Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN
Tonsil atau amandel merupakan kumpulan jaringan limfoid yang
berfungsi mencegah agar infeksi tidak menyebar ke seluruh tubuh dengan cara
menahan kuman yang masuk ketubuh melalui mulut, hidung dan
kerongkongan. Terdapat tiga macam tonsil yang merupakan bagian dari cincin
Weldeyer yaitu tonsil laringeal (adenoid), tonsil palatine (tonsila faucial), dan
tonsila lingual (tonsil pangkal lidah). Tonsil palatina yang biasa disebut tonsil
saja terletak di dalam fossa tonsil. Tonsil faringeal terletak di mukosa dinding
lateral tongga mulut.1
Tonsilitis atau yang sering dikenal dengan amandel adalah peradangan
pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Weldeyer. Peradangan
pada tonsil ini bisa disebabkan oleh bakteri atau virus. Beberapa virus yang
sering menjadi penyebab adalah adenovirus, virus influenza, virus Epstein bar,
enterovirus, dan virus herpes simplek. Salah satu penyebab tersering dari
tonsillitis adalah infeksi oleh bakteri grup A Streptococcus beta hemolitik
(GABHS). Selain itu juga ada bakteri Streptokokus viridans dan Streptokokus
piogenes. Bakteri penyebab tonsilitis akut lainnya meliputi Stafilokokus Sp.,
Pneumokokus, dan Hemofilus influenzae. Hemofilus influenzae menyebabkan
tonsilitis akut supuratif. Penyebaran infeksi bisa melalui udara (droplet),
tangan, dan kontak dengan air liur.2
Tonsillitis adalah penyakit yang hampir umum terjadi. Berdasarkan data
epidemiologi THT pada 7 provinsi di Indonesia pada rentang dua tahun antara
tahun 1994-1996, prevalensi tonsillitis kronik sebesar 3,8% tertinggi kedua
setelah nasofaringitis akut 4,6%. Tonsillitis paling sering terjadi pada anakanak dengan usia >2 tahun. Tonsillitis yang disebabkan oleh Streptococcus
biasanya terjadi pada anak usia 5-15 tahun, sedangkan yang disebabkan oleh
virus lebih sering pada anak-anak muda. Data epidemiologi menunjukkan
bahwa tonsillitis merupakan penyakit yang sering terjadi pada usia 5-10 tahun
dan dewasa usia 15-25 tahun.3,4

Secara umum anak lebih mudah terkena radang amandel. Penyakit tonsil
timbul pada anak karena daya tahan tubuh anak masih dalam proses
pembentukan dan juga pola hidup anak dan sering mengkonsumsi makanan
dan minuman yang kurang sehat tanpa mengetahui kandungan gizi
didalamnya. Seperti yang terjadi sekarang ini bahwa makanan sekarang
banyak mengandung zat-zat yang kurang baik bagi kesehatan anak.5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA
2.1 ANATOMI DAN FISIOLOGI TONSIL
Tonsil terdiri dari jaringan limfoid yang dilapisi oleh epitel respiratori. Cincin
Waldeyer merupakan jaringan limfoid yang membentuk lingkaran di faring yang
terdiri dari tonsil palatina, tonsil faringeal (adenoid), tonsil lingual, dan tonsil tuba
Eustachius.2

Gambar 1. Letak anatomi Tonsil2


A Tonsil Palatina
Tonsil palatina adalah suatu massa jaringan limfoid yang terletak di
dalam fosa tonsil pada kedua sudut orofaring, dan dibatasi oleh pilar anterior
(otot palatoglosus) dan pilar posterior (otot palatofaringeus). Tonsil berbentuk
oval dengan panjang 2-5 cm, masing-masing tonsil mempunyai 10-30 kriptus
yang meluas ke dalam jaringan tonsil. Tonsil tidak selalu mengisi seluruh fosa
tonsilaris, daerah yang kosong diatasnya dikenal sebagai fosa supratonsilar.
Tonsil terletak di lateral orofaring. Dibatasi oleh:1,2

Lateral muskulus konstriktor faring superior

Anterior muskulus palatoglosus

Posterior muskulus palatofaringeus

Superior palatum mole

Inferior tonsil lingual


Permukaan tonsil palatina ditutupi epitel berlapis gepeng yang juga
melapisi invaginasi atau kripti tonsila. Banyak limfanodulus terletak di bawah
3

jaringan ikat dan tersebar sepanjang kriptus. Limfonoduli terbenam di dalam


stroma jaringan ikat retikular dan jaringan limfatik difus. Limfonoduli
merupakan bagian penting mekanisme pertahanan tubuh yang tersebar di
seluruh tubuh sepanjang jalur pembuluh limfatik. Noduli sering saling
menyatu dan umumnya memperlihatkan pusat germinal.1,2
Fosa Tonsil
Fosa tonsil dibatasi oleh otot-otot orofaring, yaitu batas anterior adalah otot
palatoglosus, batas posterior adalah otot palatofaringeus dan batas lateral atau
dinding luarnya adalah otot konstriktor faring superior. Berlawanan dengan
dinding otot yang tipis ini, pada bagian luar dinding faring terdapat nervus ke
IX yaitu nervus glosofaringeal.1,2
Perdarahan

Gambar 2. Vaskularisasi Tonsil2


Tonsil mendapat pendarahan dari cabang-cabang arteri karotis eksterna, yaitu
1) arteri maksilaris eksterna (arteri fasialis) dengan cabangnya arteri tonsilaris
dan arteri palatina asenden; 2) arteri maksilaris interna dengan cabangnya
arteri palatina desenden; 3) arteri lingualis dengan cabangnya arteri lingualis

dorsal; 4) arteri faringeal asenden. Kutub bawah tonsil bagian anterior


diperdarahi oleh arteri lingualis dorsal dan bagian posterior oleh arteri palatina
asenden, diantara kedua daerah tersebut diperdarahi oleh arteri tonsilaris.
Kutub atas tonsil diperdarahi oleh arteri faringeal asenden dan arteri palatina
desenden. Vena-vena dari tonsil membentuk pleksus yang bergabung dengan
pleksus dari faring. Aliran balik melalui pleksus vena di sekitar kapsul tonsil,
vena lidah dan pleksus faringeal. 1,2,6
Aliran getah bening
Aliran getah bening dari daerah tonsil akan menuju rangkaian getah bening
servikal profunda (deep jugular node) bagian superior di bawah muskulus
sternokleidomastoideus, selanjutnya ke kelenjar toraks dan akhirnya menuju
duktus torasikus. Tonsil hanya mempunyai pembuluh getah bening eferan
sedangkan pembuluh getah bening aferen tidak ada.1,2
Persarafan
Tonsil bagian bawah mendapat sensasi dari cabang serabut saraf ke IX (nervus
glosofaringeal) dan juga dari cabang desenden lesser palatine nerves.1,2
Imunologi Tonsil
Tonsil merupakan jaringan limfoid yang mengandung sel limfosit. Limfosit B
membentuk kira-kira 50-60% dari limfosit tonsilar. Sedangkan limfosit T pada
tonsil adalah 40% dan 3% lagi adalah sel plasma yang matang. Limfosit B
berproliferasi di pusat germinal. Immunoglobulin (IgG, IgA, IgM, IgD),
komponen komplemen, interferon, lisozim dan sitokin berakumulasi di
jaringan tonsilar. Sel limfoid yang immunoreaktif pada tonsil dijumpai pada 4
area yaitu epitel sel retikular, area ekstrafolikular, mantle zone pada folikel
limfoid dan pusat germinal pada folikel ilmfoid. Tonsil merupakan organ
limfatik sekunder yang diperlukan untuk diferensiasi dan proliferasi limfosit
yang sudah disensitisasi. Tonsil mempunyai 2 fungsi utama yaitu 1)
menangkap dan mengumpulkan bahan asing dengan efektif; 2) sebagai organ
utama produksi antibodi dan sensitisasi sel limfosit T dengan antigen
spesifik.1,2

B Tonsil Faringeal (Adenoid)


Adenoid merupakan masa limfoid yang berlobus dan terdiri dari
jaringan limfoid yang sama dengan yang terdapat pada tonsil. Lobus atau
segmen tersebut tersusun teratur seperti suatu segmen terpisah dari sebuah
ceruk dengan celah atau kantong diantaranya. Lobus ini tersusun mengelilingi
daerah yang lebih rendah di bagian tengah, dikenal sebagai bursa faringeus.
Adenoid tidak mempunyai kriptus. Adenoid terletak di dinding belakang
nasofaring. Jaringan adenoid di nasofaring terutama ditemukan pada dinding
atas dan posterior, walaupun dapat meluas ke fosa Rosenmuller dan orifisium
tuba eustachius. Ukuran adenoid bervariasi pada masing-masing anak. Pada
umumnya adenoid akan mencapai ukuran maksimal antara usia 3-7 tahun
kemudian akan mengalami regresi.1
C Tonsil Lingual
Tonsil lingual terletak di dasar lidah dan dibagi menjadi dua oleh
ligamentum glosoepiglotika. Di garis tengah, di sebelah anterior massa ini
terdapat foramen sekum pada apeks, yaitu sudut yang terbentuk oleh papilla
sirkumvalata.1,2
2.2 DEFINISI DAN KLASIFIKASI
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsil palatine yang merupakan
bagian dari cincin Waldeyer. Peradangan ini bisa disebabkan oleh infeksi
bakteri, virus, jamur dan parasit. Menurut Soepardi (2007) macam-macam
tonsillitis yaitu:1
A. Tonsilitis akut
Tonsilitis akut dapat disebabkan oleh bakteri maupun virus. Pada
tonsillitis yang disebabkan oleh bakteri atau Tonsilitis Bakteria, radang
akut bisa disebabkan oleh grup A Streptococcus beta hemolitikus.
Infiltrasi bakteri pada lapisan epital jaringan tonsil akan menimbulkan
reaksi radang berupa keluarnya leukosit polimorfonuklear sehingga
terbentuk detritus. Bila bercak-bercak detritus ini menjadi satu,
membentuk alur-alur maka akan terjadi tonsillitis lakunaris.1
Tonsillitis akut karena virus gejalanya lebih menyerupai commond cold
yang disertai nyeri tenggorok. Virus Epstein Barr adalah penyebab paling
sering. H.Influenzae merupakan penyebab tonsillitis akut supuratif. Jika
6

terjadi infeksi virus coxschakie, maka pada pemeriksaan rongga mulut


akan tampak luka-luka kecil pada palatum dan tonsil yang sangat nyeri.1,2
B. Tonsilitis Kronik
Tonsillitis kronik merupakan peradangan pada tonsil yang persisten.
Beberapa referensi menyebutkan bahwa adanya gejala tonsil berulang
dan nyeri tenggorokan menetap durasi 3 bulan. Keluhan ini bisa disertai
dengan obstruksi orofaring karena adanya pembesaran tonsil.1
C. Tonsilitis Membranosa
Ada beberapa macam tonsillitis membranosa yaitu tonsillitis difteri,
tonsillitis septic, dan Angina Plaut Vincent.
1 Tonsillitis difteri disebabkan oleh Corynebacterium diphteriae yaitu
suatu bakteri yang dapat menimbulkan abnormalitas toksik yang
mematikan bila terinfeksi bakteriofag. Tonsillitis ini lebih sering
terjadi pada anak-anak usia 2-5 tahun dengan cara penularan melalui
udara, benda atau makanan yang terkontaminasi. Masa inkubasinya
2-7 hari. Gejalanya ditandai dengan kenaikan suhu subfebril, nyeri
tenggorok, nyeri kepala, penurunan nafsu makan, badan lemah, dan
nadi lambat. Pada pemeriksaan rongga mulut didapatkan tonsil
membesar dengan ditutupi bercak putih yang makin lama meluas
dan menyatu membentuk membrane semu. Membran ini melekat
2

erat dan jika diangkat akan menimbulkan pendarahan.1,3


Tonsillitis septic sering disebabkan oleh Streptococcus hemoliticus
yang sering terdapat pada susu sapi. Hal ini pernah dilaporkan
sampai terjadi epidemik karena kebiasaan minum susu sapi segar di

kalangan masyarakat.1,3
Angina Plaut Vincent disebabkan karena kurangnya tingkat
kebersihan mulut, defisiensi vitamin c serta kuman spirilum dan
basil fusi form. Gejalanya biasa diawali dengan demam sampai 39
derajat Celsius, nyeri kepala, badan lemah, gusi berdarah,
hipersalivasi dan terkadang terdapat gangguan pencernaan. Pada
pemeriksaan rongga mulut didapatkan faring hiperemi, tampak
membran putih keabuan di atas tonsil, uvula, dinding faring, gusi,

serta presesus alveolaris. Sering juga muncul bau mulut dan


pembesaran kelenjar sub mandibula.1,3
2.3 ETIOLOGI
Beberapa virus yang sering menjadi penyebab adalah adenovirus, virus
influenza, virus Epstein bar, enterovirus, dan virus herpes simplek. Salah satu
penyebab tersering dari tonsillitis adalah infeksi oleh bakteri grup A
Streptococcus beta hemolitik (GABHS). Selain itu juga ada bakteri
Streptokokus viridans dan Streptokokus piogenes. Bakteri penyebab tonsilitis
akut lainnya meliputi Stafilokokus Sp., Pneumokokus, dan Hemofilus
influenzae. Hemofilus influenzae menyebabkan tonsilitis akut supuratif.
Penyebaran infeksi bisa melalui udara (droplet), tangan, dan kontak dengan
air liur.2
2.4 PATOFISIOLOGI
Patogen yang menginfeksi pada tubuh kita berupa bakteri atau virus yang
masuk

melalui hidung atau mulut dapat terjadi secara aerogen ataupun

foodform. Tonsil berperan sebagai filter terhadap organisme yang berbahaya


tersebut. Hal ini akan memicu tubuh untuk membentuk antibodi terhadap
infeksi. Pada keadaan dimana patogen yang masuk terlalu banyak , paparan
pathogen yang terjadi berkali-kali, atau kondisi tonsil yang tidak optimal,
infeksi akan terjadi dan dinamakan tonsilitis. Patogen akan menginfiltrasi
lapisan epitel, bila epitel terkikis maka akan muncul reaksi dengan infiltrasi
sel polimorfonuklear dari jaringan limfoid superfisial. Reaksi yang timbul
adalah reaksi peradangan sehingga muncul edema, hiperemis, dan nyeri
menelan. Infiltrasi polimorfonuklear membuat tonsil terlihat seperti bercak
kuning yang disebut detritus. Detritus merupakan kumpulan leukosit, bakteri
dan epitel yang terlepas, suatu tonsillitis akut dengan detritus disebut
tonsillitis falikularis, bila bercak detritus berdekatan menjadi satu maka terjadi
tonsillitis lakunaris.1,2,7
2.5 FAKTOR RESIKO

Beberapa faktor resiko yang diduga berperan pada terjadinya tonsilitis


sampai saat ini belum lengkap. Pada beberapa penelitian didapatkan bahwa
tidak ada bukti keterlibatan genetic sebagai faktor resiko. Namun ada
beberapa faktor predisposisi timbulnya tonsillitis sebagai berikut:1
a. Higienitas rongga mulut dan gigi yang kurang baik. Hal ini memudahkan
untuk terjadi infeksi oleh flora normal ataupun patogen
b. Rangsangan menahun rokok dan beberapa jenis makanan yang
menyebabkan iritasi atau memicu peradangan tonsil
c. Pengaruh cuaca, iklim sehingga memicu terjadinya infeksi saluran napas
atas
d. Kelelahan fisik,yang berdampak pada penurunan daya tahan tubuh
terhadap infeksi
e. Riwayat kontak dengan penderita tonsillitis seperti berciuman dan
pemakaian sikat gigi bersama
f. Penyakit immunocompromised
g. Pengobatan tonsillitis yang tidak adekuat dan penggunaan antibiotic yang
tidak sesuai dengan data empiris membuat kekebalan pada beberapa
bakteri patogen.
2.6 GEJALA KLINIS
Gejala tonsillitis kronis menurut Mawson (1977), dibagi menjadi : 1.)
gejala local, yang bervariasi dari rasa tidak enak di tenggorok, sakit
tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa tidak enak
badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan persendian,
3.) gejala klinis tonsil dengan detritus di kriptenya (tonsillitis folikularis
kronis), udema atau hipertrofi tonsil (tonsillitis parenkimatosa kronis), tonsil
fibrotic dan kecil (tonsillitis fibrotic kronis), plika tonsilaris anterior hiperemis
dan pembengkakan kelenjar limfe regional.8
2.7 DIAGNOSIS
Tonslitis dapat ditegakkan dengan melakukan anamnesis serta
pemeriksaan fisik pada pasien. Dari anamnesis biasanya pasien sering datang
dengan keluhan rasa sakit pada tenggorok yang terus menerus, sakit waktu
menelan, nafas bau busuk, malaise, sakit pada sendi, kadang-kadang ada
demam dan nyeri pada leher, Pada anak, tonsil yang hipertrofi dapat terjadi
obstruksi saluran nafas atas yang dapat menyebabkan hipoventilasi alveoli
9

yang selanjutnya dapat terjadi hiperkapnia dan dapat menyebabkan kor


polmunale. Obstruksi yang berat menyebabkan apnea waktu tidur, gejala yang
paling umum adalah mendengkur yang dapat diketahui dalam anamnesis.9
Pada pemeriksaan fisik pada tonsil akan didapati tonsil hipertrofi,
tetapi kadang-kadang atrofi, hiperemi dan odema yang tidak jelas. Didapatkan
detritus atau detritus baru tampak jika tonsil ditekan dengan spatula lidah.
Kelenjar leher dapat membesar tetapi tidak terdapat nyeri tekan.1,2Dari
pemeriksaan dapat dijumpai pembesaran tonsil yang bervariasi . Kadangkadang tonsil dapat bertemu di tengah. Standart untuk pemeriksaan tonsil
berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio
tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar
anterior kanan dan kiri. Yang dapat di klasifikasikan :9
a. T0 : Tonsil terletak pada fosa tonsil (tidak ada pembesaran/tidak punya
tonsil)
b. T1 : < 25% tonsil menutupi orofaring, (batas medial tonsil melewati
pilar anterior sampai jarak pilar anterior uvula)
c. T2 : > 25% sampai < 50% tonsil menutupi orofaring, (batas medial
tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterior-uvula)
d. T3 : > 50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring,(batas medial
tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterioruvula).
e. T4 : >75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati
jarak pilar anterior-uvula sampai uvula atau lebih).

10

Gambar 3. Ukuran tonsil 9

Tabel 1. Perbedaan tonsilitis9


Tonsilitis Akut

Tonsilitis Kronis

Tonsilitis Kronis

Hiperemis dan edema

Eksaserbasi akut
Hiperemis dan edema

Memebesar/ mengecil tapi

Kripte tak melebar


Detritus (+ / -)
Perlengketan (-)
Antibiotika,

tidak hiperemis
Kripte melebar
Kripte melebar
Detritus (+)
Detritus (+)
Perlengketan (+)
Perlengketan (+)
Sembuhkan radangnya, Jika perlu Bila mengganggu lakukan

analgetika,

lakukan

obat kumur

minggu

tonsilektomi

6 Tonsilektomi

setelah peradangan tenang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk memperkuat diagnose
tonsilofaringitis akut adalah pemeriksaan laboratorium meliputi : 7
a
b
c

Leukosit
Hemoglobin
Usap tonsil untuk pemeriksaan kultur bakteri dan tes sensitifitas.
Dapat dilakukan kultur dan uji resistensi (sensitifitas) kuman dari sediaan
apus tonsil. Biakan swab sering menghasilkan beberapa macam kuman
dengan derajat keganasan yang rendah, seperti Streptokokus hemolitikus,
Streptokokus viridans, Stafilokokus, atau Pneumokokus.7

2.8 DIAGNOSIS BANDING


a. Tonsilitis Difteri
Disebabkan oleh kuman Corynebacterium diphteriae. Tidak semua
orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan sakit. Keadaan ini tergantung
pada titer antitoksin dalam darah. Titer antitoksin sebesar 0,03 sat/cc darah
dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Gejalanya terbagi
menjadi 3 golongan besar, umum, local dan gejala akibat eksotoksin.

11

Gejala umum sama seperti gejala infeksi lain, yaitu demam subfebris,
nyeri kepala, tidak nafsu makan, badan lemah, nadi lambat dan keluhan
nyeri menelan. Gejala local yang tampak berupa tonsi membengkak
ditutupi bercak putih kotor yang makin lama makin meluas dan
membentuk pseudomembran yang melekat erat pada dasarnya sehingga
bila diangkat akan mudah berdarah. Gejala akibat eksotoksin dapat
menimbulkan kerusakan jaringan tubuh, misalnya pada jantung dapat
terjadi miokarditis sampai dekompensasi kordis, pada saraf cranial dapat
menyebabkan kelumpuhan otot palatum dan otot pernafasan serta pada
ginjal dapat menimbulkan albuminuria.10
b. Angina Plaut Vincent (Stomatitis Ulseromembranosa)
Gejala yang timbul adalah demam tinggi (39C), nyeri di mulut, gigi
dan kepala, sakit tenggorok, badan lemah, gusi mudah berdarah dan
hipersalivasi. Pada pemeriksaan tampak membrane putih keabuan di tonsil,
uvula, dinding faring, gusi dan prosesus alveolaris. Mukosa mulut dan
faring hiperemis. Mulut berbau (foetor ex ore) dan kelenjar submandibula
membesar.10
c. Mononucleosis infeksiosa
Terjadi tonsilofaringitis ulseromembranosa bilateral. Membrane semu
yang menutup ulkus mudah diangkat tanpa timbul perdarahan, terdapat
pembesaran kelenjar limfe leher, ketiak dan region inguinal. Gambaran
darah khas yaitu terdapat leukosit mononucleosis dalam jumlah besar.
Tanda khas yang lain adalah kesanggupan serum pasien untuk beraglutinasi
terhadap sel darah merah domba (Reaksi Paul Bunnel).10
2.9 PENATALAKSANAAN
a. Medikamentosa
Terapi medikamentosa yang efektif diberikan adalah antibiotika
khususnya antibiotika beta laktam. Antibiotik mengurangi demam dan
mengurangi rasa sakit bila dibandingkan dengan placebo, terutama terlihat
pada pemberian hari ke-3. Selain itu, pemberian beta-laktam juga
memberikan perlindungan yang relatif baik terhadap demam reumatik dan

12

glomerulonephritis. Beta-laktam juga diteliti pada beberapa studi dapat


mencegah komplikasi abses peritonsil, otitis akut, dan sinusitis. Penisilin
memberikan keuntungan terbanyak dengan harga termurah. Obat-obatan
golongan cefalosporin lebih efekti pada penderita umur dibawah 12 tahun
dan untuk tonsilitis kronik rekuren. Obat-obatan golongan macrolide dan
klindamicin memberikan efek samping yang lebih banyak sehingga lebih
baik digunakan hanya bila ditemukan adanya reaksi alergi terhadap
penisilin.1,11
Terapi suportif seperti pemberian steroid dan analgetik juga dapat
diberikan dan, menurut studi, memberikan perbaikan yang signifikan pada
penderita.

Steroid

yang

dapat

diberikan

seperti

deksametason,

betametason, dan prednisolon. Obat-obatan NSAID dapat diberikan untuk


mengurangi rasa nyeri pada penderita anak-anak. Menurut studi, ibuprofen
memberikan efek tertinggi dengan efek samping minimal dibandingkan
dengan parasetamol.1,11
b. Non Medikamentosa
Indikasi
tonsilektomi
Otolaryngology

Head

and

menurut
Neck

American
Surgery

Academy

Clinical

of

Indicators

Compendium tahun 1995 menetapkan : 9


Serangan tonsillitis lebih dari 3 kali pertahun walaupun telah mendapatkan

terapi yang adekuat.


Tonsil hipertrofi yang menimbulkan maloklusi gigi dan menyebabkan

gangguan pertumbuhan orofacial.


Sumbatan jalan nafas yang berupa hipertrofi tonsil dengan sumbatan jalan
nafas, sleep apneu, gangguan menelan, gangguan berbicara, dan cor

pulmonale.
Rhinitis dan sinusitis yang kronis, peritonsilitis, abses peritonsil yang tidak

e
f

hilang dengan pengobatan.


Nafas bau yang tidak berhasil dengan pengobatan.
Tonsillitis berulang yang disebabkan oleh bakteri grub A streptokokus beta

g
h

hemolitikus.
Hipertrofi tonsil yang dicurigai adanya keganasan.
Otitis media efusi atau otitis media supuratif.

13

Indikasi relative : 12
a Penderita dengan infeksi tonsil yang kambuh 3 kali atau lebih dalam
setahun meskipun dengan terapi yang adekuat
b Bau mulut atau bau nafas yang menetap yang menandakan tonsilitis
kronis tidak responsif terhadap terapi media
c Tonsilitis kronis atau rekuren yang disebabkan kuman streptococus
yang resisten terhadap antibiotik betalaktamase
d Pembesaran tonsil unilateral yang diperkirakan neoplasma
Kontra indikasi :12
a Diskrasia darah kecuali di bawah pengawasan ahli hematologi
b Usia di bawah 2 tahun bila tim anestesi dan ahli bedah fasilitasnya
tidak mempunyai pengalaman khusus terhadap bayi
c Infeksi saluran nafas atas yang berulang
d Perdarahan atau penderita dengan penyakit sistemik yang tidak
terkontrol.
e Celah pada palatum
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi dari tonsilitis kronis dapat terjadi secara perkontinuitatum ke
daerah sekitar atau secara hematogen atau limfogen ke organ yang jauh dari
tonsil. Adapun berbagai komplikasi yang kerap ditemui adalah sebagai
berikut :1
1
a

Komplikasi sekitar tonsila :


Peritonsilitis
Peradangan tonsil dan daerah sekitarnya yang berat tanpa adanya
trismus dan abses.1

Abses Peritonsilar (Quinsy)


Kumpulan nanah yang terbentuk di dalam ruang peritonsil. Sumber
infeksi berasal dari penjalaran tonsilitis akut yang mengalami supurasi,
menembus kapsul tonsil dan penjalaran dari infeksi gigi.1

Abses Parafaringeal ,
Infeksi dalam ruang parafaring dapat terjadi melalui aliran getah bening
atau pembuluh darah. Infeksi berasal dari daerah tonsil, faring, sinus

14

paranasal, adenoid, kelenjar limfe faringeal, os mastoid dan os


petrosus.1
d

Abses Retrofaring
Merupakan pengumpulan pus dalam ruang retrofaring. Biasanya
terjadi pada anak usia 3 bulan sampai 5 tahun karena ruang retrofaring
masih berisi kelenjar limfe.1

Kista Tonsil
Sisa makanan terkumpul dalam kripta mungkin tertutup oleh jaringan
fibrosa dan ini menimbulkan kista berupa tonjolan pada tonsil
berwarna putih dan berupa cekungan, biasanya kecil dan multipel.1

Tonsilolith (Kalkulus dari tonsil)


Terjadinya deposit kalsium fosfat dan kalsium karbonat dalam jaringan
tonsil yang membentuk bahan keras seperti kapur.1
2. Komplikasi Organ jauh atau yang memberatkan

Demam rematik dan penyakit jantung rematik


Demam reumatik menjadi komplikasi dari tonsilitis karena memiliki
etiologi yang sama, yaitu Grup A beta haemolyticus streptococcal.
Meskipun begitu, resikonya mendekati angka nol bila mendapatkan
penanganan yang adekuat. 13

Glomerulonefritis
Glomerulonephritis post-streptococcal adalah suatu kemungkinan yang
masih ada meskipun penanganan sudah dilakukan dan harus
diwaspadai.13

Episkleritis, konjungtivitis berulang dan koroiditis14

Psoriasiseritema multiforme, kronik urtikaria dan purpura14

Artritis dan fibrositis.14

Obstruksi Jalan Napas


Pembesaran dari tonsil memiliki potensi untuk menyebabkan obstruksi
jalan napas yang dapat membahayakan nyawa pasien dan harus
ditangani secepatnya. Penanganan non-bedah yang dapat dilakukan

15

adalah pemberikan steroid intravena, penempatan jalan napas melalui


nasofaring, heliox, dan epinefrin. Penanganan pemberian jalan napas
definitif diperlukan dengan melakukan intubasi nasotrakeal dan
trakeostomi.13
2.11 PROGNOSIS
Tonsilitis kronis eksaserbasi akut gejala radangnya akan sembuh
dalam beberapa hari dengan beristirahat dan pengobatan suportif.
Menangani gejala gejala yang timbul dapat membuat penderita tonsilitis
lebih nyaman. Bila antibiotik diberikan untuk mengatasi infeksi,
antibiotika tersebut harus dikonsumsi sesuai arahan demi penatalaksanaan
yang lengkap, bahkan bila penderita telah mengalami perbaikan dalam
waktu yang singkat. 9
Gejala gejala yang tetap ada dapat menjadi indikasi bahwa penderita
mengalami infeksi saluran nafas lainnya, infeksi yang paling sering terjadi
yaitu infeksi pada telinga dan sinus. Pada kasus kasus yang jarang,
tonsilitis dapat menjadi sumber dari infeksi serius seperti demam rematik
atau pneumonia. Untuk selanjutnya diperlukan tonsilektomi sesuai dengan
indikasi relatif ataupun absolut.9
2.12 PREVENTIF
Bakteri dan virus penyebab tonsilitis dapat dengan mudah menyebar dari
satu penderita ke orang lain. Resiko penularan dapat diturunkan dengan
mencegah terpapar dari penderita tonsilitis atau yang memiliki keluhan
sakit menelan. Gelas minuman dan perkakas rumah tangga untuk makan
tidak dipakai bersama dan sebaiknya dicuci dengan menggunakan air
panas yang bersabun sebelum digunakan kembali. Sikat gigi yang telah
lama sebaiknya diganti untuk mencegah infeksi berulang. Orang orang
yang merupakan karier tonsilitis semestinya sering mencuci tangan
mereka untuk mencegah penyebaran infeksi pada orang lain. Perlu juga
menghindari paparan dari bahan iritan seperti makanan yang dapat
membuat munculnya kembali fase eksaserbasi.9

16

BAB III
LAPORAN KASUS
I

Identitas Penderita
Nama
Umur
Jenis Kelamin
Pekerjaan
Agama
Suku
Bangsa
Alamat
Tanggal Pemeriksaan

:
:
:
:
:
:
:
:
:

I Gede Sastra Wiguna


7 Tahun
Laki-laki
Pelajar
Hindu
Bali
Indonesia
Desa Pidpid, Abang, Karangasem
8 April 2015

II Anamnesa
Keluhan Utama : Nyeri di tenggorokan.
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien laki-laki umur 7 tahun datang ke Poliklinik THT RSUD Karangasem
diantar oleh ibu beserta adiknya dalam keadaan sadar dan mengeluh nyeri pada
tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri terutama dirasakan ketika pasien
makan dan minum. Pasien merasa ada yang seperti mengganjal di tenggorokan
yang semakin lama berubah menjadi nyeri. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk,
dan berlangsung terus-menerus yang terutama dirasakan ketika pasien menelan.
Pasien juga mengalami pilek dan batuk yang terjadi bersamaan dengan keluhan
nyeri di tenggorokan. Orang tua pasien mengatakan semenjak pasien mengalami
keluhan tersebut nafsu makan pasien menjadi berkurang, terkadang pasien hanya
mau makan tiga suap saja. Pasien juga dikatakan sangat suka dan sering makan
snack/makanan ringan kemasan, somai, bakso, sosis, permen dan makanan
berpengawet lainnya. Pasien juga sangat suka membeli es dan minum minuman
yang dingin. Pasien dikatakan ada riwayat demam sejak seminggu yang lalu dan
sudah dibawa ke puskesmas dan dikasi obat sehingga keluhan demam membaik.
Pasien juga dikatakan adanya keluhan mendengkur ketika pasien tidur dan nafas

17

pasien bau. Keluhan nyeri pada telinga, rasa penuh, suara mendenging disangkal.
Pasien juga menyangkal adanya rasa cairan yang mengalir pada tenggorokan
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien dikatakan agak sering mengalami keluhan seperti ini. Pasien sudah
pernah mengalami keluhan seperti ini sejak pasien berumur 3 tahun. Dalam
setahun pasien mengalami keluhan seperti ini bisa sampai empat kali. Terakhir
kali pasien mengalami keluhan seperti ini sekitar dua bulan yang lalu. Orang tua
pasien menyangkal ada riwayat asma, hipertensi dan diabetes pada pasien.
Riwayat Alergi :
Pasien menyangkal adanya alergi terhadap obat, makanan maupun bahan
tertentu.
Riwayat Pengobatan :
Pasien dikatakan sudah sempat berobat ke Puskesmas satu minggu yang
lalu saat keluhan muncul dan diberi obat yang rutin diminum pasien. Namun
nyeri di tenggorokan masih sampai sekarang. Sehari sebelum datang pasien
pergi ke puskesmas untuk kontrol lalu pasien di rujuk ke RSUD Karangasem.
Riwayat Penyakit dalam Keluarga :
Sepupu pasien pernah mengalami

tonsillitis

namun sudah dilakukan

tonsilektomi. Adik pasien juga sering mengalami keluhan seperti yang dikeluhkan pasien
saat ini.

Riwayat Pribadi dan Sosial :


Pasien merupakan siswa SD kelas 1. Pasien biasanya pergi ke sekolah jam 6.30
kadang diantar dang terkadang naik sepeda. Pasien menyatakan sangat suka makan
snack/makanan ringan kemasan, somai, bakso, sosis, permen. Pasien juga sangat suka
membeli es dan minum minuman yang dingin. Pasien pulang sekolah jam 10.30 lalu
pasien sering pergi bermain sepeda bersama sepupu dan teman sekolah keluar rumah.
Setelah lelah bermain pasien sering berbelanja makanan ringan, sosis, permen dan es di
warung dekat rumah.

III Pemeriksaan Fisik


Status Present :
18

Keadaan Umum

: Baik

Kesadaran

: Compos Mentis

Nadi

: 84x/menit

Respirasi

: 20x/menit

Temperature

: 37 C

BB/TB

: 21 kg/ 146 cm

Status General
Kepala

: Normocephali

Mata

: Anemis -/- , ikterus -/-

THT

: Sesuai status lokalis

Leher

: Pembesaran KGB (-)

Thorax

: Cor : S1/S2 Tunggal, Mur-mur (-)


Pulmo : Ves/Ves, Wh -/-, Rh -/-

Abdomen

: BU (+) , Distensi (-)

Ekstremitas

: Edema (-), Hangat (+)

Status Lokalis THT


Telinga
Daun telinga
Nyeri Tekan Tragus
Nyeri Tarik Aurikuler
MAE

Kanan
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Lapang

Kiri
Normal
Tidak ada
Tidak ada
Lapang

Serumen (+)

Serumen (+)

Membran Timpani

Cairan (-)
Intak

Cairan (-)
Intak

Tumor

Tidak ada

Tidak ada

Hidung
Hidung Luar
Kavum Nasi
Septum
Sekret
Mukosa
Tumor

Kanan
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Ada
Hiperemi
Tidak ada

Kiri
Normal
Lapang
Tidak ada deviasi
Ada
Hiperemi
Tidak ada
19

Konka
Sinus
Koana

Kongesti
Normal
Normal

Kongesti
Normal
Normal

Tenggorok
Dispneu
Sianosis
Mukosa
Dinding belakang faring
Stridor
Suara
Tonsil

Tidak ada
Tidak ada
Hiperemi
Granulasi (-), post nasal drip (-)
Ada
Normal
T4 / T3 Hiperemis, Kripta Melebar, Detritus (+)

IV Resume
Pasien laki-laki umur 7 tahun, Hindu, suku Bali datang dengan keluhan nyeri pada
tenggorokan sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri terutama dirasakan ketika pasien menelan
saat makan maupun minum. Pasien merasa ada yang seperti mengganjal di tenggorokan
yang semakin lama berubah menjadi nyeri. Nyeri dirasakan seperti ditusuk-tusuk, dan
berlangsung terus-menerus yang terutama dirasakan ketika pasien menelan. Pasien juga
mengalami pilek dan batuk. Pasien dikatakan ada riwayat demam . Pasien sempat
berobat ke Puskesmas satu minggu yang lalu namun keluhan utama masih sampai
sekarang. Pasien mendengkur ketika tidur dan nafas pasien bau. Pada pemeriksaan fisik
umum ditemukan tanda vital dan status generalis dalam kondisi baik. Pada pemeriksaan
THT telinga dalam kondisi normal. Pada pemeriksaan hidung didapatkan mukosa
hiperemi, konka kongesti, sekret (+). Pada pemeriksaan tenggorokan didapatkan suara
pasien normal, tonsil berukuran T4/T3, mukosa hiperemi, kripta melebar, fluktuasi (-),
mukosa dinding belakang faring berwarna merah muda dan uvula terletak tepat di medial
tanpa deviasi.

V Diagnosis Kerja
Tonsilitis Kronik T4/T3 Eksaserbasi Akut
VI Penatalaksanaan
Medikamentosa:
-

Cefixime 2x100 mg
Paracetamol 3x250 mg
Vitamin C 1x100 mg
Ambroxol 3x 30 mg
20

Operatif:
-

Usulan untuk dilakukan prosedur tonsilektomi

KIE:
-

Hindari faktor pencetus timbulnya penyakit

Kontrol ke poli THT setelah obat habis


VII. Prognosis
Dubius ad bonam

BAB IV
PEMBAHASAN
Dari hasil anamnesis didapatkan pasien mengeluh nyeri pada tenggorokan
sejak 1 minggu yang lalu. Nyeri terutama dirasakan ketika pasien makan dan minum.
Pasien merasa ada yang seperti mengganjal di tenggorokan yang semakin lama
berubah menjadi nyeri. Pasien juga mengeluh pilek, batuk, dan demam. Diagnosis
yang ditegakkan adalah tonsillitis kronis eksaserbasi akut. Hal ini sesuai dengan
keluhan utama yaitu nyeri tenggorokan terutama saat menelan, hal tersebut muncul
diakibatkan reaksi inflamasi sehingga muncul edema, hiperemis, dan nyeri
menelan.1,2,7 Menurut teori Mawson (1977) mengenai gejala tonsillitis kronis, yang

21

membaginya menjadi dua, yaitu, 1.) gejala lokal, yang bervariasi dari rasa tidak enak
di tenggorok, sakit tenggorok, sulit sampai sakit menelan, 2.) gejala sistemik, rasa
tidak enak badan atau malaise, nyeri kepala, demam subfebris, nyeri otot dan
persendian.8
Pasien juga mengeluhkan sering terjadi kekambuhan gejala, sebanyak lebih
kurang empat kali dalam satu tahun. Pasien memiliki riwayat penyakit yang sama dan
sudah dirasakan sejak berumur 3 tahun. Pasien juga dikatakan sangat suka dan sering
makan snack/makanan ringan kemasan, somai, bakso, sosis, permen dan makanan
berpengawet lainnya. Pasien juga sangat suka membeli es dan minum minuman yang
dingin. Hal ini sesuai dengan faktor resiko dari tonsillitis kronis yaitu tonsillitis
paling sering terjadi pada anak-anak sejak usia > 2 tahun dan kejadian paling tinggi
pada usia 5-10 tahun.

3,4

Tonsilitis pada anak-anak sering timbul karena daya tahan

tubuh anak masih rendah, masih dalam proses pembentukan pola hidup, sehingga
kebiasaan mengkonsumsi makanan dan minuman yang kurang sehat tanpa
mengetahui kandungan gizi di dalamnya sering terjadi.1,5
Faktor resiko yang didapatkan pada pasien ini memiliki hubungan yang erat
dengan patofisiologi tonsilitis. Pasien berkali-kali makan dan minum yang kurang
higienis, sehat, dan tidak bergizi, serta berpengawet. Hal ini sesuai dengan teori
patofisiologi tonsillitis bahwa patogen yang menginfeksi pada tubuh kita berupa
bakteri atau virus yang masuk melalui hidung atau mulut dapat terjadi secara aerogen
ataupun foodform. Pada keadaan dimana patogen yang masuk terlalu banyak ,
paparan patogen yang terjadi berkali-kali, atau kondisi tonsil yang tidak optimal,
infeksi akan terjadi dan dinamakan tonsilitis. Patogen akan menginfiltrasi lapisan
epitel, bila epitel terkikis maka akan muncul reaksi dengan infiltrasi sel
polimorfonuklear dari jaringan limfoid superfisial.. Infiltrasi polimorfonuklear
membuat

tonsil

terlihat seperti bercak kuning yang disebut detritus. Detritus

merupakan kumpulan leukosit, bakteri dan epitel yang terlepas.1,2,7


Dari pemeriksaan status generalis pasien masih dalam batas normal.
Pemeriksaan lokalis di telinga dalam batas normal. Di hidung di dapatkan kongesti
pada konka dan keluarnya secret cair. Hal ini mengindikasikan pasien sedang

22

mengalami flu (pilek). Pasien juga mengaku sedang batuk. Pada pemeriksaan
tenggorok didapatkan tonsil mengalami pembesaran T4 pada tonsil kanan dan T3
pada tonsil kiri, hiperemis, kripta melebar, berisi detritus. Temperatur pasien 37 C
termasuk subfebris. Hal ini sesuai dengan teori dari Mawson (1997) yaitu gejala
klinis tonsillitis kronis dengan kripta melebar berisi detritus.8 Dikatakan eksaserbasi
akut sesuai pendapat dari Nurjannah (2009) jika ditemukan tonsil hiperemis, kripta
melebar, dan berisi detritus.9 Ukuran tonsil sesuai klasifikasi pada tonsislitis T4 :
>75%, tonsil menutupi orofaring (batas medial tonsil melewati jarak pilar anterioruvula sampai uvula atau lebih). T3 : > 50% sampai < 75% tonsil menutupi orofaring,
(batas medial tonsil melewati jarak pilar anterior-uvula sampai jarak pilar
anterioruvula).9
Dari anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan, diagnosis tonsillitis kronis
eksaserbasi akut sudah dapat ditegakkan. Diagnosis diarahkan dari gejala klinis
berupa nyeri saat menelan yang disertai dengan batu, pilek dan demam subfebris.
Penemuan pembesaran tonsil T4/T3 dengan hiperemis, kripta melebar, berisi detritus.
Penatalaksanaan tonsilitis dapat berupa terapi antibiotik, suportif, ataupun
terapi operatif dengan indikasi tertentu. Pada kasus ini, penderita diberikan antibiotik
untuk menanggulangi infeksi yang sedang terjadi dan diharapkan dapat mengurangi
reaksi peradangan. Parasetamol juga diberikan sebagai analgesik dan antipiretik
apabila keluhan nyeri dan demam atau kenaikan suhu tubuh dirasakan oleh pasien.
Mukolitik diberikan untuk mengencerkan dahak dan lender karena pasien
mengeluhkan batuk dan pilek. Vitamin C diberikan sebagai terapi suportif agar daya
tahan tubuh semakin membaik dan pemulihan kesehatan pasien lebih cepat. Terapi
operatif juga diusulkan karena pasien mengatakan bahwa sebelumnya pasien pernah
mengalami hal yang sama menandakan adanya perjalanan penyakit yang kronis.
Pembengkakan tonsil yang menutupi sebagian orofaring juga menjadi salah satu
pertimbangan sebagai indikasi untuk melakukan tonsilektomi. KIE yang diberikan
kepada pasien berupa pengingat untuk menghindari faktor-faktor pencetus seperti
makan makanan yang mengandung es atau dingin, makanan yang tidak terjamin
kebersihannya, dan juga agar pasien untuk menjaga kebersihan dan membiasakan

23

mencuci tangan. Pasien diminta untuk kontrol kembali ke poliklinik untuk


mengevaluasi kembali efikasi obat dan perkembangan perjalanan penyakit.

DAFTAR PUSTAKA

Soepardi.E.A,et all. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok


Kepala Leher. 6th ed. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
2007. pg:212-25.

Adams.G.L, Boies.L.R, Higler. P.A. Boies Buku Ajar Penyakit THT. 6th ed.
Penyakit-penyakit Nasofaring dan Orofaring. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC. 1997. pg: 330-44. (diakses: 8 Maret 2015)

Udayan KS. Tonsilitis and Peritonsillar Abscess. (Online). 2011. (diakses: 8


Maret 2015). sumber: http://www.emedicine.medscape.com.

24

Amalia, Nina. Karakteristik penderita Tonsilitis Kronis di RSUP Haji Adam


Malik Tahun 2009

Cahya, D. Keperawatan Pada Anak Dengan Tonsilitis. Akademi Keperawatan


Univ. Samratulangi. 2012 (diakses: 8 Maret 2015)

Caparas.M.B, Lim.M.G. Basic Otolaryngology. Publication of comittee of


the college of Medicine: University of the Philippines. 1998. pg: 149-59.

7 Lipton AJ. Obstructive sleep apnea syndrome. 2002. E- medicine


8

Kurien M, Sheelan S, Fine Needle Aspiration In Chronic Tonsillitis ;


Realiable and Valid Diagnostic Test Juornal of Laryngology and Otlogy.
2003 Vol 117,pp 973 975

9 Nurjanna Z, 2011. Karakteristik Penderita Tonsilitis Kronis di RSUP H. Adam


Malik Medan tahun 2007-2010. USU Institutonal Repository.
10 Dedya, et. Al. Tonsilitis Kronis Hipertrofi dan Obstructive Sleep Apnea
(OSA) Pada Anak. Bagian/Smf Ilmu Penyakit Tht Fk Unlam. 2009.
11 Van Schoor J. Colds, flu, and coughing: over-the-counter products for
pharyngitis and tonsillitis. S Afr Fam Pract 2013;55(4):330-333
12 Amarudin, Tolkha et Anton Christanto. 2005. Kajian Manfaat Tonsilektomi,
Cermin Dunia Kedokteran
13 Sidell D, Shapiro NL. Acute Tonsillitis. Infectious Disorders Drug Targets,
2012, 12, 271-276.
14 Stelter K. Tonsillitis and sore throat in children. GMS Current Topics in

Otorhinolaryngology - Head and Neck Surgery 2014, Vol. 13, ISSN 18651011.

25

Anda mungkin juga menyukai