Kata Pengantar
Kata Pengantar
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah Swt., karena berkat kemurahanNya lah makalah ini dapat selesaikan tepat pada waktunya. Makalah ini
membahas tentang OTONOMI PENDIDIKAN. Selain sebagai tugas,
Makalah ini dibuat untuk menambah pengetahuan dan ilmu kita. Banyak sekali
hambatan dalam penyusunan makalah ini baik itu masalah waktu, sarana, dan
lain lain. Secara keseluruhan, makalah ini tentu masih mengandung banyak
kekurangan. Oleh karena itu saran dan bantuan dari dosen pembimbing
POLITIK DAN ETIKA PENDIDIKAN ISLAM maupun pembaca untuk
penyempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Demikian makalah ini
saya buat semoga bermanfaat. Lamongan, 09 maret 2016 yulia ningsih
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Otonomi atau autonomy
berasal dari bahasa Yunani autos yang berarti sendiri, dan nomos
yang berarti hokum atau aturan. Dalam konteks etimologi otonomi
diartikan sebagai perundangan sendiri. Menurut Syarif Saleh, otonomi
sebagai hak mengatur dan memerintahkan daerah sendiri, hak mana yang
diperoleh dari pemerintah pusat.
Otonomi pendidikan merupakan kekuasaan yang diberikan oleh
pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengatur, mengelolah,
mengorganisir urusan pendidikan yang secara tidak langsung di awasi
oleh pemerintah pusat. Otonomi juga diartikan sebagai kemandirian suatu
daerah untuk mengatur daerahnya secara mandiri.
Pelaksanaan otonomi pendidikan ini berlangsung karena adanya
kewenangan yang diberikan langsung dari pemerintah pusat untuk
didirikannya otonomi daerah suatu daerah. Adapun hak yang diberikan
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah itu tidak langsung
diberikan sepenuhnya. Pemerintah pusat disini bertugas mengawasi
pelaksanaan otonomi pendidikan ini. Dalam proses pembuatan makalah
dukungan
sumber
daya
dalam
penyelenggaraan
daerah
wajib
menjamin
tersedianya
daya
guna
penduduk
dan
masyarakat
untuk
memperoleh
Pelimpahan
wewenang
kepada
daerah
membawa
konsekuensi
terhadap
pembiayaan
guna
mendukung
proses
pertimbangan
pendidikan
dan
kebudayaan
yang
lubang berpikir yang ortodoks tidak lagi ada dalam bangunan dan
tatanan masyarakat dinamisdan progesif.
Maka bila hal ini bisa terwujud, masyarakat juga akan merasa bangga
dengan dirinya sendiri dan pada nantinya akan respek terhadap
kemajuan dan pekembangan yang terjadi dalam lingkungan sosial
maupun pendidikan. Karena masyarakat telah diberikan penghargaan
yang tinggi sebagai mahluk sosial dan sebagai hamba Tuhan.
Sehingga pendidikan masyarakat yang mencakup seluruh komponen
masyarakat dan sekolah itu dapat berjalan dengan sinergis, beriringan
dan selaras sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Selain itu juga
di era otonomi ini, masyarakat perlu diberikan kepercayaan untuk ikut
serta dalam pemberdayaan dan pengelolaan pendidikan, tidak hanya
sekedar sebagai penyumbang atau penambah dana bagi sekolah yang
terlambangkan dalam BP3. Dengan kata lain ketidak seimbangan dan
ketimpangan antara hak dan kewajiban anggota BP3 yang terdiri dari
masyarakat atau orang tua peserta didik harus tiadakan. Karena hal itu
telah menjadikan lembaga yang seharusnya mewadahi partisipasi
masyarakat tidak ada fungsinya lagi (disfuction), untuk itu ketika
otonomisasi telah digalakkan maka sudah saatnya masyarakat
diikutsertakan dalam pengambilan keputusan di sekolah dalam
berbagai hal. Tetapi tidak hanya sekedar sebagai formalitas saja dalam
arti masyarakat dalam musyawarah nantinya sekedar menjadi objek
saja atau sebagai pendengar, tetapi harus benar-benar dilibatkan secara
langsung, namun peran serta masyarakat juga terbatas pada lingkup
tartentu dengan diikutsertakan masyarakat dalam pendidikan akan
lebih efektif kerena secara langsung dapat dinikmati oleh masyarakat
itu sendiri. Berkaitan dengan implementasinya otonomi pendidikan,
maka sudah tentunya peran dari lembaga pendidikan sebagai pusat
pengetahuan, IPTEK ,dan budaya menjadi lebih penting serta stategis.
adanya
otonomi
pelaksanaan
pendidikan
sepenuhnya
dan
kemampuan
pembiayaannya
bagi
yang
kemudian
dibagi-bagi
pada
daerah
otonomi,
struktur,
nama
organisasi
kelembagaan,
dan
Sistem
pendidikan
nasional
termasuk
aspek
menyebutkan
bahwa
dalam
wujud
pelaksanaan
non-personnel.
Alokasi
anggaran
untuk
pelatihan
guru.
lainnya,
di
mana
disentralisasi
pada
bidang
pendidikan
tidak
hanya
berhenti
pada
tingkat
pendidikan
menimbulkan
kesulitan
dalam
baru
hal
tertentu
dibandingkan
justru
dengan
malah
keadaan
disimpulkan
penyerahan
bahwa
wewenang
desentralisasi
urusan-urusan
merupakan
yang
semula
adanya
menjadi
daerah
secara
lebih
responsif
dan
untuk
dari
berbagai
kepentingan
sepcrti
kepentingan-
pemerintah
daerah
sangat
penting
untuk
tertentu
seingga
menunjukkan
adanya
hubungan
terang-terangan
yang
terfokus
kepada
keluarga
dekat,
Quraisy
Makkah,
lingkungan
yang
dakwahnya,
al-Quran
sebagaimana
diajarkannya.
Pada
periode
pertama
adalah
membangun
insititusi
masjid.
Melalui
pendidikan
berkisar
pada
empat
bidang:
pendidikan
Umar
ibn
Khattab
diangkat
menjadi
khalifah,
ia
sejarah
bani
Umayyahyang
bersamaan
dengan
besar,[24]
wacana
kalam
tidak
dapat
dihindari
dari
wakaf
seseorang
yang
dalam
kebiasaannya
memang
cepat.[37]
Pada
jenjang
pendidikan
menengah disediakan pelajaran-pelajaran sebagai berikut. [a] alQuran, [b] bahasa Arab dan kesusasteraan, [c] fiqh, [d] tafsir, [e]
hadits, [f] nahw / sharf / balaghah, [g] ilmu-ilmu eksakta, [h] mantiq,
[i] falak, [j] tarikh, [k] ilmu-ilmu kealaman, [l] kedokteran, [m] musik.
[38] Seperti halnya pendidikan rendah, kurikulum jenjang pendidikan
menengah dibeberapa daerah juga berbeda. Menurut Hasan Abd
al-Al, metodologi pengajaran disesuaikan dengan materi yang
bersangkutan. Menurutnya, secara garis besar metode pengajaran
dibedakan menjadi dua. Pertama, metode pengajaran bidang
keagamaan [al-manhaj al-diniy al-adabiy] yang diterapkan pada
materi-materi berikut: [a] Fiqh [ilm al-fiqh], [b] tata bahasa [ilm alNahw], [c] teologi [ilm al-kalam], [d], menulis [al-kitabah], [e] Lagu
[arudh], [f] sejarah [ilm al-akhbar terutama tarikh]. Kedua metode
pengajaran bidang intelektual [alm manhaj alilmiy al-adabiy] yang
meliputi olahraga [al-riyadhah], ilmu-ilmu eksakta [al-thabiiyah],
filsafat [al-falasafah], kedokteran [thibb], dan musik yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, serta ilmu-ilmu kebahasaan dan
keagamaan yang lain.[39] Jenjang pendidikan tingkat tinggi
tampaknya
memiliki
perbedaan
di
masing-masing
lembaga
berdasarkan
catatan
perkuliahannya
ketika
menjadi
bidangnya.[43]
Mahasiswa
yang
telah
menamatkan
http://www.hariansib.com/index.php?
[8]
http://www.depdiknas.go.id/Jurnal/26/indonesia_2010_Ade_Cahyana.
htm,
[9]
http://www.hariansib.com/index.php?
option=com_content&task=view&id=8202&Itemid=9
[17]
Asma
menyatakan penyusun ilmu nahwu adalah Imam Ali ibn Abi Thalib,
sementara pendapat lain adalah Nashr ibn Ashim al-Laits, Abd alRahman ibn Hurmuz dan Abu al-Aswad al-Duali. Mengenai
perbincangan ini dapat dibaca pada Muhammad Thanthawi, Nasyat
al-Nahw wa Tarikh Asyhur al-Nuhat, (ttp: Dar al-Manar, tth.), h. 1117. [28] Lihat Munawwar Chalil, Empat Biografi Imam Madzhab,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1989). [29] Hasan Langgulung, op.cit., h. 9.
[30] Penilaian Stanton ini sesungguhnya didasarkan pada pendapat alZamuji dalam karyanya Talim al-Mutaallim. Selanjutnya lihat
Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam: The Classical
Period, A.D. 700-1.300, diterjemahkan oleh Affandi dan Hasan Asari,
Pendidikan Tinggi dalam Islam: Sejarah dan Peranannya dalam
Kemajuan dan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Logos, 1994), cet. ke-1,
hal. 52. [31] Hisham Nashabe mengkaji secara serius kasus Madrasah
al-Mustanshiriyah ini. Untuk lebih jelas baca Muslim Educational
Institution: a General Survey Followed by a Monografic Study of alMadrasah al-Mustansiriyah in Baghdad, (Libanon: Libraire du Liban,
1989), h. 135. [32] Mengenai sistem wakaf dalam pembangunan
madrasah dapat dibaca pada Charles Michael Stanton, op.cit., h. 4145. [33] Baca Hasan Abd al-Al, al-Tarbiyah al-Islamiyah fi al-Qarn
al-Rabi al-Hijriy, (ttp: Dar al-Fikr al-Arabi, tth.), h. 181-219. [34]
Baca ibid., h. 133-134. [35] Lihat Mahmud Yunus, op.cit, h. 50-51.
Bandingkan dengan pendapat tokoh pendidikan seperti Badr al-Din
Ibn Jamaah, Tadzkirat al-Sami wa al-Mutakallim fi Adab al-Alim wa
al-Mutaallim, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1354 H.), h. 73. [36]
Baca Hasan Abd al-Al, op.cit. h. 149-150 [37] Ibid, h. 152. [38]
Mahmud Yunus, op.cit., h. 55-56 [39] Hasan Abd al-Al, op.cit., h.
140-141. [40] Mahmud Yunus,op. cit. , h. 57-58 [41] Ibid, h. 58-59.
[42] Lihat Charles Michael Stanton, op.cit.,h. 54 [43] Baca lebih lanjut