Anda di halaman 1dari 16

Asbabun Nuzul

Asbabun nuzul secara bahasa berarti sebab turunnya al-quran.Namun, makna


dari nuzul itu sendiri mempunyai beberapa arti.Para ulama berbeda pendapat
mengenai arti kata nuzul, diantaranya:

Imam Ar- Raghib Al-Asfihani dalam kitabnya Al-mufradaat, kata nuzul itu
mempunyai arti Uluwwin ila safalin (meluncur dari atas ke bawah, atau berarti
turun). Contohnya dalam firman Allah SWT:

Artinya:
Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit. (Q.S Al- Baqarah:22)

Imam Al-Fairuz Zabadi dalam kamusnya Al-Muhith Al- Hulul Fil Makan, kata nuzul
mempunyai arti: bertempat disuatu tempat. Contohnya dalam firman Allah SWT:

Artinya:
dan berdoalah: Ya Tuhanku, tempatkanlah aku pada tempat yang diberkahi dan
Engkau adalah sebaik-baik yang memberi tempat. (Q.S Al-Muminun: 29)

Imam Az-Zamakhsyari dalam tafsirnya Al-Kasysyaf, kata nuzul itu berarti Al-ijtima
(kumpul).
Contohnya seperti dalam ungkapan:

(orang-orang telah berkumpul di tempat itu)

Sebagian para ulama mengatakan, kata nuzul itu berarti turun secara berangsurangsur sedikit demi sedikit. Contohnya, seperti dalam ayat al-quran:

Artinya:
Dialah yang menurunkan al-quran kepada kamu, diantara isinya ada ayat-ayat
yang muhkamat. Itulah pokok-pokok isi al-quran dan yang lain ayat-ayat
mutasyabihat. (Q.S Ali Imran: 7)

Perbedaan antara kata nuzul dan tanzil


Isitilah penurunan ayat-ayat Alquran lazimnya dikenal dengan istilah
nuzul al-quran atau tanzil al-quran.Hal yang tidak lazim untuk mengungkapkan
maksud tersebut adalah inzal al-Quran.
Baik kata nuzul, tanzil dan inzal pada dasarnya berasal dari kata nazalyanzilu yang berarti turun.Kata tersebut merupakan kata kerja intransitif.Kata tanzil
merupakan bentuk mashdar dari nazzala yang merupakan bentuk pen-transitifan
untuk kata nazala yang kemudian berarti menurunkan. Secara sekilas, arti yang sama
terdapat pada kata inzal yang berasal dari kata anzala yang juga bentuk pentransitifan
untuk kata nazala.
Dalam bahasa Indonesia, kata nuzul dapat diartikan sebagai turun (kata
benda), tanzil berarti penurunan begitu juga dengan inzal yang berarti penurunan.
Dengan demikian, jika dilihat dari arti secara tersirat dalam bahasa Indonesianya,
kata nuzul yang berarti turun, seolah-olah tanpa adanya unsur kesengajaan dalam
menurunkan. Sedangkan pada kata inzal atau tanzil yang berarti penurunan, terdapat
unsur kesengajaan dalam menurunkan.
Analisa yang lebih mendalam akan mendapatkan bahwa terdapat perbedaan
arti ketiga kata tersebut. Antara kata nuzul dengan tanzil perbedaannya memang tidak
terlalu samar, namun antara kata inzal dengan tanzil, sekilas terlihat artinya sama.
Bila dibandingkan, dari beberapa ayat yang terdapat alquran maka akan didapatkan
hasil berikut:
1. Bahwa kata nazzala lebih sering berobjek Alquran al-Karim.
2. Pada sedikit ayat nazzal dipakai berobjek air.
3. Satu ayat berisi nazzala berobjek kepada sultan yang diartikan sebagai
alasan.

4. Kata anzala sering dipakai baik untuk Alquran al-Karim atau air.
Dengan demikian, kata nazzala lebih khusus daripada anzala.Kekhususan tersebut
terlihat pada bahwa kata nazzala lebih sering berobjek hal-hal abstrak seperti wahyu
dan sebagainya.Sementara kata anzala sangat umum baik untuk hal yang abstrak
maupun konkrit seperti Alquran al-Karim, air, logam dan sebagainya.
Selain itu, kata nazzala juga berarti menurunkan secara bertahap, tidak menurunkan
objek sekaligus langsung.Sementara kata anzala lebih umum pada pengertian
menurunkan objek sekaligus.
Jenis-Jenis Asbab Al-Nuzul
Asbab Al-Nuzul merupakan sebab yang menjadi latar belakang diturunkannya
ayat-ayat Alquran. Namun terdapat perbedaan mengenai jenis-jenis sebab,
diantaranya sebab-sebab nuzul adakalanya berbetuk peristiwa dan adakalanya
berbentuk pertayaan. Suatu ayat atau beberapa ayat dinuzulkan untuk menerangkan
hal yang berhubungan dengan peristiwa tertentu atau memberi jawaban terhadap
pertayaan tertentu. Atau memberi jawaban terhadap pertayaan tertentu.
Contoh-contoh
1. Asbab nujul ayat dalam bentuk peristiwa ada tiga macam.
Pertama; contoh Peristiwa berupa pertengkaran yang berkecamuk antara dua
federasi, seperti; Aus dan Khazraj. Perselisan ini timbul dari intrik-intrik yang
ditiupkan oleh orang-orang Yahudi sehingga mereka berteriak senjata. Peristiwa
tersebut menyebabkan dinuzulkannya surat al-imran ayat 100 sampai beberapa ayat
sesudahnya.


hai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang
yang diberi al-kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir
sesudah kamu beriman.

Kedua, contoh Peristiwa sebuah kesalahan serius, seperti seorang yang


mengimami salat dalam sedang dalam keadaan mabuk sehingga salah dalam
membaca surat al-kafirun.
Peristiwa ini menyebabkan diturunkannya surat alNisa ayat 43

.
artinya, Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendekati sholat dalam
keadaan mabuk sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapakan..
Ketiga,contoh berupa cita-cita dan keinginan, seperti relevansi Umar bin alkhatahab dengan ketentuan ayat-ayat al-quran. Dalam sejarah, ada beberapa harapan
Umar yang dikemukakannya kepada Nabi saw. Kemudian nuzul ayat yang
kandungannya sesuai dengan harapan-harapan Umar tersebut .Misalnya, al-Bukhari
dan lainnya meriwayatkan dari Annas bahwa Umar berkata: Aku sepakat dengan
Tuhanku dalam tiga hal. Aku katakan kepada Rasul bagaimana sekiranya kita jadikan
makam ibrahim sebagai tempat shalat.maka diturunkan surat al-baqarah ayat 125;
(jadikanlah sebaagian dari makam ibrahim tempat shalat..); dan aku katakan
kepada Rasul, sesungguhnya istri-istrimu masuk kepada mereka itu orang yang baikbaik dan orang yang jahat, maka sekiranya engkau perintahkan mereka agar segera
bertabir, maka nuzullah surat al-Ahzab ayat 53
( ..jika kamu meminta keperluan kepada mereka (istri-istri nabi), maka
mintalah dari balik tabir.); dan istri-istri Nabi mengeremuninya pada
kecemburuan. Aku katakan kepada mereka:
( keadanya dengan istri-itri yang lebih baik dari kamu ), maka nuzullah ayat serupa
dengan itu dalam surat al-Tahrim ayat 5 (.) .
1. Adapaun sebab-sebab dinuzulkan al-quran dalam bentuk pertayaan dapat
dikelompokan kepada tiga macam pula.
Pertama, contoh pertayaan yang berhubungan dengan sesuatu dimasa lampau,
seperti pertayaan tentang kisah Dzal-Qurnain

Kedua, contoh pertayaan tentang sesuatu yang berlangsumg pada waktu itu,
seperti pertayaan tentang ruh.
Ketiga, contoh pertayaan tentang sesuatu yang berhubungan dengan masa
yang akan datang, seperti pertayaan masalah kiamat.
Lebih jauh lagi mengenai penjelasan asbab al-nuzul, menurut Moh. Thohir,
asbab al-nuzul terbagi kedalam lima macam, diantarnya;
Pertama, Asbab al-nuzul yang menafsirkan kemubhaman al-quran,
maksudnya, yang dikehendaki oleh ayat-ayat tersebut tidak dipahami kecuali jika
diteliti dan diselidiki melalui seba al-nuzulnya
Contoh ayat, Allah berfirman dalam surat al-baqarah ayat 158:



Sesungguhnya shafa dan marwa adalah sebagian dari syiar Allah. Maka barang
siapa yang beribadah haji kebaitullah atau berumrah, maka tidak ada dosa baginya
mengerjakan saI antara keduanya. Dan barang siapa mengerjakan suatu kewajiban
dengan kerelaaan hati, maha sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi
Maha Mengetahui (Q.S. Al-Baqarah [2] :158)
Menurut pemahaman Urwa Ibn Zubair lafal ayat ini secara tekstual tidak
menunujukan bahwa saI itu wajib, waka ketiadaan dosa untuk mngerjakan itu
menunjukan kebolehan dan bukannya wajib tetapi Aisyah telah meolak
pemahaman tersebut, dengan argumentasi; seandainya maksud ayat tersebut adalah
menunjukan tidak wajib maka redaksinya akan berbunyi; tidak ada dosa bagi
orang yang tidak melalukan saI. menurut Aisyah ayat tersebut dinuzulkan karena
para sahabat merasa keberatan ber-saI antara Shafa dan Marwa disebabkan
perbuatan tersebut meniru orang-orang jahiliyah yang biasa mengusap berhala Isaf
yang ada di Safa dan berhala Nailah yang ada di Marwa, maka turunlah ayat
tersebut.
Kedua, asbab al-nuzul yang menerangkan ayat-ayat Mujmal dan mencegah
terjadinya pentawilan ayat-ayat Mutasyabihat.

Contoh surat al-Maidah ayat 44:


.Barang siapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang dzalim.
Jika ada yang menganggap man dalam ayat ini menunjukan Syartiyah,
maka akan timbul problem apa seseorang berbuat dosa dalam hukum akan membuat
seseoarang menjadi kafir ? akan tetapi jika orang tersebut mengetahui sebab turunya
ayat tersebut berkenaan dengan orang-orang Nasrani, maka dia akan tahu bahwa
yang dimaksud dalam ayat itu bukanlah Syartiyah melainkan Maushuliyah. Oleh
karena itu tidak mengherankan kalaulah orang-orang nasrani dikatakan telah kufur
sebab mereka tidak mau berhukum kepada injil yang telah menyuruh mereka beriman
kepada Muhammad SAW
Ketiga, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang beberapa kejadian,
sementara didalam al-quran sendiri terdapat ayat-ayat yang sesuai deng amaknanya,
sehingga menimbulkan keraguan, apakah kejadian-kejadian tersebut adalah yang
dimaksud oleh ayat, atau termasuk dalam makna ayat
Contah surat al-Baqarah ayat 223:

..
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah
tanah tempat bercocok tanammu itu bagaimana saja kamu menghendaki
Dalam soal menggauli istri dari arah dhubur (belakang). Sementara Jabir
Abdillah mengatakan bahwa ayat tersebut berkenaan dengan orang yahudi yang
berkata orang yang menggauli istrinya dari arah dhubur akan melahirkan anak yang
cacat, oleh karena itu Allah menurunkan ayat tersebut.
Keempa, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang disyariatkannya hukumhukum yang berkenaan dengan beberapa kasus kejadian
Contoh dalam surat al-Baqarah ayat 22




Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mumin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun
dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-oraang musyrik
(dengan wanita-wanita mumin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak
yang mumin lebih baik dari orang musyrik , walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak keneraka sedang Allah mengajak kesurga dan apapun dengan izin-Nya.
Dan Allah menerangkan ayat-ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran
Ayat diatas dinuzulkan sehubungan dengan adanya peristiwa ketika nabi
mengutus Murtsid al-Ganawi ke Mekah yang bertugas mengeluarkan orang-orang
Islam yang lemah, ia dirayu oleh seorang wanita musyrik yang cantik lagi kaya, tapi
ia menolak karena takut kepada Allah, maka setelah pulang keMadinah dia bercerita
kepada Rasullulah dan turunlah ayat tersebut diatas.
Kelima, asbab al-nuzul yang menjelaskan tentang hukum suatu kejadian
dengan pelaku tertentu serta melarang yang lain melakukan hal yang serupa .
Contoh kisah al-Asyats Ibn Qais bahwa ayat al-quran surat la-Imron 77 yang
berbunyi :

.
Sesungguhnya diantara orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpahsumpah mereka dengan harga yang sedikit
Ayat diatas diturunkan berkenaan denganya, sedang Ibnu Masud mengatakan
bahwa ayat tersebut berlaku umum, dengan alasan ketika dia sedang menyampaikan
hadits Nabi yang mengatakan: orang yang melakukan sumpah dengan sumpah palsu
agar dapat memperoleh harta seorang muslim, maka kelak akan bertemu dengan

Allah dalam keadaan dimurkai oleh-Nya. Allah menurunkan ayat tersebut untuk
membenarkannya.
Ayat Al-Quran yang diwahyukan Allah melalui Malaikat Jibril, akan tetapi
tidak semua ayat yang turun ada asbab nuzulnya, misalnya saja surah al-Fatihah.
Tidak ada riwayat atau pendapat ulama yang menyebutkan tentang sebab turunnya
surah al-Faatihah. Oleh sebab itu, surah al-Fatihah diperkirakan merupakan salah satu
ayat-ayat Al-Quran yang tidak ada asbab nuzulnya.

B. Riwayat Dan Redaksi Dalam Asbab Al-Nuzul


Asbab al-Nuzul merupakan peristiwa sejarah yang terjadi pada zaman Rasulullah
Saw selaku pengemban al-Quran. Oleh karenanya, tidak ada cara lain untuk
mengetahuinya, selain merujuk kepada periwayatan yang diakui keabsahannya dari
orang-orang yang memiliki integritas kepribadian yang dipercaya selaku pengemban
dalam periwayatan tersebut. Orang-orang tersebut menegaskan keberadaan dirinya
yang mendengar langsung tentang turunnya al-Quran. Hal ini menuntut kehati-hatian
dalam menerima riwayat-riwayat yang berkaitan dengan asbab al-Nuzul.
Para ulama umumnya, baik dulu maupun sekarang tetap bersikap ekstra hati-hati dan
ketat dalam menerima riwayat yang berkaitan denganasbab al-Nuzul. Ketetatan
dan ketelitian mereka difokuskan kepada seleksi pribadi orang yang membawa
riwayat (ruwwat), sumber riwayat (isnad) dan redaksi riwayat (matan). Al-Wahidi
misalanya, dengan tegas menyatakan:
,
.
Artinya: Tidak dibenarkan mengemukakan pandangan terkait dengan Asbab Nuzul
al-Quran, kecuali berdasarkan riwayat dan informasi yang didengar langsung dari
orang-orang yang menyaksikan secara langsung peristiwa turunnya ayat,
mencermati sebab-sebab tersebut, dan bersungguh-sungguh dalam mencarinya.

Hal ini menunjukkan bahwa tidak setiap riwayat tentang asbab al-Nuzul yang
dikemukakan oleh para sahabat dapat diterima begitu saja, tanpa pengecekan dan
penelitian lebih cermat. Hal ini juga menunjukkan bahwa pengetahuan tentang
asbab al-Nuzul suatu ayat merupakan pekerjaan yang sulit, sehingga menimbulkan
perbedaan pendapat dikalangan para ulama tentang beberapa riwayat yang terkait
dengannya. Al-Dahlawi mengidentifikasi sumber kesulitan dalam riwayat asbab alNuzul, yaitu:
(a) Adakalanya kalangan sahabat atau tabiin mengemukakan suatu kisah ketika
menjelaskan suatu ayat. Tapi mereka tidak secara tegas menyatakan bahwa kisah itu
merupakan asbab al-Nuzul. Padahal, setelah diteliti ternyata kisah itu merupakan
sebab turunnya ayat tersebut;
(b) Adakalanya kalangan sahabat dan tabiin mengemukakan hukum suatu kasus dengan
mengemukakan ayat tertentu, kemudian mereka menyatakan dengan kalimat:
...; seolah-olah mereka menyatakan bahwa peristiwa itu merupakan penyebab
turunnya ayat tersebut. Padahal, boleh jadi pernyataan itu sekedar istinbath hukum
dari Nabi Saw tentang ayat yang dikemukakan tadi.
Oleh karena itu, para ulama seperti Imam al-Hakim al-Naysaburi, Ibn al-Shalah, dan
ulama hadits lainnya menegaskan bahwa hadits yang menjadi sumber dalam riwayat
asbab al-Nuzul harus merupakan hadits marfu, bersambung sanadnya, dan shahih
dari sisi sanad maupun matan-nya.
Sedangkan susunan atau bentuk redaksi dalam pengungkapan riwayat asbab alNuzul, secara garis besar ada tiga macam, yaitu:
(1) Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama menunjukkan kepada asbab alNuzul (al-muttafaq ala al-itidad bihi). Bentuk ini mengandung tiga unsur utama,
yaitu: pertama, sahabat yang mengemukakan riwayat harus menyebutkan suatu kisah
atau peristiwa yang yang menyebabkan turunnya ayat; Kedua, sahabat yang
mengemukakan riwayat harus mengemukakan dengan redaksi yang jelas (bi al- lafzhi
al-sharih) menunjukkan kepada pengertian turunnya ayat; dan Ketiga, sahabat
yang mengemukakan riwayat harus mengemukakan riwayatnya dengan pola bahasa

yang bersifat pasti, seperti ungkapan: , atau


.
Redaksi dalam bentuk tegas (sharih) dan pasti dalam pengungkapan asbab alNuzul ini dapat saja berupa: (a) redaksi yang tegas berbunyi: ...; (b)
adanya huruf fa( )yang bermakna al-sababiyah atau taqibiyah yang masuk pada
riwayat yang berkaitan dengan turunnya ayat, seperti: ... ...; atau (c)
adanya keterangan yang menjelaskan bahwa Rasulullah Saw ditanya tentang sesuatu
kemudian diikuti dengan turunnya ayat sebagai jawabannya:...
...
(2) Bentuk susunan redaksi yang masih diperselisihkan dikalangan ulama untuk
menunjukkan kepada asbab al-Nuzul (al-mukhtalaf fi al-itidad bihi wa adamihi),
karena redaksi pengungkapannya masih bersifat

muhtamilah (mengandung

kemungkinan). Dalam bentuk ini, perawi tidak menginformasikan dengan gamblang


adanya suatu kejadian atau peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat, namun
hanya mengemukakan suatu riwayat dengan ungkapan: ...
... , atau ... , atau ....
Terdapat perbedaan pandangan ulama dalam memahami bentuk redaksi seperti ini,
diantaranya adalah:
(a) Imam al-Bukhari dan Ibn al-Shalah memandang redaksi tersebut selaku riwayat yang
menunjukkan kepada asbab al-Nuzul suatu ayat.
(b) Imam al-Zarkasyi dan al-Sayuthi menilai bahwa redaksi tersebut menunjukkan
kepada penafsiran dan penjelasan yang terkait dengan ketentuan suatu hukum yang
disinggung dalam pembahasan ayat (shigat tafsir wa istidlal bi al-ayat ala al-hukmi),
bukan sebagai riwayat yang menunjukkan kepada sebab turunnya ayat (shigat alnaql).
(c) Ibnu Taimiyah menilai bentuk redaksi tersebut mengandung dua kemungkinan, yaitu:
pertama, sebagai riwayat yang menunjukkan kepada sebab turunnya ayat; dan kedua,
sebagai keterangan tentang maksud ayat dan bukan sebagai riwayat tentang sebab

turunnya. Ungkapan redaksi tersebut sama dengan pernyataan yang berbunyi:


... (yang dimaksud dengan ayat ini adalah ...).
(d) Al-Qasimi menilai redaksi tersebut selaku pernyataan yang diungkapkan oleh para
sahabat dan tabiin dengan tujuan untuk memberikan gambaran tentang apa yang
dibenarkan oleh ayat. Dalam hal ini perlu dilakukan langkah ijtihad guna menentukan
apakah riwayat tersebut sebagai asbab al-Nuzul ayat atau hanya sekedar penjelasan
tentang kandungan suatu ayat.
(e) Al-Zarqani menilai bahwa bentuk redaksi seperti ini bukanlah serta merta secara
pasti menunjukkan kepada riwayat sebab turunnya ayat, karena dapat saja
menunjukkan kepada penjelasan tentang kandungan ayat. Dalam hal ini harus diteliti
lebih cermat indikator (qarinah) yang menunjukkan ke salah satu dari kedua
kemungkinan tersebut. Jika ada indikator yang menguatkan arah tunjukannya selaku
riwayat sebab turunnya ayat, maka barulah dipahami bahwa redaksi itu menunjukkan
kepada peristiwa yang melatarbelakangi turunnya ayat.
(3) Bentuk susunan redaksi yang disepakati oleh ulama tidak menunjukkan kepada
asbab al-Nuzul (al-muttafaq ala adami al-itidad bihi). Bentuk susunan redaksi
ini ada dua macam, yaitu:
Pertama, adakalanya si Perawi tidak mengungkapkan riwayat dengan redaksi yang
jelas

menunjukkan

kepada

pengertian

turun

(shigat

al-Nuzul),

namun

mengemukakannya dengan redaksi lain, seperti lafaz qiraah atau tilawah. Misalnya,
si Perawi mengatakan: ...
.... Para ulama menilai bahwa pengungkapan qiraah atau tilawah setelah
penyebutan adanya suatu kejadian (al-haditsah) jelas menunjukkan bahwa suatu ayat
pasti turun mengiringi kejadian atau peristiwa tersebut. Padahal dalam kenyataan
berdasarkan ungkapan redaksi itu sendiri, jelas menunjukkan ayat yang dibaca oleh
Nabi Saw sudah turun sebelum terjadinya peristiwa dimaksud. Atau bisa jadi
pembacaan Nabi Saw akan ayat tersebut sebagai penjelasan penguat dari ayat yang

turun lebih dahulu yang memiliki hubungan yang kuat dengan ayat yang dibacakan
Nabi Saw ketika ada suatu kejadian.
Kedua, adakalanya si Perawi mengungkapkan redaksi riwayatnya dengan pola bahasa
yang tidak secara pasti menunjukkan kepada sebab turunnya ayat, namun
mempergunakan pola bahasa yang mengandung dugaan atau perkiraan semata.
Misalnya, si Perawi mengatakan: ..., atau
, atau .... Pola redaksi
semacam ini menunjukkan bahwa si Perawi memahami suatu riwayat yang
menunjukkan kepada sebab turunnya ayat hanya berdasarkan indikator berupa situasi
dan kondisi konteks semata (qarain al-ahwal) yang bersifat sangat spekulatif
(dugaan). Dan hal itu jelas tidak menunjukkan kepada keterlibatan si Perawi dalam
menyaksikan langsung peristiwa turunnya ayat (musyahadah) atau mendengarkan
informasinya dari orang yang menyaksikan secara langsung tersebut (simai).
Para ulama memberikan catatan bahwa redaksi seperti ini dapat diterima apabila ada
riwayat lain yang menunjukkan hal yang sama, tapi dengan lafaz redaksi yang
bersifat pasti (bukan dugaan dan persangkaan semata) sebagaimana dalam bentuk
yang disepakati oleh para ulama untuk menunjukkan kepada sebab turunnya ayat.

C. Keumuman Lafadz Dan Kekhususan Sebab


Keumuman lafadz dan kekhususan sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari
sebab berarti bahwa jawaban lebih umum dari sebab, dan sebab lebih khusus dari
jawaban.Jawaban yang dimaksudkan disini adalah ayat-ayat Al-quran yang turun
sebagai jawaban terhadap pertanyaan atau peristiwa yang dihadapi nabi pada masa
turunnya Al-quran.Sedankan sebab berarti pertanyaan atau peristiwa yang menjadi
sebab turunnya Al-quran.
Jika terjadi penyesuaian antara ayat yang turun dan sebab turunnya dalam hal
keumuman keduanya, atau terjadi penyesuaian antara keduanya dalam hal
kekhususan keduanya, diterapkanlah yang umum menurut keumumannya dsan yang
khusus menurut kekhususannya.

Contoh hal pertama adalahsurat al-baqarah ayat 222:


Artinya:
mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: haidh itu adalah suatu
kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari waniat di waktu
haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci.Apabila mereka
mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang Allah perintahkan
kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri(Q.S Al-baqarah (2):222).
Diriwayatkan dari Anas, ia berkata: sesungguhnya, orang-orang Yahudi, jika
perempuan mereka haidh, mereka keluarkan perempuan itu dari rumahnya, dan
mereka tidak mau makan dan minum bersamanya dan tidak mempergaulinya di
rumah. Ketika Rasulullah ditanya yang demikian, maka Allah menurunkan surat albaqarah ayat 222.
Kemudian, Rasulullah SAW berkata:

pergaulilah oleh kamu sekalian kepada mereka, dan lakukanlah oleh kamu sekalian
segala sesuatu kecuali jimak.
Contoh hal kedua adalahsurat al-lail ayat ayat 17-21:
Artinya:
dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, yang
menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, padahal tidak ada
seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia
memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya Yang Maha
Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan.(Q.S Al-Lail (92): 17-21).
ayat-ayat ini turun ditujukan kepada Abu Bakar. Al-Wahidi berkata: adalah Abu
Bakar as-Siddiq menurut pendapat semua mufassir. Dari Urwah bahwa Abu Bakar asSiddiq memerdekakan tujuh orang budak yang semuanya disiksa dalam agam Allah,
yaitu Bilal, Amir ibn Fuhairah, Al-Nahdiah serta putrinya, Ibu Isa, dan seorang budak
perempuan Bani al-Mauil. Dan padanya turun hingga akhir surat.

Dengan kata dalam ayat, dimaksudkan Abu Bakar karena lafadznya disertai
( artikel tanda dimaklumi), maka tertentulah kata ini bagi orang yang ayat
tersebut turun padanya. Dengan demikian, lafadz yang umum mencakup semua
persoalansebab turunnya yang umum dalam ketetapan hukumnya, dan lafadzyang
khusus terbatas padaorang yang menjadi sebab turunnya yang khusus dalam
ketetapan hukumnya. Menurut Al-Zarqani, hal ini telah menjadi kesepakatan di
kalangan ulama.
Adapun jika ayat yang turun bersifat umum dan sebabnya bersifat khusus, maka
timbul persoalan dalam hal apakah yang harus diperhatikan dan dijadikan pedoman,
keumuman lafadznya atau kekhususan sebabnya.Para ulama berbeda pendapat dalam
hal ini. Mayoritas para ulama berpegang pada kaidah:

yang harus diperhatikan keumuman lafadz, bukan kekhususan seba.
Sedangkan minoritas para ulam berpegang pada kaidah sebaliknya:

yang harus diperhatikan kekhususan sebab, bukan keumuman lafdz.
Berdasarkan kaidah pertama, hukum yang dibawa suatu lafadz yang umum akan
mencakup bsemua person lafadz tersebut, baik itu person-person ( )sebab itu
sendiri maupun person-person ( )diluarnya. Sebagai contoh adalah peristiwa Hilal
Ibn Ummayah menuduh istrinya berzina. Mengenai peristiwa ini telah turun ayat:
sampai akhirnya. Tampak di sini bahwa sebab turun ayat bersifat
khusus, yaitu tuduhan Hilal terhadap istrinya.Akan tetapi, ayatnya turun dengan
lafadz yang umum.Lafadz ( )adalah isim maushul.Isim maushul termasuk di
antara bentuk-bentuk lafadz umum.Ayat ini menjelaskan hukum mulaanah tanpa
takhshish atau pengecualian.Dengan keumumannya, hukum ini mencakup orangorang yang menuduh istrinya dan tidak dapat menghadirkan saksi-saksi untuk
tuduhan tersebut, baik Hilal Ibn Umayyah sendiri sebagai orangf yang menjadi sebab
turun ayat maupun lainnya.Dalam menerapkan hukum ini kepada selain Hilal tidak
diperlukan dalil yang lain berupa qiyas (analogi) atau lainnya. Bahkan, hukumnya

ada dengan keumuman nash ayat. Suatu hal yang sama dimaklumi bahwa tidak ada
qiyas dan tidak ada ijtihad bersama adanya nash. Inilah pendapat mayoritas ulama.
Sebaliknya, minoritas ulama berpegang pada kaidah kedua, seperti yang telah
dikemukakan diatas.Pengertian kaidah ini adalah bahwa lafadz ayat terbatas pada
peristiwa yang lafadz itu turun karenanya. Adapun hal-hal serupa dengan peristiwa
itu, maka hukumnya tidak dapat diketahui dari nash ayat tersebut, melainkan dari
dalil yang lain berupa qiyas jika memenuhi syarat-syaratnya atau hadist nabi:

hukumku atas seseorang adalah hukumku atas orang banyak
Dengan demikian, ayat qazf (penuduhan berzina) yang turun sebab peristiwa Hilal
dengan istrinya hanya berlaku khusus kepada peristiwa ini. Adapun kasus lain yang
serupa dengan perihalnya hanya diketahui dengan jalan qiyas atasnya atau dengan
mengamalkan hadist tersebut. Inilah pendapat minoritas.
Asbab al-Nuzul dan problematikanya
Asbab al-nuzul merupakan peristiwa yang terjadi pada masa nabi. Oleh
karena itu, tidak ada jalan lain untuk mengetahuinya selain mengadopsi sumber dari
orang-orang yang menyaksikan peristiwa tersebut.
Para ulama menempatkan studi-studi menyangkut hadits Nabi sebagai suatu
studi kesejarahan yang paling selektif dibanding studi sejarah manapun. Oleh karena
itu, kendati upaya penspesialisasian studi asbab al-nuzul baru dimulai dua ratus tahun
setelah Nabi wafat, tetapi nilai akurasinya bisa dipertanggungjawabakan. Secara
turun-temurun dari generasi-kegenerasi lainya, riwayat-riwayat menyangkut al-quan,
mulai dari Asbab al-Nuzul, penafsiran dan hal-hal lain yang selalu dipelajari secara
sungguh-sungguh, kemudian dihafal dan dipelihara otentitasnya melalui hafalan
maupun tulisan.akhirnya, pada tahun 200 H, timbul gagasan dari Ali Ibn al-Madiniy
untuk membukukan asbab al-nuzul dalam karyanya yang berjudul Asbab al-Nuzul.
Usaha al-Madiniy kemudian diikuti oleh Abu al-Mutharif abd alRahman Ibn
Muhammad al-Qurthubiah dengan karyanya al-Qishash wa alasalib al-laity nazala
min Ajliha Al-quran. Tokoh berikutnya adalah Abu Hasan Ali Ibn Ahmad yang

menulis asbab al-nuzul, Abu Al-Faraj Al Jawziy yang menulis al Ijab fi Bayan alAsbab,, di abad ke 6 hijriah selanjutnya di abad ke-9. muncul al-Suyutiy dengan
karyanya Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul.
Ada bebeapa yang sering muncul ketika membahas asbab al-nuzul, seperti
terdapat beberapa riwayat yang berbeda sementara asbab al-nuzulnya hanya satu, atau
perbedaan antara turunnya ayat dengan riwayat asbab al-nuzul; ayat turun dimekah
sedang asbab al-nuzul di Madinah, dan atau sebaliknya, bahkan tidak jarang terjadi
rentang waktu yang begitu panjang antara turunnya ayat dengan peristiwa yang
terjadi, sehingga secara histories hal tersebut sangat tidak logis dan masuk akal.
Mengahdapi hal semacam ini, para ulama telah menempuh beberapa metode
sesuai dengan problem yang dihadapi dalam kasus beberapa riwayat dengan satu
sebab, misalnya metode yang digunakan adalah dengan cara Mentarjih salah satu
riwayat. Pentarjihan dilakukan dengan cara memperhatikan riwayat yang lebih
shahih atau dengan memperhatikan segi yang memperkuat salah satu nya, seperti;
apakah perawi riwayat tesebut melihat langsung peristiwa yang terjadi atau hanya
mendengar dari Nabi saja.
Ketika pentarjihan tidak mungkin dilakukan, karena masing-masing riwayat
tersebut kuat, maka ditempuh cara yang kedua yaitu dengan metode al-jamu wa altaufiq(dipadukan atau dikompromikan), dan paermasalahannya dipandang bahwa
ayat tersebut turun bersamaan dengan dua peristiwa, dengan catatan waktu terjadinya
berdekatan.
Jika kedua metode tersebut tidak bisa ditempuh, karena rentang waktu yang
berjauhan antara sebab-sebab turunnya ayat, maka dalam hal ini masalahnya di
pandang bahwa ayat tersebut diturunkan berulang-ulang. al-Zarkasyi mengatakan;
terkadang suatu ayat turun dua kali sebagai penghormatan kepada kebesaran dan
peringatan akan peristiwa yang menyebabkan, khawatir terlupakan, sebagaimana
terjadi pada surat al-fatihah dan al-ikhlas yang turun dua kali, di Mekah dan Madinah.

Anda mungkin juga menyukai