Anda di halaman 1dari 18

5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus (DM) adalah suatu penyakit atau gangguan metabolisme
kronis dengan multi etiologi yang ditandai dengan tingginya kadar glukosa dalam
darah atau hiperglikemi, gejala ini disertai dengan gangguan metabolisme
karbohidrat, lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin (WebMD,
2010).
Data yang diambil dari riset kesehatan nasional kementrian kesehatan
Republik Indonesia (2014) menunjukan bahwa DM dengn segala komplikasinya
menempati urutan ke tiga sebagai penyakit mematikan di Indonesia. Sebanyak
5,7% dari seluruh penduduk Indonesia diatas 15 tahun merupakan penderita DM.
Dari angka tersebut ternyata hanya 26,3% yang terdiagnosa dan sisanya sebesar
73,7% tidak terdiagnosa. Angka tersebut menunukan bahwa masih banyak
penduduk Indonesai yang tidak mengetahui gejala awal DM hingga terjadinya
penyakit tersebut.
Berdasarkan penyebab dasarnya, diabetes dibagi menjadi 2 tipe, diabetes
tipe 1 dan diabetes tipe 2. Diabetes tipe 1 disebabkan oleh gangguan produksi
insulin, sedangkan diabetes tipe 2 disebabkan karena gangguan fungsi insulin
(American Diabetes Association, 2016).
2.1.1. Diabetes Type 1 (Kurangnya Produksi Insulin Oleh Sel Beta
1

Pankreas)
Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel beta pankreas

atau

penyakit yang mengganggu produksi insulin. Autoimune atau infeksi virus dapat
menyebabkan kerusakan sel beta pankreas. Pada beberapa kasus, kecendrungan
faktor herediter dapat menyebabkan degenerasi sel beta , bahkan tanpa adanya
infeksi virus atau kelainan autoimmune (Guyton & Hall, 2006).
2
Kadar Gula darah pada tipe ini bisa mencapai 300-500 mg/dl dari batas
normal yaitu 180 mg/dl. Kurangnya insulin menyebabkan efisiensi penggunaan
glukosa di perifer berkurang. Tingginya kadar glukosa dalam darah membuat
lebih banyak glukosa yang masuk ke dalam tubulus ginjal untuk difiltrasi

melebihi jumlah yang akan di reasorbsi, dan kelebihan gluosa akan dikeluarkan
melalui urin (Guyton & Hall, 2006).
3

Jika dalam waktu yang lama kadar glukosa darah tidak terkontrol,

pembuluh darah diseluruh bagian tubuh mengalami gangguan fungsi dan


perubahan struktur yang mengakibatkan ketidak cukupan suplai darah kejaringan.
Hal tersebut menyebabkan peningkatan resiko terjadinya serangan jantung, stroke,
penyakit ginjal, retinopati (kebutaan) dan gangren di tungkai (Almekhlafi &
Almekhlafi, 2016).
2.1.1.

Diabetes Type 2 (Resistensi Insulin)


Diabetes tipe 2 adalah gangguan heterogen yang dihasilkan dari interaksi

predisposisi genetik dan faktor lingkungan, menciptakan kombinasi defisiensi


insulin dan resistensi insulin. Diabetes tipe ini berkaitan erat dengan pola hidup
sehat, obesitas, kurangnya aktifitas fisik, dan usia (Holt & Hanley, 2012).
Resistensi Insulin ialah kondisi di mana jumlah normal insulin tidak
memadai untuk menghasilkan respons insulin normal dari sel lemak, sel otot dan
sel hati. Dalam hal ini sel-sel lemak mengurangi efek insulin dan mengakibatkan
peningkatan hidrolisis cadangan trigliserida. Peningkatan mobilisasi cadangan
lipid akan meningkatkan asam lemak bebas dalam plasma darah. Resistansi
insulin pada sel-sel otot dapat menurunkan penyimpanan glukosa sebagai
glikogen, sedangkan resistensi insulin pada sel-sel hati menyebabkan gangguan
sintesis glikogen dan kegagalan untuk menekan produksi glukosa (Mlinar et al,
2007).
2.2. Latihan Fisik
Istilah latihan berasal dari kata dalam bahasa Inggris yang dapat
mengandung beberapa makna seperti: practice, exercises, dan training. Pengertian
latihan yang berasal dari kata exercises adalah aktivitas yang dilakukan secara
teratur, terencana, dan berulang untuk mempertahankan hingga meningkatkan
kemampuan fisik (Sukadiyanto, 2002). Secara umum latihan fisik terdiri dari dari
kombinasi 2 janis aktifitas yaitu aktifitas yang bersifat anaerobik dan aerobik
(Felseti et al, 2003).

Latihan anaerobik dikaitkan dengan situasi di mana latihan tidak


membutuhkan oksigen. Kebutuhan energi terjadi dalam waktu yang sangat
singkat, akan tetapi tidak dilakukan terus menerus dalam waktu yang lama.
Sedangkan latihan aerobik ialah aktivitas yang dilakukan secara sistematis dengan
peningkatan beban secara bertahap dan terus-menerus yang menggunakan energi
berasal dari pembakaran dengan menggunakan oksigen. Intensitas yang diberikan
dalam latihan aerobik adalah dengan intensitas rendah hingga sedang seperti jalan
kaki, jogging dan bersepeda (Palar et al, 2015).
Metabolisme energi yang dilakukan dengan latihan aerobik melalui
pembakaran simpanan lemak, karbohidrat, dan sebagian kecil (kurang dari lima
persen) dari pemecahan simpanan protein yang terdapat didalam tubuh untuk
menghasilkan adenosine trifosfat. Proses metabolisme ketiga sumber energi ini
berjalan dengan kehadiran oksigen yang diperoleh melalui proses pernapasan
(Irawan, 2007).
2.2.1. Sistem Anaerobik
- Sistem alaktasid (system fosfagen = system ATP-PC
ADP
(Adenosin Disfosfat)
ATP
(Adenosin Trifospat)

Energi
Pi
(Fosfat Inorganic)

Bagan 1. ATP yang tesedia dapat digunakan untuk aktivitas fisik


selama 1-2 detik.

KP
(Kreatin Fosfat)

Kreatinin

ADP
(Adenosin Disfosfat)

ATP
(Adenosin Trifospat)

Bagan 2.1. ATP yang tebentuk dapat digunakan untuk aktivitas fisik
selama 6-8 detik
-

Sistem asam laktat (glikolisis anaerobic)


Glikolisis/glukosa
Asam Laktat
ADP
(Adenosin
Disfosfat)
Pi
(Fosfat Inorganic)

ATP
(Adenosin
Trifospat)

Bagan 2.2. ATP yang terbentuk dapat digunakan untuk aktifitas


fisik selama 45-120 detik (Aristoteles, 2014)
2.2.2. Sistem Aerobik (Sistem Oksigen)
Sistem aerobic merupakan oksidasi bahan makanan dalam mitokondria
untuk menghasilkan energy. Dalam proses ini glukosa, asam lemakn dan asam
amino yang didapat dari makanan setelah melalui beberapa proses metabolism
serta berikatan dengan oksigen untuk melepaskan sejumlah energy yang sangat
besar yang digunakan untuk merubah adenosine monofosfat dan adenosine
difosfat menjadi adenosine trifosfat (Guyton & Hall, 2012).

ADP
(Adenosin Disfosfat)

CO2

Glikolisis/glukosa

H2O

Pi
(Fosfat Inorganic)

ATP
(Adenosin Trifospat)

Bagan 2.3. Proses Terjadinya System Aerobik


ATP yang terbentuk dalam system aerobic dapat digunakan untuk aktifitas
fisik dalam waktu yang relative lama.
Pembentukan energy melalui metabolism aerobic terjadi dalam tiga tahap,
yaitu:
- Glikolisis
Glikolisis terjadi disitoplasma sel, baik sel prokariotik dan selsel mikroorganisme eukariotik lain. Pada dasarnya, hanya terdapat satu
perbedaan antara proses glikolisis anaerobic dengan aerobic, yaitu pada
glikolisis aerobik tidak terjadi akumulasi asam laktat (Coyle, 1984).
Dengan kata lain, terdapatnya oksigen menghambat terbentuknya asam
laktat, tetapi tidak terjadi proses pembentukan kembali ATP.

Gambar 2.1. Proses glikolisis dalam 10 tahap pemecahan glukosa menjadi

10

piruvate dengan pantuan enzyme dan ATP (Namikaze, 2015).


-

Siklus Krebs
Siklus krebs adalah serangkaian reaksi metabolic dalam tubuh yang
bertujuan untuk menghasilkan energi dari oksidasi molekul asetil-CoA
hasil tiga metabolisme karbohidrat utama, Glikolisis, Jalur Pentosa
Fosfat dan Jalur Entner-Doudoroff (Namikaze, 2015). Siklus krebs terjadi
pada organel mitokondria, yang merupakan mesin penghasil energy dalam
sel. Spesifiknya terletak pada matriks mitokondria.
Dalam siklus ini gugus asetil dari asetil-CoA dipecah menjadi
kabondioksida dan atom hydrogen didalam motokondria. Asam pirufat
dipecah menjadi CO2 dan H2O dengan menggunakan O2 (Guyton & Hall,
2012). Jadi, siklus yang juga dikenal sebagai siklus asam sitrat dan siklus
asam trikarboksilat ini merupakan salah satu cara sel mengoksidasi secara
total asam piruvat dalam kondisi aerobik.

Gambar 2.2. Proses siklus kreb dalam menghasilkan energy hasil


dari oksidasi asetil-CoA yang terjadi di dalam matriks mitokondria
(Namikaze, 2015)
- Sistem Transfer Elektron
Setelah siklus asam sitrat selesai maka proses selanjutnya
memasuki tahap system transport electron. Pada tahap ini terjadi di dalam
organel mitokondria dimana dari daur krebs akan keluar elektron dan ion

11

H+ yang dibawa sebagai NADH2 (NADH + H+ + 1 elektron) dan FADH2,


sehingga di dalam mitokondria akan terbentuk air, sebagai hasil
sampingan respirasi selain CO2. Produk sampingan respirasi tersebut pada
akhirnya dibuang ke luar tubuh paru-paru pada peristiwa pernafasan
(Guyton & Hall, 2012).
Dalam fosforilasi oksidatif ADP diubah menjadi ATP. Proses ini
berkaitan dengan molekul protein besar yang menonjol sepenuhnya dari
membran mitokondria bagian dalam dan muncul dengan kepala seperti
tombol (knoblike head) ke dalam matriks mitokondria bagian dalam.
Molekul ini adalah ATPase atau ATP sintetase.

Dalam pemberian latihan fisik aerobik, Klijn et al (2013) membaginya


menjadi 3 kategori, latihan fisik aerobik intensitas ringan, sedang dan berat, dapat
dilihat pada tabel 2.1.
Tabel 2.1. Dosis pemberian latihan fisik aerobik (Klijn et al, 2013)
Intensitas

% Denyut Nadi

Waktu Jeda

Total Set

Ringan

Maksimal
50-60%

Waktu/set
3-10 Menit

1-3x

Istirahat/Set
1-3 menit (diam)

Sedang

80-90%

4 Menit

4x

3 menit (sambil
bergerak 60% DNM)

Berat

100-120%

30 Detik

16x

30 detik (diam)

Dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan tikus sebagai hewan


coba. Untuk pengelompokan pemberian intervenasi latihan fisik pada sampel
menggunakan treadmill khusus untuk tikus. Berdasarkan pada dosis latihan fisik
aerobik yang tertulis diatas, dapat dilihat di tabel 2.2.

12

Tabel 2.2. Dosis pemberian latihan fisik aerobic untuk hewan coba dengan
menggunakan treadmill
Intensitas
Ringan

Kecepatan treadmill
7-15 meter/menit

Sedang

16-25 meter/menit

Berat

26-33 meter/menit

Dengan pemberian latihan fisik yang sesaui dosis dan terprogram dengan
baik, akan meningkatkan kebugaran dan dapat pula meningkatkan metabolism
glukosa menjadi lebih baik (Palar et al, 2015).

2.3. Jaringan Otot


Otot adalah sebuah jaringan dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai
alat gerak aktif yang menggerakkan tulang. Otot diklasifikasikan menjadi tiga
jenis yaitu otot lurik, otot polos dan otot jantung (Dorland & Newman, 2010).
Setiap otot rangka adalah organ discrete yang terdiri dari beberapa jenis jaringan.
Serat otot rangka mendominasi, tetapi pembuluh darah, serabut saraf, dan
beberapa jaringan lainnya juga turut serta didalamnya (Luque-Suarez et al., 2012).
Kisner & Colby (2007) membagi serabut otot menjadi 2 tipe yaitu type I
fiber (primary stretch receptor) dan type II fiber (secondary stretch receptor).
Type I fiber sensitive terhadap gerakan cepat dan menstimulasi peregangan
muscle fiber type tonic.

Tipe otot ini memiliki warna yang lebih merah

disbanding tipe II, hal tersebut dikarenakan banyaknya mitokondria didalam sel
otot yang berfungsi sebagai sumber energy untuk otot berkontraksi sehingga otot
ini juga dikatakan bersifat aerobik, sedangkan type II fiber hanya menstimulasi
muscle fiber type tonic dan memiliki warna yang cedrung berwarna putih serta
bersifat anaerobik.

2.3.1. Fisiologi Anatomi Otot Rangka

13

Otot rangka memiliki pasokan darah yang banyak, hal ini dapat dimengerti
karena serat otot berkontraksi menggunakan energy dalam jumlah yang besar dan
memerlukan distribusi oksigen yang berlanjut serta nutrisi melalui arteri. Sel-sel
otot juga mengeluarkan limbah metabolisme yang harus dibuang melalui
pembuluh darah jika kontraksi. Dalam satu otot yang utuh, serat-serat otot
dibungkus oleh beberapa selubung jaringan ikat yang berbeda. Selubung jaringan
ikat tersebut mengikat setiap sel dan memperkuat otot secara keseluruhan,
mencegah otot menggembung dan meledak saat kontraksi sangat kuat (Sherwood,
2008). Tortora dan Grabowski (2011) membagi beberapa lapisan pada otot yang
terlihat pada gambar 2.4.
Keterangan

Struktur & Bagian Otot


1. Muscle (Otot)

Otot terdiri dari ratusan hingga


ribuan

sel

otot,

pembungkus

ditambah

jaringan

ikat,

pembuluh darah, dan serabut saraf.

2. Fascicle

Fascicle ialah gumpalan sel otot,


dipisahkan

otot

selubung

lainnya

jaringan

oleh
ikat

(Perimysium).
3. Muscle Fiber

(Muscle Fiber) serat otot adalah sel


berinti yg memanjang

4. Myobiril

Miofibril terdiri dari sarcomere yg


tersusun dari ujung ke ujung, tampak
terbalut,

dan

penyambung

dari

14

miofibril yang berdekatan

5. Sarcomare

Sarcomere adalah unit contractile,


terdiri dari myofilaments terdiri dari
protein penggerak.

6. Filament

Terdiri dari dua jenis-tebal dan tipis.


Filamen

tebal

molekul

myosin;

berisi

dibundel

filamen

tipis

mengandung molekul aktin (plus


protein lain)..
Gambar 2.4. Struktur dan lapisan otot rangka (Tortora & Grabowski, 2011)
2.4. Mitokondria
Mitokondria adalah salah satu organel sel yang berfungsi sebagai tempat
berlangsungnya fungsi respirasi sel pada makhluk hidup (Gambar 2.5). Organel
ini juga memiliki fungsi seluler lain, seperti metabolisme asam lemak, transduksi
sinyal selular, homeostasis kalsium, biosintesis pirimidina, dan penghasil energi
yang berupa adenosina trifosfat pada lintasan katabolisme (Dorland & Newman,
2010)
Organel ini banyak ditemukan di dalam sel otot dibandingkan sel lain. Hal
tersebut dikarena sel otot membutuhkan lebih banyak oksigen untuk membakar
kalori serta menghasilkan energi (Guyton & Hall, 2006).
2.4.1. Struktur Mitokondria

15

Gambar 2.5. Struktur sel eukariotik (http://www.yourgenome.org/)

16

Mitokondria terdapat di setiap sitoplasma sel, tetapi jumlah persel sangat


bervariasi, mulai kurang dari seratu hingga beberapa ribu, tergantung dari jumlah
energy yang dibutuhkan sel. Ukuran dan betuk mitokondria bervariasi, beberapa
mitokondria berdiameter hanya bebrapa ratus nanometer dan berbentuk globules,
namun ada juga yang berbentuk memanjang berdiameter 1-2 mikrometer dan
panjang 7 mikrometer, sisanya bercabang membentuk filament (Guyton & Hall,
2006).
Mitokondria dikelilingi oleh dua membrane yaitu membran luar dan
membran dalam yang berbentuk lipatan yang disebut kristae dimana terdapat
enzim-enzim oksidase. Matriks ini mengandung DNA (deoxyribonucleic acid),
RNA (ribonucleic acid) ribososm, dan berbagai enzim yang berperan dalam
oksidasi zat-zat makanan (Koolman & Roehm, 2005).
2.4.2. Peran Mitokondria dalam Sel Otot
Hampir semua reaksi oksidasi terjadi dalam mitokondria, energi yang
digunakan berfungsi untuk membentuk sanyawa berenergi tinggi atau yang
disebut ATP. Selanjutnya ATP digunakan diseluruh bagian dalam sel untuk
menjalankan hampir semua reaksi metabolism intraseluler (Guyton & Hall, 2011).
Produksi yang dihasilkan organel ini mencapai 90% dari ATP seluler, melalui
siklus TCA (tricarboxylic acid) dan fosforilasi oksidatif, regulasi kalsium
intraseluler (Ca 2+) dan sinyal redoks, dan arbitrase apoptosis (Green & Kroeme,
2004). Selain itu, mitokondria juga berperan dalam metabolisme kalsium dan
merupakan peran penting dalam inisiasi apoptosis dan dengan demikian berperan
dalam mempertahankan homeostasis seluler dalam jaringan yang berbeda (Sanz,
2016).
Kualitas dari mitokondria dalam sel otot sangat berkaitan dengan system
penuaan, jenis latihan fisik dan metabolism dalam tubuh, sehingga disfungsi
mitokondria dalam menanggapi kerusakan otot rangka dalam penuaan akan
merubah struktur dan fungsi komponen (Gambar 2.4).

17

Sedentary
Aging
Mitokondria :
Volume
Quality
Function

Otot Rangka :
Volume
Quality
Function

Kapasitas
Fungsional
Morbidity
Gambar 2.6. Skema mitokondria dan otot rangka yang
dipengaruhi penuaan. (Adam & Sreekumaran, 2013)

Dalam penelitian yang dilakukan Rodrguez-Bies et al (2010) menunjukan


bahwa, exercise yang dikombinasi dengan diet dapat mempertahankan peforma
otot lebih baik dibandingkan dengan kelompok kontrol. Selain itu exercise yang
teratur akan menurunkan resiko kerusakan otot yang disebabkan stress oksidatif
serta meningkatan jumlah mitokondria dalam sel otot rangka karna adaptasi
seluler.
Exercise memodulasi metabolisme otot rangka dengan mengendalikan
jalur sinyal intraselular yang mempengaruhi homeostasis mitokondria. Untuk
mengurangi atau mencegah kelemahan otot rangka, perlu dipahami tentang
adaptasi mitokondria, di otot rangka pada khususnya. Kegiatan ini mengatur
aktifitas mitokondria dan mengkoordinasikan jalur sinyal mitokondria. Selain itu,
manfaat exercise dapat mempengaruhi fungsi mitokondria yang terkait dengan
penuaan (Ketkar et al, 2015).
Pada otot rangka, peningkatan paparan atau modulasi mitokondria reactive
oxygen species (ROS) dengan penuaan mencerminkan perubahan mendasar di
sinyal redoks. Belakangan ini, beberapa penelitian telah menyimpulkan bahwa
bahwa produksi berlebihan dari mitokondria ROS sangat terkait dengan
sarcopenia dan kerugian metabolisme mitokondria (Sanchez-Roman, 2012).

18

2.4.3. Peran Mitokondria dalam Pembentukan ROS


ROS (Reactive Oxygen Species) merupakan senyawa pengoksidasi
turunan oksigen yang bersifat sangat reaktif yang terutama diproduksi di
mitokondria. Terdiri atas kelompok radikal bebas dan kelompok nonradikal. Yang
merupakan kelompok radikal bebas antara lain hydroxyl radicals (OH),
superoxide anion (O2-) dan peroxyl radicals (RO2). Sedangkan yang merupakan
kelompok nonradikal terdiri dari hydrogen peroxide (H2O2), dan organic
peroxides (ROOH) (Halliwell & Whiteman, 2004).
Senyawa oksigen reaktif ini dihasilkan dalam proses metabolisme
oksidatif dalam tubuh misalnya pada proses oksidasi dari makanan menjadi
energi. Beberapa enzim turut peran dalam pembentukan senyawa ini. Enzimenzim pro-oksidatif seperti NADPH-oksidase, NO-sintase, dan rantai reaksi
sitokrom P-450 dapat membentuk ROS ini. Enzim lipoksigenase juga dapat
membentuk radikal bebas. Selain itu kontraksi otot skeletal juga memiliki peran
penting dalam pembentukan ROS. Semaikin besar kontraksi atau latihan fisik
yang dilakukan oleh otot skeletal maka akan membuat otot mengalamai iskemikreperfusi. Pada saai itu penggunaan oksigen dalam otot akan meningkat 100-200
kali dibandingkan pada saat otot dalam keadaan intirahat.
Menurut Chaban el al (2014) fosforilasi oksidatif atau oxidative
phosphorylation (OXPHOS) adalah sumber energi utama pada sel yang terjadi di
mitokondria dalam pembentukan ATP dan hidrogen. Pada proses ini sekitar 2%
molekul oksigen dapat berikatan dengan elektron tunggal. Elektron tersebut
dikeluarkan karier elektron pada rantai respirasi sehingga membentuk radikal
superoksida.
ROS memiliki fungsi fisiologi dalam tubuh. ROS yang diproduksi dalam
mitokondria sangat penting untuk penghapusan bakteri oleh makrofag. Namun,
molekul ini tidak berkerja secara spesifik, sehingga dapat juga menyerang asam
lemak jenuh pada DNA, membran maupun organel sel. Hal ini dapat
menyebabkan kerusakan pada struktur dan fungsi pada sel (West et al, 2011).
Dalam bukti eksperimental lainnya menunjukkan bahwa meningkatkan produksi
ROS dapat berkontribusi terhadap pemeliharaan homeostasis seluler dan positif
mempengaruhi umur ketika diinduksi dengan benar, sedangkan jika diproduksi

19

secara berlebihan atau dengan cara yang tidak spesifik, mereka mempersingkat
kelangsungan hidup dan mempercepat timbulnya penyakit yang berkaitan dengan
usia (Sanz, 2016). Sedangkan menurut Wang & Chen (2016) Dalam kondisi
fisiologis, konsentrasi ROS secara ketat dikontrol oleh mekanisme pertahanan
antioksidan endogen, seperti superoksida dismutase, katalase, dan glutation
reduktase. Kadar ROS yang berlebihan dapat menyebabkan stres oksidatif dan
kelainan seluler konsekuen.
Poljak & Malisav (2012) dalam artikelnya menjelaskan bahwa respon
stres selular adalah reaksi terhadap perubahan atau dapat merusak struktur dan
fungsi makromolekul. Namun stres yang berbeda memicu respon seluler yang
berbeda, yaitu menginduksi mekanisme perbaikan sel, menginduksi respon sel
yang menghasilkan adaptasi metabolik.
2.4.4. Hypoxia Preconditioning Saat Latihan Aerobik
Hypoxia merupakan kondisi tubuh kekurangan pasokan oksigen untuk
melakukan fungsi normalnya (Dorland & Newman, 2010). Namun pada waktu
yang dapat ditoleransi, hipoksia akan memberikan efek preconditioning atau
perlindungan. Preconditioning akan meningkatkan ketahanan atau daya tahan sel
terhadap paparan hypoxia berikutnya. Hypoxia preconditioning diartikan sebagai
kondisi adaptasi yang diakarenakan oleh system antioksidan dalam tubuh.
Penurunan jaringan atau konsentrasi oksigen jaringan hingga di bawah normal
(Vanden et al, 1998).
Ada sejumlah jenis preconditioning yang sedang dipelajari pada bebrapa
organ. Beberapa studi ini menggunakan preconditioning iskemik di mana aliran
darah sementara menurun sebelum iskemik yang biasanya akan menghasilkan
infark. Hypoxia preconditioning telah dijelaskan di otak, jantung, retina, dan
jaringan lain. Jenis lain dari preconditioning telah dijelaskan in vivo dan in vitro
termasuk hipertermia, hipotermia, preconditioning kimia dengan menghalangi
siklus Krebs atau rantai pernapasan, glutamate dan seizures, linoleic acid,
erythropoietin, tumor necrosis factor (TNF), ceramide, desferrioxamine dan
cobalt, isoflurane, thrombin, dan lain-lain (Vanden et al, 1998). Dalam beberapa
tahun terakhir, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengidentifikasi
mekanisme molekuler yang terlibat dalam respon preconditioning-induced.

20

Mekanisme ini banyak terjadi dalam mitokondria dimana organel ini merupakan
regulator master preconditioning neuroprotektor endogen (Correia et al, 2010).
2.4.6. Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Coactivator-1
Peroxisome Proliferator-Activated Receptor Coactivator-1

(PPARGCA-1 , PGC-1 ) adalah transkripsi pengatur gen yang terlibat dalam


metabolism energi. PGC-1 merupakan regulator utama dari biogenesis
mitokondria

(Valero,

2014). Reseptor

ini berinteraksi

dengan

nuclear

receptor PPAR-, yang memungkinkan interaksi protein ini dengan beberapa


faktor transkripsi. Protein ini dapat berinteraksi dengan, dan mengatur kegiatan,
cAMP respon

elemen-binding

protein

( CREB )

dan

faktor

pernapasan

nuklir (NRFs) . Ia menghubungkan langsung antara rangsangan fisiologis


eksternal dan regulasi mitokondria biogenesis, dan merupakan faktor utama yang
mengatur jenis penentuan serat otot. Latihan daya tahan telah terbukti untuk
mengaktifkan gen PGC-1 di otot rangka manusia (Pilegaard et al, 2003).
PGC-1 dianggap sebagai integrator master sinyal eksternal. Hal tersebut
dikarenakan PGC-1 diaktifkan oleh bebrapa faktor. Pertama, Spesies oksigen
reaktif (ROS) dan reaktif nitrogen spesies (RNS), baik yang terbentuk secara
endogen dalam sel sebagai produk dari metabolisme tetapi diregulasi selama masa
stres selular. Faktor yang berikurtnya disebabkan oleh latihan ketahanan dan
penelitian terbaru menunjukkan bahwa PGC-1 menentukan laktat metabolisme,
sehingga mencegah tingkat laktat yang tinggi pada atlet daya tahan dan membuat
laktat sebagai sumber energi yang lebih efisien (Summermatter et al, 2013).

21

Gambar 2.7. Beberapa rangsangan yang mengaktifkan PGC-1, mengarah ke


coactivation faktor transkripsi yang terlibat dalam oksidasi asam lemak dan
impor, angiogenesis, rantai perakitan transpor elektron, biogenesis membran,
dan replikasi DNA mitokondria dan transkripsi.

PGC-1 telah dikenal memiliki peran penting dalam kasus DM karena


ekspresinya diubah pada jaringan yang sangat oksidatif (yaitu otot, lemak, hepar)
pada penderitanya. Penurunan ekpresi PGC-1 pada organ perifer seperti hati dan
otot berhubungan resistensi insulin dan intoleransi glukosa, varian gen PGC1 (Gly482Ser) berkorelasi dengan peningkatan risiko DM (Barroso et al, 2006).
Hasil penelitian Oropeza et al (2015) menunjukan bahwa pada hepar dan
otot rangka yang kehilangan ekspresi PGC-1 dan PGC-1 pada tikus dewasa
tidak secara signifikan mengganggu system dan fungsi mitokondria. Namun hasil
penelitian lain dari Handschin et al (2007) dan Kleiner (2012) menyatakan bahwa
pada PGC-1 selama pembentukan sel murine dan diferensiasi dapat
mempengaruhi sel- pada awal pembentukan mitokondria dan metabolisme
berikutnya.
Dari hubungan antara PGC-1 dengan insulin dan mitokondria inilah yang
membuat peneliti akan mengukur kadar PGC-1 dalam sel otot rangka dengan
menggunakan teknik ELISA.

22

2.5. The Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)


Dalam menentukan jumlah organel mitokondria, pengujian dapat
dilakukan dengan mengukur kadar protein dari organel yang dimaksud. Salah satu
teknik pengukuran protein ialah dengan teknik uji ELISA (The Enzyme-Linked
Immunosorbent Assay). Teknik uji ELISA adalah tes cepat yang digunakan untuk
mendeteksi dan mengukur antibody. Uji ELISA pertama kali digunakan dalam
bidang imunologi untuk menganalisis interaksi antara antigen dan antibodi di
dalam suatu sampel, dimana interaksi tersebut ditandai dengan menggunakan
suatu enzim yang berfungsi sebagai penanda (Idexx, 2013).

Anda mungkin juga menyukai