Anda di halaman 1dari 20

PAPER

(INDUSTRIAL MICROBIOLOGY)
INDUSTRIAL PRODUCTION OF OMEGA-3 FATTY ACID
FROM MICROALGAE

By:
R. Amilia Destryana
NIM. 106100112141007

AGROINDUSTRIAL BIOTECHNOLOGY
AGROCULTURAL PRODUCT TECHNOLOGY
PROGRAM MAGISTER (Double Degree)
AGRICULTURAL TECHNOLOGY
UNIVERSITY OF BRAWIJAYA
2011

1. POLYUNSATURATED FATTY ACIDS


Asam lemak omega-3 merupakan golongan asam lemak tak jenuh ganda
(polyunsaturated fatty acid/ PUFA) yang memiliki ikatan rangkap pada rantai karbon
nomor 3 dihitung dari ujung gugus metil (CH 3) atau atom karbon omega () (Estiasih,
2009). Asam lemak omega-3 bersifat tidak jenuh karena berwujud cair pada suhu ruang.
Asam lemak ini sangat mudah teroksidasi karena jumlah ikatan rangkapnya yang
banyak sehingga bersifat tidak stabil. Asam lemak yang termasuk deret asam lemak
omega-3 dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Deret jenis asam lemak omega-3

Nama trivial

Rumus struktur

Posisi ikatan rangkap

-linolenat

C18:3 -3

9, 12, 15

Stearidonat

C18:4 -3

6, 9, 12, 15

Eicosapentaenoat (EPA)

C20:5 -3

5, 8, 11, 14, 17

Docosapentaenoat (DPA)

C22:5 -3

Docosaheksaenoat (DHA)

C22:6 -3

7, 10, 13, 16, 19


4, 7, 10, 13, 16, 19

Sumber: Nettleton (2005)

Semua jenis asam lemak omega-3 merupakan asam lemak non-essensial,


kecuali -linolenat. Hal ini karena tubuh manusia dapat mensintesis asam lemak omega3 dari asam linolenat melalui proses desaturasi dan elongasi rantai asam lemak. Namun,
beberapa ahli menggolongkan asam lemak EPA dan DHA sebagai asam lemak
essensial, karena meskipun tubuh dpat mensisntesis EPA dan DHA namun proses
sintesis alami dalam tubuh berjalan sangat lambat. Hal ini disebabkan enzim 6desaturase merupakan enzim pembatas, di mana asam linoleat dan linolenat

berkompetisi dengan enzim ini. Sementara asam linoleat merupakan substrat yang lebih
disukai oleh enzim ini, sehingga sintesis EPA dan DHA dari asam linolenat menjadi
terhambat (Estiasih, 2009). Proses transformasi asam lemak omega-3 dalam tubuh
dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.

Gambar 1. Proses transformasi asam lemak omega-3 dalam tubuh (Estiasih, 2009)

1.1 Asam Eicosapentaenoat (EPA)


Asam eikosapentaenoat (EPA) memiliki 20 atom karbon dengan lima ikatan
rangkap (C20:5,-3) serta diproduksi dalam tubuh dalam jumlah kecil (Maggi and
Covington, 2004). EPA dalam tubuh sebagian besar ditemukan dalam kolesterol ester,
triasilgliserol, dan fosfolipid (Shahidi, 2008). Gambar 2 menunjukkan struktur kimia asam
eikosapentanoat (EPA).

Gambar 2. Struktur asam eikosapentaenoat (EPA) (King, 2009)


EPA dapat dielongasi menjadi asam dokosapentaenoat yang kemudian dapat
dikonversi menjadi asam dokosaheksaenoat. EPA juga dimetabolisme menjadi senyawa
biologi aktif disebut eikosanoat. Beberapa jenis senyawa tersebut adalah prostaglandin
dan leukotrien yang diproduksi secara lokal sebagai pengatur aktivitas tubuh yang
sangat kuat (Valenzuela and Bernhardi, 2004).
EPA banyak berperan dalam penurunan resiko serangan jantung yang dapat
disebabkan karena penyempitan pembuluh darah pada jantung. Dengan adanya EPA
yang merupakan asam lemak tidak jenuh jamak dapat menurunkan kadar LDL (lowdensity lipoprotein) sehingga menurunkan resiko jantung (Shahidi, 2008).

1.2 Asam Docosaheksaenoat (DHA)


Asam docosaheksaenoat (DHA) merupakan asam lemak tak jenuh yang
memiliki 22 atom karbon dengan enam ikatan rangkap (C22:6,-3). Struktur asam
dokosaheksaenoat dapat dilihat pada Gambar 3. DHA terbentuk dari asam lemak linolenat yang mengalami transformasi melalui reaksi elongasi dan desaturasi
(Valenzuela dan Bernhardi, 2004). Meskipun tidak terdapat bukti bahwa DHA dapat
dimetabolisme langsung dari eikosanoid, tetapi asam lemak ini dapat dikonversi kembali
menjadi EPA. Pengkonversian tersebut menyebabkan peran DHA sangat penting untuk
menjaga keseimbangan eikosanoid. DHA dalam jaringan banyak diangkut dan
didistribusikan melalui fosfatidilkolin dalam sel darah merah serta akumulasi DHA
banyak tersimpan di organ hati, retina dan otak (Maggi and Covington, 2004).

Gambar 3. Struktur asam docosaheksaenoat (DHA) (King, 2009)


Janin mempunyai kebutuhan yang spesifik akan asam lemak omega 3. DHA
secara istimewa terdapat pada membran fosfolipid sel otak (Crawford, 1987 dalam
Eskin, 2002). DHA berperan penting dalam otak dan retina pada tiga bulan terakhir
kehamilan dan tahun pertama pertumbuhan. Ketajaman penglihatan menunjukkan
perkembangan pesat pada bayi yang diberi formula makanan kaya DHA dibandingkan

bayi yang diberi formula makanan rendah asam lemak omega-3 (Jorgensen et al, 1996
dalam Eskin, 2002).

1.3 Manfaat Kesehatan Asam Omega-3


Asam lemak omega-3 memiliki banyak manfaat kesehatan bagi tubuh, yakni
dalam

upaya

pencegahan

penyakit

kardiovaskular,

kanker,

Alzheimer,

dan

schizophrenia. DHA memegang peranan penting dalam ppertumbuhan otak bayi dan
perkembangan retina. Asam lemak omega-3 bersifat essensial bagi tubuh, sehingga
perlu ditambahkan dalam menu diet untuk mengatur kondisi tubuh dan pikiran.
a. Penyakit kardiovaskular
Asam

lemak

omega-3

menunjukkan

efek

menguntungan

bagi

sistem

kardiovaskular. Resiko penyakit seperti diabetes, obesitas, asma, dan lainnya


dapat menurun dengan konsumsi asam lemak omega-3 (Simopoulos, 2002).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahaw asam lemak omega-3 dapat
inkorporasi dalam membran sel jantung, mengarahkan efek proteksi melawan
berbagai penyakit (Masson et al., 2007). Efek inilah yang diatur dalam
pengaturan konsumsi ikan sebagai upaya peningkatan asupan asam lemak
omega-3 dalam tubuh (misal 1-2 kali konsumsi ikan dalam seminggu).
Kesehatan jantung dapat dijaga jika kita mengonsumsi 1g/hari asam lemak
omega-3 (Masson et al., 2007). Schacky and Harris (2007) juga menyarankan
konsumsi asam lemak omega-3 yang terdiri dari DHA dan EPA. Penelitian ini
menunjukkan bahwa kombinasi EPA dan DHA dapat meningkatkan kesehatan
jantung seperti penggunaan kolesterol LDL
b. Kanker
Manfaat dari asam lemak omega-3 dalam penurunan resiko penyakit kanker
berkaitan dengan rendahnya tingkat resiko penyakit kanker payudara yang
terjadi pada orang Eskimo yang sehari-hari mengonsumsi ikan yang
mengandung omega-3 dengan level tertentu. (Nettleton, 1995). Banyak
penelitian yang dilakukan untuk mengeksplorasi omega-3 berkaitan dengan
berbagai penyakit kanker. Sejauh ini, asam lemak omega-3 memiliki efek
kesehatan dalam perawatan pasien kanker, hanya saja mekanisme penurunan
resiko penyakit kanker belum ditemukan atau belum bisa dijelaskan secara jelas.
Sebagai contoh, Hering et al. (2007) menemukan bahwa proliferasi sel kanker
pankreas dapat terhambat setelah diperlakukan dengan asam lemak omega-3.
Hal ini berkaitan dengan fungsi omega-3 yang dapat mengembalikan proses
regulasi dengan sel. Asam lemak omega-3 juga dapat mencegah kanker kolon
(Nowak et al., 2007). Dalam kasus kanker payudara, Hardman (2007)
menunjukkan bahwa tikus mice yang telah diberikan implan sel kanker payudara

mengonsumsi minyak canola yang kaya asam linolenat, tumor mengalami


pertumbuhan diperlambat dan berat tikus kembali normal.
c. Psychiatric Effects: Alzheimers and Schizophrenia
Alzheimer adalah penyakit yang menyerang orang tua. Belum banyak penelitian
yang mengamati efek ini dengan subyek manusia. Dari penelitian ini bahwa
dengan diet DHA dapat mengurangi resiko adanya penyakit Alzhaimer (Catalan
et al., 2002 and Hashimoto et al., 2002). Selain itu, Little et al. (2007)
menemukan bahwa umur tikus yang diberikan dosis tertentu 10 mg dari DHA
dapat berpengaruh pada membran otak dan memiliki efek kesehatan. Selain
memiliki efek terhadap penuaan pikiran, omega-3 juga menunjuuka efek lain
terhadap otak. Branchey and Branchey (2008) menemukan bahwa konsumsi 3
gram omega-3 selama 3 bulan dapat mengurangi tingkat kemarahan atau
agresif terhadap pasien yang mengalami gangguan pikiran. Penelitian lain juga
menunjukkan efek yang baik dalam perlakuan schizopherenia. Sebagai contoh,
Peet and Stokes (2005) menyebutkan bahwa five of six double-blind, placebocontrolled trials in schizophrenia memiliki efek yang baik dengan konsumsi
omega-3.
d. Otak bayi dan perkembangan penglihatan
DHA memegang peranan penting dalam perkembangan otak dan penglihatan
pada bayi. Makrides et al. (1995) menunjukkan bahwa bayi yang diberi
makan

suplemen

DHA

dapat

meningkatkan

penglihatan

bayi

jika

dibandingkan formula makanan normal. Meskipun begitu, bayi yang diberi


makanan susu dengan penambahan omega-3 jika dibandingkan dengan air
susu ibu. Anak kecil yang menerima formula tanpa suplemen menunjukkan
nilai yang rendah, sedangkan suplemen yang mengandung omega-3 sangat
penting diberikan pada bayi pada umur-umur dini (Birch et al., 2007).

1.4 Konsentrat Asam Lemak Omega-3


Konsentrat asam lemak omega-3 merupakan suatu istilah yang digunakan
untuk menunjukkan produk asam lemak omega-3 dengan kadar lebih dari 30%,
sementara istilah isolat digunakan untuk kadar senyawa lebih dari 80%. Pembuatan
konsentrat asam lemak omega-3 dilakukan untuk mengatasi keterbatasan minyak ikan
untuk disebut sebagai sumber utama omega-3. Faktor pembatas tersebut antara lain:
kandungan sterol, hidrokarbon, pigmen larut lemak, dan komponen logam penyebab

oksidasi (Estiasih, 2009). Dengan demikian kadar asam lemak omega-3 pada produk
konsentrat akan jauh lebih tinggi dibandingkan bentuk minyak awalnya.
Dalam bentuk konsentrat, maka akan memudahkan dalam pemberian asupan
omega-3 bagi masyarakat, di mana memungkinkan pemberian konsentrat asam lemak
omega-3 (terutama EPA dan DHA) dalam jumlah yang kecil namun telah memenuhi
dosis asupan yang direkomendasikan (Tabel 2). Selain itu, keuntungan lain yang dapat
diperoleh adalah bentuk konsentrat tidak memerlukan tempat atau ruang penyimpanan
yang lebih besar, sehingga lebih efisien (Potter and Hotckiss, 1996).
Tabel 2. Dosis harian EPAdan DHA yang direkomendasikan
Organisasi
EPA dan DHA (mg)
National Health and Medical Research Council
190
(Australian Nutrient Reference Values)
British Nutrition Foundation Task Force
500-1000
U.K. Department of Health
European Academy of Nutritional Science
The International Society for the Study of Fatty
Acids and Lipids (ISSFAL)

American Heart Association (AHA)

National Institute of Health (NIH)

Populasi
Umum

200
200

Resiko
tinggi
Umum
Umum

650

Umum

1000

Resiko
tinggi

Ikan berlemak
(2 kali/minggu)
>3 g
300

Umum
Tinggi
trigliserida
Ibu hamil
dan
menyusui

Sumber: Garg et al. (2006)


2. PRODUSER PUFA
2.1 Schizochytrium limacinum sebagai produser DHA
Schizochytrium limacinum, adalah mikroorganisme laut yang pertama kali
ditemukan pada tahun 1994 di perairan Pasifik sebelah barat, yakni di daerah mangrove
Pulai Yap Mikronesia (Honda et al., 1998). Mikroorganisme ini merupakan produser
PUFA heterotropik, lebih dari 50% dari berat dinding sel spesies ini terdiri dari asam
lemak, dan 30% diantaranya adalah total asam lemak DHA (Morita et al., 2006).
Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa S. limacinum dapat memproduksi sekitar 4
gram DHA untuk tiap liter media yang digunakan, dimana hasil ini menunjukkan bahwa
spesies ini memproduksi DHA lebih tinggi dibanding spesies lain yang telah diteliti
(Yokochi et al., 1998). Berdasarkan kemampuannya dalam memproduksi DHA dalam
jumlah besar, banyak penelitian yang dilakukan berkaitan dengan komposisi media dan
kondisi pertumbuhan dengan tujuan optimasi produksi DHA dari mikroalga.

Gambar 4. Schizochytrium limacinum


Yokochi et al. (1998) telah mempelajari bagaimana S. limacinum dapat tumbuh
dalam berbagai sumber karbon dan nitrogen. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa S.
limacinum dapat tumbuh (10 g/L atau biomassa sel tertinggi) dan mampu memproduksi
DHA dengan jumlah yang besar (0.25 g/L dan lebih tinggi) menggunakan glukosa,
fruktosa, gliserol, asam oleat, atau minyak linseed sebagai sumber karbon. Selain itu,
ekstrak yeast dan cairan rendaman jagung dapat digunakan sebagai sumber nitrogen
bagi S. limacinum (Yokochi et al., 1998). Dalam penelitian lainnya,menunjukkan bahwa
S. limacinum dapat tumbuh (8 g/L biomassa sel) dan mampu memproduksi DHA
sebanyak 1.5 g/L menggunakan gliserol mentah sebagai sumber karbon dan padatan
limbah jagung sebagai sumber nitrogen (Pyle, 2008).
S. limacinum juga menunjukkan kemampuan mudah beradaptasi dalam larutan
garam dengan konsentrasi antara 50 to 200% dalam air laut (Yokochi et al., 1998). S.
limacinum juga memiliki toleransi pada berbagai kisaran pH, Chin et al. (2006)
menunjukkan bahwa yield biomassa dan produktivitas DHA tidak berpengaruh dengan
berbagai nilai pH yang diberikan yakni pH 5 hingga 8. Begitu pula, dengan kisaran suhu
yang diberikan selama pertumbuhan yakni antara 20 and 30C (Yokochi et al., 1998).
Penelitian-penelitian ini menunjukkan bahwa S. limacinum memiliki kemampuan untuk
tumbuh pada berbgai kondisi kultur dan media, sehingga dapat diaplikasikan dalam
fermentasi continous-culture.
2.2 Pythium irregulare sebagai produser EPA
Pythium irregulare adalah orgamisme sejenis jamur yang terdapat di laut
yang dapat memproduksi EPA. Penelitian sebelumnya menunjukkan produksi EPA
optimum terjadi pada suhu 12C menggunakan sumber karbon glukosa (Stinson et al.,
1991). P. irregulare memiliki potensial tumbuh dalam berbagai substrat seperti minyak

kedelai mentah, limbah sukrosa, limbah tepung kedelai, dan gliserol mentah (Cheng et
al., 1999; Athalye et al., 2009). OBrien et al. menunjukkan bahwa P.irregulare dapat
memproduksi EPA dalam jumlah tinggi dengan menggunakan whey manis, yakni produk
samping dari industri dairy, yang jika dibandingkan dengan glukosa sebgai sumber
karbon (OBrien et al., 1993).

Gambar 5. Pythium irregulare


Meskipun, produksi maksimum EPA terjadi pada suhu 12C, P. irregulare
dapat tumbuh dan memproduksi EPA pada suhu ruang sehingga hal ini menjadikan
spesies ini potensi untuk diaplikasikan dalam industri produksi EPA karena ekonomis
dan mudah dilakukan (Cheng et al., 1999). Peneliti lainnya juga mempelajari efek pH
awal dalam perumbuhan dan produksi EPA pada P. irregulare. Dalam penelitian Stinson
et al. (1991), pH awal yang diberikan pada proses fermentasi antara 5 and 8. Penelitian
ini menunjukkan bahwa pertumbuhan tidak terganggu dengan pH awal yang diberikan
pada media, tetapi berpengaruh pada produksi EPA. Produktivitas EPA mencapai
jumlah optimum ketika pH yang diberikan antara 6-7 dan terhambat secara perlahan
ketika pH dinaikkan hingga 8 (Stinson et al., 1991).
Spesies ini memiliki morfologi yang berfilamen, sehingga P. irregulare dapat
tumbuh pada rerumpunan miselial atau pelet, tetapi hal ini membuat fermentasi cukup
sulit dilakukanm (OBrien et al., 2003). Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa
dengan mengubah kondisi kultur seperti pH dan suhu dapat mengontrol morfologi
spesies ini (Liao et al.,2007). Selain itu, penumbuhan filamen dalam flask membutuhkan
tekanan pengadukan yang tinggi yang dapat menghasilkan bentuk pelet (Teng et al.,
2009).
3. PRODUKSI PUFA SECARA INDUSTRIAL
3.1 RAW MATERIAL

Bahan baku yang akhir-akhir ini digunakan adalah gliserol mentah, yang
merupakan produk samping dari produksi biodisel. Biodisel terbuat dari reaksi kimia
antara minyak atau lemak dan alkohol, biasanya yang digunakan adalah metanol.
Bahan baku minyak yang digunakan adalah minyak sayur, seperti kedelai, canola, biji
bunga matahari, lemak hewan, atau limbah dari minyak sayur. Basa kuat yang
digunakan adalah sodium hydroxide (NaOH) atau potassium hydroxide (KOH) sebagai
katalis. Gliserol adalah produk samping yang diperoleh setelah katalisa dari trigliserida.
Katalisa trigliserida dapat dilihat pada Gambar 4 dan produksi gliserol sebagai produk
samping.

Gambar 4. Reaksi tranesterifikasi dalam produksi biodiesel


Komposisi gliserol mentah selama produksi biodiesel tidaklah murni dan
memiliki nilai ekonomi yang rendah. Impurities yang terdapat pada gliserol adalah
metanol dan sabun. Produser biodiesel menggunakan glioserol ini sebagai pengganti
metanol atau campuran dengan metanol dalam reaksi katalisa. Selain metanol dan
sabun, juga terkandung beberapa elemen seperti kalsium, magnesium, fosfor, atau
sulfur (Thompson dan He, 2006). Telah dilaporkan bahwa dari 65% to 85% (w/w) dari
total gliserol mentah adalah lemak, sedangkan lainnya adalah metanol, sabun, dan
elemen lainnya (Gonzalez-Pajuelo et al., 2005; Mu et al., 2006).
Penggunaan gliserol selama ini hanya dimanfaatkan sebagai bahan utama
untuk diubah menjadi makanan ternak, sumber energi bagi babi, dan hewan lainnya
(DeFrain et al., 2004; Lammers et al., 2008). Mikroalga Schizochytrium limacinum dapat
menghasilkan jumlah total lipid dan DHA ketika ditumbuhkan dalam media yang
mengadung gliserol mentah (Chi et al., 2007). Total lipid dapat digunakan sebagai
sumber biodiesel, sedangkan DHA dapat dimanffatkan secara komersial. Limbah
gliserol yang digunakan tidak memiliki kontaminsai metal berat seperti yang seering
terjadi pada produksi omega-3 dari minyak ikan (Pyle et al., 2008).
3.2 UPSTREAM PROCESS
Prinsip dari penumbuhan mikroalga adalah dalam shallow open ponds, atau
bioreaktor (Preisig & Andersen 2005). Dengan produksi berdasarkan volume, sebagian
besar mikroalga komersial seperti Chlorella sp., or spesies extremophile seperti
Arthrospira sp., D. salina dan H. pluvialis; mereka tumbuh pada wadah yang dangkal

(seperti baki lebar) (Sheehan et al. 1998). Kedangkalan air pada wadah ini berkisar
antara 0.20.3 m dengan luas area sebesar 0.5 to 1 ha. Pengaturan air disertakan
dengan pengaturan udara yang diberikan seperti penambahan CO 2. Mikroalga yang
siap dipanen, diberi perlakuan flokulasi atau sentrifugasi (del Campo et al. 2007).
Gambar sistem penumbuhan mikroalga dengan cara shallow open ponds and raceways
dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Shallow open ponds and raceways


Selain

itu,

terdapat

sistem

penumbuhan

mikroalga,

yaitu

sistem

photobioreactor (PBR). Dengan sistem ini maka dapat menghindari kontaminasi,


peningkatan yield densitas sel, dan dapat dengan mudah mengontrol kondisi fisikkimiawi. Dalam pengadaan cahaya, dapat dilakukan secara alami maupun dengan
cahaya buatan, meskipun spesies mikroalga tertentu tidak membutuhkan cahaya dalam
fermentasinya (Harel & Place 2003). Gambar sistem PBR pada mikroalga dapat dilihat
pada Gambar 7. Sistem PBR, terdiri dari:

rak kultur yang berisi kultur mikroalga

sistem pengiriman cahaya dari reaktor cahaya buatan, bank fluorescennt, maupun
lampu untuk menyediakan cahaya terhadap kultur ( = 400700 nm), sedangkan jika
menggunakan cahaya alami maka digunakan wadah pengumpul cahaya matahari.

Sistem

penggantian

gas

yang

mengantarkan

gasn

karbondioksida

dan

memindahkann oksigen selama proses.

Sistem pemanenan, hal ini berkaitan dengan proses downstream dan rekoveri
produk.

Gambar 7. Sistem PBR dalam produksi mikroalga


3.3 DOWNSTREAM PROCESS
Pemanenan dan isolasi produk dari mikroalga adalah salah satu masalah
yang benar-benar diperhatikan. Dalam produksi omega-3 oleh mikroalga, biasanya dalam
1 spesies mikroalga mengandung 50 % minyak dari berat kering, yaitu sekitar 12 kg oil
tiap m3 dari volume kultur. Selain itu, dalam proses downstream perlu diperhatikan
mengenai pemanfaatan air dan nutrisi sisa dari sistem terhadap lingkungan sekitar.
Berikut ini Gambar 8 mengenai proses downstream mikroalga.

Gambar 8. Proses downstream produksi mikroalga


Beberapa metode pemanenan mikroalga adalah:
a. Sentrifugasi
Sebtrifugasi digunakan untuk memisahkan dan mengumpulkan sel mikroalga. Dalam
skala industri, kecepatan sentrifuse yang digunakan berkisar 5000-10000 rpm,

sehingga hampir 95% sel dapat dipisahkan. Hanya saja penggunaan sentrifugasi
dengan energi tinggi dapat mempertinggi biaya produksi. Salah satu, solusi untuk
mengurangi tingginya biaya adalah dengan menggunakan membran filtrasi.
b. Flotasi
Flotasi adalah pendekatan yang biasa digunakan untuk memisahkan mikroalga dari
wadah penyimpanan air yang digunakan dalam produksi sehingga menjadi air
minum, yaitu dengan perlakuan ozonisasi. Meskipun, metode ini jarang digunakan
tetapi telah dijadikan uji coba sebagai pembanding. Dengan metode ini, 90% dari
mikroalga Chaetoceros sp. dapat dipisahkan (Csordas & Wang 2004).
c. Filtrasi
Teknik ini biasa digunakan dan berhasil dalam pemisahan sel mikroalga dalam
jumlah yang kecil. Metode ini hanya menggunakan sedikit energi, hanya saja
pencucian sebagai tahapan selanjutnya yang membutuhkan biaya cukup tinggi.
Filtrasi bertekanan tinggi maupun vakum sering digunakan dalam industri, sehingga
cukup efisien dalam proses pemanenan.
d. Penghancuran sel
Untuk mengefisienkan ektraksi material dari dalam sel, maka beberapa industri
menggunakan metode ini untuk mengurangi biaya produksi. Sehingga pemanenan
dan ekstraksi material atau produk yang diinginkan dapat dilakukan secara
bersamaan.

4. OPTIMASI PROSES PRODUKSI PUFA DENGAN MICROALGA


Beberapa penelitian telah dilakukan untuk optimasi proses produksi DHA
maupun EPA dengan berbagai konsentrasi perlakuan. Di bawah ini akan ditinjau
beberapa penelitian yang bertujuan untuk optimasi proses fermentasi mikroalga dalam
produksi asam lemak omega-3.
4.1 VARIASI KULTUR

Dari tabel 3, melalui penelitian Jasuja et al. (2010) dapat dilihat bahwa dari
beberapa spesies traustochytrid, hanya Schizochytrium limanicum SR21 yang dapat
memproduksi total DHA dalam jumlah tinggi. Sehingga, spesies ini yang saat ini sering
digunakan dalam penelitian maupun industri. Berbagai spesies telah diuji coba dalam
upaya peningkatan produksi DHA melalui proses biologis, yaitu fermentasi mikroalga.
Tabel 3. Tabulasi biomassa, lipid, dan yield DHA dari berbagai thraustochytrid

4.2 DIFFERENT PROCESS (CONTINOUS CULTURE)

Dari jurnal di atas, dapat diketahui bahwa upaya optimasi produksi DHA
dengan spesies Schizochytrium limanicum juga dilakukan dengan mencoba berbagai
sistem fermentasi, di antaranya fermentasi continous- culture. Hasil dari jurnal di atas
menunjukkan bahwa produktivitas DHA dengan sistem ini masih rendah jika
dibandingkan dengan sistem batch maupun fed-batch. Hal ini dikarenakan residu sabun
dalam gliserol masih cukup tinggi sehingga mengganggu pertumbuhan Schizochytrium
limanicum. Tetapi, jika sistem ini diaplikasikan dalam skala industri maka sistem ini cukup
menjanjikan karena lebih efisien dan mudah dikontrol. Hasil perbandingan dengan 2
sistem lainnya dapat dilihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4. Perbandingan pertumbuhan sel dan produksi DHA antara sistem fermentasi
yang berbeda.

Beberapa alasan sistem continous culture lebih baik dibanding dengan sistem
lainnya adalah sistem ini merupakan pendekatan yang lebih baik untuk mengamati
komposisi asam lemak dalam biomassa sel mikroalga. Dalam kultur batch, asam lemak
terutama asam lemak tak jenuh yang berkaitan dengan umur dinding sel. Asam lemak
terakumulasi dalam fase stasioner pada sistem batch, tapi akan menurun secara cepat
ketika sel mencapai fase menjelang kematian (Wen et al.,2002). Selain itu, dibandingkan
dengan sistem batch dan fed-batch, sistem continous menyediakan profil asam lemak

yang stabil, dalam artian komposisi asam lemak dalam total lipid cenderung

tidak

berubah (terutama total asam lemak dan DHA) (Ethier et al., 2010), lebih sedikit
penurunan yang terjadi jika dibandingkan dengan kultur batch (Chi et al., 2007; Pyle al.,
2008).
4.3 DIFFERENT RAW MATERIALS (BIODIESEL-WASTE GLYCEROL USING)

Dalam jurnal ini, upaya optimasi yang dilakukan adalah membandingkan sumber
karbon yang berbeda, yakni gliserol mentah (limbah dari produksi biodiesel), gliserol
murni, dan glukosa. Dari Tabel 5, dapat dilihat bahwa total asam lemak yang dihasilkan
dari gliserol mentah lebih tinggi jika dibandingkan dari 2 sumber karbon yang lain. Hal ini
telah dijelaskan di pendahuluan awal bahwa spesies Schizochytrium limanicum memiliki
toleransi yang cukup tinggi pada berbagai sumber karbon. Perbedaan dari gliserol limbah
dan murni adalah konsentrasi gliserol murni yang terkandung di dalamnya, dalam limbah
gliserol terdapat impurities sekitar 16% yang terdiri dari metanol dan sabun. Dengan hasil
ini, menunjukkan bahwa metanol dan sabun tidak memiliki pengaruh yang cukup
signifikan terhadap pertumbuhan mikroalga dan produksi DHA.

Tabel 5. Komposisi asam lemak dari berbagai sumber karbon

Gliserol mentah atau limbah gliserol juga sering digunakan untuk produksi
lipid oleh Yarrowia lypolitica dan Cryptococccus curvatus (Maesters et al., 1996;
Dharmadi et al., 2006), sehingga bahan baku ini cukup potensial untuk menghasilkan
asam lemak omega-3 yang berasal dari asam lemak stearad dan oleat. Selain itu,
dengan penelitian ini dapat menjadi solusi bagi perusahaan biodiesel untuk
memanfaatkan limbah gliserol menjadi produk yang juga bernilai komersial. Dari Tabel
6, dapat kita lihat bahwa kultur dapat tumbuh lebih baik pada kultur gliserol mentah
(crude glyserol) dan produktivitas DHA juga lebih tinggi dibandingkan dengan gliserol
murni.
Tabel 6. Efek Konsentrasi dan Jenis gliserol terhadap produktivitas DHA

REFERENCES
Chi, Zhanyou; Denver Pyle; Zhiyou Wen; Craig Frear; Shulin Chen. 2007. A laboratory
study of producing docosahexaenoic acid from biodiesel-waste glycerol by
microalgal fermentation.www.elsevier.com/Process Biochemistry 42 (2007)
15371545
Jasuja,Nakuleshwar Dut;Sunita Jain;Suresh C. Joshi.Microbial Production Of Docosah
exaenoic Acid (O3 Pufa) And Their Role In Human Health.Asian Journal Of
Pharmaceutical And Clinical Research Vol. 3, Issue 4, 2010 Issn - 0974-2441
Ethier, Shannon; Kevin Woisard; David Vaughan; Zhiyou Wen. 2011. Continuous
culture of the microalgae Schizochytrium limacinum on biodiesel-derived
crude glycerol for producing docosahexaenoic acid.Bioresource Technology
102 (2011) 8893
Ethier, Shannon E. 2010. Producing Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids from
Biodiesel Waste Glycerol by Microalgae Fermentation. Blacksburg; Virginia.
Pyle, Denver J. 2008. Use of Biodiesel-Derived Crude Glycerol for the Production of
Omega-3 Polyunsaturated Fatty Acids by the Microalga Schizochytrium
limacinum. Blackburgs; Virginia.
Greenwell1, H. C.; L. M. L. Laurens2; R. J. Shields3; R. W. Lovitt4; K. J. Flynn3. 2009.
Placing microalgae on the biofuels priority list: a review of the
technological challenges. http://rsif.royalsocietypublishing.org. Diakses tanggal
27 April 2011 pukul 11:05.

Anda mungkin juga menyukai