Anda di halaman 1dari 3

Tradisi bersirih

Asal Usul Tradisi Bersirih


Tradisi bersirih tidak diketahui secara pasti berasal dari mana. Dari cerita-cerita
sastra, bersirih berasal dari India. Namun, selain dari India, sirih telah dikenal
oleh masyarakat Asia Tenggara, termasuk Malaysia, dan kemudian tradisi ini
menyebar ke Indonesia. Bukti Arkeologi bersirih tertua ditemukan di Gua Roh,
Thailand. Kebiasaan menginang telah dilakuan oleh masyarakat Indonesia sejak
dahulu, baik dari Sumatra, Sulawesi, Maluku, maupun Papua.

Fungsi Menginang
Menginang sama halnya dengan merokok, minum teh dan kopi. Awalnya orang
menginang sebagai penyedap di mulut, tetapi lama-kelamaan kan menjadi
kebiasaan yang menimbulkan kesenangan dan terasa nikmat sehingga sulit
untuk dilepaskan. Di samping untuk kenikmatan, menginang juga berfungsi
sebagai aktivitas pengobatan merawat gigi. Masyarakat Indonesia telah lama
mengenal daun sirih sebagai bahan menginang dengan keyakinan bahwa
menginang dapat menguatkan gigi, menyembuhkan luka di mulut,
menghilangkan bau mulut, menghentikan pendarahan gusi, serta sebagai obat
kumur. Fungsi menginang juga sebagai tata pergaulan dan tata nilai
kemasyarakatan. Misalnya, bahan-bahan menginang dijadikan hidangan
penghormatan untuk tamu, dan sebagai alat pengikat dalam pertunangan
sebelum menikah. Menginang juga digunakan sebgai sesaji yang digunakan
dalam upacara adat istiadat dan upacara kepercayaan atau religi. Ada juga
catatan para musafir Tiongkok yang mengungkapkan bahwa sirih dan pinang
sudah dikonsumsi sejak dua abad sebelum Masehi. Sirih Pinang telah menjadi
suatu simbol bagi masyarakat adat Melayu. Hal ini dilihat dari tradisi lisan
Melayu berupa sastra, misalnya: Sirih pembuka pintu rumah, Sirih pembuka
pintu hati. Bahan-bahan menginang adalah yang pertama disuguhkan bagi
seluruh tamu yang hadir pada acara adat di sebagian besar wilayah Indonesia,
seperti upacara pernikahan, kelahiran, kematian, penyembuhan, dan lain
sebagainya.
https://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi_bersirih
Salah satu bahan yang digunakan untuk menginang yaitu kapur sirih. Kapur sirih
disini merupakan contoh dari senyawa basa. Senyawa basa yaitu

Ritual memandikan pusaka di bulan Sura


Ada banyak mitos mengatakan, memandikan pusaka di bulan Sura mengandung
hal-hal yang mistis. Namun apakah Anda tahu bahwa memandikan pusaka di
bulan Sura justru menjadi salah satu upaya manusia untuk melakukan
introspeksi terhadap dirinya sendiri?
Di salah satu pendopo hotel di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, Kamis
(22/11), tampak puluhan orang menyaksikan dengan saksama tradisi jamasan
pusaka. Mereka tampak serius mengamati seorang ahli keris yang tengah
membersihkan keris dengan perasan air jeruk nipis. Ada yang menganggukanggukkan kepala seperti baru saja mendapat suatu hal yang baru. Sementara,
ada pula yang terus melontarkan pertanyaan kepada ahli keris itu.
Begitulah sedikit rekaman suasana tradisi jamasan pusaka yang setiap tahun
diadakan di Yogyakarta saat bulan Sura. Jamasan pusaka atau orang umum
menyebutnya memandikan pusaka merupakan cara untuk merawat benda
pusaka, benda bersejarah, atau benda kuno.

Sesepuh Pemerhati Keris Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Sumowijoyo


menjelaskan, jamasan pusaka merupakan tradisi turun-temurun yang harus
dilakukan di bulan Sura. Pusaka seperti keris, tombak, bagi orang Jawa bukanlah
pusaka biasa karena tidak dibuat sekadarnya, melainkan dengan laku yang
berbagai macam. Seperti zaman Sultan Agung, karena dibuat dari seorang Empu
maka pusaka mendapatkan tempat istimewa seperti simbol status, senjata
tikam, tanda jabatan.

KRT Sumowijoyo menjelaskan bahwa tradisi jamasan di bulan Sura memiliki nilai
filosofi tersendiri. Bagi orang Jawa, bulan Sura merupakan tahun baru Jawa yang
menjadi bulan sakral dan penuh rahmat. Untuk itulah, masyarakat Jawa
diharapkan melakukan introspeksi diri atas perbuatan yang telah dilakukan.
Jamasan pusaka menjadi salah satu contohnya.

Ia melanjutkan,memandikan keris tak sekadar untuk mengawetkan atau


mempercantik keris. Memandikan keris berarti melakukan ritual membersihkan
diri. Orang yang memandikan akan merefleksikan bahwa membuat keris tidaklah
mudah. Dalam hal ini dibutuhkan doa dan spirit yang kuat, kesabaran, ketelitian,
dan pantang menyerah. Nilai-nilai inilah yang akan diilhami oleh orang yang
memandikannya.

Keris pun memiliki banyak filosofi kehidupan. Bagian-bagiannya seperti pesi


(pegangan keris), gonjo, tikel alis, pijetan, greneng, bercerita tentang kehidupan
manusia. Di antaranya manusia perlu memiliki pegangan dalam hidupnya,
manusia perlu mempertimbangkan segala perbuatan, perlu adanya musyawarah
bersama, memiliki jiwa yang bersih.

Harapannya ketika keris ini dijamas, maka si penjamas itu bisa mendapatkan
spirit baru dalam kehidupannya. Tak hanya itu, jamasan juga membuat orang
lebih sensitif terhadap rangsangan yang akan datang, paparnya.

Cara memandikan keris

Pemerhati keris lainnya, Deni Ekasusila menjelaskan, ada dua cara menyirami
pusaka yakni dengan direndam atau dicelup, serta di-koloh atau dikuaskan.
Bahan yang digunakan seperti batu warangan atau arsen, air jeruk nipis, sabun
colek, dan minyak pusaka. Sedangkan alat- alat yang diperlukan adalah telawah
atau blandhongan, sikat yang halus, kain pel yang mudah menyerap air, dan
ember.

Pusaka yang kotor dan berkarat direndam terlebih dahulu dengan air kelapa.
Baru setelah itu dibersihkan
dengan jeruk nipis yang telah dibelah dan
dicampurkan dengan sabun colek. Setelah terlihat menjadi putih, pusaka disiram
air dan disikat berulang kali sampai air tidak mengeluarkan buih. Kemudian dipel
dan dijemur di sinar matahari.
http://nationalgeographic.co.id/berita/2012/11/di-balik-tradisi-memandikanpusaka-di-bulan-sura

Anda mungkin juga menyukai