Anda di halaman 1dari 33

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jumlah kanker leher rahim di seluruh dunia sangatlah berfariasi, di beberapa negara
berkembang kanker serviks merupakan kanker yang paling umum terjadi pada wanita.
Kanker serviks juga merupakan kanker kedua tersering di seluruh dunia setelah kanker
payudara (Anddrews, 2010).
Menurut World Healt Organisation (WHO) mengatakan saat ini kanker leher rahim
menempati peringkat teratas diantara berbagai jenis kanker yang menyebabkan kematian
pada perempuan di dunia dan diketahui terdapat 493.243 jiwa per tahun penderita kanker
leher rahim baru di dunia dengan angka kematian karena kanker serviks sebanyak 273.505
jiwa pertahun (Emilia, 2010).
Menurut laporan WHO tahun 2003 setiap tahun timbul lebih dari 10 juta kasus
penderita baru kanker dengan prediksi peningkatan setiap tahun kurang lebih 20%. Di
perkirakan pada tahun 2020 jumlah penderita baru penyakit kanker serviks meningkat
hampir 20 juta penderita , 84 juta diantaranya akan meninggal pada sepuluh tahun kedepan
bila tidak dilakukan intervensi yang memadai (DepKes RI, 2007).
Penyakit kanker leher rahim merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari peningkatan angka kesakitan dan kematian akibat
penyakit kanker leher rahim. Peningkatan tersebut menyebabkan peningkatan beban
ekonomi negara dan masyarakat yang harus ditanggung. Salah satu tantangan terbesar
dalam upaya pengendalian penyakit kanker di Indonesia adalah bagaimana menemukan
kasus kanker sedini mungkin, karena biasa pasien datang sudah dalam stadium lanjut,

sehingga pengobatan yang dilakukan memerlukan biaya yang sangat besar sedangkan
harapan hidup pasien semakin berkurang (DepKes RI 2007).
Menurut Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara
menempati urutan dalam golongan neoplasma pada pasien rawat inap sebesar 15,4%
maupun rawat jalan sebesar 15,78%. Di rumah sakit kanker Dharmais pada tahun 2004
kanker payudara menempati urutan pertama dari 10 kanker terbanyak, yaitu 27,25%, dan
kanker leher rahim pada urutan kedua yaitu 12,78% (DepKes RI 2007).
Di Jawa Barat sekitar 8000 perempuan berpotensi terkena kanker leher rahim per
tahunnya. Namun, hal itu sulit ditangani karena banyaknya faktor yang mempengaruhi.
Paling banyak ditemukan seribu kasus kanker leher rahim per tahun di Jawa Barat.
Sedangkan setiap perempuan terkena resiko kanker leher rahim tanpa terkecuali (DepKes
RI, 2011).
Berdasarkan data dari Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) di Indonesia tahun
2007 diketahui bahwa kanker leher rahim menempati urutan kedua pada pasien rawat inap
(11,78%) dan pasien rawat jalan (17,00%), sedangkan kanker payudara menempati urutan
pertama pasien rawat inap (16,85%) dan pasien rawat jalan (21,69%). 4. Masih tingginya
jumlah kasus kanker leher rahim dan kanker payudara di Kabupaten Karawang, yaitu
sebanyak 0,3% dan 0,6% dari seluruh wanita usia subur pada tahun 2011.
Program penapisan kanker leher Rahim dan payudara di Kabupaten Karawang yang
telah berlangsung dari tahun 2007, berdasarkan data yang diperoleh dari periode Januari
sampai dengan Desember 2014 baru menapiskan sebesar 20,6% dari seluruh wanita usia
subur dan dengan target sebesar 85%.
Di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten Karawang dari 12.272 orang sasaran
yang harus dilakukan pemeriksaan IVA baru sekitar 355 orang yang sudah di lakukan

pemeriksaan IVA dengan hasil 315 orang normal dan 40 orang IVA posif serta kanker
serviks sebanyak 4 orang (Profil Puskesmas Rengasdengklok,2015).
Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka penulis tertarik untuk meneliti lebih
lanjut tentang Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Lesi Pra Kanker
Leher Rahim Melalui Deteksi Dini Pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Karawang Tahun 2015

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah pada penelitian ini adalah angka kejadian pra kanker leher rahim
melalui pemeriksaan IVA di kabupaten Karawang sebanyak 43 orang tersangka kanker
leher rahim dan 228 orang terdapat bibit kanker leher rahim (IVA positif). Sedangkan di
Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten Karawang tahun 2014 sebanyak 4 orang dengan
kanker leher rahim dan 40 orang dengan IVA positif dari 355 orang yang dilakukan
pemeriksaan IVA.

C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang mempengaruhi kejadian lesi pra kanker leher
rahim melalui deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten
Karawang Tahun 2015
2. Tujuan Khusus
a. Diketahui proporsi kejadian lesi pra kanker leher rahim melalui deteksi dini
pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten Karawang Tahun 2015
b. Diketahuinya hubungan umur dengan kejadian lesi pra kanker leher rahim melaluai
deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten Karawang
Tahun 2015

c. Diketahuinya hubungan Pendidikan dengan kejadian lesi pra kanker leher rahim
melaluai deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten
Karawang Tahun 2015
d. Diketahuinya hubungan Status Sosial Ekonomi dengan kejadian lesi pra kanker leher
rahim melaluai deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Karawang Tahun 2015
e. Diketahuinya hubungan umur pertama kali menikah dengan kejadian lesi pra kanker
leher rahim melaluai deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Karawang Tahun 2015
f. Diketahuinya hubungan jumlah pernikahan dengan kejadian lesi pra kanker leher
rahim melaluai deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Karawang Tahun 2015
g. Diketahuinya hubungan paritas dengan kejadian lesi pra kanker leher rahim melaluai
deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok Kabupaten Karawang
Tahun 2015
h. Diketahuinya hubungan infeksi penyakit kelamin dengan kejadian lesi pra kanker
leher rahim melaluai deteksi dini pemeriksaan IVA di Puskesmas Rengasdengklok
Kabupaten Karawang Tahun 2015.

D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Lahan Praktek
Sebagai masukan untuk evaluasi hasil kegiatan dan perencanaan meningkatkan
pelayanan dan penaggulangan kanker leher rahim
2. Bagi Peneliti
Menambah wawasan dan pengalalam dalam penelitian khususnya masalah lesi
pra kanker leher rahim dan pemeriksaan IVA

E. Ruang Lingkup
Penelitian ini dibatasi pada variabel yang diteliti saja yaitu meliputi variabel
independen: umur, pendidikan, status sosial ekonomi, umur pertama kali menikah, jumlah
pernikahan, paritas, dan infeksi penyakit kelamin serta variabel dependen: pra kanker

leher rahim pada pasien yang berkunjung ke Poli Klinik IVA di puskesmas
Rengasdengklok Kabupaten Karawang tahun 2015.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
1. Lesi Pra Kanker Leher Rahim/Servik
Yang dimaksud dengan lesi pra-kanker servik (Displasia Servik) adalah ketika
hasil test Pap Smear menunjukkan adanya sel-sel abnormal pada permukaan leher
rahim (servik) di bawah mikroskop. Walaupun memerlukan waktu lebih dari 10 tahun
sebelum berubah menjadi kanker servik, hal ini perlu diwaspadai. Karena bila
displasia servik ditangani secara dini, dapat mencegah terjadinya kanker servik di
kemudian hari. Kondisi pra-kanker servik (displasia servik) ini digambarkan dengan
menggunakan istilah Squamous Intraepithelial Lesion (SIL), yang biasanya dinilai
sebagai berikut:
a. Low-grade (LSIL)
b. High-grade (HSIL)
c. Mungkin kanker (ganas)
Bila hasil test IVA kurang baik, biasanya dokter akan menyarankan
dilakukannya tes HPV DNA ataupun biopsy untuk melihat tanda-tanda kanker servik.
Displasia yang terlihat pada biopsi leher rahim menggunakan istilah cervical
Intraepithelial neoplacia(CIN), dan dikelompokkan menjadi tiga kategori:
a. CIN I - displasia ringan
b. CIN II - moderat hingga displasia ditandai (marked displacia
c. CIN III - displasia berat hingga pra-kanker servik
Lesi pra-kanker leher rahim merupakan awal dari perubahan menuju karsinoma
leher rahim. Pada dasarnya faktor risiko lesi pra-kanker dan kanker leher rahim adalah
sama. Leher rahim secara alami melalui proses pertumbuhan sel abnormal akibat
saling menekan pada ke dua lapisan pada leher rahim. Dengan masuknya virus, portio
yang dalam keadaan erosi (metaplasia skuamosa) yang awalnya isiologik menjadi

berkembang kearah abnormal (displastik-diskariotik) melewati tingkatan CIN I,


karsinoma yang secara klasik dinyatakan dapat berkembang menjadi NIS II, dan
kemudian menjadi NIS III dan selanjutnya berkembang menjadi KIS/carsinoma leher
rahim. Konsep regresi yang spontan serta lesi yang persisten menunjukkan lesi prakanker tidak seluruhnya berkembang menjadi invasif, sebagian kasus antara 30-70%
dapat menjadi normal kembali sehingga diakui bahwa masih banyak faktor yang
berpengaruh (Andrijono, 2013).
Sel-sel pada permukaan serviks kadang tampak abnormal tetapi tidak ganas.
Para ilmuwan yakin bahwa beberapa perubahan abnormal pada sel-sel serviks
merupakan langkah awal dari serangkaian perubahan yang berjalan lambat, yang
beberapa tahun kemudian bisa menyebabkan kanker. Karena itu beberapa perubahan
abnormal merupakan keadaan prekanker yang bisa berubah menjadi kanker. Saat ini
telah digunakan istilah yang berbeda untuk perubahan abnormal pada sel-sel di
permukaan serviks, salah satu diantaranya adalah lesi skuamosa intraepitel (lesi
artinya kelainan jaringan, intraepitel artinya sel-sel yang abnormal hanya ditemukan
di lapisan permukaan). Secara histopatologi karsinoma serviks terdini dari 2 jenis,
yaitu: jenis karsinoma epidermoid (95%) dan jenis adenokar-sinoma (5%). Proses
perubahan sel kolumner endoserviks menjadi sel skuamosa ektoserviks terjadi secara
fisiologik pada setiap wanita yang disebut sebagai proses metaplasia. Karena adanya
faktor-faktor risiko yang bertindak sebagai ko-karsinogen, proses metaplasia fisiologis
ini dapat berubah menjadi proses displasia yang bersifat patologis. Adanya proses
displasia inilah yang dinamakan sebagai lesiprakanker atau disebut sebagai Cervical
Intraepithelial Neo-plasia (CIN) atau Neoplasia Intraepitel Serviks (NIS). Perubahan
pada sel-sel ini bisa dibagi ke dalam 2 kelompok:
a. Lesi tingkat rendah

Merupakan perubahan dini pada ukuran, bentuk dan jumlah sel yang
membentuk permukaan serviks. Beberapa lesi tingkat rendah menghilang dengan
sendirinya. Tetapi yang lainnya tumbuh menjadi lebih besar dan lebih abnormal,
membentuk lesi tingkat tinggi. Lesi tingkat rendah juga disebut displasia ringan
atau neoplasia intraepitel servikal 1 (NIS 1). Lesi tingkat rendah paling sering
ditemukan pada wanita yang berusia 25-35 tahun, tetapi juga bisa terjadi pada
semua kelompok umur.
b. Lesi tingkat tinggi : ditemukan sejumlah besar sel prekanker yang tampak sangat
berbeda dari sel yang normal. Perubahan prekanker ini hanya terjadi pada sel di
permukaan serviks. Selama berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun, sel-sel tersebut
tidak akan menjadi ganas dan tidak akan menyusup ke lapisan serviks yang lebih
dalam. Lesi tingkat tinggi juga disebut displasia menengah atau displasia berat,
NIS 2 atau 3, atau karsinoma in situ. Lesi tingkat tinggi paling sering ditemukan
pada wanita yang berusia 30-40 tahun. Jika sel-sel abnormal menyebar lebih dalam
ke dalam serviks atau ke jaringan maupun organ lainnya, maka keadaannya disebut
kanker serviks atau kanker serviks invasif. Kanker serviks paling sering ditemukan
pada usia diatas 40 tahun. Lesi prakanker serviks tersebut di atas dibagi menjadi :
1) CIN I : sesuai dengan displasia ringan.
2) CIN II :sesuai dengan displasia sedang.
3) CIN III : sesuai dengan displasia berat Sehingga perkembangan. kanker leher
rahim dapat digambarkan sebagai berikut : CIN I > CIN II > CIN III > CIS
> Ca invasif. CIS = Carcinoma Insitu (Admin, 2008).
Lamanya waktu yang diperlukan untuk perkembangan dari CIN I atau displasia
ringan sampai menjadi karsinoma insitu dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 2.1. Waktu yang Diperlukan oleh Penderita Displasia untuk Menjadi
Karsinoma Insitu
Tingkat Displasia

Waktu ( bulan )

Sangat ringan

82 ( 7 tahun )

Ringan

58 ( 5 tahun )

Sedang

38 ( 3 tahun )

Berat
12 ( 1 tahun )
(http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/1245/1221)

2. Penyebab Pra-Kanker Servik


Sebagian besar kasus displasia servik terjadi pada wanita usia 25 35 tahun,
meskipun dapat berkembang pada usia berapa pun. Hampir semua kasus displasia
servik atau kanker servik disebabkan oleh virus HPV yang ditularkan melalui
hubungan seksual. Hal-hal yang dapat meningkatkan resiko terjadinya displasia
servik:
a. Wanita yang aktif secara seksual sebelum usia 18 tahun
b. Melahirkan sebelum usia 16 tahun
c. Memiliki banyak pasangan seksual
d. Menggunakan obat-obat yang menekan daya tahan tubuh (immunosuppressant)
e. Merokok (DepKesRI, 2007).
3. Pengobatan Pra-Kanker Servik
Tanpa pengobatan, 30 - 50% kasus displasia servik parah dapat menjadi kanker
servik invasif. Resiko kanker servik lebih rendah untuk displasia ringan. Pengobatan
tergantung

pada

tingkat

displasia.

Displasia servik ringan (LSIL atau CIN I) mungkin akan hilang dengan sendirinya.
Anda hanya perlu mengulang test Pap smear setiap 3 - 6 bulan. Jika berulang selama 2
tahun, pengobatan biasanya dianjurkan.
Pengobatan untuk displasia servik sedang sampai parah atau displasia servik ringan
yang berulang bisa meliputi:
a. Cryosurgery
b. Electrocauterization
c. Penguapan laser untuk menghancurkan jaringan abnormal

d. LEEP prosedur menggunakan electrocauter untuk mengangkat jaringan abnormal


e. Operasi
untuk
mengangkat
jaringan
abnormal
(cone
biopsy)
Amat jarang
f. Histerektomi (operasi pengangkatan rahim) dilakukan.
Wanita dengan displasia servik harus konsisten melakukan follow-up, biasanya
setiap 3 sampai 6 bulan sesuai rekomendasi dokter (DepKes RI 2010).

4. Pencegahan Pra-Kanker Servik


Vaksinasi HPV dapat dipertimbangkan untuk mencegah terjadinya pra-kanker
servik. Gadis yang menerima vaksinasi HPV sebelum mereka menjadi aktif secara
seksual dapat menurunkan resiko mereka terkena kanker servik sebesar 70%. Selain
itu, untuk mencegah terjadinya kanker servik, sebaiknya:
a. Jangan merokok
b. Lakukan praktek monogamy
c. Gunakan kondom selama hubungan seksual
d. Tidak melakukan hubungan seksual, hingga setidaknya berusia 18 tahun atau lebih
(DepKes RI 2007).
Di Indonesia seharusnya sudah melakukan telaah danupaya penyusunan
program pencegahan kanker serviks dengan melibatkan para ahli dari profesi terkait
dan bekerja sama dengan pemerintah pusat maupun daerah sehingga angka kejadian
kanker serviks di Indonesia yang masih tinggi dapat diturunkan. Upaya ini tentu saja
memerlukan berbagai masukan baik dari segi analisis biaya, analisis sosial,
demografi, budaya, disamping berbagai pertimbangan lain terkait masalah teknis dan
medis. Secara langsung setiap dokter khususnya dokter umum harus didukung untuk
segera mulai melakukan edukasi dan pemberian pelayanan pencegahan kanker
serviks, baik pencegahan primer dengan vaksinasi HPV maupun pencegahan sekunder
dengan tes Pap, tes IVA, maupun tes HPV. Para dokter harus mempunyai akses untuk
menambah pengetahuan terkait berbagai upaya pencegahan kanker serviks termasuk
masalah teknis medisnya, sehingga bila diperlukan dokter akan mampu menjelaskan
berbagai hal terkait pencegahan kanker serviks dengan tepat dan dengan bahasa yang

mudah dimengerti oleh masyarakat awam termasuk bila pada kondisi tertentu harus
melakukan

rujukan

terkait

temuan

yang

didapatkannya.http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile/
1245/1221.

5. Kanker Leher Rahim


Kanker leher rahim adalah keganasan yang terjadi pada rahim (serviks) yang
merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama
(DepKes RI 2007).
Kanker leher rahim adalah tumor ganas pada leher rahim (serviks). Leher rahim
merupakan bagian terendah dari rahim yang menonjol ke puncak liang senggama.
Biasanya terjadi setelah menopause, dan paling sering menyerang wanita pada umur
50-60 yahun. Kanker dapat menyebar (metastase) secara lokal maupun keberbagai
tubuh misalnya canalis servikalis, tuba falopii, ovarium, daerah sekitar rahim, system
getah bening, atau ke bagian tubuh lain melalui pembuluh darah (Nuranna, 2007).
6. Penyebab Kanker Leher Rahim
Penyebab kanker leher rahim adalah Human Papilloma Virus (HPV) atau Virus
Papiloma Manusia, ini ditemukan pada 95% kasus kanker serviks. Ada 2 golongan
HPV yaitu HPV risiko tinggi atau disebut HPV onkogenik yaitu utamanya tipe 16, 18,
dan 31, 33,45, 52, 58, sedangkan HPV risiko rendah atau HPV non-onkogenikyaitu
tipe 6,11,32 dsb (Diananda, 2009).
Penyebab utama kanker leher rahim adalah infeksi Human Papilloma Virus
(HPV). Saat ini terdapat 138 jenis HPV yang sudah dapat teridentifikasi yang 40 di
antaranya dapat ditularkan lewat hubungan seksual. Beberapa tipe HPV virus risiko
rendah jarang menimbulkan kanker, sedangkan tipe yang lain bersifat virus risiko
tinggi. Baik tipe risiko tinggi maupun tipe risiko rendah dapat menyebabkan

pertumbuhan abnormal pada sel tetapi pada umumnya hanya HPV tipe risiko tinggi
yang dapat memicu kanker. Virus HPV risiko tinggi yang dapat ditularkan melalui
hubungan seksual adalah tipe 7,16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 69,
dan mungkin masih terdapat beberapa tipe yang lain. Beberapa penelitian
mengemukakan bahwa lebih dari 90% kanker leher rahim disebabkan oleh tipe 16 dan
18. Dari kedua tipe ini HPV 16 sendiri menyebabkan lebih dari 50% kanker leher
rahim. Seseorang yang sudah terkena infeksi HPV 16 memiliki kemungkinan terkena
kanker leher rahim sebesar 5% (Muhtaram, 2013).
7. Penyebaran Kanker Leher Rahim
Menurut Diananda (2007), proses penyebaran kanker leher rahim ada tiga
macam yaitu:
a. Melalui pembuluh limfe (limfogen) menuju ke kelenjar getah bening.
b. Melalui pembuluh darah (hematogen).
c. Penyebaran langsung ke parametrium, korpus uterus, vagina, kandung
kencing, dan rektum.
8. Gejala dan Tanda Kanker Leher Rahim
a. Gejala
1) Pada tahapan pra kanker, sering tidak menimbulkan gejala. Bila ada gejala
biasanya berupa keputihan yang tidak khas, atau perdarahan setitik yang hilang
dengan sendirinya
2) Pada selanjutnay (kanker) dapat timbul gejala berupa:
a) Keputihan atau keluar cairan encer dari vagina yang biasanya berbau
b) Perdarahan diluar siklus haid
c) Perdarahan sesudah melakukan senggama
d) Timbul kembali haid setelah mati haid (menopause)
e) Nyeri daerah panggul
f) Ganguan buang air kecil (disuria, hematuria sampai dengan anuria)
b. Tanda
1) Pada pemeriksaan umum
2) Keadaan umum : status gizi, anemia
3) Pembesaran tumor pada kelenjar getah bening, terutama didaerah
supraklavikula
4) Pada stadium lanjut dapat dijumpai oedema di tungkai
5) Terdapat massa tumor suprasympisis karena invasi tumor ke vesika urinaria

Pada pemeriksaan ginekologis, pada inspeksi dengan bantuan alat inspekulum,


akan tampak proses di leher rahim/porsio/serviks yang umumnya menonjol seperti
kembang kol, yang rapuh dan mudah berdarah dan kadang-kadang berbau busuk.
Untuk memastikan bahwa kelainan di leher rahim adalah kanker, harus dilakukan
pembuktian secara histopatologi (biopsi) (DepKes RI 2007).

9. Perubahan Fisiologis Epitel Leher Rahim


Epitel leher rahim terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel skuamosa dan epitel kolumnar.
Daerah pertemuan kedua jenis epitel disebut sambungan skuamosa kolumnar (SSK)
dan letaknya dipengaruhi oleh factor hormonal yang terkait dengan umur, aktivitas
seksual dan paritas. Pada perempuan berusia sangat muda dan menopause, SSK
terletak didalam ostium. Sedangkan pada perempuan usia reproduksi/seksual aktif,
SSK terletak diostium eksternum karena trauma atau retraksi otot oleh prostaglandin.
Pada masa kehidupan perempuan terjadi perubahan fisiologis pada epitel leher
rahim dimana epitel kolumner akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi
epitel skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
dari proses metaplasia ini maka secara morfologis terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan
SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumner. Daerah di antara kedua SSK disebut daerah transformasi (DepKes RI
2007).

10. Perjalanan Penyakit


Proses terjadinya kanker leher rahim sangat erat hubungannya dengan proses
metaplasma. Masuknya mutagen atau bahan-bahan yang dapat mengubah perangai sel

secara genetic pada saat fase aktif metaplasia dapat berubah menjadi sel yang
berpotensi ganas. Perubahan ini biasanya terjadi di daerah transformasi.
Sel yang mengalami mutasi disebut sel displastik dan kelainan epitelnya disebut
dysplasia (Neolpasia Interaepitel Serviks/NIS). Dimulai dari dysplasia ringan, sedang,
berat dan karsinoma in-situ dan kemudian berkembang menjadi karsinoma infasif.
Lesi dysplasia dikenal juga sebagai Lesi Pra Kanker. Perbedaan derajat dysplasia
didasarkan atas tebal epitel yang mengalami kelainan dan berat ringannya kelainan
sel. Sedangkan karsinoma in-situ adalah gangguan mutasi epitel skuamosa yang
menyerupai karsinoma invasive tetapi membrana basalisnya masih utuh.
Pada lesi pra-kanker derajat ringan dapat mengalami regresi spontan dan
menjadi normal kembali. Tetapi pada lesi derajat sedang dan berat lebih berpotensi
berubah menjadi kanker invasive (DepKes RI 2007).

11. Faktor Risiko


Ada berbagai faktor yang meningkatkan risiko terkena kanker leher rahim
adalah:
a. Menikah atau memulai aktivitas seksual pada usia muda (<18 tahun)
b. Berganti-ganti pasangan seksual
c. Berhubungan seksual dengan laki-laki yang sering berganti-ganti pasangan
d. Riwayat infeksi di daerah kelamin atau radang panggul
e. Perempuan yang banyak melahirkan anak
f. Perempuan perokok mempunyai risiko dua setengah kali lebih besar untuk
menderita kanker leher rahim dibanding dengan yang tidak merokok
g. Perempuan yang menjadi perokok pasif (yang tinggal bersama keluarga yang
mempunyai kebiasaan merokok) risikonya satu koma empat kali dibanding
perempuan yang hidup dengan udara bebas
h. Tidak pernah melakukan pemeriksaan skrining (tes pap atau inspeksi viasual denag
asam asetat) (DepKes RI 2007).
Menurut Novel (2010), Kanker serviks diakibatkan oleh infeksi HPV, namun
ada banyak faktor yang menyebabkan infeksi HPV tersebut lebih cepat dan
menimbulkan kanker serviks. Faktor-faktor tersebut adalah:
a. Melakukan aktivitas seksual (oral-genital, mekanik-genital, genital-genital)

b.
c.
d.
e.
f.

Perempuan produktif dan aktif melakukan hubungan seksual


Sering berganti-ganti pasangan atau memiliki lebih dari satu pasangan seksual
Aktifitas seksual melalui anal
Pasangan yang pernah berhubungan dengan penderita kanker serviks
Biseksual

12. Pemeriksaan Penunjang


Diperlukan untuk menegakan stadium adalah:
a. Laboratorium darah dan urin (evaluasi darah tepi, fungsi ginjal, lever dsb)
b. Imejing: Foto toraks, BNO-IVP, CT-scan abdominopelvik (jik memmungkinkan)
c. Endoskopi: sistokopi, rektoskopi
d. Kolposkopi jika diperlukan (DepKes RI 2007).

13. Staging/Stadium
Menurut DepKes RI (2007), stadium kanker leher rahim menurut FIGO
International Federation of Gynecology and Obstetrics) 2000:
a. Stadium 1:
Karsinoma masih terbata di serviks (penyebaran ke korpus

uteri

diabaikan)
b. Stadium 1 a:
Invasi kanker ke stroma hanya dapat dikenali secara mikroskopik, lesi yang
dapat dilihat secara langsung walau
dikelompokan sebagai

dengan invasi yang sangat

superfisial

stadium 1b. Kedalaman invasi ke stroma tidak lebih

dari 5 mm dan lebarnya lesi tidak lebih dari 7 mm


c. Stadium 1 a1 :
Invasi ke stroma dengan kedalaman tidak lebih dari 3 mm dan lebar tidak lebih
dari 7 mm
d. Stadium 1 a2 :
Invasi ke stroma dengan kedalaman lebih dari 3 mm tapi kurang dari 5 mm
dan lebar tidak lebih dari 7 mm
e. Stadium 1b :
Lesi terbatas di serviks atau secara mikroskopis lebih dari stadium1a
f. Stadium 1 b1 :
Besar lesi secara klinis tidak lebih dari 4 cm
g. Stadium 1 b2 :
Besar lesi secara klinis lebih dari 4 cm
h. Stadium II :

Telah melibatkan vagina, tetapi belum sampai 1/3 bawah atau infiltrasi ke
parametrium belum mencapai dinding panggul
i. Stadium II a :
Telah melibatkan vagina tapi belum melibatkan parametrium
j. Stadium II b :
Infiltrasi ke parametrium belum mencapai dinding panggul
k. Stadium III :
Telah melibatkan 1/3 bawah vagina atau adanya perluasan sampai dinding
panggul. Kasus dengan hidronefrosis atau gangguan fungsi ginjal dimasukan dalam
stadium ini, kecuali kelainan ginjal dapat dibuktikan oleh sebab lain
l. Stadium III a :
Keterlibatan 1/3 bawah vagina dan infiltrasi parametrium belum mencapai
dinding panggul
m. Stadium III b :
Perluasan sampai dinding panggul atau adanya hidronefrosis atau gangguan
fungsi ginjal
n. Stadium IV :
Perluasan keluar organ reproduksi
o. Stadium IV b :
Metastase jauh atau telah keluar dari rongga panggul
14. Penatalaksanaan
a. Lesi pra kanker
Pada displasi ringan sebagian lesi dapat sembuh sendiri atau regresi spontan,
sedangkan untuk displasia sedang dan berat dapat dilakukan pengobatan sebagai
berikut:
1) Dibekukan/krioterapi
2) Terapi eksisi : Loop Electrosurgical Excision Procedure (LEEP), Large Loop
Excisio of the Transformation Zone (LLETZ)
3) Biopsi kerucut / konisasi
4) Histerektomi, dapat dilakukan pada NIS III bila pasien letah mempunyai cukup
anak
b. Kanker
Penatalaksanaan kenker leher rahim dipilih berdasarkan stadium penyakit
yaitu:
1) Stadium 0 (karsinoma in-situ) :

a) Operasi yaitu:
(1) Konisasi jika pada usia muda (masih ingin punya anak)
(2) Histerektomi simpel
(3) Stadium Ia
: Histerektomi simple atau radiasi
(4) Stadium Ib-IIa : Histerektomi radikal atau radiasi
(5) Stadium IIb-IIIb : Radiasi atau kemoradiasi
(6) Stadium IV
: Radiasi paliatif atau perawatan paliatif
b) Rehabilitasi fisik lilakukan pada:
(1) Akibat pengobatan misalnya :
Pasca radiasi histerektomi dapat terjadi inkontinensia urin yang
mmerlukan bledder retraining untuk mengembalikan fungsi berkemih
(2) Akibat penyebaran penyakit :
(a) Terjadinya limfedema pada ekstermitas bawah menimbulkan masakh
bengkak, gangguanngerak dan nyeri yang perlu diketahui sejak awal
untuk mendapatkan penanganan reb=habilitasi medic yang adekuat
(b) Immobilisasi atau tirah baring lama lebih lebihb dari satu minggu
menimbulkan berbagai dampak pada system tubuh di antaranya
gangguan musculoskeletal dan kardiorespirasi yang perlu dieliminir
untuk memperoleh fungsi optimal
(c) Metastasis kankervpada otak, medula spinalis, paru dan tulang perlu
penanganan rehabilatasi medic yang cermat agar memperoleh kondisi
optimal dan perbaikan kualitas hidup (DepKes RI 2007).

15. Deteksi Dini


Menurut DepKes RI (2007), deteksi dini kanker serviks ditujukan untuk
menemukan lesi pra-kanker dan kanker stadium awal. Cara melakukan deteksi dini
tersebut adalah:
a. Inspeksi Visual dengan Asam Asetat (IVA):
1) Dapat dilakukan pada sarana kesehatan yang sederhana. Dilakukan oleh dokter,
perawat, dan bidan yang telah terlatih
2) Pemeriksa mangamati secara inspekulo serviks yang telah dipulas dengan asam
asetat /asam cuka (3-5%)
3) Pada lesi pra-kanker akan menampilkan warna bercak putih yang disebut aceto
white epithelium
b. Pemeriksaan Sitologi (Papanicolaou/tes Pap):

1) Tes Pap merupakan suatu prosedur pemeriksaan sederhana, yang dilakukan


dengan tujuan untuk menemukan perubahan morfologis dari sel-sel epitel leher
rahim yang ditemukan pada keadaan pra-kanker dan kanker leher rahim
2) Merupakan metode pengambilan dan pemeriksaan sel leher rahim, melalui
pemeriksaan lendir leher rahim, tidak membutuhkan waktu lama dan tidak
menimbulkan rasa sakit. Dilakukan oleh dokter, perawat dan bidan yang sudah
terlatih
3) Sebaiknya dilakukan pada hari ke-10 hingga ke-20dari siklus haid
4) Terdapat beberapa tehnik/prosedur pemeriksaan tespap yang biasa dikerjakan
yaitu:
a) Tes PAP konvensional : sediaan dibaca dengan mikroskup biasa
b) Thin Prep : dengan reagens khusus kemudian dibaca dengan mikroskup
c) Pap net : sediaan dibaca dengan computer
Tabel 2.2
Temuan IVA dan Tatalaksana
No
1

Temuan IVA
Normal

Penampakan
Licin
Merah muda
Bentuk porsio normal

Apitik

Servisitis (inflamasi Didiamkan


hiperemis) Banyak

Tatalaksana

atau di beri

fluor
Ektropion
Polip atau ada cervical

antibiotik

wart
3

Abnormal
Plak putih
(indikasi lesi pra-kanker seviks) Epitel aceto white
(+)

IVA

Kanker cerviks

See and Treat

(bercak putih)

krioterapi

Pertumbuhan seperti
bungan kol
Pertumbuhan
berdarah

(DepKes RI, 2007)


Tabel 2.3

dengan

mudah

Rujuk

Perbandingan antara Pemeriksaan dengan cara Tes PAP dan IVA


Uraian/ Metode

Tes PAP

IVA

Skrining
Petugas

Sample takers (Bidan / Perawat Sample takers (Bidan /

Kesehatan

/ dokter umum/spesialis)

Perawat/ dokter
umum/spesialis)

Skrinner/Sitologist/Patologis
70% - 80%
Sensitivitas

65% - 96%
90% - 95%

Spesifisitas

54% - 98%
1 hari 1 bulan

Hasil

Langsung
Spekulum

Sarana

Lampu sorot

Spekulum

Kaca benda

Lampu sorot

Laboratorium

Asam asetat

Rp 15.000; - Rp 100.000;
Biaya

Gratis - Rp 5.000;
Ada (dapat dinilai ulang)

Dokumentasi
(DepKes RI, 2007)

Tidak ada

16. Pemeriksaan IVA (Inspeksi Visual dengan Asam Asetat)


Pemeriksaa IVA merupakan pemeriksaan skrining alternative dari pap smear
karena biayanya murah, praktis, sangat mudah untuk dilaksanakan dengan peralatan

sederhana serta dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan selain dokter ginekologi. Pada
pemeriksaan ini, pemeriksa melihat serviks yang telah di beri asam asetat 3-5% secara
inspekulo.
Pemberian asam asetat ini akan mempengaruhi epitel abnormal dimana terjadi
peningkatan osmolaritas cairan ekstraseluler. Cairan ekterseluler yang bersifat
hipertonik ini akan menarik cairan dari intraseluler sehingga membrane akan
kolapsdan jarak sel akan semakn dekat. Akibatnya ababila permukaan epitel mendapat
sinar, maka sinar tersebut tidak akan diteruskan ke stroma, namun akan dipentulkan
keluar dan permukaan epitel abnormal akan berwarna putih.
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga
setaelah pengusapan asam asetat, tetepi dengan intensitas yang kurang akan cepat
menghilang. Hal ini membedakannya dengan proses pra-kanker dimanan epitel putih
lebih tajam dan lebih lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam
sehingga terjadi koagolasi yang lebih banyak
Bila makin putih dan makin jelas, maka makin tinggi derajat kalainan
histologinya. Demikian pula makin tajam batasnya makin tinggi derajat jaringannya.
Dibutuhkan satu sampai dua menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada
epitel. Serviks yang diberi larutan asam asetat 5% akan merespon lebih cepat dari
pada larutan asam asetat yang 3%. Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga
dengan pemberian asam asetat akan didapatkan hasil gambaran serviks yang normal
(merah homogen) dan bercak putih (displasia). Luka yang tampak sebelum aplikasi
larutan asam asetat bukan merupakan epitel putih, namun dikatakan suatu leukoplasia
(Novel, 2010).
17. Kategori Pemeriksaan IVA
Menurut Widiyanto (2010), ada beberapa kategori yang dapat dipergunakan
antara lain:
a. IVA negatif : Normal

b. IVA radang : Serviks dengan radang (servisitis)

atau

kelainan jinak lainnya

plip serviks
c. IVA positif : Ditemukan bercak putih (aceto white epithelium) Kelompok ini
yang menjadi sasarna temuan skrining kanker serviks dengan metode IVA
karena temuan ini mengarah pada diagnosis serviks Pra - Kanker (Displasia
ringan sedang / kanker serviks in - situ). Hasil IVA positif menunjukan adanya
lesi pra kanker yang bila tidak diobati kemungkinan akan menjadi kanker dalam
waktu 3-17 tahun yang akan datang

d. IVA kanker serviks:


Pada tahap ini pun untuk upaya penurunan temuan stadium kanker serviks
masih akan bermanfaat bagi penurunan kematian akibat kanker serviks bila
ditemukan stadium invasive dini (stadium IB-IIA)
18. Kebijakan di Indonesia
Pengendalian kanker leher rahim di Indonesia berada di bawah Kementerian
Kesehatan RI yaitu Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular (PPTM) Sub
Direktorat Penyakit Kanker berdasarkan Kepmenkes RI Nomor 1575 tahun 2005
tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan. Upaya pencegahan dan
pengendalian penyakit kanker leherrahim yang secara umum bertujuan untuk
menurunkan

angka

kesakitan

dan

kematian

akibat

kanker

leher

rahim,

memperpanjang umur harapan hidup dan meningkatkan kualitas hidup penderita


(Depkes, 2007).
Pencegahan dan pengendalian terhadap penyakit PTM telah diatur di dalam
Undang-Undang no 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Di dalam Pasal 161 dikatakan

bahwa manajemen pelayanan kesehatan baik berupa promotif, preventif, kuratif dan
rehabilitative dititik beratkan pada deteksi dini dan pengobatan penyakit tidak
menular. Rencana strategis Kementerian Kesehatan pada tahun 2010-2014
menargetkan pencapaian 100% terhadap deteksi dini di dalam pencegahan dan
penanggulangan penyakit tidak menular (KemenKes, 2010).
Secara tekhnis, peraturan yang digunakan mengenai pelaksanaan deteksi dini
kanker leher rahim adalah Kepmenkes Nomor 430 tahun 2007 tentang Pedoman
Pengendalian Penyakit Kanker yang menjabarkan hal-hal yang berhubungan dengan
nilai-nilai, tujuan, kebijakan, strategi, pokok-pokok kegiatan dan pengorganisasian
dalam pengendalian penyakit kanker termasuk kanker leher rahim. Selanjutnya
digunakan juga Kepmenkes Nomor 769 tahun 2010 tentang Pedoman Tekhnis
Pengendalian Kanker Payudara dan Kanker leher rahim yang ditujukan kepada
pengelola program Pengendalian PTM Pusat, Daerah, dan Unit Pelaksana Tekhnis.

B. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Lesi Pra Kanker Leher Rahim/Serviks


1. Umur
Usia merupakan lamanya hidup dalam hitungan waktu (tahun). Usia
mempengaruhi terhadap daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah
usia akan semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya sehingga
pengetahuan yang diperolehnya semakin membaik. Pada usia madya, individu akan
lebih berperan aktif dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak
melakukan persiapan demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain
itu orang usia madya akan lebih banyak menggunakan banyak waktu untuk membaca.
Secara teoritis pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia atau hasil tahu
seseorang terhadap obyek melalui indera yang dimilikinya antara lain mata, hidung,
telinga dan sebagainya (Notoatmodjo, 2010).

Kanker serviks sering ditemukan pada wanita umur 30-60 tahun dengan insiden
terbanyak pada umu 40-50 tahun, dan akan menurun drastis sesudah berumur 60 tahun.
Penderita kanker serviks rata-rata dijumpai pada usia 45 tahun dan dalam 1000 per
100.000 dari kanker intra epitelia dijumpai pada usia 30-45 tahun. Periode laten dan
fase pra invasif untuk invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita
berusia <35 tahun menunjukkan kanker serviks yang invasifpada saat didiagnosa.
Umumnya insiden kanker serviks sangat rendah di bawah umur 20 tahun dan
sesudahnya menaik dengan cepat dan menetap pada usia 50 tahun (Depkes RI, 2010).
Kanker serviks (lesi pra kanker) biasanya terjadi pada wanita yang berumur 50
tahun tetapi bukti statistik menunjukkan bahwa kanker serviks dapat juga menyerang
wanita yang berumur antara 20-30 tahun sekitar 50%. Usia wanita usia subur dengan
risiko tinggi kanker leher rahim adalah yang berusia > 35 tahun. Hal ini dapat diartikan
bahwa yang mengalami kanker leher rahim paling banyak pada kategori usia > 35tahun,
yaitu sebanyak 20 responden (60,6%) (Depkes RI, 2010).
Umur Insidens kanker serviks meningkat sejak usia 25-34 tahun dan
menunjukkan puncaknya pada usia 35-44 tahun di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional
Dr. Ciptomangunkusumo, dan 45-54 tahun di Indonesia (Wiknjosastro,2008).
Hasil penelitian Dewi Azahra Maharani di RSUD Dr. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung tahun 2010 diperoleh bahwa kejadian lesi pra kanker (kanker servik) terdapat
91 kasus (36,11%), umur responden sebagian besar dengan umur < 35 tahun (67,06%)
dengan nilai p < 0,05.
Sedangkan hasil penelitian lain oleh Wahyuningsih (2014), menunjukkan
responden yang mengalami lesi prakanker serviks pada perempuan yang berusia 35
tahun beresiko 5,86 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding
mereka yang berusia < 35 tahun. Uji statistik menunjukkan bahwa ada hubungan yang

signifikan antara usia responden dengan kejadian lesi prakanker serviks (p< 0,05)
(Nisrina, 2015).

2. Pendidikan
Pendidikan

adalah

suatu

kegiatan

atau

proses

pembelajaran

untuk

mengembangkan atau meningkatkan kemampuan tertentu sehingga sasaran pendidikan


itu dapat berdiri sendiri. Tingkat pendidikan turut pula menentukan mudah tidaknya
seseorang menyerap dan memahami pengetahuan yang mereka peroleh (Hendra, 2008).
Dengan tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah memperoleh informasi
tentang kesehatan dibandingkan dengan tingkat pendidikan rendah (Notoatmodjo,
2005).
Pendidikan diperlukan untuk mendapatkan informasi misalnya hal-hal yang
menunjang kesehatan sehingga meningkatkan kualitas hidup. Pendidikan dapat
mempengaruhi pengetahuan seseorang yang mendasari sikap dan perilaku seseorang
terutama dalam pemeliharaan kesehatan. Pendidikan seseorang mempengaruhi cara
pandang atau masyarakat yang pendidikannya tinggi akan lebih mudah menerima
informasi atau penyuluhan yang diberikan dan lebih cepat merubah sikapnya dalam
kehidupan sehari-hari (Nursalam 2009).
Menurut Andrijono (2010) faktor yang memengaruhi terjadinya kanker serviks
berkaitan dengan pendidikan yang rendah, karena tingkat pendidikan yang rendah
menyebabkan tidak mengetahui atau tidak mampu menghindarkan perilaku yang
berisiko menyebabkan kanker serviks.
Penelitian Surbakti (2004), di RSUD Surakarta menemukan pendidikan
mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian kanker serviks (lesi pra kanker)

dengan OR = 2,012 (95% CI=2,240-18,234), dengan kata lain yang berpendidikan


rendah merupakan faktor risiko yang memengaruhi terjadinya kanker serviks.

3. Status Sosial Ekonomi


Tingkat status ekonomi adalah salah satu tingkatan atau strata sosial dalam
masyarakat, yang bisa dinilai dari rata-rata jumlah penghasilan atau pendapatan serta
jumlah harta benda yang dimiliki oleh seseorang. Tingkat ekonomi jika dilihat dari
jumlah penghasilan atau pendapatan dibagi menjadi tiga yaitu tingkat penghasilan
tinggi jika penghasilannya rata-rata
jika rata-rata penghasilannya

Rp 5.000.000 perbulan dan rendah


< Rp. 5.000.000,- perbulan (Badan Pusat

Statistik, 2010).
Ekonomi adalah salah satu faktor yang sangat mempengaruhi perilaku
masyarakat, apabila penghasilan masyarakat cukup maka mereka akan memenuhi
kebutuhan dengan maksimal dan sebaliknya apabila penghasilan masyarakat kurang,
maka mereka akan mengabaikan kebutuhannya termasuk dalam mencari pelayanan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010).
Menurut Sarwono (2007), status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi
seseorang dalam masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan
seseorang atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu
seperti tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan
besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga.
Kartono (2005), menjelaskan bahwa status ekonomi adalah kedudukan seseorang
atau keluraga di masyarakat berdasarkan pendapatan per bulan.
Status ekonomi dapat dilihat dari pendapatan yang disesuaikan dengan
harga barang pokok.

Status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang atau suatu
masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti tingkat
pendidikan pendapatan dan sebagainya (Supariyanto, 2010).
Pengertian kemiskinan satu negara dengan negara lain berbeda. Pengertian
kemiskinan di Indonesia menurut Badan Pusat Statistik (BPS) adalah berdasarkan
kriteria besarannya pengeluaran per orang per hari sebagai bahan acuan.
Kriteria statistik BPS tersebut adalah:
a. Tidak Miskin: mereka yang pengeluaran per orang per bulan per kepala lebih dari
Rp 350.610.
b. Miskin: mereka yang pengeluaran per orang perbulan per kepala kurang dari Rp
233.740 (BPS, 2012).
Hasil penelitian Dewi Azahra Maharani di RSUD Dr. Abdul Moeloek Provinsi
Lampung tahun 2010 diperoleh bahwa kejadian kanker servik terdapat 91 kasus
(36,11%), status sosial ekonomi responden sebagian besar adalah yang status sosial
ekonominya rendah yaitu dengan nilai p < 0,05.

4. Umur Pertama Kali Menikah


Umur pertama kali menikah adalah umur seseorang pada saat melakukan ikatan
pernikahan pertama kali dengan seorang pasangannya. Umur pernikahan dihitung
berdasarkan tanggal, bulan dan tahun kelahiran sampai dengan pernikahan pertama
(Depkes RI, 2010).
Menikah pada usia 20 tahun dianggap terlalu muda untuk melakukan hubungan
seksual dan berisiko terkena kanker leher rahim 10-12 kali lebih besar daripada mereka
yang menikah pada usia > 20 tahun. Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang
wanita benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat dari sudah
menstruasi atau belum. Kematangan juga bergantung pada sel-sel mukosa yang terdapat
di selaput kulit bagian dalam rongga tubuh. Umumnya sel-sel mukosa baru matang
setelah wanita berusia 20 tahun ke atas. Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan

seks pada usia remaja, paling rawan bila dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks. Pada usia muda, sel-sel
mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan terhadap rangsangan
sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar. Termasuk zat-zat kimia yang
dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa berubah sifat menjadi kanker.
Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan tumbuh lagi. Dengan adanya
rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang mati, sehingga perubahannya
tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa berubah sifat menjadi sel kanker.
Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia di atas 20 tahun, dimana sel-sel
mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan (WHO, 2006).
Umur pertama kali menikah atau pertama kali melakukan hubungan seksual pada
zona transformasi sangat nyata dan aktif pada saat pubertas sehingga rentan terhadap
kemungkinan karsinogen seperti HPV. Faktor risiko utama dari infeksi HPV adalah
hubungan seksual termasuk diantaranya: hubungan seks dini, pasangan seksual yang
banyak, dan berganti-ganti pasangan. Infeksi HPV risiko tinggi paling sering terjadi
pada wanita muda, dengan prevalensi puncak setinggi 25-30% pada wanita usia di
bawah 25 tahun (WHO, 2006).
SCJ (Squamo Columnar Junction) merupakan tempat pertautan antara sel
skuamosa ektoserviks dengan sel kolumnar endoserviks. Bergantung pada usia dan
kondisi hormonal wanita, SCJ dapat berada disepertiga bawah saluran endoserviks atau
diluar pada ektoserviks. Pada batas saluran endoserviks yang alkalis, sel kolumnar yang
lunak dilindungi dari PH vagina yang asam serta dari gesekan alami akibat dorongan
penis terhadap serviks saat hubungan seksual. Migrasi sel kolumnar kebawah, yaitu ke
ektoserviks merupakan proses alami. Akibat prose alami tersebut posisi SCJ berubah.
Ektopion atau ektopi merupakan tampilan area merah epitel kolumnar disekitar ostium
uteri karena proses tadi. Keadaan tersebut merupakan kondisi fisiologis dan istilah erosi

yang sebelumnya digunakan harus dihindari kerena istilah tersebut menimbulkan


penekanan terhadap satu penggerogotan. Sel kolumnar pada SCJ yang berpindah pada
ektoserviks mulai hancur dilingkungan vagina yang asam. Sel skuamosa mulai tumbuh
dari bawah epitel kolumnar dan secara bertahap mengganti eptel tersebut. Pergantian
normal satu jenis sel oleh jenis lain disebut metaplasia skuamosa dan tempat terjadinya
penggantian tersebut disebut zona transformasi. SCJ dan zona transformasi merupakan
area yang sering menjadi tempat asal perubahan prakanker karena area ini sangat aktif
dan rentan (Andrews, 2010).
Menurut Aziz M.F (2006), umumnya insidens kanker leher rahim sangat rendah
di bawah umur 20 tahun dan sesudahnya menaik dengan cepat dan menetap pada usia
50 tahun.
Menurut Arifuddin (2000), kanker leher rahim terjadi pada wanita yang berumur
lebih 40 tahun tetapi bukti statistik menunjukkan kanker leher rahim dapat juga
menyerang wanita antara usia 20-30 tahun. Periode laten dan fase pra invasif untuk
menjadi invasif memakan waktu sekitar 10 tahun. Hanya 9% dari wanita < 35 tahun
menunjukkan Kanker leher rahim yang invasif pada saat didiagnosa. Epitel serviks
terdiri dari 2 jenis, yaitu epitel sku amosa dan epitel kolumnar; kedua epitel tersebut
dibatasi oleh sambungan skuamosa-kolumnar (SSK) yang Universitas Sumatera Utara
letaknya tergantung pada umur, aktivitas seksual dan paritas. Pada wanita dengan
aktivitas seksual tinggi, SSK terletak di ostium eksternum karena trauma atau retraksi
otot oleh prostaglandin. Pada masa kehidupan wanita terjadi perubahan fisiologis pada
epitel serviks, epitel kolumnar akan digantikan oleh epitel skuamosa yang diduga
berasal dari cadangan epitel kolumnar. Proses pergantian epitel kolumnar menjadi epitel
skuamosa disebut proses metaplasia dan terjadi akibat pengaruh pH vagina yang
rendah. Aktivitas metaplasia yang tinggi sering dijumpai pada masa pubertas. Akibat
proses metaplasia ini maka secara morfogenetik terdapat 2 SSK, yaitu SSK asli dan

SSK baru yang menjadi tempat pertemuan antara epitel skuamosa baru dengan epitel
kolumnar. Daerah di antara kedua SSK ini disebut daerah transformasi (Wiknjosastro,
2008).
Umumnya sel-sel mukosa baru matang setelah wanita berusia 20 tahun ke atas.
Jadi, seorang wanita yang menjalin hubungan seks pada usia remaja, paling rawan bila
dilakukan di bawah usia 16 tahun. Hal ini berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa
pada serviks. Pada usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya,
masih rentan terhadap rangsangan. Sehingga tidak siap menerima rangsangan dari luar.
Termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma. Karena masih rentan, sel-sel mukosa bisa
berubah sifat menjadi kanker. Sifat sel kanker selalu berubah setiap saat yaitu mati dan
tumbuh lagi. Dengan adanya rangsangan, sel bisa tumbuh lebih banyak dari sel yang
mati, sehingga perubahannya tidak seimbang lagi. Kelebihan sel ini akhirnya bisa
berubah sifat menjadi sel kanker. Lain halnya bila hubungan seks dilakukan pada usia
di atas 20 tahun, dimana sel-sel mukosa tidak lagi terlalu rentan terhadap perubahan
(Khasbiyah, 2004).
Menurut Novel (2010), pada usia remaja organ reproduksi wanita sedang aktif
berkembang. Ransangan penis atau sperma dapat memicu perubahan sifat sel menjadi
tidak normal, apalagi bila terjadi luka saat berhubungan seksual dan kemudian
terinfeksi virus HPV. Sel abnormal inilah yang berpotensi tinggi menyebabkan kanker
serviks.
Hasil penelitian Tri Wahyuningsih tentang kejadian lesi prakanker serviks melalui
deteksi dini dengan metode IVA di Puskesmas Kecamatan Jatinegara Tahun 2013
didapatkan dari 100 responden, 48% diantaranya positif

lesi prakanker serviks,

berhubungan seksual pertama kali pada umur >20 tahun, 94%. Hasil uji didapat bahwa
ada hubungan yang signifikan antara umur responden dengan kejadian lesi prakanker
serviks (p<0.05).

Berdasarkan hasil penelitian lain mengenai faktor resiko kanker leher rahim
menunjukkan bahwa responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia 20
tahun beresiko 0,009 kali untuk mengalami kejadian lesi prakanker serviks dibanding
kelompok responden yang berhubungan seksual pertama kali pada usia > 20 tahun.
Hasil uji statistik menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara usia pertama kali
berhubungan seksual dengan kejadian lesi prakanker serviks (p < 0,05) (Nisrina, 2015).
5. Jumlah Pernikahan/Pasangan Seksual
Jumlah perkawinan adalah jumlah atau banyaknya perkawinan yang pernah
dilakuk an oleh seorang ibu selama hidupnya, di mana risiko tinggi jika ibu tersebut
kawin lebih dari satu kali dan risiko rendah jika perkawinan dilakukan hanya satu kali.
Setiap berhubungan seksual dengan satu pasangan baru, kesempatan untuk terkena
penyakit akibat hubungan seksual semakin besar. Ibu dengan suami yang mempunyai
lebih dari satu atau banyak istri lebih berisiko kanker leher rahim (Bustan, 2007).
Berganti-ganti pasangan seksual adalah perilaku seksual berupa gonta-ganti
pasangan seksual akan meningkatkan penularan penyakit kelamin. Penyakit kelamin
yang ditularkan seperti infeksi Human Papiloma Virus (HPV) telah terbukti dapat
meningkatkan kanker serviks, penis dan vulva. Risiko kanker leher rahim 10 kali lipat
pada perempuan yang mempunyai pasangan seksual 6 orang atau lebih (Depkes RI,
2010).
Berdasarkan hasil analisis faktor risiko jumlah perkawinan terhadap kejadian lesi
pra kanker leher rahim diperoleh nilai OR 12,048 (CI 95%). Hal ini berarti ibu yang
jumlah perkawinan lebih dari satu kali berisiko menderita kanker leher rahim 12,048
kali lebih besar dibanding ibu yang jumlah perkawinan hanya satu kali dan memiliki
hubungan yang bermakna (Tira, 2008).

6. Paritas

Paritas adalah banyaknya kelahiran hidup yang dimiliki oleh wanita, ibu yang
menjalani 4 kali kehamilan dan persalinan akan lebih banyak menghadapi masalah
kesehatan yang serius. Tingkat paritas telah menarik banyak perhatian para peneliti
dalam kesehatan ibu dan anak. Dikatakan demikian karena terdapat kecenderungan
dengan kesehatan ibu yang berparitas rendah lebih baik dari pada yang berparitas
tinggi. Dan salah satu faktor penyebab terjadinya kanker leher rahim adalah paritas
lebih dari 4 (A.A. Gde Raka Arista Mas Putra, 2010).
Memiliki terlalu banyak anak (lebih 5 anak), pada saat melahirkan normal/alami
janin akan melewati serviks/mulut rahim dan akan menimbulkan trauma pada serviks
yang dapat memicu aktifitas sel kanker. Semakin sering janin melewati serviks semakin
tinggi risiko terjadinya kanker serviks/leher rahim (Myles, 2010).
Semakin tinggi risiko pada wanita dengan banyak anak, apalagi dengan jarak
persalinan yang terlalu pendek.Dari berbagai literatur yang ada, seorang perempuan
yang sering melahirkan (banyak anak) termasuk golongan risiko tinggi untuk terkena
penyakit 10kanker leher rahim. Dengan seringnya seorang ibu melahirkan, maka akan
berdampak pada seringnya terjadi perlukaan di organ reproduksinya yang akhirnya
dampak dari luka tersebut akan memudahkan timbulnya Human Papilloma Virus
(HPV) sebagai penyebab terjadinya penyakit kanker leher rahim. Walaupun usia
menarke atau menopause tidak mempengaruhi resiko kanker leher rahim, hamil di usia
muda, jumlah kehamilan atau manajemen persalinan yang tidak tepat dapat
meningkatkan resiko. Kanker leher rahim sering diasosiasikan dengan kehamilan
pertama pada usia muda, jumlah kehamilan yang banyak dan jarak kehamilan yang
pendek (Rasjidi I, 2008).
Kanker leher rahim lebih banyak sekali ditemukan pada ibu-ibu dengan banyak
anak atau yang banyakmelahirkan (Bustan, 2007).
Menurut penelitian Melva (2008) di RSUP H. Adam Malik menunjukkan bahwa
paritas (jumlah anak) mempunyai pengaruh dengan kejadian kanker leher rahim (RP=

1,473; CI= 95%). Artinya, paritas yang tinggi merupakan faktor risiko terhadap
kejadian kanker leher rahim. Hal ini dikuatkan lagi dengan penelitian Surbakti (2004)
yang mengatakan bahwa faktor risiko jumlah anak mempunyai pengaruh terhadap
kejadian lesi pra kanker leher rahim (OR=4,375; CI 95%).

7. Riwayat Infeksi Menular Seksual (IMS)


Infeksi Menular Seksual (IMS), adalah infeksi yang ditularkan melalui hubungan
seksual, walaupun tidak ada gejala yang timbul di alat kelamin. Infeksi menular
seksual akan lebih berisiko bila melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti
pasangan baik melalui vagina, oral maupun anal. IMS perlu mendapat perhatian karena
dapat menyebabkan infeksi alat reproduksi yang serius. Bila tidak diobati secara tepat,
infeksi dapat menjalar dan menyebabkan penderitaan, sakit berkepanjangan,
kemandulan dan bahkan kematian. Untuk remaja perempuan, risiko untuk terkena IMS
lebih besar dari pada laki-laki sebab alat reproduksinya lebih rentan. Seringkali
berakibat lebih parah karena gejala awal tidak segera dikenali, sedangkan penyakit
menjadi lebih parah (Myles, 2010).
Infeksi saluran reproduksi (ISR), adalah infeksi di alat kelamin, ditularkan tanpa
hubungan seksual, misalnya infeksi yang diakibatkan kesalahan dalam prosedurmedis.
ISR

yang

ditularkan

tidak

melalui

hubungan

seksual

disebabkan

overgrowth/pertumbuhan yang luar biasa kuman/jamur dalam vagina yang a-patogen


(basil doderlien, stafilokokus, streptokokus, jamur kandida) menjadi ganas/patogen
disamping disebabkan alergi (pembalut, cairan pembersih vagina) atau karena
pemakaian kontrasepsi dalam rahim/IUD pada pasangan usia subur (Myles, 2010).

Secara psikologi dan fisik, wanita memiliki perbedaan dengan kaum pria. Kaum
wanita lebih memiliki sensitifitas baik secara spikologis maupun dari kondisi fisiknya.
Oleh karena itu ada beberapa tubuh wanita yang memerlukan penanganan khusus agar
tetap dalam kondisi sehat. Salah satu bagian yang sangat sensitif tersebut terlatak pada
bagian kelamin wanita. Hal ini karena bagian kelamin wanita memiliki struktur yang
cenderung terbuka, akibatnya ancaman risiko terhadap masuknya kuman atau virus
yang membahayakan lebih besar dari pada ancaman yang menimpa kaum pria. Riwayat
penyakit kelamin seperti kutil genitalia. Wanita yang terkena penyakit akibat hubungan
seksual berisiko terkena virus HPV, karena virus HPV diduga sebagai penyebab utama
terjadinya kanker leher rahim sehingga wanita yang mempunyai riwayat penyakit
kelamin berisiko terkena kanker leher rahim (Myles, 2010).
Secara umum munculnya beberapa masalah yang berhubungan dengan bagian
kelamin wanita pada dasarnya merupakan indikasi masalah hormonal. Namun bisa juga
hal ini disebabkan proses hubungan seksual yang kurang tepat. Hal inilah yang selama
ini belum banyak dilakukan masyarakat mengingat sebagian besar kaum perempuan di
Indonesia masih merasa malu untuk datang ke dokter spesialis kulit dan kelamin.
Sebagian yang rentan ada beberapa masalah yang kerap muncul pada bagian kelamin
wanita antara lain: HPV (Human Papiloma Virus), PID (Pelvic Inflamatory Desiase),
BV (Bacterial Viginosis) dan penyakit herpes tipe-2 semua masalah tersebut akan
berisiko terhadap terjadinya lesi pra kanker leher rahim (Depkes RI, 2010).
Dari penelitian serupa oleh Dirka tahun 2012 pada ibu rumah tangga di Surakarta
menunjukkan hubungan untuk riwayat IMS yaitu Gonorrhoe

= 0.299, CI 95% =

0.236-71.357 dan RR = 4.10, candidiasis = 0.160, CI 95% = 0.236-71.357 dan RR =


6.29, bacterial vaginosi = 0.117, CI 95%

= 0.413-136.271 dan RR = 7.50. Dalam hal

ini dinyatakan bahwa ibu rumah tangga yang pernah menderita IMS memiliki
hubungan terhadap kejadian lesi pra-kanker leher rahim. Dalam upaya untuk

menyelidiki hubungan antara bacterial vaginosis menyatakan bahwa sell clue yang
menandakan adanya vaginosis bakteri pada 10% hasil Pap smear dengan semua kasus
CIN, lebih umum terjadi pada wanita dengan vaginosis bakteri dengan nilai p = 0,001.

Anda mungkin juga menyukai