A. Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
A. Latar Belakang: Bab I Pendahuluan
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang1
Tonsilektomi merupakan prosedur yang
paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi. Kontroversi mengenai tonsilektomi
dilaporkan lebih banyak bila dibandingkan
dengan
prosedur
operasi
manapun.
Konsensus umum yang beredar sekarang
menyatakan
bahwa
tonsilektomi
telah
dilakukan dalam jumlah yang tidak tepat
(seharusnya) pada anak-anak pada tahuntahun yang lalu. Besarnya jumlah ini karena
keyakinan para dokter dan orangtua tentang
keuntungan
tonsilektomi
dan
bukan
berdasarkan bukti ilmiah atau studi klinis.
Pada dekade terakhir, tonsilektomi tidak
hanya dilakukan untuk tonsilitis berulang,
namun juga untuk berbagai kondisi yang
lebih luas termasuk kesulitan makan,
kegagalan
penambahan
berat
badan,
overbite,
tounge
thrust,
halitosis,
mendengkur, gangguan bicara dan enuresis.
Saat ini walau jumlah operasi tonsilektomi
telah mengalami penurunan bermakna,
namun masih menjadi operasi yang paling
sering dilakukan. Pengeluaran pelayanan
medik untuk prosedur ini diperkirakan adalah
setengah triliun dolar pertahun.
Pada pertengahan abad yang lalu, mulai
terdapat pergeseran dari hampir tidak adanya
kriteria
yang
jelas
untuk
melakukan
tonsilektomi menuju kriteria yang lebih tegas
dan jelas. Selama ini telah dikembangkan
berbagai studi untuk menyusun indikasi
formal
yang
ternyata
menghasilkan
perseteruan berbagai pihak terkait. Dalam
penyusunannya ditemukan kesulitan untuk
memprediksi
kemungkinan
infeksi
di
kemudian hari sehingga dianjurkan terapi
dilakukan dengan pendekatan personal dan
tidak berdasarkan peraturan yang kaku.
American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery telah mengeluarkan
rekomendasi
resmi
mengenai
tindakan
tonsilektomi yang merupakan kesepakatan
para ahli.
Saat ini, selain hasil analisa klinis, isu di
bidang ekonomi
mulai muncul
dalam
pertimbangan pemilihan suatu tindakan,
karena mulai munculnya aturan yang ketat
dalam pembayaran pelayanan kesehatan
oleh pembayar pihak ketiga. Pembayar pihak
ketiga mensyaratkan adanya indikasi yang
Mensosialisasikan
indikasi-indikasi
tersebut kepada seluruh dokter THT di
Indonesia
agar
dapat
dilaksanakan
dengan tetap mempertimbangkan imbang
Manfaat dan Risiko.
Mengkaji
dan
menentukan
standarisasi
teknik
operasi
tonsiloadenoidektomi yang aman, efektif
dan efisien, serta dapat dikerjakan di
Indonesia.
BAB II
METODOLOGI PENILAIAN
A. Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran
literatur
dilakukan
secara
manual dan melalui kepustakaan elektronik:
Pubmed, Cochrane Library, New England
Journal of Medicine, British Medical Journal,
Laryngoscope, Archives Otolaryngology Head
Neck
Surgery,
American
Academy
of
Pediatrics,
American
Society
of
Anaesthesiologist, dalam 20 tahun terakhir
(1984-2004). Informasi juga didapatkan dari
beberapa guidelines antara lain yang disusun
oleh American Academy of OtolaryngologyHead and Neck Surgery (AAO-HNS), Evidence
Based
Medicine
Guidelines,
Scottish
Intercollegiate Guidelines Network serta hasil
kajian HTA dari Catalonian Agency Health
Technology Assessment Barcelona.
Kata kunci yang
tonsillectomy,
tonsilloadenoidectomy,
technique, anesthesia.
digunakan adalah
adenoidectomy,
tonsil,
tonsillitis,
Derajat rekomendasi :
A.
Evidence yang termasuk dalam
level Ia dan Ib.
B.
Evidence yang termasuk dalam
level IIa dan II b.
C.
Evidence yang termasuk dalam
level IIIa, IIIb dan IV.
C. Pengumpulan Data Lokal
Data lokal diperoleh dari jumlah operasi
tonsilektomi dan tonsiloadenoidektomi di
RSUPNCM selama 5 tahun terakhir dan
Rumah Sakit Fatmawati selama 3 tahun
terakhir.
D. Ruang Lingkup
Kajian tonsilektomi pada anak dan dewasa ini
dibatasi pada indikasi, teknik operasi serta
teknik anestesi terpilih untuk tonsilektomi.
BAB III
TONSILEKTOMI
A. Definisi
Tonsilektomi didefinisikan sebagai operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina.2,3
Tonsiloadenoidektomi adalah pengangkatan
tonsil palatina dan jaringan limfoid di
nasofaring yang dikenal sebagai adenoid atau
tonsil faringeal.4
B. Epidemiologi
Tonsilektomi merupakan prosedur operasi
yang praktis dan aman, namun hal ini bukan
berarti tonsilektomi merupakan operasi minor
karena tetap memerlukan keterampilan dan
ketelitian yang tinggi dari operator dalam
pelaksanaannya.5 Di AS karena kekhawatiran
komplikasi, tonsilektomi digolongkan pada
operasi mayor.6,7 Di Indonesia, tonsilektomi
digolongkan pada operasi sedang karena
durasi operasi pendek dan teknik tidak sulit.8
Pada awal tahun 1960 dan 1970-an, telah
dilakukan 1 sampai 2 juta tonsilektomi,
adenoidektomi atau gabungan keduanya
setiap tahunnya di Amerika Serikat.9 Angka
ini menunjukkan penurunan dari waktu ke
waktu dimana pada tahun 1996, diperkirakan
287.000 anak-anak di bawah 15 tahun
menjalani tonsilektomi, dengan atau tanpa
adenoidektomi. Dari jumlah ini, 248.000 anak
(86,4%) menjalani tonsiloadenoidektomi dan
39.000
lainnya
(13,6%)
menjalani
tonsilektomi
saja.
Tren
serupa
juga
ditemukan di Skotlandia. Sedangkan pada
orang dewasa berusia 16 tahun atau lebih,
angka tonsilektomi meningkat dari 72 per
100.000 pada tahun 1990 (2.919 operasi)
menjadi 78 per 100.000 pada tahun 1996
(3.200 operasi).7
Di Indonesia, data nasional mengenai
jumlah
operasi
tonsilektomi
atau
tonsiloadenoidektomi belum ada. Namun,
data yang didapatkan dari RSUPNCM selama
5 tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan
kecenderungan penurunan jumlah operasi
tonsilektomi. Fenomena ini juga terlihat pada
jumlah operasi tonsiloadenoidektomi dengan
puncak kenaikan pada tahun kedua (275
kasus) dan terus menurun sampai tahun 2003
(152 kasus).10 Sedangkan data dari rumah
sakit Fatmawati dalam 3 tahun terakhir
(2002-2004) menunjukkan kecenderungan
Embriologi
Anatomi
To
Anterior m. palatoglosus
Posterior m. palatofaringeus
Superior palatum mole
Inferior tonsil lingual
b.
To
D.
Indikasi Tonsilektomi
2.
In
E. Persiapan Praoperasix8=gabungan
1.
Penilaian Praoperasi
Keputusan
untuk
melakukan
operasi
tonsilektomi pada seorang pasien terletak di
tangan dokter ahli di bidang ini, yaitu dokter
spesialis telinga, hidung dan tenggorok atau
dokter yang bertanggungjawab bila dalam
keadaan tertentu tidak ada dokter spesialis
THT.
Mengingat
tonsilektomi
umumnya
dilakukan di bawah anestesi umum, maka
kondisi kesehatan pasien terlebih dahulu
harus
dievaluasi
untuk
menyatakan
kelayakannya menjalani operasi tersebut.
Karena sebagian besar pasien yang menjalani
tonsilektomi adalah anak-anak dan sisanya
orang dewasa, diperlukan keterlibatan dan
kerjasama dokter umum, dokter spesialis
anak dan dokter spesialis penyakit dalam
untuk memberikan penilaian preoperasi
terhadap pasien. Dalam beberapa literatur
disebutkan bahwa konsultasi kepada dokter
spesialis anak maupun penyakit dalam hanya
dilakukan untuk kondisi tertentu oleh dokter
spesialis THT atau anestesi. Misalnya anak
dengan malnutrisi, kelainan metabolik atau
penyakit tertentu yang dapat meningkatkan
mortalitas dan morbiditas selama dan
pascaoperasi. Konsultasi ini dapat dilakukan
baik oleh dokter spesialis THT maupun
spesialis anestesi.
c.
Keadaan umum
Perlu
perhatian
khusus
terutama bagi dokter spesialis THT untuk
pasien dengan penyulit berupa kelainan
anatomis, kelainan kongenital di daerah
orofaring dan kelainan fungsional. Pada
pasien ini, kelainan yang telah ada dapat
menyulitkan proses operasi. Selain itu
penting
untuk
mendokumentasikan
semua temuan pemeriksaan fisik dalam
rekam medik.
Riwayat kesehatan.
Adanya
penyulit
seperti asma, alergi, epilepsi, kelainan
maksilofasial pada anak dan pada orang
dewasa asma, kelainan paru, diabetes
melitus, hipertensi, epilepsi, dll.
AFP:
riwayat
kelahiran (trauma lahir, berat dan usia
kelahiran), imunisasi, infeksi terakhir
terutama infeksi saluran napas khususnya
pneumonia, Penyakit kronik terutama
paru-paru dan jantung, kelainan anatomi,
obat yang sedang dan pernah digunakan
beserta dosisnya.
Riwayat
operasi
terdahulu dan riwayat anestesi
Pemeriksaan Fisik
d.
Pemeriksaan Penunjang17
dilakukan
Darah tepi
YA
Kimia darah
TIDAK
Hemostatis
TIDAK
Rekomendasi
Pemeriksaan darah tepi lengkap
rutin (Hb, Ht, leukosit, hitung jenis,
trombosit) dilakukan pada anak
usia<5 tahun, sedangkan untuk
anak usia 5 tahun pemeriksaan
darah tepi dilakukan atas indikasi,
yaitu pasien yang diperkirakan
menderita anemia defisiensi,
pasien dengan penyakit jantung,
ginjal, saluran napas atau infeksi .
Pemeriksaan kimia darah
dilakukan bila terdapat risiko
kelainan ginjal, hati, endokrin,
terapi perioperatif, dan pemakaian
obat alternatif.
Pemeriksaan hemostasis dilakukan
pada pasien dengan riwayat atau
kondisi klinis mengarah pada
kelainan koagulasi, akan menjalani
operasi yang dapat menimbulkan
TIDAK
TIDAK
TIDAK
Rekomendasi
Pemeriksaan darah tepi
lengkap dilakukan pada pasien
dengan penyakit hati, riwayat
anemia, perdarahan dan
kelainan darah lainnya, serta
tergantung tipe dan derajat
invasif prosedur operasi.
Urinalisis
TIDAK
Foto toraks
TIDAK
EKG
Rekomendasi
Jawaban
TIDAK
TIDAK
Fungsi Paru
TIDAK
Puasa
TIDAK
Lihat tabel 2
YA
e.
Informed consent8
Rekomendasi
Pemeriksaan urin rutin
dilakukan pada operasi yang
melibatkan manipulasi saluran
kemih dan pasien dengan
gejala infeksi saluran kemih.
Pemeriksaan foto toraks
dilakukan pada pasien usia di
atas 60 tahun, pasien dengan
tanda dan gejala penyakit
kardiopulmonal, infeksi
saluran napas akut, riwayat
merokok.
Pemeriksaan EKG dilakukan
pada pasien dengan diabetes
mellitus, hipertensi, nyeri
dada, gagal jantung kongestif,
riwayat merokok, penyakit
vaskular perifer, dan obesitas,
yang tidak memiliki hasil EKG
dalam 1 tahun terakhir tanpa
memperhatikan usia. Selain
itu EKG juga dilakukan pada
pasien dengan gejala
kardiovaskular periodik atau
tanda dan gejala penyakit
jantung tidak stabil (unstable),
dan semua pasien berusia usia
>40 tahun.
Pemeriksaan spirometri
dilakukan pada pasien dengan
riwayat merokok atau dispnea
yang akan menjalani operasi
pintasan (bypass) koroner
atau abdomen bagian atas;
pasien dengan dispnea tanpa
sebab atau gejala paru yang
akan menjalani operasi leher
dan kepala, ortopedi, atau
abdomen bawah; semua
pasien yang akan menjalani
reseksi paru dan semua
pasien usia lanjut.
Lihat tabel 2
YA
f.
Persiapan praoperasi17
Usia
Anak
Dewasa
<6 bulan
6 36 bulan
>36 bulan
2.
Praanestesia
Penilaian
Penilaian
preanestesia
(preanesthesia
evaluation)
merupakan
proses
evaluasi/penilaian klinis yang dilakukan
sebelum melaksanakan pelayanan anestesi
baik
untuk
prosedur
bedah
maupun
nonbedah.
Penilaian
preanestesi
ini
merupakan tanggung jawab dokter ahli
anestesia dan terdiri dari:18
a. Anamnesis dan Evaluasi rekam medik
Mengetahui keadaan kesehatan pasien akan
sangat
bermanfaat
dalam
mengetahui
riwayat kesehatan dan penyakit yang pernah
atau sedang diderita pasien. Terutama
adanya infeksi saluran pernapasan atas yang
dapat mengganggu manajemen anestesi.
Sehingga dapat dilakukan pelayanan anestesi
yang
baik
dan
persiapan
untuk
mengantisipasi kemungkinan komplikasi yang
mungkin akan dihadapi dokter anestesi yang
bersangkutan. Beberapa studi menyatakan
bahwa terdapat kondisi-kondisi tertentu yang
didapatkan dengan anamnesis disamping
data dari rekam medik.
a.
fisik
Pemeriksaan
kekurangan.
Tidak
seperti
kebanyakan
operasi dimana luka sembuh per primam,
penyembuhan luka pada tonsilektomi terjadi
per sekundam.19
Diskusi terkini dalam memilih jenis teknik
operasi difokuskan pada morbiditas seperti
nyeri,
perdarahan
perioperatif
dan
pascaoperatif serta durasi operasi.19 Selain itu
juga ditentukan oleh kemampuan dan
pengalaman ahli bedah serta ketersediaan
teknologi yang mendukung.20 Beberapa
teknik dan peralatan baru ditemukan dan
dikembangkan di samping teknik tonsilektomi
standar.9
Di Indonesia teknik tonsilektomi yang
terbanyak digunakan saat ini adalah teknik
Guillotine dan diseksi.
1. Guillotine
Tonsilektomi cara guillotine dikerjakan secara
luas sejak akhir abad ke 19, dan dikenal
sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk
mengangkat tonsil. Namun tidak ada literatur
yang menyebutkan kapan tepatnya metode
ini mulai dikerjakan. Tonsilotom modern atau
guillotine
dan
berbagai
modifikasinya
merupakan pengembangan dari sebuah alat
yang dinamakan uvulotome. Uvulotome
merupakan alat yang dirancang untuk
memotong uvula yang edematosa atau
elongasi.5
Pengangkatan
tonsil
pertama
sebagai
tindakan medis telah dilakukan pada abad 1
Masehi oleh Cornelius Celsus di Roma dengan
menggunakan
jari
tangan.9,19
Selama
bertahun-tahun,
berbagai
teknik
dan
instrumen
untuk
tonsilektomi
telah
dikembangkan. Sampai saat ini teknik
tonsilektomi yang optimal dengan morbiditas
yang rendah masih menjadi kontroversi,
masing-masing teknik memiliki kelebihan dan
Penilaian praanestesia
pelaksanaan operasi.
b.
dilakukan
sebelum
Tes praoperasi
Kepustakaan
lama
menyebutkan
beberapa keuntungan teknik ini yaitu cepat,
komplikasi anestesi kecil, biaya kecil.21
2. Diseksi
Kebanyakan tonsilektomi saat ini dilakukan
dengan metode diseksi. Hanya sedikit ahli
THT
yang
secara
rutin
melakukan
tonsilektomi dengan teknik Sluder.22 Di
negara-negara Barat, terutama sejak para
pakar bedah mengenal anestesi umum
dengan endotrakeal pada posisi Rose yang
mempergunakan alat pembuka mulut Davis,
mereka
lebih
banyak
mengerjakan
tonsilektomi dengan cara diseksi. Cara ini
juga banyak digunakan pada pasien anak.x11
Walaupun telah ada modifikasi teknik dan
penemuan peralatan dengan desain yang
lebih baik untuk tonsilektomi, prinsip dasar
teknik tonsilektomi tidak berubah. Pasien
menjalani
anestesi
umum
(general
endotracheal anesthesia). Teknik operasi
meliputi: memegang tonsil, membawanya ke
garis tengah, insisi membran mukosa,
mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar
tonsil dan mengangkatnya dari fossa dengan
manipulasi
hati-hati.
Lalu
dilakukan
hemostasis dengan elektokauter atau ikatan.
Selanjutnya dilakukan irigasi pada daerah
tersebut dengan salin.9
Bagian penting selama tindakan adalah
memposisikan pasien dengan benar dengan
mouth gag pada tempatnya. Lampu kepala
digunakan oleh ahli bedah dan harus
diposisikan serta dicek fungsinya sebelum
tindakan dimulai. Mouth gag diselipkan dan
bilah diposisikan sehingga pipa endotrakeal
terfiksasi aman diantara lidah dan bilah.
Mouth gag paling baik ditempatkan dengan
cara membuka mulut menggunakan jempol
dan 2 jari pertama tangan kiri, untuk
mempertahankan pipa endotrakeal tetap di
garis tengah lidah. Mouth gag diselipkan dan
didorong ke inferior dengan hati-hati agar
ujung bilah tidak mengenai palatum superior
sampai tonsil karena dapat menyebabkan
perdarahan.
Saat
bilah
telah
berada
diposisinya dan pipa endotrakeal dan lidah di
tengah, wire bail untuk gigi atas dikaitkan ke
gigi dan mouth gag dibuka. Tindakan ini
harus dilakukan dengan visualisasi langsung
untuk menghindarkan kerusakan mukosa
orofaringeal akibat ujung bilah. Setelah
mouth gag dibuka dilakukan pemeriksaan
secara hati-hati untuk mengetahui apakah
pipa endotrakeal terlindungi adekuat, bibir
1.
Electrosurg
2.
Radiofrekue
nsi24
Pada
teknik
radiofrekuensi,
elektroda
disisipkan langsung ke jaringan. Densitas
baru di sekitar ujung elektroda cukup tinggi
untuk membuat kerusakan bagian jaringan
melalui pembentukan panas. Selama periode
4-6 minggu, daerah jaringan yang rusak
mengecil
dan
total
volume
jaringan
berkurang. Pengurangan jaringan juga dapat
terjadi bila energi radiofrekuensi diberikan
pada medium penghantar seperti larutan
salin. Partikel yang terionisasi pada daerah ini
dapat
menerima
cukup
energi
untuk
memecah ikatan kimia di jaringan. Karena
proses ini terjadi pada suhu rendah (400C700C), mungkin lebih sedikit jaringan sekitar
yang rusak.
Alat radiofrekuensi yang paling banyak
tersedia yaitu alat Bovie, Elmed Surgitron
system (bekerja pada frekuensi 3,8 MHz), the
Somnus somnoplasty system (bekerja pada
460 kHz), the ArthroCare coblation system
dan Argon plasma coagulators. Dengan alat
ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya,
ablasi sebagian atau berkurang volumenya.
Penggunaan teknik radiofrekuensi dapat
menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun
masih diperlukan studi yang lebih besar
dengan desain yang baik untuk mengevaluasi
keuntungan dan analisa biaya dari teknik ini.
3.
Skalpel
harmonik25
Skalpel harmonik menggunakan teknologi
ultrasonik
untuk
memotong
dan
mengkoagulasikan
jaringan
dengan
kerusakan jaringan minimal. Teknik ini
menggunakan suhu yang lebih rendah
dibandingkan
elektrokauter
dan
laser.
Dengan elektrokauter atau laser, pemotongan
dan koagulasi terjadi bila temperatur sel
cukup tinggi untuk tekanan gas dapat
memecah sel tersebut (biasanya 1500C4000C), sedangkan dengan skalpel harmonik
temperatur disebabkan oleh friksi jauh lebih
rendah (biasanya 500C -1000C). Sistim skalpel
harmonik terdiri atas generator 110 Volt,
handpiece dengan kabel penyambung, pisau
bedah dan pedal kaki.
Dibandingkan dengan
elektrokauter atau laser, kerusakan akibat
panas minimal karena proses pemotongan
dan koagulasi terjadi pada temperatur
lebih rendah dan charring, desiccation
(pengeringan) dan asap juga lebih sedikit.
Tidak
seperti
elektrokauter,
skalpel
harmonik tidak memiliki energi listrik yang
ditransfer ke atau melalui pasien,
sehingga tidak ada stray energi (energi
yang tersasar) yang dapat menyebabkan
shock atau luka bakar.
Dibandingkan
teknik
skalpel, lapangan bedah terlihat jelas
karena
lebih
sedikit
perdarahan,
perdarahan pasca operasi juga minimal.
Dibandingkan dengan
teknik diseksi standar dan elektrokauter,
teknik ini mengurangi nyeri pascaoperasi.
Teknik
ini
juga
menguntungkan bagi pasien terutama
yang tidak bisa mentoleransi kehilangan
darah seperti pada anak-anak, pasien
dengan anemia atau defisiensi faktor VIII
dan pasien yang mendapatkan terapi
antikoagulan.
4.
Coblation26
5.
Intracapsul
ar partial tonsillectomy27
Intracapsular
tonsillectomy
merupakan
tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan
menggunakan
mikrodebrider
endoskopi.
Meskipun mikrodebrider endoskopi bukan
merupakan peralatan ideal untuk tindakan
tonsilektomi, namun tidak ada alat lain yang
dapat menyamai ketepatan dan ketelitian
alat ini dalam membersihkan jaringan tonsil
tanpa melukai kapsulnya.
Pada tonsilektomi intrakapsular, kapsul
tonsil disisakan untuk menghindari terlukanya
otot-otot faring akibat tindakan operasi dan
memberikan lapisan pelindung biologis bagi
otot dari sekret. Hal ini akan mencegah
terjadinya perlukaan jaringan dan mencegah
terjadinya
peradangan
lokal
yang
menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi
nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu
pemulihan. Jaringan tonsil yang tersisa akan
meningkatkan insiden tonsillar regrowth.
Tonsillar regrowth dan tonsilitis kronis
merupakan hal yang perlu mendapat
perhatian khusus dalam teknik tonsilektomi
intrakapsuler.
Tonsilitis
kronis
dikontraindikasikan untuk teknik ini.
Keuntungan teknik ini angka kejadian
nyeri dan perdarahan pasca operasi lebih
rendah dibanding tonsilektomi standar. Tetapi
masih diperlukan studi dengan desain yang
baik untuk menilai keuntungan teknik ini.
6.
KTP)
Laser (CO228
H. Teknik Anestesi29
Pemilihan jenis anestesi untuk tonsilektomi
ditentukan berdasarkan usia pasien, kondisi
kesehatan dan keadaan umum, sarana
prasarana serta keterampilan dokter bedah,
dokter anestesi dan perawat anestesi. Di
Indonesia, tonsilektomi masih dilakukan di
bawah anestesi umum, teknik anestesi lokal
tidak digunakan lagi kecuali di rumah sakit
pendidikan dengan tujuan untuk pendidikan.
Anestesi Umum
Ada
berbagai
teknik
anestesi
untuk
melakukan
tonsiloadenoidektomi.
Obat
anestesia eter tidak boleh digunakan lagi jika
pembedahan menggunakan kauter/diatermi.
Teknik anestesi yang dianjurkan adalah
menggunakan pipa endotrakeal, karena
dengan ini saturasi oksigen bisa ditingkatkan,
jalan napas terjaga bebas, dosis obat anestesi
dapat dikontrol dengan mudah. Dokter ahli
anestesi serta perawat anestesi walaupun
berada di luar lapangan operasi namun masih
memegang kendali jalan napas.31
1. Anestesi endotrakea30,31
Perdarahan pascatonsilektomi32
0= tidak bergerak
Pernapasan
2= bernapas dalam tanpa hambatan
1= dispneu, hiperventilasi, obstruksi
pernapasan
0= apneu
Sirkulasi
2= tekanan darah dalam kisaran 20%
nilai preoperasi
1= tekanan darah dalam kisaran 5020% nilai preoperasi
0= tekanan darah 50% atau kurang
dari nilai preoperasi
Saturasi oksigen
2= SpO2 > 92% pada udara ruangan
1= dibutuhkan tambahan O2 untuk
mempertahankan SpO2 > 92%
0= SpO2 < 92% dengan tambahan O2
Skor total= 10; skor
membutuhkan PACU
<
atau
I. Komplikasi
9
Perawatan postoperasix20
Dalam hal ini terjadi kontroversi mengenai
diet. Belum ada bukti ilmiah yang secara jelas
menyatakan bahwa memberikan pasien diet
biasa
akan
menyebabkan
perdarahan
postoperatif. Bagaimanapun juga, pemberian
cairan secara rutin saat pasien bangun dan
secara bertahap pindah ke makanan lunak
merupakan standar di banyak senter. Cairan
intravena diteruskan sampai pasien berada
dalam keadaan sadar penuh untuk memulai
intake oral. Kebanyakan pasien bisa memulai
diet cair selama 6 sampai 8 jam setelah
operasi dan bisa dipulangkan. Untuk pasien
yang tidak dapat memenuhi intake oral
secara adekuat, muntah berlebihan atau
perdarahan tidak boleh dipulangkan sampai
pasien dalam keadaan stabil. Pengambilan
keputusan untuk tetap mengobservasi pasien
sering hanya berdasarkan pertimbangan
perasaan ahli bedah daripada adanya bukti
yang jelas dapat menunjang keputusan
tersebut.
Antibiotika postoperasi diberikan oleh
kebanyakan dokter bedah. Sebuah studi
randomized oleh Grandis dkk. Menyatakan
terdapat hubungan antara berkurangnya
nyeri dan bau mulut pada pasien yang
diberikan antibiotika postoperasi. Antibiotika
yang dipilih haruslah antibiotika yang aktif
terhadap flora rongga mulut, biasanya
penisilin yang diberikan per oral. Pasien yang
menjalani tonsilektomi untuk infeksi akut atau
Tonsilektomi
merupakan tindakan bedah
yang dilakukan dengan anestesi umum
maupun lokal, sehingga komplikasi yang
ditimbulkannya
merupakan
gabungan
komplikasi tindakan bedah dan anestesi.
Sekitar 1:15.000 pasien yang menjalani
tonsilektomi
meninggal
baik
akibat
perdarahan maupun komplikasi anestesi
dalam 5-7 hari setelah operasi.35
1. Komplikasi anestesi30
Komplikasi terkait anestesi terjadi pada
1:10.000 pasien yang menjalani tonsilektomi
dan
adenoidektomi
(brookwood
ent
associates). Komplikasi ini terkait dengan
keadaan status kesehatan pasien. Adapun
komplikasi yang dapat ditemukan berupa:
- Laringospasme
- Gelisah pasca operasi
- Mual muntah
- Kematian saat induksi pada pasien
dengan hipovolemi32
- Induksi intravena dengan pentotal bisa
menyebabkan hippotensi dan
henti jantung32
- Hipersensitif terhadap obat anestesi
2. Komplikasi bedahx22
a. Perdarahan.
Merupakan komplikasi tersering (0,1-8,1%
dari jumlah kasus).37 Perdarahan dapat terjadi
selama operasi, segera sesudah operasi atau
di rumah. Kematian akibat perdarahan terjadi
pada 1:35.000 pasien. Sebanyak 1 dari 100
pasien kembali karena masalah perdarahan
Nyeri
BAB IV
HASIL DAN DISKUSI
A. Indikasi
Catalonian
Agency
Health
Technology
Assessment (CAHTA) dalam laporannya tahun
1999 menyatakan bahwa meskipun bukti
empiris praktek tonsilektomi masih sedikit,
tetapi terdapat kesepakatan diantara para
ahli mengenai kegunaan tonsilektomi pada
kasus infeksi berulang. Akan tetapi terdapat
kontroversi
mengenai
keparahan
dan
frekuensi infeksi tersebut dan waktu yang
optimal untuk melakukan tindakan karena
kurangnya bukti ilmiah yang ada. Berbagai
perkumpulan ilmuwan dan tenaga ahli
mengeluarkan rekomendasi untuk praktek
tonsilektomi, umumnya berusaha mereview
bukti ilmiah yang ada dan karena kurangnya
bukti ilmiah, rekomendasi sebagian besar
berdasarkan konsensus diantara tenaga ahli.3
Cochrane review (2004) melaporkan
bahwa
efektivitas
tonsilektomi
belum
dievaluasi
secara
formal.
Tonsilektomi
dilakukan secara luas untuk pengobatan
tonsillitis akut atau kronik, tetapi tidak ada
bukti ilmiah randomized controlled trials
untuk
panduan
klinisi
dalam
memformulasikan indikasi bedah untuk anak
dan dewasa. Tidak ditemukan studi RCT yang
mengkaji
efektivitas
tonsilektomi
pada
dewasa. Pada anak ditemukan 5 studi RCT
(Mawson 1967; McKee 1963; Roydhouse
1970; Paradise 1984; Paradise 1992), tetapi
yang diikutkan dalam review hanya 2 studi
(Paradise 1984; Paradise 1992) sedang 3
studi lain tidak memenuhi kriteria. Studi
pertama oleh Paradise (1984), dilakukan pada
anak yang dengan infeksi tenggorok berat.
Dari studi ini tidak dapat dibuat kesimpulan
yang tegas tentang tonsilektomi karena
adanya
keterbatasan
metodologi
yaitu
adanya perbedaan kelompok operasi dengan
kelompok kontrol dalam hal riwayat episode
infeksi sebelum mengikuti studi (kelompok
operasi meliputi anak dengan penyakit yang
lebih berat) dan status sosial ekonomi
(kelompok nonoperasi memiliki status sosial
ekonomi yang lebih tinggi) serta kelompok
tonsilektomi
dan
tonsilo-adenoidektomi
dilaporkan sebagai satu kelompok operasi.
Disamping itu, studi ini meliputi hanya anak
dengan infeksi tenggorok berat, pada
pemantauan, banyak kelompok kontrol yang
memiliki episode infeksi sedikit dan biasanya
ringan. Studi kedua oleh Paradise (1992)
meliputi anak dengan infeksi sedang tidak
dapat
dievaluasi
karena
saat
review
dilakukan tidak ada data yang lebih detil dari
desain
dan
bagaimana
penelitian
ini
dilakukan (hasil penelitian baru dalam bentuk
abstrak).2
Darrow dan Siemens (2002) melakukan
review uji klinis untuk memberikan dasar bagi
klinisi
dalam
memutuskan
bedah
adenotonsilar untuk pasiennya. Dilaporkan
bahwa
indikasi
absolut
tonsiloadenoidektomi
adalah
hiperplasia
adenotonsilar dengan obstructive sleep
apnea, gagal tumbuh (failure to thrive) atau
perkembangan
dentofacial
abnormal;
kecurigaan
keganasan;
dan
(untuk
tonsilektomi) tonsillitis perdarahan. Indikasi
relatif
tonsiloadenoidektomi
adalah
hiperplasia adenotonsilar dengan obstruksi
saluran nafas atas, disfagia, penurunan
kemampuan bicara dan halitosis. Indikasi
relatif lain untuk adenoidektomi saja adalah
otitis media dan rinosinusitis atau adenoiditis
rekuren atau kronik. Indikasi relatif lain untuk
tonsilektomi saja adalah faringotonsilitis
rekuren atau kronik, abses peritonsilar dan
infeksi streptokokus.6
1. Anak
a.
b.
Infeksi
dan Berulang7
Tenggorok
Sedang
Paradise
dkk.
(1992)
melakukan
2
randomized, unblinded, controlled trials
secara paralel di Pittsburgh pada 203 anak.
Keluaran utama berupa timbulnya episode
infeksi tenggorok dalam follow up selama 3
tahun. Dilaporkan bahwa insidens infeksi
tenggorok secara signifikan lebih rendah
pada kelompok yang menjalani operasi
dibandingkan dengan kelompok kontrol
selama 3 tahun pemantauan. Namun, di
antara pasien dalam kelompok kontrol,
episode infeksi sedang maupun rendah
secara rata-rata memang rendah (berkisar
antara 0.16-0.43 per tahun).
Untuk studi ini, kriteria inklusi yang
digunakan untuk sampel adalah berusia 3
sampai 15 tahun dan memiliki riwayat infeksi
tenggorok berulang (tonsilitis, faringitis, atau
tonsilofaringitis). Selain itu, pasien harus
memenuhi kriteria frekuensi atau gambaran
klinis atau dokumentasi dan tidak memiliki
lebih dari 1 kriteria tersebut (penjelasan
kriteria sama dengan penelitian sebelumnya
untuk infeksi tenggorok berat dan berulang).
Kriteria
inklusi
ini
lebih
ketat
bila
dibandingkan dengan national guidelines
yang dikeluarkan oleh the American Academy
of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (3
atau lebih infeksi pada tonsil dan atau
adenoid per tahun dengan terapi medis yang
adekuat).
Sehingga disimpulkan bahwa walaupun
terdapat
manfaat
tonsilektomi,
harus
dipertimbangkan juga kemungkinan risiko
yang akan ditemui, morbiditas serta biaya
operasi. Dalam keadaan biasa, kriteria
c.
Tabel 3. Nilai rata-rata subskala CHQ-PF28 pada anak-anak dengan penyakit tonsil dan adenoid serta anak sehat40
Subskala
Anak-anak dengan penyakit
Anak-anak sehat
tonsil dan adenoid (n= 55)*
(n= 391)
Fungsi fisik
75,2 (67,3-83,1)
95,0
Keterbatasan peranan/sosial
perilaku/emosional
fisik
Bodily pain/discomfort
Perilaku
Kesehatan mental
Kepercayaan diri
Persepsi kesehatan umum
Pengaruh terhadap orangtua (emosional)
Aktivitas famili
Kohesi famili
83,0
81,7
63,5
59,1
76,1
77,0
58,5
53,2
66,3
62,5
78,4
( 74,5-91,5)
(72,6-90,8)
(54,8-72,3)
(53,2-64,9)
(70,9-81,4)
(69,7-84,4)
(52,6-64,5)
(45,5-60,9)
(56,3-76,4)
(54,3-70,7)
(73,2-83,7)
92,5
93,7
81,3
70,8
79,7
80,1
74,0
81,3
88,4
91,1
72,4
(P<0.05)
sering
(p=0,01),
begitu
juga
dengan
penggunaan
antibiotik
(P<0,01)
bila
dibandingkan
dengan
pasien
yang
streptokokusnya negatif. Perbedaan diantara
kedua kelompok tidak bermakna lagi setelah
operasi baik untuk kunjungan dokter maupun
penggunaan antibiotik. Saat survei melalui
telepon,
sebagian
besar
responden
melaporkan radang tenggorok mereka jarang
muncul dan merekomendasikan operasi ini
(88% pasien), radang tenggorok yang muncul
lebih ringan (87% pasien) dan kehilangan hari
kerja atau sekolah lebih sedikit (90% pasien).
Disimpulkan bahwa tonsilektomi dini pada
pasien dengan infeksi tenggorok berulang
dapat
memperbaiki
kepuasan
pasien,
kesehatan
dan
penggunaan
sumber
pengobatan.
Bhattacharya dkk.43 (2001) melaporkan
studi cross-sectional pada 65 pasien yang
berusia rata-rata 27,3 tahun (16-60 tahun)
yang telah menjalani tonsilektomi minimal
satu tahun sebelumnya. Waktu pemantauan
pada studi ini rata-rata 46,2 bulan (15,9
bulan-76,2 bulan). Dari studi ini ditemukan
adanya perbaikan Glasgow Benefit Inventory
(GBI) yang bermakna secara statistik
(P<0,001), yakni pada skor total (+27,1),
subskor kesehatan umum (+34,7), subskor
fungsi sosial (+14,4) dan subskor fungsi fisik
(+9,5).
Hal
ini
menunjukkan
adanya
keuntungan tonsilektomi yang bermakna
terhadap kesehatan. Setelah tonsilektomi,
juga
dicatat
adanya
penurunan
yang
bermakna secara statistik (P<0,001) dalam
jumlah rata-rata minggu menerima antibiotik
(-7,8 minggu), rata-rata kunjungan dokter (5,4) dan rata-rata kehilangan hari kerja (-6,3
hari).
Disimpulkan bahwa tonsilektomi pada
dewasa bermakna memperbaiki kualitas
hidup pada pasien dengan tonsilitis kronik.
Tonsilektomi
bermakna
mengurangi
penggunaan
sumber
pengobatan
dan
kehilangan hari kerja setelah tonsilektomi.
Faktor tersebut harus dimasukkan dalam
pengambilan keputusan untuk melakukan
tonsilektomi.
B. Teknik Operasi
Berbagai kepustakaan yang didapatkan
mengenai perbandingan berbagai teknik
terbaru
tonsilektomi
tidak
ada
yang
membandingkan
secara
langsung
keuntungan dan kerugian dari masing-masing
teknik.
Kebanyakan
dari
kepustakaan
tersebut membandingkan 2 teknik terbaru.
Penilaian umumnya berdasarkan durasi
operasi, perdarahan intra dan pascaoperasi
serta nyeri pascaoperasi.
Cochrane
review44
(2004)
yang
membandingkan morbiditas dihubungkan
teknik tonsilektomi diseksi dengan diatermi
menyimpulkan bahwa data yang ada tidak
cukup untuk menunjukkan keunggulan salah
satu dari metode tonsilektomi. Terdapat bukti
bahwa nyeri lebih banyak terjadi dengan
teknik diseksi monopolar dibandingkan cold
dissection. RCT yang lebih besar dengan
desain
yang
baik
diperlukan
untuk
menjelaskan metode yang optimum untuk
tonsilektomi. dari review ini ditemukan
sejumlah 22 studi tetapi 20 studi tidak
diikuitkan karena tidak memenuhi kriteria
inklusi untuk metode randomisasi, kontrol
dan kriteria outcome. Sejumlah 2 studi yang
memenuhi
kriteria,
salah
satu
membandingkan
monopolar
dissection
diathermy
dengan
conventional
cold
dissection pada anak dan yang lainnya
membandingkan
microscopic
bipolar
dissection dengan cold dissection pada anak
dan dewasa. Pada kedua studi tersebut,
perdarahan
intraoperasi
pada
kelompk
diatermi lebih sedikit dibanading kelompok
diseksi. Tidak ada perdarahan primer
dilaporkan pada kedua studi. Kejadian
perdarahan sekunder jarang pada kedua studi
dan tidak ada perbedaan antara kelompok
diseksi dengan diatermi. Kebutuhan akan
analgesik pada 24 jam pertama tidak berbeda
Nilai P
<0,001
<0,001
<0,001
anestesi
lokal
pada
BAB V
BIAYA
Suatu jenis terapi untuk dapat diterima baik
oleh pemberi layanan kesehatan, perencana
pelayanan kesehatan maupun oleh pihak ke
tiga, harus terbukti efektif secara klinis dan
cost-effective dalam penanganan suatu
penyakit.54
Tonsilektomi merupakan prosedur yang
paling sering dilakukan dalam sejarah
operasi. Saat ini jumlah operasi ini telah
menurun bermakna, namun masih menjadi
operasi yang paling sering dilakukan.
Diperkirakan pengeluaran pelayanan medik
untuk operasi ini mencapai setengah triliun
dolar per tahun.1
Dari studi kohort yang dilakukan oleh
Bhattacharya dan Kepnes (2002) dilaporkan
bahwa pada populasi dewasa, tonsilektomi
terbukti efektif secara klinis, dimana setelah
dilakukan tonsilektomi terdapat perbaikan
kualitas hidup yang bermakna (skor total GBI
+27,54 [95%CI 4,63, p<0,001]). Setelah
12 bulan tonsilektomi juga ditemukan
penurunan rata-rata pertahun yang bermakna
dalam jumlah minggu penggunaan antibiotik
(menurun 5,9 minggu [p<0,001]), jumlah
kehilangan hari kerja karena tonsilitis
(menurun 8,7 hari [p<0,001]) dan jumlah
kunjungan dokter untuk tonsilitis (menurun
5,3 kunjungan [p<0,001]).54
Selain terbukti efektif secara klinis,
tonsilektomi pada pasien dewasa juga
memiliki pengaruh ekonomi. Setelah 12 bulan
tonsilektomi ditemukan adanya penghematan
biaya sebesar $1,275,82/tahun dibanding
sebelum dilakukan tonsilektomi.54
Biaya
rata-rata
pengobatan
tonsilitis
kronis
Biaya
rata-rata
dihubungkan
dengan
kehilangan
hari
kerja
akibat tonsilitis kronis
Total penghematan biaya
ekonomi
12 bulan sebelum
tonsilektomi
$242,89/pasien
12 bulan sesudah
tonsilektomi
$14,17/pasien
Penghematan biaya
$1,128,88/pasien
$81,78/pasien
$1,047.10/tahun
$228,72/tahun
$1,275,82/tahun
BAB VI
REKOMENDASI
A. BATASAN
1. Tonsilektomi
adalah
operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina.
2. Tonsiloadenoidektomi
adalah
operasi
pengangkatan seluruh tonsil palatina dan
tonsil faringeal (adenoid).
3. Tonsiloadenoidektomi
dilakukan
oleh
dokter
spesialis
THT
berdasarkan
kompetensi.
B. INDIKASI
1.
Indikasi absolut
a.
Hipertrofi
tonsil
yang
menyebabkan:
Obstruksi saluran napas
misal pada OSAS (Obstructive
Sleep Apnea Syndrome)
(Derajat rekomendasi C)
Disfagia
berat
yang
disebabkan obstruksi
(Derajat Rekomendasi C)
Gangguan tidur
(Derajat Rekomendasi C)
Gangguan pertumbuhan
dentofacial
(Derajat Rekomendasi C)
Gangguan
bicara
(hiponasal)
(Derajat Rekomendasi C)
Komplikasi
kardiopulmoner
(Derajat Rekomendasi C)
b.
Riwayat abses peritonsil.
(Derajat Rekomendasi C)
c.
Tonsilitis
yang
membutuhkan
biopsi
untuk
menentukan
patologi
anatomi
terutama
untuk
hipertrofi
tonsil
unilateral.
(Derajat Rekomendasi C)
d.
Tonsilitis
kronik
atau
berulang sebagai fokal infeksi untuk
penyakit-penyakit lain.
(Derajat Rekomendasi C)
2.
Indikasi relatif
a.
Terjadi 7 episode atau
lebih infeksi tonsil pada tahun
sebelumnya, atau 5 episode atau lebih
infeksi tonsil tiap tahun pada 2 tahun
sebelumnya atau 3 episode atau lebih
infeksi tonsil tiap tahun pada 3 tahun
3.
1.
Anestesi
yang
digunakan
adalah anestesi umum dengan teknik
perlindungan jalan nafas.
2.
Pemantauan ditujukan atas
fungsi nafas dan sirkulasi. Pulse oxymeter
dianjurkan sebagai alat monitoring.
SUMBER
American Academy of Otolaryngology-Head
and Neck Surgery (AAO-HNS)14
INDIKASI
Indikasi Absolut
Pembengkakan tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur
dan komplikasi kardiopulmoner
Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
-laktamase resisten
2.
Scottish
Network55
Intercollegiate
Guidelines
3.
4.
INSALUD
Spanyol3
5.
6.
(National
Institute
of
Health)
Halitosis akibat tonsilitis kronik yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
Tonsilitis kronik atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik
Keparahan episode sore throat sampai mengganggu pasien dalam menjalani fungsi kehidupan normal
Tonsilitis bakterialis berulang (>4x/tahun). Dengan catatan hasil kultur bakteri harus dicantumkan dalam surat rujukan
Tonsilitis akut dengan komplikasi: abses peritonsiler, septikemia. Pasien dengan abses peritonsiler berusia <40 tahun langsung diterapi
dengan tonsilektomi.
Sumbatan jalan napas yang disebabkan tonsil (T3-T3), sleep apnea, kelainan oklusi gigi
Tonsilitis kronik, merupakan indikasi relatif tonsilektomi. Tindakan dianjurkan apabila pasien mengalami halitosis, nyeri tenggorok, gagging, dan
keluhan tidak hilang dengan pengobatan biasa.
Indikasi absolut
Kanker tonsil
Penyumbatan saluran nafas berat pada rinofaring dengan desaturasi atau retensi CO2
Indikasi relatif
Infeksi rekuren dengan eksudat, dapat dibedakan dengan jelas dari common cold, dengan 7 atau lebih
episode pada tahun ini, atau 5 episode pertahun pada 2 tahun sebelumnya, atau 3 episode pertahun pada 3 tahun sebelumnya.
Abses peritonsilar
Tidak diindikasikan
Ketulian
Penyakit sistemik
Faringitis rekuren
Faringitis kronik
Dugaan neoplasma
Berdasarkan hasil literatur review:
7.
8.
Tonsilitis
Hipertrofi tonsil
Experience
Faringitis streptokokus rekuren
DAFTAR PUSTAKA
1.
Eibling DE. Tonsillectomy. In:
Myers
EN,
editor.
Operative
Otolaryngology Head and Neck Surgery.
Philadelphia: WB Saunders Company
1997.p.186-97
2.
Burton MJ, Towler B, Glasziou
P. Tonsillectomy versus non-surgical
treatment for chronic/recurrent acute
tonsillitis (Cochrane Review). In: The
Cochrane
Library,
Issue
3,
2004.
Chichester, UK: John Wiley & Sons, Ltd.
3.
Larizgoita I. Tonsillectomy:
scientific evidence, clinical practice and
uncertainties. Barcelona: CAHTA 1999
4.
Bailey BJ. Tonsillectomy. In:
Bailey BJ, Calhour KH, Friedman NR,
Newlands SD, Vrabec JT, editors. Atlas of
Head and Neck Surgery-Otolaryngology.
Philadelphia:Lippincott Williams & Wilkins
2001.2nd edition.p.327-2-327-6
5.
Mathews
J,
Lancaster
J,
Sherman I, Sullivan GO. Historical article
guillotine tonsillectomy: a glimpse into its
history and current status in the United
Kingdom. The Journal of Laryngology and
Otology 2002;116:988-91
6.
Darrow DH, Siemens C.
Indications
for
tonsillectomy
and
adenoidectomy.
Laryngoscope
2002;112:6-10
7.
Paradise JL, Bluestone CD,
Colborn DK, Bernard BS, Rockette HE,
Kurs-Lasky
M.
Tonsillectomy
and
adenoidectomy for recurrent throat
infection in moderately affected children.
Pediatrics 2002;110:7-15
8.
Hasil
rapat
Tim
Ahli
Tonsilektomi pada Anak dan Dewasa,
HTA Indonesia.
9.
Younis RT, Lazar RH. History
and current practice of tonsillectomy.
Laryngoscope 2002;112:3-5
10.
Data
operasi
Tonsiloadenoidektomi tahun 1999-2003
Bagian THT FKUI-RSUPNCM.
11.
Data
operasi
Tonsiloadenoidektomi tahun 2002-2004
RS Fatmawati.
12.
Zuniar.
Kumpulan
karya
ilmiah: Gambaran mikrobiologi pada
tonsilitis kronis dari hasil usapan
tenggorok dan bagian dalam tonsil. FKUIPPDS bidang studi ilmu THT 2001.
13.
Berkowitz RG, Zalzal GH.
Tonsillectomy in children under 3 years
of age. Arch Otolaryngol Head Neck Surg
1990; 116:685-6.[Abstract]
14.
Drake
A.
Carr
MS.
Tonsillectomy. October, 2004. Available
at:
http://www.emedicine.com/ent/topic315.
htm
15.
Bhattacharya N. When does
an adult need tonsillectomy? Cleveland
45.
Kretz FJ, Reimann B, Stelzner
J, Heumann H, Lange-Stumpf U. The
laryngeal
mask
in
pediatric
adenotonsillectomy. A meta-analysis of
medical
studies.
Anaesthetist
2000;49:706-12 [Abstract] Article in
German
46.
Ebster AC, Morley-Forster PK,
Dain S, Ganapathy S, Ruby R, Au A, Cook
MJ. Anesthesia for adenotonsillectomy: a
comparison between tracheal intubation
and the armoured laryngeal mask airway.
Can J Anaeth 1993;40:757-8.[Abstract]
47.
Bredenkamp JK, Abemayor E,
Wackym PA, Ward PH. Tonsillectomy
under local anesthesia: a safe and
effective alternative. Am J Otolaryngol
1990;11:18-22 [Abstract]
48.
Agren
K,
Angquiat
S,
Danneman A, Feychting B. Local versus
general anesthesia in tonsillectomy. Clin
Otolaryngol 1989;14:97-100 [Abstract]
49.
McClairen WC Jr, Strauss M.
Tonsillectomy: a clinical study comparing
the effects of local versus general
anesthesia. Laryngoscope 1986;96:30810 [Abstract]
50.
Kountakis SE. Effectiveness
of perioperative bupivacaine infiltration
in
tonsillectomy
patients.
Am
J
Otolaryngol 2002;23:76-80
51.
Ohlms LA. Injection of local
anesthetic
in
tonsillectomy.
Arch
Otolaryngol
Head
Neck
Surg
2001;127:1276-8
52.
National
Prospective
Tonsillectomy Audit. Interim report 2004.
Available
from:
http://www.tonsilaudit.org
53.
Krishna P, Lee D. Posttonsillectomy bleeding: A meta-analysis.
Laryngoscope 2001;111:1358-61
54.
Bhattacharya N, Kepnes LJ.
Economic benefit of tonsillectomy in
adults with chronic tonsillitis. Arch of
Otolaryngol and Head Neck Surg
2002;127:1347-50
55.
Scottish
Intercollegiate
Guidelines Network. Management of sore
throat and indications for tonsillectomy.
January,
1999.
Available
at:
http://www.sign.ac.uk/pdf/sign34.pdf
56.
EBM Guidelines. Sore throat
and tonsillitis. April, 2001. Available at:
http://www.ebm-guidelines.com
PANEL AHLI
dr.Bambang Hermani, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Darnila Fachrudin, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Syahrial M.H., SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. Bambang Udjidjoko Riyanto, SpTHT
Departemen Telinga Hidung dan Tenggorok
Rumah Sakit dr. Sardjito Yogyakarta
dr. Susilo, SpAnKIC
Departemen Anestesi
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
dr. H.N. Nazar, FinaCS
Ikatan Dokter Bedah Indonesia
TIM TEKNIS
Ketua
: Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K)
Anggota : Prof.Dr.dr. H.R.Eddy Rahardjo, SpAn, KIC
Dr.dr. Akmal Taher, SpB, SpU
dr. Ratna Mardiati, SpKJ
dr. Wuwuh Utami N., MKes
dr. Monalisa Nasrul
dr. Mutiara Arcan
dr. Nastiti Rahajeng