Cara Isohyet
Dalam hal ini kita harus menggambar dahulu garis contour/garis tranches
dengan tinggi hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada gambar di bawah
ini.
d 0 d1
2
d1 d 2
2
A1
A2
A1 A2 An
d n 1 d n
2
d i 1 d i
2
Ai
d i 1 d i
2
Ai
.........
.......(2.4)
Dimana:
A
= Luas daerah
Page 4
A1, A2, A3,...An = Luas bagian areal yang dibatasi oleh Isohyet-isohyet
yang bersangkutan
Ini adalah cara yang paling teliti, tetapi membutuhkan jaringan pos
penakar yang relatif lebih padat guna memungkinkan untuk membuat garis-garis
isohyet.
Cara ini memberikan hasil yang dapat dipercaya, asalkan pos-pos
penakarnya terbagi rata di areal tersebut dan hasil penakaran masing-masing pos
penakar tidak menyimpang jauh dari harga rata-rata seluruh pos penakar. Metode
yang sering digunakan dalam menghitung curah hujan maksimum adalah dengan
menggunakan metode Thiessen. (Hidrologi Teknik; C. D. Soemarto, 33:1986)
2.3.1 Analisa Curah Hujan Rancangan
Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar tahunan yang mungkin
terjadi di dalam suatu dearah dengan kala ulang tertentu, yang dipakai sebagai
dasar perencanaan dimensi suatu bangunan.
Dalam Tugas Akhir ini metode yang digunakan untuk menganalisa curah
hujan rancangan adalah metode Log Pearson Type III, dengan pertimbangan
bahwa cara ini lebih fleksibel dan dapat dipakai untuk semua sebaran data.
2.3.2 Distribusi Log Pearson type II
a. Metode Log Pearson Type III.
Metode ini berdasarkan diatas analisa statistik dengan menggunakan data
curah hujan harian maksimal 24 jam dari data pengamatan.
Sebelum mendapatkan persamaan Log Pearson Type III, perlu dihitung
terlebih dahulu data-data:
1.
Log x
log xi
i 1
...........................................................................
(2.5)
Page 5
2.
Standar Deviasi:
n
Si
log xi log xi
i 1
n 1
.............................................................
(2.6)
3.
Koefisien Kepencengan:
n
Cs
log xi log xi
i 1
n 1 n 2 S i 3
.................................................................
(2.7)
4.
Dimana:
b.
Log xT
Log x
Si
= Simpangan baku.
Metode E. J. Gumbel.
Metode ini di analisa berdasarkan data dari analisa curah hujan areal
xi
xi ................................................................................
n
(2.9)
Dimana:
xi = Curah Hujan
n
= Banyaknya data/sampel
Page 6
xi x
n 1
.................................................................(2.10)
Dimana:
S = Standart Deviasi
xi = Curah hujan
Tr 1
Yt = ln ln
.................................................................(2.11)
Tr
K =
(2.12)
Dimana:
K = Faktor Frekuensi
Yt = Reduced Variabel sebagai fungsi balik
Yn = Reduced Mean
Sn = Reduced Standart Variate
Menghitung Debit Hujaan Rancangan (Qt)
Xt = x K S .............................................................................(2.13)
Dimana:
Xt = Curah Hujan Rancangan
K = Faktor Frekuensi
S = Standart Deviasi
Page 8
= banyaknya data
Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data
Table 2.4 Nilai kritis untuk distribusi Chi-Square
2.3.4.2
Page 11
........................................................................................... (2.17)
a. Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai
masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data ( persamaan
distribusinya) :
X1 P(X1)
X2 P(X2)
Xm P(Xm)
Xn P(Xn)
b. Berdasarkan tabel nilai kritis ( Smirnov Kolmogorof test ) tentukan harga
Do (Tabel 2.5) menggunakan grafis.
Tabel 2.5 Nilai delta kritis untuk uji keselarasan smirnov kolmogorof
Page 12
(Loebis, 1987). Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan rumus
empiris sebagai berikut (Soemarto, 1999):
Rumus ini digunakan apabila data curah hujan yang tersedia hanya curah hujan
harian (Soemarto, 1999).
............................................................................................. (2.18)
Dimana :
I
R24
2.3.6
sebagai dasar debit banjir yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas
dalam mendimensi penentuan bangunan-bangunan hidraulik (termasuk bangunan
di sungai), sedemikian hingga kerusakan yang dapat ditimbulkan baik langsung
maupun tidak langsung oleh langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak
boleh terjadi selama besaran banjir tidak terlampaui
2.3.6.1 Koefisien Limpasan()
Koefisien limpasan (Run off) adalah perbandingan antara limpasan
permukaan (Run off) dengan hujan dan untuk itu ada beberapa pendapat:
1.
2.
4,1
...................................................................................
q7
(2.19)
3.
1 0,012 f
1 0,075 f
0, 7
0, 7
......................................................................
(2.20)
yang di dasarkan atas data dari sungai Bendo.
4.
0.75 -.90
Daerah perbukitan
0,7~0,8
0,5~0,75
0,45~0,60
0,70~0,80
0,75~0,85
0,45~0,75
............................................................................................ ( 2.21 )
Dimana :
Rt = Rata-rata hujan pada jam ke i
Page 14
Ro =
T
rumus :
........................................................................ ( 2.22 )
Dimana :
Rt
Rt
R(t-1)
.................................................................................................... ( 2.23 )
Dimana :
R
= Koeffisien pengaliran
Rt
2.3.6.3
besarnya debit hujan maksimum yang sangat mungkin pada periode tertentu. Dan
metode yang digunakan adalah Metode perhitungan Debit Hidrograf Metode
Nakayasu. Pemilihan hidrograf ini disesuaikan dengan karakteristik daerah
Page 15
= Hujan satuan ( mm )
Tp
T0,3
= Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak menjadi
30% dari debit puncak (jam)
= 0,4 + 0,058L
tg
= 0,21 x L0,70
tg
tr
= Koeffisien pembanding
= 1,5 untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang
cepat
Page 16
= 3,0 untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang
lambat
tr
t
0.8 tr
tg
lengkung naik
lengkung turun
Qp
0.3
Qp
0.3 Q
Tp
To.3
1.5 To.3
Page 17
Hidrograf satuan tersebut ditentukan secara cukup baik dengan tinggi d=1
cm, dan dengan ketiga unsur yang lain, yaitu Qp (m3/detik), Tb serta tr (jam)
Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan
A = Luas daerah pengaliran (km2),
L = Panjang aliran utama (km)
Lc = Jarak antara titik berat dengan pelepasan (outlet) yang diukur
sepanjang aliran utama
Dengan unsur-unsur tersebut diatas, snyder membuat rumus-rumusnya
sebagai berikut:
t p Ct ( L Lc ) 0 ,3 ....................................................................................
(2.33)
tr
tp
5,5 .................................................................................................
(2.34)
Q p 2,78
Cp A
...................................................................................
tp
(2.35)
Tb 72 3 t p ........................................................................................
(2.36)
Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditetukan secara empiris, karena
besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Besarnya Ct = 0,75 3,00, sedangkan besarnya Cp = 0,90 1,40
Pada umumnya Ct dan Cp ini mempunyai nilai yang terbukti cukup
konstan untuk sejumlah daerah pengaliran yang terukur dalam suatu wilayah,
sehingga koefisien-koefisien dapat dipakai didaerah pengaliran yang tidak terukur
(ungauqed) diwilayah yang sama. Kalau tidak demikian, haruslah dicoba dengan
Page 18
2.4
dimensi pelimpah (lebar dan tinggi pelimpah). Dan debit banjir yang digunakan
dalam perhitungan flood routing metode step by step adalah Q50 tahun.
Prinsip dari perhitungan ini adalah dengan menetapkan salah satu parameter
hitung apakah B (lebar pelimpah) atau H (tinggi pelimpah). Jika B ditentukan
maka variabel H harus di trial sehingga mendapatkan tinggi limpasan air banjir
maksimum yang cukup dan efisien. Tingi spillway didapatkan dari elevasi muka
air limpasan maksimum tinggi jagaan rencana.
Perhitungan ini terhenti ketika elevasi muka air limpasan sudah mengalami
penurunan dan volume kumulatif mulai berkurang dari volume kumulatif
sebelumnya atau V negatif yang artinya Q Outflow > Q inflow. Prosedur
perhitungan flood routing spillway sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
coba-coba (m).
H = tinggi muka air hulu tinggi elevasi spillway.
Q outflow = x B x g x H 3/2 (m3/dt).
Q outflow rerata = ( Q output n + Q output (n-1))/2 dalam m3/dt.
Volume outflow = Q outflow rerata x t (m3/dt).
V = selisih volume (Q inflow rerata Q outflow rerata).
Page 19
l.
Volume kumulatif yaitu volume tampungan tiap tinggi muka air limpasan
Mercu Pelimpah
Page 20
adalah karena tanah disepanjang kolam olak, tanah berada dalam keadaan baik,
maka tipe mercu yang cocok adalah tipe mercu ogee karena memerlukan lantai
muka untuk menahan penggerus.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, US. Army Corps of
Engineers telah mengembangkan persamaan berikut :
Y/hd = (I/k) . (X/hd)n ...(2.37)
Dimana:
X dan Y : koordinat-koordinat permukaan hilir;
hd
K dan n : parameter yang tergantung pada kecepatan aliran dan kemiringan hilir.
Tabel 2.7 Harga k dan n
Kemiringan permukaan
hilir
Vertikal
2.000
1.850
1 - 0.33
1.936
1.836
1 - 0.67
1.939
1.810
1-1
1.873
1.776
Page 21
Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir, seperti
terlihat pada gambar berikut :
Cd
= koefisien limpahan
Takeda, 1977) :
(2.39)
Dimana :
Le
= jumlah pilar
Kp
Ka
ambang yaitu: ambang bebas, ambang berbentuk bendung pelimpah dan ambang
berbentuk bendung pelimpah menggantung.
2.6
Saluran Transisi
Saluran transisi adalah saluran diantaa mercu pelimpah dan saluran
peluncur. Saluran transisi direncanakan agar debit banjir rencana yang akan
disalurkan tidak menimbulkan air terhenti (back water) dibagian hilir saluran
Page 23
samping dan memberikan kondisi yang paling menguntungkan, baik pada aliran
didalam saluran transisi tersebut maupun pada aliran permulaan yang akan
menuju saluran peluncur. Bentuk saluran transisi ditentukan sebagai berikut
Saluran Peluncur
Pada perencanaan bangunan pelimpah antara tinggi mercu dengan
bangunan peredam energi diberi saluran peluncur (flood way). Saluran ini
berfungsi untuk mengatur aliran air yang melimpah dari mercu dapat mengalir
dengan lancar tanpa hambatan-hambatan hidrolis. Dalam merencanan saluran
peluncur harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Agar air yang melimpah dari saluran mengalir dengan lancer tanpa hambatanhambatan hidrolis.
2. Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam menampung
semua beban yang timbul.
3. Agar gaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.
Page 24
= jari-jari basah
= kemiringan saluran
Page 25
.....................................................................................................(2.41)
Dimana :
Fr
= bilangan Froude
antara luas penampang normal basah dibagi dengan lebar permukaan bebas.
Untuk nilai Fr = 1, disebut kecepatan kritis
Untuk nilai Fr > 1, disebut kecepatan super kritis
Untuk nilai Fr < 1, disebut kecepatan sub kritis
2.8
Page 26
demikian kandungan energi dengan daya penggerus sangat kuat yang timbul
dalam aliran tersebut harus diredusir hingga mencapai tingkat yang normal
kembali, sehingga aliran tersebut kembali ke dalam sungai tanpa membahayakan
kestabilan alur sungai yang bersangkutan.
Guna mereduksi energi yang terdapat didalam aliran tersebut, maka
diujung hilir saluran peluncur biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut
peredam energi pencegah gerusan. Untuk meyakinkan kemampuan dan
keamanan dari peredam energi, maka pada saat melaksanakan pembuatan rencana
teknisnya diperlukan pengujian kemampuannya. Apabila alur sungai disebelah
hilir bangunan pelimpah kurang stabil, maka kemampuan peredam energi supaya
direncanakan untuk dapat menampung debit banjir dengan probabilitas 2% (atau
dengan perulangan 50 tahun). Angka tersebut akan ekonomis dan memadai tetapi
dengan pertimbangan bahwa apabila terjadi debit banjir yang lebih besar, maka
kerusakan-kerusakan yang mungkin timbul pada peredam energi tidak akan
membahayakan kestabilan tubuh embungnya.
Tipe kolam bangunan peredam energi :
Page 27
Kedalaman dan kecepatan air pada bagian sebelah hulu dan sebelah hilir
loncatan hydrolis tersebut dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut :
.................................................................................................(2.42)
...........................................................................(2.43)
...................................................................................................(2.44)
Page 28
dimana :
Fr
= bilangan Froude
D1
D2
Page 29
itu, parameter-parameter dasar seperti jari-jari bak, tinggi enrgi dan kedalaman air
harus dirubah menjadi parameter-parameter tanpa dimensi dengan cara
membaginya dengan kedalaman kritis (hc) dengan persamaan kedalaman kritis
adalah persamaan 2.
.....................................................................................................(2.45)
dimana :
hc
menggunakan perbandingan beda muka air hulu dan hilir (H) dengan ketinggian
kritis (hc) seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 2.13. Demikian pula dengan
batas minimum tinggi air hilir (Tmin). Tmin diberikan pada Gambar 2.14 berikut
:
Page 30
Gambar 2.14 Grafik Untuk Mencari Batas Minimum Tinggi Air Hilir
(Sosrodarsono & Takeda, 1977)
Untuk nilai H/hc di atas 2,4 garis tersebut merupakan batas maksimum
untuk menentukan besarnya nilai Tmin. Sedangkan untuk nilai H/hc yang lebih
kecil dari 2,4 maka diambil nilai kedalaman konjugasi sebagai kedalaman
minimum hilir, dengan pertimbangan bahwa untuk nilai H/hcyang lebih kecil
dari 2,4 adalah diluar jangkauan percobaan USBR.
Besarnya peredam energi ditentukan oleh perbandingan h2 dan h1 Apabila
ternyata h2/h1 lebih besar dari 2/3, maka tidak ada efek peredaman yang bisa
diharapkan.
Terlepas dari itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa banyak embung
rusak sebagai akibat dari gerusan lokal yang terjadi di sebelah hilir, terutama
akibat degradasi dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan dalam menentukan
kedalaman minimum air hilir juga berdasarkan degradasi dasar sungai yang akan
terjadi dimasa datang.
Page 31
Page 32
2.9
Kerangka Pikir
AWAL
K
PERENCANA
AN
Page 33