Anda di halaman 1dari 42

Mr.

athoenk's
Wellcome to My Blog

Beranda

Arti Hidup

Development Task

My BitCoin List & Cara Kerja Bitcoin

Malam PERTAMA

Belajarlah

RSS
LP Gangguan konsep diri; harga diri rendah
Konsep Jiwa Pemimpin/ Leadership

Asuhan Keperawatan Osteosarkoma


27 Feb
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Sarkoma osteogenik (Osteosarkoma) merupakan neoplasma tulang primer yang sangat
ganas. Tumor ini tumbuh di bagian metafisis tulang. Tempat yang paling sering terserang
tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut. ( Price, 1962:1213 )

Menurut badan kesehatan dunia ( World Health Oganization )


setiap tahun jumlah penderita kanker 6.25 juta orang. Di Indonesia diperkirakan
terdapat 100 penderita kanker diantara 100.000 penduduk per tahun. Dengan jumlah
penduduk 220 juta jiwa terdapat sekitar 11.000 anak yang menderita kanker per tahun. Di
Jakarta dan sekitarnya dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa, diperkirakan terdapat 650
anak yang menderita kanker per tahun. ( www.mail-archive.com
)
Menurut Errol untung hutagalung, seorang guru besar dalam Ilmu Bedah Orthopedy
Universitas Indonesia, dalam kurun waktu 10 tahun (1995-2004) tercatat 455 kasus tumor
tulang yang terdiri dari 327 kasus tumor tulang ganas (72%) dan 128 kasus tumor tulang
jinak (28%). Di RSCM jenis tumor tulang osteosarkoma merupakan tumor ganas yang
sering didapati yakni 22% dari seluruh jenis tumor tulang dan 31 % dari seluruh tumor
tulang ganas. Dari jumlah seluruh kasus tumor tulang 90% kasus datang dalam stadium
lanjut. (www.kompas.com
)
Angka harapan hidup penderita kanker tulang mencapai 60% jika belum terjadi
penyebaran ke paru-paru. Sekitar 75% penderita bertahan hidup sampai 5 tahun setelah
penyakitnya terdiagnosis. Sayangnya penderita kanker tulang kerap datang dalam
keadaan sudah lanjut sehingga penanganannya menjadi lebih sulit. Jika tidak segera
ditangani maka tumor dapat menyebar ke organ lain, sementara penyembuhannya sangat
menyakitkan karena terkadang memerlukan pembedahan radikal diikuti kemotherapy.
Kanker tulang ( osteosarkoma ) lebih sering menyerang kelompok usia 15 25 tahun
( pada usia pertumbuhan ). ( Smeltzer. 2001: 2347 ). Rata-rata penyakit ini terdiagnosis
pada umur 15 tahun. Angka kejadian pada anak laki-laki sama dengan anak perempuan.
Tetapi pada akhir masa remaja penyakit ini lebih banyak di temukan pada anak laki-laki.
Sampai sekarang penyebab pasti belum diketahui. ( www.medicastore.com
)
Melihat jumlah kejadian diatas serta kondisi penyakit yang memerlukan pendeteksian dan
penanganan sejak dini, penulis tertarik untuk melakukan Asuhan Keperawatan pada
Tn.H dengan Osteosarkoma pada tibia proximal kiri di ruang 412 lantai 4 Public Wing
RSUPN Dr. Ciptomangunkusumo Jakarta.
B. Tujuan penulisan

1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan gambaran dan pengalaman nyata dalam melakukan asuhan
keperawatan osteosarkoma pada Tn.H di ruang 412 lantai 4 Public Wing RSUPN Dr.
Ciptomangunkusumo Jakarta.
1. Tujuan Khusus
Diharapkan mahasiswa mampu memberikan gambaran asuhan keperawatan
meliputi :
2. Mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan osteosarkoma
3. Mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada pasien dengan
Osteosarkoma.
1. Mampu membuat rencana keparawatan pada pasien dengan osteosarkoma.
2. Mampu melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien dengan
Osteosarkoma.
3. Mampu mengevaluasi pelaksanaan asuhan keperawatan pada pasien
dengan Osteosarkoma.
4. Mampu menyebutkan faktor pendukung dan penghambat dalam asuhan
keperawatan pada pasien dengan Osteosarkoma.
5. Mampu mengidentifikasi solusi dalam faktor-faktor penghambat pada
pasien dengan Osteosarkoma.
4. Metode Penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode
deskriptif yaitu menggambarkan secara langsung melalui pendekatan proses
keperawatan dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara,
pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari
catatan medik klien.
5. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dari laporan kasus
ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis, dibagi menjadi 5 bab yaitu :
BAB I. Pendahuluan meliputi latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan,
dan sistematika penulisan.

BAB II. Tinjauan teoritis meliputi konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan
keperawatan.
BAB III. Tinjauan kasus meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi,
implementasi, dan evaluasi keperawatan.
BAB IV. Pembahasan yang membahas tentang kesenjangan antara kasus yang
ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional terhadap
diagnosa keperawatan yang ditemukan, faktor penunjang, faktor penghambat serta
solusi ( pemecahan masalah ).
BAB V. Penutup yang meliputi kesimpulan dan saran.
BAB II
LANDASAN TEORI

Konsep Dasar Osteosarkoma


o Pengertian
Sarkoma adalah tumor yang berasal dari jaringan penyambung (Danielle. 1999:
244 ). Kanker adalah neoplasma yang tidak terkontrol dari sel anaplastik yang
menginvasi jaringan dan cenderung bermetastase sampai ke sisi yang jauh dalam
tubuh.( Wong. 2003: 595 )
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) adalah tumor yang muncul dari mesenkim
pembentuk tulang. ( Wong. 2003: 616 )
Sarkoma osteogenik ( Osteosarkoma ) merupakan neoplasma tulang primer yang
sangat ganas. Tumor ini tumbuh dibagian metafisis tulang tempat yang paling
sering terserang tumor ini adalah bagian ujung tulang panjang, terutama lutut.
( Price. 1998: 1213 )
Osteosarkoma ( sarkoma osteogenik ) merupakan tulang primer maligna yang
paling sering dan paling fatal. Ditandai dengan metastasis hematogen awal ke
paru. Tumor ini menyebabkan mortalitas tinggi karena sarkoma sering sudah
menyebar ke paru ketika pasien pertama kali berobat.( Smeltzer. 2001: 2347 )
Tempat-tempat yang paling sering terkena adalah femur distal, tibia proksimal dan
humerus proksimal. Tempat yang paling jarang adalah pelvis, kolumna, vertebra,
mandibula, klavikula, skapula, atau tulang-tulang pada tangan dan kaki. Lebih
dari 50% kasus terjadi pada daerah lutut. ( Otto.2003 : 72 )
2. Etiologi

Radiasi sinar radio aktif dosis tinggi

Keturunan

Beberapa kondisi tulang yang ada sebelumnya seperti penyakit paget


(akibat pajanan radiasi ).
( Smeltzer. 2001: 2347 )

1. Patofisiologi
Adanya tumor pada tulang menyebabkan jaringan lunak diinvasi oleh sel tumor. Timbul
reaksi dari tulang normal dengan respon osteolitik yaitu proses destruksi atau
penghancuran tulang dan respon osteoblastik atau proses pembentukan tulang. Terjadi
destruksi tulang lokal.. Pada proses osteoblastik, karena adanya sel tumor maka terjadi
penimbunan periosteum tulang yang baru dekat lempat lesi terjadi sehingga terjadi
pertumbuhan tulang yang abortif.
Adanya tumor tulang
Jaringan lunak di invasi
oleh tumor
Reaksi tulang normal
Osteolitik (destruksi tulang) Osteoblastik (pembentukan tulang)
destruksi tulang lokal Periosteum tulang yang baru dapat tertimbun dekat tempat lesi
Pertumbuhan tulang yang abortif
( sumber : Price.1998: 1213 )
1. Manifestasi klinik
1. Nyeri dan/ atau pembengkakan ekstremitas yang terkena (biasanya menjadi
semakin parah pada malam hari dan meningkat sesuai dengan progresivitas
penyakit)
2. Fraktur patologik
3. Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang
terbatas
( Gale. 1999: 245 )

4. Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya
pelebaran vena
5. Gejala-gejala penyakit metastatik meliputi nyeri dada, batuk, demam, berat badan
menurun dan malaise.
( Smeltzer. 2001: 2347 )
1. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan tergantung pada tipe dan fase dari tumor tersebut saat didiagnosis.
Tujuan penatalaksanaan secara umum meliputi pengangkatan tumor, pencegahan
amputasi jika memungkinkan dan pemeliharaan fungsi secara maksimal dari anggota
tubuh atau ekstremitas yang sakit. Penatalaksanaan meliputi pembedahan, kemoterapi,
radioterapi, atau terapi kombinasi.
Osteosarkoma biasanya ditangani dengan pembedahan dan / atau radiasi dan kemoterapi.
Protokol kemoterapi yang digunakan biasanya meliputi adriamycin (doksorubisin)
cytoksan dosis tinggi (siklofosfamid) atau metrotexate dosis tinggi (MTX) dengan
leukovorin. Agen ini mungkin digunakan secara tersendiri atau dalam kombinasi.
Bila terdapat hiperkalsemia, penanganan meliputi hidrasi dengan pemberian cairan
normal intravena, diurelika, mobilisasi dan obat-obatan seperti fosfat, mitramisin,
kalsitonin atau kortikosteroid.
( Gale. 1999: 245 ).

Tindakan keperawatan
o Manajemen nyeri
Teknik manajemen nyeri secara psikologik (teknik relaksasi napas dalam,
visualisasi, dan bimbingan imajinasi ) dan farmakologi ( pemberian analgetika ).
o Mengajarkan mekanisme koping yang efektif
Motivasi klien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan mereka, dan berikan
dukungan secara moril serta anjurkan keluarga untuk berkonsultasi ke ahli
psikologi atau rohaniawan.

Memberikan nutrisi yang adekuat

Berkurangnya nafsu makan, mual, muntah sering terjadi sebagai efek samping
kemoterapi dan radiasi, sehingga perlu diberikan nutrisi yang adekuat.

Antiemetika dan teknik relaksasi dapat mengurangi reaksi gastrointestinal.


Pemberian nutrisi parenteral dapat dilakukan sesuai dengan indikasi dokter.
o Pendidikan kesehatan
Pasien dan keluarga diberikan pendidikan kesehatan tentang kemungkinan
terjadinya komplikasi, program terapi, dan teknik perawatan luka di rumah.
( Smeltzer. 2001: 2350 )
1. Pemerikasaan Diagnostik
1. CT Scan
2. Mielogram
3. Asteriografi
4. MRI
5. Biopsi,
6. Pemeriksaan biokimia darah dan urine
7. Pemeriksaan foto toraks dilakukan sebagai prosedur rutin serta untuk follow-up
adanya stasis pada paru-paru.
( Rasjad. 2003 )

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Osteosarkoma


o Pengkajian

a. Wawancara
Dapatkan riwayat kesehatan, proses penyakit, bagaimana keluarga dan pasien mengatasi
masalahnya dan bagaimana pasien mengatasi nyeri yang dideritanya. Berikan perhatian khusus
pada keluhan misalnya : keletihan, nyeri pada ekstremitas, berkeringat pada malam hari, kurang
nafsu makan, sakit kepala, dan malaise.
b. Pemeriksaan fisik

Teraba massa tulang dan peningkatan suhu kulit di atas massa serta adanya pelebaran
vena

Pembengkakan pada atau di atas tulang atau persendian serta pergerakan yang terbatas

Nyeri tekan / nyeri lokal pada sisi yang sakit


o mungkin hebat atau dangkal
o sering hilang dengan posisi flexi
o anak berjalan pincang, keterbatasan dalam melakukan aktifitas, tidak mampu
menahan objek berat

Kaji status fungsional pada area yang sakit, tanda-tanda inflamasi, nodus limfe regional

c. Pemeriksaan Diagnostik

Radiografi
Adalah penggunaan sinar pengionan (sinar X, sinar gama) untuk membentuk bayangan
benda yang dikaji pada film
.

Tomografi,
Adalah sebuah metode penggambaran medis menggunakan tomografi di mana
pemrosesan geometri digunakan untuk menghasilkan sebuah gambar tiga dimensi bagian
dalam sebuah objek dari satu seri besar gambar sinar-X dua dimensi diambil dalam satu
putaran axis

Pemindaian tulang,

Radioisotop, atau biopsi tulang bedah,

Tomografi paru,

Aspirasi sumsum tulang (sarkoma ewing).

( Wong. 2003: 616 )

Diagnosa
o Nyeri yang berhubungan dengan proses patologik dan pembedahan
o Koping tidak efektif berhubungan dengan rasa takut tentang ketidak tahuan,
persepsi tentang proses penyakit, dan sistem pendukung tidak adekuat

o Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan status hipermetabolik


berkenaan dengan kanker.
o Gangguan harga diri karena hilangnya bagian tubuh atau perubahan kinerja peran
( Doenges. 1999: 1000 )
o Berduka berhubungan dengan kemungkinan kehilangan alat gerak
( Wong. 2003: 617 )

Intervensi
Dx 1
Tujuan: klien mengalami pengurangan nyeri

KH :

Mengikuti aturan farmakologi yang ditentukan

Mendemontrasikan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai


indikasi situasi individu.

Intervensi :

Kaji status nyeri ( lokasi, frekuensi, durasi, dan intensitas nyeri )


R/ memberikan data dasar untuk menentukan dan mengevaluasi intervensi yang
diberikan.

Berikan lingkungan yang nyaman, dan aktivitas hiburan ( misalnya : musik, televisi )
R/ meningkatkan relaksasi klien.

Ajarkan teknik manajemen nyeri seperti teknik relaksasi napas dalam, visualisasi, dan
bimbingan imajinasi.
R/ meningkatkan relaksasi yang dapat menurunkan rasa nyeri klien

Kolaborasi :

Berikan analgesik sesuai kebutuhan untuk nyeri.


R/ mengurangi nyeri dan spasme otot

( Doenges. 1999: 1005 )


Dx 2
Tujuan : Mendemonstrasikan penggunaan mekanisme koping efektif dan partisipasi aktif dalam
aturan pengobatan
KH :

Pasien tampak rileks

Melaporkan berkurangnya ansietas

Mengungkapkan perasaan mengenai perubahan yang terjadi pada diri klien

Intervensi :

Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan.


R/ memberikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut serta kesalahan
konsep tentang diagnosis

Berikan lingkungan yang nyaman dimana pasien dan keluarga merasa aman untuk
mendiskusikan perasaan atau menolak untuk berbicara.
R/ membina hubungan saling percaya dan membantu pasien untuk merasa diterima
dengan kondisi apa adanya

Pertahankan kontak sering dengan pasien dan bicara dengan menyentuh pasien.
R/ memberikan keyakinan bahwa pasien tidak sendiri atau ditolak.

Berikan informasi akurat, konsisten mengenai prognosis.


R/ dapat menurunkan ansietas dan memungkinkan pasien membuat keputusan atau
pilihan sesuai realita.
( Doenges. 1999: 1000 )

Dx 3
Tujuan : mengalami peningkatan asupan nutrisi yang adekuat
KH : penambahan berat badan

bebas tanda malnutrisi


nilai albumin dalam batas normal ( 3,5 5,5 g% )
Intervensi :

Catat asupan makanan setiap hari


R/ mengidentifikasi kekuatan atau defisiensi nutrisi.

Ukur tinggi, berat badan, ketebalan kulit trisep setiap hari.


R/ mengidentifikasi keadaan malnutrisi protein kalori khususnya bila berat badan dan
pengukuran antropometrik kurang dari normal

Berikan diet TKTP dan asupan cairan adekuat.


R/ memenuhi kebutuhan metabolik jaringan. Asupan cairan adekuat untuk
menghilangkan produk sisa.

Kolaborasi :

Pantau hasil pemeriksaan laboratorium sesuai indikasi.


R/ membantu mengidentifikasi derajat malnutrisi
( Doenges. 1999: 1006 )

Dx 4
Tujuan : mengungkapan perubahan pemahaman dalam gaya hidup tentang tubuh, perasaan tidak
berdaya, putus asa dan tidak mampu.
KH :

Mulai mengembangkan mekanisme koping untuk menghadapi masalah secara efektif.

Intervensi :

Diskusikan dengan orang terdekat pengaruh diagnosis dan pengobatan terhadap


kehidupan pribadi pasien dan keluarga.
R/ membantu dalam memastikan masalah untuk memulai proses pemecahan masalah.

Motivasi pasien dan keluarga untuk mengungkapkan perasaan tentang efek kanker atau
pengobatan.
R/ membantu dalam pemecahan masalah

Pertahankan kontak mata selama interaksi dengan pasien dan keluarga dan bicara dengan
menyentuh pasien
R/ menunjukkan rasa empati dan menjaga hubungan saling percaya
dengan pasien dan keluarga. ( Doenges. 1999: 1004 )

Dx. 5
Tujuan : Keluarga dan klien siap menghadapi kemungkinan kehilangan anggota gerak.
KH : Pasien menyesuaikan diri terhadap kehilangan anggota gerak
Mengalami peninggkatan mobilitas
Intervensi :

Lakukan pendekatan langsung dengan klien.


R/ meningkatkan rasa percaya dengan klien.

Diskusikan kurangnya alternatif pengobatan.


R/ memberikan dukungan moril kepada klien untuk menerima pembedahan.

Ajarkan penggunaan alat bantu seperti kursi roda atau kruk sesegera mungkin sesuai
dengan kemampuan pasien.
R/ membantu dalam melakukan mobilitas dan meningkatkan kemandirian pasien.

Motivasi dan libatkan pasien dalam aktifitas bermain


R/ secara tidak langgsung memberikan latihan mobilisasi
( Wong. 2003: 617 )

Evaluasi
o Pasien mampu mengontrol nyeri

Melakukan teknik manajemen nyeri,

Patuh dalam pemakaian obat yang diresepkan.

Tidak mengalami nyeri atau mengalami pengurangan nyeri saat istirahat,


selama menjalankan aktifitas hidup sehari-hari

o Memperlihatkan pola penyelesaian masalah yang efektif.

Mengemukakan perasaanya dengan kata-kata

Mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki pasien

Keluarga mampu membuat keputusan tentang pengobatan pasien

o Masukan nutrisi yang adekuat

Mengalami peningkatan berat badan

Menghabiskan makanan satu porsi setiap makan

Tidak ada tanda tanda kekurangan nutrisi

o Memperlihatkan konsep diri yang positif

Memperlihatkan kepercayaan diri pada kemampuan yang dimiliki pasien

o Memperlihatkan penerimaan perubahan citra diri


o Klien dan keluarga siap untuk menghadapi kemungkinan amputasi

Konsep Dasar Amputasi

1. Pengertian
Amputasi berasal dari kata amputare yang kurang lebih diartikan pancung.
Amputasi dapat diartikan sebagai tindakan memisahkan bagian tubuh sebagian atau
seluruh bagian ekstremitas. Tindakan ini merupakan tindakan yang dilakukan dalam
kondisi pilihan terakhir manakala masalah organ yang terjadi pada ekstremitas sudah
tidak mungkin dapat diperbaiki dengan menggunakan teknik lain, atau manakala kondisi
organ dapat membahayakan keselamatan tubuh klien secara utuh atau merusak organ
tubuh yang lain seperti dapat menimbulkan komplikasi infeksi.

Kegiatan amputasi merupakan tindakan yang melibatkan beberapa sistem tubuh seperti
sistem integumen, sistem persyarafan, sistem muskuloskeletal dan sisten cardiovaskuler.
Labih lanjut ia dapat menimbulkan madsalah psikologis bagi klien atau keluarga berupa
penurunan citra diri dan penurunan produktifitas.
2. Penyebab / faktor predisposisi terjadinya amputasi
Tindakan amputasi dapat dilakukan pada kondisi :
1. Fraktur multiple organ tubuh yang tidak mungkin dapat diperbaiki.
2. Kehancuran jaringan kulit yang tidak mungkin diperbaiki.
3. Gangguan vaskuler/sirkulasi pada ekstremitas yang berat.
4. Infeksi yang berat atau beresiko tinggi menyebar ke anggota tubuh lainnya.
5. Adanya tumor pada organ yang tidak mungkin diterapi secara konservatif.
6. Deformitas organ.
1. Jenis Amputasi
Berdasarkan pelaksanaan amputasi, dibedakan menjadi :
1. Amputasi selektif/terencana
Amputasi jenis ini dilakukan pada penyakit yang terdiagnosis dan mendapat penanganan
yang baik serta terpantau secara terus-menerus. Amputasi dilakukan sebagai salah satu
tindakan alternatif terakhir
2. Amputasi akibat trauma
Merupakan amputasi yang terjadi sebagai akibat trauma dan tidak direncanakan.
Kegiatan tim kesehatan adalah memperbaiki kondisi lokasi amputasi serta memperbaiki
kondisi umum klien.
3. Amputasi darurat
Kegiatan amputasi dilakukan secara darurat oleh tim kesehatan. Biasanya merupakan
tindakan yang memerlukan kerja yang cepat seperti pada trauma dengan patah tulang
multiple dan kerusakan/kehilangan kulit yang luas.
Jenis amputasi yang dikenal adalah :
1. Amputasi terbuka (guillotine amputasi)

Amputasi terbuka dilakukan pada kondisi infeksi yang berat dimana pemotongan pada
tulang dan otot pada tingkat yang sama. Metode ini digunakan pada klien dengan infeksi
yang mengembang. Bentuknya benar-benar terbuka dan dipasang drainage agar luka
bersih, dan luka dapat ditutup setelah tidak terinfeksi.
2. Amputasi tertutup (flap amputasi)
Amputasi tertutup dilakukan dalam kondisi yang lebih memungkinkan dimana dibuat
skaif kulit untuk menutup luka yang dibuat dengan memotong kurang lebih 5 sentimeter
dibawah potongan otot dan tulang. Pada metode ini, kulit tepi ditarik pada atas ujung
tulang dan dijahit pada daerah yang diamputasi.
Setelah dilakukan tindakan pemotongan, maka kegiatan selanjutnya meliputi perawatan luka
operasi/mencegah terjadinya infeksi, menjaga kekuatan otot/mencegah kontraktur, dan
mempertahankan intaks jaringan.
1. Tingkatan Amputasi
1. Ekstremitas atas
Amputasi pada ekstremitas atas dapat mengenai tangan kanan atau kiri. Hal ini
berkaitan dengan aktivitas sehari-hari seperti makan, minum, mandi, berpakaian
dan aktivitas yang lainnya yang melibatkan tangan.
2. Ekstremitas bawah
Amputasi pada ekstremitas ini dapat mengenai semua atau sebagian dari jari-jari
kaki yang menimbulkan seminimal mungkin kemampuannya.
Adapun amputasi yang sering terjadi pada ekstremitas ini dibagi menjadi dua
letak amputasi yaitu :
a. Amputasi dibawah lutut (below knee amputation).
Ada 2 metode pada amputasi jenis ini yaitu amputasi pada nonischemic limb dan
inschemic limb.
b. Amputasi diatas lutut
Amputasi ini memegang angka penyembuhan tertinggi pada pasien dengan
penyakit vaskuler perifer.
3. Nekrosis. Pada keadaan nekrosis biasanya dilakukan dulu terapi konservatif, bila
tidak berhasil dilakukan reamputasi dengan level yang lebih tinggi.

4. Kontraktur. Kontraktur sendi dapat dicegah dengan mengatur letak stump


amputasi serta melakukan latihan sedini mungkin. Terjadinya kontraktur sendi
karena sendi terlalu lama diistirahatkan atau tidak di gerakkan.
5. Neuroma. Terjadi pada ujung-ujung saraf yang dipotong terlalu rendah sehingga
melengket dengan kulit ujung stump. Hal ini dapat dicegah dengan memotong
saraf lebih proximal dari stump sehingga tertanam di dalam otot.
6. Phantom sensation. Hampir selalu terjadi dimana penderita merasakan masih
utuhnya ekstremitas tersebut disertai rasa nyeri. Hal ini dapat diatasi dengan obatobatan, stimulasi terhadap saraf dan juga dengan cara kombinasi.
1. Penatalaksanaan Amputasi
Amputasi dianggap selesai setelah dipasang prostesis yang baik dan berfungsi.
Ada 2 cara perawatan post amputasi yaitu :
1. Rigid dressing
Yaitu dengan menggunakan plaster of paris yang dipasang waktu dikamar operasi. Pada
waktu memasang harus direncanakan apakah penderita harus immobilisasi atau tidak.
Bila tidak diperlukan pemasangan segera dengan memperhatikan jangan sampai
menyebabkan konstriksi stump dan memasang balutan pada ujung stump serta tempattempat tulang yang menonjol. Keuntungan cara ini bisa mencegah oedema, mengurangi
nyeri dan mempercepat posisi berdiri.
Setelah pemasangan rigid dressing bisa dilanjutkan dengan mobilisasi segera, mobilisasi setelah
7 10 hari post operasi setelah luka sembuh, setelah 2 3 minggu, setelah stump sembuh dan
mature. Namun untuk mobilisasi dengan rigid dressing ini dipertimbangkan juga faktor usia,
kekuatan, kecerdasan penderita, tersedianya perawat yang terampil, therapist dan prosthetist serta
kerelaan dan kemauan dokter bedah untuk melakukan supervisi program perawatan. Rigid
dressing dibuka pada hari ke 7 10 post operasi untuk melihat luka operasi atau bila ditemukan
cast yang kendor atau tanda-tanda infeksi lokal atau sistemik.
1. Soft dressing
Yaitu bila ujung stump dirawat secara konvensional, maka digunakan pembalut steril
yang rapi dan semua tulang yang menonjol dipasang bantalan yang cukup. Harus
diperhatikan penggunaan elastik verban jangan sampai menyebabkan konstriksi pada
stump. Ujung stump dielevasi dengan meninggikan kaki tempat tidur, melakukan elevasi
dengan mengganjal bantal pada stump tidak baik sebab akan menyebabkan fleksi
kontraktur. Biasanya luka diganti balutan dan drain dicabut setelah 48 jam. Ujung stump
ditekan sedikit dengan soft dressing dan pasien diizinkan secepat mungkin untuk berdiri
setelah kondisinya mengizinkan. Biasanya jahitan dibuka pada hari ke 10 14 post

operasi. Pada amputasi diatas lutut, penderita diperingatkan untuk tidak meletakkan
bantal dibawah stump, hal ini perlu diperhatikan untuk mencegah terjadinya kontraktur.
1. Dampak Masalah Terhadap Sistem Tubuh.
1. Kecepatan metabolisme
Jika seseorang dalam keadaan immobilisasi maka akan menyebabkan penekanan
pada fungsi simpatik serta penurunan katekolamin dalam darah sehingga
menurunkan kecepatan metabolisme basal.
2. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit
Adanya penurunan serum protein tubuh akibat proses katabolisme lebih besar dari
anabolisme, maka akan mengubah tekanan osmotik koloid plasma, hal ini
menyebabkan pergeseran cairan intravaskuler ke luar keruang interstitial pada
bagian tubuh yang rendah sehingga menyebabkan oedema. Immobilitas
menyebabkan sumber stressor bagi klien sehingga menyebabkan kecemasan yang
akan memberikan rangsangan ke hypotalamus posterior untuk menghambat
pengeluaran ADH, sehingga terjadi peningkatan diuresis.
3. Sistem respirasi
1. Penurunan kapasitas paru
Pada klien immobilisasi dalam posisi baring terlentang, maka kontraksi
otot intercosta relatif kecil, diafragma otot perut dalam rangka mencapai
inspirasi maksimal dan ekspirasi paksa.
2. Perubahan perfusi setempat
Dalam posisi tidur terlentang, pada sirkulasi pulmonal terjadi perbedaan
rasio ventilasi dengan perfusi setempat, jika secara mendadak maka akan
terjadi peningkatan metabolisme (karena latihan atau infeksi) terjadi
hipoksia.
3. Mekanisme batuk tidak efektif
Akibat immobilisasi terjadi penurunan kerja siliaris saluran pernafasan
sehingga sekresi mukus cenderung menumpuk dan menjadi lebih kental
dan mengganggu gerakan siliaris normal.
4. Sistem Kardiovaskuler
1. Peningkatan denyut nadi

Terjadi sebagai manifestasi klinik pengaruh faktor metabolik, endokrin


dan mekanisme pada keadaan yang menghasilkan adrenergik sering
dijumpai pada pasien dengan immobilisasi.
2. Penurunan cardiac reserve
Dibawah pengaruh adrenergik denyut jantung meningkat, hal ini
mengakibatkan waktu pengisian diastolik memendek dan penurunan isi
sekuncup.
3. Orthostatik Hipotensi
Pada keadaan immobilisasi terjadi perubahan sirkulasi perifer, dimana
anterior dan venula tungkai berkontraksi tidak adekuat, vasodilatasi lebih
panjang dari pada vasokontriksi sehingga darah banyak berkumpul di
ekstremitas bawah, volume darah yang bersirkulasi menurun, jumlah
darah ke ventrikel saat diastolik tidak cukup untuk memenuhi perfusi ke
otak dan tekanan darah menurun, akibatnya klien merasakan pusing pada
saat bangun tidur serta dapat juga merasakan pingsan.
5. Sistem Muskuloskeletal
1. Penurunan kekuatan otot
Dengan adanya immobilisasi dan gangguan sistem vaskuler
memungkinkan suplai O2 dan nutrisi sangat berkurang pada jaringan,
demikian pula dengan pembuangan sisa metabolisme akan terganggu
sehingga menjadikan kelelahan otot.
2. Atropi otot
Karena adanya penurunan stabilitas dari anggota gerak dan adanya
penurunan fungsi persarafan. Hal ini menyebabkan terjadinya atropi dan
paralisis otot.
3. Kontraktur sendi
Kombinasi dari adanya atropi dan penurunan kekuatan otot serta adanya
keterbatasan gerak.
4. Osteoporosis
Terjadi penurunan metabolisme kalsium. Hal ini menurunkan
persenyawaan organik dan anorganik sehingga massa tulang menipis dan
tulang menjadi keropos.

6. Sistem Pencernaan
1. Anoreksia
Akibat penurunan dari sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi
sekresi kelenjar pencernaan dan mempengaruhi perubahan sekresi serta
penurunan kebutuhan kalori yang menyebabkan menurunnya nafsu
makan.
2. Konstipasi
Meningkatnya jumlah adrenergik akan menghambat pristaltik usus dan
spincter anus menjadi kontriksi sehingga reabsorbsi cairan meningkat
dalam colon, menjadikan faeces lebih keras dan orang sulit buang air
besar.
7. Sistem perkemihan
Dalam kondisi tidur terlentang, renal pelvis ureter dan kandung kencing berada
dalam keadaan sejajar, sehingga aliran urine harus melawan gaya gravitasi, pelvis
renal banyak menahan urine sehingga dapat menyebabkan :
Akumulasi endapan urine di renal pelvis akan mudah membentuk batu ginjal.
Tertahannya urine pada ginjal akan menyebabkan berkembang biaknya kuman
dan dapat menyebabkan ISK.
8. Sistem integumen
Tirah baring yang lama, maka tubuh bagian bawah seperti punggung dan bokong
akan tertekan sehingga akan menyebabkan penurunan suplai darah dan nutrisi ke
jaringan. Jika hal ini dibiarkan akan terjadi ischemia, hyperemis dan akan normal
kembali jika tekanan dihilangkan dan kulit dimasase untuk meningkatkan suplai
darah.

Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Amputasi


Kegiatan keperawatan yang dilakukan pada klien dapat dibagi dalam tiga tahap yaitu
pada tahap preoperatif, tahap intraoperatif, dan pada tahap postoperatif.

1. Pre Operatif
Pada tahap praoperatif, tindakan keperawatan lebih ditekankan pada upaya untuk
mempersiapkan kondisi fisik dan psikolgis klien dalam menghadapi kegiatan operasi.

Pada tahap ini, perawat melakukan pengkajian yang erkaitan dengan kondisi fisik,
khususnya yang berkaitan erat dengan kesiapan tubuh untuk menjalani operasi.
Pengkajian Riwayat Kesehatan
Perawat memfokuskan pada riwayat penyakit terdahulu yang mungkin dapat
mempengaruhi resiko pembedahan seperti adanya penyakit diabetes mellitus, penyakit
jantung, penyakit ginjal dan penyakit paru. Perawat juga mengkaji riwayat penggunaan
rokok dan obat-obatan.
Pengkajian Fisik
Pengkajian fisik dilaksanakan untuk meninjau secara umum kondisi tubuh klien secara
utuh untuk kesiapan dilaksanakannya tindakan operasi manakala tindakan amputasi
merupakan tindakan terencana/selektif, dan untuk mempersiapkan kondisi tubuh sebaik
mungkin manakala merupakan trauma/ tindakan darurat.
Kondisi fisik yang harus dikaji meliputi :
SISTEM TUBUH

KEGIATAN

Mengkaji kondisi umum kulit untuk meninjau tingkat hidrasi.

Lokasi amputasi mungkin mengalami keradangan akut atau kondisi


semakin buruk, perdarahan atau kerusakan progesif. Kaji kondisi
jaringan diatas lokasi amputasi terhadap terjadinya stasis vena atau
gangguan venus return.

Mengkaji tingkat aktivitas harian yang dapat dilakukan pada klien


sebelum operasi sebagai salah satu indikator fungsi jantung.

Pembuluh darah

Mengkaji kemungkinan atherosklerosis melalui penilaian terhadap


elastisitas pembuluh darah.

Sistem Respirasi

Mengkaji kemampuan suplai oksigen dengan menilai adanya


sianosis, riwayat gangguan nafas.

Mengkaji jumlah urine 24 jam.

Menkaji adanya perubahan warna, BJ urine.

Integumen :Kulit
secara umum.
Lokasi amputasi

Sistem
Cardiovaskuler
:Cardiac reserve

Sistem Urinari

Mengkaji tingkat hidrasi.

Memonitor intake dan output cairan.

Mengkaji tingkat kesadaran klien.

Mengkaji sistem persyarafan, khususnya sistem motorik dan


sensorik daerah yang akan diamputasi.

Mengkaji kemampuan otot kontralateral.

Cairan dan elektrolit

Sistem Neurologis

Sistem
Mukuloskeletal

Pengkajian Psikologis, Sosial, Spiritual


Disamping pengkajian secara fisik perawat melakukan pengkajian pada kondisi psikologis
( respon emosi ) klien yaitu adanya kemungkinan terjadi kecemasan pada klien melalui penilaian
klien terhadap amputasi yang akan dilakukan, penerimaan klien pada amputasi dan dampak
amputasi terhadap gaya hidup. Kaji juga tingkat kecemasan akibat operasi itu sendiri. Disamping
itu juga dilakukan pengkajian yang mengarah pada antisipasi terhadap nyeri yang mungkin
timbul.
Perawat melakukan pengkajian pada gambaran diri klien dengan memperhatikan tingkatr
persepsi klien terhadap dirinya, menilai gambaran ideal diri klien dengan meninjau persepsi klien
terhadap perilaku yang telah dilaksanakan dan dibandingkan dengan standar yang dibuat oleh
klien sendiri, pandangan klien terhadap rendah diri antisipasif, gangguan penampilan peran dan
gangguan identitas.
Adanya gangguan konsep diri antisipasif harus diperhatikan secara seksama dan bersama-sama
dengan klien melakukan pemilihan tujuan tindakan dan pemilihan koping konstruktif.
Adanya masalah kesehatan yang timbul secara umum seperti terjadinya gangguan fungsi jantung
dan sebagainya perlu didiskusikan dengan klien setelah klien benar-benar siap untuk menjalani
operasi amputasi itu sendiri. Kesadaran yang penuh pada diri klien untuk berusaha berbuat yang
terbaik bagi kesehatan dirinya, sehingga memungkinkan bagi perawat untuk melakukan tindakan
intervensi dalam mengatasi masalah umum pada saat pre operatif. Asuhan keperawatan pada
klien preoperatif secara umum tidak dibahas pada makalah ini.
Laboratorik
Tindakan pengkajian dilakukan juga dengan penilaian secara laboratorik atau melalui
pemeriksaan penunjang lain secara rutin dilakukan pada klien yang akan dioperasi yang meliputi
penilaian terhadap fungsi paru, fungsi ginjal, fungsi hepar dan fungsi jantung.

Diagnosa Keperawatan dan Perencanaan

Dari pengkajian yang telah dilakukan, maka diagnosa keperawatan yang dapat timbul antara
lain :
1. Kecemasan berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang kegiatan perioperatif.
Karakteristik penentu :

Mengungkapkan rasa tajut akan pembedahan.

Menyatakan kurang pemahaman.

Meminta informasi.

Tujuan : Kecemasan pada klien berkurang.


Kriteria evaluasi :

Sedikit melaporkan tentang gugup atau cemas.

Mengungkapkan pemahaman tentang operasi.

INTERVENSI
Memberikan bantuan secara fisik dan
psikologis, memberikan dukungan
moral.Menerangkan prosedur operasi
dengan sebaik-baiknya.

RASIONAL
Secara psikologis meningkatkan rasa aman dan
meningkatkan rasa saling
percaya.Meningkatkan/memperbaiki pengetahuan/
persepsi klien.

Mengatur waktu khusus dengan klien


untuk berdiskusi tentang kecemasan
klien.

Meningkatkan rasa aman dan memungkinkan klien


melakukan komunikasi secara lebih terbuka dan lebih
akurat.

1. Berduka yang antisipasi (anticipated griefing) berhubungan dengan kehilangan akibat


amputasi.
Karakteristik penentu :

Mengungkapkan rasa takut kehilangan kemandirian.

Takut kecacatan.

Rendah diri, menarik diri.

Tujuan : Klien mampu mendemontrasikan kesadaran akan dampak pembedahan pada citra diri.
Kriteria evaluasi :

mengungkapkan perasaan bebas, tidak takut.

Menyatakan perlunya membuat penilaian akan gaya hidup yangbaru.

INTERVENSI
Anjurkan klien untuk mengekspresikan
perasaan tentang dampak pembedahan pada
gaya hidup.Berikan informasi yang adekuat dan
rasional tentang alasan pemilihan tindakan
pemilihan amputasi.

RASIONAL

Mengurangi rasa tertekan dalam diri klien,


menghindarkan depresi, meningkatkan
dukungan mental.Membantu klien mengapai
penerimaan terhadap kondisinya melalui teknik
Berikan informasi bahwa amputasi merupakan rasionalisasi.
tindakan untuk memperbaiki kondisi klien dan
merupakan langkah awal untuk menghindari
Meningkatkan dukungan mental.
ketidakmampuan atau kondisi yang lebih parah.
Strategi untuk meningkatkan adaptasi terhadap
Fasilitasi untuk bertemu dengan orang dengan perubahan citra diri.
amputasi yang telah berhasil dalam penerimaan
terhadap situasi amputasi.
Selain masalah diatas, maka terdapat beberapa tindakan keperawatan preoperatif antara lain :

Mengatasi nyeri
o Menganjurkan klien untuk menggunakan teknik dalam mengatsi nyeri.
o Menginformasikan tersdianya obat untuk mengatasi nyeri.
o Menerangkan pada klien bahwa klien akan merasakan adanya kaki untuk
beberapa waktu lamanya, sensasi ini membantu dalam menggunakan kaki protese
atau ketika belajar mengenakan kaki protese.

Mengupayakan pengubahan posisi tubuh efektif


o Menganjurkan klien untuk mengubah posisi sendiri setiap 1 2 jam untuk
mencegah kontraktur.
o Membantu klien mempertahankan kekuatan otot kaki ( yang sehat ), perut dan
dada sebagai persiapan untuk penggunaan alat penyangga/kruk.

o Mengajarkan klien untuk menggunakan alat bantu ambulasi preoperasi, untuk


membantu meningkatkan kemampuan mobilitas posoperasi, memprtahankan
fungsi dan kemampuan dari organ tubuh lain.

Mempersiapkan kebutuhan untuk penyembuhan


o Mengklarifikasi rencana pembedahan yang akan dilaksanakan kepada tim bedah.
o Meyakinkan bahwa klien mendapatkan protese/alat bantu ( karena tidak semua
klien yang mengalami operasi amputasi mendapatkan protese seperti pada
penyakit DM, penyakit jantung, CVA, infeksi, dan penyakit vaskuler perifer, luka
yang terbuka ).
o Semangati klien dalam persiapan mental dan fisik dalam penggunaan protese.
o Ajarkan tindakan-tindakan rutin postoperatif : batuk, nafas dalam.

1. Intra Operatif
Pada masa ini perawat berusaha untuk tetap mempertahankan kondisi terbaik klie. Tujuan
utama dari manajemen (asuhan) perawatan saat ini adalah untuk menciptakan kondisi
opyimal klien dan menghindari komplikasi pembedahan.
Perawat berperan untuk tetap mempertahankan kondisi hidrasi cairan, pemasukan
oksigen yang adekuat dan mempertahankan kepatenan jalan nafas, pencegahan injuri
selama operasi dan dimasa pemulihan kesadaran. Khusus untuktindakan perawatan luka,
perawat membuat catatan tentang prosedur operasi yang dilakukan dan kondisi luka,
posisi jahitan dan pemasangan drainage. Hal ini berguna untuk perawatan luka
selanjutnya dimasa postoperatif.
1. Post Operatif
Pada masa post operatif, perawat harus berusaha untuk mempertahankan tanda-tanda
vital, karena pada amputasi, khususnya amputasi ekstremitas bawah diatas lutut
merupakan tindakan yang mengancam jiwa.
Perawat melakukan pengkajian tanda-tanda vital selama klien belum sadar secara rutin
dan tetap mempertahankan kepatenan jalas nafas, mempertahankan oksigenisasi jaringan,
memenuhi kebutuhan cairan darah yang hilang selama operasi dan mencegah injuri.
Daerah luka diperhatikan secara khusus untuk mengidentifikasi adanya perdarahan masif
atau kemungkinan balutan yang basah, terlepas atau terlalu ketat. Selang drainase benarbenar tertutup. Kaji kemungkinan saluran drain tersumbat oleh clot darah.
Awal masa postoperatif, perawat lebih memfokuskan tindakan perawatan secara umum
yaitu menstabilkan kondisi klien dan mempertahankan kondisi optimum klien.

Perawat bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan dasar klien, khususnya yang


dapat menyebabkan gangguan atau mengancam kehidupan klien.
Berikutnya fokus perawatan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan klien untuk
membentuk pola hidup yang baru serta mempercepat penyembuhan luka. Tindakan
keperawatan yang lain adalah mengatasi adanya nyeri yang dapat timbul pada klien
seperti nyeri Panthom Limb dimana klien merasakan seolah-olah nyeri terjadi pada
daerah yang sudah hilang akibat amputasi. Kondisi ini dapat menimbulkan adanya
depresi pada klien karena membuat klien seolah-olah merasa tidak sehat akal karena
merasakan nyeri pada daerah yang sudah hilang. Dalam masalah ini perawat harus
membantu klien mengidentifikasi nyeri dan menyatakan bahwa apa yang dirasakan oleh
klien benar adanya.
Diagnosa keperawatan yang dapat ditegakkan antara lain adalah :
1. Gangguan rasa nyaman : Nyeri berhubungan dengan insisi bedah sekunder terhadap
amputasi
Karakteristik penentu :

Menyatakan nyeri.

Merintih, meringis.

Tujuan : nyeri hilang / berkurang.


Kriteria evaluasi :

Menyatakan nyeri hilang.

Ekspresi wajah rileks.

INTERVENSI
Evaluasi nyeri : berasal dari sensasi
panthom limb atau dari luka insisi. Bila
terjadi nyeri panthom limbBeri analgesik
( kolaboratif ).

RASIONAL
Sensasi panthom limb memerlukan waktu yang lama
untuk sembuh daripada nyeri akibat insisi.Klien
sering bingung membedakan nyeri insisi dengan
nyeri panthom limb.

Ajarkan klien memberikan tekanan lembut


Untuk menghilangkan nyeri
dengan menempatkan puntung pada
handuk dan menarik handuk dengan
Mengurangi nyeri akibat nyeri panthom limb
berlahan.
1. Gangguan konsep diri berhubungan dengan perubahan citra tubuh sekunder terhadap
amputasi

Karakteristik penentu :

Menyatakan berduka tentang kehilangan bagian tubuh.

Mengungkapkan negatif tentang tubuhnya.

Depresi.

Tujuan : Mendemontrasikan penerimaan diri pada situasi yang baru.


Kriteria evaluasi :

Menyatakan penerimaan terhadap penerimaan diri.

Membuat rencana untuk melanjutkan gaya hidup.

INTERVENSI
Validasi masalah yang dialami klien.Libatkan klien
dalam melakukan perawatan diri yang langsung
menggunakan putung :

Perawatan luka.

Mandi.

Menggunakan pakaian.

RASIONAL

Meninjau perkembangan klien.Mendorong


antisipasi meningkatkan adaptasi pada
perubahan citra tubuh.
Meningkatkan status mental klien.
Memfasilitasi penerimaan terhadap diri.

Berikan dukungan moral.


Hadirkan orang yang pernah amputasi yang telah
menerima diri.

1. Resiko tinggi terhadap komplikasi : Infeksi, hemorragi, kontraktur, emboli lemak


berhubungan dengan amputasi
Karakteristik penentu :

Terdapat tanda resiko infeksi, perdarahan berlebih, atau emboli lemak.

Tujuan : tidak terjadi komplikasi.


Kriteria evaluasi : tidak ada infeksi, hemorragi dan emboli lemak.
INTERVENSI

RASIONAL

Infeksi
Lakukan perawatan luka adekuat.
Perdarahan
Pantau :

Mencegah terjadinya infeksi.


Menghindari resiko kehilangan cairan dan resiko
terjadinya perdarahan pada daerah amputasi.

-Masukan dan pengeluaran cairan.


Sebagai monitor status hemodinamik
Tanda-tanda vital tiap 4 jam.
Indikator adanya perdaraham masif
Kondisi balutan tiap 4-8 jam.
Emboli lemak
Monitor pernafasan.
Persiapkan oksigen

Memantau tanda emboli lemak sedini mungkin


Untuk mempercepat tindakan bila sewaktu-waktu
dperlukan untuk tindakan yang cepat.

Pertahankan posisi flower atau tetap tirah Mengurangi kebutuhan oksigen jaringan atau
baring selama beberapa waktu
memudahkan pernafasan.
Beberapa kegiatan keperawatan lain yang dilakukan adalah :

Melakukan perawatan luka postoperasi


o Mengganti balutan dan melakukan inspeksi luka.
o Terangkan bahwa balutan mungkin akan digunakan hingga protese yang
digunakan telah tepat dengan kondisi daerah amputasi (6 bulan 1 tahun).

Membantu klien beradaptasi dengan perubahan citra diri


o Memberi dukungan psikologis.
o Memulai melakukan perawatan diri atau aktivitas dengan kondisi saat ini.

Mencegah kontraktur
o Menganjurkan klien untuk melakukan gerakan aktif pada daerah amputasi segera
setelah pembatasan gerak tidak diberlakukan lagi.
o Menerangkan bahwa gerakan pada organ yang diamputasi berguna untuk
meningkatkan kekuatan untuk penggunaan protese, menghindari terjadinya
kontraktur.

Aktivitas perawatan diri

o Diskusikan ketersediaan protese ( dengan terapis fisik, ortotis ).


o Mengajari klien cara menggunakan dan melepas protese.
o Menyatakan bahwa klien idealnya mencari bantuan/superfisi dari tim rehabilitasi
kesehatan selama penggunaan protese.
o Mendemontrasikan alat-alat bantu khusus.
o Mengajarkan cara mengkaji adanya gangguan kulit akibat penggunaan protese.
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pada bab ini akan diuraikan tentang pelakanaaan auhan keperawatan pada Tn. H yang berusia 34
tahun dengan diagnosa Osteosarkoma Proximal Tibia Post ECI di Rumah Sakit Umum Pusat
Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing. Pelaksanaan asuhan keperawatan dilakukan
selama tiga hari mulai tanggal 28 oktober 2009 sampai tanggal 30 oktober 2009.

Gambaran kasus
Klien bernama Tn. H (34 tahun), jenis kelamin laki-laki, status kawin, agama islam, suku jawa,
pendidikan terakhir tamat SMA, bahasa yang digunakan bahasa indonesia, belum mempunyai
pekerjaan , alamat rumah klien Bogor Jawa Barat.
Klien masuk RSUP Cipto Mangunkusumo Jakarta pada tanggal 20 oktober 2009 dengan nomor
register 4252425. Adapun keluhan utama klien saat ini adalah klien mengatakan nyeri di kaki
kiri skala nyeri 5, klien habis dilakukan post op amputasi.
Klien tidak punya alergi terhadap obat atau makanan. Klien mengatakan tidak pernah
mendapatkan kecelakaan tetapi pernah dirawat di Rumah Sakit pada tahun 2005 dilakukan biopsi
pada kaki kiri dan pada tahun 2008 dilakukan ECI dan klien dianjurkan untuk dilakukan
amputasi pada kaki kirinya.
Klien mengatakan bila mempunyai masalah, biasanya mencari istri untuk meminta bantuan
karena mereka adalah orang yang selalu dekat dengan pasien. Klien mengatakan bahwa saat ini
klien hanya berharap tentang kesembuhan penyakitnya karena ingin cepat sembuh dan pulang.
Klien mengatakan perubahan yang saya rasakan setelah sakit, badannya lemah dan tidak bisa
beraktivitas seperti biasa meskipun demikian pasien tetap menjalankan sholat 5 waktu setiap
hari.
Pola kebiasaan klien mengatakan sebelum sakit makan 3 kali sehari, napsu makan baik dan
makanan yang tidak disukai adalah pedas serta ikan tuna dan udang karena dapat membuat

alergi. Klien mengatakan sebelum sakit suka berolahraga jalan-jalan 1-2 kali seminggu. Klien
mengatakan tidak merokok, tidak minum minuman keras dan tidak menggunakan NAPZA.
Dari hasil pengkajian
pemeriksaan fisik klien mempunyai berat badan 69 Kg, sebelum sakit 73 kg, Tinggi badan 165
cm, tekanan darah 110/80 mmHg, nadi 104 x/menit, frekuensi nafas 20 x/menit, suhu badan :
36,2 0 C, keadaan Umum klien sakit sedang, Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening.
Sedangkan pada sistem penglihatan posisi mata klien baik tidak ada kelainan, kelopak mata,
pergerakan bola mata, kornea, otot-otot mata dalam keadaan normal, konjungtiva merah muda,
sklera Anikterik, pupil isokor, fungsi penglihatan baik dan tidak ada tanda-tanda radang. Reaksi
terhadap cahaya positif kanan kiri. Klien tidak menggunakan kacamata dan lensa kontak, Dalam
sistem pendengaran baik daun telinga, kondisi telinga tengah dalam keadaan normal dan tidak
ada kelainan, seperti perasaan penuh di telinga, tinitus, gangguan keseimbangan, keluar cairan
dari telinga. Klien juga tidak menggunakan alat bantu pendengaran.
Sistem wicara klien dalam keadaan normal tidak ada kelainan. Pada sistem pernafasan jalan
napas klien tidak ada sumbatan sputum tidak ada sesak, tidak ada retraksi otot, frekuensi
pernapasan 20 x/ menit. Irama pernapasan teratur, jenis penafasan eupnea, batuk tidak ada, suara
napas vesikuler, tidak ada nyeri saat bernapas, tidak menggunakan alat bantu bernapas, seperti
oksigen. Pada sistem kardiovaskuler, Nadi klien 104 x/ menit, irama teratur, tekanan darah
110/780 mmHg, tidak ada distensi vena jugularis, pengisian kapileri
detik, tidak ada

edema baik eksremitas bawah maupun atas, sedangkan pada sirkulasi jantung, Kecepatan denyut
apikal 104 x/menit, irama teratur, tidak ada kelainan jantung, tidak ada sakit dada seperti ditusuktusuk ketika beraktivitas, Sistem Hematologi :Dalam gangguan hematologi : pucat (-) dan tidak
ada perdarahan. Pada sistem saraf pusat, Klien mengatakan tidak ada keluhan sakit kepala,
tingkat kesadaran : komposmentis.skala GCS : E4M6V4, tidak ada peningkatan TIK serta
gangguan sistem persyarafan. Pemeriksaan refleks fisiologis normal dan patologis tidak ada,
Sedangkan pada sistem pencernaan, Keadaan gigi tidak terdapat karies pada gigi, tidak ada
penggunaan gigi palsu, tidak ada stomatitis, lidah tidak kotor, kelenjar saliva normal, tidak ada
nyeri daerah perut, bising usus 5 x/menit, tidak diare. Nyeri pada daerah perut tidak ada.
Sistem Endokrin
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid, napas tidak berbau keton, dan tidak ada luka gangren,
Pada sistem urogenital
Intake output tanggal 28 oktober 2009 pukul 05.00-13.00 WIB :
Intake : oral : 300 cc / 8 jam
parenteral Infus RD : 600 cc / 8 jam
Jumlah : 900 cc / 8 jam
output : BAK : 500 cc / 8 jam

IWL : 230 cc / 8 jam


Jumlah : 730 cc / 8 jam
Balance : 170 cc
BAK berwarna jernih, tidak ada distensi kantung kemih dan tidak ada keluhan sakit pinggang.
Pada sistem integument klien, Turgor kulit baik, suhu 36,2 0C, kedaan kulit baik, ada luka insisi
operasi di daerah tibia kiri, kondisi baik tidak ada rembesan darah. Dipasang drain cairan
berwarna merah darah 30 cc. kelainan kulit tidak ada, tidak terjadi tanda dan gejala infeksi
(tumor, kalor, dolor dan fungsiolasea) pada daerah pemasangan infus serta keadaan tekstur
rambut dan kebersihan baik.
Pada sistem muskuloskeletal, Tidak ada kelainan sistem musculoskeletal pada klien tetapi ada
kesulitan dalam pergerakan karena luka insisi operasi, tonus otot hipotoni, kekuatan otot.
.
Sedangkan hasil laboratorium: Hb : 15,4 g/dl ( 13-16 g/dl), Ht : 43 % (40-48 %), Leukosit : 11
Ribu/ul (5,0-10,0 Ribu/ul), Trombosit : 203 Ribu/ul (150-400 Ribu/ul), PT : 13,5 % (10 -15 %),
APTT 33,9 % (25-35 %) dan penatalaksanaan medis : Cairan : NACL 0,9 % 500 cc : 20 tetes /
menit, Diit : Tinggi Kalori Tinggi Protein (tidak ada pantangan) ,Obat Post Op : Cefazolin 3 x 1
gram, ketorolac 3 x 30 mg, ranitidin 2 x 50 mg.
B. Diagnosa, Intervensi, Implementasi dan Evaluasi Keperawatan.
Dari data diatas penulis mengangkat tiga diagnosa keperawatan selama 3 hari dari tanggal 28
30 oktober 2009 adalah sebagai berikut :

Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada kaki kiri bila digerakkan, Klien
mengatakan skala nyeri 5 seperti ditusuk-tusuk, Data Objektif : Ekspresi wajah klien
meringis saat kakinya digerakkan,Skala nyeri 5,Klien post op amputasi hari ke-1 atas
indikasi osteosarkoma proximal tibia, Klien tampak kesakitan saat kakinya digerakkan
atau diam, Tanda-tanda Vital TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36 O C, RR : 20 x/
menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam nyeri dapat
berkurang atau terkontrol. Kriteria Hasil : Nyeri berkurang/hilang, Skala nyeri 0-1,
Klien menunjukkan sikap santai dan rileks, Klien dapat mendemonstrasikan teknik
relaksasi nafas dalam, Klien dapapt mengontrol nyeri, TTV dalam batas normal: TD :
110/70 120/80 mmHg, N : 60 80 kali / menit, RR : 16 20 kali / menit, S : 36,2 C
37C. Rencana keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam, Evaluasi skala nyeri,
karakteristik dan lokasi, Atur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, Ajarkan
teknik relaksasi nafas dalam, Kolaborasi : Berikan obat sesuai program ketorolac 3 x 30
mg. Implementasi yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30

oktober 2009: Memberikan obat ketololac 30 mg melalui vamplon, mengidentifikasi


lokasi, karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien, mengatur
posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka insisi bedah.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : masalah nyeri pada bagian kaki kiri teratasi. S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien
post op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD :
120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri
pada bagian kaki kiri sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1

Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic verban


ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan terasa saat diraba didaerah paha sebelah kiri, Klien
mengatakan tidak rasa kesemutan pada daerah kaki kiri, Data Objektif : Klien terpasang
elastis perban pada pangkal paha kiri, Edema disekitar luka tidak ada, Capillary refill < 3
detik, Akral Hangat, Tidak ada sianosis pada daerah pemasangan elastic perban,
Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70 mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C,
RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3 x 24 jam klien dapat
mempertahankan neurovaskuler perifer. Kriteria Hasil : Nadi perifer teraba, Ekstremitas
hangat, Warna kulit tidak pucat, Capillary refill < 3 detik, Edema tidak ada, Ada sensasi
(bila diraba terasa), Tidak ada kesemutan, TTV dalam batas normal :TD : 110/70
120/80 mmHg, N : 60 80 kali / menit, RR : 16 20 kali / menit, S : 36 C 37C,
Rencana keperawatan : Observasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda
pucat dkulit dingin,Observasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan
ekstremitas yang satu dengan yang lain, Pantau capillary refill, warna kulit, suhu distal
pada ekstremitas yang diamputasi, Observasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi,
ekstensi, hiperekstensi, oposisi), Kurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas
yang edema, Ajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit, Implementasi
yang telah dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009:
mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda pucat dkulit
dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan ekstremitas yang
satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal pada
ekstremitas yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi,
ekstensi, hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada
ekstremitas yang edema, mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada
kaki kiri yang terpasang elastic verban,O : Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary
refill < 3 detik, Sensasi raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80
mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 2
tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2

Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi ditandai dengan :


Data Subjektif : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya (makan, mandi) dibantu
oleh keluarganya dan perawat, Klien mengatakan kaki kirinya terasa nyeri saat

digerakkan, Data Objektif : Kesadaran Composmentis,Keadaan umum baik, Klien post


op amputasi hari ke-1 atas indikasi osteosarkoma proximal tibia, Kebutuhan klien
(mandi, makan) dibantu oleh keluarga atau perawat, Mobilisasi klien saat ini duduk
dengan bantuan saat tidur kembali, Kekuatan otot : , Tanda-tanda Vital : TD : 110/70
mmHg, N : 104 x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan Setelah dilakukan
tindakan keperawatan 3 x 24 jam kebutuhan ADL terpenuhi. Kriteria Hasil Klien dapat
beraktivitas dengan bantuan minimal, Meningkatkan fungsi tubuh yang sakit, Klien
mampu melakukan ADL secara mandiri, Kekuatan otot maksimal , TTV dalam batas
normal :TD : 110/70 120/80 mmHg, N : 60 80 kali / menit, RR : 16 20 kali / menit,
S : 36 C 37C, Rencana keperawatan : Observasi kemampuan klien dalam
melakukan aktivitas, Ajarkan teknik latihan isometrik, Bantu dalam pemenuhan
kebutuhan ADL, Observasi nilai kekuatan oto dan tonus otot, Implementasi yang telah
dilakukan sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengbservasi
kemampuan klien dalam melakukan aktivitas, mengajarkan teknik latihan isometrik,
membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL, mengobservasi nilai kekuatan otot dan
tonus ototEvaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehariharinya sudah dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O : Keadaan Umum
baikKesadaran composmentis, Klien dapat melakukan kegiatan makan, minum secara
mandiri, Kegiatan mandi dan BAB masih membutuhkan bantuan dari keluarga, Kekuatan
otot, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O
C Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann
control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P : Hentikan intervensi Dx 3

Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan pemasangan alat
invasive kateter dan infus ditandai dengan :
Data Subjektif : Klien mengatakan nyeri pada area luka amputasi, Klien mengatakan
tidak ada rasa nyeri pada daerah pemasangan infus dan kateter, Data Objektif : Terdapat
luka post op hari ke-1, Balutan luka tidak ada rembesan, Panjang dan lebar luka belum
terkaji karena belum dilakukan dreesing, Klien terpasang drain, cairan drainase 30 cc
berwarna merah, Balutan albocath tampak bersih, Tanda-tanda infeksi (rubor, kalor,
dolor, tumor, fungsiolesa) tidak ada, Klien terpasang DC (drain cateter) sejak tanggal 2710-2009, Tanda-tanda infeksi pada daerah pemasangan kateter tidak ada, Warna urine
kuning jernih, aliran urine lancer, tidak ada nyeri pada daerah pemasangan kateter,
Leukosit 11.000 /ul (N : 5000-10.000/ul), Tanda-tanda Vital TD : 110/80 mmHg, N : 104
x/menit, S : 36,2 O C, RR : 20 x/ menit, Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan
3 x 24 jam resiko infeksi tidak menjadi aktual, Kriteria Hasil : Balutan luka bersih,
Tidak ada rembesan darah, Balutan albocath bersih, Tidak ada phlebitis pada pemasangan
albocath, Warna urine jernih, Leukosit dalam batas jumlah normal (5000-10000/ul), ,
TTV dalam batas normal: TD : 110/70 120/80 mmHg, N : 60 80 kali / menit, RR : 16
20 kali / menit, S : 36 C 37C. Rencana keperawatan : Ukur TTV setiap 8 jam,
Observasi luka terhadap infeksi, Lakukan perawatan luka 1 kali/hari, Berikan diet tinggi
kalori dan tinggi protein, Catat jumlah dan warna drainase, Ganti balutan luka albocath 1
kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari, Kolaborasi : Pemeriksaan Laboratorium
( Leukosit, LED), Berikan obat Cefazolin 3 x 1 gr, Implementasi yang telah dilakukan

sejak tanggal 28 oktober 2009 sampai 30 oktober 2009: mengukur TTV setiap 8 jam,
mengobservasi luka terhadap infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan
diet tinggi kalori dan tinggi protein, mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti
balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi :
memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr. Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : O:
Keadaan Umum baik, Kesadaran composmentis, Klien post op amputasi hari ke-2, Tidak
ada rembesan luka, Elastic verban baik, Albocath sudah di aff, Kateter sudah di aff,
Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit 11.900/ul, Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80
mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Masalah Dx 4
tidak menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas masalah yang terjadi pada kasus kelolaan, yaitu tentang
kesenjangan antara teori dan kasus pada Tn. H dengan Osteosarkoma Proximal Tibia Post ECI di
Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo di lantai 4 public wing yang dilaksanakan pada
tanggal 28-30 Oktober 2009. Pembahasan ini meliputi definisi, rasional, data yang menunjang,
intervensi, implementasi, dan evaluasi, juga analisa faktor pendukung dan penghambat serta
solusi dari tiap masalah diagnosa keperawatan yang muncul.
Diagnosa pertama : Gangguan rasa nyaman nyeri b.d luka insisi post op amputasi
Definisi : Nyeri adalah pengalaman sensori dan emosi yang tidak menyenangkan dan meningkat
akibat adanya kerusakan jaringan yang aktual atau potensial, digambarkan dalam istilah seperti
kerusakan (Internasional Asosiation For The Study Of Pain) ; awitan yang tiba-tiba atau perlahan
dan intensitas sampai berat dengan akhir yang dapat diantisipasi atau dapat diramalkan durasinya
kurang dari 6 bulan. (Wilkinson, 2006)
Rasional : adanya kerusakan jaringan akibat luka insisi pasca operatif amputasi proximal tibia
menyebakan terjadinya sensasi nyeri sehingga menimbulkan suatu stressor pada klien yang
mengganggu klien dalam beraktivitas
Intervensi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam, mengevaluasi skala nyeri,
karakteristik dan lokasi, mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal,
mengajarkan teknik relaksasi nafas dalam, Kolaborasi : memberikan obat sesuai program
ketorolac 3 x 30 mg.
Implementasi keperawatan : Memberikan obat ketololac 30 mg melaluiI vamplon
mengidentifikasi lokasi, karakteristik skala nyeri, mendiskusikan posisi yang nyaman bagi klien,
mengatur posisi kaki kiri yang sakit (abduksi) dengan bantal, mengajarkan teknik relaksasi napas
dalam bila nyeri timbul, mengkaji skala nyeri, mengobservasi keadaan luka insisi bedah..

Evaluasi keperawatan : S
: klien mengatakan sudah masih merasa nyeri skala nyeri 1, O : Klien terlhat rileks, Klien post
op amputasi hari ke-3, Keadaan balutan bersih tidak ada rembesan darah, TTV : TD : 120/ 80
mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan
pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control. A : Masalah nyeri pada bagian kaki kiri
sudah teratasi, P : Hentikan intervensi dx 1
Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan teknik relaksasi
nafas dalam yang berfungsi memperlancar O2 ke jaringan sehingga mengurangi rasa nyeri dan
klien mendapat terapi ketorolac 3 30 mg sehingga rangsangan nyeri tidak sampai ke sistem saraf
pusat kesadaran.
Faktor penghambat : Tidak ada
Solusi : Tidak ada
Diagnosa kedua : Resiko gangguan neurovaskuler perifer b.d dampak pemasangan elastic
verban
Definisi : suatu keadaaan dimana tingkat saat system saraf perifer menerima, memproses dan
merespons stimulus internal dan eksternal mengalami gangguan ( Wilkinson,2007:10).
Rasional : gangguan neurovaskuler dapat terjadi pada klien yang mengalami amputasi karena
mendapat balutan elastic verban hal ini dikarenakan elastic verban secara tidak langsung
menekan saraf perifer sehinggan saraf perifer tidak berfungsi yang dapat mengakibatkan tidak
adanya rasa saat adanya rasangan.
Intervensi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda
pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan ekstremitas
yang satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas
yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi,
hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema,
mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit.
Implementasi keperawatan : Mengobservasi TTV setiap 8 jam dengan perhatikan tanda-tanda
pucat dkulit dingin,mengobservasi tanda-tanda gangguan neurovaskuler bandingkan ekstremitas
yang satu dengan yang lain, memantau capillary refill, warna kulit, suhu distal pada ekstremitas
yang diamputasi, mengobservasi terhadap kemampuan pergerakan (fleksi, ekstensi,
hiperekstensi, oposisi), mengurangi edema dengan menggerakkan pada ekstremitas yang edema,
mengajarkan latihan isometrik mulai dari yang kaki yang sakit.
Evaluasi keperawatan : S: Klien mengatakan tidak ada kesemutan pada kaki kiri yang
terpasang elastic verban,O : Akral hangat, Tidak ada sianosis, Capillary refill < 3 detik, Sensasi
raba ada, Kekuatan otot , Tanda-tanda Vital : TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/
menit, S : 36 O C, Atas intruksi dokter klien diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009
diharuskann control, A : Maslah Dx 2 tidak menjadi actual, P : Hentikan intervensi Dx 2

Faktor pendukung : klien mau mengikuti perawat untuk melakukan gerakan isometrik untuk
merangsang saraf pertifer dank lien terlihat aktif belajar mobilisasi sehingga aliran darah perifer
menjadi adekuat
Faktor penghambat : Tidak ada
Solusi : Tidak ada
Diagnosa ketiga : Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL b.d keterbatasan mobilisasi
Definisi : keadaan dimana seorang individu mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan
gerak fisik, tetapi bukan imobilitas sehingga menyebabkan kebutuhan ADl klien terganggu.
Rasional : kerusakan mobilitas fisik menggambarkan seorang individu dengan keterbatasan
pengunaan lengan atau tungkai atau keterbatasan kekuatan otot.
Intervensi keperawatan : mengobservasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas,
mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL,
mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus otot.
Implementasi keperawatan : mengobservasi kemampuan klien dalam melakukan aktivitas,
mengajarkan teknik latihan isometrik, membantu dalam pemenuhan kebutuhan ADL,
mengobservasi nilai kekuatan otot dan tonus otot.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 : S : Klien mengatakan kebutuhan sehari-harinya sudah
dapat dilakukan sendiri seperti makan dan minum, O : Keadaan Umum baikKesadaran
composmentis, Klien dapat melakukan kegiatan makan, minum secara mandiri, Kegiatan mandi
dan BAB masih membutuhkan bantuan dari keluarga, Kekuatan otot, Tanda-tanda Vital : TD :
120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Maslah Dx 3 teratasi, P
: Hentikan intervensi Dx 3
Faktor pendukung : klien mau mengikuti anjuran perawat untuk melakukan latihan isometrik
dan keluarga turut berperan aktif dalam membantu kebutuhan ADL klien.
Faktor penghambat : kaki klien nyeri apabila ditumpukan.
Solusi : tetap motivasi klien untuk melakukan mobilitas sesuai batas kemampuan klien dan
malakukan latihan rentang gerak isometrik.
Diagnosa keempat : Resiko terjadinya infeksi b.d pembedahan pot op amputasi dan pemasangan
alat invasive kateter dan infus
Definisi : suatu kondisi individu yang mengalami peningkatan resiko terserang organisme
patogenik. (Wilkinson, 2007 )

Rasional : pada saat pertahanan tubuh menjadi lemah membuat tubuh terserang oleh pathogen.
Diagnosa ini diangkat sebagai diagnosa keempat karena data yang diperoleh masih dalam batas
normal, namun klien tetap berisiko terhadap infeksi, meskipun diagnosa ini tidak terdapat dalam
teori tetapi karena adanya area tempat masuk mikroorganisme, yaitu melalui tempat amputasi,
pemasangan kateter, dan penusukan infus yang apabila tidak dilakukan asuhan keperawatan
dapat menyebabkan terjadinya masalah infeksi pada klien.
Intervensi keperawatan : Mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap infeksi,
melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein, mencatat
jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan perawatan
kateter setiap hari, berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.
Implementasi keperawatan : Mengukur TTV setiap 8 jam, mengobservasi luka terhadap
infeksi, melakukan perawatan luka 1 kali/hari, memberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein,
mencatat jumlah dan warna drainase, mengganti balutan luka albocath 1 kali/hari, Lakukan
perawatan kateter setiap hari, berkolaborasi : memberikan obat Cefazolin 3 x 1 gr.
Evaluasi tanggal 30 desember 2008 :S : O: Keadaan Umum baik, Kesadaran composmentis,
Klien post op amputasi hari ke-2, Tidak ada rembesan luka, Elastic verban baik, Albocath sudah
di aff, Kateter sudah di aff, Tanda-tanda infeksi tidak ada, Leukosit 11.900/ul, Tanda-tanda Vital :
TD : 120/ 80 mmHg, RR : 18 x / menit, N : 88 x/ menit, S : 36 O C Atas intruksi dokter klien
diperbolehkan pulang, tanggal 2 november 2009 diharuskann control, A : Masalah Dx 4 tidak
menjadi aktual, P : Hentikan intervensi Dx 4
Faktor pendukung : Adanya kerja sama yang baik dari tim perawat dalam pelaksanaan
perawatan infus
Faktor penghambat : tidak ada
Solusi : tidak ada
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pelaksanaan asuhan keperawatan yang telah dilaksanakan pada Tn. H sejak
tanggal 28-30 oktober 2009 maka penulis mengambil kesimpulan :

Hasil pengkajian pada An. H mendapatkan hasil data yang sesuai dengan teori. Cara
pengumpulan data diperoleh melalui metode wawancara, observasi dan pemeriksaan
fisik. Pada saat wawancara dengan klien dan keluarga kooperatif sehingga terrjalin
kerjasama antara perawat dengan klien dan keluarga. Pemeriksaan fisik dilakukan secara
sistemik sesuai dengan kondisi klien.

Diagnosa keparawatan yang ditemukan pada klien yaitu : Gangguan rasa nyaman nyeri
berhubungan dengan luka insisi post op amputasi, Resiko gangguan neurovaskuler perifer
berhubungan dengan dampak pemasangan elastic verban, Gangguan pemenuhan
kebutuhan ADL berhubungan dengan keterbatasan mobilisasi, Resiko terjadinya infeksi
berhubungan dengan pembedahan pot op amputasi dan pemasangan alat invasive kateter
dan infus

Intervensi kepertawatan pada Tn. H telah disusun sesuai dengan teori atau konsep dasar
asuhan keperawatan. Intervensi meliputi juga tindakan yang dilakukan secara mandiri
dan kolaborasi dengan tim kesehatan lain.

Implementsi keperawatan yang dilakukan sesuai dengan intervensi yang dibuat. Untuk
diagnosa nyeri pada bagian amputasi dilakukan tindakan mandiri yaitu mengajarkan
teknik relaksasi nafas dalam dan berkolaborasi pemberian ketorolac 3 x 30 mg, Untuk
diagnosa Resiko gangguan neurovaskuler perifer dilakukan tindakan keperawatan
melakukan gerakan isometric, untuk diagnosa Gangguan pemenuhan kebutuhan ADL
dilakukan tindakan membantu kebutuhan klien, mengajarkan gerakan isometric dan
menganjurkan keluarga untuk membantu kebutuhan ADL klien, untuk diagnose resiko
infeksi dilakukan tindakan melakukan perawatan luka amputasi, perawatan luka
penusukan jarum infus dan perawatan kateter serta berkolaborasi pemberian cefazolin 3 x
1 gram..

Adapun evaluasi akhir dari keseluruhan asuhan keperawatan yang telah diberikan adalah
semua masalah keperawatan yang ditemukan pada Tn. H dapat teratasi semua pada
tanggal 30 oktober 2009.

B. Saran
Pada kesempatan ini penulis akan mengemukakan beberapa saran sebagai bahan masukan yang
bermanfaat bagi usaha peningkatan mutu pelayanan asuhan keperawatan yang akan datang,
diantaranya :

Dalam melakukan asuhan keperawatan, perawat mengetahui atau mengerti tentang


rencana keperawatan pada pasien dengan osteosarkoma, pendokumentasian harus jelas
dan dapat menjalin hubungan yang baik dengan klien dan keluarga.

Dalam rangka mengatasi masalah gangguan mobilisasi, untuk institusi RS supaya


menyediakan sarana dan prasarana yang memudahkan klien yang mengalami gangguan
mobilisasi.

Untuk keluarga diharapkan selalu membantu dan memotivasi klien dalam proses
penyembuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2. Jakarta :
EGC
Corwin, Elizabeth J..(2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC
Doengoes, Marylin E. (2000). Rencana Asuhan Kaperawatan : Pedoman Untuk perencanaan
dan pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC
Gole, Danielle & Jane Chorette. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.
Mansjoer, Arif. (2000). Kapita Selekta Kedokteran. Jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Nettina, Sandra M. (2002). Pedoman Praktek Keperawatan. Jakarta : EGC
Syamsuhidayat, R dan Wim de Jong. (2004). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi 2. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C. (2001). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Volume 2. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M. (2007). Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Otto, Shirley E. 2003. Buku Saku Keperawatan Onkologi. Jakarta : EGC.
Rasjad, Choiruddin. (2003). Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Makasar : Bintang Lamimpatue.
Tentang iklan-iklan ini

Share this:

Berbagi

Terkait
KAKI DALAM OTAKdalam "Umum"
Gambaran Klinis Ca.Colon/ Kanker Kolondalam "Keperawatan Medical Bedah"
Pengetahuan dan Sikap Remaja Perempuan seputar Keputihandalam "Keperawatan Maternitas"
2 Komentar
Ditulis oleh athoenk46 pada Februari 27, 2010 in Keperawatan Medical Bedah

Tag: Keperawatan Medikal Bedah


LP Gangguan konsep diri; harga diri rendah
Konsep Jiwa Pemimpin/ Leadership

2 responses to Asuhan Keperawatan Osteosarkoma

1.
djonly
Januari 7, 2012 at 5:27 pm
Terima kasih, smoga makin mantap
Balas

o
athoenk46
Januari 15, 2012 at 10:57 am
sama sama gan. trims sudah berkunjung ke my blog.
Balas

Tinggalkan Balasan

S
1
8
15
22

S
2
9
16
23

R
3
10
17
24

Februari 2010
K
J
Mar
4
5
11
12
18
19
25
26

S
6
13
20
27

Kategori
Kategori

Cari yang lain

Halloo..!!!

ADD AJ FB gw.

Pos-pos Terbaru
o KEBOHONGAN SEORANG IBU
o PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEBIDANAN MENGGUNAKAN
SIKLUS PDCA
o Siklus PDCA (Plan, Do, Check, Action)

M
7
14
21
28

o PENILAIAN MUTU PELAYANAN KEBIDANAN MENGGUNAKAN


SIKLUS PDCA
o MUTU PELAYANAN & STANDART PELAYANAN NIFAS

Jumlah Kunjungan
o 197,446 hits

Arsip
o Oktober 2012
o September 2012
o April 2012
o September 2011
o Juni 2011
o April 2010
o Maret 2010
o Februari 2010

Komentar terakhir
Syarah Ajch di 12 Benar Prinsip Pemberian
ghe di PEMERIKSAAN LABORATORIUM DARAH
kidney pains di Asuhan Keperawatan Pada Anak D
investing di Asuhan Keperawatan Pada Anak D
Free Credit Score Wi di CHOLELITHIASIS ( BATU EMPEDU

Hmmmm :)

RSS - Komentar

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.


Entri (RSS) dan Komentar (RSS)

Anda mungkin juga menyukai