungkin juga menyukai