Anda di halaman 1dari 35

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt., karena berkat kemurahanNya lah makalah ini dapat selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
membahas tentang OTONOMI PENDIDIKAN. Selain sebagai tugas,
Makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan dan ilmu kita. Banyak sekali
hambatan dalam penyusunan makalah ini baik itu masalah waktu, sarana, dan
lain lain. Secara keseluruhan, makalah ini tentu masih mengandung banyak
kekurangan. Oleh karena itu saran dan bantuan dari dosen pembimbing
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN ISLAM maupun pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Demikian makalah ini
saya buat semoga bermanfaat. Lamongan, 09 maret 2016 yulia ningsih
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Otonomi atau autonomy
berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti hokum atau aturan. Dalam konteks etimologi otonomi
diartikan sebagai perundangan sendiri. Menurut Syarif Saleh, otonomi
sebagai hak mengatur dan memerintahkan daerah sendiri, hak mana yang
diperoleh dari pemerintah pusat.
Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur, mengelolah,
mengorganisir urusan pendidikan yang secara tidak langsung di awasi
oleh pemerintah pusat. Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian suatu
daerah untuk mengatur daerahnya secara mandiri.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung karena adanya
kewenangan yang diberikan langsung dari pemerintah pusat untuk
didirikannya otonomi daerah suatu daerah. Adapun hak yang diberikan
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu tidak langsung
diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat disini bertugas mengawasi
pelaksanaan otonomi pendidikan ini. Dalam proses pembuatan makalah

ini saya menggunakan cara eksplorasi internet dan buku-buku rujukan.


Untuk lebih lanjutnya akan dibahas dalam makalah ini.
B. Rumusan masalah
Adapun rumusan masalah yang di angkat dalam makalah ini adalah
sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep dan pelaksanaan Otonomi/
Desentralisasi Pendidikan Islam di indonesia? 2. Bagaimana sejarah
otonomi pendidikan islam ? C. Tujuan Adapun rumusan masalah yang di
angkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui
Bagaimana konsep dan pelaksanaan Otonomi/ Desentralisasi Pendidikan
Islam di indonesia. 2. Untuk mengetahui Bagaimana sejarah otonomi
pendidikan islam .
BAB II PEMBAHASAN
A. Otonomi/ Desentralisasi Pendidikan Islam
1. Konsep Otonomi Pendidikan Otonomi berasal dari bahasa Yunani
autos yang berarti sendiri dan nomos yang berarti hukum atau
atauran. Sedangkan menurut Ateng Syafrudin mengatakan bahwa
istilah otonomi mempunyai makna kebebasan dan kemandirian, tetapi
bukan kemerdekaan.
Otonomi pendidikan menurut UU Sistem Pendidikan Nasional No 20
tahun 2003 adalah terungkap pada hak dan kewajiban warga negara,
orang tua, masyarakat, dan pemerintah. Pada bagian ketiga hak dan
kewajiban masyarakat pasal 8 disebutkan bahwa masyarakat berhak
berperan serta dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan
program evaluasi pendidikan. Pasal 9, masyarakat berkewajiban
memberikan

dukungan

sumber

daya

dalam

penyelenggaraan

pendidikan. Begitu juga pada bagian keempat hak dan kewajiban


pemerintah, dan pemerintah daerah pasal 11 ayat 2 Pemerintah dan
pemerintah

daerah

wajib

menjamin

tersedianya

daya

guna

terselenggaranya pendidikan bagi warga negara yang berusia 7-15

tahun. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa konsep


otonomi pendidikan mengandung pengertian yang luas, mencakup
filosifi, tujuan, format dan isi pendidikan serta menejemen pendidikan
itu sendiri. Impikasi dari semua itu adalah setiap daerah otonomi harus
memiliki visi dan misi pendidkan yang jelas dan jauh kedepan dengan
melakukan pengkajian yang mendalam dan meluas tentang tren
perkembangan

penduduk

dan

masyarakat

untuk

memperoleh

masyarakat yang lebih baik kedepannya serta merancang sistem


pendidikan yang sesuai dengan karakteristik budaya bangsa indonesia
yang bineka tunggal ika. Untuk itu kemandirian daerah itu harus
diawali dengan evaluasi diri, melakukan analisis faktor internal dan
eksternal daerah guna mendapat suatu gambaran nyata tetang kondisi
daerah, sehingga dapat disusun suatu strategi yang matang dalam
upaya mengangkat harkat dan martabat masyarakat daerah yang
berbudaya dan berdaya saing tinggi melalui otonomi pendidikan yang
bermutu dan produktif.
2. Otonomi Pendidikan sebagai Optimalisasi Potensi Daerah UUD tahun
45 menyatakan bahwa setiap warga negara Indonesia mempunyai hak
untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Pemerintah menyusun dan
menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang diatur oleh
negara. Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang
kurangnya 20% dari APBN dan APBD untuk memenuhi kebutuhan
penyelanggaraan pendidikan nasional. Dengan adanya UU Otonomi
Daerah No. 22 tahun 1999 yang kemudian disempurnakan menjadi
UU No 32 tahun 2004 telah terjadi perubahan sistem pemerintahan
yang sentrallistik menjadi desentralistik, dimana setiap daerah
memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus sistem
pemerintahannya sendiri guna mensejahterakan masyarakat di
daerahnya.

Pelimpahan

wewenang

kepada

daerah

membawa

konsekuensi

terhadap

pembiayaan

guna

mendukung

proses

desentralisasi sebagaimana termuat dalam pasal 12 ayat 1 UU No 32


tahun 2004 bahwa urusan pemerintahan yang diserahkan daerah
disertai dengan sumber pendanaan, pengalihan sarana dan prasarana,
serta kepegawaian sesuai dengan urusan yang disentralisasikan.
Sejalan dengan arah kebijakan otonomi dan desentralisasi yang
ditempuh oleh pemerintah, tanggung jawab pemeritah daerah akan
meningkat dan semakin luas, termasuk dalam menejemen pendidikan.
Pemerintah daerah di harapkan untuk senantiasa meningkatkan
kemampuannya dalam berbagai tahap pembangunan pendidikan,
mulai dari tahap perumusan kebijakan daerah, perencanaan,
pelaksanaan, sampai pemantauan dan monitoring di daerah masingmasing sejalan dengan kebijakan pendidikan nasional yang digariskan
pemerintah. Pemberian dan berlakunya otonomi pendidikan di daerah
memiliki nilai strategis bagi daerah untuk berkompetisi dalam upaya
membangun dan memajukan daerah-daerah diseluruh Indonesia,
terutama yang berkaitan langsung dengan SDM dan SDA masingmasing daerah dalam upaya menggali dan mengoptimalkan potensipotensi masyarakat yang selama ini masih terpendam. Begitu juga
adanya desentralisasi pendidikan, pemerintah daerah baik tingkat I
maupun tingkat II dapat memulai peranannya sebagai basis
pengelolaannya sebagai pendidikan dasar. Untuk itu perlu adanya
lembag non struktural yang melibatkan masyarakat luas untuk
memberikan

pertimbangan

pendidikan

dan

kebudayaan

yang

disesuaikan dengan kebutuhan kemampuan daerah tersebut. Di era


otonomi ini, sudah saatnya kita berpikir kritis untuk membangun
sebuah masyarakat yang berpendidikan, humanis, demokratis dan
berperadaban. Agar masyarakat selama ini dimarjinalkan dalam

lubang berpikir yang ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan
tatanan masyarakat dinamisdan progesif.
Maka bila hal ini bisa terwujud, masyarakat juga akan merasa bangga
dengan dirinya sendiri dan pada nantinya akan respek terhadap
kemajuan dan pekembangan yang terjadi dalam lingkungan sosial
maupun pendidikan. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan
yang tinggi sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan.
Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen
masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan sinergis, beriringan
dan selaras sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Selain itu juga
di era otonomi ini, masyarakat perlu diberikan kepercayaan untuk ikut
serta dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan, tidak hanya
sekedar sebagai penyumbang atau penambah dana bagi sekolah yang
terlambangkan dalam BP3. Dengan kata lain ketidak seimbangan dan
ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari
masyarakat atau orang tua peserta didik harus tiadakan. Karena hal itu
telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi
masyarakat tidak ada fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika
otonomisasi telah digalakkan maka sudah saatnya masyarakat
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam
berbagai hal. Tetapi tidak hanya sekedar sebagai formalitas saja dalam
arti masyarakat dalam musyawarah nantinya sekedar menjadi objek
saja atau sebagai pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara
langsung, namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup
tartentu dengan diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan
lebih efektif kerena secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat
itu sendiri. Berkaitan dengan implementasinya otonomi pendidikan,
maka sudah tentunya peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat
pengetahuan, IPTEK ,dan budaya menjadi lebih penting serta stategis.

Hal itu dilakukan dalam rangka pemberdayaan daerah, untuk


mempertegas otonomi yang sedang berjalan. 3. Permasalahan dalam
pelaksanaan otonomi pendidikan Pembagian kewenangan dan
perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah,
memberikan fokus bahwa pelaksanaan otonomi daerah adalah
didaerah kabupaten dan daerah kota. Dalam situasi yang demikian ini,
baik dari segi kewenangan maupun sumber pembiayaan dibidang
pendidikan, daerah kabupaten atau kota akan memegang peranan
penting terutama dalam pelaksanaannya. Sementara itu koordinasi dan
singkronisai program pendidikan perlu di tingkatkan agar mampu
menghindari ego kewilayahan. Untuk itu pelaksanaan desentralisasi
pendidikan, menjadi penting kiranya kita mengantisipasi masalahmasalah yang mungkin dihadapi dalam pelaksanaannya, dan diantara
masalah itu adalah: a. Kepentingan Nasional Salah satu tujuan
nasional yang dicita-citakan dalam pembukaan UUD 45, yaitu
Mencerdaskan kehidupan bangsa . Untuk mencapai hal tersebut
pasal-pasal dalam UUD 1945 dengan segala amandemennya
menegaskan demokratisasi dan pemenuhan hak-hak dasar bagi semua
warga negara untuk memperoleh pendidikan. Kemungkinan yang
terjadi adalah bagaimana dengan masing-masing daerah kabupaten
atau kota, yang potensi sumber pembiyayaannya berbeda, dapatkah
menjamin agar tiap warga negara memperoleh hak pendidikan
tersebut. Hal lain yang berkaitan dengan kepentingan nasional adalah
bagaimana melalui pendidikan dapat tetap dikembangkan dalam satu
kesatuan arah dan tujuan. b. Peningkatan mutu Salah satu dasar
pemikiran yang melandasi lahirnya UU No 22 tahun 1999 yang
kemudian disempurnakan menjadi UU No 32 tahun 2004 tentang
pemerintah daerah adalah untuk menyesuaikan dengan perkembangan
baik eksternal maupun internal khususnya menghadapi tantangan

persaingan global dan persaingan pasar bebas. Ada tiga kemampuan


dasar yang diperlukan agar masyarakat indonesia dapat ikut dalam
persaingan global, yaitu kemampuan menejemen, teknologi dan
kualitas SDM yang semua itu dapat dicapai melalui pendidikan yang
bermutu. Mutu yang dimaksud disini bukan hanya yang memenuhi
Standar Nasional tetapi juga internasional. Persoalannya adalah
dengan

adanya

otonomi

pelaksanaan

pendidikan

sepenuhnya

dilakukan oleh pemerintah kabupaten atau kota yang kualitas


sumberdaya,prasarana

dan

kemampuan

pembiayaannya

bagi

masyarakat akankah dapat menghasilkan mutu yang dibawah atau


diatas standar? c. Efisiensi pengelolaan Guna memacu peningkatan
kualitas SDM melalui pendidikan dalam kondisi keterbatasan sumber
dana

yang

kemudian

dibagi-bagi

pada

daerah

otonomi,

pelaksanakanotonomi daerah juga diharapkan dapat meningkatkan


efesiensi pengelolaan (technical efficiency) maupun efisiensi dalam
mengelolakan anggaran (economic efficiency). Sistem pengelolahan
yang sangat sentralistik selama ini akan mempunyai potensi problem
efisiensi pengelolaan didaerah, apalagi diseolah,jika tidak dilakukan
secara profesional dan proporsional. d. Sumber Daya Manusia Sumber
daya manusia merupakan pilar yang paling utama dalam melakukan
implementasi otonomi pendidikan. SDM selama ini belum memadai,
maksudnya yaitu berhubungan dengan kuantitas dan kualitas SDM
tersbut. Masih ada daerah yang belum dapat memahami, menganalisis,
serta mengaplikasikan konsep otonomi pendidikan. Demikian halnya
yang berkaian dengan kuantitas atau jumlah SDM yang ada. e.
Pemerataan Pelaksanaan otonomi pendidikan dapat meningkatkan
aspirasi masyarakat akan pendidikan yang diperkirakan akan juga
meningkatkannya pemerataan memperoleh kesempatan pendidikan.
Tetapi yang jadi permasalahan adalah semakin tingginya jarak antara

daerah dalam pemerataan akan fasilitas pendidikan yang akhirnya


akan mendorong meningkatnya kepincangan dalam mutu hasil
pendidikan. f. Masalah Dana, Sarana, dan Prasarana Pendidikan
Persolan dana merupakan persoalan yang paling krusial dalam
perbaikan dan pembangunan sistem pendidikan di Indonesia. Selama
ini dikeluhkan bahwa mutu pendidikanrendah karena dana yang tidak
mencukupi, anggaran untuk pendidikan masih rendah. Hal ini
semestinya tidak perlu terjadi di era desentralisasi pendidikan karena
anggaran pendidikan sudah diserahkan kepada pemerintah daerah
dengan dikelurakannya UU-PKPD Tahun 2004. Begitu pula telah
ditegaskan dalan UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 49 ayat
(1) dikemukakan bahwa Dana pendidikan selain gaji pendidik dan
biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20% dari APBN
pada sektor pendidikan dan minimal 20% dari APBD. Sayangnya,
amanat yang jelas-jelas memiliki dasar dan payung hukum hingga saat
ini belum bisa dilaksanakn dengan baik. Karena pemerintah daerah
eksekutif dan legislatif belum menganggap pendidikan sebagai
prioritas dalam pembangunan. g. Masalah Organisasi Kelembagaan
Dalam hal kelembagaan kependidkian antar kabupaten/kota dan
provinsi tidak sama dan terkesan berjalan sendiri-sendiri, baik
manyangkut

struktur,

nama

organisasi

kelembagaan,

dan

lainsebagainya. Menurut undang-undang memang ada kewenangan


lintas kabupaten/kota, tetapi kenyataannya itu hanyalah dalam tataran
konsep, praktiknya tidak berjalan. Sebagai gejala umum, jenjang dan
jenis kelembagaan pendidikan dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga
tampak satu sama lain tidak mempunyai hubungan. Kelembagaan
pendidikan tinggi misalnya seolah-olah tidak berkaitan dengan
kelembagaan menengah. Disamping itu juga memiliki sisi kelemehan,
antara lain: 1) Tidak meratanya kemampuan dan kesiapan pemerintah

daerah untuk menjalankan kebijakan desentralisasi pendidikan dan


kesiapan daerah di wilayah terpencil. Bahkan untuk wilayah tertentu
implementasi kebijakan desentralisasi pendidikan secara penuh
menjadi masalah tersendiri di daerah tersebut. 2) Tidak meratanya
kemampuan keuangan daerah melalui pendapatan asli daerah (PAD)
dalam menopang pembiayaan pendidikan di daerahn ya masingmasing, terutama daerah-daerah miskin. 3) Belum adanya pengalaman
dari masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur sendiri
pembangunan pendidikan di daerahnya sesuai dengan semangat
daerah yang bersangkutan. Sehingga dikhawatirkan implementasi
kebijakan desentralisasi pendidikan bagi sekolah dan orang tua akan
memperbanyak sumber pendanaan dan memperbesar akses terhadap
informasi yang pada gilirannya akan dapat melahirkan beragam
metode, kreteria, pilihan-pilihan dan juga hasil. Secara perlahan-lahan,
keragaman ini akan menimbulkan ketidaksetaraan sekolah antar
daerah.
Dengan demikian dalam konteks desentralisasi, peran masyarakat
sangat diperlukan, terutama aparatur pendidikan baik di pusat maupun
di daerah untuk membangun pendidikan yang mandiri dan profesional.
Karena titik berat disentralisasi diletakkan pada kabupaten/kota, untuk
itu peningkatan kualitas aparatur pendidikan di daerah sangatlah
mendasar, terutama pada lapisan yang terdekat dengan rakyat yang
akan memebrikan pelayanan. Efektivitas pelayanan pendidikan pada
tingkat akar rumput (grass root) juga penting untuk mendorong
partisipasi aktif masyarakat dalam pembangunan pendidikan. h.
Peranserta Masyarakat Salah satu tujuan otonomi daerah adalah untuk
memberdayakan masyarakat, menumbuhkan prakarsa dan kreatifitas,
meningkatkan peranserta masyarakat, termasuk dalam meningkatkan
sumber dan dalam menyelanggarakan pendidikan. Peran serta

masyarakat dalam pendidikan dapat berupa perorangan,kelompok


ataupun lembaga seperti dunia usaha dan industri. i. Pengawasan
Pendidikan

Sistem

pendidikan

nasional

termasuk

aspek

kepengawasannya diharapkan memiliki kemampuan untuk merespon


berbagai tuntutan daerah, terus bersaing secara global. Sistem
pengawasan hendaknya menitik beratkan kepada pengembangan
mutu, mewujudkan efisiensi dan efektivitas layanan manejemen.
Pengawasan pendidikan hendaknya juga juga tidak hanya sekedar
diposisikan sebagai perilaku birokratis dan perundang-undangan saja.
Lebih dari itu hendaknya diperlakukan sebagai bagian dari budaya
profesional dalam organisasi pendidikan. Sekalipun pengawasan itu
merupakan rangkaian atau siklus dari proses menejemen, akan tetapi
makna pengawasan melekat, dan pengawasan masyarakat harus selalu
bersinergi dengan pengawasan fungsional. j. Masalah Kurikulum
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa kondisi masyarakat indonesia
sangat heterogen dengan berbagai macam keragamannya, seperti
budaya, adat, suku, SDA dan bahkan SDM-nya. Masing-masing
daerah mempunyai esiapan dan kemampuan yang berbeda dalam
pelaksanaan otonomi penidikan. Dalam konteks otonomi daerah,
kurikulum suatu lembaga pendidkan tidak sekedar daftar mata
pelajaran yang dituntut dalam suatu jenis jenjang pendidikan, dalam
pengertian yang luas kurikulum berisi kondisi yang telah melahirkan
suatu rencana atau program pelajaran tertentu. Sedangkan menurut
Hasbullah, kurikulum adalah keseluruhan program, fasilitas, dan
kegiatan suatu lembaga pendidikan atau pelatihan untuk mewujudkan
visi dan misi lembaganya. 4. Pelaksanaan Desentralisasi Pendidikan di
Indonesia Desentralisasi pendidikan yang telah diterapkan di
Indonesia sejak tahun 2001 sudah nampak beberapa hal positif
pelaksanaanya, misalanya banyaknya daerah terutama daerah yang

kaya memiliki semangat memajukan pendidikan bagi masyarakatnya


dengan meningkatkan anggara pendidikan pada Anggara Pendapatan
dan Belanja Negara (APBD). Langkah yang dilakukan adalah
menyederhanakan dan mempersingkat birokrasi pendidikan di daerah,
meningkatkan inisiatif dan kreativitas derah dalam mengelola
pendidikan yang lebih memungkinkan tercapainya pemerataan
pendidikan pada daerah-daerah terpencil, meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam mendukung pendidikan. Ini adalah hal yang wajar
karena pemberian wewenang yang lebih luas kepada daerah dan
dengan didukung dengan biaya dengan porsi yang lebih besar dalam
upaya pembangunan bidang pendidikan termasuk bidang administrasi,
kelembagaan, keuangan, perencanaan dan sebagainya. Oleh karena
itu, kesiapan daerah untuk dapat menjalankan peran yang lebih besar
menjadi lebih sentral dalam desentralisasi pendidikan. Armida S.
Alisjahbana

menyebutkan

bahwa

dalam

wujud

pelaksanaan

desentralisasi pendidikan, ada beberapa kewenangan-kewenangan


pendidikan yang dapat didisentralisasikan, yakni sebagai berikut:
Komponen pendidikan Kewenangan Organisasi dan poses belajar
Mengajar Menentukan sekolah mana yang dapat diikuti seorang
murid. Waktu belajar di sekolah. Penentuan buku yang digunakan.
Kurikulum. Metode pembelajaran. Manajemen guru - Memilih dan
memberhentikan kepala sekolah. - Memilih dan memberhentikan
guru. - Menentukan gaji guru. - Memberikan tanggung jawab
pengajaran kepada guru. - Menentukan dan mengadakan pelatihan
kepada guru. Struktur dan perencanaan - Membuka atau menutup
suatu sekolah. - Menentukan program yang ditawarkan sekolah. Definisi dari isi mata pelajaran. - Pengawasan atas kinerja sekolah.
Sumber daya - Program pengembangan sekolah. - Alokasi anggaran
untuk guru dan tenaga administratif (personnel). - Alokasi anggaran

non-personnel.

Alokasi

anggaran

untuk

pelatihan

guru.

Desentralisasi pendidikan berbeda dengan desentralisasi di bidang


pemerintahan

lainnya,

di

mana

disentralisasi

pada

bidang

pemerintahan berada pada tingkat kabupaten/kota. Sedangkan


desentralisasi

pendidikan

tidak

hanya

berhenti

pada

tingkat

kabupaten/kota saja, tatapi justru sampai pada lembaga pendidikan


atau sekolah sebagai ujung tombak pelaksanaan pendidikan.
Sehubungan dengan itu, maka konsepsi desentralisasi pendidikan
harus dikemas dalam program school based management (MBS),
yakni suatu sistem manajemen yang bertumpu pada situasi dan kondisi
serta kebutuhan sekoleh setempat. Sekolah diharapkan mengenali
seluruh infrastruktur yang berada di sekolah, seperti guru, siswa,
sarana prasarana, finansial, kurikulum, dan sistem informasi. Unsurunsur manejemen tersebut harus difungsikan secara optimal dalam arti
perlu direncanakan, diorganisasi, digerakkan, dekendalikan dan
dikontrol. MBS harus didukung oleh partisipasi masyarakat yang
diwadahi melalui komite sekolah/dewan sekolah yang memiliki peran
sebagai berikut: a. Pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam
penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan. b. Pendukun
(supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran maupun
tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan. c. Pengontrol (controlling
agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan
dan keluaran pendidikan. d. Mediator antara pemerintah (eksekutif)
dan legislatif dengan masyarakat. Selain itu salah satu upaya dalam
menerapkan desentralisasi pendidikan di sekolah, adalah dengan
meningkatkan kapasitas otonomi sekolah itu sendiri dengan cara
sebagai berikut: a. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) b. Pelibatan
Masyarakat c. Pemberdayaan Masyarakat d. rientasi pada Kualitas e.
Meniadakan Penyeragaman. Namun dibalik itu semua bahwa

pelaksanaan desentralisasi pendidikan di Indonesia belum mampu


membawa peningkatan bagi pengembangan pendidikan di daerah.
Dengan kata lain, keadaan pengembangan pendidikan di daearah
belum menunjukkan perbedaan yang berararti, atau sama saja antara
sebelum dan sesudah dilaksanakan desentralisasi pendidikan. Bahkan
desentralisasi

pendidikan

menimbulkan

kesulitan

dalam
baru

hal

tertentu

dibandingkan

justru

dengan

malah
keadaan

sebelumnya. Karena untuk melaksanakan desentralisasi pendidikan


secara nasional di seluruh wilayah Indonesia tampaknya mengalami
banyak kesulitan, karena sejumlah masalah dan kendala yang perlu
diatasi. Undang-undang No. 32 tahun 2004, bab I, pasal 1 disebutkan
bahwa: Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan RI.
Istilah desentralisasi muncul dalam paket UU tentang otonomi daerah
yang pelaksanaannya dilatarbelakangi oleh keinginan segenap lapisan
masyarakat untuk melakukan reformasi dalam semua bidang
pemerintahan. Desentralisasi diartikan sebagai penyerahan wewenang
pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan
Republik Indonesia (Pasal 1 ayat (7) UU Nomor 32 Tahun 2004).
Tentang desentralisasi ini ada beberapa konsep yang dikemukakan
oleh para ahli sebagai berikut. 1) Desentralisasi merupakan
penyerahan wewenang dari tingkat pemerintahan yang lebih tinggi
kepada pemerintahan yang lebih rendah, baik yang menyangkut
bidang legislatif, judikatif, atau administratif (Encyclopedia of the
Social Sciences, 1980). 2) Desentralisasi sebagai suatu sistem yang
dipakai dalam bidang pemerintahan merupakan kebalikan dari
sentralisasi, di mana sebagian kewenangan pemerintah pusat

dilimpahkan kepada pihak lain untuk dilaksanakan (Soejito, 1990). 3)


Desentralisasi tidak hanya berarti pelimpahan wewenang dari
pernerintah pusat ke pemerintah yang lebih rendah, tetapi juga
pelimpahan beberapa wewenang pemerintahan ke pihak swasta dalam
bentuk privatisasi (Mardiasmo, 2002). 4) Desentralisasi adalah sehagai
pengakuan atau penyerahan wewenang oleh badan-badan umurn yang
lebih rendah untuk secara mandiri dan berdasarkan pertimbangan
kepentingan sendiri mengambil lceputusan pengaturan pernerintahan,
serta struktur wewenang yang terjadi dari hal itu (Hoogerwerf, 1978).
5) Decentralization is the transfer of planning, decision inaking, or
ndnlinistrative authority from the central government to its field
organizations, local and administrative units, setni autonomous and
pcrastatal organizations, local government, or nongoverrirnental
ornanizatioais (Rondinelli clan Chcema, 1983: 77). 6) Pengertian
desentralisasi pada dasarnya mempunyai makna bahwa melalui proses
desentralisasi unisan-urusan pemerintahan yang semula termasuk
wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat sebagian diserahkan
kepada pernerintah daerah agar menjacli urusan rumah tangganya
sehingga urusan tersebut beralih kepada clan menjadi wewenang clan
tanggung jawab pernerintah daerah (Koswara, 1996). 7) Desentralisasi
atau mendesentralisasi pemerintahan bisa berarti merestrukturisasi
atau mengatur kembali kekuasaan sehingga terdapat suatu sistem
tanggung jawab bersama antara institusi-institusi pemerintah tingkat
pusat, regional, maupun lokal sesuai dengan prinsip subsidiaritas.
Sehingga meningkatkan kualitas keefektifan yang menyeluruh dari
sistem pemerintahan, dan juga meningkatkan otoritas dan kapasitas
tingkat subnasional (UNDP, 2004: 5). Dari beberapa konsep di atas,
dapat

disimpulkan

penyerahan

bahwa

wewenang

desentralisasi

urusan-urusan

merupakan

yang

semula

adanya
menjadi

kewenangan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk


melaksanakan urusanurusan tersebut. Secara politis, desentralisasi
dalam pengertian devolusi dilakukan untuk memenuhi tuntutan
golongan minoritas yang menuntut otonomi dalarn wilayahnya.
Semakin tinggi praktikpraktilc diskriminasi, akan semakin kuat
menciptakan tuntutan akan otonomi. Menurut Rondinelli (1984),
desentralisasi secara luas diharapkan untuk mengurangi kepadatan
beban kerja di pernerintah pusat. Sementara itu, di lain pihak Maddick
(1963) mengemukakan bahwa desentralisasi merupakan suatu cara
untuk meningkatkan kemampuan aparat pemerintah clan incmperoleh
informasi yang lebih baik mengenai keadaan daerah, untuk menyusun
program-program

daerah

secara

lebih

responsif

dan

untuk

mengantisipasi secara cepat manakala prrsoalan-persoalan timbul


dalam pelaksanaan. Desentralisasi juga dapat dipakai sebagai alat
untuk mcmobilisasi dukungan terhadap kebijakan pembangunan
nasional dengan menginformasikannya kepada masyarakat (Lurah
untuk menggalang partisipasi di dalam perencanaan pembangunan dan
pelaksanaannya di daerah. Partisipasi lokal dLipat digalang melalui
keterlibatan

dari

berbagai

kepentingan

sepcrti

kepentingan-

kepentingan politik, agama, suku, kelompok-kelompok profesi di


dalam proses pembuatan kebijakan pembangunan oleh pemerintah
daerah (Oentarto, et.al., 2004: 20). Bagaimanapun, secara politis
keberadaan

pemerintah

daerah

sangat

penting

untuk

mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan daerah. Menurut UU


Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 7 ayat (1) dikemukakan bahwa
kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam scluruh bidang
pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri,
pertahanan keamanan, peradilan, fiskal/moneter, dan agama, serta
kewenangan lain yang diatur secara khusus. Selain itu, semuanya

menjadi kewenangan daerah, termasuk salah satunya bidang


pendidikan. Tujuan pemberian kewenangan dalam penyelenggaraan
otonomi daerah adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat,
pemerataan dan keadilan, demokratisasi clan penghormatan terhadap
budaya lokal, serta memerhatikan potensi dan keanekaragaman
daerah. Kewenangan pengelolaan pendidikan berubah dari system
sentralisasi ke sistem desentralisasi. Desentralisasi pendidikan berarti
terjadinya pelimpahan kekuasaan dan wewenang yang lebih luas
kcpada daerah untuk membuat perencanaan dan mengambil
keputusannya sendiri dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi di
bidang pendidikan. B. Sejarah Otonomi pendidikan islam Otonomi
pendidikan Islam berawal dari masa klasik, masa Rasulullah, masa
Khulafaurrasyidin, sampai pada masa sekarang ini. Untuk lebih lanjut
akan saya bahas satu persatu dalam makalah ini. 1. Sistem, Metode,
dan Kurikulum Pendidikan Islam Klasik System pendidikan itu tidak
berdiri sendiri, untuk melihatnya dibutuhkan informasi yang
menyajikan konstruk social, politik, dan keagamaan yang terjadi pada
masa-masa

tertentu

seingga

menunjukkan

adanya

hubungan

fungsional dan substansial antara dunia pendidikan dengan keadaan


yang terjadi ketika itu. Metode pendidikan dapat dikelompokkan
menjadi dua bentuk yaitu metode perolehan (acquisition) dan metode
penyampaian (transmission). Metode perolehan lebih ditekankan
sebagai cara yang ditempuh oleh peserta didik ketika mengikuti proses
pendidikan, sedangkan metode penyampaian diasosiasikan sebagai
cara pengajaran yang dilakukan oleh guru. Dengan demikian, metode
perolehan ditekankan kepada peserta didik sedangkan metode
penyampaian dititik beratkan kepada guru. Kurikulum pendidikan
Islam klasik agaknya tidak dapat dipahami sebagaimana kurikulum
pendidkan modern. Pada kurikulum pendidikan modern ditentukan

oleh pemerintah dengan standar tertentu yang terdiri dari beberapa


komponen: tujuan, isi, organisasi, dan strategi. Untuk itu kurikulum
pendidikan Islam klasik dipahami dengan subjek-subjek ilmu
pengetahuan yang diajarkan dalam proses pendidikan. 2. Pendidikan
Islam masa Rasulullah (611-632 M/12 SH- 11 H) Rasulullah SAW
sebagai suru teladan dan rahmatan lilalamin bagi orang yang
mengharapkan rahmat dan kedatangan hari kiamat dan banyak
menyebut Allah (al-ahzaab:21) adalah pendidik pertama dan terutama
dalam dunia pendidikan Islam. Proses transformasi ilmu pengetahuan,
internalisasi nilai-nilai spiritualisme dan bimbingan emosional yang
dilakukan Rasulullah dapat dikatakan sebagai mukjizat luar biasa,
yang manusia apa dan dimanapun tidak dapat melakukan hal yang
sama. Hasil pendidikan Islam periode Rasulullah terlihat dari
kemampuan murid-muridnya (para sahabat) yang luar biasa, misalnya
Umar Ibn Khatab ahli hokum dan pemerintahan, abu Hurairah ahli
hadis, Salman al-Farasi ahli perbandingan agama: Majusi, Yahudi,
Nasrani, dan Islam. Dan Ali bin Abi Thalib ahli hokum dan tafsir AlQuran, kemudian murid dari para sahabat di kemudian hari, tai-tabiin,
banyak yang ahli berbagai bidang ilmu pengetahuan sains, teknologi,
astronomi, filsafat yang mengantarkan Islam ke pintu gerbang zaman
keemasan. Pendidikan pada masa Rasulullah dapat dibedakan menjadi
dua periode: periode Makkah dan periode Madinah. Pada periode
pertama, yakni sejak nabi diutus sebagai rasul hingga hijrah ke
Madinah system pendidikan Islam lebih bertumpu kepada nabi.
Bahkan, tidak ada yang mempunyai kewenangan untuk memberikan
atau menentukan materi-materi pendidikan, selain nabi. Nabi
melakukan pendidikan dengan cara sembunyi-sembunyi terutama
pada keluarganya, disamping berpidato dan ceramah di tempat-tempat
yang ramai dikunjungi orang. Sedangkan materi pengajaran yang

diberikan hanya berkisar pada ayat-ayat Al-Quran sejumlah 93 surat


dan petunjuk-petunjuknya. a. Fase Mekkah Allah Mahabijaksana,
sebagai calon panutan umat manusia, Muhammad ibn Abdullah sejak
awal sekali disiapkan Allah, dengan menjaganya dari sikap-sikap
jahiliah. Dengan akhlaknya yang terpuji, syarat dengan nilai-nilai
humanism dan spiritualisme ditengah-tengah umat yang hamper saja
tidak berperikemanusiaan, Muhammad ibn Abdullah, masih sempat
mendapat gelar penghargaan tertinggi, yaitu al-Amin. Ibnu Abdullah,
seorang yang teguh mempertahankan tradisi Nabi Ibrahim, tabah
dalam mencari kebenaran hakiki, menjatuhkan diri dari keramaian dan
sikap hedonism dengan berkontemplasi di Gua Hira. Pada tanggal 17
Ramadhan turunlah wahyu Allah yang pertama, surat al-Alaq ayat 1-5
sebagai fase pendidikan Islam Makkah. Sebelum kelahiran Islam,
pada masa jahiliah institusi pendidikan kuttab telah berdiri.
Masyarakat Hijaz telah belajar membaca dan menulis kepada
masyarakat Hirah, dan masyarakat Hirah belajar kepada masyarakat
Himyariyin. Adapun orang yang pertama kali belajar membaca dan
menulis di antara penduduk makkah adalah Sufyan ibn Umayah dan
Abu Qais ibn Abd al-Manaf, yang keduanya belajar kepada Bisyr ibn
Abd al-Malik. Kepada keduanyalah, penduduk Makkah belajar
membaca dan menulis. Oleh karena itu, agaknya dapat dipahami
ketika nabi menyiarkan ajaran Islam di masyrakat Quraisy, baru ada
17 laki-laki yang pandai baca-tulis dan 5 wanita. Pada awal turunnya
wahyu pertama al-Quran surat 96 ayat 5, pola pendidikan yang
dilakukan adalah secara sembunyi-sembunyi, mengingat kondisi
social-politik yang belum stabil. Dimulai dari dirinya sendiri dan
keluarga dekatnya. Mula-mula Rasulullah mendidik istrinya, Khadijah
untuk beriman kepada dan menerima petunjuk dari Allah, kemudian
Zaid ibn Haritsah seorang pembantu rumah tangga Rasulullah yang

diangkat menjadi anak angkatnya, kemudian sahabat karibnya Abu


Bakar, secara berangsur-angsur ajakan tersebut disampaikan secara
meluas. Pendidikan secar sembunyi-sembunyi berlangsung selama 3
tahun, samapai turun wahyu berikutnya, yang memerintahkan
dakwahh secara terbuka dan terang-terangan. Ketika wahyu tersebut
turun, beliau mengundang hati terhadap azab yang keras di kemudian
hari (hari kiamat) bagi orang- orang yang tidak mengakui Allah
sebagai Tuhan Yang Maha Esa dan Muhammad sebagai utusan-Nya.
Seruan tersebut dijawab Abu Lahab, celakalah kamu Muhammad!
Untuk inikah kami mengumpulkan kamu? Saat itulah turun wahyu
menjelaskan periahl Abu Lahab dan istrinya. Hasil seruan dakwah
secar

terang-terangan

yang

terfokus

kepada

keluarga

dekat,

kelihatannya belum maksimal sesuai dengan apa yang diharapkan.


Maka Rasulullah mengubah strategi dakwahnya dari seruan yang
terfokus kepada keluarga dekat beralih kepada seruan umum, umat
manusia secara keseluruhan. Seruan dalam skala internsional tersebut
didasarkan kepada perintah Allah, surat al-Hijr ayat 94-95. Sebagai
tindak lanjut dari perintah tersebut, pada musim haji Rasulullah
mendatangi kemah-kemah para jamaah haji. Pada awalnya tidak
banyak yang menerima kecuali sekelompok jamaah haji dari Yastrib,
kabilah Khazraj yang menerima dakwah secara antusias. Dari sinilah
sinar Islam memancar keluar Makkah. Materi pendidik pada fase
Makkah yaitu materi pendidikan tauhid, materi ini lebih difokuskan
untuk memurnikan ajaran agama tauhid yang dibawah Nabi Ibrahim,
yang tellah diselewengkan oleh masyarakat jahiliah. Materi yang
kedua yaitu materi pengajaran al-Quran, materi ini dapat dirinci
kepada baca tulis al-Quran, mengahafal ayat-ayat al-Quran dan
memahamiayat-ayat al-Quran atau tafsir al-Quran. Metode yang
digunakan Rasulullah dalam membidik sahabatnya antara lain; metode

ceramah, dialog, diskusi, metode perumpamaan, metode kisah, metode


pembiasaan dan metode hafalan. Kurikulum pendidikan Islam pada
periode Rasulullah adalah al-Quran yang Allah wahyukan sesuai
dengan kondisi dan situasi, kejadian dan peristiwa yang dialami umat
Islam pada saat itu, oleh karena itu dalam praktiknya tidak saja logis
dan rasional, tetapi juga fitrah dan pragmatis. Hasil cara yang
demikian dapat dilihat dari sikap rohani dan mental para pengikutnya.
Lebaga pendidikan Islam pada fase Makkah ada dua yaitu Rumah
Arqam ibn Arqam, rumah ini merupakan lembaga pendidikan pertama
atau madrasah yang pertama sekali dalam Islam. Yang kedua yaitu
Kuttab, kuttab berasal dari bahasa Arab yakni kataba, yaktubu,
kitaaban yang artinya telah menulis. b. Fase Madinah Kedatangan
Nabi Muhammad bersama kaum muslimin Makkah, disambut oleh
penduduk Madinah dengan gembira dan penuh rasa persaudaraan.
Maka, Islam mendapat lingkungan baru yang bebas dari ancaman para
penguasa

Quraisy

Makkah,

lingkungan

yang

dakwahnya,

menyampaikan ajaran Islam dan menjabarkannya dalam kehidupan


sehari-hari. Wahyu secara beruntun selama periode Madinah
kebijaksanaan Nabi Muhammad SAW dalam mengajarkan al-Quran
adalah menganjuran pengikutnya untuk menghafal dan menuliskan
ayat-ayat

al-Quran

sebagaimana

diajarkannya.

Pada

periode

Madinah, tahun 622-632 M, atau tahun 1-11 H usaha pendidikan nabi


yang

pertama

adalah

membangun

insititusi

masjid.

Melalui

pendidikan masjid ini, nabi memberikan pengajaran dan pendidikan


Islam. Ia memperkuat persatuan di antara kaum muslim dan mengikis
habis sisa-sisa permusuhan, terutama antara penduduk Ansyar dan
penduduk Muhajirin. Pada periode ini, ayat-ayat al-Quran yang
diterima sebanyak 22 surat, sepertiga dari isi al-Quran. Secara umum,
materi

pendidikan

berkisar

pada

empat

bidang:

pendidikan

keagamaan, pendidikan akhlak, pendidikan kesehatan jasmani, dan


pengetahuan yang berkaitan dengan kemasyarakatan. Pada bidang
keagamaan terdiri dari keimanan dan ibadah, pada bidang pendidikan
akhlak lebih menekankan pada penguatan mental yang telah dilakukan
pada periode Makkah, pendidikan jasmani ditekankan pada penerapan
dari nilai-nilai yang dipahami dari amaliah ibadah 3. Pendidikan Islam
Masa Khulafa al-Rasyidin [632-661 M./12-41 H.] Sistem pendidikan
Islam pada masa khulafa al-Rasyidin dilakukan secara mandiri, tidak
dikelola oleh pemerintah, kecuali pada masa khalifah Umar ibn
Khattab yang turut campur dalam menambahkan kurikulum di
lembaga kuttab. Para sahabat yang memiliki pengetahuan keagamaan
membuka majlis pendidikan masing-masing, sehingga, pada masa Abu
Bakar misalnya, lembaga pendidikan kuttab mencapai tingkat
kemajuan yang berarti. Kemajuan lembaga kuttab ini terjadi ketika
masyarakat muslim telah menaklukkan beberapa daerah dan menjalin
kontak dengan bangsa-bangsa yang telah maju. Lembaga pendidikan
ini menjadi sangat penting sehingga para ulama berpendapat bahwa
mengajarkan al-Quran merupakan fardlu kifayah.[17] Menurut
Mahmud Yunus, ketika peserta didik selesai mengikuti pendidikan di
kuttab mereka melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
yakni di masjid. Di masjid ini, ada dua tingkat, yakni tingkat
menengah dan tingkat tinggi. Yang membedakan di antara pendidikan
itu adalah kualitas gurunya. Pada tingkat menengah, gurunya belum
mencapai status ulama besar, sedangkan pada tingkat tinggi, para
pengajarnya adalah ulama yang memiliki pengetahuan yang
mendalam dan integritas kesalehan dan kealiman yang diakui oleh
masyarakat.[18] Pada lembaga pendidikan kuttab dan masjid tingkat
menengah, metode pengajaran dilakukan secara seorang demi
seorangmungkin dalam tradisi pesantren, metode itu biasa disebut

sorogan,[19] sedangkan pendidikan di masjid tingkat tinggi dilakukan


dalam salah satu halaqah yang dihadiri oleh para pelajar secara
bersama-sama.[20] Pusat-pusat pendidikan pada masa Khulafa alRasyidin tidak hanya di Madinah, tetapi juga menyebar di berbagai
kota, seperti kota Makkah dan Madinah [Hijaz], kota Bashrah dan
Kufah [Irak], kota Damsyik dan Palestina [Syam], dan kota Fistat
[Mesir]. Di pusat-pusat daerah inilah, pendidikan Islam berkembang
secara cepat.[21] Materi pendidikan yang diajarkan pada masa
Khalifah al-Rasyidin sebelum masa Umar ibn Khattab (w. 32 H. /644
M.), unruk kuttab, adalah [a] belajar membaca dan menulis, [b]
membaca al-Quran dan menghafalnya, [c] belajar pokokpokok
agama Islam, seperti cara wudhu, shalat, puasa, dan sebagainya.
Ketika

Umar

ibn

Khattab

diangkat

menjadi

khalifah,

ia

menginstruksikan kepada penduduk kota agar anak-anak diajarkan [a]


berenang, [b] mengendarai onta, [c] memanah, [d] membaca dan
menghafal syair-syair yang mudah dan peribahasa.[22] Sedangkan
materi pendidikan pada tingkat menengah dan tinggi terdiri dari [a] alQuran dan tafsirnya, [b] hadits dan mengumpulkannya, [c] dan fiqh
(tasyri).[23] Ilmu-ilmu yang dianggap duniawi dan ilmu filsafat belum
dikenal sehingga pada masa itu tidak ada. Hal ini di mungkinkan
mengingat konstruk sosial-masyarakat ketika itu masih dalam
pengembangan wawasan keislaman yang lebih di fokuskan pada
pemahaman al-Quran dan Hadits secara literal. 4. Pendidikan Islam
Masa Dinasti Umayyah [41-132 H. / 661-750 M.] Secara esensial,
pendidikan Islam pada masa Dinasti Umayyah ini hampir sama
dengan pendidikan pada masa Khulafa al-Rasyidin. Hanya saja
memang ada sisi perbedaan dan perkembangannya sendiri. Perhatian
para raja di bidang pendidikan agaknya kurang memperlihatkan pada
perkembangannya yang maksimal, sehingga pendidikan berjalan tidak

diatur oleh pemerintah, tetapi oleh para ulama yang memiliki


pengetahuan yang mendalam. Kebijakan-kebijakan pendidikan yang
dikeluarkan oleh pemerintah hampir-hampir tak ditemukan. Jadi,
sistem pendidikan Islam ketika itu masih berjalan secara alamiah. Ada
dinamika tersendiri yang menjadi karakteristik pendidikan Islam masa
ini, yakni dibukanya wacana kalam (baca: disiplin teologi) yang
berkembang ditengah-tengah masyarakat. Sebagaimana dipahami dari
konstruksi

sejarah

bani

Umayyahyang

bersamaan

dengan

kelahirannya hadir pula tentang polemik tentang orang yang berbuat


dosa

besar,[24]

wacana

kalam

tidak

dapat

dihindari

dari

perbincangan kesehariannya, meskipun wacana ini dilatarbelakangi


oleh faktor-faktor politis. Perbincangan ini kemudian telah melahirkan
sejumlah kelompok yang memiliki paradigma berfikir secara mandiri.
Oleh karena kondisi ketika itu diwarnai oleh kepentingan-kepentingan
politis dan golongan maka didunia pendidikan, terutama didunia
sastra, sangat rentan dengan identitasnya masing-masing. Sastra Arab,
baik dalam bidang syair, pidato (khitabah), dan seni prosa, mulai
menunjukkan kebangkitannya. Para raja mempersiapkan tempat balaibalai pertemuan penuh hiasan yang indah dan hanya dapat dimasuki
oleh kalangan sastrawan dan ulama-ulama terkemuka. Menurut
Muhammad Athiyah al-abrasyi, Balai-balai pertemuan tersebut
mempunyai tradisi khusus yang mesti diindahkan;seseorang yang
masuk dimana khalifah hadir, mestilah berpakaian necis, bersih dan
rapi, duduk ditempat yang sepantasnya, tidak tertawa terbahak-bahak
dan tidak meludah dan tidak mengingus dan tidak menjawab kecuali
bila ditanyai. Ia tidak boleh bersuara keras dan harus belajar menjadi
pendengar yang baik, sebagaiman ia harus belajar bertukar kata
dengan sopan dan memberi kesempatan kepada si pembicara
menjelaskan pembicaraannya, serta menghindari penggunaan kata-

kata yang kasar dan gelak-tertawa terbahak-bahak. Dalam balai-balai


pertemuan seperti ini, disediakan pokok-pokok persoalan untuk
dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan.[25] Pada zaman ini,
juga dapat disaksikan adanya gerakan penerjemahan ilmu-ilmu dari
bahasa lain ke dalam bahasa Arab, tetapi penerjemahan itu terbatas
pada ilmu-ilmu yang mempunyai kepentingan praktis, seperti ilmu
kimia, kedokteran, falak, ilmu tatalaksana, dan seni bangunan. Pada
umumnya, gerakan penerjemahan ini terbatas kepada orang-orang
tertentu dan atas usaha sendiri, bukan atas dorongan negara dan tidak
dilembagakan. Menurut Franz Rosenthal, orang yang pertama kali
melakukan penerjemahan ini adalah Khalid ibn Yazid, cucu dari
Muawiyah.[26] Selain beberapa materi di atas, pada masa ini juga
tampaknya masih melanggengkan ilmu-ilmu yang diletakkan pada
masa sebelumnya, seperti ilmu tafsir. Ilmu ini semakin menjadi
niscaya dan memiliki makna yang strategis. Di samping karena faktor
luasnya kawasan Islam ke beberapa daerah luar Arab yang membawa
konsekwensi lemahnya rasa seni sastra Arab, juga karena banyak
orang yang masuk Islam. Hal ini mengakibatkan pencemaran bahasa
al-Quran dan pemaknaan al-Quran yang digunakan untuk kepentingan
golongan tertentu. Pencemaran al-Quran juga disebabkan oleh karena
faktor interpretasi yang didasarkan pada kisah-kisah Israiliyat dan
Nasraniyat. Bersamaan dengan itu, kemajuan yang diraih dalam dunia
pendidikan pada saat itu adalah dikembangkannya ilmu nahwu yang
digunakan untuk memberikan tanda baca, pencatatan kaidah-kaidah
bahasa, dan periwayatan bahasa. Sungguhpun terjadi perbedaan
mengenai penyusun ilmu nahwu, tetapi disiplin ilmu ini menjadi ciri
kemajuan tersendiri pada masa ini.[27] Selain disiplin ilmu tafsir,
hadits dan ilmu hadits pada masa ini juga mendapat perhatian secara
serius. Periwayatan hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan

baik secara ilmiah maupun secara moral mendapat perhatian luas.


Namun, keberhasilan yang diraihnya adalah semangat untuk mencari
hadits, belum mencapai pada tahap kodifikasi. Khalifah Umar ibn Abd
al-Aziz yang memerintah hanya dua tahun, yakni tahun 99-101
H./717-720 M., pernah mengirim surat pada Abu Bakr ibn
Muhammad ibn Amir ibn Ham dan kepada ulama-ulama yang lain
untuk menuliskan dan mengumpulkan hadits-hadits. Akan tetapi,
hingga dengan masa akhir kepemerintahannya, hal itu tidak
terlaksana. Sungguhpun demikian, perintah Umar ibn al-Aziz telah
melahirkan metode pendidikan alternatif, yakni para ulama mencari
hadits ke berbagai tempat dan orang yang dianggap mengetahuinya
yang kemudian dikenal dengan metode rihlah. Di bidang hukum fiqh,
secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu aliran
ahli al-ray dan aliran ahl al-hadits. Kelompok aliran pertama
mengembangkan hukum Islam dengan menggunakan analogi (baca:
qiyas) bila terdapat masalah yang belum ditentukan hukumnya. Aliran
ini berkembang di Irak yang dimotori oleh Syuriah ibn al-Harits (w. 78
H./697 M.), Alqamah ibn Qais (w. 62 H./681 M.), Masruq al-Ajda (w.
63 H./682 M.), al-Aswad ibn Yazid (w. 95 H./913 M.), yang kemudian
diikuti oleh Ibrahim al-Nakhai (w. 95 H./913 M.), dan Amr ibn
Syurahbil al-Syaby (w. 104 H./722 M.). Sesudah itu digantikan oleh
Hammad ibn Abu Sulaiman (w. 120 H./737 M.), yang kemudian
menjadi guru Abu Hanifah. Aliran kedua, ahl al-hadits, lebih
berpegang pada dalil-dalil secara literal, bahkan aliran ini tidak akan
memberikan fatwa jika tidak ada ayat al-Quran atau hadits yang
menerangkannya. Di antara pelopor aliran ini adalah Ibn Syihab alZuhri (w. 124 H./741 M.), dan Nafi Maula Abdullah ibn Umar (w.
117 H./735 M.) yang keduanya merupakan guru imam Malik ibn Anas
(w. 117 H./735 M.). Pada masa ini dinamika disiplin fiqh

menunjukkan perkembangan yang sangat berarti. Periode ini telah


melahirkan sejumlah mujtahid-mujtahid fiqh. Ketika akhir masa
Umayyah, telah lahir tokoh madzhab fiqh yakni Imam Abu Hanifah di
Irak (lahir 80 H./699 M.) dan Imam Malik ibn Anas di Madinah (lahir
96 H./714 M.), sedangkan Imam al-Syafii dan Imam Ahmad ibn
Hanbal lahir pada masa Abbasiyah.[28] Di antara jasa dinasti Umayah
dalam bidang pendidikan, menurut Hasan Langgulung, adalah
menekankan ciri ilmiah pada masjid sehingga menjadi pusat
perkembangan ilmu dalam tahap perguruan tinggi dalam masyarakat
Islam. Dengan penekanan ini, di masjid diajarkan beberapa macam
ilmu, di antaranya syair, sastra, kisah-kisah bangsa dulu, dan teologi
dengan menggunakan metode debat. Dengan demikian, periode antara
permulaan abad kedua hijriah sampai akhir abad ketiga hijriah
merupakan zaman pendidikan masjid yang paling cemerlang.[29] 5.
Pendidikan Islam Masa Dinasti Abbasiyah [132-656 H./750-1258 M.]
Charles Michael Stanton berkesimpulan bahwa sepanjang masa klasik
Islam, penentuan sistem dan kurikulum pendidikan berada di tangan
ulama, kelompok orang-orang yang berpengetahuan dan diterima
sebagai otoritatif dalam soal-soal agama dan hukum,[30] bukan
ditentukan oleh struktur kekuasaan yang berkuasa. Agaknya,
kesimpulan ini tidak dapat dipertahankan seutuhnya, terutama, ketika
dihadapkan dengan kenyataan kasus lembaga pendidikan madrasah almustansiriyah. Sebagaimana hasil penelitian Hisam Nashabe, negara
melakukan kontrol terhadap pengaruh-pengaruh yang ditimbulkan
oleh madrasah itu, bahkan juga melakukan investigasi metode
pengajarannya.[31] Dengan intervensi semacam ini dimungkinkan
negara (state) menetapkan struktur kurikulum yang dijalankan oleh
lembaga-lembaga pendidikan di kalangan masyarakat luas. Sekedar
untuk menetralisasi perdebatan di atas, agaknya kesimpulan Stanton

itu lebih ditujukan pada lembaga pendidikan yang tidak berbentuk


madrasah, seperti kuttab. Sebab, sistem pendidikan yang dioperasikan
oleh madrasah ternyata memiliki kepentingan-kepentingan tertentu,
baik kepentingan madzhab fiqh, teologi, atau kepentingan politis.
Bahkan, dalam tradisi pendidikan klasik, madrasah itu dibangun atas
dasar

wakaf

seseorang

yang

dalam

kebiasaannya

memang

menargetkan tujuannya masing-masing.[32] Menurut Hasan Abd


al-Al, seorang ahli pendidikan Islam alumni Universitas Thantha,
dalam tesisnya menyebutkan tujuh lembaga pendidikan yang telah
berdiri pada masa Abbasiyah ini, terutama pada abad ke-4 Hijriyah.
Ketujuh lembaga itu adalah [a] lembaga pendidikan dasar [al-kuttab],
[b] lembaga pendidikan masjid [al-masjid], [c] kedai pedagang kitab
[?], [al-hawanit al-waraqin], [d] tempat tinggal para sarjana [manazil
al-ulama], [e] sanggar seni dan sastra [al-shalunat al-adabiyah], [f]
perpustakaan [dawr al-kutub wa dawr al-ilm], dan [g] lembaga
pendidikan sekolah [al-madrasah].[33] Semua institusi itu memiliki
karakteristik tersendiri dan kajiannya masing-masing. Sungguhpun
demikian, secara umum, seluruh lembaga pendidikan itu dapat
diklasifikasikan menjadi tiga tingkat. Pertama, tingkat rendah yang
terdiri dari kuttab, rumah, toko, dan pasar, serta istana. Kedua, tingkat
sekolah menengah yang mencakup masjid, dan sanggar seni, dan ilmu
pengetahuan, sebagai lanjutan pelajaran di kuttab. Ketiga, tingkat
perguruan tinggi yang meliputi masjid, madrasah, dan perpustakaan,
seperti Bait al-Hikmah di Baghdad dan Dar al-ulum di Kairo. Pada
tingkat pertama, yakni tingkat pendidikan rendah, kurikulum yang
diajarkannya meliputi [a] membaca al-quran dan menghafalnya, [b]
pokok-pokok agama Islam, seperti wudlu, shalat, dan puasa, [c]
menulis, [d] kisah orang-orang yang besar, [e] membaca dan
menghafal syair-syair, [f] berhitung, dan [g] pokok-pokok nahwu dan

shorof alakadarnya. Sungguhpun demikian, kurikulum seperti ini tidak


dapat dijumpai di seluruh penjuru, tetapi masing-masing daerah
terkadang berbeda. seperti pendapat Ibn Khaldun yang dikutip oleh
Hasan Abd al-Al, di Maroko (Maghribi) hanya diajarkan al-Quran
dan rasm (tulisan)nya. Di Andalusia, diajarkan al-Quran dan menulis
serta syair, pokok-pokok nahw dan sharf serta tulisan indah (khath).
Di Tunisia (Afriqiah) diajarkan al-Quran, hadits dan pokok-pokok
ilmu agama, tetapi lebih mementingkan hafalan al-Quran.[34] Waktu
belajar di kuttab dilakukan pada pagi hari hingga waktu shalat Ashar
mulai hari Sabtu sampai dengan hari Kamis. Sedangkan hari Jumat
merupakan hari libur. Selain hari Jumat, hari libur juga pada setiap
tanggal 1 Syawal dan tiga hari pada hari raya Idhul Adha. Jam
pelajaran biasanya dibagi tiga. Pertama, pelajaran al-Quran dimulai
dari pagi hari hingga waktu Dhuha. Kedua, pelajaran menulis dimulai
pada waktu Dhuha hingga waktu Zhuhur. Setelah itu anak-anak
diperbolehkan pulang untuk makan siang. Ketiga, pelajaran ilmu lain,
seperti nahwu, bahasa Arab, syair, berhitung, dan lainnya, dimulai
setelah Zhuhur hingga akhir siang [Ashar].[35] Pada tingkat rendah
ini, tidak menggunakan sistem klasikal, tanpa bangku, meja, dan
papan tulis. Guru mengajar murid-muridnya dengan berganti-ganti
satu persatu. Begitu juga tidak ada standar buku yang dipakai. Pada
jenjang pendidikan dasar, metode yang dipakai adalah metode
pengulangan dan hafalan. Artinya, guru mengulang-gulang bacaan alQuran didepan murid dan murid mengikutinya yang kemudian
diharuskan hafal bacaan-bacaan itu. Bahkan, hafalan ini tidak terbatas
pada materi-materi al-Quran atau hadits, tetapi juga pada ilmu-ilmu
lain.[36] Tak terkecuali untuk pelajaran syair, guru mengungkapkan
syair dengan lagu (wazn) yang paling mudah sehingga murid mampu
menghafalkannya dengan

cepat.[37]

Pada

jenjang

pendidikan

menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut. [a] alQuran, [b] bahasa Arab dan kesusasteraan, [c] fiqh, [d] tafsir, [e]
hadits, [f] nahw / sharf / balaghah, [g] ilmu-ilmu eksakta, [h] mantiq,
[i] falak, [j] tarikh, [k] ilmu-ilmu kealaman, [l] kedokteran, [m] musik.
[38] Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan
menengah dibeberapa daerah juga berbeda. Menurut Hasan Abd
al-Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang
bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran
dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang
keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada
materi-materi berikut: [a] Fiqh [ilm al-fiqh], [b] tata bahasa [ilm alNahw], [c] teologi [ilm al-kalam], [d], menulis [al-kitabah], [e] Lagu
[arudh], [f] sejarah [ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode
pengajaran bidang intelektual [alm manhaj alilmiy al-adabiy] yang
meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabiiyah],
filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan
keagamaan yang lain.[39] Jenjang pendidikan tingkat tinggi
tampaknya

memiliki

perbedaan

di

masing-masing

lembaga

pendidikan. Namun, secara umum lembaga pendidikan tingkat tinggi


mempunyai dua fakultas. Pertama, fakultas ilmu-ilmu agama serta
bahasa dan sastra Arab. Fakultas ini mengkaji ilmu-ilmu berikut: [a]
Tafsir al-Quran, [b] Hadits, [c] Fiqh dan Ushul al-Fiqh, [d] Nahw /
Sharf, [e] Balaghah, [f] bahasa dan satra Arab. Kedua, fakultas ilmuilmu hikmah [filsafat]. Fakultas ini mempelajari ilmu-ilmu berikut: [a]
manthiq, [b] ilmu-ilmu alam dan kimia, [c] musik, [d] ilmu-ilmu
eksakta, [e] ilmu ukur, [f] falak, [g] ilmu-ilmu teologi, [h] ilmu hewan,
[i] ilmu-ilmu nabati, dan [j] ilmu kedokteran.[40] Semua mata
pelajaran ini diajarkan di perguruan tinggi dan belum diadakan

spesialisasi mata pelajaran tertentu. Spesialisasi itu ditentukan setelah


tamat dari perguruan tinggi, berdasarkan bakat dan kecenderungan
masing-masing sesudah praktek mengajar beberapa tahun. Hal ini
dibuktikan oleh Ibn Sina, sebagaimana diterangkan dalam karya
Thabaqat athibba, bahwa setelah Ibn Sina menamatkan pendidikan
tingkat menengah dalam usia 17 tahun, ia belajar lagi selama 1,5
tahun. Ia mengulang membaca mantiq dan filsafat kemudian ilmuilmu eksakta dan ilmu-ilmu kealaman. Kemudian ia mengkaji ilmu
ketuhanan dengan membaca kitab Ma Wara al-Thabiah (metafisika)
karya Aristoteles, juga karya-karya al-Farabi. Ibn Sina mendapat
kesempatan membaca literatur-literatur di perpustakaan al- Amir,
seperti buku-buku kedokteran, bahasa Arab, syair, fiqh, dan
sebagainya. Literatur-literatur itu dibacanya sehingga ia mendapat
hasil yang memuaskan. Ia selesai studi disana dalam usia 18 tahun.
Hal ini seperti berlaku juga kepada orang lain.[41] Metode yang
dipakai dalam lembaga pendidikan tingkat tinggi adalah halaqah. Guru
duduk diatas tikar yang dikelilingi oleh para mahasiswanya. Guru
memberikan materi kepada semua mahasiswa yang hadir. Jumlah
mahasiswa yang mengikuti tergantung kepada guru yang mengajar.
Jika guru itu ulama besar dan mempunyai kredibilitas intelektual maka
para mahasiswanya banyak. Akan tetapi, jika sebaliknya niscaya sepi
dari para mahasiswa, bahkan mungkin jadi halaqah-nya ditutup.
Menurut Charles Michael Stanton, sebelum guru menyampaikan
materi, ia terlebih dahulu menyususn taliqah. Taliqah ini memuat
silabus dan uraiannya yang disusun oleh masing-masing tenaga
pengajar

berdasarkan

catatan

perkuliahannya

ketika

menjadi

mahasiswa, hasil bacaan, dan pendapatnya tentang materi yang


bersangkutan. Taliqah mengandung rincian-rincian materi pelajaran
dan dapat disampaikan untuk jangka waktu empat tahun. Mahasiswa

menyalin taliqah itu dalam proses dikte, bahkan kebanyakan mereka


betul-betul menyalin. Akan tetapi, sebagian yang lain, menambahkan
pada salinan taliqah ini dengan pendapatnya sendiri-sendiri sehingga
taliqah nya merupakan refleksi pribadi tentang materi kuliah yang
disampaikan gurunya.[42] Menurut Hasan Abd al-Al, metode
pendidikan yang dilakukan pada jenjang tingkat tinggi ini meliputi
metode-metode sebagai berikut. Pertama, metode ceramah [almuhadlarah]. Dalam metode ini, guru menyampaikan materi kepada
semua mahasiswa dengan diulang-ulang sehingga mahasiswa hafal
terhadap apa yang dikatakannya. Pada metode ini, terbagi menjadi dua
cara, metode dikte [al-imla] dan metode pengajuan kepada guru [alqiraat ala al syaikh aw al-ardl]. Kedua, metode diskusi [almunadzarah]. Metode ini digunakan untuk menguji argumentasiargumentasi yang diajukan sehingga dapat teruji. Metode ini oleh
kalangan Mutazilah menjadi salah satu pilar yang sangat penting
dalam sistem pendidikannya. Ketiga, metode koresponden jarak jauh
[al-talim bi al-murasilah]. Metode ini merupakan salah satu metode
yang digunakan oleh para mahasiswa yang menanyakan suatu masalah
kepada guru yang jauh secara tertulis, lalu guru itu memberikan
jawabannya secara tertulis pula. Keempat, metode rihlah ilmiah.
Metode in dilakukan oleh para mahasiswa baik secara pribadi maupun
secara berkelompok dengan cara mendatangi guru dirumahnyayang
biasanya jarak jauhuntuk berdiskusi tentang suatu topik. Guru yang
didatangi biasanya adalah guru yang dianggap memiliki keahlian
dalam

bidangnya.[43]

Mahasiswa

yang

telah

menamatkan

pendidikannya diberikan ijazah. Mahasiswa itu telah lulus ujian dan


mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan ketika
munaqasyah. Ijazah terkadang dalam bentuk lisan dan dalam bentuk
tulisan. Ijazah ini tidak diberikan oleh sekolah, tetapi oleh guru yang

mengajarinya. Dengan diberikannya ijazah berarti yang bersangkutan


diperbolehkan meriwayatkan atau menyampaikan pelajaran kepada
mahasiswa yang lain.[44] DAFTAR PUSTAKA Busroh, Abu Daud.
Capita Selekta Hukum Tata Negara, Jakarta : Rineka Cipta, 1994
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ade_Cahyana.
html

http://www.hariansib.com/index.php?

option=com_content&task=view&id=8202&Itemid=9 Sanaky, Hujair


AH. Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia,(Yogyakarta : Safiria Insania dan MSI, 2003), hlm. 146
Sunarno, Siswanto. Hukum Pemerintahan Daerah, Jakarta : Sinar
Grafika, 2006 Suyanto, Dinamika Pendidikan Nasional (Dalam
Percaturan Dunia Global], Jakarta : PSAP Muhammadiyah, 2006
Widjaja, H.A.W. Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia, Jakarta :
Rineka Cipta, 1998 Dampak negatif otonomi daerah dan peran dephan
dalam pendayagunaan sumber daya nasional untuk kepentingan
pertahanan Negara ; Suatu Tinjauan Analisis Makro Tentang
Implementasi Fungsi Pembinaan dan Pendayagunaan Sumber Daya
Alam Oleh: Kolonel Cpl Umar S. Tarmansyah Puslitbang Ind
Balitbang Dephan [1] Abu Daud Busroh, Capita Selekta Hukum Tata
Negara, (Jakarta : Rineka Cipta, 1994), hlm. 271 [2] Dampak negatif
otonomi daerah dan peran dephan dalam pendayagunaan sumber daya
nasional untuk kepentingan pertahanan Negara ; Suatu Tinjauan
Analisis Makro Tentang Implementasi Fungsi Pembinaan dan
Pendayagunaan Sumber Daya Alam Oleh: Kolonel Cpl Umar S.
Tarmansyah Puslitbang Ind Balitbang Dephan [3] Siswanto Sunarno,
Hukum Pemerintahan Daerah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm/ 13
[4] H.A.W. Widjaja, Percontohan Otonomi Daerah di Indonesia,
(Jakarta : Rineka Cipta, 1998), hlm. 23-24 [5] Suyanto, Dinamika
Pendidikan Nasional (Dalam Percaturan Dunia Global], (Jakarta :

PSAP Muhammadiyah, 2006), hlm. 11 [6] Hujair AH. Sanaky,


Paradigma Pendidikan Islam, Membangun Masyarakat Madani
Indonesia,(Yogyakarta : Safiria Insania dan MSI, 2003), hlm. 146 [7]
ibid

[8]

http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ade_Cahyana.
htm,

[9]

http://www.hariansib.com/index.php?

option=com_content&task=view&id=8202&Itemid=9

[17]

Asma

Hasan Fahmi, op.cit., h. 30. [18] Mahmud Yunus, op.cit, h. 39 [19]


Metode sorogan dalam dunia pesantren biasanya dilakukan kepada
para santri yang masih memerlukan bimbingan dari para gurunya
secara individual. Metode ini merupakan bagian yang sangat sulit dari
sistem pendidikan Islam tradisional, karena sistem ini menuntut
kesabaran, kerajinan, ketaatan dan disiplin pribadi dari murid. Baca
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan
Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1994), cet. ke-4, h. 28. [20] Mahmud
Yunus, op.cit, h. 39-40 [21] Ibid., h. 33 [22] Pengertian ini dapat
dipahami dari instruksi Umar ibn Khathab yang sangat terkenal, yakni
) )
Baca Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah wa
Falasafatuha, (Beirut: Dar al-Fikr, tth.), h. 2 [23] Mahmud Yunus,
op.cit, h. 40. [24] Untuk mengetahui lebih lanjut polemik ini dapat
dibaca pada Harun Nasution , Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah
Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI-Press, 1986), cet. ke-5, h. 1-11.
[25] Muhammad Athiyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah al-Islamiyah,
diterjemahkan oleh Bustami A. Ghanidan Djohar Bahry, Dasar-dasar
pokok pemikiran Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1993), cet. ke-7, h.
72-73. [26] Baca Franz Rosenthal, The Classical Heritage in Islam,
(London: Routledge and Kegan Paul, 1975), h. 3. [27] Ada beberapa
teori yang membahas penyusun ilmu nahwu, misalnya al-Anbari

menyatakan penyusun ilmu nahwu adalah Imam Ali ibn Abi Thalib,
sementara pendapat lain adalah Nashr ibn Ashim al-Laits, Abd alRahman ibn Hurmuz dan Abu al-Aswad al-Duali. Mengenai
perbincangan ini dapat dibaca pada Muhammad Thanthawi, Nasyat
al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp: Dar al-Manar, tth.), h. 1117. [28] Lihat Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1989). [29] Hasan Langgulung, op.cit., h. 9.
[30] Penilaian Stanton ini sesungguhnya didasarkan pada pendapat alZamuji dalam karyanya Talim al-Mutaallim. Selanjutnya lihat
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical
Period, A.D. 700-1.300, diterjemahkan oleh Affandi dan Hasan Asari,
Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam
Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1,
hal. 52. [31] Hisham Nashabe mengkaji secara serius kasus Madrasah
al-Mustanshiriyah ini. Untuk lebih jelas baca Muslim Educational
Institution: a General Survey Followed by a Monografic Study of alMadrasah al-Mustansiriyah in Baghdad, (Libanon: Libraire du Liban,
1989), h. 135. [32] Mengenai sistem wakaf dalam pembangunan
madrasah dapat dibaca pada Charles Michael Stanton, op.cit., h. 4145. [33] Baca Hasan Abd al-Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn
al-Rabi al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 181-219. [34]
Baca ibid., h. 133-134. [35] Lihat Mahmud Yunus, op.cit, h. 50-51.
Bandingkan dengan pendapat tokoh pendidikan seperti Badr al-Din
Ibn Jamaah, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa
al-Mutaallim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1354 H.), h. 73. [36]
Baca Hasan Abd al-Al, op.cit. h. 149-150 [37] Ibid, h. 152. [38]
Mahmud Yunus, op.cit., h. 55-56 [39] Hasan Abd al-Al, op.cit., h.
140-141. [40] Mahmud Yunus,op. cit. , h. 57-58 [41] Ibid, h. 58-59.
[42] Lihat Charles Michael Stanton, op.cit.,h. 54 [43] Baca lebih lanjut

Hasan Abd al-Al, op.cit., h. 152-156. [44] Ibid., h. 143-144. Lihat


juga Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, (Cambridge: The
Belknap Press of Harvard University Press, 1991), h. 163-16

Anda mungkin juga menyukai