Bab 2
Bab 2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemi, gejala ini disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (WebMD,
2010).
Data yang diambil dari riset kesehatan nasional kementrian kesehatan
Republik Indonesia (2014) menunjukan bahwa DM dengn segala komplikasinya
menempati urutan ke tiga sebagai penyakit mematikan di Indonesia. Sebanyak
5,7% dari seluruh penduduk Indonesia diatas 15 tahun merupakan penderita DM.
Dari angka tersebut ternyata hanya 26,3% yang terdiagnosa dan sisanya sebesar
73,7% tidak terdiagnosa. Angka tersebut menunukan bahwa masih banyak
penduduk Indonesai yang tidak mengetahui gejala awal DM hingga terjadinya
penyakit tersebut.
Berdasarkan penyebab dasarnya, diabetes dibagi menjadi 2 tipe, diabetes
tipe 1 dan diabetes tipe 2. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh gangguan produksi
insulin, sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan karena gangguan fungsi insulin
(American Diabetes Association, 2016).
2.1.1. Diabetes Type 1 (Kurangnya Produksi Insulin Oleh Sel Beta
1
Pankreas)
Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas
atau
penyakit yang mengganggu produksi insulin. Autoimune atau infeksi virus dapat
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Pada beberapa kasus, kecendrungan
faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta , bahkan tanpa adanya
infeksi virus atau kelainan autoimmune (Guyton & Hall, 2006).
2
Kadar Gula darah pada tipe ini bisa mencapai 300-500 mg/dl dari batas
normal yaitu 180 mg/dl. Kurangnya insulin menyebabkan efisiensi penggunaan
glukosa di perifer berkurang. Tingginya kadar glukosa dalam darah membuat
lebih banyak glukosa yang masuk ke dalam tubulus ginjal untuk difiltrasi
melebihi jumlah yang akan di reasorbsi, dan kelebihan gluosa akan dikeluarkan
melalui urin (Guyton & Hall, 2006).
3
Jika dalam waktu yang lama kadar glukosa darah tidak terkontrol,
Energi
Pi
(Fosfat Inorganic)
KP
(Kreatin Fosfat)
Kreatinin
ADP
(Adenosin Disfosfat)
ATP
(Adenosin Trifospat)
Bagan 2.1. ATP yang tebentuk dapat digunakan untuk aktivitas fisik
selama 6-8 detik
-
ATP
(Adenosin
Trifospat)
ADP
(Adenosin Disfosfat)
CO2
Glikolisis/glukosa
H2O
Pi
(Fosfat Inorganic)
ATP
(Adenosin Trifospat)
10
Siklus Krebs
Siklus krebs adalah serangkaian reaksi metabolic dalam tubuh yang
bertujuan untuk menghasilkan energi dari oksidasi molekul asetil-CoA
hasil tiga metabolisme karbohidrat utama, Glikolisis, Jalur Pentosa
Fosfat dan Jalur Entner-Doudoroff (Namikaze, 2015). Siklus krebs terjadi
pada organel mitokondria, yang merupakan mesin penghasil energy dalam
sel. Spesifiknya terletak pada matriks mitokondria.
Dalam siklus ini gugus asetil dari asetil-CoA dipecah menjadi
kabondioksida dan atom hydrogen didalam motokondria. Asam pirufat
dipecah menjadi CO2 dan H2O dengan menggunakan O2 (Guyton & Hall,
2012). Jadi, siklus yang juga dikenal sebagai siklus asam sitrat dan siklus
asam trikarboksilat ini merupakan salah satu cara sel mengoksidasi secara
total asam piruvat dalam kondisi aerobik.
11
% Denyut Nadi
Waktu Jeda
Total Set
Ringan
Maksimal
50-60%
Waktu/set
3-10 Menit
1-3x
Istirahat/Set
1-3 menit (diam)
Sedang
80-90%
4 Menit
4x
3 menit (sambil
bergerak 60% DNM)
Berat
100-120%
30 Detik
16x
30 detik (diam)
12
Tabel 2.2. Dosis pemberian latihan fisik aerobic untuk hewan coba dengan
menggunakan treadmill
Intensitas
Ringan
Kecepatan treadmill
7-15 meter/menit
Sedang
16-25 meter/menit
Berat
26-33 meter/menit
Dengan pemberian latihan fisik yang sesaui dosis dan terprogram dengan
baik, akan meningkatkan kebugaran dan dapat pula meningkatkan metabolism
glukosa menjadi lebih baik (Palar et al, 2015).
disbanding tipe II, hal tersebut dikarenakan banyaknya mitokondria didalam sel
otot yang berfungsi sebagai sumber energy untuk otot berkontraksi sehingga otot
ini juga dikatakan bersifat aerobik, sedangkan type II fiber hanya menstimulasi
muscle fiber type tonic dan memiliki warna yang cedrung berwarna putih serta
bersifat anaerobik.
13
Otot rangka memiliki pasokan darah yang banyak, hal ini dapat dimengerti
karena serat otot berkontraksi menggunakan energy dalam jumlah yang besar dan
memerlukan distribusi oksigen yang berlanjut serta nutrisi melalui arteri. Sel-sel
otot juga mengeluarkan limbah metabolisme yang harus dibuang melalui
pembuluh darah jika kontraksi. Dalam satu otot yang utuh, serat-serat otot
dibungkus oleh beberapa selubung jaringan ikat yang berbeda. Selubung jaringan
ikat tersebut mengikat setiap sel dan memperkuat otot secara keseluruhan,
mencegah otot menggembung dan meledak saat kontraksi sangat kuat (Sherwood,
2008). Tortora dan Grabowski (2011) membagi beberapa lapisan pada otot yang
terlihat pada gambar 2.4.
Keterangan
sel
otot,
pembungkus
ditambah
jaringan
ikat,
2. Fascicle
otot
selubung
lainnya
jaringan
oleh
ikat
(Perimysium).
3. Muscle Fiber
4. Myobiril
dan
penyambung
dari
14
5. Sarcomare
6. Filament
tebal
molekul
myosin;
berisi
dibundel
filamen
tipis
15
16
17
Sedentary
Aging
Mitokondria :
Volume
Quality
Function
Otot Rangka :
Volume
Quality
Function
Kapasitas
Fungsional
Morbidity
Gambar 2.6. Skema mitokondria dan otot rangka yang
dipengaruhi penuaan. (Adam & Sreekumaran, 2013)
18
19
secara berlebihan atau dengan cara yang tidak spesifik, mereka mempersingkat
kelangsungan hidup dan mempercepat timbulnya penyakit yang berkaitan dengan
usia (Sanz, 2016). Sedangkan menurut Wang & Chen (2016) Dalam kondisi
fisiologis, konsentrasi ROS secara ketat dikontrol oleh mekanisme pertahanan
antioksidan endogen, seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation
reduktase. Kadar ROS yang berlebihan dapat menyebabkan stres oksidatif dan
kelainan seluler konsekuen.
Poljak & Malisav (2012) dalam artikelnya menjelaskan bahwa respon
stres selular adalah reaksi terhadap perubahan atau dapat merusak struktur dan
fungsi makromolekul. Namun stres yang berbeda memicu respon seluler yang
berbeda, yaitu menginduksi mekanisme perbaikan sel, menginduksi respon sel
yang menghasilkan adaptasi metabolik.
2.4.4. Hypoxia Preconditioning Saat Latihan Aerobik
Hypoxia merupakan kondisi tubuh kekurangan pasokan oksigen untuk
melakukan fungsi normalnya (Dorland & Newman, 2010). Namun pada waktu
yang dapat ditoleransi, hipoksia akan memberikan efek preconditioning atau
perlindungan. Preconditioning akan meningkatkan ketahanan atau daya tahan sel
terhadap paparan hypoxia berikutnya. Hypoxia preconditioning diartikan sebagai
kondisi adaptasi yang diakarenakan oleh system antioksidan dalam tubuh.
Penurunan jaringan atau konsentrasi oksigen jaringan hingga di bawah normal
(Vanden et al, 1998).
Ada sejumlah jenis preconditioning yang sedang dipelajari pada bebrapa
organ. Beberapa studi ini menggunakan preconditioning iskemik di mana aliran
darah sementara menurun sebelum iskemik yang biasanya akan menghasilkan
infark. Hypoxia preconditioning telah dijelaskan di otak, jantung, retina, dan
jaringan lain. Jenis lain dari preconditioning telah dijelaskan in vivo dan in vitro
termasuk hipertermia, hipotermia, preconditioning kimia dengan menghalangi
siklus Krebs atau rantai pernapasan, glutamate dan seizures, linoleic acid,
erythropoietin, tumor necrosis factor (TNF), ceramide, desferrioxamine dan
cobalt, isoflurane, thrombin, dan lain-lain (Vanden et al, 1998). Dalam beberapa
tahun terakhir, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi
mekanisme molekuler yang terlibat dalam respon preconditioning-induced.
20
Mekanisme ini banyak terjadi dalam mitokondria dimana organel ini merupakan
regulator master preconditioning neuroprotektor endogen (Correia et al, 2010).
2.4.6. Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Coactivator-1
Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Coactivator-1
(Valero,
2014). Reseptor
ini berinteraksi
dengan
nuclear
elemen-binding
protein
( CREB )
dan
faktor
pernapasan
21
22