Anda di halaman 1dari 18

I.

PERGANTIAN DARI MDGs KE SDGs

SDGs adalah Agenda Pembangunan Berkelanjutan dari Millennium Development


Goals (MDGs) sebagai kesepakatan pembangunan global higga tahun 2030. Sekurangnya
193 yang ikut serta dalam SDGs ini
Seperti Millennium Development Goals (MDGs) yang dirilis pada September 2000
dan berakhir tahun 2015, SDGs juga berdurasi periode selama 15 tahun dari 2015 hingga
2030. Tetapi, target SDGs lebih banyak, detail, variatif, dan komprehensif dengan 17
tujuan dan 169 target, ketimbang MDGs yang hanya terdiri dari 8 tujuan dan 63 indikator
Dari 8 tujuan MDGs, 4 di antaranya tidak berhasil dicapai oleh Indonesia, yakni
angka kematian ibu, penurunan jumlah kasus HIV/AIDS, kelestarian lingkungan, serta
penyediaan akses air bersih dan sanitasi yang layak. Angka Kematian Ibu pada tahun 2012
mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup, yang jauh di atas target MDGs 102 per
100.000 kelahiran hidup untuk tahun 2015. Sementara dalam SDGs, indikator angka
kematian ibu melahirkan diharapkan di bawah 70 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun
2030.
Sustainable artinya aksi nyata yang berkelanjutan, tidak terputus-putus atau tiada
henti. Penurunan angka kematian ibu merupakan salah satu representatif dari upaya yang
memerlukan aksi berkelanjutan. Upaya menekan angka kematian ibu melahirkan, tidak
semata menghadirkan kondisi ibu yang sehat saat kehamilan serta memberikan
pertolongan persalinan yang memenuhi standar pelayanan kesehatan, tetapi jauh lebih
penting adalah mempersipkan kualitas kesehatan ibu melahirkan yang sehat jauh-jauh hari
sebelum hamil, bahkan sejak 1000 hari kehidupan.
Dengan demikian, persiapan bersifat jangka panjang dan berkelanjutan
(sustainable). Sebelum sampai pada usia dewasa dengan sistem reproduksi yang prima
untuk kehamilan dan persalinan, pertumbuhan fisik seorang ibu sesungguhnya berawal
dari 1000 hari kehidupan yang dihitung sejak saat pembuahan sel telur oleh sperma di
dalam rahim. Bagi seorang calon ibu, kehidupan 1000 hari yang perlu mendapatkan
nutrien yang berkualitas dan cukup, agar kelak tercegah dari stunting dengan tinggi tubuh
yang pendek pada usia anak hingga dewasa.
Mulai tahun 2016, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 20152030 secara
resmi menggantikan Tujuan Pembangunan Millennium (MDGs) 20002015.
Proses perumusan SDGs berbeda sekali dengan MDGs. SDGs disusun melalui
proses yang partisipatif, salah satunya melalui survei Myworld Salah satu perubahan
mendasar yang dibawa oleh SDGs adalah prinsip tidak ada seorang pun yang
1

ditinggalkan. SDGs juga mengandung prinsip yang menekankan kesetaraan antarnegara


dan antarwarga negara. SDGs berlaku untuk semua (universal) negaranegara anggota
PBB, baik negara maju, miskin, dan negara berkembang.
Perbedaan antara MDGs dan SDGs
No
1

MDGs 2000-2015
50 persen
Target

dan

separuh:

sasarannya
mengurangi

adalah Target dan sasarannya adalah semua,


separuh sepenuhnya dan tuntas

terlalu
minimal. Banyak negara telah terlebih

Mengakhiri kemiskinan
100 persen pendudu kmemiliki akta

dahulu mencapainya

kelahiran
Memerlukan fokus, untuk merangkul

kemiskinan.

SDGs 2015-2030
100 persen

Target

yang

mereka yang terpinggir dan terjauh.


Dari negara maju, untuk negara Berlaku universal
berkembang

SDGs

memandang

semua

negara

MDGs mengandaikan bahwa negara memiliki pekerjaan rumah. Tiaptiap


miskin

dan

mempunyai
Sementara
3

berkembang
pekerjaan
itu

yang negara wajib mengatasinya. Tiaptiap


rumah. negara

negara

harus

bekerja

sama

untuk

maju menemukan sumber pembiayaan dan

mendukung dengan penyediaan dana.


Dari Atas (top down)

perubahan kebijakan yang diperlukan.


Dari Bawah (bottom up) dan

Dokumen MDGs dirumuskan oleh partisipatif


para elite PBB dan OECD, di New Dokumen SDGs dirumuskan oleh tim
York, tanpa melalui proses konsultasi bersama, dengan pertemuan tatap muka di
4

atau pertemuan dan survei warga.


Solusi parsial atau tambal sulam

lebih dari 100 negara dan survei warga.


Solusi yang menyeluruh

8 Tujuan MDGs sebagian besar hanya Berisi

17

tujuan

yang

berupaya

mengatasi gejalagejala kemiskinan merombak struktur dan sistem


saja Masalah ekologi dan lingkungan
hidup tidak diakui Ketimpangan tidak

mendapatkan perhatian. Demikian

Kesetaraan gender
Tata pemerintahan
Perubahan

konsumsidanproduksi
Perubahansistemperpajakan
pembiayaan pembangunan
Diakuinyamasalahketimpangan
Diakuinyamasalahperkotaan
II.
Target SDGs yang Berkaitan dengan Kesehatan Wanita
halnya

dengan

soal

pajak

dan

model

Goal KeTarget
2 (Nol
- Pada tahun 2030, mengakhiri segala bentuk malnutrisi, termasuk mencapai target
Kelaparan

internasional 2025 untuk penurunan stunting dan wasting pada balita dan
mengatasi kebutuhan gizi remaja perempuan, wanita hamil dan menyusui, serta

lansia.
3 (Kesehatan - Pada 2030, mengurangi angka kematian ibu hingga di bawah 70 per 100.000
yang Baik)

kelahiran hidup. Saat ini angka kematian ibu berdasar data SDKI 2012 adalah
359/100.000 KH
- Pada 2030, menjamin akses semesta kepada pelayanan kesehatan seksual dan
reproduksi , termasuk keluarga berencana (KB), informasi dan edukasi, serta

integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional.


5 (Kesetaraan - Mengakhiri segala bentuk diskriminasi terhadap wanita dan perempuan di mana
Gender)

pun
- Menghilangkan segala bentuk kekerasan terhadap seluruh wanita dan perempuan
pada ruang publik maupun pribadi, termasuk perdagangan manusia, seks, dan
jenis eksploitasi lainnya
- Menghilangkan segala bentuk praktik berbahaya, seperti pernikahan anak-anak,
usia dini, dan terpaksa serta sunat perempuan
- Mengakui dan memberi nilai pada pelayanan tak berbayar dan pekerja rumah
tangga dengan penyediaan kebijakan-kebijakan layanan umum, infrastruktur dan
jaminan sosial, serta promosi pembagian tanggung jawab dalam rumah tangga
dan keluarga sesuai dengan kondisi nasional
- Memastikan partisipasi penuh dan efektif serta peluang yang sama untuk
kepemimpinan pada seluruh tingkat pengambilan keputusan dalam kehidupan
politik, ekonomi, dan masyarakat
- Menjamin akses semesta kepada kesehatan seksual dan reproduksi serta hak-hak
reproduksi. Proporsi negara yang memiliki hukum dan perundang-undangan
yang menjamin akses seluruh wanita dan remaja kepada pelayanan dan KIE
kesehatan reproduksi.
- Melakukan reformasi untuk memberikan kesetaraan hak sumber daya ekonomi
kepada wanita, sebagaimana pula akses kepada kepemilikan dan kendali atas
tanah dan properti lainnya, layanan keuangan, harta warisan, dan sumber daya
alam, sesuai hukum nasional
- Meningkatkan penggunaan teknologi yang mendukung, khususnya teknologi
informasi dan komunikasi, untuk mendorong pemberdayaan perempuan
- Mengadopsi dan memperkuat kebijakan yang logis serta legislasi yang dapat
ditegakkan untuk mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan seluruh

wanita dan perempuan di segala tingkatan

III. DATA PERMASALAHAN KESEHATAN PEREMPUAN DI INDONESIA


3.1 AKI (ANGKA KEMATIAN IBU)

Sumber: BPS, SDKI 1991-2012


MDGs
Target
Capaian
102 per 100.000 kelahiran Tahun 2012 sebesar 359

SDGs
Target 2030
< 70 per 100.000 kelahiran

hidup

hidup

per 100.000 kelahiran


hidup (SDKI,2012)
Tahun 2015 sebesar 305
per 100.000 kelahiran
hidup

Sumber : Direktorat Bina Kesehatan Ibu, Kementerian Kesehatan RI (2015)


3.2 Penyebab kematian ibu di Indonesia tahun 2010 2013

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2014)


3.3 Proporsi penolong persalinan dengan kualifikasi tertinggi di Indonesia, riskesdas
tahun 2013

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)

3.4 Grafik Cakupan Proporsi Bersalin di Tempat Bersalin

Sumber: Riskesdas, 2013 Balitbangkes


3.5 Cakupan Pelayanan Kesehatan Ibu: Provinsi dengan Kinerja Terbaik dan
Terburuk

Sumber: Riskesdas 2010 (Susenas 2010 untuk pertologan persalinan)


Sekitar 61 persen perempuan usia 10-59 tahun melakukan empat kunjungan
pelayanan antenatal yang disyaratkan selama kehamilan terakhir mereka. Sekitar 86
di kota dan 45 persen di desa perempuan hamil masing-masing telah diambil sampel darah
mereka dan diberitahu tentang tanda-tanda komplikasi kehamilan. Akan tetapi, hanya 20
persen perempuan hamil mendapatkanl lima intervensi pertama secara lengkap, menurut
Riskesdas 2010. Bahkan di Yogyakarta, provinsi dengan cakupan tertinggi, proporsi ini
hanya 58 persen. Sulawesi Tengah memiliki cakupan terendah sebesar 7 persen.
Sekitar 38 persen perempuan usia reproduktif menyatakan telah mendapatkan dua
atau lebih suntikan tetanus toxoid (TT2 +) selama kehamilan. Kementerian Kesehatan
merekomendasikan agar perempuan mendapatkan suntikan tetanus toksoid selama dua
kehamilan pertama, dengan suntikan penguat sekali selama setiap kehamilan berikutnya
untuk memberikan perlindungan penuh. Cakupan TT2 + terendah terdapat di Sumatera
Utara (20 persen) dan tertinggi di Bali (67 persen).

Kira-kira 31 persen ibu nifas mendapatkan pelayanan pascanatal tepat waktu. Ini
berarti pelayanan dalam waktu 6 sampai 48 jam setelah melahirkan, seperti yang
ditentukan oleh Kementerian Kesehatan. Pelayanan pasca persalinan yang baik sangat
penting, karena sebagian besar kematian ibu dan bayi baru lahir terjadi pada dua hari
pertama dan pelayanan pasca persalinan diperlukan untuk menangani komplikasi setelah
persalinan. Kepulauan Riau, Nusa Tenggara Timur dan Papua menunjukkan kinerja
terburuk dalam hal ini, cakupan pelayanan pasca persalinan tepat waktu hanya 18 persen di
Kepulauan Riau. Sekitar 26 persen dari semua ibu nifas pernah mendapatkan pelayanan
pascapersalinan.Cakupan pelayanan pascapersalinan tepat waktu yang relatif rendah
kemungkinan besar disebabkan oleh kurangnya prioritas di antara perempuan untuk
pelayanan ini, bukan oleh kesulitan akses atau ketersediaan.
3.6 Grafik Pelayanan ibu hamil k4 dan cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga
kesehatan (pn) di indonesia tahun 2005 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


3.7 Cakupan penanganan komplikasi kebidanan di Indonesia tahun 2008 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)

3.8 Cakupan penanganan komplikasi kebidanan menurut provinsi tahun 2014


7

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)


3.9 Cakupan kunjungan nifas (kf3) dan persalinan ditolong tenaga kesehatan (pn)
di Indonesia tahun 2008 2014

(Sumber: Ditjen Bina Gizi dan KIA, Kemenkes RI, 2015)

Kesehatan Reproduksi Wanita

3.10 Usia menikah pertama wanita usia 25-49 tahun

3.11 Grafik Usia Ideal Menikah Pertama Untuk Wanita Menurut Remaja 15-19
tahun

3.12 Grafik Proporsi Kehamilan Remaja 2013

perempuan menikah pertama kali pada umur kurang dari 15 tahun dan 23,9%
menikah pada umur 15-19 tahun. Akibatnya angka kehamilan perempuan pada umur
kurang dari 15 tahun adalah 2,68% dan 1,97% pada umur 15-19 tahun (Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Organ reproduksi remaja dengan umur kurang dari 20 tahun masih
belum siap untuk menerima kehamilan sehingga dapat menimbulkan komplikasi seperti
bayi yang dilahirkan mengalami cacat fisik, kelahiran prematur, preeklamsia, eklamsia,
perdarahan bahkan kematian pada ibu dan bayi (Rohan & Siyoto, 2013). Kehamilan pada
usia kurang dari 15 tahun yaitu 0,03% dan 2,71% pada umur 15-19 tahun terutama terjadi
di pedesaan. Hal ini biasanya disebabkan oleh faktor rendahnya pengetahuan tentang
kesehatan reproduksi yang berujung pada kehamilan diluar penikahan atau kehamilan yang
tidak diinginkan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
3.13 Keluarga Berencana (Grafik TFR)

Menurut World Population Data Sheet 2013, Indoesia merupakan negara ke-5 di dunia
dengan penduduk terbanyak yaitu 249 juta. Di antara negara ASEAN Indnesia menempati

10

anga 2.6 dalam Total Fertality Rate (TFR) yang masig berada diatas rata-rata negara
ASEAN.
3.14 Grafik Contraceptive Rate (CPR) dan Total Fertility Rate (TFR)

Data SDKI menunjukan tren prevalensi penggunaan kontasepsi sejak tahun 1991-2012
yang cenderung meningkat. Sedangkan, cakupan TFR (Total fertality rate) menurun. Ini
menandakan pelayanan KB sejalan dengan menurunnya angka fertilitas.
3.15 Sasaran Strategis KB

Sumber : BKKBN,2015
IV. Program yang Sudah Dilakukan Pemerintah Terkait Kesehatan Wanita

11

Program yang Sudah dilakukan pemerintah Terkait masalah Kematian ibu


diantaranya:
1. Safe Motherhood Initiative ditindaklanjuti dengan peluncuran program Gerakan
Sayang Ibu di tahun 1996. Salah satu program utama yang ditujukan untuk
mengatasi masalah kematian ibu adalah penempatan bidan di tingkat desa secara
besar-besaran.
2. Making Pregnancy Safer tahun 2000
3. Expanding Maternal and Neonatal Survival (EMAS) tahun 2012 dalam rangka
menurunkan angka kematian ibu dan neonatal sebesar 25%. Program ini
dilaksanakan di provinsi dan kabupaten dengan jumlah kematian ibu dan neonatal
yang besar, yaitu Sumatera Utara, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
dan Sulawesi Selatan. Dasar pemilihan provinsi tersebut dikarenakan 52,6% dari
jumlah total kejadian kematian ibu di Indonesia berasal dari enam provinsi
tersebut. Sehingga dengan menurunkan angka kematian ibu di enam provinsi
tersebut diharapkan akan dapat menurunkan angka kematian ibu di Indonesia
secara signifikan
Upaya penurunan angka kematian ibu dan angka kematian neonatal melalui
program EMAS dilakukan dengan cara:
Meningkatkan kualitas pelayanan emergensi obstetri dan bayi baru lahir minimal di
150 rumah sakit (PONEK) dan 300 puskesmas/balkesmas (PONED).
Memperkuat sistem rujukan yang efisien dan efektif antar puskesmas dan rumah
sakit.
4. Program Perencanaan Persalinan dan Pencegahan Komplikasi (P4K) tahun 2007.
5. Audit Maternal Perinatal (AMP), yang merupakan upaya dalam penilaian
pelaksanaan serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan ibu dan bayi baru lahir.
Analisis kematian ibu yang dilakukan Direktorat Bina Kesehatan Ibu pada tahun
2010 membuktikan bahwa kematian ibu terkait erat dengan penolong persalinan dan
tempat/ fasilitas persalinan. Persalinan yang ditolong tenaga kesehatan terbukti
berkontribusi terhadap turunnya risiko kematian ibu. Kebijakan Dana Alokasi Khusus
(DAK) Bidang Kesehatan menggariskan
1. pembangunan puskesmas harus satu paket dengan rumah dinas tenaga kesehatan.
pembangunan poskesdes yang harus bisa sekaligus menjadi rumah tinggal bagi
bidan di desa.

12

2. Rumah Tunggu Kelahiran Untuk daerah dengan akses sulit. Rumah Tunggu
Kelahiran tersebut dapat berupa rumah tunggu khusus yang dikembangkan melalui
pemberdayaan masyarakat maupun di rumah sanak saudara yang letak rumahnya.
Akan tetapi ke 2 program ini belum belum ada evaluasi ketercapaian sehingga
belum dapat dihubungkan/dikaitkandengan persalinan yang menjadi kematian ibu .

V. Faktor-Faktor Hambatan Program Permasalahan Kesehatan Wanita


Studi Kesehatan Masyarakat
1. Hambatan Persentase persalinan di fasilitas kesehatan :
- Rendahnya pemahaman ibu mengenai pentingnya ANC
- Sulitnya akses ibu hamil terhadap tempat pelayanan persalinan
- Rendahnya dukungan keluarga terkait keputusan penetapan tempat
-

persalinan di fasilitas pelayanan kesehatan.


Rendahnya perempuan yang berstatus ekonomi kurang tidak sepenuhnya
menyadari

manfaat

Jampersal,

program

asuransi

kesehatan

Pemerintah/untuk perempuan hamil.


Penyebab langsung kematian ibu adalah komplikasi obstetric pada masa hamil,
bersalin dan nifas, atau kematian yang disebabkan oleh suatu tindakan, atau
berbagai hal yang terjadi akibat tindakan yang dilakukan selama hamil, bersalin
atau nifas terkait erat dengan faktor penolong persalinan dan tempat/ fasilitas
persalinan.
5.1 Hambatan Persentase Ibu Hamil Kurang Energi Kronik :
- Penyediaan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) ibu hamil tidak
-

sepenuhnya tepat sasaran


Jumlah PMT yang diberikan belum sesuai kebutuhan ibu hamil
Ketersediaan ibu hamil untuk mengkonsumsi PMT ibu hamil
PMT local belum sesuai standar
Logistik Pemberian Tablet Tambah Darah (TTD) tidak mencukupi

(terlambat dalam penyediaannya)


Kepatuhan ibu dalam meminum TTD masih rendah

Sumber : Laporan Kinerja Kementerian Kesehatan Tahun 2015


5.2 Hambatan Kesehatan Ibu dan Anak

13

1. Buruknya

kualitas

pelayanan

kesehatan

antenatal,

persalinan

dan

pascapersalinan merupakan hambatan utama untuk menurunkan kematian ibu


dan anak.
Cakupan tentang indicator yang berkaitan dengan kualitas pelayanan (misalkan,
pelayanan antenatal yang berkualitas) secara konsisten lebih rendah daripada
cakupan yang berkaitan dengan kuantitas atau akses (misalkan, empat
kunjungan antenatal).
2. Buruknya kualitas pelayanan kesehatan masyarakat menunjukkan perlunya
peningkatan pengeluaran pemerintah untuk kesehatan.
Indonesia menunjukkan salah satu jumlah pengeluaran kesehatan terendah,
sebesar 2,6% dari produk domestic bruto pada tahun 2010. Pengeluaran
kesehatan masyarakat hanya di bawah setengah dari total pengeluaran
kesehatan. Di tingkat kabupaten, sector kesehatan hanya menerima 7% dari
total dana kabupaten dan Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk kesehatan ratarata kurang dari 1% dari total anggaran pemerintah daerah.
3. Proses perencanaan untuk DAK harus lebih efisien, efektif dan transparan.
Di tingkat pusat, wakil-wakil di DPR memainkan peran penting dalam
menentukan alokasi dana untuk kabupaten masing-masing, dan dengan
demikian, memperlambat proses DAK tersebut. Dana kesehatan tersedia di
tingkat kabupaten hanya pada akhir tahun anggaran.
4. Berbagai hambatan menyebabkan perempuan miskin tidak sepenuhnya
menyadari manfaat Jampersal, program asuransi kesehatan Pemerintah untuk
perempuan hamil.
Hambatan-hambatan tersebut meliputi tingkat penggantian biaya yang tidak
memadai, khususnya jika termasuk biaya transportasi dan komplikasi, dan
kurangnya kesadaran di antara perempuan tentang kelayakan dan manfaat
Jampersal.
5. Berdasarkan permintaan, harus ada lebih banyak fasilitas kesehatan yang
memberikan Pelayanan Obstetrik Neonatal Emergensi Komprehensif (PONEK)
dan lebih banyak dokter kandungan dan ginekologi.
Rasio fasilitas-penduduk untuk PONEK di Indonesia (0,84 per 500.000) masih
di bawah rasio satu per 500.000 yang direkomendasikan oleh UNICEF, WHO
dan UNFPA (1997). Indonesia memiliki sekitar 2.100 dokter undangan
kandungan-ginekologi (atau satu per 31.000 wanita usia subur), tetapi tidak
tersebar secara merata. Lebih dari setengah dokter kandungan-ginekologi
melakukan praktek di Jawa.

14

6. Perilaku yang tidak tepat dan kurangnya pengetahuan berkontribusi terhadap


kematian anak :
a. Para ibu dan petugas kesehatan masyarakat tidak memiliki pengetahuan
tentang penanggulangan atau pengobatan penyakit-penyakit umum anak.
b. Para ibu tidak menyadari pentingnya pemberian ASI
c. Praktek-praktek sanitasi dan kebersihan yang buruk.
7. Praktek pemberian makan bayi dan pelayanan lainnya yang buruk
mengakibatkan gizi kurang pada ibu dan anak-anak, yang merupakan penyebab
dasar kemarian anak. Satu dari setiap tiga anak tumbuh pendek (stunted), dan
dalam kuintil yang lebih miskin, satu dari setiap empat sampai lima anak
mengalami berat badan kurang. Secara nasional, enam persen anak-anak muda
bertubuh sangat kurus (wasted), yang menempatkan mereka pada risiko
kematian yang tinggi

VI. Harapan dan Solusi dari Perspektif Bidan Terkait Kesehatan Wanita
1. Hambatan Persentase persalinan di fasilitas kesehatan
Harapan : Keluarga masyarakat dan tokoh masyarakat dapat mendukung ibu hamil
untuk melakukan pemeriksaan kehamilan dan persalinan di fasilitas kesehatan.
Solusi : Melakukan penyuluhan kepada warga tentang pentingnya pemeriksaan
kehamilan dan persalinan di tenaga kesehatan serta melakukan HE tidak hanya pada
ibu hamil namun juga pada suami atau keluarga yang mendampingi saat pemeriksaan
kehamilan. Kader juga diharapkan dapat ikut berperan dalam mendata atau mencatat
ibu hamil yang ada di wilayah itu serta membantu bidan untuk membangkitkan
semangat keluarga dalam mendukung ibu untuk melakukan pemeriksaan kehamilan
15

dan persalinan di tenaga kesehatan. Para tokoh masyarakat diharapkan mampu


menciptakan sistem yang mendukung untuk pelaksanaan persalinan di fasilitas
kesehatan, misalnya dengan bekerjasama membantu bidan dalam mewujudkan
penghapusan mitos di masyarakat yang mencegah persalinan di fasilitas kesehatan.
2. Hambatan Persentase Ibu Hamil Kurang Energi Kronik
Harapan : Bidan dapat melakukan HE yang baik tentang cara meminum tablet Fe dan
ibu hamil diharapkan dapat menerapkannya dengan baik, serta keluarga diharapkan
dapat mendukung dan mengingatkan ibu untuk meminum tablet Fe. Pemerintah
mampu memberikan program yang memberdayakan masyarakat untuk memperoleh
tambahan penghasilan bagi ibu hamil yang kemudian dananya dikembalikan pada ibu
hamil dalam bentuk makanan yang sesuai dengan daerah setempat.
Solusi : memberikan HE pada ibu dan keluarga yang mendampingi saat pemeriksaan
tentang manfaat serta tata cara meminum tablet Fe dan mendukung ibu untuk
konsisten meminumnya dan meminta keluarga untuk mendukung dan mengingatkan
ibu. Menjalankan fungsi advokasi bagi program pro ibu hamil agar pemerintah
memberikan program resmi untuk pemberian makanan tambahan yang gizinya
terhitung sesuai kebutuhan ibu hamil sehingga tepat sasaran dan disesuaikan dengan
tradisi setempat.
3. Tidak meratanya tenaga kesehatan
Harapan : adanya peningkatan kuantitas tenaga kesehatan yang ditempatkan di
wilayah terpencill serta diharapkan munculnya kesadaran dari tenaga kesehatan untuk
bersedia memberikan jasa di tempat yang membutuhkan. Khususnya bagi anak daerah
diharapkan dapat kembali kedaerahnya dan memperbaiki system pelayanan kesehatan
di daerah asal masing-masing, sehingga dapat memberikan kesempatan yang sama
bagi setiap masyarakat mendapatkan pelayanan kesehatan secara optimal
Solusi : pemerintah mewujudkan program yang meningkatkan kesejahteraan tenaga
kesehatan di daerah terpencil sehingga meningkatkan minat dan pertimbangan bagi
tenaga kesehatan untuk bertugas di seluruh pelosok Indonesia. Peningkatan jumlah
pemerataan tenaga kesehatan dapat juga dilakukan dengan memberikan beasiswa bagi
siswa-siswa dari berbagai daerah yang berpotensi melanjutkan pendidikan dibidang
kesehatan. Sehingga setelah selesai pendidikan mereka dapat kembali dan mengabdi
pada daerah masing-masing. Pemerintah juga diharapkan memperbaiki fasilitas ,
sarana, dan prasarana untuk terwujudnya sistem rujukan yang baik di berbagai pelosok
daerah serta pemerintah dapat memberikan penghargaan kepada tenaga kesehatan
yang terbaik dan bersedia mengabdikan diri di wilayah terpencil .
4. Kualitas tenaga kesehatan
16

Harapan : menciptakan tenaga kesehatan professional serta peningkatan kualitas dan


kompetensi tenaga kesehatan yang terlatih disetiap daerah.
Solusi : Memberikan kesempatan pada setiap tenaga kesehatan yang ada didaerah
menimgkatkan pengetahuan dan kompetensinya dengan pelatihan-pelatihan studi
banding tentang ilmu -ilmu pengetahuan terbaru sehingga mereka mampu melakukan
tugas-tugas

layanan

kesehatan

secara

memadai

sistematis

sesuai

dengan

perkembangan ilmu pengetahuan. Dilakukannya uji sertifikasi, uji kompetensi,


pelatihan, magang, dan kegiatan lapangan/praktik khususnya bagi tenaga kesehatan
yang baru lulus untuk melihat kualitas dan kompetensi yang dimiliki. Serta adanya
pengakuan terhadap profesi tenaga kesehatan seperti perawat, bidan, dokter misalnya
akan menjamin kenyamanan dan kualitas kerja dari SDM kesehatan.

Daftar Pustaka
Dr. John Coonrod, dalam Kern Beare, www.feelgood.org. Diakses Jan, 2015.
Hoelman. M. K., B. T. P. Parhusip, S. Eko, S. Bahagijo, H. Santono. 2015.
Panduan SDGs Untuk Pemerintah Daerah (Kota dan Kabupaten) dan Pemangku
Kepentingan Daerah. Jakarta: Infid
Kemenkes

RI,

2016.

Data

MDGs

dan

SDGs.

http://www.pusat2.litbang.depkes.go.id/pusat2_v1/wpcontent/uploads/2015/12/SDGs-Ditjen-BGKIA.pdf diakses 4 Oktober 2016


Kemenkes RI, 2014. I nfodatin Situasi Kesehatan Reproduksi Remaja. Diakses di
http://www.depkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin
%20reproduksi%20remaja-ed.pdf pada 11 Oktober 2016
17

Kemenkes, 2013. Infodatin Situasi dan Analisis Keluarga Berencana. Diakses di


http://www.depkes.go.id/ padda 12 Oktober 2016
Rakorpop Kementerian Kesehatan RI bersama Dirjen Bina Gizi KIA. 2015.
Kesehatan Dalam Kerangka Sustainable Development Goals (SDGs). Jakarta.

Unicef,

2012.

Ringkasan

Kajian

Kesehatan

Ibu

dan

Anak.

http://www.unicef.org/indonesia/id/A5__B_Ringkasan_Kajian_Kesehatan_REV.pdf diakses 11 oktober 2016

18

Dalam

Anda mungkin juga menyukai