Anda di halaman 1dari 38

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang Masalah


Timbul dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah

sejalan dengan berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum


perusahaan. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sangat
pesatnya sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai
memerlukan modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk
badan hukum perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa
akuntan publik mulai diperlukan dan berkembang. Profesi akuntan publik atau
auditor kantor akuntan publik memegang peranan penting dalam perkembangan
bisnis global saat ini (Deasy, 2002).
Mulyadi

(2009:121),

menyatakan

bahwa

profesi

akuntan

publik

merupakan profesi kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik,


masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas dan tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan.
Profesi akuntan publik bertanggungjawab untuk menaikkan tingkat keandalan
laporan keuangan perusahaan, sehingga masyarakat memperoleh informasi
keuangan yang andal sebagai dasar pengambilan keputusan. Norika (2004),
menyatakan agar informasi yang disajikan dalam bentuk laporan dapat digunakan
sebagai dasar untuk pembuatan keputusan, maka bagian akuntansi dituntut untuk
dapat menyajikan informasi yang relevan, akurat, dan tepat waktu.

Posisi akuntan publik sebagai pihak independen yang memberikan opini


kewajaran terhadap laporan keuangan mulai banyak dipertanyakan apalagi setelah
didukung oleh bukti semakin meningkatnya tuntutan hukum terhadap kantor
akuntan. Kurangnya independensi auditor dan maraknya manipulasi akuntansi
korporat membuat kepercayaan para pemakai laporan keuangan mempertanyakan
eksistensi akuntan publik sebagai pihak independen. Padahal profesi akuntan
mempunyai peran penting dalam penyediaan informasi keuangan yang handal
bagi pemerintah, investor, kreditor, pemegang saham, karyawan, debitur, juga
bagi masyarakat dan pihak-pihak lain yang berkepentingan (Wibowo, 2009).
Sebagai penunjang keberhasilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya
dengan baik, sangatlah diperlukan kinerja auditor yang baik dan berkualitas.
Kinerja auditor adalah kemampuan dari seorang auditor menghasilkan temuan
atau hasil pemeriksaaan dari kegiatan pemeriksaan atas pengelolaan dan tanggung
jawab keuangan yang dilakukan dalam satu tim pemeriksaan (Yanhari, 2007).
Istilah kinerja seringkali digunakan untuk menyebutkan prestasi atau tingkat
keberhasilan individu atau kelompok individu.
Kondisi kerja yang kurang kondusif mempengaruhi kinerja auditor,
sehingga dapat mempengaruhi kepercayaan masyarakat terhadap akuntan publik
sebagai pihak yang independen dalam pengauditan laporan keuangan. Skandal
akuntansi perusahaan-perusahaan besar di Amerika seperti Enron, Global
Crossing, Worldcom, Microstrategy, Adelphia, PNC Financial Service, dan Rite
Aid hampir semuanya melibatkan kantor akuntan publik (KAP) besar seperti The
Big Five. KAP kelas menengah juga tidak luput dari masalah tersebut, seperti

RSM

Salustro Reydel di Perancis yang melakukan kesalahan saat melakukan

audit atas Vivendi Universal. Di Indonesia juga pernah terjadi hal yang sama
pada kasus PT. Kimia Farma Tbk., yaitu terjadinya overstated pada laba bersih
per 31 Desember 2001. Setidaknya hal ini menjadi pembelajaran bersama bagi
perkembangan profesi auditor di Indonesia untuk lebih meningkatkan kinerja
mereka (Widodo, 2008).
Widodo

(2008)

menyatakan

bahwa

kinerja

individu

perorangan

(individual performance) dan organisasi (organizational performance) memiliki


keterkaitan yang sangat erat. Tercapainya tujuan organisasi tidak bisa lepas dari
sumber daya yang dimiliki organisasi. Sumber daya manusia dalam suatu KAP
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam suatu organisasi, sehingga
dapat dikatakan bahwa kinerja KAP sangat ditentukan oleh kinerja auditornya.
Kinerja auditor merupakan perwujudan kerja yang dilakukan dalam rangka
mencapai hasil kerja yang lebih baik atau lebih menonjol ke arah tercapainya
tujuan organisasi (Fanani dkk., 2008)
Salah satu kriteria profesionalisme adalah ketepatan waktu penyampaian
laporan auditnya. Ketepatan waktu perusahaan dalam mempublikasikan laporan
keuangan kepada masyarakat umum dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga
tergantung dari ketepatan waktu auditor dalam menyelesaikan pekerjaan auditnya.
Ketepatan waktu ini terkait dengan manfaat dari laporan keuangan itu sendiri.
Perbedaan waktu tanggal laporan keuangan dengan tanggal opini audit dalam
laporan keuangan mengindikasikan tentang lamanya waktu penyelesaian
pekerjaan auditnya. Hal yang penting adalah bagaimana agar penyajian laporan

keuangan bisa tepat waktu atau tidak terlambat dan kerahasiaan informasi
terhadap laporan keuangan tidak bocor kepada pihak lain yang bukan
kompetensinya untuk ikut mempengaruhinya. Tetapi apabila terjadi hal yang
sebaliknya yaitu terjadi keterlambatan maka akan menyebabkan manfaat
informasi yang disajikan menjadi berkurang dan tidak akurat.
Givoly dan Palmon (1982) menyatakan bahwa ketepatan waktu terkait
dengan manfaat dari laporan keuangan itu sendiri. Nilai kemanfaatan dari
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan akan bernilai, jika disajikan
secara akurat dan tepat waktu, yakni tersedia pada saat yang dibutuhkan oleh para
pengguna laporan keuangan. Nilai dari ketepatan waktu pelaporan keuangan
merupakan faktor penting bagi kemanfaatan laporan keuangan tersebut Audit
delay yang melewati batas waktu ketentuan akan berakibat pada keterlambatan
publikasi laporan keuangan. Keterlambatan publikasi laporan keuangan bisa
mengindikasikan adanya masalah dalam laporan keuangan, sehingga memerlukan
waktu yang lebih lama dalam penyelesaian audit. Subekti dan Widiyanti (2004)
menyatakan bahwa lamanya waktu penyelesaian audit oleh auditor dilihat dari
perbedaan waktu tanggal laporan keuangan dengan tanggal opini audit dalam
laporan keuangan. Perbedaan waktu ini disebut dengan audit delay.
Rick Antle (1984), menyebutkan bahwa independensi dianggap sebagai
atribut penting dari auditor eksternal. Akuntan publik tidak dibenarkan memihak
kepentingan siapapun. Auditor berkewajiban untuk jujur tidak hanya kepada
manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur dan pihak lain
yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik (Christiawan, 2005).

Auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh oleh


berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor dalam mempertimbangkan
fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Idealnya di dalam menjalankan
profesinya, seorang auditor hendaknya memperhatikan dan menaati aturan etika
profesi

yang meliputi

pengaturan

tentang

independensi,

integritas

dan

obyektivitas, standar umum dan prinsip akuntansi, tanggung jawab kepada klien,
tanggung jawab kepada rekan seprofesi, serta tanggung jawab dan praktik lainnya
(Satyo, 2005).
Dalam hal etika, sebuah profesi harus memiliki komitmen moral yang tinggi
yang dituangkan dalam bentuk aturan khusus. Aturan ini merupakan aturan main
dalam menjalankan atau mengemban profesi tersebut, yang biasa disebut sebagai
kode etik. Kode etik harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang
memberikan jasa pelayanan kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan
bagi masyarakat luas. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap
profesional wajib mentaati etika profesinya terkait dengan pelayanan yang
diberikan apabila menyangkut kepentingan masyarakat luas. Jati (2009)
menunjukkan kode etik

Ikatan Akuntan Publik Indonesia (IAPI), aturan etika

Kompartemen Akuntan Publik, Standar Profesi Akuntan Publik (SPAP) dan


standar pengendalian mutu auditing merupakan acuan yang baik untuk mutu
auditing. Prinsip-prinsip etika yang dirumuskan Ikatan Akuntan Publik Indonesia
(IAPI) dan dianggap menjadi kode etik perilaku akuntan Indonesia adalah (1)
tanggung jawab, (2) kepentingan masyarakat, (3) integritas, (4) obyektifitas dan

independen, (5) kompetensi dan ketentuan profesi, (6) kerahasiaan, dan (7)
perilaku profesional.
Budaya organisasi (kerja) adalah sistem nilai-nilai yang diyakini semua
anggota organisasi dan yang dipelajari, diterapkan, serta dikembangkan secara
berkesinambungan, berfungsi sebagai sistem perekat, dan dapat dijadikan sebagai
acuan berperilaku dalam organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah
ditetapkan. Budaya organisasi berkaitan dengan sikap atau perilaku seseorang
dalam melaksanakan kerja sehari-hari yang bermutu dengan selalu berdasarkan
nilai-nilai yang dianut, sehingga menjadi motivator, memberi inspirasi untuk
senantiasa bekerja lebih baik dan memuaskan bagi semua pihak (Andaliza, 2005)
Gaya kepemimpinan (leadership style) juga dapat mempengaruhi kinerja.
Gaya kepemimpinan merupakan cara pimpinan untuk mempengaruhi orang lain
atau bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut mau melakukan
kehendak pimpinan untuk mencapai tujuan organisasi meskipun secara pribadi hal
tersebut mungkin tidak disenangi. Menurut Alberto et al. (2005) dalam
Trisnaningsih (2007) menyatakan kepemimpinan berpengaruh positif kuat
terhadap kinerja. Temuan ini memberi gambaran bahwa gaya kepemimpinan
seorang pemimpin sangat berpengaruh terhadap kinerja bawahannya. Di samping
itu, untuk mendapatkan kinerja yang baik diperlukan juga adanya pemberian
pembelajaran terhadap bawahannya. Demikian pula gaya kepemimpinan pada
KAP sangat diperlukan karena dapat memberikan nuansa pada kinerja auditor.
Penelitian akuntansi keperilakuan tentang gaya kepemimpinan dan budaya
organisasi sudah sering dilakukan terhadap bisnis manufaktur, tapi masih jarang

sekali dilakukan pada perusahaan non-manufaktur seperti Kantor Akuntan Publik


dengan responden auditor independen. Seperti penelitian sebelumnya yang
dilakukan oleh Trisnaningsih (2007) yang dilakukan pada KAP di Jawa Timur
dengan responden auditor independen dan penelitian Wibowo (2009) mencoba
menggunakan responden yang berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu
menggunakan responden auditor independen yang bekerja pada KAP di Daerah
Istimewa Yogyakarta sebagai objek. Dalam penelitian tersebut Wibowo
membuktikan secara empiris, apakah independensi auditor, komitmen organisasi,
gaya kepemimpinan dan pemahaman good governance berpengaruh positif
terhadap kinerja auditor. Guna menunjang keberhasilan dalam menjalankan tugas
dan fungsinya dengan baik, sangatlah diperlukan kinerja auditor yang baik dan
berkualitas. Kinerja auditor adalah kemampuan dari seorang auditor menghasilkan
temuan atau hasil pemeriksaaan dari kegiatan pemeriksaan atas pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan yang dilakukan dalam satu tim pemeriksaan (Yanhari,
2007). Istilah kinerja seringkali digunakan untuk menyebutkan prestasi atau
tingkat keberhasilan individu atau kelompok individu.
Dalam penelitian ini, akan dilakukan pengujian secara empiris tentang
pengaruh profesionalisme, independensi auditor, etika profesi, budaya organisasi
dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor pada KAP di Pekanbaru.
Selain itu juga untuk membuktikan apakah hasil penelitian selanjutnya akan sama
atau berbeda apabila dilakukan pada auditor independen yang berbeda sebagai
objeknya, dimana dengan adanya perbedaan lokasi dan lingkungan kerja pada
KAP bisa jadi menyebabkan perbedaan pola pikir dan cara pandang, nilai-nilai

yang diyakini ataupun cara auditor bekerja dan secara tidak langsung dapat
membawa kepada perbedaan pemahaman tentang bagaimana menghasilkan
kinerja yang baik.

1.2

Rumusan Masalah
Penelitian ini merumuskan beberapa permasalah yaitu:
1. Bagaimana pengaruh profesionalisme auditor pada kinerja auditor di
Kantor Akuntan Publik di wilayah Pekanbaru ?
2. Bagaimana pengaruh independensi auditor pada kinerja auditor di Kantor
Akuntan Publik di wilayah Pekanbaru ?
3. Bagaimana pengaruh etika profesi auditor pada kinerja auditor di Kantor
Akuntan Publik di wilayah Pekanbaru ?
4. Bagaimana pengaruh budaya organisasi auditor pada kinerja auditor di
Kantor Akuntan Publik di wilayah Pekanbaru ?
5. Bagaimana pengaruh gaya kepemimpinan auditor pada kinerja auditor di
Kantor Akuntan Publik di wilayah Pekanbaru?

1.3

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1.3.1 Tujuan Penelitian


Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan bukti empiris pengaruh
profesionalisme auditor, independensi auditor, etika profesi, budaya organisasi
dan gaya kepemimpinan pada kinerja auditor pada KAP di Pekanbaru.

1.3.2

Manfaat Penelitian
Adapun kegunaan yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1)

Kegunaan Teoritis
a. Melalui penelitian ini, peneliti mencoba memberikan bukti empiris tentang
pengaruh profesionalisme auditor, independensi auditor, etika profesi,
budaya organisasi dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor.
b. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi dan memberikan
sumbangan konseptual bagi peneliti sejenis maupun civitas akademika
lainnya

dalam

rangka

mengembangkan

ilmu

pengetahuan

untuk

perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan.


2)

Kegunaan Praktis
a. Dapat digunakan sebagai masukan bagi pimpinan Kantor Akuntan Publik
dalam rangka menjaga dan meningkatkan kinerjanya.
b. Sebagai bahan evaluasi bagi para auditor sehingga dapat meningkatkan
kualitas auditnya maupun kinerjanya.

BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1

Landasan Teori
Pengertian auditing menurut Jusup (2001:1) adalah suatu proses sistematis

untuk mendapatkan dan mengevaluasi bukti-bukti yang berhubungan dengan


asersi tentang tindakan-tindakan dan kejadian-kejadian ekonomi secara objektif
untuk menemukan tingkat kesesuaian antara asersi tersebut dengan kriteria yang
telah ditetapkan dan mengkomunikaasikan hasilnya kepada pihak-pihak yang
berkepentingan. Auditor melakukan boundary spanning activities. Boundary
spanning activities (BSA) adalah sejauh mana seseorang melakukan aktivitas
mencari informasi tambahan untuk pengambilan keputusan. Untuk menunjang
keberhasilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik, sangatlah
diperlukan kinerja auditor yang baik dan berkualitas.

2.1.1 Teori Akuntansi Perilaku (Behavioral Accounting)


Konsep perilaku (behavioural concept) pada awalnya merupakan kajian
bidang utama dalam psikologi dan sosial psikologi, tetapi faktor-faktor psikologi
dan sosial psikologi seperti motivasi, persepsi, sikap dan personalitas sangat
relevan dengan bidang akuntansi (Siegel dan Marconi, 1986).
Para

akuntan,

peneliti

operasional

dan

ahli

manajemen

telah

mengembangkan faktor-faktor psikologi dan sosial psikologi termasuk masalah

11

pengendalian. Ilmu sosiologi dan psikologi juga dikonsentrasikan pada


pengendalian seperti halnya sosial dan fenomena personal (Hopwood, 1974).
Penelitian ini mengkaji tentang aspek perilaku manusia seperti
profesionalisme,

independensi,

etika

profesi,

budaya

organisasi,

gaya

kepemimpinan dan kinerja auditor. Diharapkan penelitian ini dapat memberikan


kontribusi bagi pengembangan akuntansi perilaku di Indonesia.
2.1.2 Teori Sikap dan Perilaku
Teori sikap dan perilaku dikembangkan oleh Triandis (1971), menyatakan
bahwa perilaku ditentukan oleh sikap, aturan-aturan sosial dan kebiasaan. Sikap
terdiri dari komponen kognitif yaitu keyakinan, komponen afektif yaitu suka atau
tidak suka, berkaitan dengan apa yang dirasakan dan komponen perilaku yaitu
bagaimana seorang ingin berperilaku terhadap sikap. Jazen (1975) menyatakan 1).
sikap dapat dipelajari, 2). sikap mendefinisikan prediposisi kita terhadap aspekaspek yang terjadi di dunia, 3). sikap memberikan dasar perasaan bagi hubungan
antara pribadi kita dengan orang lain, 4). Sikap diatur dan dekat dengan inti
kepribadian. Menurut Robbins (2003) sikap adalah pernyataan evaluatif, baik
yang menguntungkan atau tidak menguntungkan tentang obyek, orang, atau
peristiwa.
Menurut Khikmah (2005) sikap memberikan pemahaman tentang tendensi
atau kecenderungan untuk bereaksi. Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada
kesiapan untuk menampilkan suatu perilaku, sehingga berfungsi mengarahkan dan
memberikan pedoman bagi perilaku. Menurut Triandis (1980) bahwa model
perilaku interpersonal yang lebih komprehensif dengan menyatakan factor-faktor

sosial, perasaan dan konsekuensi dirasakan akan mempengaruhi tujuan perilaku.


Kebiasaan merupakan penentu sikap yang langsung dan tidak langsung. Perilaku
tidak mungkin terjadi apabila kondisi yang memfasilitasi tidak memungkinkan.

2.1.3

Pengertian Profesionalisme
Profesi dan profesionalisme dapat dibedakan secara konseptual. Profesi

merupakan jenis pekerjaan yang memenuhi beberapa kriteria, sedangkan


profesionalisme merupakan suatu atribut individual yang penting tanpa melihat
suatu pekerjaan merupakan suatu profesi atau tidak (Kalbers dan Fogarty, 1995
dalam Herawaty dan Susanto, 2009). Istilah profesionalisme berasal dari kata
profesi yang berarti suatu pekerjaan yang memerlukan pengetahuan, mencakup
ilmu pengetahuan, keterampilan dan metode. Profesional suatu kemampuan yang
dilandasi oleh tingkat pengetahuan yang tinggi dan latihan khusus, daya
pemikiran yang kreatif untuk melaksanakan tugas-tugas yang sesuai dengan
bidang keahlian dan profesinya Aryawan (2010). Hardjana (2002) memberikan
pengertian bahwa profesional adalah orang yang menjalani profesi sesuai dengan
keahlian yang dimilikinya. Dalam hal ini, seorang profesional dipercaya dan dapat
diandalkan dalam melaksanakan pekerjaannya sehingga dapat berjalan lancar,
baik dan mendatangkan hasil yang diharapkan.
Menurut Hall (1998) dalam Astriyani (2007) terdapat lima dimensi
profesionalisme, yaitu:

a) Pengabdian pada profesi


Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan
menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimilki. Keteguhan untuk
tetap melaksanakan pekerjaan meskipun imbalan ekstrinsik kurang. Sikap
ini adalah ekspresi dari pencurahan diri yang total terhadap pekerjaan.
Pekerjaan didefinisikan sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk
mencapai tujuan. Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga
kompensasi utama yang di harapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani,
baru kemudian materi.
b) Kewajiban sosial
Kewajiban sosial adalah pandangan tentang pentingnya peranan profesi dan
manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya
pekerjaan tersebut.
c) Kemandirian
Kemandirian dimaksudkan sebagai suatu pandangan seseorang yang
profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa tekanan dari
pihak lain (pemerintah, klien, dan bukan anggota profesi). Setiap ada
campur tangan dari luar dianggap sebagai hambatan kemandirian secara
profesional.
d) Keyakinan pada profesi
Keyakinan pada profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling
berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi,

bukan orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan
pekerjaan mereka.
e) Hubungan dengan sesama profesi
Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi
sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok
kolega informal sebagai ide utama dalam pekerjaan. Melalui ikatan profesi
ini para profesional membangun kesadaran profesional.

2.1.4

Independensi Auditor
Independensi merupakan suatu tindakan baik sikap perbuatan atau mental

auditor dalam sepanjang pelaksanaan audit dimana auditor dapat memposisiskan


dirinya dengan auditee nya secara tidak memihak dan dipandang tidak memihak
oleh pihak-pihak yang berkepentingan terhadap hasil auditnya.Independen berarti
akuntan publik tidak mudah dipengaruhi. Akuntan publik tidak dibenarkan
memihak kepentingan siapapun. Akuntan publik berkewajiban untuk jujur tidak
hanya kepada manajemen dan pemilik perusahaan, namun juga kepada kreditur
dan pihak lain yang meletakkan kepercayaan atas pekerjaan akuntan publik
(Christiawan, 2000:83).
Dalam Kode Etik Akuntan Publik disebutkan bahwa independensi adalah
sikap yang diharapkan dari seorang akuntan publik untuk tidak mempunyai
kepentingan pribadi dalam melaksanakan tugasnya, yang bertentangan dengan
prinsip integritas dan objektivitas. The CPA Handbook E.B. Wilcox menyatakan
bahwa independensi merupakan suatu standar auditing yang penting, karena opini
akuntan independen bertujuan untuk menambah kredibilitas laporan keuangan

yang disajikan oleh manajemen. Jika akuntan tersebut tidak independen terhadap
kliennya, maka opininya tidak akan memberikan tambahan apapun (Mautz dan
Sharaf, 1993). Auditor secara intelektual harus jujur, bebas dari kewajiban
terhadap kliennya dan tidak mempunyai kepentingan dengan klien, baik terhadap
manajemen maupun pemilik (IAI, 2013: Seksi 220).
Carey (1960) dalam Mautz

(1961)

Independensi akuntan publik dari

segi integritas dan hubungannya dengan pendapat akuntan atas laporan keuangan
meliputi:
1) Kepercayaan terhadap diri sendiri yang terdapat pada

beberapa orang

profesional. Hal ini merupakan bagian integritas profesional.


2) Merupakan istilah penting yang mempunyai arti khusus dalam hubungannya
dengan pendapat akuntan publik atas laporan keuangan. Independensi berarti
sikap mental yang bebas dari pengaruh, tidak dikendalikan oleh pihak lain,
tidak tergantung pada orang lain. Independensi juga berarti adanya kejujuran
dalam diri auditor dalam mempertimbangkan fakta dan adanya pertimbangan
yang obyektif tidak memihak dalam diri auditor dalam merumuskan dan
menyatakan pendapatnya.

Independensi akuntan publik merupakan dasar

utama kepercayaan masyarakat pada profesi akuntan publik dan merupakan


salah satu faktor yang sangat penting untuk menilai mutu jasa audit.
Aspek independensi ada tiga, yaitu (Taylor, 1997 dalam Herawaty, 2007) :
1) Independensi sikap mental (independence of mental attitude), independensi
sikap mental ditentukan oleh pikiran akuntan publik untuk bertindak dan
bersikap independen.

2) Independensi penampilan (appearance of independence), independensi


penampilan ditentukan oleh kesan masyarakat terhadap independensi akuntan
publik.
3) Independensi dari sudut keahlian (Independence in competence). Keahlian
juga merupakan faktor independensi yang harus diperhitungkan selain kedua
independensi yang telah disebutkan. Dengan kata lain auditor dapat
mempertimbangkan fakta dengan baik yang kemudian ditarik menjadi suatu
kesimpulan jika ia memiliki keahlian mengenai hal tersebut.
Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa independensi
merupakan sikap seseorang untuk bertindak jujur, tidak memihak, dan
melaporkan temuan temuan hanya berdasarkan bukti yang ada.

2.1.5

Etika Profesi
Arens (2010:67) mendefinisikan etika secara umum sebagai perangkat

prinsip moral atau nilai. Perilaku beretika diperlukan oleh masyarakat agar
semuanya dapat berjalan secara teratur. Setiap profesi yang memberikan
pelayanan jasa pada masyarakat harus memiliki kode etik yang merupakan
seperangkat prinsipprinsip moral yang mengatur tentang perilaku profesional.
Tanpa etika, profesi akuntan tidak akan ada karena fungsi akuntan adalah sebagai
penyedia informasi untuk proses pembuatan keputusan bisnis oleh para pelaku
bisnis.
Merujuk pada klasifikasi profesi secara umum, maka salah satu ciri yang
membedakan profesi-profesi yang ada adalah etika profesi yang dijadikan sebagai

standar pekerjaan bagi para anggotanya. Etika profesi diperlukan oleh setiap
profesi, khususnya bagi profesi yang membutuhkan kepercayaan dari masyarakat
seperti profesi auditor. Masyarakat akan menghargai profesi yang menerapkan
standar mutu yang tinggi dalam pelaksanaan pekerjaannya.
Auditor wajib menaati segala peraturan perundang-undangan yang
berlaku, menyimpan rahasia jabatan, menjaga semangat dan suasana kerja yang
baik. Kode etik berkaitan dengan masalah prinsip bahwa auditor harus menjaga,
menjunjung dan menjalankan nilai-nilai kebenaran dan moralitas seperti
bertanggung jawab (responsibility), berintegritas (integrity), bertindak secara
obyektif (objectivity), dan menjaga independensinya terhadap kepentingan
berbagai pihak (independence) serta berhati hati dalam menjalankan profesi.
Etika auditor dalam Standar Profesi Akuntan Publik disebut sebagai norma
akuntan menjadi patokan resmi para auditor Indonesia dalam berpraktik. Normanorma dalam SPAP tersebut menjadi acuan dalam penentuan standar utama dalam
pekerjaan auditor, antara lain:
1) Auditor harus memiliki keahlian teknis, independen dalam sikap mental serta
kemahiran professional dengan cermat dan seksama.
2) Auditor wajib menemukan ketidakberesan, kecurangan, manipulasi dalam
suatu pengauditan.
Dari penjelasan di atas, didapat kesimpulan bahwa etika profesi
merupakan perangkat kaidah perilaku sebagai pedoman yang harus dipenuhi
dalam mengemban profesi.

2.1.6

Budaya Organisasi
Dalam literatur teori organisasi budaya telah didefinisikan dalam berbagai

ragam oleh berbagai ahli. Menurut Hofstede (1990:4), setiap manusia membawa
mental program yang terbentuk sejak dini, dari masa kecil di lingkungan keluarga,
di lingkungan sekolah dan organisasi. Hofstede (1990:15) membagi budaya
organisasional ke dalam enam dimensi:
1) Inovasi dan pengambilan resiko. Sejauh mana anggota organisasi didorong
untuk inovatif dan mengambil resiko.
2) Perhatian ke hal yang rinci. Sejauh mana anggota organisasi diharapkan
mampu menunjukkan ketepatan, analisis dan perhatian pada hal yang
rinci.
3) Orientasi hasil. Sejauh mana para pimpinan berfokus pada hasil/keluaran
dan bagaimana orientasi para pimpinan pada proses/teknik yang dilakukan
untuk mencapai hasil.
4) Orientasi

orang.

Sejauh

mana

keputusan-keputusan

pimpinan

mempertimbangkan efek hasil pada anggota organisasi.


5) Orientasi tim/kelompok. Sejauh mana aktifitas kerja diorganisasikan
dalam kelompok-kelompok kerja dibandingkan pada kerja individual.
6) Keagresifan. Kondisi agresifitas dan kompetisi anggota organisasi.
Menurut Mondy and Noe III (1993:321), terdapat tiga faktor yang
membentuk budaya dalam organisasi, yaitu : (1) komunikasi, (2) motivasi, dan (3)
kepemimpinan. Komunikasi merupakan transfer informasi, ide pemahaman dan
perasaan diantara para anggota organisasi. Manajer yang ingin berhasil dalam

organisasi harus mampu berkomunikasi secara efektif. Motivasi merupakan


kemauan untuk berusaha dalam mengejar tujuan organisasi sebelumnya manajer
tidak dapat secara langsung memotivasi bawahan karena memotivasi adalah
masalah internal masing-masing individu.
Tugas manajemen adalah menghadirkan budaya organisasi yang
mendorong perilaku positif dari bawahannya, manajemen organisasi perlu
memahami faktor-faktor yang memicu perilaku bawahan dan mengembangkan
serta

mempertahankan

lingkungan

yang

produktif

dalam

organisasi,

kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi anggota organisasi untuk


bertindak sesuai dengan keyakinan pemimpin. Para manajer organisasi
menggunakan pendekatan yang beragam dalam mempengaruhi anggota organisasi
dan hal ini sangat mempengaruhi budaya organisasi berdampak signifikan
terhadap kinerja ekonomi jangka panjang.
Menurut Robbins (2003:97), fungsi budaya organisasi adalah (1) berperan
menetapkan batasan, (2) mengantarkan suatu perasaan identitas bagi anggota
organisasi, (3) mempermudah timbulnya komitmen yang lebih luas daripada
kepentingan individual seseorang, (4) meningkatkan stabilitas sistem sosial karena
merupakan perekat sosial yang membantu mempersatukan organisasi, (5) sebagai
mekanisme control dan menjadi rasional yang memandu dan membentuk sikap
serta perilaku para karyawan.

2.1.7

Gaya Kepemimpinan
Gaya kepemimpinan (leadership styles) merupakan cara pimpinan untuk

mempengaruhi orang lain/bawahannya sedemikian rupa sehingga orang tersebut


mau melakukan kehendak pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi meskipun
secara pribadi hal tersebut mungkin tidak disenangi (Luthans, 2002:575).
Fleishman dan Peters (1962) dalam Trisnaningsih (2007), menjelaskan bahwa
gaya kepemimpinan merupakan pola perilaku konsisten yang diterapkan
pemimpin dengan melalui orang lain, yaitu pola perilaku yang ditunjukkan
pemimpin pada saat mempengaruhi orang lain seperti yang dipersepsikan orang
lain.
Gibson (1996) telah

meneliti gaya kepemimpinan di Ohio State

University tentang perilaku pemimpin melalui dua dimensi, yaitu: consideration


dan initiating structure. Consideration (konsiderasi) adalah gaya kepemimpinan
yang menggambarkan kedekatan hubungan antara bawahan dengan atasan,
adanya saling percaya, kekeluargaan, menghargai gagasan bawahan, dan adanya
komunikasi antara pimpinan dengan bawahan. Pemimpin yang memiliki
konsiderasi yang tinggi menekankan pentingnya komunikasi yang terbuka dan
parsial. Initiating structure (struktur inisiatif) merupakan gaya kepemimpinan
yang menunjukkan bahwa pemimpin mengorganisasikan dan mendefinisikan
hubungan dalam kelompok, cenderung membangun pola dan saluran komunikasi
yang jelas, menjelaskan cara mengerjakan tugas yang benar.
Teori kepemimpinan perilaku (behavioral) mengatakan bahwa gaya
kepemimpinan seorang manajer akan berpengaruh langsung terhadap efektivitas

kelompok kerja (Kreitner dan Kinicki, 2005:302). Kelompok kerja dalam


perusahaan merupakan

pengelompokan kerja dalam bentuk unit kerja dan

masing-masing unit kerja itu dipimpin oleh seorang manajer. Gaya manajer untuk
mengelola sumber daya manusia dalam suatu unit kerja akan berpengaruh pada
peningkatan kinerja unit, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja
perusahaan secara keseluruhan. Selanjutnya, teori kepemimpinan perilaku
(behavioral) berasumsi bahwa gaya kepemimpinan oleh seorang manajer dapat
dikembangkan dan diperbaiki secara sistematik.

2.1.8

Kinerja Auditor
Secara etimologi, kinerja berasal dari kata prestasi kerja (performance).

Sebagaimana dikemukakan oleh Mangkunegara (2005:67) bahwa istilah kinerja


berasal dari kata job performance atau actual performance (prestasi kerja atau
prestasi sesungguhnya yang dicapai seseorang), yaitu hasil kerja secara kualitas
dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan tugasnya
sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Teori tentang prestasi kerja lebih banyak mengacu pada teori psikologi
yaitu tentang proses tingkah laku kerja seseorang, sehingga seseorang tersebut
menghasilkan sesuatu yang menjadi tujuan dari pekerjaannya (Agustia,
2006:104). Kinerja

atau prestasi kerja dapat diukur melalui kriteria seperti

kualitas, kuantitas, waktu yang dipakai, jabatan yang dipegang, absensi dan
keselamatan dalam menjalankan tugas pekerjaan.

Kinerja dibedakan menjadi dua, yaitu kinerja individu dan kinerja


organisasi. Kinerja individu adalah hasil kerja karyawan baik dari segi kualitas
maupun kuantitas berdasarkan standar kerja yang telah ditentukan, sedangkan
wqkinerja organisasi adalah gabungan dari kinerja individu dengan kinerja
kelompok (Mangkunegara, 2005:15). Gibson et al. (1996) dalam Wibowo (2009),
menyatakan bahwa kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat
digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung
jawab yang diberikan oleh organisasi pada periode tertentu dan relatif dapat
digunakan untuk mengukur prestasi kerja atau kinerja organisasi. Kinerja auditor
merupakan tindakan atau pelaksanaan tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan
oleh auditor dalam kurun waktu tertentu.
Pengertian kinerja auditor menurut Mulyadi dan Kanaka (1998:116)
adalah auditor yang melaksanakan penugasan pemeriksaan (examination) secara
obyektif atas laporan keuangan suatu perusahaan atau organisasi lain dengan
tujuan untuk menentukan apakah laporan keuangan tersebut menyajikan secara
wajar sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum, dalam semua hal yang
material, posisi keuangan dan hasil usaha perusahaan. Kalbers dan Forgarty
(1995) mengemukakan bahwa kinerja auditor sebagai evaluasi terhadap pekerjaan
yang dilakukan oleh atasan, rekan kerja, diri sendiri, dan bawahan langsung.
Berdasarkan beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja
(prestasi kerja) adalah suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang dalam
melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas
kecakapan,

pengalaman

dan

kesungguhan

waktu

yang

diukur

dengan

mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Kinerja (prestasi


kerja) dapat diukur melalui pengukuran tertentu (standar) dimana kualitas adalah
berkaitan dengan mutu kerja yang dihasilkan, sedangkan kuantitas adalah jumlah
hasil kerja yang dihasilkan dalam kurun waktu tertentu, dan ketepatan waktu
adalah

kesesuaian

waktu

yang

telah

direncanakan.

Karakteristik

yang

membedakan kinerja auditor dengan kinerja manajer adalah pada output yang
dihasilkan.

2.2

Pembahasan Hasil Penelitian Sebelumnya


Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Wibowo (2009) yang

merupakan pengembangan dari penelitian Trisnaningsih (2007) dengan judul


Pengaruh Independensi Auditor, Komitmen Organisasi, Gaya Kepemimpinan dan
Pemahaman Good Governance terhadap Kinerja Auditor. Di mana penelitian
tersebut menggunakan data primer berupa kuesioner. Pengujian variabel bebas
terhadap variabel terikat dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis regresi
linier berganda dengan hasil yang diperoleh bahwa independensi auditor,
komitmen organisasi, gaya kepemimpinan dan pemahaman good governance
berpengaruh positif terhadap kinerja auditor.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Wibowo adalah
terletak pada objek penelitian. Di mana objek penelitian di atas yaitu pengaruh
independensi auditor, komitmen organisasi, gaya kepemimpinan dan pemahaman
good governance terhadap kinerja auditor, sedangkan objek penelitian yang
dilakukan peneliti adalah pengaruh profesionalisme auditor, independensi auditor,

etika profesi, budaya organisasi, dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja auditor.
Perbedaan kedua yaitu

pada lokasi penelitian, dimana Wibowo melakukan

penelitian di Kantor Akuntan Publik yang terdapat di Daerah Istimewa


Yogyakarta, sedangkan pada penelitian ini dilakukan pada Kantor Akuntan Publik
di wilayah Pekanbaru.
Selanjutnya dalam penelitian yang dilakukan oleh Gunawan Cahyasumirat
(2006) dengan judul Pengaruh Profesionalisme dan Komitmen Organisasi
terhadap Kinerja Auditor, dengan Kepuasan Kerja sebagai variabel intervening
menunjukkan hasil bahwa variabel profesionalisme dan komitmen organisasi
tidak mempengaruhi kinerja internal auditor. Persamaan

penelitian ini dengan

penelitian Cahyasumirat adalah sama-sama meneliti kinerja auditor. Tetapi


perbedaannya terlihat jelas pada beberapa objek penelitiannya, dimana
Cahyasumirat

menggunakan

objek

pengaruh

profesionalisme,

komitmen

organisasi dengan kepuasan kerja sebagai variabel intervening terhadap kinerja


auditor sedangkan objek penelitian ini adalah pengaruh profesionalisme auditor,
independensi auditor, etika profesi, dan budaya organisasi, dan gaya
kepemimpinan terhadap kinerja auditor.
Hasil penelitian merupakan kajian empiris penelitian. Penelitian ini
mencoba mengembangkan penelitian penelitian sebelumnya dengan cara
melakukan perluasan pengamatan dan pengembangan proksi. Ringkasan beberapa
penelitian sebelumnya dapat dilihat pada Tabel 2.1 sebagai berikut

Tabel 2.1 Penelitian Sebelumnya


Peneliti
(Tahun)
Syafina
Khariah
(2009)

Variabel
Dependen
Independen
Kinerja dan Komponen
Tingkat
profesionalis
Materialita me auditor,
Pengalaman
s
Auditor

Teknik
Analisis
Regresi
Linear
Berganda

2.

Sutrisno
(2006)

Motivasi
Kerja,
Komitmen
dan Kinerja

Budaya
Organisasi

Regresi
Linear
Berganda

3.

Gani
(2006)

Kinerja
Organisasi

Gaya
Kepemimpina
n, Budaya
Organisasi,
dan Motivasi
Kerja

Structural
Equation
Modelling
(SEM)

4.

Rahmawa
ti (1997)

Kinerja
Auditor,
Kepuasan
Kerja,komi
tmen dan
keinginan
untuk
berpindah.

Profesionalis
me Internal
Auditor

Analisis
Structural
Equation
Modelling
(SEM)

5.

Yanthi
(2011)

Kinerja
Auditor

Independensi
Auditor,
Etika Profesi,
dan Gaya
Kepemimpina
n

Analisis
Regresi
berganda

No
1.

Hasil Penelitian
Secara
simultan,
variabel
pengabdian
pada
profesi,
kewajiban sosial, kemandirian,
keyakinan pada profesi, dan
hubungan dengan sesama profesi
berpengaruh
terhadap
kinerja
internal auditor. Sedangkan secara
parsial, hanya variabel pengabdian
pada
profesi,
kemandirian,
keyakinan pada profesi, dan
hubungan dengan sesama profesi
berpengaruh
terhadap
kinerja
auditor dan tingkat materialitas.
Budaya organisasi yang dianut
oleh
anggota
organisasi
mempunyai nilai-nilai dan tujuan
bersama terhadap peningkatan
kinerja organisasi.
Gaya
kepemimpinan
dapat
mempengaruhi budaya organisasi,
gaya kepemimpinan tidak dapat
mempengaruhi kinerja organisasi,
budaya organisasi mempunyai
pengaruh
terhadap
kinerja
organisasi.
Semua
dimensi
profesionalisme berhubungan
positif
dengan
kinerja,
kepuasan kerja dan komitmen
efektif.
Komitmen continuance hanya
dipengaruhi oleh dimensi
keyakinan terhadap peraturan
profesi
Keinginan untuk pindah dari
bagian internal auditing hanya
dipengaruhi oleh dimensi
profesionalisme
autonomy
demand, sedangkan keinginan
untuk pindah untuk keluar dari
perusahaan oleh dimensi self
regulation dedication.
Bahwa independensi auditor, Etika
Profesi, dan gaya kepemimpinan
berpengaruh
positif
terhadap
kinerja auditor.

BAB III
KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS PENELITIAN

3.1

Kerangka Berpikir
Kerangka berpikir adalah hasil dan sintesis teori serta kajian pustaka yang

dikaitkan dengan masalah yang dihadapi dalam perumusan masalah penelitian ini.
Kerangka berpikir dalam penelitian ini didasarkan pada pemikiran bahwa segala
sesuatu yang dilakukan oleh manusia selalu berdasarkan suatu motivasi dan minat
tertentu, yang nantinya akan mempengaruhi kinerja individu tersebut.
Penelitian ini menggunakan teori sikap dan perilaku sebagai dasar
pemikiran. Teori sikap memberikan pemahaman tentang tendensi atau
kecenderungan untuk bereaksi. Sikap bukan perilaku tetapi lebih pada kesiapan
untuk menampilkan suatu perilaku, sehingga berfungsi mengarahkan dan
memberikan pedoman bagi perilaku yang nantinya akan terlihat dalam kinerja
(prestasi kerja) yang merupakan suatu hasil karya yang dicapai oleh seseorang
dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan
atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan waktu yang diukur dengan
mempertimbangkan kuantitas, kualitas dan ketepatan waktu. Penelitian ini
mengkaji tentang aspek perilaku manusia seperti profesionalisme, independensi,
etika profesi, budaya organisasi, gaya kepemimpinan dan kinerja auditor.
Menurut Wibowo (2009) bahwa independensi auditor dan gaya
kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja auditor sejalan dengan penelitian
Yanthi (2011) yang menyatakan bahwa independensi auditor, etika profesi dan

27

gaya kepemimpinan berpengaruh terhadap kinerja auditor, namun penelitian Gani


(2006) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan tidak berpengaruh terhadap
kinerja auditor. Penelitian Suarniti (2010) menyatakan profesionalisme dan etika
profesi secara parsial berpengaruh terhadap kinerja auditor, namun penelitian
Cahyasumirat (2006) menyatakan bahwa tidak semua komponen profesionalisme
berpengaruh terhadap kinerja auditor. Inkonsistensi hasil penelitian-penelitian
tersebut dapat disebabkan oleh adanya variabel lain yang mempengaruhi
hubungan variabel dependen dan independen.
Berdasarkan

uraian

di

atas,

maka

peneliti

dapat

merumuskan

permasalahan yang akan diteliti, kemudian membangun hipotesis. Menurut


Sugiyono (2008:134) dalam membentuk kelompok teori yang perlu dikemukakan
dalam penyusunan kerangka berfikir dalam membuat suatu hipotesis harus
ditetapkan terlebih dahulu variabel penelitiannya. Dalam penelitian ini, terdapat 5
variabel terdiri dari profesionalisme auditor, independensi auditor, etika profesi,
budaya organisasi, gaya kepemimpinan sebagai variabel bebas, dan kinerja
auditor sebagai variabel terikat yang dibentuk melalui hasil empiris penelitian
penelitian sebelumnya. Untuk mengetahui apakah hipotesis diterima atau ditolak,
peneliti melakukan analisis regresi berganda terhadap data-data yang telah
dikumpulkan. Kerangka berfikir pada penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.1

Gambar 3.1 Kerangka Berfikir

3.2

Konsep Penelitian
Berdasarkan

kerangka

berfikir,

kemudian

disusun

konsep

yang

menjelaskan hubungan antar variable dalam penelitian ini. Konsep penelitian ini
merupakan hubungan logis dari landasan teori dan kajian empiris yang telah
dijelaskan pada kajian pustaka. Konsep dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Gambar 3.2 Konsep Penelitian

H1
H2
H3
H4

H5

3.3

Hipotesis Penelitian
Hipotesis merupakan jawaban sementara dari pokok permasalahan

penelitian yang diuji kebenarannya (Sugiyono, 2007:93). Berdasarkan pada


rumusan masalah, tujuan penelitian, dan kajian teori yang relevan ataupun hasil
penelitian sebelumnya, maka dapat ditarik hipotesis sebagai berikut.

3.3.1

Pengaruh Profesionalisme pada Kinerja Auditor


Vroom (1964) mengemukakan bahwa kinerja karyawan dipengaruhi oleh

profesionalisme

dan

motivasi

kerja

merupakan

kemauan

individu

untuk

menggunakan usaha yang tinggi dalam upaya mencapai tujuan-tujuan perusahaan dan
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Apabila tuntutan kerja yang dibebankan pada
individu tidak sesuai dengan kemampuannya (ability) maka kinerja yang diharapkan
akan sulit tercapai.

Penelitian sebelumnya oleh Mock dan Samet (1982), Schroder (1986),


Corcello (1992), Sutton (1993), serta Sutton dan Lampe (1991) dalam Astriyani
(2007) telah menguji profesionalisme auditor mengenai kualitas audit yang ada.
Pengabdian pada profesi dicerminkan dari dedikasi profesionalisme dengan
menggunakan pengetahuan dan kecakapan yang dimiliki. Pekerjaan didefinisikan
sebagai tujuan, bukan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan (Hall dalam
Astriyani, 2007). Totalitas ini sudah menjadi komitmen pribadi, sehingga
kompensasi utama yang di harapkan dari pekerjaan adalah kepuasan rohani, baru
kemudian materi.
Cahyasumirat (2006) menyatakan bahwa pengabdian pada profesi dan
kewajiban sosial mempunyai hubungan yang positif terhadap kinerja auditor.
Kewajiban sosial adalah suatu pandangan tentang pentingnya peranan profesi
serta manfaat yang diperoleh baik masyarakat maupun profesional karena adanya
pekerjaan tersebut (Hall, 1998 dalam Astriyani, 2007). Kesadaran auditor demi
kelanjutan profesi dan jasa yang diberikan, akuntansi profesional memikul
tanggungjawab pada klien, masyarakat, kolega dan pada dirinya sendiri akan
menumbuhkan sikap moral untuk melakukan pekerjaan sebaik mungkin.
Rahmawati (1997) menyatakan bahwa kewajiban sosial berpengaruh signifikan
terhadap kinerja auditor.
Kurniawan (2009) menyatakan kemandirian sebagai suatu pandangan
seseorang yang profesional harus mampu membuat keputusan sendiri tanpa
tekanan dari pihak lain (pemerintah, klien, mereka yang bukan anggota profesi).
Adanya intervensi yang datang dari luar dianggap sebagai hambatan yang dapat

mengganggu otonomi profesional. Rasa kemandirian akan timbul melalui


kebebasan yang diperoleh.

Pekerjaan yang terstruktur dan dikendalikan oleh

manajemen secara ketat, akan sulit menciptakan tugas yang menimbulkan rasa
kemandirian dalam tugas. Kemandirian yang sudah terwujud dalam diri auditor
akan terwujud pula dalam penentuan tingkat materialitas, sehingga benar-benar
mencerminkan keadaan yang sesungguhnya.
Keyakinan pada profesi adalah suatu keyakinan bahwa yang paling
berwenang menilai pekerjaan profesional adalah rekan sesama profesi, bukan
orang luar yang tidak mempunyai kompetensi dalam bidang ilmu dan pekerjaan
auditor (Hall dalam Astriyani, 2007). Bila yang menilai pekerjaan mempunyai
pengetahuan yang sama, maka kesalahan akan dapat diketahui. Adanya keyakinan
pada profesi tersebut memberikan motivasi bagi auditor untuk memberikan hasil
pekerjaan serta pertimbangan yang dapat dipertanggungjawabkan. Penelitian
lainnya yang dilakukan oleh Rahmawati (1997) dan Cahyasumirat (2006) juga
menyatakan bahwa keyakinan pada profesi berpengaruh terhadap kinerja auditor.
Hubungan dengan sesama profesi adalah menggunakan ikatan profesi
sebagai acuan, termasuk didalamnya organisasi formal dan kelompok kolega
informal sebagai ide utama dalam pekerjaan (Hall dalam Astriyani, 2007).
Melalui ikatan profesi ini para profesional membangun kesadaran profesional.
Dengan banyaknya tambahan masukan akan menambah akumulasi pengetahuan
auditor sehingga dapat lebih bijaksana dalam membuat perencanaan dan
pertimbangan dalam proses pengauditan. Penelitian yang dilakukan sebelumnya
oleh Cahyasumirat (2006) dan Rahmawati (1997) juga menyatakan bahwa

hubungan dengan sesama profesi berpengaruh terhadap kinerja auditor.


Berdasarkan pemikiran diatas, maka hipotesis alternatif sebagai berikut:
H1

3.3.2

: Profesionalisme Auditor berpengaruh positif pada kinerja auditor

Pengaruh Independensi Auditor pada Kinerja Auditor


Independensi akuntan publik merupakan salah satu karakter sangat penting

untuk profesi akuntan publik di dalam melaksanakan pemeriksaan akuntansi


(auditing) terhadap kliennnya. Akuntan publik dalam melaksanakan pemeriksaan,
memperoleh kepercayaan dari klien dan para pemakai laporan keuangan untuk
membuktikan kewajaran laporan keuangan yang disusun dan disajikan oleh klien.
Klien dapat mempunyai kepentingan yang berbeda, bahkan mungkin bertentangan
dengan kepentingan para pemakai laporan keuangan. Kepentingan pemakai
laporan keuangan yang satu mungkin berbeda dengan pemakai lainnya. Oleh
karena itu dalam memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan
yang diperiksa, akuntan publik harus bersikap independen terhadap kepentingan
klien, para pemakai laporan keuangan, maupun terhadap kepentingan akuntan
publik itu sendiri.
Kode Etik Akuntan Indonesia pasal 1 ayat dua menyatakan bahwa setiap
anggota harus mempertahankan integritas, obyektivitas dan independensi dalam
melaksanakan tugasnya. Seorang auditor yang mempertahankan integritas, akan
bertindak jujur dan tegas dalam memertimbangkan fakta, terlepas dari
kepentingan pribadi. Auditor yang mempertahankan objektivitas, akan bertindak
adil tanpa dipengaruhi tekanan dan permintaan pihak tertentu atau kepentingan

pribadinya. Auditor yang menegakkan independensinya, tidak akan terpengaruh


dan tidak dipengaruhi oleh berbagai kekuatan yang berasal dari luar diri auditor
dalam mempertimbangkan fakta yang dijumpainya dalam pemeriksaan. Di
samping itu dengan adanya kode etik, masyarakat akan dapat menilai sejauh mana
auditor telah bekerja sesuai dengan standar-standar etika yang telah ditetapkan
oleh profesinya.
Bhagat dan Black (2001) menyatakan bahwa suatu perusahaan dengan
pimpinan yang independen tidak selalu berarti kinerja perusahaan menjadi lebih
baik daripada perusahaan yang lain. Independensi merupakan aspek penting bagi
profesionalisme akuntan khususnya dalam membentuk integritas pribadi yang
tinggi. Hal ini disebabkan karena pelayanan jasa akuntan sangat dipengaruhi oleh
kepercayaan klien maupun publik secara luas dengan berbagai macam
kepentingan yang berbeda. Seorang auditor yang memiliki independensi tinggi
maka kinerjanya akan menjadi lebih baik. Berdasarkan pemikiran diatas, maka
hipotesis alternatif sebagai berikut:
H2

3.3.3

: Independensi auditor berpengaruh positif pada kinerja auditor

Pengaruh Etika Bisnis pada Kinerja Auditor


Etika profesi merupakan landasan etika yang harus dipahami dan

dilaksanakan oleh setiap auditor (Arens, 2003). Agoes (2004) menunjukkan kode
etik IAPI dan aturan etika Kompartemen Akuntan Publik, Standar Profesi
Akuntan Publik (SPAP) dan standar pengendalian mutu auditing merupakan
acuan yang baik untuk mutu auditing. Etika profesi merupakan karakteristik suatu

profesi yang membedakan suatu profesi dengan profesi lain, yang berfungsi untuk
mengatur tingkah laku para anggotanya (Herawaty dan Susanto, 2009). Kode etik
harus dipenuhi dan ditaati oleh setiap profesi yang memberikan jasa pelayanan
kepada masyarakat dan merupakan alat kepercayaan bagi masyarakat luas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa setiap profesional wajib menaati etika
profesinya terkait dengan pelayanan yang diberikan apabila menyangkut
kepentingan masyarakat luas. Pemahaman akan etika profesi tentunya akan
mengarahkan sikap dan perilaku auditor dalam melaksanakan tugas guna
mencapai hasil yang lebih baik. Dalam melaksanakan pemeriksaan, seorang
auditor harus menjunjung tinggi etika profesinya sebagai auditor agar tercipta
transparasi dalam pengelolaan keuangan Negara. Pemahaman etika ini akan
mengarahkan sikap, tingkah laku dan perbuatan auditor dalam mencapai hasil
yang lebih baik. Yanhari (2007) juga menemukan bahwa etika profesi
berpengaruh terhadap kode etik atau etika auditor akan mengarahkan pada sikap,
tingkah laku, dan perbuatan auditor dalam menjalankan tugas dan kewajibannya
kaitannya untuk menjaga mutu auditor yang tinggi. Berdasarkan pemikiran diatas,
maka hipotesis alternatif sebagai berikut:
H3

3.3.4

: Etika profesi berpengaruh positif pada kinerja auditor

Pengaruh Budaya Organisasi pada Kinerja Auditor


Setiap perusahaan pasti memiliki makna sendiri terhadap kata budaya itu

sendiri, yang meliputi : identitas, ideologi, etos, budaya, pola perilaku, eksistensi,
aturan, filosofi, tujuan spirit, sumber informasi, gaya dan visi perusahaan. Jadi

dapat disimpulkan bahwa budaya organisasi (corporate culture) adalah sebagai


aturan main yang ada dalam perusahaan yang menjadi pegangan bagi sumberdaya
manusia perusahaan dalam menjalankan kewajiban dan nilai-nilai untuk
berperilaku dalam perusahaan.
Flamholtz dan Narasimhan (2005) meneliti tentang pengaruh perbedaan
elemen-elemen budaya terhadap kinerja keuangan, dengan menggunakan 702
responden pada perusahaan industri di US. Hasil penelitiannya menyatakan bahwa
beberapa elemen budaya organisasi mempunyai pengaruh yang berbeda pada
kinerja keuangan perusahaan. Budaya mempengaruhi banyak aspek kehidupan
baik organisasi maupun individu, Sherriton and Stren (1997: 212).
Peran budaya organisasi adalah sebagai sarana untuk menentukan arah
organisasi, mengarahkan apa yang patut dan tidak patut dikerjakan, bagaimana
mengalokasikan sumber daya organisasi (Pramastuti, 2006). Budaya organsasi
diprediksi menjadi faktor yang sangat penting dalam menentukan keberhasilan
atau kegagalan organisasi di masa mendatang. Budaya yang merosot akan
berdampak negatif terhadap kinerja organisasi. Budaya organisasi yang
menghambat kinerja terdapat pada banyak organisasi, bahkan diberbagai
organisasi yang penuh dengan orang pandai sekalipun. Walaupun budaya relatif
sulit berubah, tetapi budaya organisasi dapat dibuat agar lebih meningkatkan
kinerja.
Budaya organisasi adalah komponen yang sangat penting dalam
meningkatkan kinerja karyawan, namun demikian agar kinerja karyawan
meningkat maka harus ditingkatkan pula motivasi kerjanya. Budaya organisasi

pada sisi internal karyawan akan memberikan sugesti kepada semua perilaku yang
diusulkan oleh organisasi agar dapat dikerjakan, penyelesaian yang sukses, dan
akibatnya akan memberikan keuntungan pada karyawan itu sendiri (Hofstede,
1990). Akibatnya karyawan akan memiliki kepercayaan pada diri sendiri,
kemandirian dan smengagumi dirinya sendiri. Sifat-sifat ini akan dapat
meningkatkan

harapan

karyawan

agar

kinerjanya

semakin

meningkat.

Berdasarkan pemikiran diatas, maka hipotesis alternatif sebagai berikut:


H4

3.3.5

Budaya organisasi berpengaruh positif pada kinerja auditor

Pengaruh Gaya Kepemimpinan pada Kinerja Auditor


Gaya kepemimpinan berkenaan dengan cara-cara yang digunakan oleh

manajer untuk mempengaruhi bawahannya. Gaya kepemimpinan merupakan


norma perilaku yang digunakan seorang manajer pada saat ia mempengaruhi
perilaku bawahannya. Jika kepemimpinan tersebut terjadi pada suatu organisasi
formal tertentu, di mana para manajer perlu mengembangkan karyawan,
membangun iklim motivasi, menjalankan fungsi-fungsi manejerial dalam rangka
menghasilkan kinerja yang tinggi dan meningkatkan kinerja perusahaan, maka
manajer perlu menyesuaikan gaya kepemimpinannya (Trisnaningsih, 2007).
Wibowo (2009) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan berpengaruh
positif terhadap kinerja.

Kinerja auditor merupakan tindakan atau pelaksanaan

tugas pemeriksaan yang telah diselesaikan oleh auditor dalam kurun waktu
tertentu. Kriteria penilaian kinerja auditor dalam penelitian ini diukur dengan
menggunakan: (a) Kemampuan, yaitu kecakapan seseorang dalam menyelesaikan

pekerjaan. Hal ini dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pengalaman kerja, bidang
pekerjaan, dan faktor usia. (b) Komitmen profesional, yaitu tingkat loyalitas
individu pada profesinya. (c) Motivasi, yaitu keadaan dalam pribadi seseorang
yang mendorong keinginan individu untuk melakukan kegiatan-kegiatan tertentu
untuk mencapai suatu tujuan. (d) Kepuasan kerja, yaitu tingkat kepuasan individu
dengan posisinya dalam organisasi.

Pemimpin adalah pemain utama yang

menentukan berhasil atau tidaknya suatu organisasi. Pemimpin dapat memberikan


pengaruh dalam menanamkan disiplin bekerja para anggota organisasi untuk
meningkatkan kinerjanya.
Gaya kepemimpinan dapat mempengaruhi kreatifitas kinerja auditor dalam
melaksanakan tugasnya sebagai anggota organisasi. Berdasarkan pemikiran
diatas, maka hipotesis alternatif sebagai berikut:
H5

: Gaya kepemimpinan berpengaruh positif pada kinerja auditor.

DAFTAR PUSTAKA

Acito, Andrew A., Burks, Jeffrey J., and Johnson, W. Bruce. 2008.
Materiality Decisions and the Correction of Accounting Errors. www.ssrn.com
(diakses tanggal 13 Agustus 2013)
Agustia, Dian. 2006. Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap
Variabel Variabel Individual Work Outcomes. Majalah Ekonomi, tahun XVI
No. 1 April 2006
Arens dan Loebbecke. 2003. Auditing pendekatan Terpadu. Edisi
Indonesia. Jakarta: Salemba Empat.
Armawan, Made Yudi. 2010. Pengaruh Profesionalisme, Etika Profesi,
Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Kerja pada Kinerja Pengawas Koperasi Sebagai
Internal Auditor (Studi Survei pada Koperasi Simpan Pinjam di Kecamatan Denpasar
Selatan). Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Astriyani, Ni Wayan. 2007. Pengaruh Profesionalisme Auditor terhadap
Tingkat Materialitas dalam Pemeriksaan Laporan Keuangan pada Kantor Akuntan
Publik di Bali. Skripsi. Fakultas Ekonomi Universitas Udayana.
Badera, I Dewa Nyoman dan Surya Antari, Ida Ayu. 2007. Pengaruh Fee
Audit, Ukuran Kantor Akuntan Publik dan Lamanya Penugasan Audit terhadap
Independensi Penampilan Auditor. AUDI. Vol 2 No. 1 Januari 2007
Bhagat, S. Dan Black, B. 2001. The Non-Correlation Between Board
Independence and Long Term Firm Performance. Journal of Corporation Law. (27) :
174-231.
Cahyasumirat, Gunawan. 2006. Pengaruh Profesionalisme dan Komitmen
Organisasi Terhadap Kinerja Internal Auditor, Dengan Kepuasan Kerja Sebagai
Variabel Intervening. Tesis. Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro
Carrey, P dan Mautz, R,K. 1961. The Philosophy of Auditing. American
Accounting Association, Minneapolis.
Christiawan, Yulius Jogi dan Beta Benaja. 1999. Audit Bisnis. Jurnal
Akuntansi & Keuangan, 1(2): h:103-116.

Anda mungkin juga menyukai