Anda di halaman 1dari 17

Tugas Perekonomian Indonesia

Makalah Tentang Hutang Luar


Negeri

Disusun oleh:

Jimmy Suwangsa
1302114682

Dosen Pembimbing : Heru Topani, SE, M.Si

Jurusan Akuntansi
Fakultas Ekonomi
Universitas Riau

2016/2017

Kata Pengantar
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena anugerah-Nya lah
kepada saya selaku penulislah, makalah ini dapat saya selesaikan dengan baik.
Adapun makalah yang saya tulis ini berjudul Hutang Luar Negeri yang merupakan
salah satu judul untuk tugas mata kuliah Perekonomian Indonesia ini.
Penulis berharap hasil penulisan ini dapat memberikan manfaat bagi rekan-rekan sesama
mahasiswa dalam mempelajari masalah hutang luar negeri ini. Penulis pun menyadari bahwa
dalam penulisan makalah ini jauh dari kesempurnaan dan mungkin terdapat kesalahan maupun
kekurangan dalam penulisannya. Oleh karena itu maka penulis pun menerima kritik dan saran
yang membangun untuk lebih menyempurnakan makalah ini.

Pekanbaru, 12 Oktober 2016

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ULN atau Utang luar Negeri saat ini menjadi perdebatan publik, khususnya dari
Negara berkembang tak terkecuali Indonesia, yang selama ini sering muncul adalah
besarnya beban hutang yang harus ditanggung, bahkan merugikan pembangunan atau
membuat rakyat di negara-negara peminjam menderita.Padahal tujuan utama peminjaman
adalah untuk menjalankan pembangunan ekonomi dan sosial sehingga dapat
meningkatkan kesejahteraan di negara-negara peminjam. (Tambunan,2001)
Pemanfaatan utang luar negeri (ULN) atau bantuan luar negeri sebagai sumber
pembiayaan pembangunan atau pertumbuhan ekonomi sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari pembangunan ekonomi dan sosial. Bukan hanya di negara-negara
berkembang (NB) termasuk Indonesia, melainkan juga di negara-negara yang sekarang
dikenal sebagain negara- negara maju (NM). Satu contoh yang sangat terkenal adalah
pembangunan kembali negara-negara Eropa Barat pascaperang dunia (PD) II pada
dekade 1950-an melalui bantuan dana yang sangat besar dari Amerika Serikat (AS),yang
dikenal dengan Marshall Plan. (Tambunan;2001;1)
Indonesia memiliki kondisi perekonomian menjanjikan pada awal dekade 1980an sampai pertengahan dekade 1990-an. Hal ini ditunjukkan dengan angka inflasi yang
stabil, jumlah pengangguran yang cukup rendah seiring dengan kondusifnya iklim
investasi yang ditandai dengan kesempatan kerja yang terus meningkat, angka
kemiskinan yang cukup berhasil ditekan, dan sebagainya. Namun perekonomian
Indonesia akhirnya runtuh oleh terjangan krisis ekonomi yang melanda secara global di
seluruh dunia pada tahun 1997. Hal ini menyebabkan tingginya angka inflasi, nilai kurs
Rupiah yang terus melemah, tingginya angka pengangguran seiring dengan kecilnya
kesempatan kerja, dan ditambah lagi dengan semakin membesarnya jumlah utang luar
negeri Indonesia akibat kurs Rupiah yang semakin melemah karena utang luar negeri
Indonesia semuanya dalam bentuk US Dollar. (Majid,2013)
Upaya untuk kembali menstabilkan kondisi perekonomian Indonesia pemerintah
Indonesia melakukan berbagai cara, salah satunya dengan mengambil kebijakan ekonomi
dengan melakukan pinjaman terhadap negara lain (ULN) atau lembaga-lembaga
keuangan internasional, yang tentunya disertai dengan beberapa persyaratan-persyaratan
tertentu, dan menggalakkan Penanaman Modal Asing yang telah ditetapkan melalui
undang-undang No.1 / tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (PMA), yang
diharapkan dapat mendorong peningkatan investasi di Indonesia dari waktu ke waktu
yang kemudian menciptakan iklim investasi yang kondusif selama proses pembangunan
di Indonesia.
Arus masuk modal asing (capital inflows) berperan dalam menutup gap devisa
yang ditimbulkan oleh defisit pada transaksi berjalan. Selain itu, masuknya modal asing
juga mampu menggerakkan kegiatan ekonomi yang lesu akibat kurangnya modal (saving

investment gap) bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Modal asing ini selain sebagai
perpindahan modal juga dapat memberikan kontribusi positif melalui aliran
industrialisasi dan modernisasi. Dalam jangka pendek, utang luar negeri sangat
membantu pemerintah Indonesia dalam upaya menutup defisit anggaran pendapatan dan
belanja negara, akibat pembiayaan pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan yang
cukup besar. Dengan demikian, laju pertumbuhan ekonomi dapat dipacu sesuai dengan
target yang telah ditetapkan sebelumnya. Tetapi dalam jangka panjang, ternyata utang
luar negeri pemerintah tersebut dapat menimbulkan berbagai persoalan ekonomi di
Indonesia. Beberapa negara bahkan tercatat aktif dalam hal memberikan bantuan
berupa pinjaman kepada Indonesia, baik di Asia, Eropa bahkan Amerika Serikat serta
beberapa lembaga keuangan internasional lainnya.
Utang Luar Negeri merupakan konsekuensi biaya yang harus dibayar sebagai
akibat pengelolaan perekonomian yang tidak seimbang, ditambah lagi proses pemulihan
ekonomi yang tidak komprehensif dan konsisten. Pada masa krisis ekonomi, utang luar
negeri Indonesia, termasuk utang luar negeri pemerintah telah meningkat drastis.
Sehingga, pemerintah Indonesia harus menambah utang luar negeri yang baru untuk
membayar utang luar negeri yang lama yang telah jatuh tempo. Akumulasi utang luar
negeri dan bunganya tersebut akan dibayar melalui APBN RI dengan cara mencicilnya
pada tiap tahun anggaran. Hal ini menyebabkan berkurangnya kemakmuran dan
kesejahteraan rakyat pada masa mendatang, sehingga jelas akan membebani masyarakat,
khususnya para wajib pajak di Indonesia.
Pada pertengahan dekade 1980-an, modal asing yang masuk ke Indonesia masih
didominasi oleh investasi langsung atau penanaman modal asing (PMA) dan pinjaman
luar negeri (terutama pinjaman pemerintah). Baru setelah pemerintah melakukan
deregulasi di sektor keuangan/perbankan yang dimulai sejak awal 1980-an, yang antara
lain membuat sektor tersebut, termasuk pasar modal, berkembang dengan pesat, arus
modal swasta jangka pendek dari luar negeri mulai mengalir ke dalam negeri. Penanaman
Modal Asing (PMA) sendiri, berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), sampai akhir Juli 2006 meningkat menjadi US$ 3.713.4 juta dengan realisasi
proyek yang telah disetujui pemerintah sebanyak 563 proyek.
Salah satu impak dari kehadiran PMA di Indonesia selama era Orde Baru adalah
pertumbuhan PDB yang pesat, yakni rata-rata per tahun antara 7% hingga 8% yang
membuat Indonesia termasuk negara di ASEAN dengan pertumbuhan yang tinggi. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pertumbuhan investasi dan PMA pada khususnya di Indonesia,
didorong oleh stabilitas politik dan sosial, kepastian hukum, dan kebijakan ekonomi yang
kondusif terhadap kegiatan bisnis di dalam negeri, yang semua ini sejak krisis ekonomi
1997 hingga saat ini sulit sekali tercapai sepenuhnya.
Negara negara berkembang termasuk Indonesia memanfaatkan ULN dan PMA
sebagai dana untuk pembangunan baik infrastruktur maupun pembangunan ekonomi,
tetapi pada kenyataanya dana ULN dan PMA selama ini tidak semata-mata memberikan
hasil yang diharapakan, melainkan dampak buruk yang berakibat jauh sampai saat ini.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan deskripsi yang telah dijelaskan diatas,maka rumusan masalah dalam
penelitian ini :
1. Apakah dana suntikan berupa ULN dan PMA selama ini merugikan atau
menguntungkan bagi Indonesia ?
2. Apakah Indonesia semakin bergantung pada ULN?
C. Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui bagaiaman perkembangan ULN dan PMA saat ini
2. Mengetahui apakah ULN dan PMA menguntungkan atau merugikan bagi Indonesia.
3. Mengetahui apakah Indonesia semakin bergantung pada dana pinjaman dari negara
luar
D. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam pembuatan makalah ini adalah :
1. Hasil penelitian ini di harapkan dapat memberikan bahan masukan bagi
pemerintah dan instansi-instanis terkait dalam penyelesaian masalah Utang Luar
Negeri dan Penanaman Modal Asing.
2. Dari hasil penelitian ini kami berharap dapat menambahkan wawasan para
peneliti yang berhubungan dengan Utang Luar Neri dan Penaman Modal Asing
di Indonesia, dan hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu
referensi untuk melakukan penelitian sejenis lainnya.
3. Untuk menambah wawasan penulis dalam perekonomian Indonesia khususnya
masalah Utang Luar Negeri dan Penanaman Modal Asing
4. Sebagai masukan kepada masyarakat agar mengetahui kondisi perekonomian
indonesia yang berhubungan dengan utang luar negeri (ULN) dan penanaman
modal asing (PMA)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Utang Luar Negeri (ULN)
1. Definisi Utang Luar Negeri (ULN)
Tabel 2.1 Definisi Utang Luar Negeri
Peraturan Pemerintah No.10
Tahun 2011

Peraturan Bank Indonesia No.


16/21/PBI/2014

Pinjaman Luar Negeri adalah


setiap pembiayaan melalui utang
yang diperoleh pemerintah dari
pemberi pinjaman Luar Negeri
yang diikat oleh suatu perjanjian
pinjaman dan tidak berbentuk surat
berharga negara,yang harus dibayar
kembali
dengan
persyaratan
tertentu.

Utang
Luar
Negeri
yang
selanjutnya disingkat ULN adalah
utang Penduduk kepada bukan
Penduduk dalam Valuta Asing
dan/atau Rupiah, termasuk di
dalamnya
pembiayaan
berdasarkan prinsip syariah.

ULN adalah seluruh pinjaman serta konsensional baik secara resmi dalam bentuk
uang tunai maupun bentuk bentuk aktiva yang lainnya secara umum ditujukan untuk
mengalihkan sejumlah sumber daya negara-negara maju ke negara berkembang untuk
kepentingan pembangunan atau mempunyai maksud sebagai distribusi pendapatan
(Todaro, 1998:163).
ULN adalah sebagai bantuan berupa program dan bantuan proyek yang diperoleh
dari negara lain. Pinjaman luar negeri atau utang luar negeri merupakan salah satu
alternatif pembiayaan yang diperlukan dalam pembangunan dan dapat digunakan untuk
meningkatkan investasi guna menunjang pertumbuhan ekonomi (Basri, 2000:127).
Pinjaman luar negeri Indonesia dibedakan dalam 2 kelompok besar, yaitu
pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah (public debt) dan pinjaman luar negeri
yang diterima swasta (private debt). Dilihat dari sumber dananya, pinjaman luar negeri
dibedakan ke dalam pinjaman multilateral, pinjaman bilateral dan pinjaman dindikasi.
Sedangkan dilihat dari segi persyaratan pinjaman, dibedakan dalam pinjaman lunak
(concessional loan), pinjaman setengah lunak (semi concenssional loan) dan pinjaman
komersial (commercial loan).

Selain pinjaman luar negeri, terdapat juga penerimaan dalam bentuk hibah.
Menurut Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Menteri Keuangan dengan Ketua
BAPPENAS No.185/KMK.03/1995 dan No. KEP. 031/KET/5/1995 tanggal 5 Mei 1995
yang telah dirubah dengan SKB No. 459/KMK.03/1999 dan No.KEP.264/KET/09/1999
tanggal 29 September 1999 tentang Tatacara Perencanaan, Pelaksanaan/Penatausahaan
dan Pemantauan Pinjaman/Hibah Luar Negeri dalam Pelaksanaan APBN, pengertian
pinjaman luar negeri adalah setiap penerimaan negara baik dalam bentuk devisa dan
atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk barang dan atau dalam bentuk jasa
yang diperoleh dari pemberi pinjaman luar negeri yang harus dibayar kembali dengan
persyaratan tertentu. Sedangkan Hibah Luar Negeri, adalah setiap penerimaan negara
baik dalam bentuk devisa dan atau devisa yang dirupiahkan maupun dalam bentuk
barang dan atau dalam bentuk jasa termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang diperoleh
dari pemberi hibah luar negeri yang tidak perlu dibayar kembali.
Pinjaman luar negeri yang diterima Pemerintah, dimaksudkan sebagai pelengkap
pembiayaan pembangunan, disamping sumber pembiayaan yang berasal dari dalam
negeri berupa hasil perdagangan luar negeri, penerimaan pajak dan tabungan baik
tabungan masyarakat dan sektor swasta. Salah satu masalah dalam pelaksanaan
pembangunan ekonomi yang dihadapi negara-negara berkembang termasuk Indonesia
adalah keterbatasan modal dalam negeri. Hal ini tercermin pada angka kesenjangan
tabungan investasi Saving-Investment Gap (S-I gap) dan Foreigan Exchange Gap
(forexgap).
Saving Investment gap menggambarkan kesenjangan antara tabungan dalam
negeri dengan dana investasi yang dibutuhkan, sedangkan Foreign Exchange Gap
menggambarkan kesenjangan antara kebutuhan devisa untuk membiayai impor
barang/jasa dengan penerimaan devisa hasil expor barang/jasa. karena itu negara-negara
berkembang membutuhkan pinjaman luar negeri untuk menutup kekurangan kebutuhan
pembiayaan investasi dan untuk membiayai devisit transaksi berjalan (current account)
neraca pembayaran dalam rangka pembiayaan transaksi internasional sehingga posisi
cadangan devisa tidak terganggu.
2. Jenis Jenis Utang Luar Negeri
Utang luar negeri merupakan bantuan luar negeri (loan) yang diberikan oleh
pemerintah negara-negara maju atau badan-badan internasional yang khusus dibentuk
untuk memberikan pinjaman semacam itu dengan kewajiban untuk membayar kembali
dan membayar bunga pinjaman tersebut (Zulkarnain,1996:19).
Adapun bentuk-bentuk bantuan luar negeri dapat dibedakan atas :
1. Pinjaman dengan syarat pengembalian
a. Hadiah/Grant: yaitu bantuan luar negeri yang tidak bersyarat pengembalian atau
pelunasannya kembali.

b. Pinjaman Lunak : yaitu pinjaman dengan syarat yang sangat ringan, dimana
jangka waktu pengembaliannya antara 20 tahun sampai dengan 30 tahun dan
tingkat bunga antara 0 sampai dengan 4,5 persen per tahun.
c. Pinjaman/Kredit Ekspor : yaitu kredit yang diberikan oleh negara pengekspor
dengan jaminan tertentu untuk meningkatkan ekspor. Jangka waktu
pembayarannya adalah 7 tahun sampai dengan 15 tahun dan tingkat bunga
antara 4 persen sampai dengan 8,5 persen per tahun.
d. Kredit Komersial : yaitu kredit yang dipinjamkan oleh bank dengan tingkat
bunga dan lain-lain sesuai perkembangan pasar internasional.
2. Pinjaman/Kredit Bilateral/Multilateral
a. Pinjaman/Kredit Bilateral: misalnya bantuan/kredit yang diperoleh dari negara
CGI.
b. Pinjaman/Kredit Multilateral: misalnya bantuan/kredit dari peserta IBRD, IDA,
UNDP, ADB, dan lain-lain. Jangka waktu dan syarat pengembalian
bantuan/kredit bilateral/multilateral adalah berdasarkan perjanjian antara
pemerintah Indonesia dengan pihak-pihak yang memberikan bantuan/kredit.
Sumber-sumber pinjaman luar negeri yang diterima pemerintah Indonesia
dalam setiap tahun anggaran yang berupa pinjaman bersumber dari:
1. Pinjaman Multilateral Pinjaman multilateral sebagian besar diberikan dalam satu
paket pinjaman yang telah ditentukan, artinya satu naskah perjanjian luar negeri
antara pemerintah dengan lembaga keuangan internasional untuk membina
beberapa pembangunan proyek pinjaman multilateral ini kebanyakan diperoleh dari
Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (BPD), Bank Pembangunan Islam (IDB),
dan beberapa lembaga keuangan regional dan internasional.
2. Pinjaman Bilateral Pinjaman bilateral adalah pinjaman yang berasal dari pemerintah
negara negara yang tergabung dalam negara anggota Consultative Group On
Indonesia (CGI) sebagai lembaga yang menggantikan kedudukan IGGI.
Tabel 2.2 :Daftar Negara/Lembaga Kreditor (Pemberi Utang Luar Negeri)
terbesar untukIndonesia
Negara

Persentase (%)
45,5
16,4

Jumlah pinjaman
(miliar US$)
29.8
10.8

Jumlah pinjaman
(Rp triliun)
358
129

Jepang
ADB (Asian
Development Bank)
World Bank
Jerman
Amerika Serikat
Inggris
Negara/Lembaga
lain

13,6
7
3,7
1,7
14,6

8.9
3.1
2.3
1.1
9.6

107
37
28
13
115

Sumber : UNCTAD (United Nations Conference on Trade and Development) 2010

3. Teori Utang Luar Negeri


Sumber keuangan dari luar berupa pinjaman luar negeri dapat memainkan
peranan penting dalam usaha melengkapi kekurangan sumber daya yang berupa devisa
atau tabungan domestik. Pendekatan inilah yang disebut sebagai analisis bantuan luar
negeri dua kesenjangan ( two-gapmodel) ini mengatakan bahwa negara berkembang
pada umumnya menghadapi kendala keterbatasan tabungan domestik yang jauh dari
mencukupi untuk menggarap segenap peluang yang investasi yang ada,serta
kelangkaan devisa yang tidak memungkinkan mengimpor barang-barang modal dan
antara yang penting bagi usaha pembangunannya. Secara umum model ini berasumsi
bahwa kekurangan dan kesenjangan ( antara persedian dan kebutuhan) tabungan
(saving gap) serta kesenjangan devisa ( foreign-exchange gap ) itu tdak sama
bobotnya, dan satu sama lain berdiri sendiri. Kekurangan tabungan tidaklah dapat
digantikan oleh cadangan devisi begitu juga sebaliknya, kekurangan devisa tidak pula
dapat dipenuhi oleh tabungan dalam negeri.
Secara matematis, model dua kesenjangan secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1.

Kesenjangan Tabungan
Dimulai dengan suatu persamaan atau identitas atas hubungan antara
pemasukan modal ( misalnya, selisih antara ekspor-impor ) dan dengan sumber
sumber yang dapat digunakan untuk investasi, dengan tingkat investasi, dengan
tingkat investasi domestik, yang dapat di tulis sebagai berikut :
I < F + Sy ( 1)

Dimana F adalah jumlah arus pemasukan modal. Seandainya nilai F ditambah


sY lebih besar dari I, dan perekonomian itu tengah berada dalam kondisi full
employment, maka bisa dipastikan bahwa tengan terjadi kesenjangan di tabungan
negara tersebut.
2. Kesenjangan Devisa
Jika setiap unit investasi yang dilakukan oleh negara negara berkembang
menyebabkan kenaikan impor sebesar m1, yakni pangsa impor marjinal ( marginal
impor share ) di kebanyakan negara berkembang, pangsanya ini berkisar dari 30
sampai 60 persen dan kecenderungan marjnal terhadap impor ( marginal propensity
to impor) akibat naiknya 1 unit PDB dengan parameter m2, maka kesenjangan devisa
itu dirumuskan sebagai berikut :
( m1- m2)I + m2Y- E < F( 2 )
Simbol E melambangkan tingkat ekspor eksogen. Faktor F dalam kedua
ketidaksamaan diatas merupakan faktor krisis dalam analisis. Jika F,E dan Y diberikan
nilai secara eksogen (ditentukan dari luar), maka salah satu dari ketidaksamaan diatas

menjadi faktor penghambat investasi akan tertekan menjadi lebih rendah oleh salah satu
ketidaksamaan tersebut.
Dengan demikian penerapan rumus tersebut setiap negara akan dapat diketahui
masalah utamanya, apakah kesenjangan tabungan atau kesenjangan devisa. Hal ini yang
lebih penting menurut sudut analisis pinjaman luar negeri adalah bahwasanya dampak
peningkatan arus modal asing akan lebih besar di negara yang tengah mengalami
kesenjangan tabungan ( persamaan 1 ) daripada di negara yang mengalami kesenjangan
devisa ( persamaan 2 ). namun hal ini tidaklah berarti bahwa negara negara yang
mengalami kesenjangan tabungan tidak membutuhkan utang luar negeri. Model dua
kesenjangan inilah merupakan metodologi yang bersifat garis besar untuk menentukan
kebutuhan serta kemampuan relatif dari masing- masing negara berkembang dalam
mengunakan pinjaman luar negerinya secara efektif. (Michael P. Todaro, 1998 : 169).

BAB III
PEMBAHASAN
A. Utang Luar Negeri, Pembiayaan Pembangunan, Beban Bunga dan Cicilan Utang
Beberapa tahun sebelum krisis ekonomi melanda Indonesia, sudah muncul
desakan kuat kepada pemerintah untuk mengurangi ketergantungan pada utang luar
negeri yang waktu itu dari tahun ke tahun semakin besar. Hal yang sama ditujukan
kepada sektor swasta , yang saat itu sangat longgar dalam meminjam dari pasar uang
internasional. Dilihat dari berbagai indikator yang ada, memang utang luar negeri
Indonesia tersebut sudah terlalu banyak (over borrowing)dan sudah membahayakan
perkembangan jangka panjang ekonomi Indonesia.
Belum keinginan untuk terealisasikannya utang, ledakan beban pembayaran
bunga dan cicilan utang tersebut sudah terjadi karena adanya lonjakan permintaan valuta
asing,khususnya dollar AS yang terjadi pada tahun 1997 dan 1998,telah mengakibatkan
kemerosotannya nilai rupiah yang sangat signifikan. Sampai 2001, nilai rupiah masih
sangatrentan dan berfluktuasi sangat tajam, dan utang luar negeri masih belum bisa
dikendalikan.Krisis yang terjadi sejak 1997 telah menyebabkan beban APBN dalam utang
publik mencapai lebih dari 110 persen terhadap PDB. Beban utang publik ini lebih
separuhnya adalah utang dalam negeri (obligasi) yang nilainya mencapai Rp 650 triliun
untuk perbaikan sektor perbankan,serta utang luar negeri yang jumlahnya mencapai US$
75 miliar (Mulyani,2001).
Walaupun perekonomian nasional terus menanggung beban pembayaran bunga
dan cicilian utang masa lalu, pada saat yang sama pemerintah juga terus mencetak utangutang baru. Pemerintah harus meminjam dana dari luar negeri untuk menutupi defisit
anggaran belanja negara (APBN). Pinjaman pemerintah tersebut bukan hanya untuk
membiayai pengeluaran pembangunan , bahkan pernah digunakan untuk menutup defisit
pengeluaran rutinnya. Pemerintah telah pula mengikatkan diri dengan IMF untuk
mengatasi krisis yang terjadi dengan meminjam secara bertahap senilai US$ 43 miliar,
disamping terus meminjam dari CGI dengan angka berkisar US$ 5 miliar pertahun.
Masuknya arus uatng luar negeri ditengah utang lama yang belum mampu
dibayar, dan juga terus dinegosiasikan untuk menjadwalkan kembali
(reschedulling)kontrak yang sudah dibuat sebelumnnya menjadi suatu hal yang tidak
terelakan. Dari sisi pemerintah, dana segar berupa valuta asing dari luar negeri tersebut
bukan saja sangat penting untuk menutup defisit fiskal yang terjadi dalam APBN,
melainkan juga untuk mencegah terus merosotnya nilai mata uang rupiah terhadap mata
uang lainnya. Denga kata lain, ditengah krisis ekonomi dan usaha untuk keluar dari krisis
ini, indonesia semakin terjerat dalam jebakan dan ketergantungan utang. Hal ini dapat
menimbulkan masalah yyang sama dalam jangka panjang, yaitu ekonomi kembali
mengalami krisis, karena pada saat jatuh tempo nantinya semua kewajiban tersebut tetap

harus dibayar. Oleh karena itu, walaupun Indonesia saat ini sangat membutuhkan bantuan
luar negeri, manajemen utang harus sudah didesain dengan melihat kemampuan
membayar jangka panjangnya.
Pembiayaan Pembangunan
Sejak krisis ULN dunia pada awal 1980-an, masalah ULN yang dialami oleh
banyak NB tidak semakin baik, banyak NB semakin terjerumus ke dalam krisi ULN
sampai negara-negara pengutang besar terpaksa melakukan program-program
penyesuaian struktural terhadap ekonomi mereka atas desakan dari Bank Dunia dan Dana
Moneter Internasional (IMF), sebagai syarat utama untuk mendapatkan pinjaman baru
atau pengurangan terhadap pinjaman lama, (Tambunan, 2001).
Tingginya ULN dari banyak NB disebabkan terutama oleh tiga jenis defisit :
a. Defisit transaksi berjalan (TB) atau bisa disebut dengan trade gap, yaitu
ekspor (X) lebih sedikit daripada impor (M).
b. Defisit investasi atau I-S gap, yaitu dana yang dibutuhkan untuk membiayai
investasi (I) di dalam negeri lebih besar daripada tabungan nasional atau
domestik (S).
c. Defisit fiskal (fiskal gap).
Dari faktor-faktor tersebut, defisit TB sering disebut didalam literatur sebagai
penyebab utama membengkaknya ULN dari bank NB. Besarnya defisit TB melibihi
surplus neraca modal (CA) (kalau salonya memang positif) mengkibatkan defisit neraca
pembayaran (BOP) yang berarti juga cadangan defisa (CD) dengan sendirinya akan habis
jika tidak ada sumber-sumber lain (misalnya modal investasidari luar negeri), seperti
yang dialami oleh negara-negara paling miskin di benua Afrika. Padahal devisa sangat
dibutuhkan terutama untuk membiayai impor barang-barang modal dan pembantu untuk
kebutuhan kegiatan produksi di dalam negeri.
Dari uraian diatas, dapat dimngerti bahwa defisit TB yang terjadi terus menerus
membuat banyak NB harus tetap bergantung pada pinjaman luar negeri (PLN), terutama
negara-negara yang kondisi ekonominya tidak menggairahkan investor-investor asing
sehingga sulit bagi negara-negara tersebut untuk mensubstitusikan PLN dengan investasi,
misalnya dalam bentuk penanaman modal asing (PMA).
Sejak pemerintahan Orde Baru hingga saat ini tingkat ketergantungan Indonesia pada
ULN tidak pernah menyurut, bahkan mengalami akselerasi yang pesat sejak krisis
ekonomi 1997/1998 karena pada periode tersebut pemerintah Indonesia terpaksa
membuat utang baru dalam jumlah yang besar dari IMF untuk membiayai pemulihan
ekonomi. Pada masa normal selama pemerintahan Soeharto, ULN dibutuhkan terutama
untuk membiayi pembangunan, defisit investasi, defisit TB, dan beberapa komponen dari
sisi pengeluaran pemerintah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Beban Pembayaran
Sejak masa Orde Lama, sangat jelas utang luar negeri yang dibuat akan
menyulitkan pemerintah dalam membayarnya. Dengan tingkat kemampuan ekonomi
masyarakat yang sangat miskin, akumulasi utang pemerintah Orde Lama (selama 20
tahun) mencapai US$ 2,38 miliar. Jika dibandingkan dengan utang luar negeri yang
dibuat pada masa pemerintahan Soeharto,Habibie, ataupun Abdurahman Wahid nilaiutang
tersebut memang sangat kecil. Dari ketiga rezim terakhir ini, rata-rata pertahun utang luar

negeri yang dibuat pemerintah mencapai US$5 miliar. Namun pada masa orde lama
kapasitas ekonomi sangat rendah, dan lebih dari itu alokasi penggunaan utang luar negeri
tersebut banyak pada proyek-proyek mercusuar dan membiayai anggaran untuk angkatan
bersenjata, sehingga tidak menggerakan ekonomi dan tidak menghasilkan devisa maupun
langsung dan tidak langsung yang sebetulanya sangat diperlukan untuk membayar
kembali utang dari negara lain dan lembaga-lembaga internasional, dari sinilah awal mula
beban pembayaran dan warisan hutang luar negeri Indonesia yang sampai saat ini dan
entah kapan akan terselesaikan.
Posisi Utang Luar Negeri
Posisi utang luar negeri Indonesia, menurut data Bank Indonesia, per januari 2001
mencapai US$ 140,2 miliar yang terdiri dari pinjaman pemerintah dan swasta. Utang
pemerintah sendiri mencapai US$ 74,2 miliar, termasuk dari IMF US$ 10,9 miliar dan
pinjaman swatsa US$ 66 miliar. Sedangkan proyeksi dari PERC (Pacific Ecinomic risk
Consultancy) menunjukan dalam tahun 2001 total hutang luar negeri Indonesia mencapai
US$ 150 miliar, dan kewajiban membayar bunga dan cicilan utang sebesar US$ 22 miliar.
(Tabel 3.1)
Tabel 3.1
Berbagai Data Makro dan Proyeksi
Indikator

1996

1997

1998

1999

2000

2001

Total ULN (mil


$)
Cicilan ULN
(mil $)
Kurs (akhir
tahun)

128,94

136,17

146,80

147,60

149,80

150,00

21,54

17,74

19,54

21,82

21,79

22,00

2361

4460

8025

7085

9675

11500

Sumber : PERC dikutip kompas 16 April 2001

Kewajiban pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri ini sudah sangat
membebani anggaran belanja pemerintah. Sedangkan anggaran pemerintah tersebut
sumber penerimaannya sebagian besar berasal dari pajak yang ditarik dari masyarakat.
Dengan demikian, beban utang luar negeri pada akhirnya harus dibebankan pada
masyarakat luas, dalam bentuk pajak dan dan berbagai pungutan lainnya. Lebih dari itu,
pembayaran bunga dan cicilan utang tersebut berarti mengurangi dana pembanguna yang
tersedia. Akibatnya, aktifitas pembangunan terpaksa dikendurkan untuk memenuhi
kewajiban internasional tersebut. Demikian pula, fungsi alokasi dan distibutif dari
kewajiban fiskal menjadi berkurang, sebagai akibat alokasi sebagaian besar dana untuk
membayar bunga cicilan utang.
B. Perkembangan Utang Luar Negeri
Besarnya akumulasi ULN khususnya dari pemerintah, dan terutama sangat terasa
setelah krisis ekonomi 1997/1998, memaksa pemerintah Indonesia mengatur secara
khusus atau mengubah paradigma soal penanganan PLN di dalam Garis Besar Haluan
Negara (GBHN) tahun 1999-2004. Sejak itu, kebijakan fiskal yang menjadi andalan bagi
penerimaan pemerintah ditekankan untuk mengurangi ketergantungan pemerintah terhdap

ULN. GBHN 1999-2004 secara khusus membahas soal ULN dalam empat butir yang
tercakup dalam arah kebijakan bidang ekonomi, (Joedo, 2004).
Pada dasarnya, dalam proses pelaksanaan pembangunan ekonomi di negara
berkembang seperti di Indonesia, akumulasi utang luar negeri merupakan suatu gejala
umum yang wajar. Hal tersebut disebabkan tabungan dalam negeri yang rendah sehingga
tidak memungkinkan dilakukannya investasi yang memadai, sehingga jalan alternatif
lainnya ialah dengan menarik dana atau pinjaman dari luar negeri. Utang luar negeri
(foreign debt) mulai berkembang di Indonesia sejak pemerintah Indonesia menganut
sistem devisa bebas. Sejak bulan agustus 1971, sistem devisa bebas mulai diterapkan di
Indonesia. Pemerintah tidak lagi membatasi modal yang akan dibawa masuk atau keluar
negeri.
Grafik 3.2
Perkembangan Penanaman Modal Asing (PMA) di Indonesia (US $ Juta)

Utang Luar Negeri


180000
160000
140000
120000
100000
80000
60000
40000
20000
0

Utang Luar Negeri

Sumber :Bank Indonesia, Statistik Ekonomi Keuangan Indonesia, (Berbagai Edisi) (Data diolah)

Dilihat dari grafik di atas utang luar negeri dari tahun 1986 hingga 2011 senantiasa
perkembangan utang luar negeri masih dapat dikatakan dalam keadaanstabil. Namun
pada tahun 1997 hingga 2011 perkembangan utang luar negeri senantiasa fluktuaktif dan
nilai utang luar negeri tertinggi terjadi pada tahun 2011 yakni $154,505,9.
Utang luar negeri (foreign debt) pada dasarnya memiliki dampak positif terhadap
pertumbuhan ekonomi Indonesia, tetapi juga merupakan salah satu penyebab utama
keterpurukan perekonomian Indonesia. Ini disebabkan karena semakin basarnya beban
utang luar negeri Indonesia baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun pihak swasta
asing yang harus ditanggung, ( Arwiny, 2011:41).
C. Sumber sumber Pembiayaan ULN di Indonesia
Masalah ULN sebenarnya bukan hal baru bagi Indonesia, karena Indonesia sudah
mempunyai ULN bahkan semasa penjajahan Belanda. Namun, ULN baru menjadi
masalah serius setalah terjadi transfer negatif bersih pada pertengahan dekade 80-an,
yakni utang baru yang diterima lebih kecil daripada cicilan pokok dan bunganya yang
harus dibayar setiap tahun. Ini berati ULN yang baru sama sekali tidak bisa digunakan
sesuai tujuannya selain membayar sebagian cicilan pokok dan bunganya
(Samhadi,2006b).
Menurut catatan Samhadi (2006b), total ULN Indonsia pada akhir era Soekarno
sebesar 6,3 miliar dollar AS yang terdiri dari 4 milliar dolar AS yang dibuat pada masa
pemerintahan Belanda dan 2,3 miliiar dolar AS yang dibuat oleh pemerintah Soekarno,
dan membengkak menjadi 54 milliar dolar AS pada akhir pemerintahan Soeharto. Utangutang ini didapat dari berbagai sumber dari negara maupun kelembagaan.
Tabel 3.3
Sumber-Sumber Pembiayaan ULN Indonesia
Lembaga Pendonor
IBRD (International Bank for Reconstruction
and Development)
ADB (Asian Development Bank)

Negara Pendonor
Pemerintah Jepang
German
Perancis

JBIC (Japan Bank for International


Coorperation)
IGGI
IMF
WORLD BANK

Korea Selatan
Amerika Serikat

Sumber : Bank Indonesia (2008)

D. Upaya Mengurangi Beban Utang Luar Negeri


Sasaran pokok kebijakan fiskal setelah krisis ekonomi adalah mengurangi
ketergantungan pemerintah pada ULN atau menurunkan rasio utang terhadap PDB.
Cukup banyak simulasi yang menunjukkan bahwa pengurangan utang dari negara-negara
dengan jumlah ULN yang sangat besar memberi dampak positif bagi ekonomi. Iyoha

(1999) melakukan simulasi kebijakan untuk meneliti dampak dari skenario alternatif stok
utang yang dilakukan pada tahun 1986 terhadap investasi dan pertumbuhan ekonomi
dalam tahun-tahun berikutnya. Hasil yang ditunjukkan bahwa pengurangan stok ULN
mempunyai efek positif yang signifikan pada investasi. Hasil ini mendemonstrasikan
bahwa penghapusan utang ULN bisa memberikan stimulus yang dibutuhkan untuk
pemulihan investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Upaya mengurangi beban ULN dapat dilakukan dengan 4 cara:
1) Pengurangan/pemotongan, penundaan, penjadwalan ulang pembayaran
cicilan pokok, dan bunga utang
2) Konversi utang
3) Melunasi lebih awal utang jangka pendek
4) Meminta penghapusan utang yang masih ada
Cara 1s.d 3 merupakan strategi jangka pendek. Pada era reformasi, Presiden
Megawati yang pertama kali meminta dalam pidato kenegaraan 16 agustus 2004 agar
IMF bersedia memprakarsai penjadwalan ulang pembayaran cicilan ULN Indonesia
supaya tersedia lebiih banyak dana yang sangat dibutuhkan untuk membiayai
pembangunan berbagai proyek atau/dan program peningkatan kesejehteraan
masyarakat. Sementara itu, cara 4 adalah mengurangi ketergantungan pada ULN atau,
mengurangi pembuatan utang baru. Ini merupakan strategi jangka panajng, karena
mengurangi ketergantungan pada ULN memerlukan waktu yang tidak pendek. Hal ini
disebabkan mencari sumber-sumber alternatif bukan hal yang mudah.

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan memahami persoalan-persoalan yang berkaitan dengan ULN diatas,
pertanyaan bagi Indonesia adalah: apakah Indonesia selama ini (Sejak orde baru) lebih
diuntungkan atau sebaliknya lebih dirugikan oleh ketergantungannya pada ULN? Tidak
bisa dikatakan bahwa Indonesia selama ini sama sekali dirugikan oleh ULN, karena tidak
ada kepastian absolut bahwa andaikan Indonesia sejak awal tidak pernah mengandalkan
pinjaman luar negeri, bisa tercapai tingkat kemajuan pembangunan saat ini. Paling tidak
hingga menjelang krisis ekonomi 1997/1998. PDB Indonesia mengalami laju
pertumbuhan rata-rata sekitar 7% per tahun, dan tingkat kemiskinan mengalami
penurunan yang signifikan. Sangat sulit rezim soeharto bisa bertahan selama 30 tahun
lamanya tanpa ada pinjaman dari Bank Dunia, IGGI/CGI dan negara-negara donor
lainnya.
Anggapan bahwa selama ini Indonesia sepenuhnya diuntungkan dengan adanya ULN
juga tidak tepat, melihat kenyataan dua hal.
Pertama, beban ULN pemerintah Indonesia semakin besar dan modal asing yang
masuk di Indonesia merugikan investor lokal. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya porsi
beban ULN didalam APBN dan masuknya modal asing dalam anggaran belanja negara.
Bahkan salah satu penyebab krisis ekonomi 1997/1998 yang dipicu oleh anjloknya nilai

tukar rupiah terhadap dolar AS adalah meningkatnya secara signifikan biaya ULN
pemerintah dan swasta dalam rupiah yang membuat banyak perusahaan besar
(konglomerat) bangkrut dan keuangan pemerintah jebol. Akhirnya pemerintah Indonesia
terpaksa memanggil IMF untuk penyelamatan.
Kedua, hingga saat ini Indonesia tetap saja masih tergantung pada ULN dan
modal asing. Jika Indonesia selama ini betul-betul diuntungkan oleh adanya PMA dan
ULN, sudah lama Indonesia mandiri seperti Korea Selatan. Pada awal pembangunannya
selama dekade 50-an dan 60-an, Korea juga sangat bergantung pada ULN khususnya dari
AS, tetapi sekarang bahkan sudah masuk didalam klub negara-negara donor.
Kita harus terus meminjam dari luar negeri untuk membiayai pembayaran kepada
pihak luar negeri. Kita terus meminjam dari luar negeri untuk dapat membayar cicilan
utang luar negeri, bunga utang luar negeri dan keuntungan investasi asing yang
ditransfer ke luar negeri. Dalam situasi seperti ini, kita sebetulnya berada dalam suatu
ekonomi tutup lubang gali lubang. Bisa dilihat bahwa secara pukul rata hampir seluruh
nya kita gunakan untuk pembayaran kepada pihak-pihak asing. kita sebetulnya sadar
atau tidak sadar bekerja untuk pihak asing. Ini sungguh merupakan sesuatu yang
menyedihkan sebagai bangsa yang berdaulat dan politis merdeka.

DAFTAR PUSTAKA

Al Maulidi, Iqbal. Pengaruh Utang Luar Negeri dan Penanaman Modal Asing terhadap
Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia Periode 1990-2011 Jurnal Ilmiah, Juni 2013.
Anoraga Pandji, (1995), Perusahaan Multinasional Penanaman Modal Asing, Pustaka
Jaya,Jakarta.
Arief Sritua dan Sasono Adi, (1987), Modal Asing, Beban Utang Luar Negeri dan Ekonomi
Indonesia, Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta.
Majid, Khairin. Analisis Pengaruh Utang Luar Negeri (ULN) dan Penanaman Modal Asing
terhadap pertumbuhan Ekonomi Indonesia Tahun 1986-2011, Jurnal Ilmiah, Maret
2013.
TambunanT. Tulus, (2008), Pembangunan Ekonomi & Utang Luar Negeri,
Rajawali Pers, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai