Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Selama ini perusahaan dianggap sebagai lembaga yang dapat memberikan
banyak keuntungan bagi masyarakat. Menurut pendekatan teori akuntansi tradisional,
perusahaan harus memaksimalkan labanya agar dapat memberikan sumbangan yang
maksimum kepada masyarakat. Model-model akuntansi dan ekonomi tradisional
focus pada produksi dan distribusi barang dan jasa kepada masyarakat. Akuntansi
sosial memperluas model ini dengan memasukkan dampak-dampak dari aktivitas
perusahaan terhadap masyarakat. Akuntansi sosial memperluas model ini dengan
memasukkan dampak-dampak dari aktivitas perusahaan terhadap masyarakat. Suatu
pabrik kertas, misalnya, tidak hanya menghasilkan bubur kayu dan produk kertas,
melainkan juga limbah padat dan pencemaran udara serta air. Di lain pihak, pabrik
tersebut mungkin memberikan kontribusi kepada komunitas dengan memperbolehkan
karyawan untuk siswa-siswa yang berprestasi. Ditinjau dari perspektif ini, akuntansi
sosial dapat dilihat sebagai pendekatan yang berguna untuk mengukur dan
melaporkan kontribusi suatu perusahaan komunitas.
Seiring dengan berjalannya waktu masyarakat semakin menyadari adanya
dampak-dampak sosial yang ditimbulkan oleh perusahaan dalam menjalankan
operasinya untuk mencapai laba yang maksial yang semakin lama semakin besar dan
semakin sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu masyarakatpun menuntut agar
perusahaan senantiasa memperhatikan dampak-dampak sosial yang ditimbulkannya
dan berupaya mengatasinya. Aksi protes terhadap perusahaan sering dilakukan oleh
para karyawan dan buruh dalam rangka menuntut kebijakan upah dan pemberian
fasilitas dan kesejahteraan karena yang berlaku sekarang dirasa kurang
mencerminkan keadilan. Aksi yang serupa juga tidak jarang dilakukan oleh pihak
masyarakat, baik masyarakat sebagai konsumen maupun masyarakat disekitar
lingkuangan pabrik. Masyarakat sebagai konsumen seringkali melakukan protes
terhadap hal-hal yang berkaitan dengan mutu produk sehubungan dengan kesehatan,
keselamatan, dan kehalalan suatu produk bagi konsumennya, sedangkan protes yang
dilakukan masyarakat disekitar pabrik adalah berkaitan dengan pencemaran
lingkungan yang disebabkan limbah pabrik.
1.2 RUMUSAN MASALAH
1.3 TUJUAN PENULISAN

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Akuntansi Sosial
Akuntansi sosial didefinisikan sebagai penyusunan, pengukuran, dan analisis
terhadap konsekuensi-konsekuensi sosial dan ekonomi dari perilaku yang berkaitan
dengan pemerintah dan wirausahawan. Walaupun akuntansi social berfokus baik pada
kinerja pemerintah maupun pelaku bisnis, bab ini akan berkosentrasi pada akuntansi
social sebagaimana diterapkan pada kegiatan bisnis. Dalam hal ini, akuntansi social
berarti identifikasi, mengukur, dan melaporkan hubungan antara bisnis dan
lingkungannya. Lingkungan bisnis meliputi sumber daya alam, komunitas tempat
bisnis tersebut beroperasi, orang-orang yang dipekerjakan, pelanggan, pesaing, dan
perusahaan serta kelompok lain yang berurusan dengan bisnis tersebut. Proses
pelaporan dapat bersifat baik internal maupun eksternal.
2.2 Latar Belakang Sejarah
Pada awal tahun 1900, para ekonom telah mencoba untuk memasukkan
manfaat sosial dan biaya sosial dalam model-model teori ekonomi mikro neo klasik.
Meskipun mereka berusaha, manfaat dan biaya social dianggap sebagai anomaly dan,
sebagian besar, diabaikan oleh mayoritas ekonom. Akan tetapi, kemajuan telah
dilakukan dalam analisis, pengukuran, serta penyajian masalah manfaat dan biaya
sosial.
Model akuntansi dasar (baik untuk tujuan keuangan dan manajerial)
menggunakan teori ekonomi mikro untuk menentukan apa yang harus dimasukkan
atau dikeluarkan dari perhitungan akuntansi. Manfaat dan biaya sosial, karena itu,
telah diabaikan secara tradisional oleh teoretikus dan praktis akuntansi.
Beberapa gerakan massa pada tahun 1960-an, terutama yang ditujukan untuk
membuat pemerintah dan bisnis lebih responsive terhadap kebutuhan masyarakat,
memiliki andil dalam memfokuskan perhatian pada biaya dan manfaat sosial.
Pada tahun 1960-an juga terdapat pertumbuhan dalam gerakan lingkungan
ketika lebih banyak orang menyadari dampak dari industrialisasi pada kualitas udara,
air, dan tanah. Undang-undang disahkan untuk melindungi sumber daya alam ini dan
mengendalikan pembuangan limbah beracun. Hukum menetapkan standar untuk
emisi polusi dan mengenakan denda kepada siapa pun yang melanggarnya. Para
pelaku bisnis di minta untuk mengendalikan emisi polusi dan bekerja sama dengan

pemerintah untuk mengembangkan dan menerapkan rencana untuk mengurangi


polusi.
Konsumen menjadi lebih tegas pada tahun 1960-an, sehingga menimbulkan
gerakan hak-hak konsumen. Kelompok-kelompok konsumen berusaha untuk
membuat para pelaku bisnis dan produk-produk mereka lebih responsif terhadap
kebutuhan konsumen. Usaha-usaha dilakukan untuk membuat produk-produk yang
berbahaya atau tidak sehat diperbaiki atau ditarik dari pasar. Pesan teliti sebelum
membeli tidak lagi di anggap sebagai praktik bisnis normal. Berbagi buku mengenai
keselamatan produk dan mutu membantu mendorong undang-undang perlindungan
hak konsumen.
Dengan menetapkan undang-undang di bidang-bidang ini, pemerintah
memaksa individu dan para pelaku bisnis untuk menjadi lebih responsive terhadap
kebutuhan sosial. Walaupun pelaksanaan undang-undang ini cenderung lemah, fakta
bahwa undang-undang tersebut telah membawa dampak positif. Terdapat banyak
perusahaan yang peka akan lingkungan. Hal ini tampak dari munculnya akun-akun
yang terkait dengan kegiatan sosial pada laporan-laporan keuangannya.
2.3 Permasalahan Sosial Indonesia
Krisis yang berkepanjangan telah menempatkan bangsa ini pada posisi krisis
multi dimensi yang mencakup hampir seluruh aspek kehidupan. Jika di lihat dari
sudut pandang ekonomi, sendi-sendi perekonomian (investasi, produksi dan
distribusi) lumpuh, sehingga menimbulkan kebangkrutan dunia usaha, meningkatnya
jumlah pengangguran, menurunnya pendapatan per kapita dan daya beli masyarakat,
dan pada akhirnya bermuara pada meningkatanya angka jumlah penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan. Dengan tingginya suku bunga yang mencapai 60
persen pada puncak krisis saat itu, sangat sulit bagi sektor perbankan untuk
menyalurkan kredit. Hal ini semakin dipersulit dengan ketatnya aturan likuiditas di
sektor perbankan sebagai akibat dari akibat kredit macet bank-bank bermasalah yang
mendorong pemerintah melakukan likuidasi, restrukturisasi, dan rekapitalisasi
perbankan.
Krisis ekonomi yang melanda bangsa Indonesia mengakibatkan timbulnya
berbagai hal yang tidak pasti, sehingga indikator-indikator ekonomi, seperti tingkat
suku bunga, laju inflasi, fluktuasi nilai tukar rupiah, indeks harga saham gabungan,
dan sebagainya sangat rentan terhadap masalah-masalah sosial. Hal ini membuktikan
bahwa aspek sosial dan aspek politik dapat mengundang sentimen pasar yang
bermuara pada instabilitas ekonomi. Kondisi seperti ini tentunya berdampak sangat
buruk bagi peta bisnis dan iklim investasi di Indonesia, terutama untuk mendapatkan

kepercayaan investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Upaya-upaya


pemerintah untuk meyakinkan dunia internasional akan stabilitas sosial, politik, dan
keamanan belum menunjukkan tanda-tanda yang berarti karena tidak didukung oleh
data dan fakta yang sebenarnya. Bahkan, para investor asing berencana untuk
melakukan realokasi bisnis dan investasinya ke negara-negara Asia Tenggara lainnya,
seperti Vietnam, Thailand, dan Kamboja yang dianggap lebih kondusif untuk
investasi.
Gambaran ini tentunya merupakan cerita buruk bagi dunia bisnis Indonesia,
sehingga investor asing mengalami trauma untuk melakukan investasi di negara ini.
Selain itu, beberapa contoh kasus pada table berikut juga menggambarkan betapa
rentannya dunia usaha terhadap konflik dan berbagai masalah sosial lainnya.
Maraknya aksi demonstrasi buruh, penjarahan gudang, perusakan gedung dan pabrik,
dan penggarapan liar atas lahan milik perusahaan oleh masyarakat yang meyakini
bahwa tanah dan hak-hak mereka yang dirampas oleh penguasa pada masa lalu dapat
digarap kembali semakin memperkuat fakta akan stabilitas sosial yang tidak kondusif,
dan tentunya bermuara pada lambatnya laju pertumbuhan ekonomi, terpuruknya
dunia usaha, dan tidak menentunya iklim investasi.
Contoh-contoh Permasalahan Sosial pada Dunia Bisnis di Indonesia
No. Contoh Kasus
Lokasi
Permasalahan Sosial
1.
PT. Inti Indorayon
Porsea, Prov. Sumatera Utara Dihentikan operasinya karena
Utama
masalah lingkungan dan masalah
kemasyaratan di sekitar industri
tersebut.
2.
PT. Exxon Mobil
Lhokseumawe, Aceh Utara,
Menghentikan kegiatan produksi
Prov. DI Aceh.
karena faktor stabilitas ekonomi.
3.
PT. Ajinamoto
Prov. DKI Jakarta
Penarikan distribusi dan
Indonesia
penghentian aktivitas produksi
karena masalah sertifikasi halal
oleh MUI.
4.
Beberapa perusahaan Prov. Riau
Mendapatkan protes dari
kertas di Riau.
masyarakat setempat sehubungan
dengan masalah limbah industri
dan pencemaran lingkungan.
5.
PT. Maspion
Sidoarjo, Surabaya, Prov.
Permasalahan demonstrasi buruh
Indonesia
Jawa Timur
dan masalah kesejahteraan
karyawan.
6.
PT. Telkom Indonesia Divre IV, Prov. Jawa Tengah
Serikat karyawan PT. Telkom
dan DIY
menolak penjualan Divre IV

7.

PT. BCA

Prov. DKI Jakarta

8.

PT. Kereta Api


Indonesia

Prov. DKI Jakarta

9.

Bank Internasional
Indonesia.

Prov. DKI Jakarta

10.

PT. Gudang Garam

Kediri, Prov. Jawa Timur

kepada PT. Indosat.


Serikat pekerja menolak divestasi
saham BCA.
Serikat pekerja menolak
kembalinya dewan direksi lama
karena dianggap bertanggung
jawab atas beberapa kasus
kecelakaan kereta api yang
terjadi di Indonesia.
Tuntunan karyawan atas
peningkatan gaji, upah, dan
kesejahteraan pekerja.
Mogok kerja massal karena
karyawan menuntut perbaikan
gaji dan kesejahteraan pekerja.

2.4 Tanggapan Perusahaan


Sebelum tahun 1960-an, beberapa perusahaan telah dianggap sebagai warga
negara yang baik. Perusahaan-perusahaan tersebut memperoleh reputasi ini dengan
menghasilkan produk-produk berkualitas, memperlakukan para pekerja dengan rasa
hormat, memberikan kontribusi kepada komunitas, atay membantu fakir miskin.
Sejak tahun 1960-an, banyak perusahaan lain yang sebelumnya terkenal akan
kepekaannya terhadap kebutuhan sosial menjadi lebih responsif lagi secara sosial.
Manajemen mungkin talah menyadari bahwa perusahaan mereka merupakan bagian
dari komunitas, bahwa agar perusahaan dapat bertahan hidup, komunitas arus
menjadi tempat yang sehat untuk hidup dan bekerja serta bahwa orang-orang
membutuhkan jaminan keuangan untuk membeli barang-barang yang di hasilkan oleh
perusahaan.
Di pihak lain, banyak perusahaan dan asosiasi industry berperang
mengikisnya melalui ketidak patuhan, dalam kasus ini, manajemen mungkin merasa
bahwa beberapa dari peraturan tersebut, seperti undang-undang perlindungan
lingkungan, akan memiliki dampak ekonom negatif terhadap perusahaan mereka
karena biaya untuk mematuhi undang-undang tersebut tidak sesuai dengan
manfaatnya.
Secara keseluruhan, tingkat tanggung jawab sosial yang diterima oleh
perusahaan memerlukan keputusan yang aktif. Manajemen harus memutuskan
seberapa banyak polusi yang akan dihasilkan dan seberapa banyak yang akan

dibersihkan, siapa yang akan direkrut, seberapa baik kondisi kerja akan ditingkatkan,
dan seberapa banyak sumbangan yang akan diberikan kepada kegiatan sosial. Jika
manajemen menerima tanggung jawab sosial semata-mata demi laba jangka pendek,
tidak mungkin bahwa suatu perusahaan akan melakukan lebih dari apa yang
diharuskan oleh undang-undang. Filosofi manajerial adalah faktor utama dalam
menentukan hubungan suatu bisnis dengan komunitasnya.
A. Tanggapan Profesi Akuntan
Dengan di berlakukannya undang-undang yang menetapkan program-program
sosial pemerintah, beberapa akuntan merasa bahwa mereka sebaiknya menggunakan
keahlian mereka untuk mengukur efektivitas dari program tersebut. Lebih lanjut lagi,
seseorang perlu mengukur tingkat respons perusahaan terhadap keprihatinan yang
disuarakan pada tahun 1960-an. Dengan demikian lahirlah akuntansi sosial.
Pada tahun 1960-an dan awal tahun 1970-an banyak orang memerhatikan
kebutuhan akan akuntansi sosial perusahaan. Robert Beyer, yang menjadi partner
pengelola dari Touche Ross di New York, menulis:
Pembatasan pada pengumuman udara dan air yang bebas juga merupakan masalah
akuntansi sosial. Masyarakat kini menguji biaya-biaya yang selalu ada. Biaya dalam
hal kehidupan dan kematian, bangunan dan benda seni yang hancur, pantai yang
tercemar, daun-daunan yang rusak, dan berbagai dampak berbahaya lainnya dari
polusi. Satu-satunya perbedaan adalah biaya-biaya ini ditransfer sejauh mungkin
dari komunitas secara luas kepada pihak-pihak yang menimbulkan dan memperoleh
keuntungan darinya. (Beyer, 1972)
Secara ringkas, literature awal dari akuntansi sosial menyatakan bahwa para
akuntan di perlukan untuk menghasilkan data mengenai tanggung jawab perusahaan
dan bahwa ada pihak-pihak lain yang berkepentingan (selain perusahaan) yang akan
tertarik dengan data-data ini.literatul awal ini, bahkan tidak berkaitan dengan
identifikasi pengukuran dan pelaporan data-data sosial. Selanjutnya literature
mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi sosial, termasuk
skema pelaporan dan audit sosial aktual.

2.5 Akuntansi Untuk Manfaat Dan Biaya Sosial

Dasar bagi kebanyakan teori akuntansi sosial datang dari analisis yang
dilakukan oleh A. C. Pigou terhadap biaya dan manfaat sosial. A. C. Pigou adalah
seorang ekonom neo-klasik yang memperkenalkan pemikiran mengenai biaya dan
manfaat sosial ke dalam ekonomi mikro pada tahun 1920. Titik pentingnya adalah
bahwa optimalitas Pareto (titik dalam ekonomi kesejahteraan di mana adalah
mungkin untuk meningkatkan kesejahteraan seseorang tanpa mengurangi
kesejahteraan dari orang lain) tidak dapat dicapai selama produk sosial neto dan
produk pribadi neto tidak setara. Fakta bahwa seseorang rela membayar lebih dari
harga yang diminta oleh produsen untuk suatu produk mengindikasikan adanya
manfaat sosial. Pigou menyebut seluruh manfaat dari produksi suatu produktanpa
memedulikan siapa yang menerimanyasebagai manfaat sosial. Perbedaan antara
manfaat sosial dengan manfaat pribadi (disebut sebagai manfaat sosial yang tidak
dibagi) dapat dibagi menjadi ekonomi eksternal (seperti bau yang dihasilkan dari
pabrik roti) dan elemen surplus konsumen (selisih antara harga yang dibayarkan
konsumen secara actual dengan harga yang sebenarnya rela dibayarkan oleh
konsumen).
Suatu analisis yang serupa dapat dibuat dalam hal biaya. Bagi Pigou, biaya
sosial terdiri atas seluruh biaya untuk menghasilkan suatu produk, tanpa
memperdulikan siapa yang membayarnya. Biaya yang di bayarkan oleh produsen di
sebut sebagai biaya pribadi, selisih antara biaya sosial dan biaya pribadi dapat
disebabkan oleh banyak faktor. Suatu perusahaan yang menimbulkan polusi
mengenakan biaya kepada masyarakat, tetapi perusahaan tersebut tidak membayar
biaya tersebut kepada masyarakat. Hal ini di sebut dengan non-ekonomi eksternal.
suatu situasi dimana seorang pekerja menderita sakit akibat pekerjaanya dan tidak
memperoleh kompensasi penuh dapat dianggap sebagai suatu eksploitasi terhadap
faktor produksi.
Menurut Pigou, optimalitas Pareto hanya dapat dicapai jika manfaat sosial
marginal sama dengan biaya sosial marginal. Perbedaan antara model Pigou dengan
model ekonomi tradisionaldi mana pendapatan marginal setara dengan biaya
marginalberasal dari perbedaan antara manfaat sosial dan pribadi dengan biaya
sosial dan pribadi. Jika perbedaan neto antara kedua kelompok biaya dan manfaat
tersebut adalah nol, maka tidak aka nada perbedaan antara teori Pigou dengan teori
ekonomi tradisional. Tidak ada alasan untuk mengharap hal itu akan terjadi. Akan
tetapi, ekonom telah memperlakukan perbedaan tersebut sebagai anomali minor yang
sebaiknya diabaikan dalam model ekonomi mikro dasar.
Dengan demikian, ketika akuntan mengukur manfaat pribadi (pendapatan) dan
biaya pribadi (beban) serta mengabaikan yang lainnya, mereka bersikap konsisten

dengan teori ekonomi tradisional.Gerakan kearah akuntansi sosial, sebagian besar,


tardiri atas usaha-usaha untuk memasukkan biaya sosial dan biaya sosial yang tidak
terbagi ke dalam model akuntansi.
Teori Akuntansi Sosial
Berdasarkan analisis Pigou dan gagasan mengenai suatu kontrak sosial K.V.
Ramanathan (1976) mengembangkan suatu kerangka kerja teoritis untuk akuntansi
atas biaya dan manfaat sosial. Dalam pandangan Ramanathan, perusahaan memiliki
suatu kontrak tidak tertulis untuk menyediakan manfaat sosial neto kepada
masyarakat. Manfaat neto adalah selisih antara kontribusi suatu perusahaan kepada
masyarakat dengan kerugian yang di timbulkan oleh perusahaan tersebut kepada
masyarakat .meskipun ia menggunakan bahasa yang berbeda, Ramanathan pada
dasarnya mengatakan,menggunakan istilah Pigou, bahwa manfaat sosial sebaiknya
melampaui biaya sosial oleh karena itu perusahaan sebaiknya member kontribusi neto
kepada masyarakat. Ia yakin bahwa sebaiknya akuntan mengukur konstribusihistoris
neto (yang merupakan analogi dari neraca) dan kontribusi tahunan neto dari suatu
perusahaan kepada masyarakat.
Pengukuran
Salah satu alasan utama dari lambatnya kemajuan akuntansi sosial adalah
kesulitan dalam mengukur kontribusi dan kerugian. Proses tersebut terdiri atas tiga
langkah, yaitu:
1)
2)
3)

Menentukan apa yang menyusun biaya dan manfaat sosial.


Mencoba untuk menguantifikasi seluruh pos yang relevan.
Menempatkan nilai moneter pada jumlah akhir.

Menentukan Biaya dan Manfaat Sosial


Memutislan apa yang merupakan biaya dan manfaat sosial bukanlah hal yang
mudah. Hal tersebut tidak hanya melibatkan definisi yang tepat dari biaya dan
manfaat sosial, tetapi juga pemahaman mengenai berbagai sistem nilai. Para penganut
paham Pigou akan mendefinisikan biaya sosial yang tidak di kompensasi sebagai
non-ekonomi eksternal dan eksploitasi terhadap faktor-faktor produksi. Untuk
menerjamahkan definisi ini kedalam terminologi operasional, mungkin lebih mudah
untuk mendefinisikan biaya sosial yang tidak di kompensasikan sebagai seluruh
kerugian yang diderita oleh manusia sebagai akibat dari aktivitas-aktivitas ekonomi
untuk mana mereka tidak diberikan kompensasi secara penuh. Sebagai contoh, polusi
udara dari suatu pabrik kertas yang menimbulkan dampak berbahaya terhadap

kesehatan orang-orang yang tinggal di dekat pabrik tersebut merupakan suatu


kerugian.
Jelaslah, sistem nilai masyarakat faktor penentu penting dari manfaat dan
biaya sosial.dengan mengasumsikan bahwa masalah nilai dapat diatasi dengan
menggunakan beberapa jenis standar masyarakat, masalah berikutnya adalah
mengidentifikasikan kontribusi dan kerugian secara spesifik.
Cara lain untuk mengidentifikasikan asal dari biaya dan manfaat sosial adalah
dengan memeriksa proses distribusi dan produksi perusahaan individual guna
mengidentifikasikan bagaimana kerugian dan kontribusi serta menentukan bagaimana
hal itu terjadi. Jika satu bagian dari proses produksi dan distribusi di periksa
mungkin ditemukan produk sampingan yang negatif diciptakan bersama-sama dengan
produk yang berguna. Pada titik ini dalam proses produksi biaya sosial, seperti polusi
udara dan air, kemungkinan besar akan muncul yang mengarah pada dampak negative
yang tidak dikompensasikan terhadap umat manusia.
Kuantifikasi Terhadap Biaya Dan Manfaat
Ketika aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial ditentukan dan
kerugian serta kontribusi tertentu diidentifikasikan, maka dampak pada manusia dapat
dihitung. Dampak tersebut dapat digolongkan sebagai langsung atau tidak langsung.
Dampak langsung, misalnya penyakit paru-paru yang disebabkan oleh debu batu bara
yang terhitup oleh pekerja di tambang batu bara. Dampak tidak langsung adalah
polusi air yang mengotori dan dan mematikan ikan-ikan di dalamnya. Polusi tersebut
dapat mengakibatkan berupa hilangnya sumber makanan potensial (ikan), hilangnya
kesempatan untuk berekreasi (memancing, berenang, berperahu), dan konsekuensi
estetika yang negatif. Untuk mengukur kerugian yang sebenarnya, kehilangan yang
dialami oleh orang-orang sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa itu harus dihitung.
Walaupun perhitungan ini dapat dilakukan pada beberapa kasus, sering kali
sulit untuk memberikan lebih dari sekadar estimasi kasar atau ukuran pengganti.
Dalam bagian berikutnya akan digunakan contoh mengenai produksi asbes di suatu
pabrik untuk menunjukkan bagaimana kerugian daoat dihitung. Contoh tersebut akan
diikuti dengan pembahasan mengenai penggunaan ukuran pengganti.
Untuk mengukur suatu kerugian dibutuhkan informadi mengenai variabelvariabel utama, yaitu waktu dan dampak.
Waktu. Beberapa peristiwa yang menghasilkan biya sosial membutuhkan waktu
beberapa tahun untuk menimbulkan suatu akibat. Di dalam kasus paparna asbes pada

tingkat debu yang tetap, seorang pekerja harus bekerja sekitar 8 tahun untuk terkena
asbestosis (penyakit yng menimbulkan cacat dan kadang kala bersifat fatal) lebih
lanjut lagi dibutuhkan waktu bertahun-tahun dari paparan pertama sampai orangorang benar-benar terpengaruh oleh kerugian tersebut. Hal ini berlaku ketika
membahas mengenai dampak dari pulusi, salah alokasi sumber daya, penyakit akibat
pekerjaan, dan berbagai peristiwa lainnya. Periode waktu antara paparan awal dengan
peristiwa yang menimbulkan kerugian serta manifestasi dari dampak yang buruk
disebut dengan periode persiapan. Dalam hal pengukuran, penting untuk
menentukan lamanya waktu tersebut. Dampak jangka panjang sebaiknya diberikan
bobot yang berbeda dengan bobot jangka pendek.
Dampak. Orang-orang dapat dipengaruhi secara ekonomi, fisik, psikologis dan sosial
oleh berbagai kerugian. Untuk mengukur biaya sosial tersebut perlu untuk
mengidentifikasikan kerugian-kerugian tersebut dan menguantifikasinya.
Ketiga tugas ini telah diselesaikan, suatu usaha dapat dilakukan untuk
menguantifikasikan kerugian dari perspektif masyarakat.
Untuk meneruskan contoh asbes, para pekerja pabrik asbes dapat terkena satu
dari tiga penyakit yang menimbulkan cacat dan bahkan sering bersifat fatal. Dalam
suatu studi, 50 persen dari seluruh pekerja pabrik asbes terkena salah satu dari
penyakit penyakit tersebut. Oleh karena itu kerugiannya adalah dampak dari biaya
terkena penyakit yang terkait dengan asbes dikurangi dengan kompensasi apapun
diperoleh pekerja dari perusahaan. Biaya tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
kerugian ekonomi, fisik, psikologis, atau sosial.
Biaya ekonomi. Biaya-biaya ini meliputi tahihan pengobatan dan rumah sakit yang
tidak dikompensasi, hilangnya produktivitas, dan hilangnya pendapatan yang diderita
oleh pekerja. Jelaslah, perhitungan ganda atas hilangnya pendapatan dan
produktivitas harus dihindari. Lebih lanjut lagi, seluruh beban ini akan terjadi pada
saat kapan pun dari 20-40 tahun setelah paparan pertama terhadap debu asbes, dan
oleh karena itu harus didiskontokan pada tingkat bunga yang sesuai ke nilai sekarang.
Kerugian fisik. Para pekerja yang terkena penyakit yang berkaitan dengan asbes
akan menderita nafas yang pendek dan kemungkinan kematian prematur. Menghitung
nilai dari kehidupan atau kesehatan manusia merupakan hal yang sulit untuk
dilakukan, tetapi sering kali dicoba dalam analisis biaya dan manfaat yang tradisional.
Kerugian-kerugian ini juga harus didiskontokan untuk mempertimbangkan periode
persiapan yang panjang.

Kerugian psikologis. Para pekerja dapat merasa tidak cukup dan menjadi sedih
karena kehilangan peran sebagai penghasil pendapatandalam keluarga, tidak mampu
melakukan aktivitas-aktivitas fisik, dan mengetahiu bahwa kematian dapat terjadi
segera. Kerugian-kerugian ini juga sulit untuk dikuantifikasi dan harus didiskontokan
pada tingkat bunga yang sesuai.
Kerugian sosial. Dalam keluarga pekerja, perubahan peran dapat terjadi sebagai
akibat dari penyakit tersebut. Keluarga tersebut dapat menjadi begitu trauma,
sehingga dapat terjadi perpecahan. Berbagai konsekuensi sosial negative lainnya juga
mungkin. Nilai sekarng dari seluruh dampak ini bagaimanapun juga harus dihitung.
Total kerugian akibat bekerja dengan asbes adalah total dari seluruh kerugian
di atas bagi seluruh pekerja dikalikan dengan probabilitas seorang pekerja terkena
penyakit yang terkait dengan asbes. Tentu saja, hal ini bukanlah perhitungan yang
mudah. Misalnya saja, dalam kasus asbes, biaya untuk membersihkan pabrik asbes,
termasuk belanja modal untuk mesin dan peralatan baru, kadang kala digunakan.
Angka yang dihasilkan mungkin tidak memiliki hubungan dengan biaya yang
sebenarnya dari kerugian tersebut, tetapi paling tidak dapat diukur. Dalam kasus
polusi air dan udara, biaya untuk mebersihkan badan dan untuk memasang alat
pengendali polusi sering kali digunakan.
Secara ringkas, kesulitan untuk mengukur kontribusi atau kerugian yang
sebenarnya dari suatu aktivitas sering kali mengarahkan orang untuk mengukur apa
yang mudah untuk dikuantifikasi dan untuk menggunakan angka tersebut sebagai
pengganti dari biaya atau manfaat yang sebenarnya. Sayangnya, perhitungan ini
mungkin tidak terkait dengan biaya yang sebenarnya, sehingga keputusan yang
didasarkan pada informasi ini mungkin bersifat suboptimal. Mengembangkan ukuran
yang lebih baik menggunakan, baik cara-cara kuantifikasi moneter maupun nonmoneter penting bagi kemajuan dari akuntansi sosial.
2.6 Pelaporan Kinerja Sosial
Audit sosial
Audit sosial mengukur dan melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan
lingkungan dari program-program yang berorientasi sosial dan operasi perusahaan
yang regular. Ada beberapa cara untuk melakukan hal tersebut. Salah satu strategi
yang berhasil dimulai dengan mengembangkan inventaris dari aktivitas yang
memiliki dampak sosial. Meskipun menghasilkan inventaris semacam itu
kedengarannya sederhana, dalam realitas hal tersebut dapat menjadi cukup sulit.
Salah satu taktik yang disarankan adalah meminta manajer perusahaan untuk

membuat daftar aktivitas dengan konsekuensi sosial.setelah daftar tersebut dihasilkan,


auditor sosial kemudian mencoba untuk menilai dan mengukur dampak-dampaknya.
Audit sosial bermanfaat bagi perusahaan denga membuat para manajer
menyadari konsekuensi sosial dari beberapa tindakan mereka. Hal ini dapat dicapai
bahkan jika dampaknya tidak dapat dikuantifikasi. Selain itu, audit semacam itu dapat
menyebabkan manajer mencoba untuk memperbaiki kinerja mereka dalam bidangsosial dengan cara mengembangkan rencana kinerja sosial dan ukuran kinerja yang
didasarkan pada rencana itu.
Audit sosial serupa dengan audit keuangan dalam hal bahwa audit sosial
mencoba untuk secara independen menganalisis suatu perusahaan dan menilai
kinerja. Tetapi, terdapat suatu perbedaan utama mengenai apa yang dianalisis. Dalam
audit sosial, auditor memeriksa operasi untuk menilai kinerja sosial dari suatu
perusahaan dan bukannya kinerja keuangannya. Oleh karena itu, telah disarankan
bahwa akuntan tidak memiliki kualifikasi untuk melakukan audit semacam itu
sendiri, tetapi bahwa suatu tim dari para ilmuwan sosial (termasuk akuntan)
sebaliknya digunakan untuk mengukur dan menilai kinerja sosial dari perusahaan
tersebut.
Setelah audit sosial diselesaikan, perusahaan harus memutuskan apakah akan
menginformasikannya ke publik. Kebanyakan perusahaan menganggap audit sosial
sebagai dokumen internal dan merahasiakan hasilnya. Beberapa perusahaan
menerbitkan laporan khusus yang menyoroti kontribusi positifnya kepada para
pemegang kepentingan perusahaan, tetapi mengabaikan dampak yang negatif.
Laporan-laporan sosial
David Linowes telah mengembangkan laporan operasi sosio-ekonomi untuk
digunakan sebagai dasar untuk melaporkan informasi akuntansi sosial. Linowes
membagi laporannya ke dalam tiga kategori:
1. Hubungan dengan manusia
2. Hubungan dengan lingkungan
3. Hubungan dengan produk
Pada setiap kategori, ia membuat daftar mengenai konstribusi sukarela
perusahaan dan kemudian mengurangkannya dengan kerugian yang disebabkan oleh
aktivitas perushaan itu. Linowes memonetisasi segala sesuatunya dalam laporan
tersebut dan sampai pada saldo ahir yang disebutnya sebagai tindakan sosio-ekonomi
neto untuk tahun tersebut. Dalam laporan Linowes, seluruh kontribusi dan kerugian

harus dihitung secara moneter, sesuatu yang telah terbukti sulit


dilakukan.pendekatan Linowes tidak dipakai oleh perusahaan manapun.

untuk

Selain Linowes, Ralph Estes mengembangkan suatu model yang


menggunakan perspektif Pigou mengenai manfaat dan biaya sosial. Ia menghitung
manfaat sosial sebagai seluruh konstribusi kepada masyarakat yang berasal dari
operasi perusahaan (misalnya, lapangan kerja yang disediakan, sumbangan, pajak,
perbaikan lingkungan). Biaya sosial meliputiseluruh biaya operasi perusahaan (bahan
baku yang dibeli, utang, kerusakan lingkungan, luka-luka dan penyakit yang
berkaitan dengan pekerjaan). Biaya sosial dikurangkan dari manfaat sosial untuk
memperoleh manfaat atau biaya neto. Estes mempertimbangkan modelnya sebagai
suatu laporan konseptual yang dapat digunakan secara internal oleh manajemen
dalam menilai menilai manfaat neto perusahaan bagi masyarakat.
Pengungkapan dalam laporan tahunan
Banyak perusahaan menerbitkan laporan tahuanan kepada pemegang saha
yang berisi beberapa informasi sosial. Ernst & Ernst melakuakn suatu survey atas
pengungkapan sosial yang di buat oleh 500 perusahaan industry terkenal dalam
laporan tahunannya dari tahun 1971 sampai tahun 1978. Ditemukan bahwa secara
umum, jumlah perusahaan yang mengungkapkan informasi sosial dan jumlah
pengungkapan meningkat dengan stabil. Sekitar 90 persen dari perusahaan yang
termasuk dalam laporan tahun 1978 telah membuat suatu bentuk pengungkapan
sosial. Akan tetapi, karena kebanyakan informasi sosial yang diungkapkan
perusahaan dalam laporan tahunan bersifat sukarela dan selektif, dapat
diargumentasikan bahwa informasi tersebut memiliki nilai yang dipertanyakn dan
seseorang tidak dapat menilai kinerja sosial dari perusahaan tersebut berdasarkan
laporan tahunannya,
Sementara itu untuk melihat praktik-praktik pengungkapan sosial dalam
laporan tahunan dari perusahaan perusahaan di Indionesia lebih lanjut lagi, para
peneliti akuntansi telah melakukan berbagai riset mengenai hal ini. Riset yang di
lakukan oleh Utomo (2000) mengenai praktik-praktik pengungkapan sosial pada
laporan tahunan tehadap 81 perusahaan public (terdaftar di Bursa Efek Jakarta dan
Bursa Surabaya direktori tahun 1998) menemukan bahwa perusahaan lebih banyak
mengungkapkan tema ketenagakerjaan (29,87 persen) dibandingkan dengan tema
produk dan konsumen (20,74 persen) maupun tema kemasyarakatan (13,21 persen).
Heny dan Murtanto (2001) dalam risetnya juga menemukan hal yang sama mengenai
praktik pengungkapan sosial pada laporan tahunan dari perusahaan yang terdaftar di
Bursa Efek Jakarta.

Berikut informasi sosial yang diungkapkan dalam laporan tahunan dari perusahaanperusahaan di Indonesia:
Pengungkapan Sosial Tema Masyarakat
1. Dukungan terhadap kegiatan sosial budaya (pameran, pagelaran seni, dan lainlain)
2. Dukungan terhadap kegiatan olahraga (termasuk menjadi sponsor).
3. Dukungan terhadap dunia anak (pendidikan)
4. Pasrtisipasi terhadap kegiatan di sekitar kantor atau pabrik (perayaan hari besar)
5. Dukungan terhadap lembaga kerohanian (Dewan Masjid, Bazis dan lain-lain)
6. Dukungan terhadap lembaga pendidikan (termasuk beasiswa, kesempatan
magang, dan kesempatan riset)
7. Dukungan terhadap lembaga sosial lainnya
8. Fasilitas sosial dan fasilitas umum
9. Prioritas lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar (termasuk pemberian
fasilitas dan motivasi oleh perusahaan untuk berwirausaha bagi masyarakat di
sekitar industri tersebut).
Pengukapan Sosial Tema Konsumen
1. Mutu atau kualitas produk.
2. Penghargaan kualitas (termasuk sertifikat kualitas, sertifikat halal, penghargaan
dan seterusnya).
3. Kepuasan lonsumen (upaya-upaya untuk meningkatka kepuasan konsumen).
4. Masalah computer (Y2K).
5. Iklan yang terlalu mengeksploitasi dan membohongi konsumen.
6. Spesifikasi produk, umur produk, dan masa berlaku produk.
Pengungkapan Sosial Tema Tenaga Kerja
1. Jumlah tenaga kerja.
2. Keselamatan kerja (kebijakan dan fasilitas keselamatan kerja).
3. Kesehatan (termasuk fasilitas dokter dan poliklinik perusahaan).
4. Koperasi karyawan.
5. Gaji/upah.
6. Tunjangan dan kesejahteraan lain (termasuk UMR, bantuan masa krisis untuk
keluarga karyawan, asuransi, dan fasilitas transportasi).
7. Pendidikan dan latihan (termasuk kerja sama dengan perguruan tinggi).
8. Kesetaraan gender dalam kesempatan kerja dan karier.
9. Fasilitas peribadatan (termasuk fasilitas peribadatan dan peringatan hari besar
agama) di lingkungan perusahaan.
10. Cuti karyawan (termasuk cuti yang diperlukan oleh pekerja wanita).
11. Pension (termasuk pembentukan atau pemilihan yayasan dana pension).
12. Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dan Serikat Pekerja.
13. Tingkat perputaran pekerja (termasuk pengurangan kerja dan perekrutan).

Riset-riset tersebut juga menyimpulkan bahwa pengungkapan sosial oleh


perusahan-perusahaan di Indonesia relative masih sangat rendah. Hal ini diduga
disebabkan perusahaan belum memanfaatkan laporan tahunan sebagai media
komunikasi antara dan pemangku kepentingan. Kemungkinan lain bahwa perusahan
memanfaatkan laporan tahunan sebagai laporan kepada pemegang saham dan kreditor
atau sebagai informasi bagi calon investor. Padahal, sebenarnya terdapat dua aspek
yang sering dijadikan bahan analisis oleh para investor dalam pengambilan keputusan
investasinya. Kedua factor tersebut adalah faktor teknis dan faktor fundamental.
Perbandingan antara faktor teknis dan faktor fundamental
Contoh Faktor Teknis
Faktor regional, misalnya penurunan
suku bunga Bank Sentral AS
Faktor politik, misalnya penanganan
kasus pengadilan yang melibatkan tokoh
politik
Faktor sosial budaya, misalnya Kongres
Papua Merdeka
Faktor keamaan, misalnya hura-hura

Contoh Faktor Fundamental


Terbitnya laporan keuangan perusahaan
Rapat umum pemegang saham

Manajemen
Kinerja

Perkembangan Luar Negeri


Perusahaan-perusahaan Eropa sudah mempelopori pengungkapan informasi
sosial, baik dalam laporan khusus maupun laporan tahunan. Prancis, misalnya telah
mengeluarkan undang-undang yang mengharuskan perusahaan-perusahaan dengan
jumlah karyawan yang banyak untuk melaporkan pos-pos hubungan karyawan.
Terlibat dalam laporan-laporan ini adalah:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Laporan kerja
Gaji dan perubahan social
Kesehatan dan jaminan kerja
Kondisi kerja lainnya
Pelatihan
Hubungan industry
Pengaturan sosial lainnya yang berbentuk relevan

Bentuk pelaporan model Eropa yang telah digunakan oleh sejumlah


perusahaan adalah bentuk yang dikembangkan serta digunkan oleh Deutsche Shell
(perusahaan minyak shell di jerman). Serupa dengan laporan dari perusahaanperusahaan di Perancis, laporan Deutsche Shell menekankan pada hubungan

perusahaan dengan karyawannya. Akan tetapi, laporan tersebut juga memberikan


informasi mengenai sejumlah bidang lainnya yang berurusan dengan tanggung jawab
sosial perusahaan.
2.7 Arah Riset
Riset dalam akuntasi sosial telah cukup ekstensif dan berfokus pada berbagai
subjek yang berkisar dari pengembangan kerangka kerja teoritis sampai menyurvei
pengguna potensial dari data akuntansi sosial. Akan tetapi, riset akademis saat ini
terutama berkaitan dengan kegunaan dari data akuntansi sosial bagi investor.
Studi mengenai kegunaan informasi sosial bagi investor dapat dibagi menjadi dua
bidang utama yaitu:
1. Survei atas investor potensial
2. Pengujian empiris terhadap dampak pasar dari pengungkapan akuntansi sosial.
Survei atas investor belum menghasilkan laporan apapun yang bersifat konklusif
mengenai kebutuhan akan informasi akuntansi sosial. Beberapa investor tampak
tertarik terhadap aspek-aspek tertentu dari informasi akuntansi sosial, tetapi sebagian
yang lain tidak.
Studi mengenai reaksi pasar modal terhadap pengungkapan informasi sosial
menyarankan agar investor menyesuaikan perkiraan mereka terhadap pengungkapan
informasi akuntansi sosial. Tidak terdapat kesimpulan yang jelas dari riset mengenai
hubungan antara kinerja sosial, kinerja ekonomi, dan pengungkapan sosial.
Riset masih perlu untuk dilakukan dalam bidang-bidang yang telah dibahas
dan dalam aspek-aspek lainnya dari akuntansi sosial seperti menentukan pengguna
potensial dari informasi akuntansi sosial (selain investor). Suatu kerangka teoritis
yang melanjutkan karya Ramanathan (1976) harus dikembangkan. Format pelaporan
sebaiknya dipraktikkan dan karya Bauer dalam audit sosial sebaiknya diperluas.
Dari sudut pandang membuat kemajuan utama dalam akuntansi sosial, bidang
masalah utama yang paling penting dan masih belum terselesaikan mungkin adalah
bidang pengukuran. Riset teoritis, empiris, dan pragmatis perlu dilakukan mengenai
subjek-subjek ini. Selama orang percaya bahwa akuntansi sosial mencoba untuk
menggambarkan fenomena yang sebagian besar tidak dapat diukur, maka akuntansi
tidak akan dianggap secara serius sebagai suatu disiplin ilmu.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Walaupun dimensi-dimensi akuntansi sosial masih banyak menyimpan


berbagai permasalahan, namun hal tersebut bukan merupakan alas an utama untuk
tidak meneruskan pencarian-pencarian penting untuk menyelesaikan permasalahanpermasalahan tersebut. Aspek keprilakuan terutama oleh pihak investor, akan sangat
menentukan perkembangan akuntansi sosial dimasa akan datang. Terlepas dari itu
semua, akuntansi sosial telah menjadi salah satu cabang akuntansi yang mencoba
menguraikan dampak dari berdirinya suatu entitas bisnis. Baik bagi lingkungan
internalnya maupun eksternalnya.
Selain itu, banyak pihak yang meyakini bahwaaspek-aspek keuangan belum
mencukupi untuk digunakan sebagai landasan bagi keputusan bisnis. Banyak bukti
yang mengungkapkan fenomena tersebut. Hal ini ditunjukkan oleh banyaknya
perusahaan yang secara keuangan layak untuk dimiliki investor, tetapi belum dilirik
oleh mereka. Pihak investor masih menunggu aspek-aspek lainnya yang melindungi
entitas tersebut. Pengalaman menunjukkan bahwa aspek seperti politik, budaya, dan
kondisi ekonomi makro sangat berperan dalam mendukung entitas bisnis.

Anda mungkin juga menyukai