Anda di halaman 1dari 48

KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT ISLAM

OLEH: IQBAL TAWAKKAL P *)


KATA PENGANTAR
Bismilahirrohmanirrohim
Assalamualaikum Wr. Wb
Dewasa ini Islam memiliki banyak pandangan atau pendapat mengenai Kepemimpinan.
Wacana kepemimpinan yang berkembang ini, di awali setelah Rasulullah SAW wafat.
Masyarakat Islam telah terbagi-bagi kedalam banyak kelompok atau golongan.
Kelompok-kelompok Islam ini terkadang satu sama lain saling menyalahkan atau bahkan
mengkafirkan..
Kondisi seperti ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan Islam. Permasalahan
perbedaan argumentasi harusnya dapat di selesaikan dengan mekanisme diskusi dengan
menggunakan logika. Dengan menggunakan logika kita dapat menilai suatu argumentasi
absah dan benar. Janganlah sampai suatu kebenaran harus disingkirkan hanya karena ego
kita.
Kebenaran haruslah dijunjung tinggi. Karena kebenaran adalah sesuainya pernyataan
dengan kenyataan. Kenyataan (realitas) tidaklah mungkin menipu, akan tetapi pahaman
kitalah yang bisa jadi belum sampai pada realitas tersebut. Atau pahaman kita sebenarnya
telah sampai pada realitas (kenyataan), namun egoisme kitalah yang menyuruh untuk
menolaknya.
Mudah-mudahan kita bukanlah bagian dari orang-orang yang memiliki rasa egois, dan
juga bukan bagian dari orang-orang yang menolak suatu kebenaran. Insya Allah.
BAB I
PENDAHULUAN
Perihal mengenai kepemimpinan dalam Islam merupakan suatu wacana yang selalu
menarik untuk didiskusikan. Wacana kepemimpinan dalam Islam ini sudah ada dan
berkembang, tepatnya pasca Rasulullah SAW wafat. Wacana kepemimpinan ini timbul
karena sudah tidak ada lagi Rasul atau nabi setelah Nabi Muhammad SAW wafat.
Dalam firman Allah SWT dikatakan bahwa Al-quran itu sudah bersifat final dan tidak
dapat diubah-ubah lagi. Sehingga Rasulullah SAW adalah pembawa risalah terakhir dan
penyempurna dari risalah-risalah sebelumnya.
Telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (Al-quran) sebagai kalimat yang benar dan adil.
Tak ada yang dapat mengubah kalimat-kalimat-Nya.(Q.S Al-Anam:115).

Tidaklah mungkin akan ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW. Karena ketika
ada seorang nabi baru setelah Rasulullah SAW maka akan ada suatu risalah baru sebagai
penyempurna dari risalah sebelumnya, sehingga artinya Al-quran tidaklah sempurna dan
Allah menjadi tidak konsisten terhadap pernyataannya yang ia sebutkan dalam ayat di
atas.
Ketika Rasulullah SAW wafat, berdasarkan fakta sejarah dalam Islam, Umat Islam
terpecah belah akibat perdebatan mengenai kepemimpinan dalam Islam, khususnya
mengenai proses pemilihan pemimpin dalam Islam dan siapa yang berhak atas
kepemimpinan Islam.
Sejarah mencatat bahwa kepemimpinan Islam setelah Rasulullah SAW wafat dipimpin
oleh Abu Bakar, Umar Bin Khattab, Utsman Bin Affan, Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah,
dan Bani Abbas. Setelah dinasti Abbasyiah kepemimpinan Islam terpecah pecah ke
dalam kesultan-kesultanan kecil.
Permasalahan kepemimpinan ini membuat Islam menjadi terfragmentasi dalam
kelompok-kelompok, diantaranya yang terbesar adalah adanya kelompok Sunni dan
Syiah. Kedua kelompok besar ini memiliki konsep dan pahaman kepemimpinan yang
sangat jauh berbeda. Kedua kelompok ini memiliki dalil dan argumentasi yang samasama menggunakan sumber Islam yaitu Al-quran dan Sunnah.
Kedua kelompok ini terkadang saling berseteru satu sama lain, dan juga ada yang sampai
mengkafirkan satu sama lain. Kondisi ini sangatlah tidak sehat bagi perkembangan kaum
muslimin, harusnya mereka dapat berargumentasi secara rasional dan logis. Sehingga
kaum muslim dapat melihat dan menilai apakah proposisi-proposisi yang dikeluarkan
merupakan suatu kebenaran atau tidak.
Pada dasarnya sejarah tak bersih dari peristiwa kelam. Sejarah setiap bangsa, dan pada
dasarnya sejarah umat manusia, merupakan himpunan peristiwa menyenangkan dan tidak
menyenangkan. Pasti begitu. Allah menciptakan manusia sedemikian sehingga manusia
tidak bebas dari dosa. Perbedaan yang terjadi pada sejarah berbagai bangsa, komunitas
dan agama terletak pada proporsi peristiwa menyenangkan dan tidak menyenangkan,
bukan pada fakta bahwa mereka, hanya memiliki peristiwa menyenangkan saja atau tidak
menyenangkan saja.[1]
Proses memahami sejarah tidak boleh berlandaskan suka atau tidak suka, dan juga harus
siap menerima segala konsekuensi yang timbul setelah kita menelaah sejarah tersebut.
Dalam makalah ini penulis berusaha untuk berhenti pada konsep-konsep kepemimpinan
tetapi juga membahas sejarah 4 khilafah setelah Rasulullah SAW, serta menyinggung
Dinasti Muawiyah dan Abbasyiah. penulis mencoba untuk menarik nilai-nilai apa yang
bisa didapat untuk membentuk konsep-konsep kepemimpinan dalam Islam.
Ada beberapa pertanyaan yang dapat saya ajukan seputar pembahasan makalah
kepemimpinan dalam Islam ini, yaitu:

1. Apa yang dimaksud dengan pemimpin dan kepemimpinan serta kenapa kepemimpinan
dalam Islam di perlukan?
2. Bagaimana syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam?
BAB II KEPEMIMPINAN DALAM MASYARAKAT ISLAMA. Pemimpin,
Kepemimpinan, dan Signifikansinya dalam Islam
Ketika ingin memulai suatu pembahasan ada baiknya kita melakukan suatu pendefinisian
atas pokok bahasan kita. Pendefinisian ini membantu kita untuk memahami dan
mensistematiskan alur pembahasan. Kepemimpinan berasal dari kata pemimpin, yang
artinya adalah orang yang berada di depan dan memiliki pengikut, baik orang tersebut
menyesatkan atau tidak. Ketika berbicara kepemimpinan maka ia akan berbicara
mengenai prihal pemimpin, orang yang memimpin baik itu cara dan konsep, mekanisme
pemilihan pemimpin, dan lain sebagainya. Terdapat ragam istilah mengenai Kepemimpin
ini, adanya yang menyebutkan Imamah dan ada Khilafah. Masingmasing kelompok
Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain, namun ada juga yang menyamakan
arti Khilafah dan Imamah.
Seorang ulama bernama Syekh Abu Zahra dari kelompok Sunni menyamakan arti
Khilafah dan Imamah. Ia berkata, Imamah itu disebut juga sebagai Khilafah. Sebab
orang yang menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang
menggantikan Rasul SAW. Khalifah itu juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang
wajib ditaati. Manusia berjalan di belakangnya, sebagaimana manusia shalat di belakang
imam.[2]
Kelompok Syiah dalam hal kepemimpinan membedakan pengertian antara khilafah dan
Imamah. Hal ini dapat dilihat berdasarkan fakta sejarah kepemimpinan dalam Islam
setelah Rasulullah SAW wafat. Kelompok Syiah sepakat bahwa pengertian Imam dan
Khilafah itu sama ketika Ali Bin Abi Thalib diangkat menjadi pemimpin. Namun
sebelum Ali menjadi pemimpin mereka membedakan pengertian Imam dan Khilafah.
Abu Bakar, Umar Bin Khattab, dan Utsman adalah Khalifah, namun mereka bukanlah
Imam.[3]
Bagi kelompok Syiah sikap seorang Imam haruslah mulia sehingga menjadi panutan
para pengikutnya. Imamah didefinisikan sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni
seseorang yang mengurusi persoalan agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah
SAW, Khalifah Rasulullah SAW yang memelihara agama dan menjaga kemuliaan umat
dan wajib di patuhi serta diikuti. Imam mengandung makna lebih sakral dari pada
khalifah..[4]
Secara implisit kaum Syiah meyakini bahwa khalifah hanya melingkupi ranah jabatan
politik saja, tidak melingkupi ranah spiritual keagamaan. Sedangkan Imamah melingkupi
seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik.

Wacana mengenai kepemimpinan di kalangan umat Islam memiliki ragam pendapat.


Pada golongan besar umat Islam. yakni Sunni dan Syiah terdapat konsep kepemimpinan
yang signifikan berbeda. Bahkan di kalangan umat Islam yang mengklaim dirinya
bukanlah bagian dari suatu kelompok besar tersebut juga memiliki pandangan berbeda,
kelompok ini cenderung pada pemikiran konsep kepemimpinan barat. Kelompok ini
sering disebut sebagai kalangan umat Islam yang sekuler. Banyak ragam pendapat
mengenai kepemimpinan dalam Islam.
Akan tetapi ketiga kelompok Islam di atas memiliki kesepahaman bahwa suatu
masyarakat haruslah memiliki seorang pemimpin. Suatu masyarakat tidaklah mungkin
dipisahakan dari sebuah kepemimpinan.
Menurut Ali Syariati, secara sosiologis masyarakat dan kepemimpinan merupakan dua
istilah yang tidak dapat dipisahkan. Syariati berkeyakinan bahwa ketiadaan
kepemimpinan menjadi sumber munculnya problem-problem masyarakat, bahkan
masalah kemanusiaan secara umum. Menurut Syariati pemimpin adalah pahlawan, idola,
dan insan kamil, tanpa pemimpin umat manusia akan mengalami disorientasi dan
alienasi.[5]
Ketika suatu masyarakat membutuhkan seorang pemimpin, maka seorang yang paham
akan realitas masyarakatlah yang pantas mengemban amanah kepemimpinan tersebut.
Pemimpin tersebut harus dapat membawa masyarakat menuju kesempurnaan yang
sesungguhnya. Watak manusia yang bermasyarakat ini merupakan kelanjutan dari
karakter individu yang menginginkan perkembangan dirinya menuju pada kesempurnaan
yang lebih.
Terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara kelompok Islam sekuler dengan
kelompok Islam yang tidak memisahkan kehidupan beragama dengan kehidupan
berpolitik. Kelompok Islam Sekuler menyatakan bahwa kaum ulama tidaklah wajib untuk
berkecimpung didalam dunia politik. Pandangan ini didasarkan pada pandangan bahwa
kehidupan agama merupakan urusan pribadi masing-masing individu (privat), tidak ada
hubungannya dengan dunia politik (publik). Sehingga peran ulama hanya terbatas pada
ritual-ritual keagamaan semata, jangan mengurusi kehidupan dunia politik. Dalam
kondisi seperti ini maka ulama tidaklah mungkin menjadi pemimpin dari suatu
masyarakat, ulama hanya selalu menjadi subordinasi dan/atau alat legitimasi pemimpin
politik dari masyarakat.
Sedangkan kelompok anti sekuler yang meyakini bahwa kehidupan beragama dan dunia
tidak dapat dipisahkan khususnya dunia politik. Kelompok ini mendukung dan meyakini
bahwa ulama haruslah memimpin. Ulama harus dapat membimbing manusia tidak hanya
menuju pada kebaikan yang bersifat dunia, akan tetapi juga hal-hal yang menuju pada
kesempurnaan spiritual. Para ulama yang menduduki jabatan politik haruslah dapat
melepaskan manusia dari belenggu-belenggu dunia yang menyesatkan.
Ulama berasal dari kata bahasa arab dan semula ia berbentuk jamak, yaitu alim artinya
adalah orang yang mengetahui atau orang pandai. Seorang pemimpin revolusi Iran, yaitu

Imam Khomaini dalam konteks pemerintahan ia menggunakan kata Fuqaha untuk


mengganti istilah ulama.
Bagi Khomeini kepemimpinan seorang Fuqaha (ulama) adalah suatu kemestian. Ia
memiliki 2 alasan, yaitu : Pertama, alasan yang teologis berupa riwayat dari Nabi
Muhammad SAW,adalah Fuqaha adalah pemegang amanat rasul, selama mereka tidak
masuk keduania, kemudian seseorang bertanya, Ya Rasul, apa maksud dari perkataan
mereka tidak masuk ke dunia. Lalu Rasul menjawab, mengikuti penguasa. Jika mereka
melakukannya maka khawatirkanlah (keselamatan) agama kalian dan menjauhlah kalian
dari mereka.[6] Kedua, alasan Rasional bahwa tidaklah adil sekiranya Tuhan
membiarkan ummatnya bingung karena ketidakmampuan mereka menafsirkan maksud
Tuhan dalam konteks zamannya. Jabatan ulama bukanlah jabatan struktur akan tetapi ia
merupakan suatu pengakuan dari ummatnya. Ummat dalam hal ini haruslah juga bersikap
kritis terhadap ulamanya untuk menguji kwalitas dari seorang ulama tersebut.
Pendapat yang tidak rasional dari kedua kelompok di atas adalah kelompok Islam sekuler.
Kelompok Islam sekuler hanya memahani Islam secara parsial ,atau bisa jadi mereka
ditugaskan oleh kelompok pembenci Islam untuk mendistorsi pahaman umat Islam akan
agamanya.
Alam semesta dan manusia memiliki dimensi materi dan imateri. Islam merupakan
agama yang sempurna dimana pengaturannya meliputi seluruh alam semesta ini. Ketika
kehidupan beragama dipisahkan dari aktivitas politik, maka seolah-olah Islam tidak
mengatur bagaimana kehidupan berpolitik dan bermasyarakat. Justru terkadang manusia
memiliki pengetahuan yang terbatas terhadap realitas alam semesta ini. Sehingga manusia
dapat saja berbuat kekeliruan dalam bertindak dan memutus suatu perkara. Manusia
dalam hal ini seolah-olah tidak berdaya, akan tetapi kalau dicerna lebih lanjut maka ini
sebenarnya menguntungkan, karena ada kerja Ilahi yang mengantarkan manusia pada
kesempurnaan. Manusia cukup mentaati dan menerapkan hukum Allah tersebut.
Hanya manusia-manusia yang dibimbing oleh Tuhanlah yang dapat memahami realitas
alam semesta. Manusia yang memahami agama Islam secara komprehensif baik dimensi
materi ataupun imateri yang dapat membawa suatu masyarakat menuju arah
kesempurnaan dan kebahagiaan hakiki. Selain itu diangkatnya seseorang menjadi
pemimpin (nabi, para imam, atau ulama/fuqaha) juga berdasarkan gerak dan
kebijaksanaan yang diraih oleh orang tersebut dalam perjalanan spiritualnya. Dalam hal
ini terdapat faktor dari dari manusia itu sendiri yang kemudian dijaga dan diridhoi Allah
SWT.
Kepemimpinan dalam Islam haruslah seorang tokoh ulama yang benar-benar bertanggung
jawab penuh atas kemaslahatan dan keselamatan ummatnya. Baik itu golongan Islam
Sunni atau pun Syiah sepakat bahwa ulama harus memimpin segala bidang baik itu
spiritual maupun politik dalam kehidupan bermasyarakat.
Sebelum masuk ke dalam kriteria kepemimpinan terdapat perbedaan pandangan antara
kelompok Sunni dan Syiah mengenai pola pemilihan kepemimpinan. Sunni sepakat

bahwa kepemimpinan tersebut dipilih secara musyawarah oleh ummat Islam. Pendapat
mereka ini berlandaskan pada :
(Q.S Asy-Syura :38 : . sedang urusan mereka dengan musyawarah antara
mereka.,)dan
(Ali-Imran :159 : Bermusyawarah dengan mereka dalam sesuatu urursan.)
dan juga pidato Umar Bin Khattab mengenai pertemuan di Saqifah yang mengharuskan
ummat Islam bermusyawarah dalam menetapkan pemimpin.
Sedangkan kalangan Syiah sepakat bahwa urusan kepemimpinan setelah Rasulullah
SAW wafat, maka Allah SWT melalui Rasul-Nya telah menetapakan pemimpin setelah
Rasul SAW, yaitu Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya dari Fathimah Az-Zahra.
Bahkan kelompok Syiah ini memasukkan kepemimpinan ini ke dalam pokok-pokok
agama (Ushuluddin).
Kalangan Syiah memiliki alasan yang juga dilandasi Al-quran dan Sunnah untuk
mendukung argumentasinya diantaranya adalah, yaitu QS Al-Ahzab : 33, Hadits
Tsalaqain dan Hadits Ghadir Khum.
Dan tetaplah kamu di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang jahiliah yang dahulu, dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
taatilah Allah dan Rasul-Nya, sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan
dosa dari kamu, hai Ahlulbait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (Q.S AlAhzab :33)
Hadits Tsalaqain : Nabi saw bersabda, Aku tinggalkan kepada kalian dua amanat, yaitu
Kitab Allah dan keturunanku. (Shahih Muslim, Jilid VII, hal. 122)
Hadits Ghadir Khum : Nabi saw bersabda, Bukankah aku lebih berwenang atas diri
kalian dibanding kalian sendiri? Semua yang hadir mengatakan, Betul, Ya Rasulullah.
Kemudian Nabi saw membuat deklarasi, Ali ini adalah pemimpin (penguasa) orang
yang menjadikan aku sebagai pemimpin (penguasa)-nya.
Sesungguhnya yang dimaksud Nabi adalah bahwa Nabi akan meninggalkan dua otoritas
yang menjadi tempat bertanya tentang semua masalah keagamaan dan sosial. Dalam
bagian akhir hadis ini, Nabi bersabda, Selama kalian berpegang pada keduanya, kalian
tidak akan sesat. Jadi persoalannya adalah persoalan mengikuti (berpegang). Nabi saw
mendeklarasikan bahwa keturunannya sama dengan Al-Quran. Nabi sendiri mengatakan
bahwa Al-Quran adalah tsaqal besar, sedang keturunannya adalah tsaqal kecil.[7]
Dari permasalahan di atas dapat dilihat adanya dua pokok pemikiran yang cukup tajam
perbedaaannya. Kelompok Sunni percaya bahwa setelah Rasulullah SAW wafat maka
kepemimpinan itu diserahkan kepada ummat Islam melalui musyawarah. Kelompok
Sunni secara otomatis juga meyakini bahwa tidak ada pemimpin yang ditentukan oleh

Allah SWT dan Rasul-Nya dalam hal memimpin ummat manusia di muka bumi ini,
cukuplah Al-quran dan Sunnah Rasul sebagai pegangannya. Seorang Ulama Sunni, Dr.
Ali As-Salus dalam bukunya Imamah dan Khilafah dalam Tinjauan Syari menyatakan
bahwa kepemimpinan (Imamah) itu bukanlah ditetapkan dengan dengan nash atau
penunjukan.[8]
Sedangkan kelompok Syiah percaya bahwa kepemimpinan setelah Rasul merupakan hak
Allah SWT. Tidak ada peran manusia dalam menentukan pemimpin setelah Rasulullah
SAW wafat. Kelompok Syiah percaya bahwa Allah SWT menentukan bahwa Ali bin
Abi Thalib adalah pemimpin ummat Islam setelah Rasulullah SAW. Kelompok Syiah
menyatakan kebutuhan manusia akan Imam (Pemimpin), sama dengan dalil bahwa
manusia membutuhkan seorang Nabi, ketika manusia memasuki zaman ketiadaan nabi,
maka manusia memerlukan imam (pemimpin).[9]
Mengenai diskursus kedua pendapat ini, penulis mencoba untuk menarik pokok
permasalahan lebih kepada argumentasi rasional dan filosofis. Alasannya bahwa kedua
kelompok tersebut merupakan manusia yang memiliki akal. Akan tetapi manusia
bukanlah makhluk yang berlogika. Hal ini karena ada beberapa manusia yang memiliki
akal namun ia tidak menggunakan hukum-hukum akal. Logika merupakan suatu ilmu
pengetahuan mengenai hukum-hukum akal yang dapat membantu manusia mengetahui
benar dan salah. Manusia pasti memiliki akal karena itu merupakan suatu fitrah, akan
tetapi terkadang ada manusia yang selalu menggunakan perasaan atau hawa nafsu saja.
Manusia pastilah makhluk berakal, akan tetapi ia belum tentu makhluk yang berlogika.
Tidak dapat disangkal bahwa manusia adalah makhluk hidup berjenis hewan, yang mana
ia memiliki akal, hati, dan nafsu yang ghalibnya juga adalah mahluk sosial. Manusia
tidak dapat melepaskan fitrah kesosialannya. Menurut muthahari dalam tiga teori
pembentukan masyarakat, kefitrahan manusia sebagai unsur yang paling yang
membentuk masyarkat
Pertama, manusia bermasyarakat karena kemampuannya berpikir dan memperhitungkan
(faktor intelektual), misalkan manusia berkerja sama dalam membangun suatu
perusahaan yang memberi keuntungan besar bagi manusia tersebut. Kedua, kehidupan
bermasyarakat manusia merupakan dorongan dari luar diri manusia, misalkan manusia
membentuk masyarakat karena untuk mempertahankan dirinya dari serangan musuh
manusia lain. Ketiga, kehidupan bermasyarakat manusia itu merupakan suatu fitrah,
dimana masing-masing manusia cenderung untuk menyatu dengan keseluruhan, misalkan
kehidupan suami istri.
Dengan adanya kondisi ini maka manusia dapat dikatakan merupakan makhluk sosial
yang saling membutuhkan satu sama lain. Ketika membentuk suatu masyarakat maka
dimensi individu kemanusiaan tersebut masih tetap ada. Namun dari individu-individu
tersebut terdapat kesamaan yang dapat menyatukannya menjadi masyarakat, misalkan
bahwa manusia itu ingin selalu bahagia, akan tetapi bentuk kebahagiaan tersebut pastilah
beragam. Ragam bentuk tersebut tidaklah bertentangan satu sama lain. Misalkan manusia
menjadi bahagia ketika ia mendapatkan pekerjaan yang halal dan ia dambakan, ada

manusia lain bahagia ketika ia mendapatkan rumah dan mobil dengan cara yang halal.
Artinya dalam membentuk masyarakat terdapat tujuan bersama yang harus disepakati
terlebih dahulu.
Masyarakat ketika ingin mencapai tujuan bersama tersebut maka masyarakat haruslah
bersifat homogen, tidaklah mungkin ia bersifat heterogen. Karena masyarakat yang
bersifat heterogen, maka ia akan menjadi masyarakat yang tidak memiliki tujuan
bersama. Ketika tidak memiliki tujuan bersama maka ia bukanlah masyarakat, akan tetapi
hanya kumpulan manusia-manusia yang memiliki ragam tujuan yang berbeda satu sama
lain. Kondisi ini akan dapat membuat chaos hubungan kehidupan manusia, dan tidaklah
pernah tercipta apa yang dinamakan masyarakat.
Kita tahu bahwa manusia tadi memiliki yang namanya akal, hati dan nafsu terhadap
duniawi. Dan terkadang hawa nafsu duniawi tersebut justru menjadi berlebihan dan
kemudian merusak akal dan hati manusia. Kondisi manusia seperti ini akan dapat
merusak yang namanya tatanan masyarakat. Dan bahkan bila kondisi ini menyebar pada
manusia yang lain, maka hawa nafsu hewani manusia tersebut berubah jiwa masyarakat.
Yang kemudian masyarakat tersebut memiliki tujuan yang dominan pada kehidupan
duniawi yang bersifat hewani, bahkan lebih parah lagi dari hewan, misalkan
dilegalkannya oleh suatu masyarakat kehidupan seks bebas, minuman keras dijual bebas,
dan bisnis prostitusi menjadi legal, dsb.
Manusia memiliki pengetahuan yang terbatas, namun setiap manusia memiliki potensi
yang sama dalam hal mencapai pengetahuan yang hakiki. Hal ini di karenakan bahwa
seluruh umat manusia pada dasarnya memiliki fitrah yang baik dan sama. Akan tetapi
dalam proses kehidupannya manusia banyak mendapatkan tantangan dan hambatan.
Dalam proses ini manusia ada yang mampu mendapatkan pengetahuan yang hakiki,
namun ada juga yang terjerumus pada kenikmatan dunia yang menyesatkan dan semu.
Dengan adanya kecenderungan manusia dan masyarakat yang seperti ini, maka Allah
SWT sebagai Sang Pengasih, Penyayang dan Sang Pemberi petunjuk pastilah tidak akan
membiarkan hambaNya tersesat dan kehilangan jati diri kemanusiaan. Sang Pemberi
petunjuk dengan sifat Keadilan-Nya pastilah menciptakan suatu hukum yang adil untuk
mengatur alam semesta ini, yang di dalamnya terdapat pengaturan mengenai petunjuk
hidup bagi manusia dan masyarakat.
Petunjuk tersebut kemudian kita sebut sebagai wahyu. Dunia kita ini merupakan suatu
dunia yang penuh dengan tujuan. Tiap-tiap sesuatu diarahkan untuk menuju ke tujuan
evolusionernya oleh kekuatan yang ada didalam dirinya, dan kekuatan yang ada didalam
dirinya itu adalah petunjuk Allah. Wahyu menurut Al-quran tidak hanya untuk manusia
saja, akan tetapi untuk seluruh ciptaan-Nya. Wahyu tersebut memiliki tingkatantingkatan, tingkatannya beragam sesuai dengan tingkatan kwalitas evolusi tiap-tiap
sesuatu. Wahyu yang derajatnya lebih tinggi diberikan kepada nabi. Dengan petujuk
tuhan inilah manusia dan masyarakat dapat melangkah menuju suatu tujuan. Tujuan ini
berada diluar alam material yang kasat mata ini. Manusia dan masyarakat harus menuju

pada tujuan ini. Wahyu juga memenuhi kebutuhan manusia dalam kehidupan sosialnya,
suatu kehidupan yang membutuhkan suatu hukum yang di ridhai oleh Allah SWT.[10]
Ketika Allah SWT menurunkan wahyu, agar dapat dicerna oleh manusia, maka Ia
menunjuk seorang nabi yang berwujud manusia. Manusia yang Allah tunjuk bukanlah
sembarang manusia, akan tetapi ia haruslah terbebas dari segala macam dosa dan
tinngkah lakunya harus mencerminkan sifat-sifat Allah. Manusia ini telah teruji kualitas
spiritualnya. Kenapa tidak semua manusia saja yang diberikan wahyu oleh Allah SWT?
Pada prinsipnya setiap manusia pastilah mendapatkan wahyu dari Allah SWT, akan tetapi
terdapat tingkatan-tingkatan wahyu yang diterima oleh manusia tersebut. Tingkatan ini
disesuaikan dengan kualitas spiritual manusia tersebut. Hanya Allah SWT yang tahu
kwalitas spiritual manusia tersebut, yang kemudian Ia lah yang menetukan orang tersebut
pantas atau tidak mengemban tugas-tugas Kerasulan.
Wahyu yang paling sempurna tingkat kebenarannya ada pada Rasulullah. Karena Rasul
tersebut telah sampai pada kebenaranNya. Bahkan wahyu yang sempurna tersebut telah
menyatu pada diri Rasul sehingga hal itu termanifestasi pada tingkah laku dan pola hidup
Rasul Tidak sembarang orang yang tahu akan makna hakiki dari wahyu yang sempurna
tersebut. Rasulullah SAW dapat dikatakan sebagai Al-quran dalam wujud manusia.
Teks-teks dalam Al-quran tidak sembarang orang dapat mengetahui makna
sesunggunya. Hanya manusia-manusia yang mampu dan memiliki sifat-sifat dan tingkah
laku seperti rasul saja yang dapat memahami makna sesungguhnya.
Al-quran merupakan wahyu Allah SWT yang sudah berbentuk kata-kata. Akan tetapi
kata-kata tersebut tidaklah dapat menunjukkan makna yang sesungguhnya. Realitas
sesungguhnya telah tereduksi ketika kita menggunakan sesuatu kata untuk menunjukkan
suatu realitas.. Misalkan kalimat Allah SWT memiliki Dzat dan Sifat yang Maha
Sempurna. Pernyataan Maha Sempurna ini tidak lah dapat menunjukkan Realitas Allah
SWT yang sebenarnya. Akan tetapi bukan berarti manusia tidak dapat mengetahui makna
dari ayat-ayat Al-quran tersebut. Tiap-tiap manusia memiliki tingkat-tingkat
pengetahuan yang berbeda-beda. Sehingga hal ini mengakibatkan manusia memiliki
pengetahuan akan ayat-ayat Allah SWT tersebut dapat berbeda-beda sesuai dengan
tingkat pengetahuan yang dimiliki manusia tersebut.
Yang menjadi masalah sekarang adalah manusia mana yang pahaman yang mendekati
atau sesuai dengan realitasnya/kenyataan (cakupannya). Manusia yang dapat memahami
makna sesungguh (reailtasnya) adalah manusia yang sudah memiliki hubungan dengan
realitas wujud dari dalam diri mereka sendiri. Mereka tidak akan mungkin melakukan
kekeliruan karena mereka sudah berada dalam konteks realitas.[11] Manusia-manusia
yang dikarenakan kesadaran mereka, berada dalam konteks alur realitas dan juga
dihubungkan dengan asal muasal wujud, adalah bebas dari kekeliruan.[12] Misalkan saya
akan pergi ke Surakarta, pengetahuan saya akan kota Surakarta adalah orangnya lembut
dan memiliki memiliki bangunan tua. Pahaman saya ini bisa jadi belum sempurna, karena
saya tidak berada pada realitas kota Surakarta tersebut. Berbeda dengan orang Surakarta,
pahamannya akan kota Surakarta pastilah lebih baik dari saya yang bukan orang

Surakarta. Karena orang Surakarta pastilah memiliki hubungan dan berada dalam realitas
kota Surakarta.
Rasulullah SAW merupakan manusia yang sudah memiliki hubungan dengan seluruh
alam semesta ini, begitu juga dengan ayat-ayat Allah SWT. Untuk itu ia pastilah
mengetahui akan makna yang sesungguhnya dari ayat-ayat Allah SWT tersebut.
Wahyu Allah ini kemudian disampaikan Rasul kepada ummatnya. Ia juga diperintahkan
agar membimbing dan mengantarkan serta memberikan sarana pada umat untuk melintasi
jalan yang menuju pada tujuan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Ketika ada
manusia yang tidak sampai pada pengetahuan hakiki dari wahyu Allah tersebut, maka
Rasulullah SAW bertugas menerangkan makna dari wahyu tersebut sesuai dengan tingkat
kwalitas pengetahuan manusia tersebut.
Bagaimana ketika Rasulullah SAW wafat, apakah seluruh umat Islam sudah mengetahui
makna sesungguhnya dari wahyu Allah SWT? Dan apakah ada orang yang mampu
memiliki tingkat pengetahuan yang mendekati atau sama dengan Rasulullah SAW? Dan
apakah manusia sudah mengetahui dan memahami apa yang menjadi tujuannya di dunia
ini dan hendak kemanakah tujuan hidupnya tesebut ?
Ketika Rasulullah SAW wafat, maka tidaklah mungkin beliau meninggalkan umatnya
tanpa seorang pemimpin, yang mana telah beliau didik untuk sampai pada pengetahuan
akan realitas alam semesta ini, dan juga realitas dari ayat-ayat Allah SWT. Karena tingkat
kwalitas pengetahuan manusia yang berbeda-beda, juga masih adanya manusia yang
belum mengetahui makna dari ayat-ayat Allah SWT, dan juga masih ada manusia yang
belum mengetahui, memahami tujuan hidupnya, maka Rasulullah SAW atas perintah
Allah SWT pastilah memilih seorang dari ummat Islam untuk menjadi pemimpin.
Pemimpin tersebut harus memiliki tingkat pengetahuan yang sama dengan Rasulullah
SAW, dan juga pemimpin tersebut harus bebas dari segala bentuk dosa kecil apalagi
besar (masum). Akan tetapi ia bukanlah menjadi seorang nabi, karena tidak ada risalah
baru yang disampaikan. Islam telah menjadi agama yang sempurna, namun masih di
butuhkan orang yang dapat menjaga risalah Islam dan membuat ummat Islam mudah
untuk mencapai tujuannya. Tugas seorang pemimpin ini adalah mengawasi, memimpin,
dan memperhatikan ummat Islam.
Terdapat perbedaan antara seorang pemimpin dan nabi. Nabi itu bertugas sebagai
pemandu, pembimbing, serta juga memberikan sarana untuk melintasi jalan dalam
mencapai tujuan. Sedangkan pemimpin adalah orang yang membuat pengikutnya mudah
untuk mencapai tujuan, mengawasi, memimpin, dan memperhatikan ummat Islam.[13]
Ada kalanya seseorang tersebut menjadi nabi sekaligus pemimpin, seperti yang terjadi
pada diri Rasulullah SAW.
Setelah Rasulullah SAW wafat, panduan dan sarana untuk ummat Islam dalam mencapai
tujuannya haruslah tetap terjaga kesuciannya. Untuk itu dibutuhkan seorang pemimpin
yang diangkat oleh Rasulullah SAW berdasarkan atas perintah Allah SWT.

Dengan adanya argumentasi ini, maka pemimpin dalam Islam setelah Rasul wafat
haruslah ada. Pemimpin tersebut bukanlah dipilih atas kehendak ummat Islam, akan
tetapi ia harus diangkat oleh Rasulullah SAW atas perintah Allah SWT. Hal ini
dikarenakan, ukuran tingkat atau kualitas pengetahuan serta spiritual seseorang hanya
Allah SWT yang tahu, yang kemudian ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Untuk
menjadi pemimpin, manusia tersebut pastilah harus melewati proses pendidikan oleh
Rasulullah SAW, disamping ia juga memiliki potensi fitrah yang di berikan oleh Allah
SWT. Manusia tersebut adalah Imam Ali Bin Abi Thalib, yang kemudian diteruskan oleh
keturunannya yang memiliki pengetahuan luas dan suci dari segala dosa.
B. Syarat-syarat kepemimpinan dalam Islam
Kepemimpinan setelah Rasulullah SAW ini, merupakan pemimpin yang memiliki
kualitas spiritual yang sama dengan Rasul, terbebas dari segala bentuk dosa, memiliki
pengetahuan yang sesuai dengan realitas, tidak terjebak dan menjauhi kenikmatan dunia,
serta harus memiliki sifat adil.
Pemimpin setelah Rasul harus memiliki kualitas spiritual yang sama dengan Rasul.
Karena pemimpin merupakan patokan atau rujukan umat Islam dalam beribadah setelah
Rasul. Oleh sebab itu ia haruslah mengetahui cita rasa spritual yang sesuai dengan
realitasnya, agar ketika menyampaikan sesuatu pesan maka ia paham betul akan makna
yang sesungguhnya dari realitas (cakupan) spiritual tersebut. Ketika pemimpin memiliki
kualitas spiritual yang sama dengan rasul maka pastilah ia terbebas dari segala bentuk
dosa.
Menurut Murtadha Muthahhari, umat manusia berbeda dalam hal keimanan dan
kesadaran mereka akan akibat dari perbuatan dosa. Semakin kuat iman dan kesadaran
mereka akan akibat dosa, semakin kurang mereka untuk berbuat dosa. Jika derajat
keimanan telah mencapai intuitif (pengetahuan yang didapat tanpa melalui proses
penalaran) dan pandangan bathin, sehingga manusia mampu menghayati persamaan
antara orang melakukan dosa dengan melemparkan diri dari puncak gunung atau
meminum racun, maka kemungkinan melakukan dosa pada diri yang bersangkutan akan
menjadi nol.[14] Saya memahami apa yang dikatakan Muthahhari derajat keimanan telah
mencapai intuitif dan pandangan bathin ini adalah sebagai telah merasakan cita rasa
realitas spiritual. Dengan adanya kondisi telah merasakan cita rasa realitas spiritual, maka
pastilah Rasulullah SAW dan Imam Ali Bin Abi Thalib beserta keturunannya tadi
terbebas dari segala bentuk dosa.
Kondisi ini juga akan berkonsekuensi pada pengetahuannya yang sesuai dengan realitas
dari wujud atau pun suatu maujud. Ketika pemimpin tersebut mengetahui realitas dari
seluruh alam, maka pastilah ia tahu akan kualitas dari dunia ini yang sering menjebak
manusia.
Kemudian seorang pemimpin haruslah juga memiliki sifat adil. Rasulullah SAW pernah
berkata bahwa, Karena keadilanlah, maka seluruh langit dan bumi ini ada.[15] Imam
Ali Bin Abi Thalib mendefiniskan keadilan sebagai menempatkan sesuatu pada

tempatnya yang layak. Keadilan bak hukum umum yang dapat diterapkan kepada
manajemen dari semua urusan masyarakat. Keuntungannya bersifat universal dan serba
mencakup. Ia suatu jalan raya yang melayani semua orang dan setiap orang.[16]
Penerapan sifat keadilan oleh seorang pemimpin ini dapat dilihat dari cara ia membagi
ruang-ruang ekonomi, politik, budaya, dsb pada rakyat yang dipimpinnya. Misalkan tidak
ada diskriminasi dengan memberikan hak ekonomi (berdagang) pada yang beragama
Islam, sementara yang beragama kristen tidak diberikan hak ekonomi, karena alasan
agama. Terkecuali memang dalam berdagang orang tersebut melakukan kecurangan
maka ia diberikan hukuman, ini berlaku bagi agama apapun.
Dengan demikian jelas bahwa setelah Rasulullah SAW wafat, maka ummat Islam
sebenarnya memiliki seorang pemimpin, yakni Imam Ali Bin Abi Thalib. Kemudian
dilanjutkan oleh beberapa keturunannya, yang mana akhir dari kepemimpinan tersebut
adalah Imam Mahdi, yang disebut sebagai Imam akhir zaman.
Akan tetapi sekarang ini, Dimanakah Imam Mahdi tersebut? dan siapakah yang
memimpin umat Islam di zaman ini? Untuk menjawab pertanyaan ini, ada 4 dasar falsafi
kepemimpinan kelompok dalam Islam (syiah), yaitu[17] :
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.. Allah
adalah Malik al-Nas, pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hukum. Manusia
harus dipimpin oleh kepemimpinan Ilahiyah. Sistem hidup yang bersumber pada sistem
ini disebut sistem Islam, sedangkan sistem yang tidak bersumber pada kepemimpinan
Ilahiyah disebut kepemimpinan Jahiliyah. Hanya ada dua pilihan kepemimpinan Allah
atau kepemimpinan Thagut.
Kedua, kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiah Allah dibumi adalah
Nubuwwah. Nabi tidak saja menyampaikan Al-qanun Al-Ilahi dalam bentuk kitabullah,
tetapi juga pelaksana qanun itu sendiri. Seperangkat hukum saja tidak cukup untuk
memperbaiki masyarakat. Supaya hukum dapat menjamin kebahagiaan dan kebaikan
manusia, diperlukan pelaksana. menurut Khomeini. Para Nabi diutus untuk menegakkan
keadilan, menyelamatkan masyarakat manusia dari penindasan. Nabi telah menegakkan
pemerintahan Islam dan Imamah keagamaan sekaligus.
Ketiga, garis Imamah melanjutkan garis Nubuwwah dalam memimpin ummat. Setelah
zaman Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah SAW, kepemimpinan ummat
dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah SAW dan Ahlul Baitnya.
Setelah lewat zaman Nabi, maka datanglah zaman Imam. Jumlah Imam ini ada 12 (dua
belas), pertama adalah Imam Ali Bin Abi Thalin, dan yang terakhir adalah Muhammad
ibn Al-Hasan Al Mahdi Al Muntazhar, yang sekarang dalam keadaan gaib. Imam Mahdi
mengalami dua ghaibah, yakni ketika dia bersembunyi didunia fisik, dan mewakilkan
kepemimpinannya kepada Nawab al-Imam (wakil Imam), dan ghaibah kubra, yaitu
setelah Ali Ibn Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman.
Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih, hingga akhir zaman
tiba.

Keempat, para faqih diberikan beban menjadi khalifah. Kepemimpinan Islam berdasarkan
atas hukum Allah. Oleh karena seorang faqih haruslah orang yang lebih tahu tentang
hukum Illahi.
Jalaluddin Rakhmat dalam buku Yamani yang berjudul, filsafat Politik Islam,
menyebutkan bahwa secara terperinci seorang faqih harus memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut :
a. Faqahah, mencapai derajat mujtahid mutlak yang sanggup melakukan istinbath hukum
dari sumber-sumbernya.
b. adalah : memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini
ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al shalah, dan tadayyun.
c. Kafaah : memiliki kemampuan untuk memimpin ummat, mengetahui ilmu yang
berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang secara kejiwaan dan ruhani.[18]
Menurut Khomeini, selain persyaratan umum seperti kecerdasan dan kemampuan
mengatur (mengorganisasi), ada dua syarat mendasar lainnya bagi seorang fuqaha yaitu
pengetahuan akan hukum dan keadilan. Seorang fuqaha sebenarnya adalah wujud dari
hukum Islam itu sendiri.[19] Dengan ini terlihat bahwa seorang fuqaha itu tidaklah boleh
untuk berbuat salah.[20]
Sebelum akhir zaman tiba, maka kepemimpinan Islam haruslah di pegang oleh seorang
ulama (faqih) yang memenuhi syarat-syarat. Tidak sembarang manusia dapat menjadi
faqih (ulama). Manusia harus melewati proses-proses pengujian baik secara intelektual
maupun spiritual.
Mudah-mudahan kita selalu mendapatkan bimbingan dan hidayah-Nya.
Insya Allah.
BAB III PENUTUPHukum-hukum Allah adalah suatu keniscayaan yang mengatur
ummat manusia, yang membantu manusia dalam mencapai realitas kebahagiaan.
Hukum-hukum Allah ditegakkan agar keadilan dan kebenaran dapat terjamah oleh
orang-orang yang tertindas dan terdzalimi.Sekarang ini untuk terjaganya hukumhukum Illahiah yang mengatur kehidupan umat manusia dan masyarakat, maka di
butuhkan seorang pemimpin yang memiliki pengetahuan luas tentang hukum Allah
dan keadilan, akhlak yang mulia, matang secara kejiwaan dan ruhani, kemampuan
mengatur (mengorganisasi), dan memiliki pola hidup yang sederhana. Intinya
pemimpin haruslah wujud dari hukum Islam itu.
DAFTAR PUSTAKA
Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada Fakultas
Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006

Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam Tinjauan Syari, Gema Insani Press,
Jakarta,1997
Haidar Bagir dalam Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis,
Bandung, Pustaka Hidayah, 1989
Jalaluddin Rakhmat dalam Yamani, Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan
Khomeini, Mizan, Bandung, 2003
Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005
Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta,2002
Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka
Hidayah 1991
Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Nahj al- Balaghah, Al-Huda, Jakarta,2002
Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002.
[1] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 423
[2] Al-Milal wan-Nihal I/24 atau lihat Dr Ali As-Salus, Imamh dan Khilafah dalam
Tinjauan Syari, Gema Insani Press, Jakarta, hlm16..
[3] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 18
[4] Ibid.
[5] Haidar Bagir dalam Ali Syariati, Ummah dan Imamah, Suatu Tinjauan Sosiologis,
Bandung, Pustaka Hidayah, 1989, Hlm 16-17.
[6] Ushul Kafi, jilid 1 hal 58 kitab Fadhlu al ilm, bab al-musta kilubi ilmihi wal mubahy
bihi, hadis 5. lihat Imam Khomeini. Sistem Pemerintahan Islam, hal 90.
[7] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 467
[8] Dr. Ali As-Salus, Imamah dan Khilafah Dalam Tinjauan Syari,Gema Insani Press,
Jakarta 1997,hlm 181-182.
[9] Ibrahim Amini, Para Pemimpin Teladan, Al-huda, Jakarta 2005, hlm 21
[10] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 116.
[11] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 34.

[12] Ibid
[13] Murtadha Muthahhari, Manusia dan Alam Semesta, Lentera, Jakarta, hlm 432-433.
[14] Murtadha Muthahhari, Falsafah Kenabian, terj. Ahsin Muhammad, Bandung,
Pustaka Hidayah 1991, hlm12
[15] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 29
[16] Murtadha Muthahhari, Tema-tema pokok Nahj al- Balaghah, Al-Huda,
Jakarta,2002,hlm 106-107.
[17] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 40-41
[18] Jalaluddin Rakhmat dalam Yamani, Filsafat politik Islam antara Al-Farabi dan
Khomeini, Mizan, Bandung, 2003, hlm 17.
[19] Imam Khomeini, Sistem Pemerintahan Islam, Pustaka Zahra, Jakarta, 2002, hlm 63
[20] Andi Anas, Konsep Wilayah Al-Faqih menurut Imam Khomeini, Skripsi pada
Fakultas Ushuluddin Jurusan Perbandingan Agama UNISBA, 2006, hlm 4

Jum'at, 09 Jul 2010


Cetak | Kirim
Email Kawan
Emailmu
Namamu

Pesan
Kirim

Reset

Prinsip Islam (44) : Kewajiban Menegakkan


Kepemimpinan Islam
Kita meyakini bahwa kepemimpinan agung (khilafah) termasuk bagian terbesar dari
tujuan dan kewajiban yang ingin diwujudkan oleh agama. Khilafah berfungsi sebagai
pengganti peran kenabian dalam menjaga dien ini dan mengatur dunia. Dan orang Islam
belum lepas dari tanggungjawab ini sehingga kalimat mereka bersatu untuk mengangkat
seorang imam yang mengatur mereka dengan Kitabullah (Syariat Islam).
Allah Ta'ala telah mengisyaratkan kewajiban untuk menegakkan kepemimpinan besar
Islam (khilafah Islamiyah) melalui firman-Nya:






"Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak
menerimanya." (QS. Al-Nisa': 58) Konteks ayat ini, bahwa khitab dalam ayat tersebut
bersifat umum yang mengharuskan untuk melaksanakan beragam amanat, di antaranya
amanat hukum. Umat Islam berkewajiban melaksanakan amanat ini kepada ahlinya dan
menyerahkanya kepada siapa yang akan menegakkannya dengan benar.
Isyarat ini juga terdapat pada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, "Tidak halal bagi
tiga orang yang berada di tanah gurun, kecuali mereka mengangkat salah satunya
menjadi amir (pemimpin) atas mereka." (HR. Ahmad)
Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mewajibkan untuk mengangkat seorang amir
dalam sebuah perkumpulan kecil yang bersifat temporer pada waktu bepergian untuk
mengingatkan kita akan semua jenis perkumpulan. Apabila terhadap tiga orang yang
berada di suatu gurun saja disyariatkan, tentunya terhadap jumlah yang lebih besar yang
mereka tinggal di kampung-kampung dan kota-kota yang sangat membutuhkan seseorang
untuk melindungi mereka dari berbagai kedzaliman adalah lebih disyariatkan lagi.

Dalil yang paling kuat dalam pembiacaraan ini adalah dalil ijma'. Para sahabat sesudah
wafatnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam berijma' atas wajibnya imamah
(kekhilafahan) dan merekapun bersegera untuk mengakkan kewajiban ini. Mereka lebih
mengutamakan masalah ini atas pemakaman Nabi shallallahu 'alaihi wasallam yang
dianggap masalah paling urgen saat itu. Sehingga Imam al-Qurthubi rahimahullah
berkata, "Tidak ada khilaf di tengah-tengah umat dan ulama dalam hal itu (kewajiban
imamah), kecuali yang diriwayatkan dari Al-Asham, yang memang Asham (tuli) dari
syariat."
Dalil lain tentang kewajban imamah adalah banyaknya kewajiban-kewajiban syariat yang
tidak bisa direalisasikan tanpa adanya pemerintahan Islam, seperti menegakkan hudud
dan mengimplementasikan hukum-hukum Islam, menjaga perbatasan, menyiapkan dan
mengirim pasukan, menjaga keamanan, mengangkat hakim dan lainnya. Mana saja
kewajiban tidak bisa sempurna kecuali dengan keberadaannya, maka iapun menjadi
wajib. Terlebih, dari sisi urgensinya untuk mencegah bahaya besar yang terjadi di tengahtengah kesemprawutan dan vakumnya pemerintah Islam, maka perintah mewujudkan
kepemimpinan Islam menjadi sangat wajib. Mewujudkannya menjadi tuntutan syariat
yang sangat urgen. Karenanya, tidak ada alasan untuk meninggalkannya dan meremehkan
kewajiban ini.
Imam Ali radliyallahu 'anhu berkata, "Manusia harus memiliki pemimpin, yang baik
maupun jahat." Mereka berkata, "Wahai Amirul Mukminin, yang baik kami telah tahu,
tapi bagaimana dengan yang jahat?" Beliau menjawab, "(Dengannya) hudud bisa
ditegakkan, jalan-jalan menjadi aman, musuh bisa diperangi, dan fa'i bisa dibagi."
(PurWD/voa-islam.com)

Krisis kepemimpinan, itulah yang saat ini menjadi tren seiring dengan semangat
demokratisasi di seluruh negara di segenap penjuru dunia termasuk Indonesia.
Padahal kepemimpinan adalah perkara yang sangat penting dalam Islam. Dengan adanya
seorang pemimpin, kepemimpinan (imamah) dan pengaturan (imarah) akan bisa
diwujudkan kemaslahatan bersama. Oleh karena itu, benar pula bahwa memilih
pemimpin dalam Islam yang memenuhi syarat-syarat sesuai dengan ketentuan agama
(Islam) agar terwujud kemaslahatan bersama dalam masyarakat adalah sebuah kewajiban.
Becermin dari negara ideal produk Rasulullah SAW, indikator sebuah kepemimpinan
dikatakan gagal atau tidak, sebenarnya dapat dilihat dengan pendekatan sederhana.
Kepemimpinan dipandang gagal ketika negara tidak mampu memenuhi dan menjamin
hak-hak warga negaranya-seperti pendidikan, kesehatan, pekerjaan, perumahan, dan hak
dasar hidup manusia semisal sandang dan pangan; menegakkan supremasi hukum
sehingga terwujud apa yang disebut sebagai clean government dan good governance.
Demikian pula sebaliknya.

Jika ditelaah lebih mendalam, setidaknya terdapat dua faktor yang menyebabkan gagaltidaknya kepemimpinan khususnya di Indonesia.
Pertama, person (individu) yang memegang kendali kepemimpinan tersebut. Sangat
mungkin, stagnannya negara ini karena dipimpin oleh individu yang tidak qualified
memenuhi kriteria sebagai pemimpin. Sosok otoriter, korup, manipulatif, anti kritik,
hipokrit, arogan, tamak, tidak amanah, lemah (bersedia dikooptasi oleh negara asing), dan
tentunya kedap terhadap kondisi rakyat yang dipimpinnya mungkin sudah pernah
memimpin bangsa ini.
Konsekuensinya keterpurukan dan karut marut terjadi di sana sini. Memang, pada
akhirnya wajar jika kebanyakan masyarakat menginginkan sosok pemimpin yang saleh
secara individu, bersih dan memiliki karakter kuat dalam memimpin (strong leadership).
Alasannya, tidak mungkin korupsi diberantas oleh seorang koruptor; hanya orang bersih
dan kuatlah yang mampu memberantas tindak korupsi, terutama di kabinet dan
departemennya.
Akan tetapi, jika korupsi dan segala bentuk penyelewengan hanya dapat diberantas oleh
seorang individu bersih an sich, tanpa melibatkan perubahan dan dukungan yang lain,
misalnya sistem-ideologi masyarakat, tampaknya pendapat ini perlu diuji terlebih dulu.
Namun demikian, sikap terpuji seorang pemimpin seperti rifq (lemah lembut dan santun),
mubasyyir (penggembira), dan amanah secara langsung akan menumbuhkan sikap
percaya masyarakat.
Kedua, sistem sekuler yang diterapkan. Sistem ini menihilkan peran agama dari
kehidupan. Agama menjadi domain privat yang mengurusi sebatas moral, ritual dan
kewajiban individual. Kalaupun bersinggungan dengan politik, hanya sebatas nilai
substansialnya misalnya kejujuran, amanah, keadilan, kesejahteraan dan semisalnya.
Walhasil, sistem sekuler-demokrasilah yang sesungguhnya berkontribusi secara penuh
terhadap gagalnya sebuah kepemimpinan.
Jika pemimpinnya orang bersih dan saleh, namun ia menjalankan sistem yang rusak,
tentu hasilnya pun akan rusak pula. Persis ibarat seorang pembalap F1 tapi dia harus
menggunakan kendaraan butut dan sirkuit yang becek dan bergelombang. Karena itu,
orang yang qualified dan bersih tetapi menjalankan sistem sekuler yang rusak adalah
ibarat a good man in a wrong place (orang tepat di tempat yang salah).
Sistem sekulerlah yang banyak menghasilkan kebijakan yang merugikan publik.
Jangankan untuk negeri-negeri muslim, yang secara fitrah dan fikrah sudah jelas
bertentangan. Di negara asalnya saja, AS dan Barat, sistem sekuler ini hanya
mengakomodasi kalangan borjuasi dan pemilik modal. Kalangan kelas bawah tetap hidup
dalam kesengsaraan. Singkatnya, kebijakan publik tersebut hanya dinikmati oleh
segelintir orang. Oleh karenanya, di AS muncul istilah The golden rule of democracy is
those who have golds are ruler (Aturan emas demokrasi adalah siapa saja yang punya
emas (uang) dialah penguasa).

Cara pandang
Sistem sekulerlah yang bisa mengubah cara pandang seorang pemimpin nasional
terhadap politik. Seorang pemimpin yang alim, amanah, cerdas, akomodatif, dan jujur
mustahil menyejahterakan rakyatnya apabila menggunakan sistem dan aturan ini. Sistem
sekulerlah yang sudah lebih dari setengah abad mewarnai gaya kepemimpinan nasional
Indonesia. Hasilnya, meski 63 tahun Indonesia merdeka dan sudah enam kali ganti
pemimpin, hasilnya adalah sama, yaitu korupsi, kolusi, kemiskinan, dan keterpurukan di
berbagai sektor tetap menjadi bagian integral dari wajah Indonesia
Berpijak dari hal ini, untuk mewujudkan kepemimpinan yang adil dan mampu
menyejahterakan rakyatnya-dalam arti sesungguhnya-dibutuhkan perubahan terhadap dua
faktor di atas. Individu yang akan memimpin harus dipastikan kemuslimannya dan
kapabilitasnya, benar-benar memiliki ketangguhan, kekonsistenan, dan kekuatan dalam
memimpin. Sistem yang harus diterapkan adalah sistem yang nyata-nyata bersih (Islam),
tunduk pada aturan Ilahiah dan sesuai fitrah manusia, tentu saja dukungan dari komponen
masyarakat berupa ketaatan dan muhasabah (kontrol) yang menjadi pilar penjaga sistem
harus ada. Terakhir, independen, dalam arti, tidak dapat diintervensi dan didominasi oleh
negara asing.
Pemimpin yang baik adalah pemimpin yang dicintai dan diridai oleh rakyatnya.
Demikian juga sebaliknya, ia juga mencintai dan meridai rakyatnya. Kedua belah pihak
saling membutuhkan untuk membuat sinergi bagi peningkatan ketakwaan di sisi Allah.
Kondisi ini bisa terwujud ketika tidak ada perbedaan tujuan antara pemimpin dan
rakyatnya.
Mereka berdua sama-sama berharap dapat menjalankan seluruh sistem hukum Islam
secara total. Keduanya sama-sama berlomba-lomba dalam kebajikan, bukan dalam
kemungkaran. Dalam hal ini, Nabi SAW. bersabda, sebagaimana dituturkan Auf bin
Malik al-Asyjai, Sebaik-baik pemimpin kalian ialah mereka yang kalian cintai dan
mereka pun mencintai kalian; mereka mendoakan kalian dan kalian pun mendoakan
mereka. Seburuk-buruk pemimpin kalian ialah mereka yang kalian benci dan mereka pun
membenci kalian; kalian melaknati mereka dan mereka pun melaknati kalian, (HR
Muslim).
Jika poin-poin di atas tidak dapat diwujudkan, kepemimpinan kuat dan berwibawa yang
mampu membawa negara ke arah yang baik masih akan menjadi sebatas wacana dan
angan-angan semata. Wallahu alam bi ash-shawab Oleh : KH Syihabuddin A Muiz, Direktur Pondok Pesantren Tahfizhul Quran Isy Karima,
Karangpandan, Karanganyar
sumber : solopos

KEPEMIMPINAN DALAM ISLAM

Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang akan


dipertanggungjawabkan di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, Islam telah
menggariskan beberapa kaedah yang berhubungan dengan kepemimpinan.
Kaedah-kaedah tersebut dapat diringkas sebagai berikut:
Kepemimpinan Bersifat Tunggal
Dalam khazanan politik Islam, kepemimpinan negara itu bersifat tunggal.
Tidak ada pemisahan, ataupun pembagian kekuasaan di dalam Islam.
Kekuasaan berada di tangan seorang Khalifah secara mutlak. Seluruh kaum
Muslim harus menyerahkan loyalitasnya kepada seorang pemimpin yang
absah. Mereka tidak diperbolehkan memberikan loyalitas kepada orang lain,
selama Khalifah yang absah masih berkuasa dan memerintah kaum Muslim
dengan hukum Allah SWT.
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda:





Siapa saja yang telah membaiat seorang Imam (Khalifah), lalu ia
memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaknya ia mentaatinya jika
ia mampu. Apabila ada orang lain hendak merebutnya (kekuasaan itu) maka
penggallah leher orang itu. [HR. Muslim].





Siapa saja yang datang kepada kamu sekalian, sedangkan urusan kalian
berada di tangan seorang Khalifah, kemudian dia ingin memecah-belah
kesatuan jamaah kalian, maka bunuhlah ia. [HR. Muslim].




Apabila dibaiat dua orang Khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari
keduanya. [HR. Muslim].
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, Aku telah
mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya
menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:

Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi.
Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada Nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada
banyak Khalifah. Para shahabat bertanya, Apakah yang engkau
perintahkan kepada kami? Beliau menjawab, Penuhilah baiat yang
pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya
karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap
rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka. [HR. Imam Muslim]
Riwayat-riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwasanya
kepemimpinan dalam Islam bersifat tunggal, bukan bersifat kolegial. Dari
riwayat-riwayat di atas kita bisa menyimpulkan bahwa tidak ada pembagian
kekuasaan di dalam Islam.
Kepemimpinan Islam Itu Bersifat Universal
Kepemimpinan Islam itu bersifat univeral, bukan bersifat lokal maupun
regional. Artinya, kepemimpinan di dalam Islam diperuntukkan untuk Muslim
maupun non Muslim. Sedangkan dari sisi konsep kewilayahan, Islam tidak
mengenal batas wilayah negara yang bersifat tetap sebagaimana konsep
kewilayahan negara bangsa. Batas wilayah Daulah Khilafah Islamiyyah terus
melebar hingga mencakup seluruh dunia, seiring dengan aktivitas jihad dan
futuhat. Al-Quran telah menjelaskan hal ini dengan sangat jelas. Allah SWT
berfirman:









Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia
seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi
peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Qs. Saba[34]:
28).

Katakanlah: Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu


semua, yaitu Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada
Tuhan (yang berhak disembah) selain Dia, Yang menghidupkan dan
mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan RasulNya, Nabi yang
ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimatNya (kitab-

kitabNya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk. (Qs. al-Arf
[7]: 158).
Rasulullah Saw juga bersabda:



Saya diutus untuk bangsa yang berkulit merah hingga yang berkulit
hitam.[HR. Imam Ahmad dalam Musnad Imam Ahmad]
Nash-nash di atas merupakan bukti yang nyata bahwa kepemimpinan di
dalam Islam bersifat universal, bukan hanya untuk umat Islam semata, akan
tetapi juga ditujukan bagi seluruh umat manusia.
Kepemimpinan Itu Adalah Amanah
Pada dasarnya, kepemimpinan itu adalah amanah yang membutuhkan
karakter dan sifat-sifat tertentu. Dengan karakter dan sifat tersebut
seseorang akan dinilai layak untuk memegang amanah kepemimpinan. Atas
dasar itu, tidak semua orang mampu memikul amanah kepemimpinan,
kecuali bagi mereka yang memiliki sifat-sifat kepemimpinan. Sifat-sifat
kepemimpinan yang paling menonjol ada tiga.
Pertama, al-quwwah (kuat). Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan
ketika ia memegang amanah kepemimpinan. Kepemimpinan tidak boleh
diserahkan kepada orang-orang yang lemah. Dalam sebuah riwayat
dituturkan, bahwa Rasulullah Saw pernah menolak permintaan dari Abu Dzar
al-Ghifariy yang menginginkan sebuah kekuasaan. Diriwayatkan oleh Imam
Muslim, bahwa Abu Dzar berkata, Aku berkata kepada Rasulullah Saw, Ya
Rasulullah tidakkah engkau mengangkatku sebagai penguasa (amil)?
Rasulullah Saw menjawab, Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau orang
yang lemah. Padahal, kekuasaan itu adalah amanah yang kelak di hari akhir
hanya akan menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali orang yang
mengambilnya dengan hak, dan diserahkan kepada orang yang mampu
memikulnya.Yang dimaksud dengan kekuatan di sini adalah kekuatan
aqliyyah dan nafsiyyah. Seorang pemimpin harus memiliki kekuatan akal
yang menjadikan dirinya mampu memutuskan kebijakan yang tepat dan
sejalan dengan akal sehat dan syariat Islam. Seorang yang lemah akalnya,
pasti tidak akan mampu menyelesaikan urusan-urusan rakyatnya. Lebih dari
itu, ia akan kesulitan untuk memutuskan perkara-perkara pelik yang harus
segera diambil tindakan. Pemimpin yang memiliki kekuatan akal akan
mampu menelorkan kebijakan-kebijakan cerdas dan bijaksana yang mampu
melindungi dan mensejahterakan rakyatnya. Sebaliknya, pemimpin yang
lemah akalnya, sedikit banyak pasti akan merugikan dan menyesatkan
rakyatnya.

Selain harus memiliki kekuataan aqliyyah, seorang pemimpin harus memiliki


kekuatan nafsiyyah (kejiwaan). Kejiwaan yang kuat akan mencegah seorang
pemimpin dari tindakan tergesa-gesa, sikap emosional, dan tidak sabar.
Seorang pemimpin yang lemah kejiwaannya, cenderung akan mudah
mengeluh, gampang emosi, serampangan dan gegabah dalam mengambil
tindakan. Pemimpin seperti ini tentunya akan semakin menyusahkan rakyat
yang dipimpinnya.
Kedua, al-taqwa (ketaqwaan). Ketaqwaan adalah salah satu sifat penting
yang harus dimiliki seorang pemimpin maupun penguasa. Sebegitu penting
sifat ini, tatkala mengangkat pemimpin perang maupun ekspedisi perang,
Rasulullah Saw selalu menekankan aspek ini kepada para amirnya. Dalam
sebuah riwayat dituturkan bahwa tatkala Rasulullah Saw melantik seorang
amir pasukan atau ekspedisi perang belia berpesan kepada mereka,
terutama pesan untuk selalu bertaqwa kepada Allah SWT dan bersikap baik
kepada kaum Muslim yang bersamanya.[HR. Muslim & Ahmad].
Pemimpin yang bertaqwa akan selalu berhati-hati dalam mengatur urusan
rakyatnya. Pemimpin seperti ini cenderung untuk tidak menyimpang dari
aturan Allah SWT. Ia selalu berjalan lurus sesuai dengan syariat Islam. Ia
sadar bahwa, kepemimpinan adalah amanah yang akan dimintai
pertanggungjawaban kelak di hari akhir. Untuk itu, ia akan selalu menjaga
tindakan da perkataannya. Berbeda dengan pemimpin yang tidak bertaqwa.
Ia condong untuk menggunakan kekuasaannya untuk menindas, mendzalimi
dan memperkaya dirinya. Pemimpin seperti ini merupakan sumber fitnah dan
penderitaan.
Ketiga, al-rifq (lemah lembut) tatkala bergaul dengan rakyatnya. Sifat ini
juga sangat ditekankan oleh Rasulullah Saw. Dengan sifat ini, pemimpin akan
semakin dicintai dan tidak ditakuti oleh rakyatnya. Dalam sebuah riwayat
dikisahkan, bahwa Aisyah ra berkata, Saya mendengar Rasulullah Saw
berdoa di rumah ini, Ya Allah, siapa saja yang diserahi kekuasaan untuk
mengurusi urusan umatku, kemudian ia memberatkannya, maka beratkanlah
dirinya, dan barangsiapa yang diserahi kekuasaan untuk mengurus urusan
umatku, kemudian ia berlaku lemah lembut, maka bersikap lembutlah
kepada dirinya. [HR. Muslim].
Selain itu, seorang pemimpin mesti berlaku lemah lembut, dan
memperhatikan dengan seksama kesedihan, kemiskinan, dan keluh kesah
masyarakat. Ia juga memerankan dirinya sebagai pelindung dan penjaga
umat yang terpercaya. Ia tidak pernah menggunakan kekuasaannya untuk
menghisap dan mendzalimi rakyatnya. Ia juga tidak pernah memanfaatkan
kekuasaannya untuk memperkaya diri, atau menggelimangkan dirinya dalam
lautan harta, wanita dan ketamakan. Ia juga tidak pernah berfikir untuk
menyerahkan umat dan harta kekayaan mereka ke tangan-tangan musuh.
Dirinya selalu mencamkan sabda Rasulullah Saw, Barangsiapa diberi
kekuasaan oleh Allah SWT untuk mengurusi urusan umat Islam, kemudian ia
tidak memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan kemiskinan mereka, maka

Allah SWT tidak akan memperhatikan kepentingan, kedukaan, dan


kemiskinannya di hari kiamat. [HR. Abu Dwud & at-Tirmidzi].
Untuk itu, seorang pemimpin mesti memperhatikan urusan umat dan bergaul
bersama mereka dengan cara yang baik. Seorang pemimpin tidak hanya
dituntut memiliki kecakapan dalam hal pemerintahan dan administasi, akan
tetapi ia juga harus memiliki jiwa kepemimpinan yang menjadikan dirinya
ditaati dan dicintai oleh rakyatnya.
Kepemimpinan Adalah Tugas Pengaturan, Bukan Kekuasaan Otoriter
Pada dasarnya, kepemimpinan di dalam Islam merupakan jabatan yang
berfungsi untuk pengaturan urusan rakyat. Seorang pemimpin adalah
pengatur bagi urusan rakyatnya dengan aturan-aturan Allah SWT. Selama
pengaturan urusan rakyat tersebut berjalan sesuai dengan aturan Allah,
maka ia layak memegang jabatan pemimpin. Sebaliknya, jika ia telah
berkhianat dan mengatur urusan rakyat dengan aturan kufur, maka
pemimpin semacam ini tidak wajib untuk ditaati.
Diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abi Hazim yang mengatakan, Aku telah
mengikuti majelis Abu Hurairah selama 5 tahun, pernah aku mendegarnya
menyampaikan hadits dari Rasulullah Saw. Yang bersabda:

Dahulu, Bani Israil selalu dipimpin dan dipelihara urusannya oleh para Nabi.
Setiap kali seorang Nabi meninggal, digantikan oleh Nabi yang lain.
Sesungguhnya tidak akan ada nabi sesudahku. (Tetapi) nanti akan ada
banyak Khalifah. Para shahabat bertanya, Apakah yang engkau
perintahkan kepada kami? Beliau menjawab, Penuhilah baiat yang
pertama, dan yang pertama itu saja. Berikanlah kepada mereka haknya
karena Allah nanti akan menuntut pertanggungjawaban mereka terhadap
rakyat yang dibebankan urusannya kepada mereka.[HR. Imam Muslim]
Tatkala menjelaskan hadits yang berbunyi, Imam adalah penjaga, dan
bertanggungjawab terhadap rakyatnya, Imam Badrudin al-Aini,
menyatakan, Hadits ini menunjukkan bahwa urusan dan kepentingan rakyat
menjadi tanggungjawab seorang Imam (Khalifah). Tugas seorang Imam
dalam hal ini adalah memikul urusan rakyat dengan memenuhi semua hak
mereka.
Walhasil, seorang pemimpin harus selalu menyadari bahwa kekuasaan yang
digenggamnya tidak boleh diperuntukkan untuk hal-hal yang bertentangan
dengan syariat, misalnya untuk memperkaya diri, mendzalimi, maupun

untuk mengkhianati rakyatnya. Namun, kekuasaan itu ia gunakan untuk


mengatur urusan rakyat sesuai dengan aturan-aturan Allah SWT.
Kepemimpinan Itu Bersifat Manusiawi
Kepemimpinan di dalam Islam bersifat manusiawi. Artinya, seorang
pemimpin bukanlah orang yang bebas dari dosa dan kesalahan. Ia bisa salah
dan lupa, alias tidak mashum (terbebas dari dosa). Untuk itu, syarat
kepemimpinan di dalam Islam bukanlah kemashuman akan tetapi keadilan.
Dengan kata lain, seorang pemimpin tidak harus mashum (bahkan tidak
boleh menyakini ada pemimpin yang mashum), akan tetapi cukup memiliki
sifat adil.
Adil adalah orang yang terkenal konsisten dalam menjalankan agamanya
(bertaqwa dan menjaga kehormatan). Orang yang fasiq lawan dari sifat
adiltidak boleh menjadi seorang pemimpin atau penguasa. Allah SWT
berfirman:






Hendaknya menjadi saksi dua orang yang adil dari kamu sekalian. (TQS.
ath-Thalq [65]: 2).
Seorang penguasa (Khalifah) memiliki kedudukan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan para saksi. Jika saksi saja diharuskan memiliki sifat
adil, lebih-lebih lagi seorang pemimpin (Khalifah). Walhasil, seorang
pemimpin harus memiliki sifat adil, dan tidak harus mashum.
Inilah beberapa kaedah penting yang perlu diperhatikan oleh setiap
pemimpin dan penguasa. Siapa saja yang memperhatikan kaedah-kaedah
ini, ia akan menjadi seorang pemimpin yang berhasil dan dicintai oleh orangorang yang dipimpinnya. Sebaliknya, siapa saja yang mengabaikan kaedahkaedah ini, dirinya tidak akan mungkin berhasil menjadi pemimpin
berwibawa yang dicintai dan dipatuhi rakyatnya.
Kepemimpinan Ditegakkan Untuk Menerapkan Hukum Allah
Islam telah mewajibkan penguasa untuk menjalankan roda
pemerintahan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah. Sebab,
kekuasaan itu disyariatkan untuk menegakkan dan menerapkan hukumhukum Allah swt. Kekuasaan dan pemerintahan tidak disyariatkan sematamata untuk menciptakan kemashlahatan di tengah-tengah masyarakat, akan
tetapi, ditujukan untuk melaksanakan hukum-hukum Allah swt. Untuk itu,
setiap persoalan harus dipecahkan berlandasarkan hukum Allah.
Islam juga memberi hak kepada penguasa untuk melakukan ijtihad,
menggali hukum-hukum dari dua sumber hukum tersebut. Islam melarang

penguasa mempelajari (untuk diterapkan) aturan-aturan selain Islam, atau


mengambil sesuatu selain dari Islam. Hukum yang diberlakukan untuk
mengatur urusan kenegaraan dan rakyat, hanyalah hukum yang bersumber
dari Al-Kitab dan Al-Sunnah. Bukti yang menunjukkan hal ini sangatlah
banyak, diantaranya adalah firman Allah swt berikut ini;
Barangsiapa yang tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. ]TQS Al Maidah (5):
44].
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. [TQS Al
Maidah (5):47].
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. [TQS Al
Maidah (5): 45]
Ayat-ayat ini telah memberikan batasan yang sangat jelas kepada para
penguasa agar ia mengatur urusan-urusan rakyatnya hanya berdasarkan
hukum-hukum Allah swt. Oleh karena itu, seorang penguasa dalam
menjalankan urusan pemerintahannya harus terikat dengan batasan-batasan
yang digariskan oleh .al-Quran dan Sunnah.
Hanya saja, Islam membolehkan penguasa melakukan ijtihad untuk
memahami Al-Kitab dan Al- Sunnah. Yang dimaksud ijtihad di sini adalah;
mencurahkan segenap tenaga dan upaya dalam memahami dan mengambil
istinbath berbagai hukum dari dua sumber itu. Diriwayatkan dalam sebuah
hadits shahih, bahwasanya Rasulullah SAW pernah mengutus Muadz RA ke
Yaman, lalu beliau bertanya kepadanya, Dengan apa kamu akan
memutuskan perkara? Jawab Muadz: Dengan Kitabullah. Rasulullah Saw.
bertanya lagi, Jika kamu tidak menemukan? Muadz menjawab: Dengan
Sunnah Rasulullah. Rasulullah Saw. bertanya: Jika kamu tidak
menemukan? Muadz menjawab: Saya akan berijtihad dengan
pendapatku, jawab Muadz RA. Mendengar jawaban yang sangat cerdas ini,
Rasulullah SAW langsung memuji Allah, Segala puji bagi Allah Yang
memberi taufiq kepada utusan Rasul-Nya terhadap sesuatu yang dicintai
Allah dan Rasul-Nya.
Allah juga memberi pahala bagi penguasa yang melakukan ijtihad
meskipun ijtihadnya salah. Hal semacam ini tentunya sangat mendorong
penguasa untuk terus melakukan ijtihad. Imam Bukhari meriwayatkan dari
Amru bin Ash bahwasanya ia pernah mendengar Rasulullah SAW bersabda,
Jika penguasa menjalankan pemerintahan, lalu berijtihad, kemudian benar,
maka baginya dua pahala. Jika menjalankan pemerintahan, lalu ijtihad,
kemudian salah, maka baginya satu pahala. Syariat dengan tegas telah
membatasi hukum-hukum yang dijalankan penguasa haruslah hukum Islam,
bukan hukum lainnya. Meskipun penguasa diberi wewenang melakukan

ijtihad walaupun salah, hanya saja ia tetap harus berjalan dalam bingkai
hukum Islam dan dilarang berhukum dengan hukum selain Islam. Bahkan, ia
dilarang memecahkan suatu masalah berdasarkan hukum kufur atau
berusaha mengkompromikan Islam dengan sesuatu yang bukan berasal dari
Islam. Allah SWT berfirman dalam khithab-Nya kepada Rasul;
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut
apa yang diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu
mereka. Dan berhati- hatilah kamu kepada mereka supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah
kepadamu. (TQS. Al Maidah [5]: 49).
Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. (TQS. Al Maidah
[5]: 48).
Karena khithab (seruan) kepada Rasul juga merupakan khithab
kepada umatnya, maka khittab itu juga berlaku bagi tiap penguasa Muslim.
Imam Muslim meriwayatkan sebuah hadits dari Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah SAW bersabda, Barangsiapa membuat hal-hal baru dalam urusan
kami yang tidak berasal darinya (Allah dan Rasul-Nya), maka sesuatu itu
tertolak.
Dalam riwayat lain juga dari Aisyah RA dituturkan, Barangsiapa
melakukan suatu perbuatan yang perkara kami tidak mengukuhkannya,
maka sesuatu itu tertolak.
Imam Bukhari juga meriwayatkan dari Ubaidillah bin Abdillah bahwa
Ibnu Abbas RA berkata, Bagaimana kalian bertanya kepada Ahlu Kitab
tentang sesuatu, sementara Kitab kalian yang diturunkan kepada Rasulullah
SAW lebih baru? [Apakah] kalian hanya membacanya, namun tidak
menyalakan semangat, sementara telah diceritakan kepada kalian bahwa
Ahlu Kitab telah mengganti Kitabullah (Zabur, Injil, dan Taurat) dan
mengubahnya serta mereka menulis Al-Kitab dengan tangan-tangan mereka.
[Lalu mereka berkata], Ini dari sisi Allah! [Yang demikian itu dilakukan]
untuk menjual [agama] dengan harga yang sedikit. Ingatlah, dia mencegah
kalian apa yang telah datang kepada kalian berupa pengetahuan tentang
masalah mereka yang telah datang kepada kalian yang selalu mencegah
kalian.
Bahkan, Islam mewajibkan kaum Muslim untuk memerangi penguasapenguasa yang telah terjatuh ke dalam kufran shurahan (kekufuran yang
nyata). Dan salah satu sebab yang menjatuhkan penguasa ke dalam kufran
shurahan adalah; jika ia telah mengganti sendi-sendi Islam dan menerapkan
hukum-hukum kufur. Imam Muslim menuturkan sebuah riwayat,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda:





Akan datang para penguasa, lalu kalian akan mengetahui kemakrufan dan
kemungkarannya, maka siapa saja yang membencinya akan bebas (dari
dosa), dan siapa saja yang mengingkarinya dia akan selamat, tapi siapa saja
yang rela dan mengikutinya (dia akan celaka). Para shahabat bertanya,
Tidaklah kita perangi mereka? Beliau bersabda, Tidak, selama mereka
masih menegakkan sholat Jawab Rasul. [HR. Imam Muslim]
Tatkala berkomentar terhadap hadits ini, Imam Nawawi, dalam Syarah
Shahih Muslim menyatakan, Di dalam hadits ini terkandung mukjizat nyata
mengenai kejadian yang akan terjadi di masa depan, dan hal ini telah terjadi
sebagaimana yang telah dikabarkan oleh Rasulullah saw.Sedangkan makna
dari fragmen, Tidaklah kita perangi mereka? Beliau bersabda, Tidak,
selama mereka masih menegakkan sholat, jawab Rasul; adalah
ketidakbolehan memisahkan diri dari para khalifah, jika mereka sekedar
melakukan kedzaliman dan kefasikan, dan selama mereka tidak mengubah
satupun sendi-sendi dasar Islam.
Dalam hadits Auf bin Malik yang diriwayatkan Imam Muslim, juga
diceritakan:











Ditanyakan,Ya Rasulullah, mengapa kita tidak memerangi mereka dengan
pedang?! Lalu dijawab, Jangan, selama di tengah kalian masih ditegakkan
shalat. [HR. Imam Muslim]
Dalam riwayat lain, mereka berkata:

Kami bertanya, Ya Rasulullah, mengapa kita tidak mengumumkan perang


terhadap mereka ketika itu?! Beliau menjawab, Tidak, selama di tengah
kalian masih ditegakkan shalat.
Bukhari meriwayatkan sebuah hadits dari Ubadah bin Shamit,
bahwasanya dia berkata:

Nabi SAW mengundang kami, lalu kami mengucapkan baiat kepada beliau
dalam segala sesuatu yang diwajibkan kepada kami bahwa kami berbaiat
kepada beliau untu selalu mendengarkan dan taat [kepada Allah dan RasulNya], baik dalam kesenangan dan kebencian kami, kesulitan dan kemudahan
kami dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu
urusan dari ahlinya kecuali jika kalian (kita) melihat kekufuran secara nyata
[dan] memiliki bukti yang kuat dari Allah.[HR. Bukhari]
Hadits-hadits ini telah mengecualikan larangan untuk memisahkan diri
dan memerangi penguasa dengan pedang. Jika seorang penguasa telah
melakukan kekufuran yang nyata, maka kaum mukmin diperbolehkan
melepaskan ketaatan dari dan memerangi mereka dengan pedang.
Al-Hafidz Ibnu Hajar, tatkala mengomentari hadits-hadits di atas
menyatakan, bahwa jika kekufuran penguasa bisa dibuktikan dengan ayatayat, nash-nash, atau berita shahih yang tidak memerlukan takwil lagi, maka
seorang wajib memisahkan diri darinya. Akan tetapi, jika bukti-bukti
kekufurannya masih samar dan masih memerlukan takwil, seseorang tetap
tidak boleh memisahkan diri dari penguasa.
Imam al-Khathabiy menyatakan, bahwa yang dimaksud dengan kufran
bawahan (kekufuran yang nyata) adalah kufran dzaahiran baadiyan
(kekufuran yang nyata dan terang benderang)
Abdul Qadim Zallum, dalam Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam,
menyatakan, bahwa maksud dari sabda Rasulullah saw selama mereka
masih mengerjakan sholat, adalah selama mereka masih memerintah
dengan Islam; yakni menerapkan hukum-hukum Islam, bukan hanya
mengerjakan sholat belaka Ungkapan semacam ini termasuk dalam majaz
ithlaaq al-juz`iy wa iradaat al-kulli (disebutkan sebagian namun yang
dimaksud adalah keseluruhan).
Masih menurut Abdul Qadim Zallum, riwayat yang dituturkan oleh Auf
bin Malik, Ummu Salamah, dan Ubadah bin Shamit, seluruhnya berbicara
tentang khuruj ala al-imaam (memisahkan diri dari imam), yakni larangan
memisahkan diri dari imam. Ini termaktub dengan jelas pada redaksi hadits:
Para shahabat bertanya, Tidaklah kita perangi mereka? Beliau bersabda,
Tidak, selama mereka masih menegakkan sholat Jawab Rasul. [HR. Imam
Muslim]. Dengan demikian, hadits ini merupakan larangan bagi kaum muslim
untuk memisahkan diri dari penguasa, meskipun ia terkenal fasiq dan dzalim.
Dari penjelasan di atas jelaslah; hukum yang wajib diberlakukan oleh
penguasa hanyalah hukum Allah swt dan RasulNya semata.
Inilah beberapa kaedah kepemimpinan di dalam Islam. Sungguh,
hanya dengan kepemimpinan dengan karakter seperti di ataslah, umat
manusia akan meraih kemulyaan dan kesejahteraan. [Al-Faqir ila al-Allah,
Syamsuddin Ramadhan An Nawiy Lajnah Tsaqafiyyah]

Imam Badruddin Al-Aini, Umdah al-Qari, Syarh Shahih al-Bukhari, jld.


XXIV, hal. 221.
Imam Nawawiy, Syarah Shahih Muslim, juz 12/243-244
Al-Hafidz Ibnu Hajar, Fath al-Baariy, juz 13/8-9
Ibid, juz 13/8
Abdul Qadim Zallum, Nidzam al-Hukmi fi al-Islaam, hal. 257-258
Ibid, hal. 258-260

Kepemimpinan Dalam Islam


Sunday, November 15th, 2009 at 11:15
Jika dulu, para sahabat Radhiyallahu Anhu sangat takut untuk dipilih menjadi seorang
pemimpin, maka sekarang, ada banyak orang berlomba-lomba menjadi pemimpin. Semua
mengaku terbaik!
Benar sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam ketika beliau menyampaikan hadits
yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:
Sesungguhnya kalian nanti akan sangat berambisi terhadap kepemimpinan, padahal
kelak di hari kiamat ia akan menjadi penyesalan. (HR. Al-Bukhari).
Memilih pemimpin bukanlah perkara sepele, sebab kandidat yang terpilih itulah yang
akan membawa label pemimpin rakyat untuk membuat dan menjalankan kebijakankebijakan yang menentukan nasib jutaan jiwa umat. Suka tidak suka, kandidat yang
terpilih itulah yang kemudian akan menorehkan tinta sejarah di negeri ini. Meskipun
torehan itu masih tanda tanya besar, apakah akan menjadi tinta emas yang senantiasa
dikenang atau tinta hitam yang senantiasa diratapi. Mampukah ia menjadi pemimpin
sejati, atau justru menjadi pemimpin yang menghianati amanat rakyat.
Pemimpin merupakan lambang kekuatan, keutuhan, kedisiplinan dan persatuan. Namun
harus kita sadari juga bahwa pemimpin bukanlah hanya sekadar lambang. Karena itu, ia
memerlukan kompetensi, kelayakan dan aktivitas yang prima untuk memimpin
bawahannya.
Melihat esensi kepemimpinan, sebagai seorang Muslim, tentu tidak bisa sembarangan
dalam memilih pemimpin. Jangan sampai perilaku memilih kucing dalam karung
menghantui kita.

PERAN SEORANG PEMIMPIN


Menurut perspektif Islam ada dua peran yang dimainkan oleh seorang pemimpin:
1. Pelayan (khadim)
Pemimpin adalah pelayan bagi pengikutnya. Seorang pemimpin yang dimuliakan orang
lain, belum tentu hal tersebut sebagai tanda kemuliaan. Karena pemimpin yang baik
adalah pemimpin yang bisa berkhidmat dan menjadi pelayan bagi kaumnya.
Seorang pemimpin sejati, mampu meningkatkan kemampuan dirinya untuk memuliakan
orang-orang yang dipimpinnya. Dia menafkahkan lebih banyak, dia bekerja lebih keras,
dia berpikir lebih kuat, lebih lama dan lebih mendalam dibanding orang yang
dipimpinnya.
Demikianlah pemimpin sejati yang dicontohkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Bukan sebaliknya, pemimpin yang selalu ingin dilayani, selalu ingin mendapatkan dan
mengambil sesuatu dari orang-orang yang dipimpinnya.
2. Pemandu (muwajjih)
Pemimpin adalah pemandu yang memberikan arahan pada pengikutnya untuk
menunjukkan jalan yang terbaik agar selamat sampai di tujuan tentu saja itu baru tercapai
dengan sempurna jika di bawah naungan syariat Islam.
KARAKTERISTIK PEMIMPIN DALAM ISLAM
Perlu disadari, dalam memilih pemimpin ada tanggung jawab yang akan dipikul di
hadapan Allah terhadap pilihan kita. Di sinilah pentingnya seorang pemilih mengenal
calon pemimpinnya. Agar bisa mengetahui kesesuaiannya dengan karakter pemimpin
ideal yang diatur oleh Islam. Kalau ternyata sesuai, maka jangan sungkan memberikan
suara.
Di antara karakteristik pemimpin dalam Islam, yaitu:
1. Jujur
Pemimpin Islam haruslah jujur kepada dirinya sendiri dan pengikutnya. Seorang
pemimpin yang jujur akan menjadi contoh terbaik. Pemimpin yang perkataan dengan
perbuatannya senantiasa sejalan.
2. Kompeten
Kompotensi dalam bidangnya mutlak dimiliki oleh seorang pemimpin Islam. Orang akan
mengikuti seseorang jika ia benar-benar meyakini bahwa orang yang diikutinya benarbenar tahu apa yang sedang diperbuatnya.
3. Inspiratif
Seorang pengikut akan merasakan aman jika pemimpinnya membawanya pada rasa
nyaman dan menimbulkan rasa optimis seburuk apa pun situasi yang sedang dihadapi.
4. Sabar
Pemimpin Islam haruslah sabar dalam menghadapi segala macam persoalan dan
keterbatasan, serta tidak bertindak tergesa-gesa dalam mengambil keputusan.

5. Rendah hati
Seorang pemimpin Islam hendaklah memiliki sikap rendah hati. Tidak suka
menampakkan kelebihannya (riya) serta tidak merendahkan orang lain.
6. Musyawarah
Dalam menghadapi setiap persoalan, seorang pemimpin Islam haruslah menempuh jalan
musyawarah serta tidak menentukan keputusan sendiri.
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sadirahimahullahmengatakan, Jika Allah
mengatakan kepada Rasul-Nyapadahal beliau adalah orang yang paling sempurna
akalnya, paling banyak ilmunya dan paling banyak idenya, Maka bermusyawarahlah
dengan mereka dalam urusan itu. (QS. Ali Imran: 159). Maka bagaimana dengan yang
selain beliau?
7. Mampu berkomunikasi dengan rakyatnya
Kapasitas ilmiah serta empati dan rasa sensitivitas yang baik akan mereka yang
dipimpinnya, pada akhirnya akan melahirkan seorang pemimpin yang mampu
berkomunikasi dengan baik kepada rakyatnya. Komunikasi yang baik kepada rakyatnya
bukanlah sekadar kemampuan retorika yang baik, tetapi juga kemampuan memilih hal
yang akan dilempar kepada publik serta timing yang tepat dalam melemparkannya.
Kematangan seorang pemimpin akan membuatnya mampu berkomunikasi yang jauh dari
sikap emosional. Dan yang terpenting dari semua itu adalah sang pemimpin akhirnya
mampu mengambil sebuah kebijakan yang tepat dalam sebuah kondisi yang memang
dibutuhkan oleh rakyat yang dipimpinnya.
RAHASIA KEKUATAN PEMIMPIN
1. Kekuatan iman, ilmu, dan wawasan yang luas
Seluruh nabi dan rasul memimpin dengan kekuatan iman dan ilmu. Nabi Sulaiman
Alaihissalam memerintah hampir seluruh makhluk (seperti jin, binatang, angin) dengan
ilmu dan keimanan yang kuat. Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam dapat
menyelesaikan berbagai masalah dengan ilmu dan keimanan yang kuat. Dengan ilmu dan
iman seorang pemimpin sanggup memimpin dirinya (seperti memimpin matanya,
hatinya, lidahnya, pikiran dan hawa nafsunya) sebelum memimpin orang lain.
2. Ibadah dan taqarrub kepada Allah.
Ibadah dan banyak bertaqarrub kepada Allah, dapat melahirkan kewibaan, ketawadhuan,
kesabaran, optimisme, dan tawakkal. Ibadah dan taqarrub juga akan melahirkan kekuatan
ruhaniyah yang dahsyat.
3. Keteladanan.
Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam mengajak jihad, beliau bertempur paling
depan, bersedekah paling ringan dan hidup paling bersahaja. Ketika Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallammenyuruh bertahajud, beliaulah yang kakinya bengkak
karena banyak bertahajjud. Ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menghimbau
umatnya untuk berhias dengan akhlak mulia, beliaulah manusia yang paling mulia
akhlaknya.

KARAKTERISTIK PENGIKUT DALAM ISLAM


1. Taat
Seorang pengikut harus patuh kepada pemimpin. Setelah pemimpin dipilih lewat jalan
musyawarah maka wajib bagi pengikutnya (yang menang dan yang kalah untuk taat
kepadanya, kecuali sang pemimpin telah melanggar ketentuan Allah dan membuat
kerusakan).
2. Dinamis dan kritis
Seorang pengikut harus dinamis dan kritis dalam mengikuti kepemimpinan seseorang.
Islam tidak mengajarkan suatu ketundukan buta atau sekadar ikut-ikutan.
PENUTUP
Bagi pemimpin dan calon pemimpin masa depan, amanah yang Anda emban bukanlah
suatu kemegahan dan kebanggaan. Bahkan demi mengingat beratnya beban amanah,
Khalifah Umar bin Khaththab memberikan sebuah ungkapan, Saya sudah cukup senang
jika dapat keluar dari dunia ini dengan impas; tidak mendapat dosa dan tidak pula
mendapat pahala.
Maka jadikanlah janji Allah memasukan pemimpin yang adil dalam surga-Nya sebagai
sumber energi hidup Anda.
Dan bagi yang akan memberikan pilihan dan selanjutnya akan dipimpin, marilah kita
sadari bahwa kesempatan kita hanya sekali untuk melakukan pilihan dengan tepat.
Setelah itu, kemampuan kita dalam menentukan arah kepemimpinan tidak sekuat di saat
kita memilih. Setidaknya, kita telah berusaha melakukannya. Dan yang pasti, pilihan kita
akan kita pertanggungjawabkan di hadapan Allah Subhaanahu Wataala.
Karena itu, akan senantiasa dibutuhkan seorang Muslim yang mampu menentukan
pilihannya secara cerdas dan tepat.
Wallahu Waliyyut Taufiq
Dari berbagai sumber (Al Fikrah No.11 Tahun X/08 Rabiul Akhir 1430 H)
www.wahdah.or.id

Kepemimpinan Nabi Sulaiman: Kisah Burung Hud-hud


Sabtu, 13 Februari 2010 17:19

Previous
Left arrow key Next
Right arrow key
Close

Sebelumnya
1 of 3
Berikutnya

Pada suatu ketika, Nabi Sulaiman mengumpulkan dan memeriksa seluruh pengikutpengikutnya baik dari kalangan manusia, jin dan binatang, termasuk burung-burung.
Berdasarkan pemeriksaannya, Nabi tidak melihat burung hud-hud. Karena ketidakhadiran
burung hud-hud tersebut, beliau berjanji akan mengazabnya dengan azab yang keras, atau
bahkan menyembelihnya. Ternyata, tidak lama kemudian, burung hud-hud datang
menghadap Nabi Sulaiman. Burung hud-hud menjelaskan perihal keterlambatannya
karena mencari berita tentang adanya seorang wanita yang menjadi pemimpin suatu
negara dan dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar. Atas
berita yang dibawa oleh burung hud-hud tersebut, akhirnya Nabi Sulaiman mengunjungi

kerajaan Saba yang dipimpin oleh ratu Balqis yang akhirnya masuk Islam dengan dakwah
Nabi Sulaiman. Kisah tersebut diabadikan dalam Quran Surat An-Naml ayat 22-23.
Kisah tersebut menggambarkan burung hud-hud (sebagai anak buah) yang mempunyai
kecerdasan dan kecemerlangan berpikir sehingga pengembaraannya dalam mencari
makanan (nafkah) tidak semata untuk tujuan duniawi melainkan untuk penyebaran
agama. Burung hud-hud, di antara waktunya, memanfaatkan kesempatan mencari berita
dan kabar suatu kaum karena ia berkeinginan untuk menyampaikan risalah Islam kepada
mereka. Melalui presentasi burung hud-hud yang gemilang serta keberanian dalam
mengemukakan uzur (keterlambatan), Nabi Sulaiman dapat mengajak kaum Saba untuk
mentauhidkan Allah.
Di samping itu, seorang manusia, yang tentu lebih mulia dari seekor burung hud-hud,
harus senantiasa memiliki inisiatif positif dan terus berupaya mencari kebaikan. Seorang
manusia seharusnya lebih terpanggil untuk berinisiatif dan melakukan perbuatan baik
tanpa harus menunggu perintah. Ketika mempunyai pemikiran, seseorang tidak perlu
sungkan untuk menyampaikan kepada atasannya.
Sedangkan sebagai pemimpin, kita perlu mengambil ibroh (pelajaran) dari sikap
dan respon Nabi Sulaiman terhadap kerja burung Hud-hud sebagai berikut:
1. Tafaqqudul amiir lil atba (rasa kehilangan seorang pemimpin terhadap pengikutnya).
Seorang mas'ul harus memperhatikan siapa yang tidak hadir dalam setiap pertemuan dan
kegiatan. Karena perhatiannya terhadap kehadiran anak buah merupakan bagian dari
tanggungjawab yang harus diemban.
2. Akhdzul amri bil hazm (sangat perhatian terhadap perkara). Seorang pemimpin harus
memiliki haibah (wibawa) di hadapan pengikutnya dengan menyatakan sikap tegasnya di
hadapan pengikutnya. Sikap tegas tersebut bukan ditunjukkan dengan bentuk kemarahan
atau menghalangi anak buah memiliki wawasan yang lebih. Wibawa seorang atasan tidak
akan jatuh hanya karena mempunyai anak buah yang lebih berwawasan.
3. Muhasabah (evaluasi). Seorang pemimpin harus berinisiatif untuk mengevaluasi proses
peningkatan pemahaman dan hasil kerja yang dilakukan anak buahnya. Evaluasi
dilakukan bukan untuk mencari-cari kesalahan anak buah melainkan untuk perbaikan di
kemudian hari.
4. Tabayyunul udzr (klarifikasi uzur). Mengklarifikasi alasan keuzuran agar penyikapan
dan perlakukan yang akan diambil lebih berdampak positif.
5. Taqdir kulli udhwin (menghargai masing-masing anggota). Seperti Sulaiman yang
gusar atas ketidakhadiran burung hud hud, padahal ia hanyalah seekor burung kecil.
Selain burung kecil ini tentu masih banyak pengikutnya yang lebih besar dan berkualitas.
Seperti komentar Sayyid Quthb, burung hud-hud itu satu ekor dari sekawanan burung
hud-hud yang lain dan dari sekian banyak burung yang menjadi pendukung kerajaannya.
Seorang anggota, betapapun kondisinya harus dihargai sebagai anggota dan tidak boleh

dipandang sebelah mata.


Jadi dengan sikap ijabiyah seorang umat, akan banyak amal Islam yang dapat dihasilkan
seiring dengan hasil yang gemilang. Di antaranya adalah dengan merasa kurang di
hadapan Allah dalam menjalankan semua kewajiban yang telah dibebankan kepadanya,
maka akan muncul rasa pada diri seorang mukmin untuk berusaha mengerjakan satu
kewajiban dengan sebaik-baiknya dan dengan niat yang lurus. Dengan demikian ia telah
mengerti maksud dari taklif Allah, yaitu agar manusia berusaha memperbaiki amalnya
dengan cara meluruskan niat dan menyesuaikan segala perbuatan dan ibadahnya sesuai
dengan syariat Islam.
Di antara sikap ijabiyah adalah tidak meremehkan perkara kecil, karena seringkali
sesuatu yang besar menjadi kecil nilainya karena niat yang kurang ikhlas dan kadang
beberapa kalimat akan mendatangkan kebaikan yang banyak karena niat dan keluar dari
hati yang tulus. Pernah seorang ulama ditanya, "Sampai kapan Anda terus menulis
hadits? Lalu ia menjawab, "Mungkin kalimat yang akan menyelamatkanku masih belum
aku tulis."
Untuk menunjukkan betapa perkara ringan itu tidak boleh dianggap ringan, Rasulullah
SAW menegaskan bahwa banyak perkara ringan atau sepele, tetapi di sisi Allah
mempunyai bobot pahala dan kebaikan bagi yang melakukannya. Dari Abu Dzar r.a. ia
berkata bahwa Rasulullah SAW. bersabda, "Senyummu di hadapan saudaramu adalah
sedekah bagimu, perintahmu mengerjakan kebaikan dan mencegah kemungkaran adalah
sedekah bagimu, kamu menunjuki orang yang tersesat juga merupakan sedekah bagimu,
membantu orang yang kurang penglihatannya juga merupakan sedekah bagimu,
menyingkirkan batu, duri dan tulang dari jalan juga merupakan sedekah bagimu, kamu
menuangkan air dari timbamu ke timba saudaramu juga merupakan sedekah bagimu."
(H.R. Bukhari dan Tirmidzi)
Dalam konteks amar maruf nahi munkar, kita akan menemukan medan dan lapangannya
yang cukup luas dan lebar. Di mana kita akan menemukan setiap hari fenomena atau
suasana kemungkaran yang mesti kita hilangkan dari masyarakat. Maka dengan
kedudukan kita sebagai pemeriksa, kita dapat menulis suatu penyimpangan keuangan
Negara. Kita dapat mengusulkan suatu temuan indikasi tindak pidana korupsi kepada
atasan kita agar dapat ditindaklanjuti oleh aparat penegak hukum. Meningkatkan
pemahaman terkait tugas pokok dan fungsi pemeriksa juga diperlukan sehingga kita dapat
menyampaikan saran/rekomendasi yang dapat ditindaklanjuti dan pada akhirnya
menyelesaikan permasalahan kesalahan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan
negara.
Demikian juga bagi pegawai yang berada pada posisi penunjang dan pendukung, tidak
dapat disebut sebagai pegawai kelas dua. Penunjang dan pendukung sama-sama
mempunyai arti dan peran strategis dalam menunjang tugas dan fungsi BPK sebagai
lembara pemeriksa keuangan negara. Yang penting dalam diri kita adalah keinginan dan
kemauan untuk mengadakan perubahan ke arah positif dengan cara yang dapat ia tempuh
sebatas otoritas yang ia miliki. Karena itu keberadaan kita pada posisi yang memiliki

otoritas yang luas dan besar akan membantu dan mengefektifkan usaha
dakwah dalam perbaikan masyarakat. Wallahu a'lam bish-showab. Dari
berbagai sumber: www.suaramedia.com

Kisah Nabi Ibrahim Sang Pendiri Baitullah Al Harom


Kamis, 11 Februari 2010 17:34

Previous
Left arrow key Next
Right arrow key
Close

Sebelumnya
1 of 4
Berikutnya

Nabi Ibrahim adalah putera Aaazar {Tarih} bin Tahur bin Saruj bin Rau' bin Falij bin
Aaabir bin Syalih bin Arfakhsyad bin Saam bin Nuh A.S.Ia dilahirkan di sebuah tempat
bernama "Faddam A'ram" dalam kerajaan "Babylon" yang pd waktu itu diperintah oleh
seorang raja bernama "Namrud bin Kan'aan."
Kerajaan Babylon pd masa itu termasuk kerajaan yang makmur rakyat hidup senang,
sejahtera dalam keadaan serba cukup sandang mahupun pandangan serta saranan-saranan
yang menjadi keperluan pertumbuhan jasmani mrk.Akan tetapi tingkatan hidup rohani
mrk masih berada di tingkat jahiliyah. Mrk tidak mengenal Tuhan Pencipta mrk yang
telah mengurniakan mrk dengan segala kenikmatan dan kebahagiaan duniawi.
Persembahan mrk adalah patung-patung yang mrk pahat sendiri dari batu-batu atau
terbuat dari lumpur dan tanah.
Raja mereka Namrud bin Kan'aan menjalankan tampuk pemerintahnya dengan tangan
besi dan kekuasaan mutlak.Semua kehendaknya harus terlaksana dan segala perintahnya
merupakan undang-undang yang tidak dpt dilanggar atau di tawar. Kekuasaan yang besar
yang berada di tangannya itu dan kemewahan hidup yang berlebuh-lebihanyang ia
nikmati lama-kelamaan menjadikan ia tidak puas dengan kedudukannya sebagai raja. Ia
merasakan dirinya patut disembah oleh rakyatnya sebagai tuhan. Ia berfikir jika
rakyatnya mahu dan rela menyembah patung-patung yang terbina dari batu yang tidal dpt
memberi manfaat dan mendtgkan kebahagiaan bagi mrk, mengapa bukan dialah yang
disembah sebagai tuhan.Dia yang dpt berbicara, dapat mendengar, dpt berfikir, dpt
memimpin mrk, membawa kemakmuran bagi mrk dan melepaskan dari kesengsaraan dan
kesusahan. Dia yang dpt mengubah orang miskin menjadi kaya dan orang yang hina-dina
diangkatnya menjadi orang mulia. di samping itu semuanya, ia adalah raja yang berkuasa
dan memiliki negara yang besar dan luas.
Di tengah-tengah masyarakat yang sedemikian buruknya lahir dan dibesarkanlah Nabi
Ibrahim dari seorang ayah yang bekerja sebagai pemahat dan pedagang patung. Ia sebagai
calun Rasul dan pesuruh Allah yang akan membawa pelita kebenaran kepada
kaumnya,jauh-jauh telah diilhami akal sihat dan fikiran tajam serta kesedaran bahwa apa

yang telah diperbuat oleh kaumnya termasuk ayahnya sendiri adalah perbuat yang sesat
yang menandakan kebodohan dan kecetekan fikiran dan bahwa persembahan kaumnya
kepada patung-patung itu adalah perbuatan mungkar yang harus dibanteras dan diperangi
agar mrk kembali kepada persembahan yang benar ialah persembahan kepada Tuhan
Yang Maha Esa, Tuhan pencipta alam semesta ini.
Semasa remajanya Nabi Ibrahim sering disuruh ayahnya keliling kota menjajakan
patung-patung buatannya namun karena iman dan tauhid yang telah diilhamkan oleh
Tuhan kepadanya ia tidak bersemangat untuk menjajakan brg-brg itu bahkan secara
mengejek ia menawarkan patung-patung ayahnya kepada calun pembeli dengan katakata:" Siapakah yang akan membeli patung-patung yang tidak berguna ini? "
Nabi Ibrahim Ingin Melihat Bagaimana Makhluk Yang Sudah Mati Dihidupkan
Kembali Oleh Allah
Nabi Ibrahim yang sudah berketetapan hati hendak memerangi syirik dan persembahan
berhala yang berlaku dalam masyarakat kaumnya ingin lebih dahulu mempertebalkan
iman dan keyakinannya, menenteramkan
hatinya serta membersihkannya dari keragu-raguan yang mungkin esekali mangganggu
fikirannya dengan memohon kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya bagaimana Dia
menghidupkan kembali makhluk-makhluk yang sudah mati.Berserulah ia kepada Allah: "
Ya Tuhanku! Tunjukkanlah kepadaku bagaimana engkau menghidupkan makhlukmakhluk yang sudah mati."Allah menjawab seruannya dengan berfirman:
Tidakkah engkau beriman dan percaya kepada kekuasaan-Ku? "Nabi Ibrahim
menjawab:" Betul, wahai Tuhanku, aku telah beriman dan percaya kepada-Mu dan
kepada kekuasaan-Mu, namun aku ingin sekali melihat itu dengan mata kepala ku sendiri,
agar aku mendapat ketenteraman dan ketenangan dan hatiku dan agar makin menjadi
tebal dan kukuh keyakinanku kepada-Mu dan kepada kekuasaan-Mu."
Allah memperkenankan permohonan Nabi Ibrahim lalu diperintahkanlah ia menangkap
empat ekor burung lalu setelah memperhatikan dan meneliti bahagian tubuh-tubuh
burung itu, memotongnya menjadi berkeping-keping mencampur-baurkan kemudian
tubuh burung yang sudak hancur-luluh dan bercampur-baur itu diletakkan di atas puncak
setiap bukit dari empat bukit yang letaknya berjauhan satu dari yang lain.
Setelah dikerjakan apa yang telah diisyaratkan oleh Allah itu, diperintahnyalah Nabi
Ibrahim memanggil burung-burung yang sudah terkoyak-koyak tubuhnya dan terpisah
jauh tiap-tiap bahagian tubuh burung dari bahagian yang lain.
Dengan izin Allah dan kuasa-Nya datanglah berterbangan enpat ekor burung itu dalam
keadaan utuh bernyawa seperti sedia kala begitu mendengar seruan dan panggilan Nabi
Ibrahim kepadanya lalu hinggaplah empat burung yang hidup kembali itu di depannya,
dilihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Allah YAng Maha Berkuasa dpt
menghidupkan kembali makhluk-Nya yang sudah mati sebagaimana Dia menciptakannya

dari sesuatu yang tidak ada. Dan dengan demikian tercapailah apa yang diinginkan oleh
Nabi Ibrahim untuk mententeramkan hatinya dan menghilangkan kemungkinan ada
keraguan di dalam iman dan keyakinannya, bahwa kekuasaan dan kehendak Allah tidak
ada sesuatu pun di langit atau di bumi yang dpt menghalangi atau menentangnya dan
hanya kata "Kun" yang difirmankan Oleh-Nya maka terjadilah akan apa yang
dikenhendaki " Fayakun".
Nabi Ibrahim Berdakwah Kepada Ayah Kandungnya
Aazar, ayah Nabi Ibrahim tidak terkecuali sebagaimana kaumnya yang lain, bertuhan dan
menyembah berhala bah ia adalah pedagang dari patung-patung yang dibuat dan
dipahatnya sendiri dan drpnya orang membeli patung-patung yang dijadikan
persembahan.
Nabi Ibrahim merasa bahwa kewajiban pertama yang harus ia lakukan sebelum
berdakwah kepada orang lain ialah menyedarkan ayah kandungnya dulu orang yang
terdekat kepadanya bahwa kepercayaan dan persembahannya kepada berhala-berhala itu
adalah perbuatan yang sesat dan bodoh.Beliau merasakan bahawa kebaktian kepada
ayahnya mewajibkannya memberi penerangan kepadanya agar melepaskan kepercayaan
yang sesat itu dan mengikutinya beriman kepada Allah Yang Maha Kuasa.
Dengan sikap yang sopan dan adab yang patut ditunjukkan oleh seorang anak terhadap
orang tuanya dan dengan kata-kata yang halus ia dtg kepada ayahnya menyampaikan
bahwa ia diutuskan oleh Allah sebagai nabi dan rasul dan bahawa ia telah diilhamkan
dengan pengetahuan dan ilmu yang tidak dimiliki oleh ayahnya. Ia bertanya kepada
ayahnya dengan lemah lembut gerangan apakah yang mendorongnya untuk menyembah
berhala seperti lain-lain kaumnya padahal ia mengetahui bahwa berhala-berhala itu tidak
berguna sedikit pun tidak dpt mendtgkan keuntungan bagi penyembahnya atau mencegah
kerugian atau musibah. Diterangkan pula kepada ayahnya bahwa penyembahan kepada
berhala-berhala itu adalah semata-mata ajaran syaitan yang memang menjadi musuh
kepada manusia sejak Adam diturunkan ke bumi lagi. Ia berseru kepada ayahnya agar
merenungkan dan memikirkan nasihat dan ajakannya berpaling dari berhala-berhala dan
kembali menyembah kepada Allah yang menciptakan manusia dan semua makhluk yang
dihidupkan memberi mrk rezeki dan kenikmatan hidup serta menguasakan bumi dengan
segala isinya kepada manusia.
Aazar menjadi merah mukanya dan melotot matanya mendengar kata-kata seruan
puteranya Nabi Ibrahim yyang ditanggapinya sebagai dosa dan hal yang kurang patut
bahwa puteranya telah berani mengecam dan menghina kepercayaan ayahnya bahkan
mengajakkannya untuk meninggalkan kepercayaan itu dan menganut kepercayaan dan
agama yang ia bawa. Ia tidak menyembunyikan murka dan marahnya tetapi
dinyatakannya dalam kata-kata yang kasar dan dalam maki hamun seakan-akan tidak ada
hunbungan diantara mereka. IA berkata kepada Nabi Ibrahim dengan nada gusar: " Hai
Ibrahim! Berpalingkah engkau dari kepercayaan dan persembahanku ? Dan kepercayaan
apakah yang engkau berikan kepadaku yang menganjurkan agar aku mengikutinya?
Janganlah engkau membangkitkan amarahku dan cuba mendurhakaiku.Jika engkau tidak

menghentikan penyelewenganmu dari agama ayahmu tidak engkau hentikan usahamu


mengecam dan memburuk-burukkan persembahanku, maka keluarlah engkau dari
rumahku ini. Aku tidak sudi bercampur denganmu didalam suatu rumah di bawah suatu
atap. Pergilah engkau dari mukaku sebelum aku menimpamu dengan batu dan
mencelakakan engkau."
Nabi Ibrahim menerima kemarahan ayahnya, pengusirannya dan kata-kata kasarnya
dengan sikap tenang, normal selaku anak terhadap ayah seray berkaat: " Oh ayahku!
Semoga engkau selamat, aku akan tetap memohonkan ampun bagimu dari Allah dan akan
tinggalkan kamu dengan persembahan selain kepada Allah. Mudah-mudahan aku tidak
menjadi orang yang celaka dan malang dengan doaku utkmu." Lalu keluarlah Nabi
Ibrahim meninggalkan rumah ayahnya dalam keadaan sedih dan prihati karena tidak
berhasil mengangkatkan ayahnya dari lembah syirik dan kufur.
Nabi Ibrahim Menghancurkan Berhala-berhala
Kegagalan Nabi Ibrahim dalam usahanya menyedarkan ayahnya yang tersesat itu sangat
menusuk hatinya karena ia sebagai putera yang baik ingin sekali melihat ayahnya berada
dalam jalan yang benar terangkat dari lembah kesesatan dan syirik namun ia sedar bahwa
hidayah itu adalah di tangan Allah dan bagaimana pun ia ingin dengan sepenuh hatinya
agar ayahnya mendpt hidayah ,bila belum dikehendaki oleh Allah maka sia-sialah
keinginan dan usahanya.
Penolakan ayahnya terhadap dakwahnya dengan cara yang kasar dan kejam itu tidak
sedikit pun mempengaruhi ketetapan hatinya dan melemahkan semangatnya untuk
berjalan terus memberi penerangan kepada kaumnya untuk menyapu bersih
persembahan-persembahan yang bathil dan kepercayaan-kepercayaan yang bertentangan
dengan tauhid dan iman kepada Allah dan Rasul-Nya
Nabi Ibrahim tidak henti-henti dalam setiap kesempatan mengajak kaumnya berdialog
dan bermujadalah tentang kepercayaan yang mrk anut dan ajaran yang ia bawa. Dan
ternyata bahwa bila mrk sudah tidak berdaya menilak dan menyanggah alasan-alasan dan
dalil-dalil yang dikemukakan oleh Nabi Ibrahim tentang kebenaran ajarannya dan
kebathilan kepercayaan mrk maka dalil dan alasan yang usanglah yang mrk kemukakan
iaitu bahwa mrk hanya meneruskan apa yang oleh bapa-bapa dan nenek moyang mrk
dilakukan dan sesekali mrk tidak akan melepaskan kepercayaan dan agama yang telah
mrk warisi.
Nabi Ibrahim pd akhirnya merasa tidak bermanfaat lagi berdebat dan bermujadalah
dengan kaumnya yang berkepala batu dan yang tidak mahu menerima keterangan dan
bukti-bukti nyata yang dikemukakan oleh beliau dan selalu berpegang pada satu-satunya
alasan bahwa mrk tidak akan menyimpang dari cara persembahan nenek moyang mrk,
walaupun oleh Nabi Ibrahim dinyatakan berkali-kali bahwa mrk dan bapa-bapa mrk
keliru dan tersesat mengikuti jejak syaitan dan iblis.
Nabi Ibrahim kemudian merancang akan membuktikan kepada kaumnya dengan
perbuatan yang nyata yang dapat mrk lihat dengan mata kepala mrk sendiri bahwa

berhala-berhala dan patung-patung mrk betul-betul tidak berguna bagi mrk dan bahkan
tidak dapat menyelamatkan dirinya sendiri.
Adalah sudah menjadi tradisi dan kebiasaan penduduk kerajaan Babylon bahwa setiap
tahun mrk keluar kota beramai-ramai pd suatu hari raya yang mrk anggap sebagai
keramat. Berhari-hari mrk tinggal di luar kota di suatu padang terbuka, berkhemah
dengan membawa bekalan makanan dan minuman yang cukup. Mrk bersuka ria dan
bersenang-senang sambil meninggalkan kota-kota mrk kosong dan sunyi. Mrk berseru
dan mengajak semua penduduk agar keluar meninggalkan rumah dan turut beramai
-ramai menghormati hari-hari suci itu. Nabi Ibrahim yang juga turut diajak turut serta
berlagak berpura-pura sakit dan diizinkanlah ia tinggal di rumah apalagi mrk merasa
khuatir bahwa penyakit Nabi Ibrahim yang dibuat-buat itu akan menular dan menjalar di
kalangan mrk bila ia turut serta.
" Inilah dia kesempatan yang ku nantikan," kata hati Nabi Ibrahim tatkala melihat kota
sudah kosong dari penduduknya, sunyi senyap tidak terdengar kecuali suara burungburung yang berkicau, suara daun-daun pohon yang gemerisik ditiup angin kencang.
Dengan membawa sebuah kapak ditangannya ia pergi menuju tempat beribadatan
kaumnya yang sudah ditinggalkan tanpa penjaga, tanpa juru kunci dan hanya deretan
patung-patung yang terlihat diserambi tempat peribadatan itu. Sambil menunjuk kepada
semahan bunga-bunga dan makanan yang berada di setiap kaki patung berkata Nabi
Ibrahim, mengejek:" Mengapa kamu tidak makan makanan yang lazat yang disaljikan
bagi kamu ini? Jawablah aku dan berkata-katalah kamu."Kemudian disepak, ditamparlah
patung-patung itu dan dihancurkannya berpotong-potong dengan kapak yang berada di
tangannya. Patung yang besar ditinggalkannya utuh, tidak diganggu yang pada lehernya
dikalungkanlah kapak Nabi Ibrahim itu.
Terperanjat dan terkejutlah para penduduk, tatkala pulang dari berpesta ria di luar kota
dan melihat keadaan patung-patung, tuhan-tuhan mrk hancur berantakan dan menjadi
potongan-potongan terserak-serak di atas lantai. Bertanyalah satu kepada yang lain
dengan nada hairan dan takjub: "Gerangan siapakah yang telah berani melakukan
perbuatan yang jahat dan keji ini terhadap tuhan-tuhan persembahan mrk ini?" Berkata
salah seorang diantara mrk:" Ada kemungkinan bahwa orang yang selalu mengolok-olok
dan mengejek persembahan kami yang bernama Ibrahim itulah yang melakukan
perbuatan yang berani ini." Seorang yang lain menambah keterangan dengan berkata:"
Bahkan dialah yang pasti berbuat, karena ia adalah satu-satunya orang yang tinggal di
kota sewaktu kami semua berada di luar merayakan hari suci dan keramat itu." Selidik
punya selidik, akhirnya terdpt kepastian yyang tidak diragukan lagi bahwa Ibrahimlah
yang merusakkan dan memusnahkan patung-patung itu. Rakyat kota beramai-ramai
membicarakan kejadian yang dianggap suatu kejadian atau penghinaan yang tidak dpt
diampuni terhadap kepercayaan dan persembahan mrk. Suara marah, jengkel dan kutukan
terdengar dari segala penjuru, yang menuntut agar si pelaku diminta bertanggungjawab
dalam suatu pengadilan terbuka, di mana seluruh rakyat penduduk kota dapat turut serta
menyaksikannya.
Dan memang itulah yang diharapkan oleh Nabi Ibrahim agar pengadilannya dilakukan

secara terbuka di mana semua warga masyarakat dapat turut menyaksikannya. Karena
dengan cara demikian beliau dapat secara terselubung berdakwah menyerang
kepercayaan mrk yang bathil dan sesat itu, seraya menerangkan kebenaran agama dan
kepercayaan yang ia bawa, kalau diantara yang hadir ada yang masih boleh diharapkan
terbuka hatinya bagi iman dari tauhid yang ia ajarkan dan dakwahkan.
Hari pengadilan ditentukan dan datang rakyat dari segala pelosok berduyung-duyung
mengujungi padang terbuka yang disediakan bagi sidang pengadilan itu.
Ketika Nabi Ibrahim datang menghadap para hakim yang akan mengadili ia disambut
oleh para hadirin dengan teriakan kutukan dan cercaan, menandakan sangat gusarnya
para penyembah berhala terhadap beliau yang telah berani menghancurkan persembahan
mrk.
Ditanyalah Nabi Ibrahim oleh para hakim:" Apakah engkau yang melakukan
penghancuran dan merusakkan tuhan-tuhan kami?" Dengan tenang dan sikap dingin,
Nabi Ibrahim menjawab:" Patung besar yang berkalungkan kapak di lehernya itulah yang
melakukannya. Cuba tanya saja kepada patung-patung itu siapakah yang
menghancurkannya." Para hakim penanya terdiam sejenak seraya melihat yang satu
kepada yang lain dan berbisik-bisik, seakan-akan Ibrahim yang mengandungi ejekan itu.
Kemudian berkata si hakim:" Engkaukan tahu bahwa patung-patung itu tidak dapat
bercakap dan berkata mengapa engkau minta kami bertanya kepadanya?" Tibalah
masanya yang memang dinantikan oleh Nabi Ibrahim,maka sebagai jawapan atas
pertanyaan yang terakhir itu beliau berpidato membentangkan kebathilan persembahan
mrk,yang mrk pertahankan mati-matian, semata-mata hanya karena adat itu adalah
warisan nenek-moyang. Berkata Nabi Ibrahim kepada para hakim itu:" Jika demikian
halnya, mengapa kamu sembah patung-patung itu, yang tidak dapat berkata, tidak dapat
melihat dan tidak dapat mendengar, tidak dapat membawa manfaat atau menolak
mudharat, bahkan tidak dapat menolong dirinya dari kehancuran dan kebinasaan?
Alangkah bodohnya kamu dengan kepercayaan dan persembahan kamu itu! Tidakkah
dapat kamu berfikir dengan akal yang sihat bahwa persembahan kamu adalah perbuatan
yang keliru yang hanya difahami oleh syaitan. Mengapa kamu tidak menyembah Tuhan
yang menciptakan kamu, menciptakan alam sekeliling kamu dan menguasakan kamu di
atas bumi dengan segala isi dan kekayaan. Alangkah hina dinanya kamu dengan
persembahan kamu itu."
Setelah selesai Nabi Ibrahim menguraikan pidatonya iut, para hakim mencetuskan
keputusan bahawa Nabi Ibrahim harus dibakar hidup-hidup sebagai ganjaran atas
perbuatannya menghina dan menghancurkan tuhan-tuhan mrk, maka berserulah para
hakim kepada rakyat yang hadir menyaksikan pengadilan itu:" Bakarlah ia dan belalah
tuhan-tuhanmu , jika kamu benar-benar setia kepadanya."
Nabi Ibrahim Dibakar Hidup-hidup
Keputusan mahkamah telah dijatuhakan.Nabi Ibrahim harus dihukum dengan membakar
hidup-hidup dalam api yang besar sebesar dosa yang telah dilakukan. Persiapan bagi

upacara pembakaran yang akan disaksikan oleh seluruh rakyat sedang diaturkan. Tanah
lapang bagi tempat pembakaran disediakan dan diadakan pengumpulan kayu bakar
dengan banyaknya dimana tiap penduduk secara gotong-royong harus mengambil
bahagian membawa kayu bakar sebanyak yang ia dapat sebagai tanda bakti kepada tuhantuhan persembahan mrk yang telah dihancurkan oleh Nabi Ibrahim.<
Berduyun-duyunlah para penduduk dari segala penjuru kota membawa kayu bakar
sebagai sumbangan dan tanda bakti kepada tuhan mrk. Di antara terdapat para wanita
yang hamil dan orang yang sakit yang membawa sumbangan kayu bakarnya dengan
harapan memperolehi barakah dari tuhan-tuhan mereka dengan menyembuhkan penyakit
mereka atau melindungi yang hamil di kala ia bersalin.
Setelah terkumpul kayu bakar di lanpangan yang disediakan untuk upacara pembakaran
dan tertumpuk serta tersusun laksan sebuah bukit, berduyun-duyunlah orang datang untuk
menyaksikan pelaksanaan hukuman atas diri Nabi Ibrahim. Kayu lalu dibakar dan
terbentuklah gunung berapi yang dahsyat yang sedang berterbangan di atasnya berjatuhan
terbakar oleh panasnya wap yang ditimbulkan oleh api yang menggunung itu. Kemudian
dalam keadaan terbelenggu, Nabi Ibrahim didtgkan dan dari atas sebuah gedung yang
tinggi dilemparkanlah ia kedalam tumpukan kayu yang menyala-nyala itu dengan iringan
firman Allah:" Hai api, menjadilah engkau dingin dan keselamatan bagi Ibrahim."
Sejak keputusan hukuman dijatuhkan sampai saat ia dilemparkan ke dalam bukit api yang
menyala-nyala itu, Nabi Ibrahim tetap menunjukkan sikap tenang dan tawakkal karena
iman dan keyakinannya bahwa Allah tidak akan rela melepaskan hamba pesuruhnya
menjadi makanan api dan kurban keganasan orang-orang kafir musuh Allah. Dan
memang demikianlah apa yang terjadi tatkala ia berada dalam perut bukit api yang
dahsyat itu ia merasa dingin sesuai dengan seruan Allah Pelindungnya dan hanya tali
temali dan rantai yang mengikat tangan dan kakinya yang terbakar hangus, sedang tubuh
dan pakaian yang terlekat pada tubuhnya tetap utuh, tidak sedikit pun tersentuh oleh api,
hal mana merupakan suatu mukjizat yang diberikan oleh Allah kepada hamba pilihannya,
Nabi Ibrahim, agar dapat melanjutkan penyampaian risalah yang ditugaskan kepadanya
kepada hamba-hamba Allah yang tersesat itu.
Para penonton upacara pembakaran hairan tercenggang tatkala melihat Nabi Ibrahim
keluar dari bukit api yang sudah padam dan menjadi abu itu dalam keadaan selamat, utuh
dengan pakaiannya yang tetap berda seperti biasa, tidak ada tanda-tanda sentuhan api
sedikit jua pun. Mereka bersurai meninggalkan lapangan dalam keadaan hairan seraya
bertanya-tanya pada diri sendiri dan di antara satu sama lain bagaimana hal yang ajaib itu
berlaku, padahal menurut anggapan mereka dosa Nabi Ibrahim sudah nyata mendurhakai
tuhan-tuhan yang mereka puja dan sembah.Ada sebahagian drp mrk yang dalam hati
kecilnya mulai meragui kebenaran agama mrk namun tidak berani melahirkan rasa raguragunya itu kepada orang lain, sedang para pemuka dan para pemimpin mrk merasa
kecewa dan malu, karena hukuman yang mrk jatuhkan ke atas diri Nabi Ibrahim dan
kesibukan rakyat mengumpulkan kayu bakar selama berminggu-minggu telah berakhir
dengan kegagalan, sehingga mrk merasa malu kepada Nabi Ibrahim dan para
pengikutnya.

Mukjizat yang diberikan oleh Allah s.w.t. kepada Nabi Ibrahim sebagai bukti nyata akan
kebenaran dakwahnya, telah menimbulkan kegoncangan dalam kepercayaan sebahagian
penduduk terhadap persembahan dan patung-patung mrk dan membuka mata hati banyak
drp mrk untuk memikirkan kembali ajakan Nabi Ibrahim dan dakwahnya, bahkan tidak
kurang drp mrk yang ingin menyatakan imannya kepada Nabi Ibrahim, namun khuatir
akan mendapat kesukaran dalam penghidupannya akibat kemarahan dan balas dendam
para pemuka dan para pembesarnya yang mungkin akan menjadi hilang akal bila
merasakan bahwa pengaruhnya telah beralih ke pihak Nabi Ibrahim.
(alkisahteladan.blogspot.com) www.suaramedia.com
Kepemimpinan Yang Kuat Dan Amanah
09-07-2008 / 09:43:25
Baik-buruk, benar salah, dan kuat-lemah pemimpin bergantung pada pemimpin itu
sendiri.
Masyarakat Indonesia yang berada di bawah garis kemiskinan semakin bertambah akibat
naiknya BBM. Pendidikan semakin mahal. Kesehatan kian tak terjangkau. Penggusuran
sudah dipandang sebagai hal wajar dengan dalih keindahan. Bermunculan aliran sesat
atas nama kebebasan beragama. Kekayaan diserahkan kepada asing. Badan Usaha milik
Negara (BUMN) dijual kepada swasta lokal dan asing. Kehidupan sosial, budaya, politik,
dan ekonomi secara umum didominasi oleh kepentingan Negara besar.

Pertanyaannya, ada apa ini?


Jawabannya pasti : ada permasalahan besar yakni masalah kepemimpinan yang lemah
dan tidak amanah. Lalu bagaimana kiat islam membangun kepemimpinan yang kuat dan
amanah?
Berbicara tentang kepemimpinan, Ust. Rahmat Kurnia (2007) menjelaskan bahwasanya
ada tiga hal yang harus dimiliki: pertama, kualitas dan integritas orang yang memimpin
(persosn); kedua, seistem yang diterapkan; dan ketiga, pihak yang dipimpin.
Pertama, pemimpin. Islam menegaskan pentingnya kualitas dan integritas diri
pemimpin. Negara yang baik hanya dapat lahir dari pemimpin yang memiliki visi
menjadi pelayan masyarakat yang dicintai dan mencintai dengan syariah islam, bukan
dengan mengeksploitasi ambisi. Rasul saw bersabda :
Sesungguhnya kalian akan memiliki ambisi untuk dapat memegang suatu jabatan.
Padahal Hari Kiamat nanti jabatan itu menjadi suatu penyesalan. (Hr.al-Bukhari, anNasaI dan Ahmad)
Sebaliknya pemimpin yang menipu rakyat, bermuka dua, atau menjadi antek asing tidak
bisa diharapkan dapat mendatangkan kebaikan. Karena itu, wajar Allah mengharamkan

baginya syurga. Rasul saw. Bersabda :


Tidaklah seorang pemimpin memimpin rakyat dari kalangan kaum Muslim, lalu ia mati
dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali diharamkan baginya masuk syurga. (Hr. alBukhari dan Muslim)
Kedua, Sistem. Nabi Muhammad saw, jauh sebelum diangkat menjadi nabi, sedah
dikenal sebagai orang yang mulia, jujur dan terpercaya. Semua karakter baik ada pada
diri beliau. Beliau bahkan digelari al Amin. Namun Allah swt. Tidak hanya mencukupkan
pada karekter semata. Dia menurunkan wahyu kepada nabi-Nya berupa al-Quran dan asSunnah sebagai petunjuk manusia. Dengan aturan dari Allah itulah Beliau mengatur,
mengurusi dan menghukumi manusia.

Realitas ini saja memberikan ketegasan, bahwa negeri yang baik tidak akan mewujud
hanya dengan pemimpin yang akhlaknya baik. Apakah system dan aturan yang baik itu?
Tentu system dan aturan yang lahir dari Yang Maha Baik. Itulah syariah islam yang
dijalankan dalam system kekhilafahan. Ketika kerusakan terjadi, manusia disuruh
kembali kepada aturan dan hokum-Nya. Bukankah Allah swt. Telah berfirman :
Telah tampak keruskan di darat dan di laut karena perbuatan Manusia supaya Allah
menimpakan kepada mereka sebagian akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali
(ke jalan yang benar, jalan Allah). (TQS. ar-Rum : 41)
Ketiga, koreksi dari rakyat, termasuk ulama. Pemimpin bukanlah malaikat. Karenanya,
ia bisa saja salah. Jika pemimpin yang salah dibiarkan, kezaliman akan menjadi hal yang
dianggap wajar. Untuk itulah Islam mewajibkan adanya koreksi terhadap penguasa
(muhasabah li al-hukkam). Imam Ath-Thabari dalam Kitab At-Tarikh menyampaikan
bahwasanya Rasulullah telah berkata,
Siapa saja yang melihat penguasa lalim, yang menghalalkan apa yang diharamkan
oleh Allah, melanggar janji Allah, Menentang sunnah Rasulullah, melakukan dosa

dan permusuhan terhadap hamba Allah, lalu dia tidak mengubah dengan
perkataan atau perbuatan, maka Allah berhak untuk memasukkannya ke tempat
mereka masuk.

Ringkasnya, baik-buruk, benar salah, dan kuat-lemah pemimpin bergantung pada


pemimpin itu sendiri, system yang diembannya dan sikap dari masyarakat yang
dipimpinnya.
***
[Bandung Utara, Ibnu khaldun aljabari, 9 Juli 2008]

Jenis dan Macam Gaya Kepemimpinan / Pemimpin


Klasik Otoriter, Demokratis dan Bebas Manajemen Sumber Daya Manusia
Sun, 11/06/2006 - 7:38pm godam64

1. Gaya Kepemimpinan Otoriter / Authoritarian


Adalah gaya pemimpin yang memusatkan segala keputusan dan kebijakan yang diambil
dari dirinya sendiri secara penuh. Segala pembagian tugas dan tanggung jawab dipegang
oleh si pemimpin yang otoriter tersebut, sedangkan para bawahan hanya melaksanakan
tugas yang telah diberikan.
2. Gaya Kepemimpinan Demokratis / Democratic
Gaya kepemimpinan demokratis adalah gaya pemimpin yang memberikan wewenang
secara luas kepada para bawahan. Setiap ada permasalahan selalu mengikutsertakan
bawahan sebagai suatu tim yang utuh. Dalam gaya kepemimpinan demokratis pemimpin
memberikan banyak informasi tentang tugas serta tanggung jawab para bawahannya.
3. Gaya Kepemimpinan Bebas / Laissez Faire
Pemimpin jenis ini hanya terlibat delam kuantitas yang kecil di mana para bawahannya
yang secara aktif menentukan tujuan dan penyelesaian masalah yang dihadapi.

Anda mungkin juga menyukai