Anda di halaman 1dari 10

+BAB I

PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang Masalah


Pembangunan desa memegang peranan yang penting karena merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dan hakikatnya bersinergi terhadap pembangunan daerah dan nasional. Hal tersebut
terlihat melalui banyaknya program pembangunan yang di rancang pemerintah untuk
pembangunan desa. Hampir seluruh instansi, terutama pemerintah daerah mengakomodir
pembangunan desa dalam program kerjanya. Tentunya berlandaskan pemahaman bahwa desa
sebagai kesatuan geografis terdepan yang merupkan tempat sebagian besar penduduk bermukim.
Dalam struktur pemerintahan, desa menempati posisi terbawah, akan tetapi justru terdepan dan
langsung berada di tengah masyarakat. Karenanya dapat di pastikan apapun bentuk setiap
program pembangunan dari pemerintah akan selalu bermuara kedesa.
Meskipun demikian, pembangunan desa masih memiliki berbagai permasalahan, seperti
adanya desa terpencil atau terisolir (centre of excellent), masih minimnya prasarana sosial
ekonomi serta penyebaran jumlah tenaga kerja produktif yang tidak seimbang, termasuk tingkat
produktifitas, tingkat pendapatan masyarakat dan tingkat pendidikan yang relatif masih
rendah.semuanya itu pada akhirnya berkontribusi pada kemiskinan penduduk.
Faktor tersebut menyebabkan pemerintah semakin intensif menggulirkan progran dan proyek
pembangunan dalam pelaksanaan pembangunan desa. Namun demikian program atau proyek
yang diarahkan dalam pembangunan desa justru tidak dapat berjalam optimal, karena
kebanyakan di rencanakan jauh dari desa (Korten, 1988:247). Masyarakat masih dianggap
sebagai obyek/sasaran yang akan di bangun. Hubungan yang terbangun adalah pemerintah
sebagai subyek /pelaku pembangunan dan masyarakat desa sebagai obyek/sasaran pembangunan
(Kartasasmita, 1996:144). Partisipasi yang ada masih sebatas pemanfaatan hasil. Tingkat
partisipasi dalam pembangunan masih terbatas, misalnya masih sebatas peran serta secara fisik
tampa berperan secara luas sejak dari perencanaan sampai evalusasi.
Kondisi tersebut mengakibatkan peranan pemerintah semakin besar. Pemerintah berperan
dominan sejak dari perencanaan hingga pelaksnaan program atau proyek pembangunan. Fakta ini
berangkat dari perspektif stakeholders perintah bahwa berhasilnya program atau proyek
pembangunan diukur dari penyelesain yang tepat pada waktunya (efesiensi dan efektifitas) serta
sesuai dengan rencana yang di tetapkan. Dengan orientasi seperti ini, tentunya masyarakat desa
beserta stakeholder lainya didesa yang seharusnya memiliki peranan yang besar tidak dapat

mengembangkan kemampuanya dan menjadi terbelenggu dalam berinovasi. Hal tersebut


misalnya dapat dilihat dari iplementasi program bantuan desa (Bangdes) selama ini, justru
peranan birokrat pemerintah yang amat menonjol.
Walaupun sesungguhnya program tersebut sudah lama dilaksanakan dan cukup luas di desa,
namun masyarakat selalu dianggap kurang mampu, sehingga bimbingan dan arahan dari
pemerintah begitu kuat pengaruhnya dan merasuk (internalisasi) dalam masyarakat. Pada
akhirnya masyarakat tergantung pada bimbingan dan arahan dari pemerintah. Bila kondisi
tersebut tetap dipertahankan, maka masyarakat tidak akan pernah dapat menunjukkan
kemampuannya dalam mengelola pembangunan di desanya.
Apapun bentuk pembangunan, secara substantif akan selalu diartikan mengandung unsur
proses dan adanya suatu perubahan yang direncanakan untuk mencapai kemajuan masyarakat.
Karena ditujukan untuk merubah masyarakat itulah maka sewajarnya masyarakatlah sebagai
pemilik (owner) kegiatan pembangunan. Hal ini dimaksudkan supaya perubahan yang hendak
dituju adalah perubahan yang diketahui dan sebenarnya yang dikehendaki oleh masyarakat
(Conyers, 1991:154-155). Ada kesiapan masyarakat untuk menghadapi dan menerima perubahan
itu.Untuk itu keterlibatannya harus diperluas sejak perencanaan, pelaksanaan, evaluasi hingga
pemanfaatannya, sehingga proses pembangunan yang dijalankan dapat memberdayakan
masyarakat, bukan memperdayakan.
Pembangunan desa secara konseptual mengandung makna proses dimana usaha-usaha dari
masyarakat desa terpadu dengan usaha-usaha dari pemerintah. Tujuannya untuk memperbaiki
kondisi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Sehingga dalam konteks pembangunan desa,
paling tidak terdapat dua stakeholder yang berperan utama dan sejajar (equal) yaitu pemerintah
dan masyarakat (Korten, 1988:378). Meskipun demikian, dalam konteks yang lebih luas, juga
terdapat peranan Agen Eksternal seperti LSM, Konsultan, Lembaga Donor dll.
Domain pembangunan desa juga tidak terlepas dari wacana tentang model perencanaan
pembangunan yaitu dari atas ke bawah (top down planning) dan dari bawah ke atas (bottom up
planning). Pada dasarnya setiap program dari pemerintah senantiasa mencerminkan kombinasi
kedua model tersebut, hanya intensitasnya yang berbeda. Sesuai dengan tuntutan paradigma baru
tentang pembangunan yang berpusat pada manusia (people centered development), maka
pendekatan bottom up planning sudah sewajarnya diperbesar dan menjadi inti dari proses
pembangunan yang memberdayakan masyarakat.

1.2

Rumusan Masalah
Pembangunan yang memberdayakan masyarakat adalah pembangunan yang memberi ruang
dan kesempatan bagi masyarakat untuk dapat berperan dalam menggerakkan dan mengerahkan
segala sumber daya (resources) yang dimilikinya, baik sumber daya material maupun non
material, terutama sumber daya manusianya sendiri untuk mandiri (Uphoff dalam Cernea,
1988:501). Dengan kata lain masyarakat mempunyai akses dalam pengambilan keputusan
sampai pelaksanaan pembangunan.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, proses pembangunan yang memberdayakan
masyarakat memiliki makna lebih luas dari model pembangunan partisipatif, sebagaimana
dinyatakan Soetrisno (dalam Lasito, 2002:7), sebagai berikut : Dalam model pemberdayaan,
masyarakat tidak hanya aktif berpartisipasi dalam proses pemilikan program, perencanaan dan
pelaksanaannya, akan tetapi mereka juga menguasai dana pelaksanaan program itu. Sementara
dalam model partisipasi, keterlibatan masyarakat dalam proses pembangunan hanya sebatas pada
pemilikan, perencanaan dan pelaksanaan, sedangkan pemerintah tetap menguasai dana guna
mendukung pelaksanaan program itu. Dari pembedaan tersebut dapat diartikan bahwa dalam
model pemberdayaan, masyarakatlah yang memiliki peran yang besar (termasuk pendanaan)
serta sangat menentukan bagi arah kegiatan pembangunan, sesuai dengan aspirasi dan perspektif
masyarakat, maksudnya tanpa terlalu intervensi struktur pemerintahan yang cenderung
birokratis.

1.3
Manfaat Penulisan
Bertitik tolak dari perumusan masalah yang diajukan diatas, tujuan penulisan ini adalah
menganalisis mengenai Pemberdayaan Masyarakat dan Desa dalam pemerintahan daerah.
1.4
Tujuan Penulisan
Secara teoritis, hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat menguatkan kajian teoritis tentang
pemberdayaan masyarakat dan desa
Secara praktis, hasil penulisan ini diharapkan bermanfaat sebagai masukan kepada Pemerintah

BAB II
LANDASAN TEORI
A. DEMOKRASI
Indonesia dalam mewujudkan masyarakat yang demokratis dalam penyelenggaraan
pemerintah, berdasarkan sistem desentralisasi. Hal ini disebabkan karena dalam negara yang
menganut faham demokratis, seharusnya diberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada
rakyatnya untuk ikut serta dalam pemerintahan. Semboyan demokrasi adalah pemerintah dari
rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat (Government of the people, by the people and for the

people). Kalau semboyan ini hendak direalisasikan, maka tidaklah cukup hanya\dengan
melaksanakannya pada tingkat nasional atau pusat saja, tetapi juga pada tingkat daerah.
Sesuai keinginan bangsa Indonesia yang ingin mengadakan tertib hukum dan menciptakan
kepastian hukum bagi jalannya kehidupan organisasi pemerintahan di Indonesia, serta
mensukseskan pembangunan di segala bidang di seluruh Indonesia, guna mencapai cita-cita
nasional berdasarkan Pancasila, yaitu masyarakat yang adil dan makmur, baik materiil maupun
spiritual bagi seluruh rakyat Indonesia, maka perlu memperkuat pemerintahan desa agar makin
mampu menggerakkan masyarakat dalam partisipasinya dalam pembangunan administrasi desa
yang makin meluas dan efektif.
Sadono Sukirno.Berapa aspek dalampersoalan pembangunan
daerah,Lembaga Penerbit FE.UI, Jakarta , 1976,hal. 6-8

Pembangunan yang tepat membutuhkan analisa yang tepat. Untuk para ekonomi regional atau
geografi regional menggunakan dua aspek dasar dari kriterianya, yaitu metodenya dan faktorfaktor yang menentukan perkembangan regional. Masing-masing dapat di bagi lagi dua jenis.
Pertama, yang di pinjam dari taraf nasional: keduanya, yang di susun khusus untuk kepentingan
daerah. Adapun yang mengenai faktor-faktor daerah, perinciannya: lingkungan alam dalam arti
ruang dan sumber daya alam serta pemanfaatanya, penduduk dalam arti kepadatanya serta
migrasinya, peranan kota-kota besar atas daerah, dan campur tangan pemerintah.

B. OTONOMI DAERAH
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditegaskan bahwa landasan
pemikiran dalam pengaturan mengenai desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli,
demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat. Sebagai perwujudan demokrasi, dalam
penyelenggaraan pemerintahan Desa dibentuk Badan Permusyawaratan Desa atau sebutan lain
yang sesuai dengan budaya yang berkembang di Desa bersangkutan, yang berfungsi sebagai
lembaga pengaturan dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa, seperti dalam pembuatan dan
pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan Keputusan Kepala
Desa, dengan demikian, Badan Permusyawaratan Desa sebagai lembaga Permusyawaratan warga
masyarakat di desa mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam penyelenggaraan
Pemerintahan Desa. Badan Permusyawaratan Desa berkedudukan sejajar dan menjadi mitra kerja

Pemerintahan Desa diharapkan dapat menjalankan fungsinya sebagai lembaga yang mengawasi
jalannya Pemerintahan Desa. Oleh karena itu, pengaturan tentang Pemerintahan Desa dituangkan
dalam peraturan daerah sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun
2004.
Berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, penyelenggaraan Otonomi Daerah
dilaksanakan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata dan bertanggung jawab kepada
Daerah secara proposional yang diwujudkan dengan pengaturan pembagian dan pemanfaatan
sumberdaya nasional yang berkeadilan, serta pertimbangan keuangan pusat dan daerah.
Disamping itu penyelenggaraan Otonomi Daerah juga dilaksanakan dengan prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan, serta memperhatikan potensi dan
keanekaragaman daerah.
Dalam Penjelasan Umum Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, dinyatakan bahwa prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya
dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di
luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini. Daerah
memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan
peranserta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan rakyat.
Otonomi

nyata

adalah

keleluasaan

daerah

untuk

menyelenggarakan

kewenangan

pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan. Sedangkan yang
dimaksud otonomi yang bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban
sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan
kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara
pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Khusus tentang Pemerintahan Desa, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 memberikan
pandangan-pandangan baru yang intinya juga untuk meningkatkan dan memberdayakan
kemandirian Desa. Seperti halnya Pemerintah Daerah adalah Dewan Permusyawaratan Rakyat

Daerah dan Bupati beserta jajarannya, maka untuk Desa yang dimaksud dengan Pemerintahan
Desa adalah Pemerintah Desa dan Badan Permusyawaratan Desa.
Sebagai perwujudan demokrasi di Desa, maka dibentuklah Badan Permusyawaratan Desa
atau sebutan lain yang sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan.
Dalam Pasal 204 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa: Badan
Permusyawaratan Desa atau disebut dengan nama lain berfungsi mengayomi adat istiadat, serta
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Fungsi pengawasan
Badan Permusyawaratan Desa meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Desa,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa dan Keputusan Kepala Desa.
Djoko Prakoso,Kedudukan dan FungsiKepala Daerah Beserta Perangkat Daerah Di Dalam UndangUndang PokokPemerintahan Daerah,Ghalia Indonesia, Jakarta. 2004, hlm. 143-144.

Menurut Djoko Prakoso: Dalam Setiap organisasi, fungsi pengawasan adalah sangat penting,
karena pengawasan itu adalah suatu usaha untuk menjamin adanya keserasian antara
penyelenggaraan tugas pemerintahan oleh daerah-daerah dan oleh Pemerintah dan untuk
mejamin kelancaran penyelenggaraan pemerintah secara berdayaguna dan berhasil guna.

C. Desa Dan Badan Permusyarawatan Desa


Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa
adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat
istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan Kecamatan, karena Kecamatan merupakan bagian dari perangkat
daerah Kabupaten/Kota, dan Desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda
dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam
perkembangannya, sebuah Desa dapat ditingkatkan statusnya menjadi kelurahan.
Kewenangan Desa adalah:
1. Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul Desa.

2.

Menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang


diserahkan pengaturannya kepada Desa, yaknimurusan pemerintahan yang secara langsung dapat
meningkatkan pelayanan masyarakat.

3. Tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota.


4. Urusan pemerintahan lainnya yang diserahkan kepada Desa
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan
desa dirumuskan sebagai urusan atau kewenangan yang sudah ada berdasarkan asal usulnya,
kewenangan yang dilimpahkan (desentralisasi) dan tugas pembantuan. Ketiga jenis
Kewenangan ini menurut Tumpal Saragi kurang jelas apa maksudnya dan bagaimana
melakukannya.
Tumpal SaragiKewenangan Desa,Solusi,Edisi II, Januari 2004.

Desa memiliki pemerintahan sendiri. Pemerintahan Desa terdiri atas Pemerintah Desa (yang
meliputi Kepala Desa dan Perangkat Desa) dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Kepala
Desa merupakan pimpinan penyelenggaraan pemerintahan Desa berdasarkan kebijakan yang
ditetapkan bersama Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Masa jabatan Kepala Desa dan
perangkat Desa serta BPD adalah 6 tahun, dan dapat diperpanjang, lagi untuk satu kali masa
jabatan. Kepala Desa bersama perangkat Desa juga memiliki wewenang menetapkan APBDes
yang telah mendapat persetujuan dari BPD.
Menawarkan paradigma baru dalam menghidupkan kembali demokrasi di Desa. Garis sub
ordinasi kewenangan BPD di bawah eksekutif masih dapat dilacak jejaknya dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, yang pada Pasal 29 menyebutkan kedudukan BPD sebagai
unsur penyelenggaraan pemerintahan desa. Padahal Pasal 202 ayat (1) Undang-Undang Nomor
32/2004 memberikan pengertian Pemerintah Desa terdiri atas Kepala Desa dan Perangkat Desa.
Banyak hal dalam tuntutan kepala desa yang sebenarnya masuk akal dan memang harus
dipenuhi. Ada juga tuntutan yang sebenarnya bertolak belakang dan tidak bisa dipenuhi. Sebut
saja keinginan untuk terlibat dalam kegiatan politik partai dan keinginan memperpanjang masa
jabatan. Jika keinginan terlibat dalam politik diizinkan, bukan tidak mungkin akan terjadi
benturan kepentingan dan bisa merugikan rakyat. Otonomi yang sesungguhnya bukan di
kabupaten melainkan di desa. Tapi yang terjadi sekarang karena otonom itu berpusat di
kabupaten, maka untuk izin mendirikan pasar di desa saja harus ada izin dari Kabupaten. Sudah
menjadi pemahaman umum bahwa Otonomi Daerah sebagaimana dimaksudkan dalam UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 memberi kesempatan kepada Pemerintah Kabupaten untuk
mengoptimalkan potensi yang ada di daerah masing-masing. Otonomi Daerah itu sendiri

merupakan pemberian kewenangan Kepada Daerah untuk mengatur anggaran daerahnya sendiri,
tapi tidak lepas dari pengawasan Pemerintah Pusat.
PersadaGirsang,Kewenangan Desa Antara Mimpi dan Kenyataan,Persada.
Tangerang.2007, hlm. 27

Berkaitan dengan Otonomi Daerah, bagi Pemerintah Desa dimana keberadaannya berhubungan
langsung dengan masyarakat dan sebagai ujung tombak pembangunan. Desa semakin dituntut
kesiapannya baik dalam hal merumuskan Kebijakan Desa (dalam bentuk Peraturan Desa),
merencanakan pembangunan desa yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi serta dalam
memberikan pelayanan rutin kepada masyarakat. Demikian pula dalam menciptakan kondisi
yang kondusif bagi tumbuh dan berkembangnya kreativitas dan inovasi masyarakat dalam
mengelola dan menggali potensi yang ada, sehingga dapat menghadirkan nilai tambah ekonomis
bagi masyarakatnya. Dengan demikian, maka cepat atau lambat desa-desa tersebut diharapkan
dapat menjelma menjadi desa-desa yang otonom, yakni masyarakat desa yang mampu memenuhi
kepentingan dan kebutuhan yang dirasakannya.
Berdasarkan Pasal 209 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang. Pemerintah Daerah.
Badan Permusyawaratan Desa berfungsi menetapkan peraturan Desa bersama kepala Desa,
menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat serta di dalamnya juga mempunyai fungsi
dalam penetapan APBDes. Dalam Pasal 29 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang
Desa, BPD berkedudukan sebagai unsur penyelenggara pemerintahan Desa. Pasal 34 Peraturan
Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menyebutkan bahwa BPD berfungsi menetapkan peraturan
Desa bersama kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Kewenangan BPD berdasarkan Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
f.

membahas rancangan peraturan Desa bersama kepala Desa;


melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan Desa dan peraturan kepala Desa;
mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian kepala Desa;
membentuk panitia pemilihan kepala Desa;
menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat: dan
menyusun tata tertib BPD.
Hak BPD seperti yang tercantum dalam Pasal 36 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005
adalah meminta keterangan kepada Pemerintah Desa dan menyatakan pendapat. Sedangkan
anggota BPD berdasarkan Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 adalah:

a.
b.
c.
d.
e.
f.

mengajukan rancangan peraturan Desa dan APBDes:


mengajukan pertanyaan:
menyampaikan usul dan pendapat:
memilih dan dipilih: dan
memperoleh tunjangan.

Anggota BPD mempunyai kewajiban:


a.

mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 dan mentaati segala peraturan perundang-undangan:


b. melaksanakan kehidupan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa:
c.
mempertahankan dan memelihara hukum nasional serta keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia:
d. menyerap, menampung, menghimpun, dan menindak lanjuti aspirasi masyarakat:
e. memproses pemilihan kepala Desa: mendahulukan kepentingan umum diatas kepentingan
pribadi, kelompok dan golongan:
f. menghormati nilai-nilai sosial budaya dan adat istiadat masyarakat setempat: dan
g. menjaga norma dan etika dalam hubungan kerja dengan lembaga kemasyarakatan.
Tugas Badan Permusyawaratan Desa diharapkan lebih bisa mengakomodasikan kepentingan
masyarakat desa. Kemungkinan besar segala tugas utamanya dapat dilaksanakan dengan baik
mengingat keanggotaannva dipilih dari dan oleh masyarakat dan pimpinannya dipilih oleh
anggotanya.
4

Dikemukakan oleh Joeniarto bahwa: Fungsi yang penting daripada Badan Permusyawaratan
harus disadari benar-benar oleh setiap anggota daripada Badan Permusyawaratan tersebut, selaku
wakil-wakil dari pada rakyat. Kesadaran bahwa setiap keputusan daripada Badan
Permusyawaratan ini akan membawa akibat langsung atau tidak terhadap keuntungan atau
kerugian bagi rakyatnya. Oleh karena itu, masalah pemilihan Wakil-wakil Rakyat di dalam
negara demokrasi benar-benar merupakan masalah yang prinsipil, rakyat harus berhati-hati
memilihnya.
Selama ini kehadiran Lembaga Musyawarah Desa belum dirasa aspirasi masyarakat desa.
Bagaimana bisa seorang Kepala Desa dikontrol oleh Lembaga Musyawarah Desa yang
diketuainya sendiri. Di samping itu, tugas Lembaga Musyawarah Desa tidak menyangkut segi
musyawarah terhadap Keputusan Desa saja. Hal inilah yang mungkin menyebabkan terjadinya
penyalahgunaan kekuasaan atau wewenang daripada Kepala Desa yang merupakan pimpinan
dari Lembaga Musyawarah Desa.

Joeniarto,Demokrasi dan SistemPemerintahan Negara,Cipta. Jakarta. 1990. hlm 24-25.

Anda mungkin juga menyukai