Anda di halaman 1dari 33

1

BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Cedera tulang belakang adalah cedera yang mengenai cervicalis,
vertebralis dan lumbalis akibat trauma jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu
lintas, kecelakaan olah raga, dan sebagainya. 1 Cedera seperti ini merupakan salah
satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia produktif.
Penilaian dan tindakan awal di ruang gawat darurat sangat menentukan
penatalaksanaan dan prognosis selanjutnya. Tindakan resusitasi anamnesis dan
pemeriksaan fisik umum serta neurologi harus segera dilakukan secara serentak
agar dapat mengurangi kemungkinan terlewatinya unsur vital.2
Cedera akut tulang belakang spinal cord merupakan penyebab yang paling
sering dari kecacatan dan kelemahan setelah trauma, karena alasan ini, evaluasi
dan pengobatan pada cedera tulang belakang, spinal cord dan nerve roots
memerlukan pendekatan yang terintegrasi. Diagnose dini, prevensi fungsi spinal
cord dan pemeliharaan alignment dan stabilitas merupakan kunci keberhasilan
manajemen penanganan.1
Fraktur cervicalis paling sering disebabkan oleh benturan kilat atau trauma
pukulan kepala. Setiap cedera kepala atau leher harus dievaluasi adanya fraktur
cervicalis. Sebuah fraktur cervicalis merupakan keadaan darurat medis yang
membutuhkan perawatan segera. Spne trauma mungkin terkait cedera saraf tulang
belakang dan dapat mengakibatkan kelumpuhan, sehingga sangat penting untuk
menjaga posisi leher tetap stabil, meskipun belum dijumpai adanya bukti otentik
mengenai fraktur cervicalis.1
Di Indonesia, insiden trauma kepala pada tahun 1995 sampai 1998 terdiri
dari tiga tingkat keparahan trauma kepala yaitu trauma kepala ringan sebanyak
60,3% (2463 kasus), trauma kepala sedang sebanyak 27,3% (114 kasus), dan
trauma kepala berat sebanyak 11% (448 kasus). Angka kejadian trauma kepala
pada tahun 2004 dan 2005 di RSCM FK UI mencatat sebanyak 1426 kasus.3

1.2 Rumusan Masalah


Referat ini membahas definisi, klasifikasi, etiologi, faktor risiko,
manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, penatalaksanaandan komplikasi pada
kasus fraktur cervicalis.

1.3 Tujuan Penulisan


1. Memahami

mengenai

penanganan

kegawatdaruratan

pada

fraktur

cervicalis.
2. Meningkatkan kemampuan dalam penulisan karya ilmiah di bidang
kedokteran.
3. Memenuhi salah satu persyaratan kelulusan Program Pendidikan Profesi
Dokter (P3D) di Departemen Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara RSUP Haji Adam Malik Medan.

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ADVANCE TRAUMA LIFE SUPPORT (ATLS)


Evaluasi dan tatalaksana dilakukan secara bersamaan, dimulai dengan
sistem yang menimbulkan ancaman paling cepat jika rusak. Sebuah mnemonic
yang membantu adalah A, B, C, D, E. Sistem diperiksa cepat untuk kelainan yang
serius (survey primer); pemeriksaan yang lebih rinci (survei sekunder) dilakukan
setelah pasien stabil.4
1. Airway
Patensi jalan napas terancam oleh gumpalan darah, gigi, atau benda asing di
orofaring; dan retraksi posterior lidah disebabkan oleh obtundasi (misalnya, dari
cedera kepala, shock, intoksikasi); dan edema atau hematoma karena trauma leher
langsung. Obstruksi ini dapat segera terlihat pada pemeriksaan langsung dari
mulut atau leher; pasien dapat berbicara cepat mengkonfirmasi bahwa jalan napas
tidak mungkin dalam bahaya langsung. Darah dan bahan asing dihapus oleh
penghisap atau secara manual. pasien dengan patensi jalan napas diragukan dan
pasien dengan cedera orofaringeal signifikan memerlukan intubasi endotrakeal;
biasanya obat pelumpuh dan sedasi diberikan sebelum intubasi. Jika pasien
memerlukan nafas buatan dan intubasi endotrakeal tidak mungkin (misalnya,
karena edema jalan napas yang disebabkan oleh luka bakar) atau kontraindikasi
(misalnya,

karena

cedera

maksilofasial

parah),

cricothyrotomy

bedah

diindikasikan..4
Pada Airway juga harus diperhatikan kontrol servikal , karena harus
dipastikan ada trauma atau fraktur servikal/tidak. Trauma dari Os. Clavicula
keatas sudah dianggap pasien trauma inhalasi.Pada korban trauma yang tidak
sadar adan atau tidak diketahui mekanisme terjadinya trauma dengan pasti,
meskipun tidak ditemukan adanya tanda cedera leher, patut dicurigai mengalami
cedera leher. Tindakan yang menyebabkan bergeraknya servikal pada cedera leher
dapat menyebabkan henti napas dan henti jantung seketika.Kontrol servikal dapat

dilakukan dengan bantuan colar neck atau dengan bantuan bendakeras lainnya
yang dapat menahan kepala dan leher untuk tidak bergerak. Dapat pula
menggunakan kedua tangan atau paha penolong (jika penolong lebih dari 1 orang)
sambal melakukan control pada jalan napas korban.5

2. Pernapasan
Ventilasi terancam oleh penurunan pusat pernafasan (biasanya dari cedera
kepala, keracunan, atau syok yang hampir fatal) atau cedera dada (misalnya,
hemothorax atau pneumotoraks, beberapa patah tulang rusuk, memar paru).
Kecukupan

pertukaran

udara

biasanya

jelas

pada

auskultasi.

Tension

pneumotoraks dapat menyebabkan trakea menyimpang ke sisi yang berlawanan


cedera, serta penurunan suara nafas dan pembuluh darah leher kadang-kadang
buncit. Pneumotoraks didekompresi oleh tabung dada dan harus disingkirkan
sebelum memulai ventilasi tekanan positif (yang mungkin nyata memperbesar
pneumotoraks dan mengubahnya menjadi pneumothorax ventil). Diduga tension
pneumothorax dapat didekompresi dengan jarum thoracostomy (misalnya, jarum
14-gauge dimasukkan di linea, ruang interkostal 2) untuk menstabilkan pasien jika
tabung dada tidak dapat segera dipasang. Ventilasi yang kurang diatasi dengan
intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.4
3. Sirkulasi
Perdarahan eksternal yang signifikan dapat terjadi dari setiap pembuluh
darah besar tapi selalu jelas. perdarahan internal yang mengancam jiwa sering
kurang jelas. Namun, perdarahan volum ini dapat terjadi hanya dalam beberapa
kompartemen tubuh: dada, perut, dan jaringan lunak dari panggul atau paha
(misalnya, dari patah tulang panggul atau femur). Pulse dan BP dinilai, dan tandatanda syok dicatat (misalnya, takipnea, warna kehitaman, diaphoresis, perubahan
status mental). distensi abdomen dan nyeri tekan, ketidakstabilan panggul, dan

paha deformitas dan ketidakstabilan sering hadir ketika perdarahan internal yang
di daerah cukup besar untuk mengancam nyawa.
Perdarahan eksternal dikendalikan oleh tekanan langsung. Dua infuse bore
besar (misalnya, 14- atau 16-gauge) dimulai dengan NaCl 0,9% atau Ringer
laktat; infus yang cepat dari 1 sampai 2 L (20 mL / kg untuk anak-anak) diberikan
untuk tanda-tanda shock dan hipovolemia. Selanjutnya, cairan tambahan dan, jika
perlu, terapi komponen darah diberikan sesuai indikasi. Pasien yang ada
kecurigaan klinis yang kuat dari perdarahan intra-abdominal serius mungkin
memerlukan laparotomi segera. Pasien dengan perdarahan intrathoracic besar
mungkin memerlukan torakotomi segera dan mungkin autotransfusi darah melalui
tabung thoracostomy.4
4. Disability
Fungsi neurologis dievaluasi untuk defisit serius yang melibatkan otak dan
sumsum tulang belakang. Skala Glasgow Coma dan pupil respon terhadap cahaya
yang digunakan untuk skrining cedera intrakranial serius. gerakan motorik kasar
dan sensasi di setiap ekstremitas dievaluasi untuk menyaring cedera tulang
belakang yang serius. Tulang belakang leher yang teraba kelembutan dan
deformitas dan distabilisasi dengan kerah kaku sampai cedera tulang belakang
leher disingkirkan.
Dengan stabilisasi manual yang hati-hati dari kepala dan leher, pasien
dilakukan logrolled ke samping untuk memungkinkan palpasi toraks dan lumbar
tulang belakang, pemeriksaan punggung, dan pemeriksaan dubur untuk
memeriksa tonus (tonus menurun menunjukkan kemungkinan cedera tulang
belakang), prostat, dan adanya darah. Pasien dengan cedera otak traumatis berat
(GCS <9) membutuhkan intubasi endotrakeal, evaluasi bedah saraf, dan terapi
untuk mencegah cedera otak sekunder (misalnya, diuresis osmotik, kadangkadang hiperventilasi untuk pasien dengan tanda-tanda akan terjadinya herniasi
otak).4

5. Paparan / pengendalian lingkungan


Untuk memastikan cedera tidak terlewatkan, pasien benar-benar ditelanjangi
(dengan memotong pakaian) dan seluruh permukaan tubuh diperiksa untuk tandatanda trauma tersembunyi. Pasien tetap dijaga hangat (misalnya, dengan selimut
dipanaskan dan dengan hanya menggunakan cairan IV hangat) untuk mencegah
hipotermia.4
Survei sekunder
Setelah ancaman kehidupan dinilai dan pasien stabil, evaluasi yang lebih
menyeluruh dilakukan, dan anamnesis menyeluruh dilakukan. Jika hanya
percakapan terbatas yang memungkinkan, anamnesis "AMPLE" dapat mencakup
informasi penting:4

Alergi
Medikasi/ Obat
Past Medical History/ Riwayat penyakit terdahulu
Last meal/ Makanan terakhir
Events dari cedera
Setelah pasien benar-benar telanjang, pemeriksaan umumnya dari kepala

sampai kaki; itu mencakup semua lubang dan tampilan yang lebih rinci pada
daerah diperiksa dalam survei awal. Semua jaringan lunak diperiksa untuk lesi
dan pembengkakan, tulang-tulang yang teraba nyeri tekan, dan berbagai gerakan
yang

dinilai

dalam

sendi

(kecuali

ada

fraktur

jelas

ataucacat).

Sebuah kateter kemih biasanya ditempatkan pada pasien terluka parah


tanpa ada bukti dari cedera uretra (misalnya, darah di meatus, ecchymosis
perineum, prostat letak tinggi). pasien luka serius sering juga memiliki dipasang
tabung nasogastrik, asalkan tidak ada midface trauma yang serius.4
Luka terbuka ditutupi dengan perban steril, tapi pembersihan dan
perbaikan ditunda sampai selesai evaluasi dan pengobatan cedera yang lebih
serius. dislokasi Serius yang secara klinis jelas ditandai dengan deformitas atau
kelainan neurovaskular dicitrakan dan dikurangi sesegera setelah ancaman
kehidupan langsung telah ditangani.

2.2 Anatomi Servikal

Vertebra servikalis adalah bagian bawah kepala dengan ruas-ruas tulang


leher yang berjumlah 7 buah (CV I CV VII). Vertebra servikalis merupakan
bagian terkecil di tulang belakang. Secara anatomi vertebra servikalis dibagi
menjadi dua daerah yaitu daerah servikal atas (CV1 dan CV2) dan daerah servikal
bawah (CV1 sampai CV7). Diantara ruas-ruas tersebut, ada tiga ruas servikal
yang memiliki struktur anatomi yang unik. Ketiga ruas telah diberi nama khusus,
antara lain CV1 disebut atlas, CV2 disebut axis, dan CV7 disebut prominens
vertebra.5
Ruas tulang leher umumnya mempunyai ciri yaitu badannya kecil dan
persegi panjang, lebih panjang dari samping ke samping daripada dari depan ke
belakang. Vertebra servikalis mempunyai korpus yang pendek dan korpus ini
berbentuk segiempat dengan sudut agak bulat jika dilihat dari atas. Tebal korpus
bagian depan dan bagian belakang sama. Lengkungnya besar mengakibatkan
prosesus spinosus di ujungnya memecah dua atau bifida. Prosesus tranversusnya
berlubang-lubang karena banyak foramina untuk lewatnya arteri vertebralis.6
2.2.1 Pembagian Vertebra Servikalis
Ada 7 vertebra servikalis, tiga diantaranya memiliki struktur anatomi yang
unik dan telah diberi nama khusus. Vertebra servikalis 1 disebut atlas, vertebra
servikalis 2 disebut axis, dan vertebra servikalis 7 disebut vertebra prominens.5

Tulang servikal paling rentan terhadap cedera karena mobilitas dan


paparannya. Kanalis servikalis melebar di bagian atas yang terbentuk mulai dari
foramen magnum hingga ke bagia bawah C2. Mayoritas pasien yang selamat
dengan cedera pada bagian ini tidak mengalami gangguan neurologis pada saat
datag kerumah sakit. Namun kira-kira sepertiga pasien dengan cedera tulang
servikal bagian atas meninggal di tempat kejadian akibat apneu diakibatkan
hilangnya inervasi nervusfrenikus karena trauma di C1. Di bawah C3 relatif lebih
kecil dibandingkan dengandiameter medulla spinalis dan trauma pada kolumna
vertebralis lebih mudah menyebabkan cedera medulla spinalis.6
Mobilitas tulang torakal lebih terbatas dibandingkan servikal dan
mempunyai penyokong tambahan dari tulang iga. Sehingga insidens fraktur
torakal lebih kecildan mayoritas fraktur torakal adalah wedge compressions
yang tidak menyebabkan cedera medulla spinalis. Namun bila terjadi fraktur
dislokasi torakal maka hampir selalu menyebabkan cedera medulla spinalis
komplit karena kanalis torakal yangrelative sempit. Sendi torakolumbal menjadi
daerah yang lemah karena berada antara daerah torakal yang tidak fleksibel dan
daerah lumbal yang lebih kuat. Hal ini menyebabkan lebih rentan terhadap cedera
dan 15% cedera spinal terjadi pada daerah ini.5

2.3 Definisi
Terdapat

beberapa

pengertian

mengenai

fraktur,sebagaimana

yangdikemukakan para ahli melalui berbagai literature.5


Menurut FKUI (2000), fraktur adalah rusaknya dan terputusnya
kontinuitastulang, sedangkan menurut Boenges, ME., Moorhouse, MF dan
Geissler, AC (2000)fraktur adalah pemisahan atau patahnya tulang. Back dan
Marassarin (1993)berpendapat bahwa fraktur adalah terpisahnya kontinuitas
tulang normal yang terjadikarena tekanan pada tulang yang berlebihan. Jadi
fraktur servikal adalah rusaknyadan terputusnya kontinuitas servikal.5
2.4 Epidemiologi
Kecelakaan

merupakan

penyebab

kematian

ke

empat,

setelah

penyakit jantung, kanker dan stroke, tercatat 50 meningkat per 100.000 populasi
tahun,3% penyebab kematian ini karena trauma langsung medula spinalis, 2%
karena multiple trauma. Insidensi trauma pada laki-laki 5 kali lebih besar dari
perempuan.Ducker dan Perrot melaporkan 40% spinal cord injury disebabkan
kecelakaan lalulintas, 20% jatuh, 40% luka tembak, sport, kecelakaan kerja.
Lokasi fraktur ataufraktur dislokasi cervical paling sering pada C2 diikuti dengan
C5 dan C6 terutama pada usia dekade 3.7
2.5 ETIOLOGI 5,6
Penyebab trauma tulang belakang adalah kecelakaan lalu lintas (44%),
kecelakaan olah raga(22%),terjatuh dari ketinggian(24%), kecelakaan kerja.
Lewis (2000) berpendapat bahwa tulang bersifat relatif rapuh namun
mempunyai cukup kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan.
Fraktur dapat diakibatkan oleh beberapa hal yaitu:
a. Fraktur akibat peristiwa trauma
Sebagian fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba berlebihan yang
dapat berupa pemukulan, penghancuran, perubahan pemuntiran ataupenarikan.
Bila tekanan kekuatan langsung tulang dapat patah pada tempat yang terkena dan
jaringan lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan

10

fraktur lunak juga pasti akan ikut rusak. Pemukulan biasanya menyebabkan
fraktur

melintang

dan

kerusakan

pada

kulit

diatasnya.

Penghancuran

kemungkinan akan menyebabkan fraktur komunitif disertai kerusakan jaringan


lunak yang luas.
b. Fraktur akibat kelelahan atau tekanan
Retak dapat terjadi pada tulang seperti halnya pada logam dan benda lain
akibat tekanan berulang-ulang. Keadaan ini paling sering dikemukakan pada tibia,
fibula atau matatarsal terutama pada atlet, penari atau calon tentara yang berjalan
baris-berbaris dalam jarak jauh.
c. Fraktur patologik karena kelemahan pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang tersebut lunak
(misalnya oleh tumor) atau tulang-tulang tersebut sangat rapuh.

Pathogenesis8
Ketika patah tulang, akan terjadi kerusakan di korteks, pembuluh darah,
sumsum

tulang

dan jaringan

lunak. Akibat

dari hal tersebut

terjadi perdarahan, kerusakan tulang dan jaringan sekitarnya. Keadaan ini


menimbulkan hematom pada kanal medulla antara tepi tulang dibawah periostium
dengan jaringan tulang yang mengatasi fraktur.
Terjadinya respon inflamsi akibat sirkulasi jaringan nekrotik adalah
ditandai dengan vasodilatasi dari plasma dan leukoit. Ketika terjadi kerusakan
tulang, tubuh mulai melakukan proses penyembuhan untuk memperbaiki cedera,
tahap ini menunjukkan tahap awal penyembuhan tulang. Hematom

yang

terbentuk bisa menyebabkan peningkatan tekanan dalam sumsum tulang yang


kemudian merangsang pembebasan lemak dan gumpalan lemak tersebut masuk ke
dalam pembuluh darah yang mensuplai organ-organ yang lain.
Hematom menyebabkan dilatasi kapiler di otot, sehingga meningkatkan
tekanan kapiler, kemudian menstimulasi histamin pada otot yang iskhemik dan

11

menyebabkan protein plasma hilang dan masuk ke interstitial. Hal ini


menyebabkan terjadinya edema. Edema yang terbentuk akan menekan ujung
syaraf, yang bila berlangsung lama bisa menyebabkan syndroma compartement.
Gambaran Klinis11
Gambaran klinis tergantung dari letak dan besarnya kerusakan yang
terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran hilangnya fungsi motork
mahu punsensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal
terjadi karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya
terjadi selama satu hingga enam minggu. Tandannya adalah kelumpuhan flasid,
anesthesia, arefleksia, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung
kemih, priapismus, bradikardia dan hipotermai. Setelah syok spinal pulih akan
terdapat hiperrefleksia.
Sindrom

sumsum

tulang

belakang

bagian

depan

menunjukkan

kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disetai hilangnya sensasi nyeri
dan suhu kedua sisinya, sedangkan sensasi raba dan posisi tidak terganggu.
Cedera sumsum tulang belakang sentral jarang terjadi. Pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabakan hiperekstensia mendadak
sehingga sumsum tulang belakang terdesak oleh ligamentum flavum yang terlipat.
Gambaran klinis berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas bawah
lebih ringand aripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak
tergananggu.
Sindrom brown-sequard disebabkan oleh kerusakan paruh lateral sumsum
tulang belakang. Sindrom ini jarang ditemukan gejalanya berupa gangguan
motorik dan hilangnya rasa vibrasi pada posisi ipsilateral. di kontralateral terdapat
gangguan rasa nyeri dan suhu. Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra L1-L2
mengakibatkan anesthesia perianaal, ganggguan fungsi defleksi, miksi,impotensi,
serta hilangnya reflex anal dan reflex bulbokavernosa.

12

Sindrom kauda equine disebabkan oleh kompresi pada radiks lumbo sacral
setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan leumpuhan dan anesthesia
didaerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis.

Klasifikasi trauma servikal berdasarkan mekanismenya 8


A.Klasifikasi berdasarkan mekanisme trauma:
Trauma Hiperfleksi
1. Subluksasi anterior terjadi robekan pada sebagian ligament di posterior
tulang leher ;ligament longitudinal anterior utuh. Termasuk lesi stabil.
Tanda penting pada subluksasi anterior adalah adanya angulasi ke
posterior(kifosis) local pada tempat kerusakan ligament.
Tanda-tanda lainnya :
-Jarak

yang

melebar

antara

proses

spinosus

-Subluksasi sendi apofiseal

Subluksasi anterior
dislocation

Bilateral interfacetal

13

2. Bilateral interfacetal dislocation. Terjadi robekan pada ligamen longitudinal


anterior dan kumpulanligament di posterior tulang leher. Lesi tidak stabil.
Tampak diskolasianterior korpus vertebrae. Dislokasi total sendi apofiseal.
3. Flexion tear drop fracture dislocation Tenaga fleksi murni ditambah
komponen kompresi menyebabkan robekan pada ligamen longitudinal
anterior dan kumpulan ligament posterior disertai fraktur avulse pada
bagian antero-inferior korpus vertebra. Lesi tidak stabil. Tampak tulang
servikal dalam fleksi :-Fragmen tulang berbentuk segitiga pada bagian antero-inferiorkorpus
vertebrae-Pembengkakan jaringan lunak pravertebral

Flexion tear drop fracture

Wedge fracture-

VertebraWedge fracture-

4. Vertebra terjepit sehingga berbentuk baji. Ligament longitudinal


anterior dan kumpulan ligament posterior utuh sehingga lesi ini bersifat
stabil

14

5. Clay shovelers fracture: Fleksi tulang leher dimana terdapat kontraksi


ligament posterior tulang leher mengakibatkan terjadinya fraktur oblik
pada prosesus spinosus ;biasanya pada CVI-CVII atau Th1.

Clay shovelers fracture


6. Trauma Hiperekstensi: Fraktur dislokasi hiperekstensi dapat terjadi fraktur
pedikel, prosesus artikularis, lamina dan prosessus spinosus. Fraktur avulse
korpus vertebra bagian postero-inferior. Lesi tidak stabil karena terdapat
kerusakan pada elemen posterior tulang leher dan ligament yang bersangkutan.

7. Hangmans fracture terjadi fraktur arkus bilateral dan dislokasi anterior C2


terhadap C3

Ekstensi-rotasi terjadinya fraktur pada prosesus artikularis satu

sisi.Kompresi vertical terjadinya fraktur ini akibat diteruskannya tenaga trauma


melalui kepala,kondilus oksipitalis, ke tulang leher.

15

Hangmans fracture

Bursting fracture dari atlas

(Jefferson)

Diagnosis
Evaluasi radiografi diindikasikan pada kondisi-kondisi sebagai berikut:

Pasien yang menunjukkan defisit neurologis konsisten dengan cord lesion

Pasien dengan gangguan sensori yang didapatkan dari cedera kepala atau
intoksikasi

Pasien yang mengeluh nyeri atau kekakuan pada leher

1. CT-scan :Pemeriksaan ini dapat memberikan visualisasi yang baik pada


komponen tulangservikal dan sangat membantu terdapat fraktur akut.
Akurasi

pemeriksaan

CT

berkisar antara 72 -91 % dalam mendeteksi adanya herniasi diskus.


Akurasi dapat mencapai 96 % bila mengkombinasikan CT dengan
myelografi.
2. MRI: MRI dapat mendeteksi kelainan ligamen maupun diskus. Seluruh
daerah medulla spinalis, radiks saraf, dan tulang vertebra dapat

16

divisualisasikan. Hasil pemeriksaan ini tetap harus dihubungkan dengan


riwayat perjalanan penyakit,keluhan maupun pemeriksaan klinis.

3. Elektromiografi (EMG): Pemeriksaan EMG membantu mengetahui


apakah suatu gangguan bersifat neurogenik atau tidak, karena pasien
dengan spasme otot dan artritis juga mempunyai gejala yang sama. Selain
itu juga untuk menentukan level dariiritasi/kompresi radiks, membedakan
lesi radiks dan lesi saraf perifer,membedakan adanya iritasi atau
kompresi.
Kritria NEXUS
A patient with suspected c-spine injury can be cleared providing the following:

No posterior midline cervical spine tenderness is present.

No evidence of intoxication is present.

The patient has a normal level of alertness.

No focal neurologic deficit is present.

The patient does not have a painful distracting injury.

Penatalaksanaan
Pada tipe yang stabil atau tidak stabil temporer, dilakukan imobilisasi
dengan gips atau alat penguat. Pada patah tulang belakang dengan ganggua
nneurologik komplit, tindakan pembedahan terutama ditujukan untuk stabilisasi
patah tulangnya untuk memudahkan perawatan atau untuk dapat dilakukan
mobilisasi dini. Mobilisasi dini merupakan syarat penting sehingga penyulit yang
timbul pada kelumpuhan akibat cedera tulang belakang seperti infeksi saluran
nafas, infeksi saluran kencing atau dekubitus dapat dicegah. 12

17

Pembedahan juga dilakukan dengan tujuan dekompresi yaitu melakukan


reposisi untuk menghilangkan penyebab yang menekan medula spinalis, dengan
harapan dapat mengembalikan fungsi medulla spinalis yang terganggu akibat
penekanan tersebut. Dekompresi paling baik dilaksanakan dalam waktu enam jam
pasca trauma untuk mencegah kerusakan medula spinalis yang permanen. Tidak
boleh dilakukan dekompresi dengan cara laminektomi, karena akan menambah
instabilitas tulang belakang.12
Perhatian utama pada penderita cedera tulang belakang ditujukan pada
usaha mencegah terjadinya kerusakan yang lebih parah atau cedera sekunder, iaitu
dengan dilakukannya imobilisasi di tempat kejadian dengan memanfaatkan alas
yang keras. Pengangkutan penderita tidak dibenarkan tanpa menggunakan tandu
atau sarana apapun yang beralas keras. Hal ini dilakukan pada semua penderita
yang dicurigai berdasarkan jenis kecelakaan, penderita yang merasa nyeri
didaerah tulang belakang,terutama bila terdapat kelemahan pada ekstremitas yang
disertai mati rasa. Selain itu harus selalu diperhatikan jalan napas dan sirkulasi.
Bila dicurigai cedera di daerah servikal, harus diusahakan agar kepala tidak
menunduk dan tetap di tengah dengan menggunakan bantal kecil atau gulungan
kain untuk menyangga leher pada saat pengangkutan.Setelah semua langkah
tersebut dipenuhi, baru dilakukan pemeriksaan fisik dan neurologik yang lebih
cermat.9
Prinsip umum
1. Pikirkan selalu kemungkinan adanya cedera spinal.Mencegah terjadinya cedera
kedua. Waspada akan tanda yang menunjukkan jejas lintang.Lakukan evaluasi dan
rehabilitasi
Tindakan
1..Adakan imobilisasi di tempat kejadian (dasar papan)
2

Optimaliasi faal ABC : jalan napas,pernapasan dan perderan darah

Penanganan kelainan yang lebih urgen

18

Metilpredinsolon dosis tinggi merupakan satu satu terapi farmakologik


yang terbukti efektif pada uji klinis tahap 3 sehingga dianjurkan untuk digunakan
sebagai terapi cedera medula spinalis traumatic. Metilpredinsolon merupakan
terapi yang paling umum digunakan untuk cedera medula spinalis traumatika.
Metilprednisolon menurunkan inflamasi dengan menekan migrasi leukosit
polimorfonuklear dan mengembalikan permeabilitas kapiler yang sebelumnya
mengalami peningkatan.13
Fisioterapi
Tindakan rehabilitasi medik merupakan kunci utama dalam penanganan
pasien cedera medula spinalis. Fisioterapi, terapi okupulasi dan blader training
pada pasien ini dikerjakan seawal mungkin. Tujuan utama fisioterapi adalah
mempertahankan ROM(Range of Movement) dan kemampuan mobilitas, dengan
memperkuat fungsi otot-otot yang ada.
Terapi

Okupasional

terutama

ditujukan

untuk memperkuat dan

memperbaikifungsi ektermitas atas, mempertahankan kemampuan aktivitas hidup


sehari hari/activities of daily living (ADL). Pembentukan kontraktur harus
dicegah seoptimal mungkin.9
Penatalaksanaan Operatif :
Tujuan dari

penanganan

operasi

adalah

untuk mereeduksi

mal

alignment,dekompresi elemen neural dan mengembalikan stabilitas spinal.


Macam tindakan yang dilakukan dapat berupa operasi anterior dan posterior.9
Penggunaan Cervical Collar
Ada banyak jenis kolar yang telah dipelajari untuk membatasi gerak leher.
Kolar kaku/ keras memberikan pembatasan gerak yang lebih banyak
dibandingkan kolar lunak (soft collars), kecuali pada gerak fleksi dan ekstensi.
Kelebihan kolar lunak yaitu memberikan kenyamanan yang lebih pada pasien.
Salah satu studi menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien untuk
menggunakan kolar berkisar 68-72%. Penggunaan kolar sebaiknya selama
mungkin sepanjang hari. Setelah gejala membaik, kolar dapat digunakan hanya

19

pada keadaan khusus, seperti saat menyetir kendaraan dan dapat tidak digunakan
lagi bila gejala sudah menghilang.Sangat sulit untuk menyatakan waktu yang
tepat kolar tidak perlu digunakan lagi,namun hilangnya rasa nyeri, hilangnya
tanda spurling dan perbaikan defisit motorik dapat dijadikan sebagai petunjuk.12

Komplikasi7
Beberapa komplikasi yang dapat terjadi antara lain
1. Syok neurogenik. Syok neurogenik merupakan hasil dari kerusakan jalur
simpatik desending pada medulla spinalis. Kondisi ini mengakibatkan
kehilangan tonus vasomotor dan kehilangan persarafan simpatis pada
jantung sehingga menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah visceral serta
ekstremitas bawah maka terjadi penumpukan darah dan konsekuensinya
terjadi hipotensi.
2. Syok spinal. Syok spinal adalah keadaan flasid dan hilangnya refleks,
terlihat setelah terjadinya cedera medulla spinalis. Pada syok spinal
mungkin akan tampaks eperti lesi komplit walaupun tidak seluruh bagian
rusak.
3. Hipoventilasi. Hal ini disebabkan karena paralisis otot interkostal yang
merupakan hasil dari cedera yang mengenai medulla spinalis bagian di
daerah servikal bawah atau torakal atas.
4. Hiperfleksia autonomic. Dikarakteristikkan oleh sakit kepala berdenyut,
keringat banyak, kongesti nasal,bradikardi dan hipertensi

BAB 3
STATUS PASIEN

20

3.1.

Anamnesis
Tuan L, 20 tahun, 70 kg, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam

Malik dengan keluhan penurunan keempat anggota gerak tidak bisa digerakkan.
Hal ini dialami pasien sejak 18 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengalami kecelakaan saat bekerja, dimana pasien terjatuh dari ketinggian 3,5
meter. Pasien terjatuh dengan posisi bahu kanan terlebih dahulu menyentuh tanah.
Pasien tidak menggunakan helm atau alat pelindung diri pada saat kejadian.
Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS deli serdang oleh spesialis
saraf, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. Riwayat pingsan tidak
dijumpai. Riwayat nyeri kepala dijumpai. Riwayat kejang tidak dijumpai. Riwayat
mual muntah tidak dijumpai. Setelah kejadian pasien tidak bisa BAK. Saat ini
kateter terpasang dan urin dijumpai.
RPT

: Tidak ada

RPO

: Tidak Jelas

Time Sequence

20 Februari 2016
Pukul 13.30 wib
Masuk IGD
RSUP H. Adam
Malik

20 Februari 2016
Pukul 15.00 wib
konsul tindakan
anastesi dan acc
untuk rawat ICU
Pukul 19.00 wib
acc rawat ICU

20 Februari 2016
Pukul 20.00 wib
Rawat ICU

21

3.2.

Primary Survey

Tanda dan Gejala


Kesimpulan
A (airway)
Airway clear
Snoring (-)
Gargling (-)
Crowing (-)
C- Spine : in line

Penanganan
Hasil
Pasang
neck Airway clear
Pasang
neck
collar
collar

immobilization
Maxillofacial
injury
(+)
B (breathing)
Inspeksi
Nafas spontan
Thorax simetris
Pernafasan

RR: 24 x/menit

via RR : 24x/menit
SaO2: 98-99%
sungkup 10L/i
Oksigen

tipe

abdominal
Perkusi:
Sonor kedua lapangan
paru
Auskultasi
SP/ST: vesikuler/(-)
SaO2: 98-99%
RR : 24 x/menit
C (circulation)
Sirkulasi baik
Capillary Refill Time <
2 detik
Akral hangat, merah,

( E4M6V5 )
AVPU: alert

IV TD:

line 18G
Pemberian

110/80

mmHg

kristaloid (RL)

Pasien sadar
15

Pasang

cairan

kering
T/V cukup
TD: 110/70mmHg
HR:
98
x/menit,
regular
Perdarahan : D (disability)
Kesadaran: GCS

Mempertahankan
A-B-C
lancar

tetap

Pasien sadar

22

pupil : 3 mm : 3 mm,
isokor
Rc : +/+
E (exposure)
Oedema (-)

3.3.

Secondary Survey

B1 : airway clear, RR : 24x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ; MLP : I


B2 : akral : H/M/K, TD : 150/90, HR : 98-100x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 37.2C


B3 : Sens : GCS 15 (E4, M6, V5) ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm/

kanan 3mm; RC: +/+


B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-), fraktur : (-)
Kesan: Spondilosis cervicalis

Kesan: spondilosis cervicalis

23

Kesan: tidak tampak fraktur pada


tulang-tulang wajah

Kesan: Fraktur costae 3 posterior kiri

Kesan: Spondilosis Lumbalis

Kesan: spondilosis thorakalis

24

Kesan: Tidak di jumpai kelainan

4.

Penanganan IGD

Membebaskan jalan nafas dengan jaw thrust dan in line immobilization,


pemasangan colar braise.

Pemberian oksigen 8L/I via mask.

Pemasangan IV line dengan abocath 18 G untuk melakukan stabilisasi


hemodinamik, dan pemberian cairan ringer laktat 20gtt/i.

Pemasangan kateter urine dan memantau urine output

Pemasangan NGT

Pemeriksaan laboratorium, xray cervical AP/L, xray thoracolumbal AP/L,


xray lumbosacral AP/L, xray pelvic AP.

3.5.

Pemeriksaan Penunjang

3.5.1. Laboratorium IGD


Jenis pemeriksaan
HEMATOLOGI
Hemoglobin (HGB)
Leukosit (WBC)
Hematokrit
Trombosit (PLT)
FAAL HEMOSTASIS
PT
APTT
TT
INR

Hasil

Rujukan

11,1 g%
9,140 mm3
32%
187 x 103

11,715,5
4,511,0x103
3844%
150450x103

13.9 (14) detik


29.9 (33.5) detik
13.2 (17) detik
0,99

25

GINJAL
Ureum
30 mg/dL
Kreatinin
0.95 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium (Na)
130 mEq/L
Kalium (K)
3.6 mEq/L
Klorida (Cl)
107 mEq/L
METABOLISME KARBOHIDRAT
Glukosa Darah (Sewaktu) 165 mg/dL

<50 mg/dL
0,500,90 mg/dL
135155 mEq/L
3,65,5 mEq/L
96106 mEq/L
<200 mg/dL

Kesimpulan:
Anemia normokrom normositer
3.6.

Diagnosis
Tetraplegia ec Fraktur cervicalis 4-5

3.7.

Follow-Up Pasien

21 Februari 2016
S : Tetraplegia
O:

B1 : airway clear RR : 22x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

NRM 6L/I, satO2: 98%, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ; MLP : I


B2 : akral : H/P/K, TD : 140/80, HR : 60x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 37.0C


B3 : Sens : GCS 15 (E4, M6, V5) ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm /

kanan 3mm; RC: +/+


B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-), fraktur : (+)

A: Tetraplegi ec fraktur cervical 4-5

26

P:

Bedrest in line position + collar neck


IVFD RL 20 gtt/i
IVFD Aminofusin 1 fls/hari
Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein
Inj Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Paracetamol 1gr/8jam
Inj Ranitidin 50mg/12jam

R:
MRI cervical
22 Februari 2016
S : Tetraplegia
O:

B1 : airway clear RR : 22x/menit, SP : vesikuler, ST : - , S/G/C = -/-/-,

NRM 6L/I, satO2: 98%, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ; MLP : I


B2 : akral : H/P/K, TD : 130/90, HR : 68x/menit, T/V : kuat/cukup ,

CRT: < 2 detik, T : 37.0C


B3 : Sens : GCS 15 (E4, M6, V5) ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm /

kanan 3mm; RC: +/+


B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-), fraktur : (+)

A: Tetraplegi ec fraktur cervical 4-5


P:

Bedrest in line position + collar neck


IVFD RL 20 gtt/i
IVFD Aminofusin 1 fls/hari
Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein
Inj Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Paracetamol 1gr/8jam
Inj Ranitidin 50mg/12jam

27

R:
MRI cervical
23-29 Februari 2016
S : Tetraplegia
O:

B1 : airway clear,terintubasi RR : 14x/menit, SP : bronkial, ST : - ,


S/G/C =

-/-/-, satO2: 98%, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ;

MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 130-140/80-90, HR : 60x/menit, T/V :

kuat/cukup , CRT: < 2 detik, T : 36.8-37C


B3 : Sens : (E3, VT, M4) ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm / kanan

3mm; RC: +/+


B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(-)

A: Tetraplegi ec fraktur cervical 4-5


P:

Bedrest in line position + collar neck


IVFD RL 20 gtt/i
IVFD Aminofusin L600 7 gtt/i
Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein
Inj Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Ranitidin 50mg/12jam
Inj Fentanyl 200mcg/50cc NaCl 0,9% 5cc/jam

R:
MRI cervical
25-26 Februari 2016
S : Tetraplegia

28

O:

B1 : airway clear,terintubasi RR : 14x/menit, SP : bronkial, ST : - ,


S/G/C =

-/-/-, satO2: 98%, Riw asma/sesak/batuk/alergi : -/-/-/- ;

MLP : I
B2 : akral : H/P/K, TD : 130-140/80-90, HR : 60x/menit, T/V :

kuat/cukup , CRT: < 2 detik, T : 36.8-37C


B3 : Sens : DPO ; pupil : isokor, diameter kiri 3mm / kanan 3mm; RC:

+/+
B4 : BAK (+) vol : 50cc/jam, warna : kuning jernih
B5 :abdomen : soepel, peristaltik (+) normal
B6 : oedem(+)

A: Tetraplegi ec fraktur cervical 4-5


P:

R: -

Bedrest in line position + collar neck


IVFD RL 20 gtt/i
IVFD Aminofusin L600 7 gtt/i
IVFD Dex 5%
Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein
Inj Fentanyl 200mcg/50cc NaCl 0,9% 5cc/jam
Inj Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Ranitidin 50mg/12jam
Inj Paracetamol 1 gr/8jam
Inj Methylprednisolon 125mg/12jam
Inj Rocuronium 5cc/jam

29

BAB 4
PEMBAHASAN
TEORI

KASUS

Epidemiology dan Etiology


Laki-laki 5 kali lebih besar dari OS laki-laki berusia 65 tahun
perempuan
Pasien mengalami kecelakaan saat
40% spinal cord injury disebabkan
bekerja, dimana pasien terjatuh dari
kecelakaan lalulintas, , 40% luka
ketinggian 3,5 meter.
tembak, 20% kecelakaan kerja
Fraktur cervicalis 4-5
Lokasi
fraktur
ataufraktur
dislokasi cervical paling sering
pada C2 diikuti dengan C5 dan C6
terutama pada usia dekade 3
Diagnosis
Penilaian terhadap komponen
Sens : GCS 15 (E4, M6, V5)
GCS
pupil : isokor, diameter kiri
Pemeriksaan neurologis lengkap
3mm/ kanan 3mm; RC: +/+
dilakukan segera
Pemeriksaan darah lengkap untuk
menentukan
baseline
untuk Pada pasien dilakukan xray: cervical
AP/L, xray thoracolumbal AP/L, xray
memantau
perdarahan
yang
lumbosacral AP/L, xray pelvic AP
sedang berlangsung.
X ray 3 view.
CT scan
MRI
Penatalaksanaan Awal
Airway : Patensi jalan napas
terancam oleh gumpalan darah,
gigi, atau benda asing di orofaring;
dan retraksi posterior lidah
disebabkan
oleh
obtundasi
(misalnya, dari cedera kepala,
shock, intoksikasi); dan edema
atau hematoma karena trauma
leher langsung.
Breathing : Ventilasi terancam
oleh penurunan pusat pernafasan
(biasanya dari cedera kepala,
keracunan, atau syok yang hampir
fatal) atau cedera dada.
Circulation: Perdarahan eksternal

Membebaskan
jalan
nafas
dengan jaw thrust dan in line
immobilization,
pemasangan
colar brace.

airway clear, RR : 24x/menit, SP


: vesikuler, ST : - ,Pemberian
oksigen 8L/I via mask.

akral : H/M/K, TD : 150/90,


HR : 98-100x/menit, T/V :
kuat/cukup , CRT: < 2 detik, T :
37.2C
-Pemasangan IV line dengan
abocath 18 G untuk melakukan
stabilisasi hemodinamik, dan

30

dikendalikan
oleh
tekanan
langsung. Dua infuse bore besar
(misalnya, 14- atau 16-gauge)
dimulai dengan NaCl 0,9% atau
Ringer laktat; infus yang cepat
dari 1 sampai 2 L (20 mL / kg
untuk anak-anak) diberikan untuk
tanda-tanda
shock
dan
hipovolemia.
Disability: Fungsi neurologis
dievaluasi untuk defisit serius
yang melibatkan otak dan sumsum
tulang belakang.
Exposure: Untuk memastikan
cedera tidak terlewatkan, pasien
benar-benar ditelanjangi (dengan
memotong pakaian) dan seluruh
permukaan tubuh diperiksa untuk
tanda-tanda trauma tersembunyi
Evaluasi Awal
Imobilisasi yang tepat harus
dipertahankan dengan cervical
collar dan spine board sampai
stabilitas seluruh tulang belakang
telah dipastikan.
Nyeri harus diatasi dengan opioid
short-acting (misalnya, fentanyl).
Manajemen awal agresif hipoksia,
hiperkapnia,
hipotensi,
dan
peningkatan ICP.
Pengobatan untuk pasien dengan
peningkatan ICP antara lain
termasuk intubasi Orotracheal
yang cepat, Ventilasi mekanis,
Pemantauan ICP, sedasi sedang
bila diperlukan.

pemberian cairan ringer laktat


20gtt/i.
-Pemasangan kateter urine dan
memantau urine output

Pemasangan NGT

Sens : GCS 15 (E4, M6, V5)


-pupil : isokor, diameter kiri
3mm/ kanan 3mm; RC: +/+

Os tidak bisa menggerakkan


kedua tungkai dan tidak
merasakan
stimulasi
yang
diberikan setinggi dermatom C4

Membebaskan
jalan
nafas
dengan jaw thrust dan in line
immobilization,
pemasangan
colar braise.

Bedrest in line position + collar


neck
IVFD RL 20 gtt/i
IVFD Aminofusin 1 fls/hari
Diet SV 1500 kkal + 50 gr protein
Inj Ceftriaxone 1gr/12jam
Inj Paracetamol 1gr/8jam
Inj Ranitidin 50mg/12jam

31

BAB 5
KESIMPULAN
Tuan L, 20 tahun, 70 kg, datang ke Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik dengan keluhan penurunan keempat anggota gerak tidak bisa digerakkan.
Hal ini dialami pasien sejak 18 jam sebelum masuk rumah sakit. Pasien
mengalami kecelakaan saat bekerja, dimana pasien terjatuh dari ketinggian 3,5
meter. Pasien terjatuh dengan posisi bahu kanan terlebih dahulu menyentuh tanah.
Pasien tidak menggunakan helm atau alat pelindung diri pada saat kejadian.
Pasien sudah mendapat pertolongan pertama dari RS deli serdang oleh spesialis
saraf, dan dirujuk ke RSUP H. Adam Malik Medan. Riwayat pingsan tidak
dijumpai. Riwayat nyeri kepala dijumpai. Riwayat kejang tidak dijumpai. Riwayat
mual muntah tidak dijumpai. Setelah kejadian pasien tidak bisa BAK. Saat ini
kateter terpasang dan urin dijumpai.
Berdasarkan pemeriksaan foto cervical dan neurologis, os didiagnosa dengan
Tetraplegia ec Fraktur cervicalis 4-5

DAFTAR PUSTAKA

32

1. Rasjad, C. 2003. Ilmu Bedah Ortopedi. Bintang Lamumpatue:Makassar


2. Tobing, HG. 2011. Synopsis ilmu bedah saraf departemen bedah saraf FK
UI-RSCM. Jakarta: Sagung Seto
3. Akbar. 2008. Distribusi cedera kepala di instalasi gawat darurat RSCM.
Karya Tulis Ilmiah. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
4. Porter, RS, and Kaplan JL.2011. The Merck Manual Of Diagnosis and
Therapy, Nineteenth Edition. Whitehouse Station, NJ: Merck & Co.
5. Departemen Bedah Saraf FKUI-RSCM.Sinopsis Ilmu Bedah Saraf :
Trauma Spinal.Sagung Seto.Jakarta : 2011. Hal 31-422.
6. .Hughes,Irvene. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) edisi
Traumatulang belakang dan medulla spinalis. Americam College of
surgeons. Chicago :2008. Hal 185 202
7. Davenport M., Cervical Vertebrae Fracture,
http: // emedicine .medscape .com /article /824380 -overview
8. Hughes,Irvene. Advanced Trauma Life Support for Doctors (ATLS) edisi
9. Traumatulang belakang dan medulla spinalis. Americam College of
surgeons. Chicago :2008.

Hal 185 202

10. De Jong,Wim. Buku ajar Ilmu bedah edisi 2. Cedera tulang belakang dan
sumsumtulang. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 2005. Hal 8224.
Louis, 2002.
11. Fractures of the cervical thoracic an Lumbar Spine. Page 23.

33

12. Adhim.2010. Diagnosis dan Penanganan Fraktur Servikal


http/www.fik-unipdu.web.id.

Anda mungkin juga menyukai