Kusta 8
Kusta 8
TINJAUAN PUSTAKA
2. Zaman Pertengahan
Kira-kira setelah abad ke 13 dengan adanya keteraturan ketatanegaraan dan sistem
feodal yang berlaku di Eropa mengakibatkan masyarakat sangat patuh dan takut terhadap
penguasa dan hak asasi manusia tidak mendapat perhatian. Demikian pula yang terjadi
pada penderita kusta yang umumnya merupakan rakyat biasa. Pada waktu itu penyebab
penyakit dan obat-obatan belum ditemukan maka penderita diasingkan lebih ketat dan
dipaksakan tinggal di Leprosaria/koloni perkampungan penderita kusta untuk seumur
hidup.
3. Zaman Modern
Dengan ditemukannnya kuman kusta oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun
1873, maka mulailah era perkembangan baru untuk mencari obat anti kusta dan usaha
penanggulangannya.
Demikian halnya di Indonesia dr. Sitanala telah mempelopori perubahan sistem
pengobatan yang tadinya dilakukan secara isolasi, secara bertahap dilakukan dengan
pengobatan jalan. Perkembangan pengobatan selanjutnya adalah sebagai berikut :
a. Pada tahun 1951 dipergunakan Diamino Diphenyl Sulfone (DDS) sebagai pengobatan
penderita kusta.
b. Pada tahun 1969 pemberantasan penyakit kusta mulai diintegrasikan di puskesmas.
c. Sejak tahun 1982 Indonesia mulai menggunakan obat kombinasi Multidrug Therapy
(MDT) sesuai dengan rekomendasi WHO.
2.2.1. Pewarnaan15
Untuk pewarnaan kuman kusta (Basil Tahan Asam) sering dipakai metode Ziehls
Neelsen dengan cara :
a. Sediaan diletakkan di atas rak pewarna dan dituang karbon fukhsin.
b. Dipanaskan sampai keluar uap (tidak boleh mendidih) biarkan selama 3-5 menit.
c. Cuci dengan air.
d. Preparat dimasukkan dalam tabung berisi asam alkohol selama 3-5 detik sampai
warna merah dilepaskan oleh alkohol.
e. Cucilah dengan air menit.
f. Preparat ditetesi atau dicelup dalam metilen biru 1% selama - 2 menit.
g. Cuci dengan air.
h. Biarkan kering dari air, kemudian preparat dapat diperiksa di bawah mikroskop.
Hasil pembacaan : BTA (+) : bewarna merah
BTA (-) : bewarna biru
Untuk penilaian hasil pemeriksaan kuman pada sediaan apus (preparat) digunakan
Indeks Bakteri (Bacterial Index = BI) dan Indeks Morfologi (Morphological Index = MI).
Indeks Bakteri merupakan ukuran semikuantitatif kepadatan BTA dalam sediaan apus.
Kegunaan BI adalah untuk membantu menentukan tipe penyakit kusta dan menilai hasil
pengobatan.
Bakteri Mycobacterium leprae dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta
Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta dengan golongan umur terbanyak
adalah golongan umur 20-39 tahun (proporsi 56,80%)9
2.3.2. Distribusi dan Frekuensi Penyakit Kusta Menurut Waktu dan Tempat
Penyakit kusta tersebar di seluruh dunia dengan endemisitas yang berbeda-beda.
Diantara 122 negara yang endemis pada tahun 1985, 98 negara telah mencapai eliminasi
kusta yaitu angka prevalensi < 1/10.000 penduduk. Lebih dari 10.000.000 penderita telah
disembuhkan dengan Multidrug Therapy (MDT) pada akhir tahun 1999 dan 641.091
kasus masih dalam pengobatan pada tahun 2000.2
Pada tahun 2003, Penderita terdaftar di Indonesia pada akhir Desember 2003
sebanyak 18.312 penderita yang terdiri dari 2.814 penderita kusta tipe PB (proporsi
15,36%) dan 15.498 penderita kusta tipe MB (proporsi 84,64%) dengan angka prevalensi
86 per 1.000.000 penduduk yang terdapat di 10 propinsi, yaitu : Jawa Timur, Jawa Barat,
Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, Papua, NAD, DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku
Utara, dan Nusa Tenggara Timur.2
Pada tahun 2005 di Sumatera Utara terdapat 286 kasus tercatat penderita kusta
yang terdiri 254 orang yang terdiri dari 32 penderita kusta tipe PB (proporsi 11,19%) dan
254 penderita kusta tipe MB (proporsi 88,81%).6
Menurut penelitian yang dilakukan Posmaria Naibaho (2001) di Rumah Sakit
Kusta Pulau Sicanang Medan Belawan Sumatera Utara ditemukan 108 penderita kusta
yang terdiri dari 33 penderita kusta tipe PB (proporsi 30,60%) dan 75 penderita kusta tipe
MB (proporsi 69,40%).8
Hasil penelitian yang dilakukan Nurlaya Hutahayan (2008) di Rumah Sakit Kusta
Hutasalem Laguboti ditemukan 125 penderita kusta yang terdiri dari 48 penderita kusta
tipe PB (proporsi 38,40%) dan 77 penderita kusta tipe MB (proporsi 61,60%).9
Seseorang dalam lingkungan tertentu akan termasuk dalam satu dari tiga
kelompok berikut ini, yaitu :
a. Host yang mempunyai kekebalan tubuh tinggi yang merupakan kelompok
terbesar yang telah atau akan menjadi resisten terhadap kuman kusta.
b. Host yang mempunyai kekebalan rendah terhadap kuman kusta, bila menderita
penyakit kusta bisanya tipe PB.
c. Host yang tidak mempunyai kekebalan terhadap kuman kusta yang merupakan
kelompok terkecil dan bila menderita kusta biasanya tipe MB.
b. Agent
Penyebab penyakit kusta adalah Mycobacterium leprae yang pertama kali
ditemukan oleh Gerhard Amaeur Hansen pada tahun 1873. Mycobacterium leprae hidup
intraseluler dan mempunyai afinitas yang besar pada sel saraf (Schwan Cell) dan sel dari
system retikulo endothelial.
Waktu pembelahan sangat lama, yaitu 2-3 minggu. Di luar tubuh manusia (dalam
kondisi tropis) kuman kusta dapat bertahan sampai 9 hari. Pertumbuhan optimal dari
kuman kusta adalah pada suhu 270-300C.
merupakan
gejala
yang menonjol.
Lesi
dapat
mengalami
satelit yang
mengelilingi lesi, dan distribusi lesi asimetris. Bagian tepi dari lesi tidak dapat
dibedakan dengan jelas terhadap daerah sekitarnya. Gejala-gejala ini disertai adanya
adenopathi regional.19
Dalam menentukan klasifikasi tipe PB dan MB pada kriteria seperti pada table di
bawah ini :
Kelainan kulit & hasil
Pausi Basiler (PB)
No.
pemeriksaan
1.
1-5
>5
b. Ukuran
Kecil-kecil
c. Distribusi
Unilateral
bilateral asimetris
d. Konsistensi
Halus, berkilat
e. Batas
Tegas
Tidak tegas
f. Kehilangan rasa
pada bercak
g.Kehilangan
Bercak tidak
kemampuan
berkeringat,
Infiltrat
a. kulit
Tidak ada
(hidung
tersumbat,
perdarahan di hidung)
3.
Ciri-ciri
Central healing
(penyembuhan
Punched
di bentuk
telinga)
out
lesion
donat),
(lesi
madarosis,
4.
Nodulus
Tidak ada
Kadang-kadang ada
5.
Deformitas (cacat)
6.
Apusan
BTA negatif
BTA positif
2) Menurut keadaan reaksi, maka reaksi dapat dibedakan reaksi ringan dan reaksi
berat.
3) Perjalanan reaksi
Biasanya berlangsung selama 3 minggu atau lebih. Kadang-kadang timbul
berulang-ulang dan berlangsung lama.
Untuk menetapkan diagnosa penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda pokok atau
cardinal sign pada badan, yaitu :2
a. Lesi (Kelainan) kulit yang mati rasa
Kelainan kulit/lesi dapat berbentuk bercak keputih-putihan (hypopigmentasi) atau
kemerah-merahan (eritematousa) yang mati rasa (anestesi).
b. Penebalan saraf tepi
Dapat disertai rasa nyeri dan juga dapat disertai atau tanpa gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan kronis saraf tepi (neuritis
perifer). Gangguan fungsi saraf ini bias berupa:
a. Gangguan fungsi sensoris : mati rasa
b. Gangguan fungsi motoris : kelemahan otot (Parese) atau kelumpuhan (Paralise)
c. Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak.
c. Ditemukan Basil Tahan Asam2
Adanya kuman tahan asam di dalam kerokan jaringan kulit (BTA Positif).
Pemeriksaan kerokan hanya dilakukan pada kasus yang meragukan.
Seseorang dinyatakan sebagai penderita kusta bilamana terdapat satu dari tandatanda utama di atas. Apabila hanya ditemukan cardinal sign ke-2 dan petugas ragu perlu
dirujuk kepada WASOR atau ahli kusta, jika masih ragu orang tersebut dianggap sebagai
kasus yang dicurigai (suspek).
a. Pencegahan Kecacatan
Pencegahan cacat kusta jauh lebih baik dan lebih ekonomis daripada
penanggulangannya. Pencegahan ini harus dilakukan sedini mungkin, baik oleh petugas
kesehatan, maupun oleh penderita itu sendiri dan keluarganya. 18
Upaya pencegahan cacat terdiri atas :
a. Upaya pencegahan cacat primer, yang meliputi :
1) Diagnosa dini dan penatalaksanaan neuritis
2) Pengobatan secara teratur dan adekuat
3) Deteksi dini adanya reaksi kusta
4) Penatalaksanaan reaksi kusta
b. Upaya pencegahan cacat sekunder, yang meliputi :
1) Perawatan diri sendiri untuk mencegah luka
2) Latihan fisioterapi pada otot yang mengalami kelumpuhan untuk mencegah
terjadinya kontraktur.
3) Bedah rekonstruksi untuk koreksi otot yang mengalami kelumpuhan agar tidak
mendapat tekanan yang berlebihan.
4) Bedah septik untuk mengurangi perluasan infeksi.
5)
Perawatan mata, tangan dan atau kaki yang anestesi atau mengalami kelumpuhan
otot. 2,17
b. Rehabilitasi 17
Rehabilitasi yang dilakukan meliputi rehabilitasi medik, rehabilitasi sosial, dan
rehabilitasi ekonomi. Usaha rehabilitasi medis yang dapat dilakukan untuk cacat tubuh
ialah antara lain dengan jalan operasi dan fisioterapi. Meskipun hasilnya tidak sempurna
kembali ke asal, tetapi fungsinya dan secara kosmetik dapat diperbaiki.
Cara lain adalah kekaryaan, yaitu memberi lapangan pekerjaan yang sesuai cacat
tubuhnya, sehingga dapat berprestasi dan dapat meningkatkan rasa percaya diri, selain itu
dapat dilakukan terapi psikologik (kejiwaan).
2.8.1. Tujuan2
a. Tujuan Jangka Panjang
1. Menurunkan transmisi panyakit kusta pada tingkat tertentu sehingga kusta
tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat.
2. mencegah kecacatan pada semua penderita baru yang ditemukan melalui
pengobatan dan perawatan yang benar.
3. Memberikan perawatan dan pelayanan rehabilitasi yang tepat pada orang yang
terkena penyakit kusta.
b. Tujuan Jangka Pendek2
1. Menetapkan sistim penemuan dan diagnosa penderita kusta secara intensif di
daerah endemik tinggi dan di kantong-kantong kusta di daerah endemik
rendah sehingga proporsi anak dan kecacatan tingkat 2 kurang dari 5%.
2. Memberikan pengobatan yang adekuat sehingga tercapai angka kesembuhan
(RFT Rate) lebih dari 90%.
3. menurunkan proporsi penderita yang cacat pada mata tangan dan kaki setelah
RFT kurang dari 5%.
4. Mengembangkan puskesmas dengan perawatan cacat yang adekuat dengan
dukungan sistem rujukan ke rumah sakit umum dan rumah sakit khusus untuk
kasus yang mengalami komplikasi dan membutuhkan rehabilitasi medis.
5. Melaksanakan pengelolaan program pemberantasan kusta dengan starategi
sesuai endemisitas daerah dan di dukung dengan kegiatan-kegiatan
penunjangnya.
2.8.2. Target2
1. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat propinsi pada tahun 2008.
2. Tercapainya eliminasi kusta di tingkat kabupaten pada tahun 2010.
3. Tercapainya Indonesia bebas kusta pada tahun 2020.
2.8.3. Kebijakan2
1. Pelaksanaan program pemberantasan kusta diintegrasikan dalam kegiatan
pelayananan kesehatan dasar di puskesmas.
2. Pengobatan penderita kusta dengan MDT sesuai rekomendasi WHO diberikan
cuma-cuma.
3. Penderita kusta tidak boleh diisolasi.
Program Multi Drug Therapy (MDT) dimulai pada tahun 1981, yaitu ketika
kelompok Studi Kemoterapi WHO secara resmi mengeluarkan rekomendasi pengobatan
kusta dengan rejimen MDT-WHO. Regimen ini terdiri atas kombinasi obat-obat dapson,
rifampisin, dan klofasimin. Selain itu mengatasi resistensi dapson yang semakin
meningkat, penggunaan MDT dimaksudkan juga untuk mengurangi ketidaktaatan
penderita dan menurunkan angka putus-obat (dro-out) yang cukup tinggi pada masa
monoterapi dapson. Disamping itu diharapkan juga dengan MDT dapat mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan.18
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan regimen pengobatan yang
direkomendasikan oleh WHO Regimen tersebut adalah sebagai berikut : 2
Umur 11 14 tahun
Bulanan
: 100 mg / bulan
Harian
: 50 mg / 2 kali / minggu
Bulanan
: 200 mg / bulan
Harian
: 50 mg / 3 kali / minggu