Anda di halaman 1dari 6

Jas dan Peci Hitam kemarin menjadi saksi

Betapa mahal harga untuk mengabdi.


Oh, bukan. Itu bukan pungutan liar.
Katanya hanya mengelola, agar semuanya lancar.
Kecebong anyut!
Senyum palsu yang akut.
Berjejer jer jer jer!
Bergeming ming ming ming.
Ketika Penguasa berbicara Etika,
Kita harus hati-hati.
Barangkali mereka berputus asa.
Ketika Penguasa menyuruh perkuat Intelektual,
Kita harus hati-hati.
Barangkali kita diperbual.
Ketika Penguasa menyuruh kita bicara berdasarkan data dan fakta,
Kita harus hati-hati.
Barangkali mereka sedang siapkan mata-mata.
Jikalau gaya Widji Thukul bersyair demikian,
Jemari ini pun demikian.
Jikalau Sastra untuk Sastra terbelenggu sandiwara,
Sastra untuk Rakyat-lah jawabannya.
Para Komparador!
Lintah Darat, Penghisap.
Membungkam suara, Dorrrr!
Membunuh karakter begitu kalap.
Gadjah Mada itu Banteng,
Bukan Kambing.
Gadjah Mada itu Merdeka!
Bukan mengembik.
Merdeka! Merdeka! Merdeka!

Bukan, mbeeeeek mbeeeeek mbeeeeeek.


Maha Patih begitu gagah,
Walau nyatanya ia Penjajah.
Palapa yang dibanggakan itu,
Nyatanya hanyalah cerminan nafsu.
Berdalih Intelektual,
Padahal Kolonial.
Manaaaa? Manaaaa? Dimanaaa Tinjumuuuu?
Bauuuu! Bauuuu! Mulutmu bauuuu!
Jentik nyamuk,
Menyebar kecil-kecil.
Menjadi bibit,
Calon-calon Bandit.
Usang sudah, Aksi Massa.
Kini zamannya Media Massa.
Mulutmu bau!
Tak usah teriak, air beriak tanda tak dalam.
Semu itu, kasihku.
Pergerakan ini dirundung pilu.
Ini jelas Tirani, sayangku.
Pernah kah kau sadar?
Bukan maksud provokasi, cintaku.
Tapi nurani sedang dibakar.
Bayar saja, bayar! Biar mengalir ke rekening dengan lancar.
Bubar saja, bubar! Biar tak ada lagi yang membuat onar.
Itukah maumu?
Kepada seorang Pemuda,
Janganlah bermuram durja.
Begitu piciknya membunuh karakter.
Padahal mengaku menjunjung pengembangan karakter.

Engkau salah, Pemuda!


Kan aku sudah bilang, mereka itu orang tua.
Kita, anak-anak mereka.
Engkau salah, Pemuda!
Ikutilah kata Ayah dan Bunda.
Jangan banyak melawan, diam saja.
Sebab mereka Ayah dan Bunda.
Hubungan yang terjalin ini, katanya,
Haruslah sebagaimana orang tua dan anaknya.
Ayah dan Bunda marah, rumahnya dijual.
Sang anak meringis, tak diberi susu.
Ayah dan Bunda marah, rumahnya dirusak.
Sang anak menangis, tak diberi madu.
Ayah Bunda.
Kalian bilang, jadilah anak yang berbakti.
Tapi mengapa kalian persulit kami?
Ayah Bunda
Kalian bilang, hidup ini untuk mengabdi.
Tapi mengapa kalian jadikan kami kuli?
Ayah Bunda
Kalian bilang, junjunglah etika dan nilai susila.
Tapi mengapa kalian selalu mengelak jika dikritisi?
Ayah Bunda
Kalian bilang, gunakanlah cara yang elegan.
Tapi mengapa kalian membungkam kami?
Ayah Bunda
Kalian bilang, jadilah anak yang berkarakter.
Tapi mengapa kalian sangat otoriter?
Ngantuk saya, Kapten!
Bantal tak lagi romantis.

Izinkan saya tidur, dengan penuh syukur.


Masih bisa terlelap, dalam perut yang lapar.
Belum sarapan, belum kudapan.
Pedih durjana, hujam kepala ke bejana.
Pening, mereka selalu bergeming.
Lebih baik menghirup roma ketek sendiri,
Daripada menghirup parfum Penguasa.
Berjuta kata tersusun rapi penuh retorika.
Menjadi amunisi, yang siap diberi sanksi.
Kerakyatan, katanya.
Apa daya, Modal masih menjadi Raja.
Jentik nyamuk di bak mandi.
Tak mampu membuat mereka Demam Berdarah.
Mereka kebal, Oh iya. Orang kaya.
Penguasa, dan Pengusaha.
Berselingkuh dari balik tirai.
Bersenggama sambil tertawa.
Sembari mempermainkan sistem,
Agar abadi duduk di kursi.
Kami ingin mengabdi!
Jangan persulit kami!
Jangan peras kami!
Jangan hisap kami!
Kalian Manusia Setengah Dewa, jika bernurani.
Tapi kalian Setan berbungkus Manusia, saat ini!
Hai, Pemuda yang masih tidur.
Bangunlah, dekaplah Bundamu.
Sejatinya Bunda gampang luluh.
Ayahlah yang bajingan!
Ia keras membatu.

Hancurkan batu keras itu, sebab Ayah lupa diri.


Oh. Tidak. Semua salah setan.
Ia rusuh, Ia mengganggu.
Ayah dan Bunda kita digoda setan.
Pantas saja, hilang rasa malu.
Lantas, kita harus bagaimana?
Jika Represi masih ada.
Jika mengkritik berdasarkan data saja, dibilang provokator.
Tapi, tapi.
Bagaimana kita bisa melawan?
Hai kawan, ingat. Itu Setan.
Setan tidak bisa di-dakwah.
Ia harus di-rukiyah.
Hai kawan, itu Setan.
Ia telah menutup nurani Ayah dan Bunda.
Ribuan tulisanmu tak akan mempengaruhi kebijakan.
Camkan itu!
Malah hanya menyeretmu ke Penjara.
Dituduh provokator dan mencemarkan wibawa.
Kita butuh Aksi Massa, bukan sekadar Media Massa.
Bukan lagi Negosiasi, tapi Demonstrasi.
Ah tidak, tidak. Kamu Radikal.
Begitu kata orang yang otaknya bebal.
Ya memang Radikal, artinya mengakar.
Mengakar kuat, menjulang tinggi.
Jangan kasar-kasar, nanti kamu dikeluarkan.
Oh. Ayah Bundaku. Bukan kalian yang kami serang.
Tapi SETAN yang dalam dada kalian kini bersarang.
Jabatan dan kekayaan, membelenggu hati kalian.
Tak usah bayari kami Topi!

Kami bisa menahan panasnya mentari.


Tak usah bayari kami Baju!
Kami mau mengabdi dimanapun tertuju.
Rantang kosong, isikan lah makanan.
Makan ikan, bumbunya pedas.
Otak kami mungkin masih kosong, tidak seperti kalian.
Tapi ingatlah, Tuhan bersama orang yang ditindas.
Ayah Bunda
Muak! Mual! Muntah!
Kalian bukan Ayah dan Bunda.
Kalian hanyalah petugas Negara.
Kewajiban kalian. Melayani kami!
Jangan peras kami!
Jangan peralat kami!
Juga Pedagang Kantin.
Mereka sudah sengsara.
Jangan kalian ubah Kantin menjadi Taman.
Tapi kan, agar untuk blablabla Alasan! Padahal untuk Proyekan.
Negeri Kolonial, penuh Pembual!

Anda mungkin juga menyukai