Anda di halaman 1dari 25

PNEUMONIA

Oleh :
Amelia Intan Saputri, S.Ked

NIM: 120610025
Preseptor :

dr. Fachrurrazi, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM


CUT MEUTIA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2016

PNEUMONIA
Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Departemen Ilmu Anestesi Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh RSUCM

Oleh :
Amelia Intan Saputri, S.Ked

NIM: 120610025
Preseptor :

dr. Fachrurrazi, Sp.An

DEPARTEMEN ILMU ANESTESI RUMAH SAKIT UMUM


CUT MEUTIA FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
MALIKUSSALEH
ACEH UTARA
2016

DAFTAR ISI

Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................... i
BAB 1

PENDAHULUAN ............................................................................ 1

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA .................................................................. 2


2.1 Definisi ..................................................................................... 2
2.2 Epidemiologi ............................................................................ 3
2.3 Faktor Resiko ........................................................................... 4
2.4 Etiologi ..................................................................................... 5
2.5 Patofisiologi ............................................................................. 7
2.6 Manifestasi Klinis .................................................................... 8
2.7 Diagnosis .................................................................................. 9
2.8 Tatalaksana ............................................................................... 14
2.9 Pencegahan............................................................................... 19
2.10 Komplikasi ............................................................................... 19
2.11 Prognosis ................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA

BAB 1
PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang
Infeksi saluran napas bawah merupakan masalah utama dalam bidang

kesehatan, baik di negara yang berkembang maupun di negara maju. Laporan


WHO 1999 menyebutkan bahwa penyebab kematian tertinggi akibat penyakit
infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas akut termasuk pneumonia dan
influenza. Di Indonesia, influenza dan pneumonia merupakan penyebab kematian
nomor enam1.
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun
2013 sebesar 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan
10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Period prevalensi
pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita dengan pneumonia yang
berobat hanya 1,6 per mil. Insiden tertinggi pneumonia balita terdapat pada
kelompok umur 12-23 bulan (21,7%)2. Melihat prevalensi pneumonia yang cukup
tinggi, maka diperlukan penanganan secara tepat dan cepat. Oleh karena itu
diperlukan pengetahuan yang lebih banyak mengenai pneumonia.

!1

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
Pneumonia adalah peradangan pada parenkim paru, sebelah distal dari

bronkiolus terminalis (bronkiolus respirtorius dan alveoli) disertai konsolidasi


jaringan paru. Pneumonia termasuk dalam infeksi saluran pernapasan bagian
bawah3.
Pneumonia lobaris adalah pneumonia yang terlokalisasi pada satu lobus
paru atau lebih dimana lobus paru yang terkena mengalami konsolidasi.
Pneumonia atipikal adalah pneumonia dengan pola yang tidak termasuk dalam
pneumonia lobaris. Bronkopneumonia adalah peradangan pada bronkiolus disertai
peningkatan produksi eksudat mukopurulen yang menyebabkan obstruksi dari
saluran napas kecil dan menyebabkan konsolidasi pada lobulus yang berdekatan.
Interstisial pneumonitis adalah peradangan pada interstitsum, yang terdiri dari
dinding alveoli, kantung dan saluran alveolar, dan bronkiolus. Interstisial
pneumonitis biasanya disebabkan oleh infeksi virus akut, tetapi dapat menjadi
proses yang kronis3.

!2

2.2

Epidemiologi
Menurut Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 prevalensi pneumonia tahun

2013 sebesar 4,5 persen. Lima provinsi yang mempunyai insiden dan prevalensi
pneumonia tertinggi untuk semua umur adalah Nusa Tenggara Timur (4,6% dan
10,3%), Papua (2,6% dan 8,2%), Sulawesi Tengah (2,3% dan 5,7%), Sulawesi
Barat (3,1% dan 6,1%), dan Sulawesi Selatan (2,4% dan 4,8%). Period prevalensi
pneumonia balita di Indonesia adalah 18,5 per mil. Balita dengan pneumonia yang
berobat hanya 1,6 per mil. Lima provinsi yang mempunyai insiden pneumonia
balita tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (38,5%), Aceh (35,6%), Bangka
Belitung (34,8%), Sulawesi Barat (34,8%), dan Kalimantan Tengah (32,7%).
Insidens tertinggi pneumonia balita terdapat pada kelompok umur 12-23 bulan
(21,7%)2.

!3

2.3

Faktor Resiko
Faktor resiko pneumonia pada anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini4.

Tabel. 1 Faktor Resiko Pneumonia


Pranatal

Perinatal

Gizi ibu saat hamil

BBLR

Malnutrisi

Polusi udara didalam

yang buruk

Asfiksia

Ibu perokok

P e n g g u n a a n

Ibu alkoholik

Infeksi pada ibu

ventilator

Postnatal

maupun diluar rumah

Tidak mendapatkan
ASI dini

Tidak mendapatkan
ASI ekslusif

Tidak mendapatkan
imunisasi

Sanitasi dan hygiene


lingkungan yang
buruk

Jumlah penduduk
yang padat

Menderita penyakit
lainnya

Defisiensi vitamin A

!4

2.4

Etiologi
Di negara maju, pneumonia pada anak terutama disebabkan oleh infeksi

virus, disamping bakteri, atau campuran bakteri dan virus. Di negara berkembang,
pneumonia lebih sering disebabkan oleh bakteri. Tabel etiologi pneumonia pada
anak sesuai dengan kelompok usia dapat dilihat pada tabel dibawah ini5.
Tabel 2. Etiologi Pneumonia pada Anak
Usia

Etiologi yang sering

Etiologi yang jarang

Lahir (0 hari)

Bakteri

Bakteri

sampai 20 hari

E. colli

Bakteri anaerob

Streptoccus group B

Streptoccous group D

Listeria monocytogenes

Haemophilllus influenzae
Streptococcus
pneumoniae
Ureaplasma urealyticum
Virus
Virus sitomegalo
Virus Herpes simpleks

3 minggu sampai Bakteri

Bakteri

3 bulan

Chlamydia trachomatis

Bordetella pertusis

Streptococcus pneumoniae

Haemophilus influenzae
tipe B

Virus

Moraxella catharalis

Virus Adeno

Staphylococcus aureus

Virus Influenza

Ureaplasma urealyticum

Virus Parainfluenza 1,2,3

Virus

Respiratory Syncytial Virus Virus sitomegalo

!5

4 bulan sampai 5 Bakteri

Bakteri

tahun

Haemophillus influenzae

Chlamydia pneumoniae

tipe B
Mycoplasma pneumoniae

Moraxella catharalis

Streptococcus pneumoniae

Neisseria meningitidis

Virus

Staphylococcus aureus

Virus Adeno

Virus

Virus Influenza

Virus Varisela-Zoster

Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial virus
5 tahun sampai

Bakteri

Bakteri

remaja

Chlamydia pneumoniae

Haemophillus influenzae

Mycoplasma pneumoniae

Legionella sp

Streptococcus pneumoniae

Staphylococcus aureus
Virus
Virus Adeno
Virus Epstein-Barr
Virus Influenza
Virus Parainfluenza
Virus Rino
Respiratory Syncytial
Virus
Virus Varisela-Zoster

!6

2.5

Patofisiologi
Umumnya mikroorganisme terhisap ke paru bagian perifer melalui saluran

napas. Selanjutnya akan terjadi respon berupa empat tahap dari penumonia yaitu6:
1. Kongesti (4-12 jam), ditandai dengan adanya eksudat serosa yang masuk ke
dalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.
2. Hepatisasi merah (48 jam berikutnya), ditandai dengan tampakan paru yang
merah dan bergranula karena sel darah merah, fibrin, PMN, cairan edema,
dan mikroorganisme mengisi alveoli.
3. Hepatisasi kelabu (3-8 hari), yaitu ditandai dengan paru yang tampak kelabu
karena deposisi fibrin semakin bertambah, terdapat leukosit PMN di alveoli
dan terjadi proses fagositosis yang cepat.
4. Resolusi (7-11 hari), ditandai dengan eksudat yang mengalami lisis, jumlah
makrofag meningkat di alveoli, sel akan mengalami degenerasi, fibrin
menipis, mikroorganisme penyebab dan debris menghilang.
Pemberian antibiotik sedini mungkin dapat memotong perjalanan penyakit,
sehingga stadium khas yang telah diuraikan tadi tidak terjadi lagi. Beberapa
bakteri tertentu sering menimbulkan gambaran patologis tertentu bila
dibandingkan dengan bakteri lain. Infeksi Streptococcus pneumoniae biasanya
bermanifestasi sebagai bercak-bercak konsolidasi merata diseluruh lapangan paru
(bronkopneumonia), dan pada anak yang lebih besar atau remaja dapat berupa
konsolidasi pada satu lobus (pneumonia lobaris). Pneumotokel atau abses kecil
sering disebabkan oleh Staphylococcus aureus pada neonatus atau bayi kecil,

!7

karena Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai toksin dan enzim seperti


hemolisin, lekosidin, stafilokinase, dan koagulase. Toksin dan enzim ini
menyebabkan nekrosis, perdarahan, dan kavitasi. Koagulase berinteraksi dengan
faktor plasma dan menghasilkan bahan aktif yang mengkonversi fibrinogen
menjadi fibrin, sehingga terjadi eksudat fibrinopurulen. Terdapat korelasi antara
produksi koagulase dan virulensi bakteri. Staphylococcus yang tidak
menghasilkan koagulase jarang menimbulkan penyakit yang serius. Penumotokel
dapat menetap selama berbulan-bulan, tetapi biasanya tidak memerlukan terapi
lebih lanjut5.

2.6

Manifestasi Klinis
Beberapa faktor yang mempengaruhi gambaran klinis pneumonia pada anak

adalah imaturitas anatomik dan imunologik, mikroorganisme penyebab yang luas,


gejala klinis yang kadang-kadang tidak khas terutama pada bayi, terbatasnya
penggunaan prosedur diagnostik invasif, etiologi nonifeksi yang relatif lebih
sering, dan faktor patogenesis. Secara umum gambaran klinis pneumonia adalah
sebagai berikut5:
a.

Gejala infeksi umum: demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu
makan, keluhan gastrointestinal seperti mual, muntah, atau diare, kadangkadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner.

b.

Gejala gangguan respiratori, yaitu batuk, sesak napas, retraksi dinding dada,
takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merintih, dan sianosis.

!8

c.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda klinis seperti perkusi pekak,
suara napas melemah, dan ronki. Akan tetapi pada neonatus dan bayi kecil,
gejala biasanya lebih beragam dan tidak selalu jelas terlihat. Pada perkusi dan
auskultasi paru umumnya tidak ditemukan kelainan.

2.7

Diagnosis
Diagnosis etiologi berdasarkan pemeriksaan mikrobiologis dan serologis

merupakan dasar untuk terapi yang optimal. Akan tetapi, penemuan bakteri
penyebab tidak selalu mudah karena memerlukan pemeriksan laboratorium
penunjang yang memadai. Oleh karena itu, diagnosis pneumonia pada anak
umumnya didiagnosis berdasarkan gambaran klinis yang menunjukan keterlibatan
sistem respiratori, serta gambaran radiologis. Prediktor paling kuat adanya
pnumonia adalah demam, sianosis, lebih dari satu gejala respiratori berikut:
takipnea, batuk, sesak, napas cuping hidung, retraksi dinding dada, ronki, dan
suara napas yang melemah5.
1.

Pneumonia ringan
Disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja.

Napas dikatakan cepat jika7:


a. Pada anak berumur 2 bulan sampai 11 bulan: 50 kali/menit
b. Pada anak berumur 1 tahun sampai 5 tahun: 40 kali/menit

!9

2.

Pneumonia berat
Batuk atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini7:
a. Kepala terangguk-angguk
b. Pernapasan cuping hidung
c. Tarikan dinding dada bagian bawah
d. Foto dada menunjukan gambaran pneumonia
e. Napas cepat

Anak umur < 2 bulan: 60 kali/menit

Anak umur 2-11 bulan: 50 kali/menit

Anak umur 1-5 tahun: 40 kali/menit

Anak umur > 5 tahun: 30 kali/menit

f. Suara merintih (grunting) pada bayi


g. Pada auskultasi terdengar :

Crackles (ronki)

Suara pernapasan menurun

Suara pernapasan bronkial

h. Dalam keadaan sangat berat dapat dijumpai :

Tidak dapat menyusu atau makan dan minum, atau memuntahkan


semua makanan.

Kejang, letargis, dan tidak sadar.

Distres pernapasan berat.

!10

3. Pemeriksaan penunjang
a. Darah Perifer Lengkap
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma
umumnya leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat. Akan tetapi,
pada pneumonia bakteri didapatkan leukositosis yang berkisar antara
15.000-40.000/mm3 dengan predominan PMN. Leukopenia (<5.000/mm3)
menunjukan prognosis yang buruk. WBC dan jumlah granulosit lebih tinggi
pada pasien dengan infeksi bakteri dibandingkan pada mereka dengan infeksi
virus. Untuk leukosit dengan nilai cut-off

15,0 dan 20,0 x 103 memiliki

spesifisitas 86% dan 95% , untuk granulosit dengan cut-off 10,0 dan 15,0 x
103 memiliki spesifisitas 84 % dan 97%. Jumlah neutrofil mutlak (ANC) telah
diusulkan sebagai penanda untuk infeksi bakteri yang serius . ANC lebih dari
10.000/mm3 merupakan penanda infeksi bkteri dengan nilai sensitivitas (75%)
dan spesifisitas (75%). Pada infeksi Chlamydia pneumoniae kadang
ditemukan eosinofilia. Kadang-kadang terdapat anemia dengan laju endap
darah (LED) yang meningkat5,8.
b. C-Reactive Protein
C-reactive protein adalah suatu protein fase akut yang disintesis oleh
hepatosit sebagai respon infeksi atau inflamasi jaringan, produksi CRP secara
cepat distimulasi oleh sitokin, terutama interleukin (IL)-6, IL-1, dan tumor
nekrosis faktor (TNF). Secara klinis CRP digunakan untuk membedakan
antara faktor infeksi dan noninfeksi, infeksi virus dan bakteri.

!11

Kadar CRP lebih rendah pada infeksi virus dan bakteri superfisialis
daripada bakteri profunda. CRP kadang-kadang digunakan untuk evaluasi
respon terapi antibiotik5.
c. Uji Serologis
uji serologis untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada infeksi
bakteri tipik mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang rendah. Akan
teteapi, diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat dikonfirmasi dengan
peningkatan titer antibodi seperti titer antistreptolisin O, streptozim, atau
antiDnase B. Peningkatan titer dapat juga berarti adanya infeksi terdahulu.
Untuk konfirmasi diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen5.
Secara umum, uji serologis tidak terlalu bermanfaat untuk
mendiagnosis infeksi bakteri tipik. Akan tetapi, untuk deteksi bakteri atipik
seperti Mikoplasma dan Klamidia, serta beberapa virus seperti RSV,
Sitomegalo, Campak, Parainfluenza 1,2,3, Influenza A dan B, dan Adeno,
peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat mengkonfirmasi diagnosis5.
d. Pemeriksaan Mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis tidak rutin dilakukan kecuali untuk
pneumonia berat yang dirawat di rumah sakit. Untuk pemeriksaan
mikrobiologik, spesimen dapat berasal dari usap tenggorokan, sekret
nasofaring, bilasan bronkus, darah, pungsi pleura, atau aspirasi paru.
Diagnosis dikatakan defenitif bila ditemukan mikroorganisme penyebab pada
darah, cairan pleura, atau aspirasi paru5.

!12

e. Pemeriksaan Roentgen Toraks


Foto roentgen toraks pada pneumonia ringan tidak rutin dilakukan,
hanya direkomendasikan pada pneumonia berat yang dirawat. Kelainan pada
foto toraks tidak selalu berhubungan dengan gambaran klinis. Secara umum
gambaran pada foto toraks adalah sebagai berikut5:
1. Infiltrat interstisial, ditandai dengan peningkatan corakan bronkovaskular,
peribronchial cuffing, dan hiperaerasi
2. Infiltrat alveolar, merupakan konsolidasi paru dengan air bronchogram.
Konsolidasi dapat mengenai satu lobus disebut dengan pneumonia lobaris,
atau biasanya terlihat sebagai lesi tunggal yang biasanya cukup besar,
berbentuk sferis, berbatas tidak terlalu tegas, dan menyerupai lesi tumor
paru, dikenal sebagai round pneumonia.
3. Bronkopneumonia, ditandai dengan gambaran difus merata pada kedua
paru, berupa bercak-bercak infiltrat yang dapat meluas hingga daerah
perifer paru, disertai dengan peningkatan corakan peribronkial.

!13

2.8

Tatalaksana
Penetalaksanaan pneumonia menurut panduan WHO di bagi menjadi dua

yaitu tatalaksana pneumonia ringan dan pneumonia berat7:


a. Pneumonia ringan
1. Pasien dirawat jalan
2. Diberikan antibiotik: Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali
sehari selama 3 hari atau amoksisilin (25mg/kg BB/kali) 2 kali sehari
selama 3 hari. Untuk pasien pneumonia dengan HIV diberikan selama 5
hari.
3. Anjurkan ibu untuk memberi makan anak. Nasihati ibu untuk membawa
kembali anaknya setelah 2 hari, atau lebih cepat kalau keadaan anak
memburuk atau tidak bisa minum atau menyusu.
4. Ketika anak kembali jika pernapasannya membaik (melambat), demam
berkurang, nafsu makan membaik, lanjutkan pengobatan sampai
seluruhnya 3 hari.
b. Pneuomonia Berat
1. Anak dirawat di rumah sakit
2. Terapi antibiotik :
a. Beri ampisilin atau amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM
setiap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam
pertama. Bila anak memberi respon baik maka diberikan selama 5
hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan dirumah atau dirumah sakit

!14

dengan amoksisilin oral (15 mg/kgBB/kali tiga kali sehari) untuk 5


hari berikutnya.
b. Bila keadaan memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan
yang berat (tidak dapat menyusu atau minum/makan, atau
memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau tidak sadar,
sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan
kloramfenikol (25 mg/kg BB/kali IM atau IV setiap 8 jam).
c. Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan
oksigen dan pengobatan kombinasi ampisilin-kloramfenikol atau
ampisilin-gentamisin.
d. Sebagai alternatif diberikan, beri seftriakson (80-100 mg/kgBB IM
atau IV sekali sehari).
e. Bila anak tidak membaik dalam 48 jam, maka bila memungkinkan
buat foto dada.
f. Apabila diduga pneumonia stafilokokal, ganti antibiotik dengan
gentamisin (7,5 mg/kgBB IM sekali sehari) dan klosasilin (50 mg/
kgBB IM atau IV setiap 6 jam) atau klindamisin (15 mg/kgBB/
hari 3 kali pemberian). Bila keadaan anak membaik, lanjutkan
kloksasilin (atau diklosasilin) secara oral 4 kali sehari sampai
secara keseluruhan mencapai 3 minggu, lalu klindamisin oral
selama 2 minggu.

!15

3. Terapi oksigen
a. Beri oksigen pada semua anak dengan pneumonia berat.
b. Bila tersedia pulse oximetri, gunakan sebagai panduan untuk
terapi oksigen (berikan pada anak dengan saturasi oksigen <
90%). Lakukan periode tanpa oksigen setiap harinya pada anak
yang stabil, hentikan pemberian bila saturasi tetap >90%.
Pemberian oksigen setelah saat ini tidak berguna lagi.
c. Gunakan nasal prongs, kateter nasal, atau kateter nasofaringeal.
d. Pengggunaan nasal prongs adalah metode terbaik untuk
menghantarkan oksigen pada bayi muda. Masker wajah atau
masker kepala tidak direkomendasikan. Oksigen harus tersedia
secara terus-menerus setiap waktu.
e. Lanjutkan pemberian oksigen sampai tanda hipoksia (seperti
tarikan dinding dada bagian bawa ke dalam yang berat atau napas
>70/menit) tidak ditemukan lagi.
f. Sebaiknya memeriksa setiap 3 jam bahwa kateter atau prongs
tidak tersumbat oleh mukus dan berada ditempat yang benar serta
memastikan semua sambungan baik.

!16

4. Perawatan penunjang
a. Bila anak disertai demam ( 39 C) beri parasetamol.
b. Bila ditemukan adanya wheezing, beri bronkodilator kerja cepat
c. Bila terdapat sekret kental ditenggorokan yang tidak dapat
dikeluarkan oleh anak, hilangkan dengan alat penghisap secara
perlahan.
d. Pastikan anak mendapatkan kebutuhan cairan rumatan sesuai
umur anak, tetapi hati-hati terhadap kelebihan cairan.
e. Anjurkan pemberian ASI dan cairan oral.
f. Jika anak tidak bisa minum, pasang pipa nasogastrik dan berikan
cairan rumatan dalam jumlah sedikit tetapi sering, jika asupan
cairan oral mencukupi, jangan menggunakan pipa nasogastrik
untuk meningkatkan asupan, karena akan meningkatkan resiko
pneumonia aspirasi.
g. Bujuk anak untuk makan, segera setelah anak bisa menelan
makanan. Beri makanan sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan anak dalam menerimanya.

!17

5. Pemantauan
a. Anak diperiksa perawat paling sedikit setiap 4 jam dan oleh
dokter paling sedikit 1 kali sehari.
b. Jika tidak ada komplikasi maka dalam 2 hari akan tampak
perbaikan klinis (bernapas tidak cepat, tidak adanya tarikan
dinding dada, bebas demam, anak dapat makan dan minum)
6. Kriteria pulang menurut idai
a. Gejala dan tanda pneumonia menghilang
b. Asupan per oral adekuat
c. Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan dirumah (peroral)
d. Keluarga mengerti dan setuju untuk pemberian terapi dan rencana
kontrol
e. Kondisi rumah memadai perawatan lanjutan dirumah

!18

2.9

Pencegahan

1.

Pemberian ASI eksklusif hingga usia 6 bulan dan dilanjutkan dengan


pemberian PASI hingga usia 2 tahun dapat menurunkan kejadian dan
keparahan dari pneumonia9.

2.

Pemberian vaksin terhadap Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus


influenzae tipe b, yang merupakan dua bakteri yang paling sering
menyebabkan pneumonia pada anak-anak9.

3.

Pemberian vaksin campak dan pertusis secara nyata mengurangi angka


kejadian pneumonia dan kematian pada anak-anak9.

4.

Bayi dengan resiko tinggi diberikan profilaksis berupa antibodi monoklonal


untuk mencegah atau mengurangi resiko pneumonia berat yang disebabkan
oleh Respiratory syncytial virus (RSV)9.

5.

Menjaga kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, kebiasaan memasak


air sebelum diminum, kebiasaan mencuci tangan dengan sabun9.

6.

Mengurangi jumlah polusi udara disekitar tempat tinggal9.

2.10 Komplikasi
Pneumonia yang disebabkan oleh bakteri sering menyebabkan pembentukan
cairan inflamasi yang terkumpul di dalam rongga pleura yang berdekatan,
menyebabkan efusi parapneumonia atau jika terlalu purulen akan menyebabkan

!19

empiema. Diseksi udara di dalam jaringan paru-paru dapat menyebabkan


pneumatokel atau kantong udara. Pembentukan jaringan parut pada saluran napas
dan jaringan paru dapat menyebabkan pelebaran bronkus, sehingga menyebabkan
bronkiektasis dan peningkatan risiko infeksi3.
Pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dapat berkembang
menjadi abses paru. Bagian paru yang paling sering terkena adalah segmen
posterior lobus atas dan segmen superior lobus bawah. Abses paru sering
disebabkan oleh bakteri anaerob, kelompok Streptokokus, E. coli, Klebsiella
pneumoniae, P. aeruginosa , dan S. Aureus3.

2.11 Prognosis
Sebagian besar anak-anak yang mengalami peumonia sembuh dengan cepat
dan sempurna. Kelainan pada radiografi kembali normal dalam waktu 6 sampai 8
minggu. Dalam beberapa kasus, pneumonia dapat bertahan lebih dari 1 bulan atau
mungkin berulang. Pneumonia berat yang disebebabkan oleh adenovirus dapat
mengakibatkan obliterans bronkiolitis, merupakan suatu proses inflamasi subakut
di mana saluran udara kecil digantikan oleh jaringan parut. Sindrom paru
hiperlusen unilateral, atau Swyer-James Syndrome merupakan gejala sisa dari
pneumonia yang menyebabkan nekrosis jaringan paru dikaitkan dengan infeksi
adenovirus tipe 213.

!20

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair., 2010, Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru,
Departemen Ilmu Penyakit Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo,
Surabaya.
Riset Kesehatan Dasar., 2013, Period Prevalence Pneumonia Balita, dan
Prevalensi Pneumonia Menurut Provinsi, Indonesia 2013, Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI,
Jakarta
Behrman RE, Vaughan VC, 1992, Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Bagian II, Ed 12,
Jakarta: EGC.
Don, Massimilliano., 2009, Community-Acquired Pneumonia,University of
Tampere: Italy
Setyanto, Budi, D., 2008, Buku Ajar Respirologi Anak Ed.1 , Jakarta: Ikatan
Dokter Anak Indonesia.
Price, Sylvia A, Wilson, Lorraine M., Patofisiologi Ed 6, Jakarta: EGC
WHO Indonesia., 2008, Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit
Rujukan Tingkat Pertama di Kabupaten/Kota, Alih bahasa: Tim
Adaptasi Indonesia, Jakarta: Depkes RI.

!21

M, Korppi., 1993, White Blood Cell and Differential Counts in Acute Respiratory
Viral and Bacterial Infections in Children, Scand Journal Infection
Disease, no. 25, vol. 4, hh.435-40.
Bradley, John et al., 2011, The Management of Community-Acquired Pneumonia
in Infants and Children Older Than 3 Months of Age: Clinical Practice
Guidelines by the Pediatric Infectious Diseases Society and the
Infectious Diseases Society of America, Infectious Diseases Society of
America: San Diego

!22

Anda mungkin juga menyukai