Anda di halaman 1dari 30

a.

Cara Isohyet
Dalam hal ini kita harus menggambar dahulu garis contour/garis tranches

dengan tinggi hujan yang sama (isohyet), seperti terlihat pada gambar di bawah
ini.

Gambar 2.3 Peta Isohyet


Kemudian luas di antara isohyet-isohyet yang berdekatan diukur dan harga
rata-ratanya dihitung sebagai harga rata-rata timbang dari nilai kontur, seperti
berikut ini :
n

d 0 d1
2

d1 d 2
2

A1
A2
A1 A2 An

d n 1 d n
2

d i 1 d i
2

Ai

d i 1 d i
2

Ai

.........

.......(2.4)
Dimana:
A

= Luas daerah

= Tinggi curah hujan rata-rata areal

d0, d1, d2,...dn

= Tinggi curah hujan pada pos penakar 0, 1, 2,...n

Page 4

A1, A2, A3,...An = Luas bagian areal yang dibatasi oleh Isohyet-isohyet
yang bersangkutan
Ini adalah cara yang paling teliti, tetapi membutuhkan jaringan pos
penakar yang relatif lebih padat guna memungkinkan untuk membuat garis-garis
isohyet.
Cara ini memberikan hasil yang dapat dipercaya, asalkan pos-pos
penakarnya terbagi rata di areal tersebut dan hasil penakaran masing-masing pos
penakar tidak menyimpang jauh dari harga rata-rata seluruh pos penakar. Metode
yang sering digunakan dalam menghitung curah hujan maksimum adalah dengan
menggunakan metode Thiessen. (Hidrologi Teknik; C. D. Soemarto, 33:1986)
2.3.1 Analisa Curah Hujan Rancangan
Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar tahunan yang mungkin
terjadi di dalam suatu dearah dengan kala ulang tertentu, yang dipakai sebagai
dasar perencanaan dimensi suatu bangunan.
Dalam Tugas Akhir ini metode yang digunakan untuk menganalisa curah
hujan rancangan adalah metode Log Pearson Type III, dengan pertimbangan
bahwa cara ini lebih fleksibel dan dapat dipakai untuk semua sebaran data.
2.3.2 Distribusi Log Pearson type II
a. Metode Log Pearson Type III.
Metode ini berdasarkan diatas analisa statistik dengan menggunakan data
curah hujan harian maksimal 24 jam dari data pengamatan.
Sebelum mendapatkan persamaan Log Pearson Type III, perlu dihitung
terlebih dahulu data-data:
1.

Curah hujan rata-rata:


n

Log x

log xi

i 1

...........................................................................

(2.5)

Page 5

2.

Standar Deviasi:
n

Si

log xi log xi

i 1

n 1

.............................................................

(2.6)
3.

Koefisien Kepencengan:
n

Cs

log xi log xi

i 1

n 1 n 2 S i 3

.................................................................

(2.7)
4.

Persamaan Log Pearson Type III


Log xT log x G S i .................................................................(2.8)

Dimana:

b.

Log xT

= Nilai ekstrim dengan kala ulang t tahun

Log x

= Nilai rata-rata curah hujan

= Fungsi kala ulang.

Si

= Simpangan baku.

Metode E. J. Gumbel.
Metode ini di analisa berdasarkan data dari analisa curah hujan areal

maksimum dengan menggunakan metode Poligon Thiessen.


Curah Hujan Rata-rata x i

xi

xi ................................................................................
n

(2.9)
Dimana:

xi = Curah Hujan
n

= Banyaknya data/sampel
Page 6

Standart Deviasi (S)


S

xi x
n 1

.................................................................(2.10)

Dimana:
S = Standart Deviasi
xi = Curah hujan

x = Curah hujan rata-rata


Menghitung debit hujan rancangan untuk kala ulang 5 , 10 , 20, 50, 100 tahun.
Dalam perhitungan debit hujan rancangan dengan sampel (n) = 8, maka
dari buku ( Hidrologi Teknik,Edisi ke 2, Ir. C. D. Seomarto, B.I.E. Dipl H ),
halaman 148 149, diperoleh hubungan antara Reduced Mean (Yn) dan besarnya
sampel n untuk menentukan nilai Sn dan Yn.
Menghitung Reduced Variate sebagai Fungsi Balik (Yt)
Untuk kala ulang 5 tahun

Tr 1
Yt = ln ln
.................................................................(2.11)
Tr

Menghitung Frekuensi K untuk harga-harga ekstrim Metode E. J. Gumbel


sebagai berikut:
Yt Yn
..................................................................................
Sn

K =
(2.12)
Dimana:

K = Faktor Frekuensi
Yt = Reduced Variabel sebagai fungsi balik
Yn = Reduced Mean
Sn = Reduced Standart Variate
Menghitung Debit Hujaan Rancangan (Qt)
Xt = x K S .............................................................................(2.13)
Dimana:
Xt = Curah Hujan Rancangan

x = Curah Hujan Rata-rata


Page 7

K = Faktor Frekuensi
S = Standart Deviasi

Page 8

Tabel 2.2 Reduced Mean (Yn)

Tabel 2.3 Reduced Variate (Yt)

2.3.3 Pemeriksaan Uji Kesesuaian Distribusi

Uji kebenaran sebaran dilakukan untuk mengetahui jenis sebaran yang


paling sesuai dengan data hujan. Uji sebaran dilakukan dengan uji keselarasan
distribusi yang dimaksudkan untuk menentukan apakah persamaan distribusi
peluang yang telah dipilih, dapat mewakili dari distribusi statistik sample data
yang dianalisis (Soemarto,1999).
Ada dua jenis uji keselarasan (Goodness of fit test), yaitu uji keselarasan
Chi Square dan Smirnov Kolmogorof.
Pemeriksaan uji kesesuaian distribusi ini dimaksudkan untuk mengetahui
suatu kebenaran hipotesa distribusi frekuensi. Dengan pemeriksaan uji ini akan
diketahui:
1. Kebenaran antara hasil pengamatan dengan model distribusi yang diharapkan
atau yang diperoleh secara teoritis.
Page 9

2. Kebenaran hipotesa (diterima/ditolak)


Metode yang digunakan adalah :
2.3.4.1 Uji secara vertikal dengan Chi Square
Prinsip pengujian dengan metode ini didasarkan pada jumlah pengamatan
yang diharapkan pada pembagian kelas, dan ditentukan terhadap jumlah data
pengamatan yang terbaca di dalam kelas tersebut, atau dengan membandingkan
nilai chi-square (X2). Dengan nilai chi-square kritis (X2cr). Uji keselarasan chisquare menggunakan rumus (Soewarno,1995):
...................................................................................... (2.15)
Dimana :
X2 = harga chi-square terhitung
Oi = jumlah nilai pengamatan pada sub kelompok ke-i
Ei = jumlah nilai teoritis pada sub kelompok ke-i
N = jumlah data
Suatu distrisbusi dikatakan selaras jika nilai X2 hitung < X2 kritis. Nilai
X2 kritis dapat dilihat di Tabel 2.2. Dari hasil pengamatan yang didapat dicari
penyimpangannya dengan chi-square kritis paling kecil. Untuk suatu nilai nyata
tertentu (level of significant) yang sering diambil adalah 5%. Derajat kebebasan
ini secara umum dihitung dengan rumus sebagai berikut (Soewarno,1995) :
................................................................................................. (2.16)
Dimana :
Dk = derajat kebebasan
n

= banyaknya data

Adapun kriteria penilaian hasilnya adalah sebagai berikut :


Apabila peluang lebih dari 5% maka persamaan dirtibusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
Page 10

Apabila peluang lebih kecil dari 1% maka persamaan distribusi teoritis yang
digunakan dapat diterima.
Apabila peluang lebih kecil dari 1%-5%, maka tidak mungkin mengambil
keputusan, perlu penambahan data
Table 2.4 Nilai kritis untuk distribusi Chi-Square

Sumber : Soewarno, 1995

2.3.4.2

Uji Keselarasan Smirnov Kolmogorof


Uji keselarasan Smirnov-Kolmogorof, sering juga disebut uji keselarasan

non parametrik (non parametrik test), karena pengujiannya tidak menggunakan


fungsi distribusi tertentu. Prosedurnya adalah sebagai berikut :
Rumus yang dipakai (Soewarno, 1995)

Page 11

........................................................................................... (2.17)

a. Urutkan dari besar ke kecil atau sebaliknya dan tentukan besarnya nilai
masing-masing peluang dari hasil penggambaran grafis data ( persamaan
distribusinya) :
X1 P(X1)
X2 P(X2)
Xm P(Xm)
Xn P(Xn)
b. Berdasarkan tabel nilai kritis ( Smirnov Kolmogorof test ) tentukan harga
Do (Tabel 2.5) menggunakan grafis.
Tabel 2.5 Nilai delta kritis untuk uji keselarasan smirnov kolmogorof

Sumber : Soewarno, 1995


2.3.5 Perhitungan Intensitas Curah Hujan

Untuk menentukan Debit Banjir Rencana (Design Flood), perlu


didapatkan harga suatu Intensitas Curah Hujan terutama bila digunakan metoda
rational. Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada
suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah
hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau

Page 12

(Loebis, 1987). Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan rumus
empiris sebagai berikut (Soemarto, 1999):
Rumus ini digunakan apabila data curah hujan yang tersedia hanya curah hujan
harian (Soemarto, 1999).

............................................................................................. (2.18)
Dimana :
I

= Intensitas curah hujan (mm/jam)

= Lamanya curah hujan (jam)

R24

= Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)

2.3.6

Perhitungan Debit Banjir Rancangan


Debit/Banjir Rancangan adalah besarnya debit banjir yang ditetapkan

sebagai dasar debit banjir yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas
dalam mendimensi penentuan bangunan-bangunan hidraulik (termasuk bangunan
di sungai), sedemikian hingga kerusakan yang dapat ditimbulkan baik langsung
maupun tidak langsung oleh langsung maupun tidak langsung oleh banjir tidak
boleh terjadi selama besaran banjir tidak terlampaui
2.3.6.1 Koefisien Limpasan()
Koefisien limpasan (Run off) adalah perbandingan antara limpasan
permukaan (Run off) dengan hujan dan untuk itu ada beberapa pendapat:
1.

Melchior: angka koefisien limpasan berkisar antara: 0,42 0,62 dan


Melchior menganjurkan: 0,52 .

2.

Weduwen: mendapatkan rumus untuk sebagai berikut:


1

4,1
...................................................................................
q7

(2.19)

3.

Haspers: mendapatkan rumus untuk sebagai berikut:


Page 13

1 0,012 f
1 0,075 f

0, 7
0, 7

......................................................................

(2.20)
yang di dasarkan atas data dari sungai Bendo.
4.

Jepang: memakai angka koefisien limpasan (Run off) dari hasil


penyelidikan yang di lakukan di Jepang seperti pada Tabel di bawah ini.
Tabel 2.6 Hubungan Antara Koefisien Run Off dan Daerah Aliran
Uraian Daerah

Daerah pegungan berlereng terjal

0.75 -.90

Daerah perbukitan

0,7~0,8

Daerah bergelombang dan bersemak-semak

0,5~0,75

Daerah daratan yang digarap

0,45~0,60

Daerah persawahan Irigasi

0,70~0,80

Sungai didaerah pegunungan

0,75~0,85

Sungai kecil didaerah daratan

0,45~0,75

Sungai yang besar dengan wilayah pengaliran yang lebih dari


0,50~0,75
seperduanya terdiri dari daratan
Sumber: Teknik Bendungan, Ir. Soedibyo.
2.3.6.2 Analisa Distribusi Jam-Jaman
Untuk perhitungan debit dengan menggunakan rumus hidrograf satuan
sintesis diperlukan data hujan jam-jaman. Distribusi curah hujan jam-jaman dapat
dihitung dengan rumus :

............................................................................................ ( 2.21 )
Dimana :
Rt = Rata-rata hujan pada jam ke i

Page 14

Ro =
T

= Lama waktu hujan terpusat ( jam )

= Waktu hujan ( jam )


Untuk menghitung rata-rata curah hujan pada jam ket menggunakan

rumus :

........................................................................ ( 2.22 )
Dimana :
Rt

= Tinggi hujan pada jam ke-t ( mm )

Rt

= Rata-rata tinggi hujan sampai jam ke-t ( mm )

= Waktu hujan ( jam )

R(t-1)

= Rata-rata tinggi hujan dari permulaan sampai jam ke-t ( mm )

Dalam perhitungan distribusi hujan effektif, perumusan yang digunakan


adalah sebagai berikut :

.................................................................................................... ( 2.23 )

Dimana :
R

= Tinggi hujan effektif ( mm )

= Koeffisien pengaliran

Rt

= Tinggi hujan rencana ( mm )

2.3.6.3

Analisa Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu


Perhitungan debit rencana sangat diperlukan untuk memperkirakan

besarnya debit hujan maksimum yang sangat mungkin pada periode tertentu. Dan
metode yang digunakan adalah Metode perhitungan Debit Hidrograf Metode
Nakayasu. Pemilihan hidrograf ini disesuaikan dengan karakteristik daerah

Page 15

pengalirannya, di samping itu hidrograf satuan ini banyak digunakan dalam


perhitungan banjir rencana di Indonesia.
Adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut :
...................................................................................... ( 2.24 )
(Hidrologi Teknik,Soemarto,Tahun 1999)
Dimana :
Qp

= Debit puncak banjir ( m3/detik )

= Hujan satuan ( mm )

= Luas DAS ( km2 )

Tp

= Tenggang waktu dari permulaan hujan sampai puncak banjir ( jam )

T0,3

= Waktu yang diperlukan oleh penurunan debit, dari debit puncak menjadi
30% dari debit puncak (jam)

Untuk mendapatkan Tp dan T0,3 digunakan rumus empiris :


tg

= 0,4 + 0,058L

bila L > 15 km ................................................ (2.25)

tg

= 0,21 x L0,70

bila L < 15 km ................................................ (2.26)

Tp = tg + 0,8tr ........................................................................................... (2.27)


T0,3 = .tg .................................................................................................... (2.28)
(HidrologiTeknik,Soemarto,Tahun1999)
Dimana :
L

= panjang alur sungai ( km )

tg

= waktu konsentrasi ( jam )

tr

= satuan waktu hujan ( diambil 1 jam )

= Koeffisien pembanding

Untuk mencari besarnya koeffisien pembanding dapat digunakan :

= 1,5 untuk bagian naik hidrograf yang lambat dan bagian menurun yang
cepat

= 2,0 untuk daerah pengaliran biasa

Page 16

= 3,0 untuk bagian naik hidrograf yang cepat dan bagian menurun yang
lambat

tr
t

0.8 tr

tg

lengkung naik

lengkung turun

Qp
0.3

Qp

0.3 Q
Tp

To.3

1.5 To.3

Gambar2.4 Sketsa Hidrograf Satuan Sintetis Metode Nakayasu


1. Pada kurva turun ( 0 < t< Tp )
........ ( 2.29 )
Pada kurva turun ( Tp < t << Tp+T0,3 )
................................................................................... ( 2.30 )
2. Pada kurva turun (Tp+T0,3<t<<Tp+ T0,3+1,5T0,3)
.... ( 2.31 )
3. Pada kurva turun ( t > Tp+T0,3+1,5T0,3 )
. ( 2.32 )
(Hidrologi Teknik,Soemarto,Tahun1999)

2.3.6.4 Hidrograf Satuan Sintetik Snyder


Tahun 1938, F. F. Snyder dari Amerika Serikat mengembangkan rumus
empiris yang menghubungkan unsur-unsur hidrograf satuan dengan karakteristik
daerah pengaliran.

Page 17

Hidrograf satuan tersebut ditentukan secara cukup baik dengan tinggi d=1
cm, dan dengan ketiga unsur yang lain, yaitu Qp (m3/detik), Tb serta tr (jam)
Unsur-unsur hidrograf tersebut dihubungkan dengan
A = Luas daerah pengaliran (km2),
L = Panjang aliran utama (km)
Lc = Jarak antara titik berat dengan pelepasan (outlet) yang diukur
sepanjang aliran utama
Dengan unsur-unsur tersebut diatas, snyder membuat rumus-rumusnya
sebagai berikut:
t p Ct ( L Lc ) 0 ,3 ....................................................................................

(2.33)
tr

tp
5,5 .................................................................................................

(2.34)
Q p 2,78

Cp A
...................................................................................
tp

(2.35)
Tb 72 3 t p ........................................................................................

(2.36)
Koefisien-koefisien Ct dan Cp harus ditetukan secara empiris, karena
besarnya berubah-ubah antara daerah yang satu dengan daerah yang lain.
Besarnya Ct = 0,75 3,00, sedangkan besarnya Cp = 0,90 1,40
Pada umumnya Ct dan Cp ini mempunyai nilai yang terbukti cukup
konstan untuk sejumlah daerah pengaliran yang terukur dalam suatu wilayah,
sehingga koefisien-koefisien dapat dipakai didaerah pengaliran yang tidak terukur
(ungauqed) diwilayah yang sama. Kalau tidak demikian, haruslah dicoba dengan
Page 18

fungsi lain, karena bukan saja koefisien-koefisiennya yang empiris, tetapi


fungsinya juga empiris, yang tidak didasarkan atas hukum-hukum hidrolika.
Gambar2.5 Sketsa Hidrograf Satuan Sintetis Metode Snyde

2.4

Penelusuran Banjir Melalui Pelimpah


Penelusuran banjir melalui pelimpah bertujuan untuk mengetahui

dimensi pelimpah (lebar dan tinggi pelimpah). Dan debit banjir yang digunakan
dalam perhitungan flood routing metode step by step adalah Q50 tahun.
Prinsip dari perhitungan ini adalah dengan menetapkan salah satu parameter
hitung apakah B (lebar pelimpah) atau H (tinggi pelimpah). Jika B ditentukan
maka variabel H harus di trial sehingga mendapatkan tinggi limpasan air banjir
maksimum yang cukup dan efisien. Tingi spillway didapatkan dari elevasi muka
air limpasan maksimum tinggi jagaan rencana.
Perhitungan ini terhenti ketika elevasi muka air limpasan sudah mengalami
penurunan dan volume kumulatif mulai berkurang dari volume kumulatif
sebelumnya atau V negatif yang artinya Q Outflow > Q inflow. Prosedur
perhitungan flood routing spillway sebagai berikut :
a.
b.
c.
d.
e.
f.

Memasukkan data jam ke-n (jam)


Selisih waktu (t) dalam detik
Q inflow
= Q 50 tahun banjir rencana (m3/dt).
Q inflow rerata = (Q inflow n + Q inflow (n-1))/2 dalam m3/dt.
Volume inflow = Q inflow rerata x t (m3/dt).
Asumsi muka air hulu dengan cara men-trial dan dimulai dari elevasi spillway

g.
h.
i.
j.
k.

coba-coba (m).
H = tinggi muka air hulu tinggi elevasi spillway.
Q outflow = x B x g x H 3/2 (m3/dt).
Q outflow rerata = ( Q output n + Q output (n-1))/2 dalam m3/dt.
Volume outflow = Q outflow rerata x t (m3/dt).
V = selisih volume (Q inflow rerata Q outflow rerata).

Page 19

l.

Volume kumulatif yaitu volume tampungan tiap tinggi muka air limpasan

yang terjadi. V kum = V n +V (n+1) dalam m3.


m. Elevasi muka air limpasan, harus sama dengan elevasi muka air coba-coba
2.5

Mercu Pelimpah

2.5.1 Bentuk mercu bendung (Merujuk pada KP-02, Bagian 4.2.2)


Untuk menjaga agar kondisi aliran yang melimpah diatas mercu stabil,
bentuk mercu bendung harus direncanakan secara hati-hati dari segi hidrolis. Dua
tipe mercu bendung tetap di sungai yang biasa digunakan di Indonesia adalah tipe
mercu bulat dan tipe mercu ogee, sebagaimana diuraikan di bawah ini:
2.5.1.1 Mercu bulat

Gambar 2.6 Mercu Bendung Tipe Bulat


Mercu bendung bulat mempunyai koefisien debit yang jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan mercu bendung ambang lebar.
Pada sungai, ini akan banyak memberikan keuntungan karena bangunan ini akan
mengurangi tinggi muka air hulu selama banjir. Harga koefisien debit menjadi
lebih tinggi karena lengkung streamline dan tekanan negatif pada mercu. Untuk
bendung dengan 2 jari jari hilir akan digunakan untuk menemukan harga
koefisien debit.
2.5.1.2 Mercu Ogee
Bentuk mercu type Ogee ini adalah tirai luapan bawah dari bendung
ambang tajam aerasi. Sehingga mercu ini tidak akan memberikan tekanan sub
atmosfer pada permukaan mercu sewaktu bendung mengalirkan air pada debit
rencananya. Untuk bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan
permukaan hilir. Salah satu alasan dalam perencanaan digunakan Tipe Ogee

Page 20

adalah karena tanah disepanjang kolam olak, tanah berada dalam keadaan baik,
maka tipe mercu yang cocok adalah tipe mercu ogee karena memerlukan lantai
muka untuk menahan penggerus.
Untuk merencanakan permukaan mercu Ogee bagian hilir, US. Army Corps of
Engineers telah mengembangkan persamaan berikut :
Y/hd = (I/k) . (X/hd)n ...(2.37)
Dimana:
X dan Y : koordinat-koordinat permukaan hilir;
hd

: tinggi energy rencana diatas mercu;

K dan n : parameter yang tergantung pada kecepatan aliran dan kemiringan hilir.
Tabel 2.7 Harga k dan n
Kemiringan permukaan

hilir
Vertikal

2.000

1.850

1 - 0.33

1.936

1.836

1 - 0.67

1.939

1.810

1-1

1.873

1.776

Page 21

Bagian hulu mercu bervariasi sesuai dengan kemiringan permukaan hilir, seperti
terlihat pada gambar berikut :

Gambar 2.7 Mercu Bendung Tipe Ogee


Jenis-jenis ini dirancang dalam upaya untuk mendapatkan jenis spillway
yang mampu mengalirkan air sebanyak-banyaknya. Pemilihan jenis spillway ini
disamping terletak pada pertimbangan hidrolika, hidologi, topografi, dan jenis
material
Elevasi mercu pelimpah adalah elevasi tampungan embung dalam
keadaan normal penuh air. Elevasi ini didapat setelah mengetahui besarnya
volume tampungan embung dari neraca optimasi tampungan ditambah dengan
volume sedimen dan volume kehilangan air embung.
Dengan grafik hubungan luas genangan dan volume genangan dapat
dicari elevasi mercu pelimpah dari volume rencana tampungan embung.
Debit yang dilewatkan melalui pelimpah dapat dihitung dengan rumus
hidrolika
berikut (Sosrodarsono, 1977:181) :
Q = Cd B H3/2 (2.38)
Dimana :
Page 22

= debit aliran (m3/s)

Cd

= koefisien limpahan

= lebar efektif ambang (m)

= tinggi energi di atas ambang (m)

= percepatan grafitasi (m/s)


Lebar efektif ambang dapat dihitung dengan rumus (Sosrodarsono &

Takeda, 1977) :
(2.39)
Dimana :
Le

= lebar efektif ambang (m)

= lebar ambang sebenarnya (m)

= jumlah pilar

Kp

= koefisien konstraksi pilar

Ka

=koefisien konstraksi pada dinding samping ambang

= tinggi energi di atas ambang (m)


Kapasitas debit air sangat dipengaruhi bentuk ambang. Terdapat 3

ambang yaitu: ambang bebas, ambang berbentuk bendung pelimpah dan ambang
berbentuk bendung pelimpah menggantung.

2.6

Saluran Transisi
Saluran transisi adalah saluran diantaa mercu pelimpah dan saluran

peluncur. Saluran transisi direncanakan agar debit banjir rencana yang akan
disalurkan tidak menimbulkan air terhenti (back water) dibagian hilir saluran

Page 23

samping dan memberikan kondisi yang paling menguntungkan, baik pada aliran
didalam saluran transisi tersebut maupun pada aliran permulaan yang akan
menuju saluran peluncur. Bentuk saluran transisi ditentukan sebagai berikut

Gambar 2.8 Skema bagian transisi saluran pengarah pada bangunan


pelimpah
2.7

Saluran Peluncur
Pada perencanaan bangunan pelimpah antara tinggi mercu dengan

bangunan peredam energi diberi saluran peluncur (flood way). Saluran ini
berfungsi untuk mengatur aliran air yang melimpah dari mercu dapat mengalir
dengan lancar tanpa hambatan-hambatan hidrolis. Dalam merencanan saluran
peluncur harus memenuhi syarat sebagai berikut :
1. Agar air yang melimpah dari saluran mengalir dengan lancer tanpa hambatanhambatan hidrolis.
2. Agar konstruksi saluran peluncur cukup kukuh dan stabil dalam menampung
semua beban yang timbul.
3. Agar gaya konstruksi diusahakan seekonomis mungkin.

Page 24

Gambar 2.9 Penampang memanjang saluran peluncur


Bagian yang berbentuk terompet pada ujung saluran peluncur bertujuan
agar aliran dari saluran peluncur yang merupakan alira super kritis dan
mempunyai kecepatan tinggi, sedikit demi sedikit dapat dikurangi akibat
melebarnya aliran dan aliran tersebut menjadi semakin stabil.

Gambar 2.10 Bagian berbentuk terompet pada ujung hilir


saluran peluncur
Makin tinggi elevasi embung, makin besar perbedaan antara permukaan
air sungai di hulu dan sebelah hilir embung. Apabila kemiringan saluran
pengangkut debit dibuat kecil, maka ukurannya akan sangat panjang dan mahal.
Oleh karena itu kemiringan terpaksa dibuat besar, dengan sendirinya disesuaikan
dengan keadaan topografi setempat.
Untuk menentukan kecepatan aliran biasanya digunakan rumus :
..........................................................................................(2.40)
Dimana :
v

= kecepatan aliran air (m/detik)

= koefisien kekasaran saluran

= jari-jari basah

= kemiringan saluran

Page 25

Apabila kemiringan besar maka kecepatannya menjadi besar, mendekati


kecepatan kritis atau superkritis. Untuk menentukan batas kecepatan ini
digunakan angka Froude menurut rumus :

.....................................................................................................(2.41)

Dimana :
Fr

= bilangan Froude

= kecepatan aliran (m/s),

= percepatan gravitasi (m/s2)

= panjang karakteristik (m)


Untuk aliran terbuka, maka L = D, tinggi hidrolik yaitu perbandingan

antara luas penampang normal basah dibagi dengan lebar permukaan bebas.
Untuk nilai Fr = 1, disebut kecepatan kritis
Untuk nilai Fr > 1, disebut kecepatan super kritis
Untuk nilai Fr < 1, disebut kecepatan sub kritis

2.8

Bangunan Peredam Energi (Kolam Olak)


Aliran air setelah keluar dari saluran/pipa pembawa biasanya mempunyai

kecepatan/energi yang cukup tinggi yang dapat menyebabkan erosi di hilirnya,


dan menyebabkan ketidakstabilan bangunan spillway. Oleh karenanya perlu
dibuatkan bangunan peredam energi sehingga air yang keluar dari bangunan
peredam cukup aman.
Sebelum aliran yang melintasi bangunan pelimpah dikembalikan lagi ke dalam
sungai, maka aliran dengan kecepatan yang tinggi dalam kondisi super kritis
tersebut harus diperlambat dan dirubah pada kondisi aliran sub kritis. Dengan

Page 26

demikian kandungan energi dengan daya penggerus sangat kuat yang timbul
dalam aliran tersebut harus diredusir hingga mencapai tingkat yang normal
kembali, sehingga aliran tersebut kembali ke dalam sungai tanpa membahayakan
kestabilan alur sungai yang bersangkutan.
Guna mereduksi energi yang terdapat didalam aliran tersebut, maka
diujung hilir saluran peluncur biasanya dibuat suatu bangunan yang disebut
peredam energi pencegah gerusan. Untuk meyakinkan kemampuan dan
keamanan dari peredam energi, maka pada saat melaksanakan pembuatan rencana
teknisnya diperlukan pengujian kemampuannya. Apabila alur sungai disebelah
hilir bangunan pelimpah kurang stabil, maka kemampuan peredam energi supaya
direncanakan untuk dapat menampung debit banjir dengan probabilitas 2% (atau
dengan perulangan 50 tahun). Angka tersebut akan ekonomis dan memadai tetapi
dengan pertimbangan bahwa apabila terjadi debit banjir yang lebih besar, maka
kerusakan-kerusakan yang mungkin timbul pada peredam energi tidak akan
membahayakan kestabilan tubuh embungnya.
Tipe kolam bangunan peredam energi :

Tipe Kolam Olak Loncatan (water jump)


Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam ( bucket
Tipe Kolam Olakan
Tipe Bak Pusaran (roller bucket)

A. Tipe Kolam Olak Loncatan (water jump)


Biasanya dibuat untuk sungai-sungai yang dangkal. Tipe ini hanya cocok
untuk sungai dengan dasar alur yang kokoh. Biaya pembuatan relatif lebih murah.

Page 27

Gambar 2.11 Tipe Kolam Olak Loncatan (water jump)

B. Tipe Kolam Olakan


Secara umum direncanakan di sebelah hilir bangunan bergantung pada
energi air yang masuk, tergantung pada bilangan froudedan juga bahan konstruksi
kolam olak.

Kolam olakan datar tipe I


Kolam olakan datar tipe II
Kolam olakan datar tipe III
Kolam olakan datar tipe IV

C. Tipe Bak Pusaran (roller bucket)


Bangunan peredam energi yang terdapat di aliran air dengan proses
pergesekan diantara molekul-molekul air akibat timbulnya pusaran-pusaran
vertikal didalam suatu kolam.

Bak pusaran masip type Grand coulee


Bak pusaran beralur type Angosture

Kedalaman dan kecepatan air pada bagian sebelah hulu dan sebelah hilir
loncatan hydrolis tersebut dapat diperoleh dari rumus sebagai berikut :

.................................................................................................(2.42)

...........................................................................(2.43)

Ada beberapa tipe bangunan peredam energi yang pemakaiannya


tergantung dari kondisi hidrolis yang dinyatakan dalam bilangan Froude:

...................................................................................................(2.44)

Page 28

dimana :
Fr

= bilangan Froude

= kecepatan aliran (m/s),

= percepatan gravitasi (m/s2)

D1

= kedalaman air di awal kolam (m)

D2

= kadalaman air di akhir kolam (m)

D. Peredam Energi Tipe Bak Tenggelam ( bucket )


Tipe peredam energi ini dipakai bilakedalaman konjugasi hilir, yaitu
kedalaman air pada saat peralihan air dari super ke sub kritis, dari loncatan air
terlalu tinggi dibanding kedalaman air normal hilir, atau kalau diperkirakan akan
terjadi kerusakan pada lantai kolam akibat batu-batu besar yang terangkut lewat
atas embung.
Dimensi-dimensi umum sebuah bak yang berjari-jari besar diperlihatkan
oleh Gambar 2. berikut :

Gambar 2.12 Peredam bak tenggelam (Bucket)


(Sosrodarsono & Takeda, 1977)
Parameter-parameter perencanaan yang sebagaimana diberikan oleh
USBR sulit untuk diterapkan bagi perencanaan kolam olak tipe ini. Oleh karena

Page 29

itu, parameter-parameter dasar seperti jari-jari bak, tinggi enrgi dan kedalaman air
harus dirubah menjadi parameter-parameter tanpa dimensi dengan cara
membaginya dengan kedalaman kritis (hc) dengan persamaan kedalaman kritis
adalah persamaan 2.

.....................................................................................................(2.45)

dimana :
hc

= kedalaman kritis (m)

= debit per lebar satuan (m3/det.m)

= percepatan gravitasi (m/dt2)


Jari-jari minimum yang paling diijinkan (Rmin) dapat ditentukan dengan

menggunakan perbandingan beda muka air hulu dan hilir (H) dengan ketinggian
kritis (hc) seperti yang ditunjukkan dengan Gambar 2.13. Demikian pula dengan
batas minimum tinggi air hilir (Tmin). Tmin diberikan pada Gambar 2.14 berikut
:

Gambar 2.13 Grafik Untuk Mencari Jari-jari Minimum (Rmin) Bak


(Sosrodarsono & Takeda, 1977)

Page 30

Gambar 2.14 Grafik Untuk Mencari Batas Minimum Tinggi Air Hilir
(Sosrodarsono & Takeda, 1977)
Untuk nilai H/hc di atas 2,4 garis tersebut merupakan batas maksimum
untuk menentukan besarnya nilai Tmin. Sedangkan untuk nilai H/hc yang lebih
kecil dari 2,4 maka diambil nilai kedalaman konjugasi sebagai kedalaman
minimum hilir, dengan pertimbangan bahwa untuk nilai H/hcyang lebih kecil
dari 2,4 adalah diluar jangkauan percobaan USBR.
Besarnya peredam energi ditentukan oleh perbandingan h2 dan h1 Apabila
ternyata h2/h1 lebih besar dari 2/3, maka tidak ada efek peredaman yang bisa
diharapkan.
Terlepas dari itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa banyak embung
rusak sebagai akibat dari gerusan lokal yang terjadi di sebelah hilir, terutama
akibat degradasi dasar sungai. Oleh karena itu, dianjurkan dalam menentukan
kedalaman minimum air hilir juga berdasarkan degradasi dasar sungai yang akan
terjadi dimasa datang.

Page 31

Gambar 2.15 Batas Maksimum Tinggi Air Hilir


(Sosrodarsono & Takeda, 1977)

Page 32

2.9

Kerangka Pikir
AWAL
K

PERENCANA
AN

1. Belum adanya perencanaan spillway embung ngluyu


2. Belum adanya informasi tipe lengkung mercu spillway
yang sesuai dengan Embung Ngluyu.
3. Dipilih dua (2) alternative tipe lengkung mercu (bulat
dan Ogee)

1. Merencanakan tipe lengkung mercu spillway


2. Merencanakan dimensi lengkung mercu
3. Menghitung besarnya debit ( Q ) yang melewati lengkung
mercu tersebut

1. Menghasilkan tipe lengkung mercu yang


AKHIR
K

mengalirkan debit paling besar ( Q )


2. Dapat menjadi alternatif perencanaan tipe
lengkung mercu spillway Ngluyu, Kab. Nganjuk
yang efektif.

Page 33

Anda mungkin juga menyukai