Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

FRACTURE
Untuk Memenuhi Tugas Profesi Departemen Surgical
Di Ruang St. Anna Rumah Sakit Panti Nirmala Malang

Disusun Oleh:
Dicky Syahrulloh Bakhri
NIM 150070300011019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016
LAPORAN PENDAHULUAN
FRACTURE
1.

DEFINISI

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang baik karena trauma, tekanan


maupun kelainan patologis. Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang
utuh. Kebanyakan fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang
berlebihan pada tulang, baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung
(Sjamsuhidajat

&

Jong,

2005).

Fraktur

adalah

terputusnya

kontinuitas

atau

kesenambungan tulang dan sendi, baik sebagian atau seluruh tulang termasuk tulang
rawan.

Luka

dan

fraktur dapat

menyebabkan perdarahan

. Perdarahan

adalah keluarnya darah dari ruang vaskuler (BTCLS-GADAR Medik Indonesia, 2013).
Berdasarkan batasan di atas dapat disimpulkan bahwa, fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya
disebabkan oleh trauma/rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya
trauma baik secara langsung maupun tidak langsung.
2.

KLASIFIKASI
Menurut Suratun dkk (2006), jenis jenis fraktur :
a. Fraktur complete adalah pemisahan komplit dari tulang menjadi dua fragmen
b. Fraktur incomplete adalah patah sebagian dari tulang tanpa pemisahan

c.

Fraktur tertutup (fraktur simpel)


Patah tulang tertutup adalah patah tulang dimana tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
sekitarnya.
2) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan
subkutan.
3) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
4) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

d. Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks)


Merupakan fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke
patahan tulang sehingga terdapat hubungan antara tulang dengan dunia luar.
Fraktur terbuka diklasifikasikan menjadi :
1. Grade I terdapat robekan kulit dengan luka bersih < 2 cm panjangnya, dislokasi
fragmen minimal

2. Grade II luka > 2 cm dengan memar kulit dan otot (tanpa kerusakan jaringan
lunak yang ekstensif) dengan dislokasi fragmen jelas
3. Grade III luka sebesar 6-8 cm yang mengalami kerusakan jaringan lunak
ekstensif ( pembuluh darah, saraf dan otot) dan sangat terkontaminasi.

Menurut

Pradip,

Patel (2007), terdapat


berbagai jenis khusus fraktur berdasarkan pergeseran antomis fragmen tulang (fraktur
bergeser/tidak bergeser) :
a. Greenstick adalah fraktur dimana tulang anak bersifat fleksibel, sehingga fraktur
dapat berupa bengkokan tulang di satu sisi dan patahan korteks di sisi lainnya.
Tulang juga dapat melengkung tanpa disertai patahan yang nyata (fraktur torus).
b. Kominutif adalah fraktur dengan fragmen multiple (tulang pecah menjadi beberapa
fragmen)
c.

Impaksi adalah fraktur dimana fragmen-fragmen saling tertekan satu sama lain
tanpa adanya garis fraktur yang jelas.

d. Transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang (melintang)


e. Longitudinal adalah patah memanjang
f.

Oblik adalah fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
stabil dibanding transversal)

g. Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang tulang (melingkar)

g.

Patologik adalah
fraktur

yang

terjadi

pada

tulang

yang

memang memiliki kelainan, seringkali terjadi setelah trauma trivial, misalnya


penyakit Paget, osteoporosis atau tumor
h. Avulsi adalah tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada
perlekatannya (sebuah fragmen terlepas dari lokasi ligament atau insersi tendon)
i.

Impaksi adalah fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang


lainnya.

j.

Depresif adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering terjadi
pada tulang tengkorak dan tulang wajah)

k.

Kompresif adalah fraktur dimana tulang mengalami kompresi/penekanan pada


bagian tulang lainnya (terjadi pada tulang belakang)

l.

Komplikata adalah fraktur dimana beberapa organ lain juga rusak (misalnya saraf
atau pembuluh darah)

3.

ETIOLOGI
Fraktur

adalah

kontinuitas tulang

baik karena trauma, tekanan

maupun kelainan

patologis.

patah

biasanya

tulang,

terputusnya
Fraktur

adalah

disebabkan

oleh

trauma atau tenaga fisik (Price, 2006). Sedangkan menurut Smeltzer (2005) fraktur
adalah terputusnya kontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Fraktur terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar dari yang diabsorpsinya.
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur

1)

Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap

besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2)

Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.
Sebagian besar patah tulang merupakan akibat dari cedera, seperti kecelakan

mobil, olah raga atau karena jatuh. Jenis dan beratnya patah tulang dipengaruhi oleh
arah, kecepatan, kekuatan dari tenaga yang melawan tulang, usia penderita dan
kelenturan tulang. Tulang yang rapuh karena osteoporosis dapat mengalami patah
tulang.
4.

PATOFISIOLOGI
Fraktur pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma, adanya gaya dalam tubuh,
yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolic dan patologik. Ketika patah tulang,
akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah, sumsum tulang dan jaringan lunak.
Akibat dari hal tersebut adalah terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan
sekitarnya. Keadaan ini menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang
dibawah periostium dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur. Terjadinya respon
inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah ditandai dengan vasodilatasi dari
plasma dan leukoit. Ketika terjadi kerusakan tulang, tubuh mulai melakukan proses
penyembuhan untuk memperbaiki cidera, tahap ini menunjukkan tahap awal
penyembuhan tulang. Hematom yang terbentuk bisa menyebabkan peningkatan
tekanan dalam sumsum tulang yang kemudian merangsang pembebasan lemak dan
gumpalan lemak tersebut masuk kedalam pembuluh darah yang mensuplai organorgan yang lain. Hematon menyebabkn dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskemik dan
menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini menyebabkan
terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung syaraf, yang bila
berlangsung lama bisa menyebabkan syndroma comportement (Corwin, 2009).
Fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut saraf yang dapat
menimbulkan ganggguan rasa nyaman nyeri. Selain itu dapat mengenai tulang dan
dapat terjadi revral vaskuler yang menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik
terganggau. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai jaringan lunak yang
kemungkinan dapat terjadi infeksi dan kerusakan jaringan lunak akan mengakibatkan
kerusakan integritas kulit. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan mengenai serabut
syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selaian itu dapat
mengenai tulang sehingga akan terjadi neurovaskuler yang akan menimbulkan nyeri
gerak sehingga mobilitas fisik terganggu, disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai

jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara
luar
Sementara

kondisi

patologis

disebabkan

karena

kelemahan

tuklang

sebelumnya akibat kondisi patologis yang terjadi di dalam tulang Pada osteoporosis
secara tidak langsung mengalami penurunan kadar kalsium dalam tulang. Dengan
berkurangnya kadar kalsium dalam tulang lama kelamaan tulang menjadi rapuh
sehingga

hanya

trauma

minimal

saja

atau

tanpa

trauma

sedikitpun

akan

mengakibatkan terputusnya kontinuitas tulang yang di sebut fraktur.


Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk
tulang baru diantara ujung patahan tulang. Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel
tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
a. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Selsel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
b. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum, endosteum, dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam lapisan yang
lebih

dalam

dan

disanalah

osteoblast

beregenerasi

dan

terjadi

proses

osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang menggabungkan


kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8 jam setelah
fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
c.

Stadium Tiga-Pembentukan Kallus


Sel sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan
osteogenik, bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang
dan juga kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan
osteoklast mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati. Massa
sel yang tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau
bebat pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.

d. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang

baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
e. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal
diletakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur
yang mirip dengan normalnya
5.

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan
ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal dan perubahan warna (Pierce A Grace &
Neil R. Borley, 2007) :
1. Deformitas
Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya
perubahan keseimbangan dan kontur terjadi seperti :
a. Rotasi pemendekan tulang.
b. Penekanan tulang
2. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.
Nyeri mungkin disebabkan oleh spasme otot berpindah tulang dari tempatnya dan
kerusakan struktur didaerah yang berdekatan
3. Bengkak
Edema muncul secara cepat dari lokasi dan ekstravaksasi darah dalam jaringan
yang berdekatan dengan fraktur.
4. Echimosis (memar) dari perdarahan Subculaneous.
5. Spasme otot spasme involunters dekat fraktur.
6. Tenderness / keempukan.
7. Krepitasi
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan (palpasi), teraba adanya derik tulang
dinamakan krepitasi yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan
lainnya.
8. Kehilangan sensasi (mati rasa, mungkin terjadi dari rusaknya syaraf/perdarahan)
9. Pergerakan abnormal.
Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik dan pemeriksaan sinar X.
Setelah mengalami cedera, pasien akan mengalami kebingungan dan tidak menyadari
adanya fraktur, serta berusaha berjalan dengan tungkai yang patah (Brunner &

Suddarth, 2005). Nyeri berhubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi
dengan menghindari gerakan antar fragmen tulang dan sendi disekitar fraktur.
6.

KOMPLIKASI
Komplikasi fraktur menurut (Pierce A Grace & Neil R. Borley, 2007) dibagi menjadi 2
yaitu:
a. Komplikasi Awal
1) Syok
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas

kapiler

yang

bisa

menyebabkan

menurunnya

oksigenasi

khususnya pada fraktur femur dan fraktur pelvis.


2) Kompartement Syndrom
Kompartment syndrome merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan
pembuluh darah sehingga perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan.. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips, pembebatan yang
terlalu kuat, dan peningkatan isi kompartemen karena perdarahan atau edema.
3) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan
posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
4) Emboli lemak (Fat Embolism Syndrom)
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan
tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan
pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.
5) Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini
biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga karena penggunaan
bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
6) Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau
terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali dengan adanya
Volkmans Ischemia.

b. Komplikasi Dalam Waktu Lama


1) Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini disebabkan
karena penurunan suplai darah ke tulang.
2) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk
sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang.
3) Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
7.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

a) Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan penunjang yang penting untuk dilakukan adalah pencitraan
menggunakan sinar Rontgen (X-ray) untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi
keadaan dan kedudukan tulang, oleh karena itu minimal diperlukan 2 proyeksi
Universitas Sumatera Utara yaitu antero posterior (AP) atau AP lateral. Dalam
keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) atau indikasi untuk
memperlihatkan patologi yang dicari, karena adanya superposisi. Untuk fraktur baru
indikasi X-ray adalah untuk melihat jenis dan kedudukan fraktur dan karenanya
perlu tampak seluruh bagian tulang (kedua ujung persendian). (Pradip L. Patel,
2007). Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : dilakukan memperlihatkan fraktur
dan mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak Hal yang harus dibaca pada x-ray:

Bayangan jaringan lunak.


Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau
juga rotasi.

Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.


Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
b) Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau


menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah

trauma.

Enzim otot seperti Kreatinin Kinase karena traumaa otot meningkatkan beban
kreatinin untuk ginjal.

Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi


multiple, atau cederah hati.

8.

PENATALAKSANAAN MEDIS
Fraktur biasanya menyertai trauma. Untuk itu sangat pent ing untuk melakukan
pemariksaan terhadap jalan napas ( air way ), proses pernapasan ( breathing ),
sirkulasi ( circulation ), drug, dan elektro kardiografi ( EKG ) untuk melihat pacu jantung.
Apakah terjadi syok atau tidak. Bila sudah dinyatakan tidak ada masalah lagi, baru
lakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik secara terperinci. Waktu terjadi kecelakaan
penting ditanyakan untuk mengetahui berapa sampai di RS, mengingay golden period
1 6 jam.Bila lebih dari 6 jam komplikasi infeksi makin besar. Lakukan anamnesis dan
pemeriksaan fisik secara cepat, singkat dan lengkap. Kemudian lakukan foto radiologis.
Pemasangan bidai dilakukan untuk mengurangi rasa sakit dan mencegah terjadinya
kerusakan yang lebih berat pada jaringan lunak selain memudahkan proses
pembuatan foto
Menurut (Pierce A Grace & Neil R. Borley, 2007) selama pengkajian primer dan
resusitasi, sangat penting untuk mengontrol perdarahan yang diakibatkan oleh trauma
muskuloskeletal. Perdarahan dari patah tulang panjang dapat menjadi penyebab
terjadinya syok hipovolemik. Pasien dievaluasi dengan seksama dan lengkap.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan digerakkan untuk mencegah kerusakan soft tissue
pada area yang cedera. Prinsip penanganan fraktur meliputi reduksi, imobilisasi, dan
pengembalian fungsi serta kekuatan normal dengan rehabilitasi.
a. Reduksi fraktur
Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajaran dan rotasi
anatomis. Reduksi bisa dilakukan secara tertutup, terbuka dan traksi tergantung
pada sifat fraktur namun prinsip yang mendasarinya tetap sama.
1) Reduksi tertutup
Reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragmen tulang kembali
keposisinya dengan manipulasi dan traksi manual
2) Reduksi terbuka
Reduksi terbuka dilakukan pada fraktur yang memerlukan pendekatan bedah
dengan menggunakan alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, plat sekrew
digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan solid terjadi.
3) Traksi
Traksi digunakan untuk reduksi dan imobilisasi. Menurut Brunner & Suddarth
(2005), traksi adalah pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh untuk

meminimalisasi spasme otot, mereduksi, mensejajarkan, serta mengurangi


deformitas. Jenis jenis traksi meliputi:
a)
Traksi kulit : Buck traction, Russel traction, Dunlop traction
b) Traksi skelet: traksi skelet dipasang langsung pada tulang dengan
menggunakan pin metal atau kawat. Beban yang digunakan pada traksi

b.

skeletal 7 kilogram sampai 12 kilogram untuk mencapai efek traksi.


Imobilisasi fraktur
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan
dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi
dapat dilakukan dengan fiksasi interna atau eksterna. Fiksasi eksterna dapat
menggunakan pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu pin dan teknik gips.

c.

Fiksator interna dengan implant logam.


Mempertahankan dan mengembalikan fungsi
Latihan otot dilakukan untuk meminimalkan atrofi dan meningkatkan peredaran
darah. Partisipasi dalam aktifitas sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki

kemandirian fungsi dan harga diri


2. Penatalaksanaan bedah ortopedi
Banyak pasien yang mengalami disfungsi muskuloskeletal harus menjalani
pembedahan untuk mengoreksi masalahnya. Masalah yang dapat dikoreksi meliputi
stabilisasi fraktur, deformitas, penyakit sendi, jaringan infeksi atau nekrosis, gangguan
peredaran darah (mis; sindrom komparteman), adanya tumor. Prpsedur pembedahan
yang sering dilakukan meliputi Reduksi Terbuka dengan Fiksasi Interna atau disingkat
ORIF (Open Reduction and Fixation). Berikut dibawah ini jenis-jenis pembedahan ortoped
dan indikasinya yang lazim dilakukan :
Reduksi terbuka : melakukan reduksi dan membuat kesejajaran tulang yang patah

setelah terlebih dahulu dilakukan diseksi dan pemajanan tulang yang patah
Fiksasi interna : stabilisasi tulang patah yang telah direduksi dengan skrup, plat, paku

dan pin logam


Graft tulang : penggantian jaringan tulang (graft autolog maupun heterolog) untuk
memperbaiki penyembuhan, untuk menstabilisasi atau mengganti tulang yang

berpenyakit.
Amputasi : penghilangan bagian tubuh
Artroplasti : memperbaiki masalah sendi dengan artroskop (suatu alat yang
memungkinkan ahli bedah mengoperasi dalamnya sendi tanpa irisan yang besar)

atau melalui pembedahan sendi terbuka


Menisektomi : eksisi fibrokartilago sendi yang telah rusak
Penggantian sendi : penggantian permukaan sendi dengan bahan logam atau sintetis
Penggantian sendi total : penggantian kedua permukaan artikuler dalam sendi

dengan logam atau sintetis


Transfer tendo : pemindahan insersi tendo untuk memperbaiki fungsi
Fasiotomi : pemotongan fasia otot untuk menghilangkan konstriksi otot atau
mengurangi kontraktur fasia (Ramadhan: 2008)

3. Terapi Medis

a. Pemberian anti obat antiinflamasi seperti ibuprofen atau prednisone


b. Obat-obat relaksan untuk mengatasi spasme otot
d. Bedrest, Fisioterapi
Tindakan pada fraktur terbuka harus dilakukan secepat mungkin, penundaan waktu
dapat mengakibatkan komplikasi. Waktu yang optimal untuk bertindak sebelum 6-7 jam
berikan toksoid, anti tetanus serum (ATS) / tetanus hama globidin. Berikan antibiotik untuk
kuman gram positif dan negatif dengan dosis tinggi. Lakukan pemeriksaan kultur dan
resistensi kuman dari dasar luka fraktur terbuka (Ramadhan: 2008)
4. Prinsip 4 R pada Fraktur
Menurut Risnanto dan Uswatun Insani (2014)

konsep dasar yang harus

dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi, retensi, dan
rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Mengkaji riwayat dan kronologi kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk
menentukan diagnosa dan tindakan selanjutnya.
2. Reduksi (Reposisi)
Reduksi adalah upaya untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah sedapat
mungkin kembali lagi seperti letak asalnya secara optimum. Reduksi fraktur dapat
dilakukan dengan reduksi tertutup, reduksi terbuka atau traksi. Reduksi fraktur
dilakukan

sesegera

mungkin

untuk

mencegah

jaringan

lunak

kehilangan

elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan


kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami
penyembuhan.
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali seperti
semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan teknik gips, atau
fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan untuk fiksasi intrerna yang
berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah
alat yang diletakkan diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang pada bagian
proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut dihubungkan satu sama lain
dengan menggunakan eksternal bars. Teknik ini terutama atau kebanyakan
digunakan untuk fraktur pada tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang
femur, humerus dan pelvis
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atropi
atau kontraktur. Bila keadaan memungkinkan, harus segera dimulai melakukan
latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi.
Status neurovaskuler (mis. pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan)

dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan
neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan
berbagai pendekatan (mis. meyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri,
termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk
meminimalkan atrofi disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam
aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan
harga-diri.

9.

ASUHAN KEPERAWATAN
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
2. Pengumpulan Data

1)

Anamnesa

a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:

(1)

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang


menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2)

Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau


digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.

(3)

Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah


rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

(4)

Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan

klien, bisa berdasarkan

skala nyeri atau klien menerangkan

seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.

(5)

Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah


buruk pada malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.

d) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets
yang

menyebabkan

fraktur

patologis

yang

sering

sulit

untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat


beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang

e) Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik

f) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,

pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya


dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme


Pada

klien

fraktur

harus

mengkonsumsi

nutrisi

melebihi

kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C


dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.

(3) Pola Eliminasi


Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi,

tapi

walaupun

begitu

perlu

juga

dikaji

frekuensi,

konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.


Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,
warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.

(4) Pola Tidur dan Istirahat


Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur

(5) Pola Aktivitas


Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak
dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk
aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa
bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding
pekerjaan yang lain

(6) Pola Hubungan dan Peran


Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri


Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan

untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap


dirinya yang salah (gangguan body image).

(8) Pola Sensori dan Kognitif


Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.

(9) Pola Reproduksi Seksual


Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat

inap dan

keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.

a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti:
(a) Kesadaran

penderita:

apatis,

sopor,

koma,

gelisah,

komposmentis tergantung pada keadaan klien.


(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.

(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin


(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.

(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.

b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler

yaitu

Pain,

Palor,

Parestesia,

Pulse,

Pergerakan).

Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:


(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
(b) Cape au lait spot (birth mark).
(c) Fistulae.
(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
(f) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini

merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik


pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit.
Capillary refill time Normal 3 5
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan

perlu

dideskripsikan

permukaannya,

konsistensinya,

pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,


dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik.
Pemeriksaan

ini

menentukan

apakah

ada

gangguan

gerak

(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif


dan pasif.

3.

Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
f.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d


kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Budi Santosa, 2007)

4. Intervensi Keperawatan
a.

Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:

Setelah

dilakukan

tindakan

keperwatan

selama

3x24

jam,

klien

mengatakan nyeri berkurang atau hilang


Kriteria Hasil: klien menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual (Wilkinson, 2007)
INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Pertahankan imobilasasi bagian yang Mengurangi

nyeri

dan

mencegah

sakit dengan tirah baring, gips, bebat malformasi.


dan atau traksi
2. Tinggikan

posisi

ekstremitas

terkena.
3. Lakukan
pasif/aktif.

yang Meningkatkan

aliran

balik

vena,

mengurangi edema/nyeri.
dan

awasi

latihan

gerak Mempertahankan

kekuatan

otot

dan

meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan Meningkatkan

sirkulasi

umum,

kenyamanan

(masase,

perubahan menurunakan area tekanan lokal dan

posisi)

kelelahan otot.

5. Ajarkan

penggunaan

teknik Mengalihkan perhatian terhadap nyeri,

manajemen nyeri (latihan napas dalam, meningkatkan kontrol terhadap nyeri


imajinasi visual, aktivitas dipersional)

yang mungkin berlangsung lama.

6. Lakukan kompres dingin selama fase Menurunkan edema dan mengurangi


akut

(24-48

jam

pertama)

sesuai rasa nyeri.

keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai Menurunkan nyeri melalui mekanisme
indikasi.

penghambatan

rangsang

nyeri

baik

secara sentral maupun perifer.


8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk
verbal dan non verval, perubahan Menilai perkembangan masalah klien.
tanda-tanda vital)
b.

Gangguan

pertukaran

gas

b/d

perubahan

aliran

darah,

emboli,

perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)


Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan


menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi

Kriteria Hasil: klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas
normal
INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam Meningkatkan ventilasi alveolar dan


dan latihan batuk efektif.

perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi Reposisi meningkatkan drainase sekret


yang aman sesuai keadaan klien.
3. Kolaborasi

pemberian

dan menurunkan kongesti paru.


obat Mencegah terjadinya pembekuan darah

antikoagulan (warvarin, heparin) dan pada keadaan tromboemboli.


kortikosteroid sesuai indikasi.

Kortikosteroid telah menunjukkan


keberhasilan untuk mencegah/mengatasi
emboli lemak.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2

kalsium, LED, lemak dan trombosit

menunjukkan gangguan pertukaran gas;


anemia, hipokalsemia, peningkatan LED
dan kadar lipase, lemak darah dan
penurunan trombosit sering berhubungan
dengan emboli lemak.

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan


upaya bernapas, perhatikan adanya Adanya takipnea, dispnea dan perubahan
stridor,

penggunaan

otot

aksesori mental merupakan tanda dini insufisiensi

pernapasan, retraksi sela iga dan pernapasan, mungkin menunjukkan


sianosis sentral.

c.

terjadinya emboli paru tahap awal.

Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi


restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat
meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
Kriteria Hasil: Klien dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi

yang

sakit

dan

mengkompensasi

bagian

tubuh

menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas


INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan
rekreasi

pelaksanaan

terapeutik

kunjungan

RASIONAL

aktivitas Memfokuskan perhatian, meningkatakan

(radio,

teman/keluarga)

koran, rasa kontrol diri/harga diri, membantu


sesuai menurunkan isolasi sosial.

keadaan klien.
Meningkatkan sirkulasi darah
2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif

muskuloskeletal, mempertahankan tonus

pada ekstremitas yang sakit maupun otot, mempertahakan gerak sendi,


yang sehat sesuai keadaan klien.

mencegah kontraktur/atrofi dan


mencegah reabsorbsi kalsium karena
imobilisasi.

3. Berikan

papan

gulungan

penyangga

trokanter/tangan

kaki, Mempertahankan posis fungsional


sesuai ekstremitas.

indikasi.
Meningkatkan kemandirian klien dalam
4. Bantu

dan

dorong

perawatan

diri perawatan diri sesuai kondisi

(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan keterbatasan klien.


klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit dan


5. Ubah posisi secara periodik sesuai pernapasan (dekubitus, atelektasis,
keadaan klien.

penumonia)
Mempertahankan hidrasi adekuat, mencegah komplikasi urinarius dan

6. Dorong/pertahankan

asupan

cairan konstipasi.

2000-3000 ml/hari.
Kalori dan protein yang cukup diperlukan
7. Berikan diet TKTP.

untuk proses penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.


Kerjasama dengan fisioterapis perlu
untuk menyusun program aktivitas fisik

8. Kolaborasi

pelaksanaan

fisioterapi secara individual.

sesuai indikasi.
Menilai perkembangan masalah klien.
9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien
dan program imobilisasi.

d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien
menyatakan ketidaknyamanan hilang,
Kriteria Hasil: klien menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan
luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi
INTERVENSI KEPERAWATAN
1. Pertahankan

tempat

tidur

RASIONAL
yang Menurunkan risiko kerusakan/abrasi kulit

nyaman dan aman (kering, bersih, yang lebih luas.


alat tenun kencang, bantalan bawah
siku, tumit).
Meningkatkan sirkulasi perifer dan
2. Masase

kulit

terutama

daerah meningkatkan kelemasan kulit dan otot

penonjolan tulang dan area distal terhadap tekanan yang relatif konstan
bebat/gips.

pada imobilisasi.
Mencegah gangguan integritas kulit dan

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah jaringan akibat kontaminasi fekal.
perianal
Menilai perkembangan masalah klien.
4. Observasi keadaan kulit, penekanan
gips/bebat

terhadap

kulit,

insersi

pen/traksi.

e.

Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,


taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu
Kriteria hasil: bebas drainase purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN

RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan Mencegah infeksi sekunderdan


perawatan luka sesuai protokol

mempercepat penyembuhan luka.

2. Ajarkan klien untuk mempertahankan Meminimalkan kontaminasi.


sterilitas insersi pen.
Antibiotika spektrum luas atau spesifik
3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan dapat digunakan secara profilaksis,
toksoid tetanus sesuai indikasi.

mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid


tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

4. Analisa

hasil

pemeriksaan Leukositosis biasanya terjadi pada proses

laboratorium (Hitung darah lengkap,


LED,

Kultur

dan

luka/serum/tulang)

infeksi, anemia dan peningkatan LED

sensitivitas dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur


untuk mengidentifikasi organisme
penyebab infeksi.

5.

Observasi
vital dan

tanda-tanda Mengevaluasi perkembangan masalah

tanda-tanda peradangan klien.

lokal pada luka.

h.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan

pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,


keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan


menunjukkan pengetahuan meningkat

Kriteria hasil : klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya


INTERVENSI KEPERAWATAN
1.

Kaji

kesiapan

klien

RASIONAL

mengikuti Efektivitas proses pemeblajaran

program pembelajaran.

dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental


klien untuk mengikuti program
pembelajaran.

2.

Diskusikan metode mobilitas dan Meningkatkan partisipasi dan kemandirian


ambulasi sesuai program terapi fisik.

klien dalam perencanaan dan


pelaksanaan program terapi fisik.

3.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang Meningkatkan kewaspadaan klien untuk


memerluka

evaluasi

medik

(nyeri mengenali tanda/gejala dini yang

berat, demam, perubahan sensasi memerulukan intervensi lebih lanjut.


kulit distal cedera)
Upaya pembedahan mungkin diperlukan
4.

Persiapkan klien untuk mengikuti untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi


terapi pembedahan bila diperlukan.

klien.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2005. Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC
Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Ed, 3. Jakarta: EGC
Pierce A Grace & Neil R. Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah Edisi Ketiga. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Pradip, L Patel. 2007. Lecture: Notes Radiology. Edisi Kedua. Jakarta: Penerbit Erlangga
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC
Ramadhan.
2008.
Konsep
Fraktur
(Patah
http://forbetterhealth.wordpress.com/2008/12/22/konsep-fraktur-patah-tulang/
tanggal 06 Desember 2016.

Tulang.
diakses

Risnanto dan Uswatun Insani. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah (Sistem
Muskuloskeletal). Yogyakarta: Deepublish
Santosa, Budi. 2007. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA. Jakarta : Prima Medika
Sartono, dkk. 2013. Basic Trauma Cardiac Life Suport- BTCLS GADAR MEDIK INDONESIA
Sjamsuhidajat, R. dan De Jong W. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC
Smeltzer, & Bare. 2005. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah Brunner & Suddart. Edisi 8,
Vol 1, alih bahasa: Kuncara Monica Ester. Jakarta: EGC.
Suratun, dkk. 2006.Klien Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan Keperawatan.
Jakarta: EGC
Wilkinson M J. 2007. Buku Saku Diagnosis Keperawatan dengan Intervensi NIC dan Ktriteria
Hasil NOC. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai