Anda di halaman 1dari 12

STUDI DAYA DUKUNG

STABILISASI TANAH LEMPUNG LUNAK


DENGAN ASPAL BUTON
Christian Simpa
Jurusan Teknik Sipil, Universitas Lampung
ABSTRAK

Tanah merupakan dasar dari suatu struktur atau konstruksi, baik itu konstruksi bangunan maupun
konstruksi jalan. Tetapi tidak semua tanah mampu mendukung konstruksi, hal ini disebabkan oleh adanya
perbedaan formasi proses alamiah dalam pembentukan tanah, perbedaan topografi dan geologi yang
membentuk lapisan tanah. Hanya tanah yang memiliki stabilitas baik yang mampu mendukung konstruksi
yang berada di atasnya. Sedangkan tanah yang kurang baik harus distabilisasi terlebih dahulu sebelum
digunakan sebagai dasar pondasi pendukung konstruksi di atasnya.
Pada penelitian ini akan digunakan tanah lempung lunak yang berasal dari daerah Rawa Sragi, Lampung
Timur. Untuk memperbaiki daya dukung tanah lempung lunak tersebut sebagai lapisan tanah dasar
(subgrade), maka akan digunakan Aspal Buton sebagai bahan penstabilisasi dengan kondisi kadar prosentase
penambahan Aspal Buton sebesar 6%, 9%, dan 12%. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah
dengan melakukan pengujian berat jenis, pengujian batas batas Atterberg, dan pengujian CBR pada kondisi
unsoaked dan soaked.
Hasil pengujian menunjukkan bahwa tanah lempung yang berasal dari daerah Rawa Sragi dapat digolongkan
sebagai kelompok tanah A-7 (tanah berlempung) dan jika ditinjau dari rumus PI LL 30 (PI 31,26 %)
maka sampel tanah termasuk subkelompok A-7-5 menurut sistem klasifikasi AASHTO. Penambahan Aspal
Buton terhadap nilai CBR unsoaked dan CBR soaked mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat
sejalan dengan meningkatnya prosentase Aspal Buton. Sedangkan pada pengujian berat jenis dan batas
batas Atterberg, penambahan Aspal Buton cenderung menurunkan nilai berat jenis, batas cair dan indeks
plastisitas, sedangkan untuk batas plastis mengalami kenaikan untuk setiap kondisi unsoaked dan soaked.
Kata Kunci: Aspal Buton, Pengujian CBR, Lapisan Subgrade

1. PENDAHULUAN
Pada suatu pekerjaan konstruksi, tanah memiliki peran yang sangat penting. Dimana tanah
berfungsi sebagai fondasi pendukung untuk konstruksi bangunan, jalan, drainase, dan bendungan.
Hanya tanah yang memiliki stabilitas baik yang mampu mendukung konstruksi yang berada di
atasnya.
Salah satu persoalan yang mungkin dihadapi oleh para perencana dan pelaksana pembangunan
jalan adalah cara menangani tanah atau bahan yang kurang baik agar dapat digunakan sebagai
bahan perkerasan. Umumnya sebagian besar wilayah di Indonesia termasuk ke dalam tanah yang
dikenal sebagai tanah lunak. Tanah inilah yang menyebabkan kerusakan pada konstruksi kontruksi bangunan sipil, khususnya konstruksi jalan pada bagian lapis pondasinya. Ruas-ruas jalan
yang dibangun di atas tanah dasar dengan daya dukung rendah (CBR < 6%) umumnya lebih cepat
mengalami kerusakan. Untuk mengatasi hal ini diperlukan alternatif penanganan yang tersedia
antara lain dengan menggunakan teknologi stabilisasi tanah.
Proses stabilisasi tanah menggunakan Aspal Buton (Asbuton). Aspal Buton yang digunakan untuk
penelitian ini merupakan sisa Aspal Buton yang digunakan untuk penelitian di laboratorium Jalan
Raya Fakultas Teknik Universitas Lampung. Aspal Buton tersebut dibiarkan menumpuk di depan
laboratorium Jalan Raya, sehingga akan lebih baik apabila dimanfaatkan untuk keperluan penelitian
lainnya misalnya sebagai bahan penstabilisasi tanah. Dengan permasalahan tersebut di atas, perlu
dilakukan penelitian tentang pemanfaatan asbuton sebagai alternatif bahan stabilisasi untuk
meningkatkan daya dukung tanah sebagai lapis tanah dasar (subgrade).

2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Lapis Perkerasan Jalan
Menurut Silvia Sukirman, 1992, Sifat dari lapisan - lapisan perkerasan jalan adalah memikul dan
menyebarkan beban - beban lalu - lintas ke tanah dasar yang telah dipadatkan. Akan tetapi, jika
kondisi tanah kurang baik mutunya sebagai lapis pondasi dengan fungsinya masing - masing, maka
perlu dilakukan suatu tindakan perbaikan tanah dan salah satunya adalah dengan cara
menstabilisasinya. Adapun lapisan - lapisan tersebut adalah :
2.1.1 Lapis Permukaan (surface course)
Lapis permukaan mempunyai fungsi yaitu menerima langsung beban kendaraan, memberikan
lapisan kedap air dan melindungi lapisan perkerasan di bawahnya terhadap pengaruh cuaca, dan
menyediakan jalur lalu lintas. Dengan fungsi tersebut, lapis permukaan disyaratkan untuk
mempunyai mutu dan kekuatan yang baik. Karena lapis permukaan berada pada bagian paling atas,
maka pelaksanaannya harus dilakukan dengan hati hati dan mengikuti persyaratan (spesifikasi)
teknis yang telah ditentukan, agar diperoleh mutu dan kekuatan seperti yang direncanakan.
2.1.2 Lapis Pondasi Atas (base course)
Lapis perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi bawah dan lapis permukaan disebut lapis
pondasi atas (base course). Fungsi lapis pondasi atas antara lain yaitu, bagian perkerasan yang
menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan beban ke bagian bawahnya, lapisan
peresapan untuk lapis pondasi bawah, dan bantalan terhadap lapis permukaan.
2.1.3 Lapis Pondasi Bawah (sub - base course)
Lapis perkerasan yang terletak diantara lapis pondasi atas dan tanah dasar dinamakan lapis pondasi
bawah (sub-base course). Fungsi lapisan pondasi bawah antara lain yaitu, sebagai bagian dari
konstruksi perkerasan untuk mendukung dan meratakan beban roda ke lapisan tanah dasar,
mencapai efisiensi penggunaan material yang relatif murah, agar lapisan - lapisan yang berada di
atasnya dapat dikurangi tebalnya, lapis peresapan, agar air tanah tidak berkumpul di pondasi, dan
sebagai lapis pertama agar pelaksanaan dapat berjalan dengan lancar.
2.1.4 Tanah Dasar (subgrade)
Tanah dasar adalah permukaan tanah semula atau permukaan tanah galian atau permukaan tanah
timbunan yang dipadatkan dan merupakan permukaan dasar untuk perletakan bagian - bagian
perkerasan lainnya. Perkerasan jalan diletakkan di atas tanah dasar atau subgrade, dimana sifat sifat dan daya dukung tanah ini sangat mempengaruhi kekuatan dan keawetan dari suatu konstruksi
jalan di atasnya dan mutu jalan secara keseluruhan. Banyak metode yang digunakan untuk
menentukan daya dukung tanah dasar, misalnya pemeriksaan CBR (California Bearing Ratio),
DCP (Dynamic Cone Penetrometer), dan k (modulus reaksi tanah dasar). Di Indonesia daya dukung
tanah dasar untuk kebutuhan perencanaan tebal perkerasan ditentukan dengan pemeriksaan CBR.
2.2 Tanah
Menurut R.F.Craig menyatakan bahwa, tanah adalah akumulasi partikel mineral yang tidak
mempunyai atau lemah ikatan antarpartikelnya, yang terbentuk karena pelapukan dari batuan.
Menurut Dunn, 1980 berdasarkan asalnya, tanah diklasifikasikan secara luas menjadi 2 macam
yaitu tanah organik dan tanah anorganik.
Sistem klasifikasi tanah dibuat pada dasarnya untuk memberikan informasi tentang karakteristik
dan sifat - sifat fisis tanah. Terdapat dua sistem klasifikasi tanah yang umum digunakan untuk
mengelompok kan tanah. sistem tersebut memperhitungkan distribusi ukuran butiran dan batasbatas atterberg, yaitu: sistem klasifikasi AASTHO dan sistem klasifikasi tanah unified (USCS).
2.2.1 Tanah Lempung
Menurut Bowles, Sifat khas yang dimiliki oleh tanah lempung adalah dalam keadaan kering akan
bersifat keras, dan jika basah akan bersifat lunak plastis, dan kohesif, mengembang dan menyusut
dengan cepat, sehingga mempunyai perubahan volume yang besar dan itu terjadi karena pengaruh
air. Sedangkan untuk jenis tanah lempung lunak mempunyai karakteristik yang khusus diantaranya
daya dukung yang rendah, kemampatan yang tinggi, indeks plastisitas yang tinggi, kadar air yang
relatif tinggi dan mempunyai gaya geser yang kecil. Kondisi tanah seperti itu akan menimbulkan
masalah jika dibangun konstruksi di atasnya.

2.2.2 Tanah Lunak


Tanah - tanah lunak ini dibagi dalam dua tipe, antara lain :
1. Lempung Lunak
Tanah ini mengandung mineral - mineral lempung dan memiliki kadar air yang tinggi, yang
menyebabkan kuat geser yang rendah. Dalam rekayasa geoteknik istilah 'lunak' dan 'sangat
lunak' khusus didefinisikan untuk lempung dengan kuat geser
2. Gambut
Gambut merupakan suatu tanah yang pembentuk utamanya terdiri dari sisa - sisa tumbuhan.
Tanah gambut terdiri dari timbunan bahan organik yang belum terdekomposisi sempurna,
sehingga menyimpan karbon dalam jumlah yang besar. Adapun tipe tanah yang ketiga yaitu,
lempung organik adalah suatu material transisi antara lempung dan gambut, tergantung pada
jenis dan kuantitas sisa - sisa tumbuhan mungkin berperilaku seperti lempung atau gambut.
Dalam rekayasa geoteknik, klasifikasi ketiga tipe tanah tersebut dibedakan berdasarkan kadar
organiknya
2.2.3 Stabilitas Tanah
Stabilisasi tanah adalah suatu proses untuk memperbaiki sifat - sifat tanah dengan menambahkan sesuatu
pada tanah tersebut, yang bertujuan untuk mengikat dan menyatukan agregat material yang ada sehingga
membentuk struktur jalan atau pondasi jalan yang padat. Sifat sifat tanah yang telah diperbaiki dengan
cara stabilisasi dapat meliputi : kestabilan volume, kekuatan atau daya dukung, permeabilitas, dan
kekekalan atau keawetan.
2.2.4 Aspal Buton
Aspal buton merupakan salah satu jenis aspal alam yang terdapat di Indonesia, yaitu Pulau Buton,
Sulawesi Tenggara dengan lokasi tersebar dari teluk Sampolowa sampai dengan teluk Lawele, dan juga di
wilayah Enreko (Kabupaten Muna). Secara umum Aspal Buton dapat dibedakan menjadi dua jenis yaitu
bersifat keras seperti di Kabungka dan lunak seperti di Lawele. Aspal alam ini berasal dari endapan
minyak bumi yang mengalami destilasi alam dalam waktu yang lama dan terus - menerus.
PadajurnalutamaMajalahTeknikJalandanTransportasi2007,ditunjukkanhasilpengujianfisikdan
analisiskimiaasbutonhasilekstraksidarilokasiKabungkadanLaweleyangdapatdilihatpadatabel
berikut.
Tabel 1. Hasil Uji Fisik Asbuton dari Kabungka dan Lawele

3.

METODE PENELITIAN

Pelaksanaan pengujian dilakukan di Laboratorium Mekanika Tanah Jurusan Teknik


Sipil, Universitas Lampung. Metode penelitian mengacu pada diagram alir seperti Gambar
berikut.

Gambar 1. Bagan Air Penelitian


Analisis Hasil Penelitian yang didapat dari pelaksanaan penelitian akan ditampilkan dalam
bentuk tabel, grafik hubungan serta penjelasan-penjelasan yang didapat dari :
1.
Hasil dari pengujian sampel tanah asli ( 0 % ) yang ditampilkan dalam bentuk tabel
dan digolongkan berdasarkan sistem klasifikasi tanah AASHTO.
2.
Dari hasil pengujian sampel tanah asli terhadap masing-masing pengujian seperti uji
analisis saringan, uji berat jenis, uji kadar air, uji batas batas Atterberg, uji pemadatan
tanah dan uji CBR, ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik yang nantinya akan
didapatkan kadar air kondisi optimum.

3.

Dari hasil pengujian CBR terhadap masing-masing campuran, yaitu 6 %, 9 %, dan


12 % dalam kondisi pemeraman dan perendaman ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik
hasil pengujian.
4. Analisis mengenai perubahan karakteristik pada pencampuran Aspal Buton dengan sampel
tanah, dalam kondisi pemeraman dengan perendaman atau tanpa perendaman dijelaskan
dalam bentuk tabel dan grafik hasil pengujian sebagai berikut :
a. Dari hasil pengujian berat jenis didapatkan hasil pengujian yang di tampilkan dalam
bentuk tabel dan grafik, dengan cara membandingkan nilai berat jenis sampel pada
masing - masing perilaku. Dari tabel dan grafik nilai berat jenis tersebut maka akan
didapatkan penjelasan perbandingan antara pengaruh masing - masing sampel yang
diperam dengan perendaman dan yang diperam tanpa perendaman terhadap nilai berat
jenisnya.
b. Dari hasil pengujian batas cair dan batas plastis didapatkan hasil pengujian dengan
membandingkan nilai batas cair dan batas plastis sampel pada masing-masing prilaku.
Dari tabel dan grafik nilai batas cair dan batas plastis maka akan didapatkan penjelasan
perbandingan antara pengaruh masing - masing sampel yang diperam dengan perendaman
dan yang diperam tanpa perendaman dengan nilai batas cair dan batas plastisnya (batas
atterberg).
5.
Dari hasil pengujian CBR nilai kekuatan daya dukung dan stabilitas campuran pada
masing - masing perilaku. Hasil pengujian CBR ini ditampilkan dalam bentuk tabel dan
grafik hubungan antara masing-masing prilaku dengan nilai CBR. Dari seluruh analisis hasil
penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan berdasarkan tabel dan grafik yang telah ada
terhadap hasil penelitian yang didapat.
4.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasrkan hasil pengujian yang telah dilakukan di Laboratorium. Secara garis besarnya,
didapatkan data sebagai berikut:
4.1 Hasil Pengujian Sampel Tanah Asli
Tabel 2. Hasil Pengujian Sampel Tanah Asli
No.
1.
2.
3.

4.
5.

6.

Pengujian
Kadar air ( )
Berat Jenis ( Gs )
Batas Atterberg :
a. Batas Cair ( LL )
b. Batas Plastis ( PL )
c. Indeks Plastisitas ( PI )
Gradasi lolos saringan # 200
Pemadatan :
a. Kadar air optimum
b. Berat isi kering maksimum
CBR Tanpa Rendaman
CBR Rendaman

Hasil
50,64%
2,546
61,26%
30,77%
30,49%
90,42%
28%
1,44gr/cm3
8,10%
3,55%

4.2 Klasifikasi Sampel Tanah Asli


1. Sistem Klasifikasi AASTHO
Hasil pengujian batas Atterberg didapat nilai Batas Cair (LL) adalah 61,26 % ( 41 %),
Batas Plastis (PL) adalah 30,77 % dan Indeks Plastisitas (PI) adalah 30,49 % ( 11 %) serta

butiran lolos saringan No. 200 adalah 90,42 %, Selanjutnya dengan menggunakan Tabel
AASHTO, maka tanah ini digolongkan sebagai kelompok tanah A-7 (tanah berlempung) dan
jika ditinjau dari rumus PI LL 30 (PI 31.26 %) maka sampel tanah termasuk
subkelompok A-7-5. Tanah golongan ini termasuk golongan buruk dan kurang baik
digunakan sebagai tanah dasar pondasi.
2. Sistem Klasifikasi Unified (USCS)
Adapun hasil dari pengujian Laboratorium menunjukkan data parameter-parameter tanah
yang diperoleh adalah :
a. Tanah yang lolos saringan No. 200 = 90,42 %
b. Batas Cair (LL) = 61,26 %
c. Indeks Plastisitas = 30,49 %
4.3 Hasil Pengujian CBR Rendaman dan Tanpa Perendaman, Berat Jenis dan BatasBatas Atterberg
1.
Uji CBR Laboratorium
Tabel 3. Hasil pengujian CBR tiap kadar Aspal Buton
Kadar Aspal
Buton

CBR
(Tanpa Rendaman)

CBR
(Rendaman)

6%

14 %

8,6 %

9%

19 %

12,4 %

12 %

21 %

13 %

Hubungan antara nilai CBR rendaman dan CBR tanpa rendaman terhadap kadar Aspal Buton
dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 1. Hubungan nilai CBR rendaman dan tanpa rendaman dengan kadar Aspal Buton

2. Uji Berat Jenis


Tabel 4. Hasil pengujian Berat Jenis tiap kadar Aspal Buton (Unsoaked)

Kadar Aspal Buton

Berat Jenis (Gs)

6%

2,34

9%

2,30

12 %

2,27

Tabel 5. Hasil pengujian Berat Jenis tiap kadar Aspal Buton (Soaked)

Kadar Aspal Buton

Berat Jenis (Gs)

6%

2,25

9%

2,20

12 %

2,09

Hubungan antara berat jenis dengan kadar Aspal Buton dapat dilihat pada grafik berikut :

Grafik 2. Hubungan Berat Jenis dengan kadar Aspal Buton

3. Uji Batas Atterberg


a. Batas Cair
Tabel 6. Hasil pengujian Batas Cair tiap kadar Asbuton (Unsoaked)

Kadar Aspal Buton

Batas Cair (LL)

6%

56,91 %

9%

52,44 %

12 %

48,28 %

Tabel 7. Hasil pengujian Batas Cair tiap kadar Asbuton (Soaked)

Kadar Aspal Buton

Batas Cair (LL)

6%

58,98 %

9%

53,61 %

12 %

50,76 %

b. Batas Plastis

Tabel 8. Hasil pengujian Batas Plastis tiap kadar Asbuton (Unsoaked)

Kadar Aspal Buton

Batas Plastis (PL)

6%

34,88 %

9%

38,60 %

12 %

41,28 %

Tabel 9. Hasil pengujian Batas Plastis tiap kadar Asbuton (Soaked)

Kadar Aspal Buton

Batas Plastis (PL)

6%

37,93 %

9%

41,36 %

12 %

43,98 %

c. Indeks Plastisitas
Tabel 10. Hasil pengujian PI tiap kadar Asbuton (Unsoaked)

Kadar Aspal Buton

Indeks Plastisitas (PI)

6%

22,04 %

9%

13,83 %

12 %

7,00 %

Tabel 11. Hasil pengujian PI tiap kadar Asbuton (Soaked)

Kadar Aspal Buton

Indeks Plastisitas (PI)

6%

21,05 %

9%

12,24 %

12 %

6,78 %

d. Analisis Hubungan Antara Batas Batas Atterberg dengan Kadar Campuran Aspal Buton

Hasil pengujian batas-batas Atterberg untuk masing - masing kadar Aspal Buton
ditunjukan pada grafik berikut :

Grafik 3. Hubungan antara Batas Cair dengan kadar Aspal Buton

Grafik 4 Hubungan antara Batas Plastis dengan kadar Aspal Buton

Grafik 5. Hubungan antara Indeks Plastisitas dengan kadar Aspal Buton


Dari pengujian di laboratorium dapat dilihat bahwa hasil uji batas cair sebagaimana yang
ditunjukkan pada Grafik 4, ternyata menunjukkan adanya penurunan nilai seiring dengan
penambahan kadar Aspal Buton.
5.

KESIMPULAN

Dari uji fisik tanah asli yang dilakukan di laboratorium, didapatkan kadar air sebesar 50,64%
dan berat jenis 2,546. Untuk batas - batas Atterberg, yaitu batas cair (Liquid Limit) 61,26%,
batas plastis (Plastic Limit) 30,77%, dan indeks plastisitas (Plasticity Index) 30,49%.

Sedangkan nilai CBR tanah asli tanpa rendaman (unsoaked) sebesar 8,1% dan 3,55% untuk
CBR tanah asli rendaman (soaked).
1. Penambahan Aspal Buton terhadap nilai CBR unsoaked dan CBR soaked pada stabilisasi
tanah mempunyai kecenderungan yang semakin meningkat sejalan dengan meningkatnya
prosentase penggunaan Aspal Buton tersebut. Penggunaan 12% kadar Aspal Buton pada
kondisi pemeraman tanpa perendaman akan meningkatkan nilai CBR sekitar 13% terhadap
CBR tanah asli, sedangkan untuk kondisi pemeraman dengan perendaman sekitar 10 %.
2. Penambahan Aspal Buton cenderung menurunkan nilai berat jenis bila dibandingkan dengan
nilai berat jenis tanah asli tersebut, hal ini disebabkan karena bercampurnya dua bahan
dengan berat jenis yang berbeda, yaitu berat jenis asbuton sebesar 1,046, sedangkan berat
jenis tanah asli sebesar 2,546 , sehingga terjadi penurunan berat jenis campuran.
3. Penambahan 12% Aspal Buton pada stabilisasi tanah lempung lunak dari Rawa Sragi,
Lampung Timur dapat memenuhi persyaratan untuk penggunaan hasil campuran tersebut
sebagai lapis tanah dasar (subgrade) minimal yang disyaratkan oleh Standard of Hihgway
(UK) yaitu 5 % dan > 6% untuk ASTM.
4. Dari pengujian batas batas Atterberg yang dilakukan di laboratorium Mekanika Tanah,
didapatkan hasil penurunan untuk nilai batas cair (LL) dan indeks plastisitas (PI), sedangkan
untuk batas plastis (PL) mengalami kenaikan untuk setiap bertambahnya kadar Aspal Buton
apabila dibandingkan dengan tanah asli. Hal ini terjadi karena penambahan aspal buton yang
mengandung unsur kapur (CaCO3), yang mempengaruhi batas batas Atterberg pada
sampel tanah campuran tersebut.
5. Penambahan Aspal Buton pada tanah asli (lempung lunak di daerah Rawa Sragi) dapat
memperbaiki sifat - sifat fisik tanah asli tersebut.
6. DAFTAR PUSTAKA
Bowles, Joseph E. 1991. Sifat-sifat Fisis dan Geoteknis Tanah (Mekanika Tanah), Erlangga,
Jakarta.
Das, Braja. M. 1995. Mekanika Tanah (Prinsip Prinsip Rekayasa Geoteknis) Jilid I .
Erlangga. Jakarta.
Dunn, I.S, Anderson, L.R, Kiefer, F.W. 1980. Dasar Dasar Analisis Geoteknik. IKIP
Semarang Press. Semarang.
RF. Craig & Budi Susilo S, Mekanika Tanah, Erlangga, Jakarta,1987.
Ricahya, Rendra. 2008. Perkerasan Aspal Buton (Skripsi). Universitas Lampung. Bandar
Lampung.
Sukirman, Silvia. 1992. Perkerasan Lentur Jalan Raya. Nova. Bandung.
Universitas Lampung. 2009. Format Penulisan Karya Ilmiah Universitas Lampung. UPT
Percetakan Universitas Lampung. Bandar Lampung.

Anda mungkin juga menyukai