Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tuntutan masyarakat akan
pelayanan kesehatan terus meningkat. Perkembangan tersebut, selain untuk menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas, juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan yang
mengacu pada masalah efisiensi, keamanan dan kenyamanan pasien.
Nyeri adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pasien pasca
operasi. Oleh karena itu seseorang anestesiologi harus dapat menghilangkan nyeri selama
operasi ataupun setelah operasi dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifitas dan
potensi obat. Adapun macam macam adjuvant anestesi yang paling sering digunakan
yaitu, difenhidramin, bloker-H2, metoklopramid, ondansetron, ketorolak, klonidin,
dexmedetomidin, nalokson dan flumazenil.
1.2. Tujuan dan Manfaat
1.2.1

Tujuan
Untuk mengetahui tentang adjuvan anestesi,baik dalam definisi, tujuan serta

konsep adjuvan anestesi yang paling sering digunakan.


1.2.2 Manfaat
Mengaplikasikan ilmu pengetahuan untuk kepaniteraan dan menambah
wawasan dan ketrampilan

BAB II
1

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anestesi
2.1.1 Definisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi
adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan
(Latief, 2009).
2.1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin
untuk meminimalkan rasa sakit (Latief, 2009). Rekor dunia untuk amputasi kaki
dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim
dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800,Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal
telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti oksida nitrogen dapat
mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi
dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah
mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Serikat menyebutkan bahwa
penemu anestesi atau bius adalah William Morton, karena Morton secara
demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada
tahun 1846 (Morgan,2006).
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J Y Simpson dan John Snow yang banyak
mengembangkan anestesi. Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu
persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya
banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari anestesi yang
efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri. Pada waktu itu,
di dunia terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian
kodrat dari Tuhan dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun,
oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat
2

melahirkan pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut
dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah
pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur
bedah semakin lama semakin di perhitungkan (Katzung, 2002).
2.1.3 Jenis Anestesi
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Anestesi lokal yaitu, hilang rasa sakit tanpa disertai dengan kehilangan
kesadaran. Anestesi umum yaitu, hilang rasa sakit diserti hilangnya kesadaran
(Latief, 2009).
2.2. Adjuvan Anestesi
2.2.1 Definisi
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan tambahan yang dapat meningkatkan
efektifitas dan potensi obat (Handoko, 2009).
2.2.2 Konsep adjuvan anestesi
Konsep utama pada adjuvan anestesi yaitu, (Handoko, 2009) :
1. Difenhidramin adalah salah satu contoh dari beragam kelompok obat yang
memblok reseptor H-1 secara kompetitif. Kebanyakan obat dengan sifat-sifat
antagonis reseptor H-1 memiliki aktivitas anti muskarinik (misal, mulut kering),
atau aktivitas anti serotonergik (antiemetik).
2. Antagonis reseptor H-2 mengurangi risiko pneumonia aspirasi perioperatif dengan
mengurangi volume cairan lambung dan meningkatkan pH isi lambung.
3. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, mempercepat
pengosongan lambung, dan mengurangi volume cairan lambung dengan
menambah efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus.
4. Ondansetron memblok reseptor 5-HT3 serotonin secara selektif, sedikit berefek
terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3, yang berlokasi di perifer dan sentral,
berperan penting dalam inisiasi refleks muntah.
5. Ketorolak adalah obat anti inflamasi non steroid yang diberikan secara parenteral
yang menghasilkan analgesia dengan menghambat sintesis prostaglandin.
6. Klonidin umumnya digunakan sebagai obat anti hipertensi namun dalam anestesi,
obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural pada pengelolaan nyeri.

Klonidin paling bermanfaat dalam pengelolaan pasien dengan nyeri neuropatik


yang semakin lama menjadi resisten terhadap infus opioid epidural.
7. Dexmedetomidin adalah agonis -2 selektif parenteral dengan efek sedatif. Obat
ini tampaknya lebih selektif terhadap reseptor -2. Aktivasi selektif kemoreseptor
karotid oleh doxapram dosis rendah menghasilkan stimulasi pusat hipoksik, yang
menyebabkan volume tidal meningkat dan frekuensi napas sedikit bertambah.
Walaupun demikian,doxapram bukan obat reversal spesifik dan tidak boleh
menggantikan terapi suportif standar (misal, ventilasi mekanik).
8. Nalokson membalikkan aktivitas agonis yang terkait dengan opioid
9. Flumazenil bermanfaat untuk reversal efek sedasi benzodiazepin dan terapi over
dosis benzodiazepin.
2.2.3 Antagonis Reseptor-H1
a. Fisiologi Histamin
Histamin ditemukan di sistem saraf pusat, dalam mukosa, dan jaringan perifer
lainnya. Zat ini disintesa dari dekarboksilasi asam amino histidin. Neuron
histaminergik terutama terletak dalam hipotalamus posterior tetapi memiliki
penyebaran luas dalam otak. Histamin juga secara normal berperan penting dalam
sekresi asam hidroklorida oleh sel parietal dalam lambung (Gambar 2-1). Konsentrasi
tertinggi histamin ditemukan dalam granula penyimpanan basofil yang bersirkulasi
dan sel mast di seluruh tubuh. Sel mast cenderung terkonsentrasi dalam jaringan
penyambung di bawah permukaan epitel (mukosa). Pelepasan histamin (degranulasi)
dari sel ini dapat dipicu oleh stimulasi kimiawi, mekanis, atau imunologis (Guyton,
2008).

Gambar 2.1. Sekresi asam hidroklorida normalnya dimediasi oleh pelepasan histamin
yang diinduksi oleh gastrin dari sel mirip-enterokromafin di lambung. Ingat bahwa
sekresi asam oleh sel parietal lambung juga dapat meningkat secara indirek oleh
asetilkolin melalui stimulasi reseptor M3 dan secara direk oleh gastrin melalui
peningkatan konsentrasi intrasel Ca2+. Prostaglandin E2 dapat menghambat sekresi
asam dengan menurunkan aktifitas cAMP (Guyton, 2008).

Dua reseptor, H1 dan H2, memediasi efek histamin. Reseptor-H1 mengaktifasi


fosfolipase C, sementara reseptor-H2 meningkatkan adenosin monofosfat siklik
(cAMP). Reseptor-H3 terutama terletak pada sel sekresi-histamin dan memediasi
feedback negatif, menghambat sintesis dan pelepasan histamin tambahan. Histamin-Nmetiltransferase memetabolsme histamin untuk menonaktifkan metabolit yang
diekskresi dalam urin. Reaksi enzimatik ini dihambat oleh droperidol (Katzung,
2002).

Kardiovaskular
Histamin menurunkan tekanan darah arteri namun meningkatkan denyut

jantung dan kontraktilitas miokardium. Stimulasi reseptor-H1 meningkatkan


5

permeabilitas kapiler dan meningkatkan iritabilitas ventrikel, sementara stimulasi


reseptor-H2 meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan kontraktilitas. Kedua
tipe reseptor tersebut memediasi dilatasi arteriol perifer dan sebagian vasodilatasi
koroner (Katzung, 2002).

Respirasi
Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiol melalui reseptor-H 1.

Stimulasi

reseptor-H2

dapat

menghasilkan

bronkodilatasi

ringan.

Histamin

menghasilkan efek bervariasi pada pembuluh darah pulmonal; reseptor-H1 tampaknya


memediasi sebagian vasodilatasi pulmonal, sementara reseptor-H2 mungkin berperan
dalam vasokonstriksi pulmonal yang dimediasi oleh histamin (Katzung, 2002).

Gastrointestinal
Aktivasi reseptor-H2 dalam sel parietal meningkatkan sekresi asam lambung.

Stimulasi reseptor-H1 menyebakan kontraksi otot polos intestinal (Katzung, 2002).

Dermal
Respons kulit klasik wheal-dan-flare terhadap histamin adalah hasil dari

peningkatan permeabilitas kapiler dan vasodilatasi serta terutama diaktivasi melalui


reseptor-H1 (Katzung, 2002).

Imunologis
Histamin adalah mediator utama reaksi hipersensitifitas tipe 1 (lihat Bab 46).

Stimulasi reseptor-H1 menarik leukosit dan menginduksi sintesis prostaglandin.


Sebaliknya, reseptor-H2 mengaktivasi supresor limfosit T (Katzung, 2002).
b. Mekanime kerja
Kerja difenhidramin (suatu etanolamin) adalah salah satu contoh dari
sekelompok obat yang memblok reseptor-H1

secara kompetitif. Banyak obat

bersifat antagonis reseptor-H1 yang memiliki aktivitas anti muskarinik, atau


serotonergik (antiemetik). Prometazin adalah suatu derivat fenotiazin dengan
aktivitas antagonis reseptor-H1 serta juga bersifat anti dopaminergik dan blok adrenergik (Ganiswarna, 2010).
c. Penggunaan klinis
Seperti antagonis reseptor-H1 lainnya, difenhidramin memiliki kegunaan
terapeutik yang luas seperti, gejala alergi (misal, urtikaria, rinitis, konjungtivitis);
vertigo, mual, dan muntah (misal,mabuk perjalanan, penyakit Meniere); sedasi;
6

supresi

batuk;

dan

diskinesia

(misal, parkinsonisme, efek samping ekstra

piramidal yang diinduksi oleh obat). Beberapa aksinya dapat diramalkan dari
pemahaman fisiologi histamin,sementara lainnya adalah hasil dari efek anti
muskarinik dan anti serotoninergik obat. Walaupun bloker-H1 mencegah respons
bronkokonstriksi terhadap histamin, namun obat ini tidak efektif dalam pengobatan
asma bronkial, yang terutama dimediasi oleh mediator lain. Selain itu, bloker-H1
tidak akan mencegah efek hipotensi histamin sepenuhnya kecuali jika bloker-H2
diberikan secara bersamaan. Oleh karena itu, kegunaan bloker-H1 saat reaksi
anafilaktik akut agak terbatas, epinefrin adalah terapi pilihannya (Ganiswarna,
2010).
Efek antiemetik dan hipnotik ringan dari obat antihistamin (terutama
difenhidramin, prometazin

dan

hidroksizin)

adalah

alasannya

digunakan

sebagai premedikasi. Walaupun banyak bloker-H1 menimbulkan sedasi

yang

bermakna, namun pusat napas biasanya tidak terpengaruh bila tidak ditambah
obat sedasi lainnya. Prometazin dan hidroksizin sering dikombinasi dengan
opioid untuk menambah analgesia. Antihistamin lebih baru (generasi-kedua)
cenderung menimbulkan sedikit atau tanpa sedasi karena keterbatasannya melewati
sawar darah-otak. Kelompok obat ini hanya tersedia dalam preparat oral yang
terutama diberikan untuk rinitis alergi dan urtikaria. Yang termasuk kelompok ini
adalah loratadin, feksofenadin, dan setirizin. Banyak

preparat

untuk

rinitis

alergi yang juga mengandung vasokonstriktor seperti pseudoefedrin. Meklizin


dan dimenhidrat terutama digunakan sebagai antiemetik, khususnya untuk mabuk
perjalanan dan dalam penanganan vertigo (Ganiswarna, 2010).
Obat
Difenhidramin (Benadryl)
Dimenhidrat (Dramamin)
Klorfeniramin
(Chlor-Trimeton)
Hidrokszin (Atarax,

Rute
PO, IM, IV
PO, IM, IV
PO
IM, IV

Dosis (mg)
25-100
50-100
2-12
5-20

Durasi (jam)
3-6
3-6
4-8

Sedasi
+++
+++
++

Antiemetik
++
++
0

Vistaril)
Prometazin (Phenergan)
Setirizin (Zyrtec)
Siproheptadin (Periactin)
Dimenhidrat (Dramamin)
Feksofenadin (Allegra)
Meklizin (Antivert)
Loratadin (Claritin)

PO, IM
PO, IM, IV
PO
PO
PO
PO
PO
PO

25-100
12.5-50
5-10
4
50
30-60
12.5-50
10

4-12
4-12
24
6-8
6-12
12
8-24
24

+++
+++
+
++
++
0
+
0

++
+++

Keterangan: 0: tidak berefek; ++: aktivitas sedang; +++: aktivitas kuat.

Tabel 2.1 Sifat-sifat antagonis reseptor-H1 yang sering digunakan


d. Dosis
Dosis umum difenhidramin untuk orang dewasa adalah 25-50 mg (0.5-1.5
mg/kg) per oral, intramuscular atau intravena setiap 4-6 jam (Ganiswarna, 2010).
d. Interaksi Obat
Efek sedatif antagonis reseptor-H1 dapat menimbulkan potensiasi depresan
sistem saraf pusat (Ganiswarna, 2010).
2.2.4 Antagonis Reseptor-H2
a. Mekanisme Kerja
Antagonis reseptor H-2 antara lain simetidin, famotidin, nizatidin dan
ranitidine. Obat ini menghambat ikatan histamin dengan reseptor-H 2 secara
kompetitif,

dengan

demikian

mengurangi

produksi

asam

lambung

dan

meningkatkan pH lambung. Nizatidin hanya tersedia dalam formulasi oral


(Katzung, 2002).
b. Penggunaan Klinis
Semua antagonis reseptor-H2 sama efektifnya untuk terapi ulkus duodenal
peptik dan gastric dan penyakit refluks gastroesofagus (GERD). Preparat intravena
juga digunakan untuk mencegah ulserasi stres pada pasien sakit kritis

Ulkus

duodenal dan gastrik biasanya disertai dengan infeksi Helicobacter pylori, yang
juga diterapi dengan kombinasi bismuth, tetrasiklin, dan metronidazol. Ranitidin
bismuth sitrat dengan klaritromisin juga dapat digunakan untuk ulkus peptik yang
disertai dengan infeksi H.pylori. Dengan menurunnya volume dan kandungan ion
hidrogen cairan lambung, maka bloker- H2 juga mengurangi risiko pneumonia
aspirasi perioperatif. Obat-obat ini hanya memengaruhi pH sekresi lambung yang
keluar sesudah obat diberikan. Kombinasi antagonis reseptor H1 dan H2
menghasilkan sedikit proteksi terhadap reaksi alergi yang diinduksi oleh obat
(misal, radiokontras intravena, injeksi kimopapain untuk penyakit diskus lumbal,
protamin). Walaupun terapi awal dengan obat ini tidak mengurangi pelepasan
histamin, namun obat ini dapat mengurangi hipotensi yang akan terjadi kemudian
(Katzung, 2002).
c. Efek Samping

Simetidin dan ranitidin yang di injeksikan secara intravena dengan cepat,


walaupun jarang, dapat menimbulkan hipotensi, bradikardi, aritmia dan henti
jantung. Efek samping kardiovaskuular ini lebih sering terjadi setelah pemberian
simetidin kepada pasien sakit kritis. Sebaliknya, famotidin dapat di injeksi secara
intravena dengan aman dalam waktu sekitar 2 menit. Antagonis reseptor-H2
merubah flora lambung melalui efeknya terhadap pH. Kemaknaan klinis dari
perubahan ini masih belum jelas. Komplikasi terapi simetidin jangka panjang,
antara lain hepatotoksik (penngkatan transaminase serum), nefritis interstisial
(peningkatan serum kreatinin), granulositopenia, dan trombositopenia. Simetidin
juga terikat pada reseptor androgen, terkadang menimbulkan ginekomastia dan
impotensi. Simetidin dapat disertai dengan perubahan status mental, berkisar dari
letargi dan halusinasi sampai kejang, terutama pada pasien usia lanjut. Sebaliknya
ranitidin, nizatidin, dan famotidin tidak memengaruhi reseptor androgen dan tidak
menembus sawar darah-otak dengan baik (Katzung, 2002).
d. Komplikasi
Terapi simetidin jangka panjang, antara lain hepatotoksik (peningkatan
transaminase serum), nefritis interstisial (peningkatan serum kreatinin) dan
trombositopenia. Simetidin juga terikat pada reseptor androgen, terkadang
menimbulkan ginekomastia dan impotensi. Simetidin dapat disertai dengan
perubahan status mental, berkisar dari letargi dan halusinasi sampai kejang,
terutama pada pasien usia lanjut.
e. Dosis
Sebagai premedikasi untuk mengurangi risiko pneumonia aspirasi, antagonis
reseptor-H2 sebaiknya diberikan sebelum tidur dan diberikan lagi setidaknya 2 jam
sebelum operasi. Dosis harus dikurangi pada pasien dengan gangguan ginjal,
karena keempat obat tersebut dieliminasi terutama oleh ginjal (Katzung, 2002).
f. Interaksi Obat
Simetidin dapat menurunkan laju aliran darah hepatik dan terikat pada
oksidase multi-fungsi sitokrom P-450. Efek ini mengurangi metabolisme berbagai
obat, termasuk lidokain, propanolol, diazepam, teofilin, fenobarbital, warfarin dan
fenitoin. Ranitidin adalah inhibitor lemah sistem sitokrom P-450 dan tidak ada
interaksi obat bermakna yang dilaporkan. Famotidin dan nizatidin tidak
memengaruhi

sistem

sitokrom

P-450

(Ganiswarna,

2010).

2.2.5 Antasid
a. Mekanisme Kerja
Antasid menetralkan keasaman cairan lambung menyediakan suatu basa
(biasanya hidroksida, karbonat, bikarbonat, sitrat) yang bereaksi dengan ion
hidrogen untuk membentuk air.
b. Penggunaan Klinis
Penggunaan umum antasid, antara lain untuk terapi ulkus gastrik dan duodenal
dan

GERD. Dalam

anestesiologi,

antasid

membahayakan pneumonia aspirasi dengan

memberi

meningkatkan

proteksi
pH

isi

dari

efek

lambung.

Tidak seperti antagonis reseptor-H2, antasid memberi efek segera. Sayangnya, obat
ini meningkatkan volume intra gastrik.
c. Dosis
Dosis umum untuk orang dewasa 0.3 mL (sodium sitrat dan asam sitrat) atau
Polycitra (sodium sitrat, potasium sitrat dan asam sitrat) adalah 15-30 mL per oral,
15-30 menit sebelum induksi.
d. Interaksi Obat
Antasid mengubah absorpsi dan eliminasi berbagai obat, karena obat ini
mengubah pH lambung dan urin (Ganiswarna, 2010).
2.2.6 Metoklopramid
a. Mekanisme Kerja
Metoklopramid bekerja di perifer sebagai kolinomimetik (yaitu, fasilitasi
transmisi asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif) dan di sentral sebagai
antagonis dopamin. Kerjanya sebagai obat prokinetik di saluran gastrointestinal (GI)
atas, tidak bergantung pada persarafan vagal tetapi dihilangkan oleh obat
antikolinergik. Obat ini tidak merangsang sekresi (Katzung, 2002).
b. Penggunaan Klinis
Metoklopramid
mempercepat

meningkatkan

tonus

sfingter

esofagus

bawah,

pengosongan lambung dan mengurangi volume cairan lambung,

dengan cara memperkuat efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus. Sifat ini
berperan dalam efikasinya untuk terapi pasien dengan gastroparesis diabetik dan
GERD, dan juga profilaksis untuk pasien berisiko pneumonia aspirasi.
Metoklopramid tidak memengaruhi sekresi asam lambung atau pH cairan lambung.
Metoklopramid menghasilkan efek antiemetik dengan blokade reseptor dopamin di
10

zona pemicu kemoreseptor susunan saraf pusat. Manfaatnya sebagai obat


antiemetik untuk kemoterapi kanker lebih terbukti dibandingkan sebagai obat
tunggal untuk pencegahan mual dan muntah pasca operasi. Metoklopramid dapat
memberi sedikit analgesia pada keadaan yang disertai dengan spasme otot polos
(misal, kolik renal atau biliar, kram uterus), mungkin karena efek kolinergik dan
dopaminergik. Obat ini juga dapat menurunkan kebutuhan analgesik pada pasien
yang menjalani terminasi kehamilan yang diinduksi oleh prostaglandin (Mycek,
2011).
c. Efek Samping
Injeksi intravena cepat dapat menyebabkan kram perut, dan metoklopramid
dikontraindikasikan pada pasien dengan obstuksi intestinal total. Obat ini dapat
menginduksi krisis hipertensi pada pasien dengan feokromositoma melalui
pelepasan katekolamin dari tumor. Sedasi, gelisah, dan gejala ekstrapiramidal dari
antagonisme dopamin (misal, akatisia) jarang terjadi dan reversibel. Walaupun
demikian, metoklopramid paling aman dihindari pada penderita penyakit
parkinson. Metoklopramid jarang menyebabkan hipotensi dan aritmia.
d. Dosis
Dosis metoklopramid 10-20 mg (0.25 mg/kg) untuk orang dewasa, efektif
diberikan per oral, intramuscular atau intravena. Dosis lebih besar (1-2 mg/kg)
digunakan untuk mencegah muntah selama kemoterapi. Onset kerjanya jauh lebih
cepat setelah pemberian parenteral (3-5 menit) dari pada oral (30-60 menit).
Dosis

metoklopramid harus diturunkan pada pasien dengan gangguan ginjal,

karena obat ini diekskresikan melalui urin.


e. Interaksi Obat
Obat anti muskarinik (atropin) memblokade efek GI. Metoklopramid
mengurangi absorpsi simetidin yang diberikan per oral. Penggunaan bersamaan
dengan fenotiazin atau butirofenon (droperidol)

meningkatkan kecenderungan

efek samping ekstrapiramidal (Handoko, 2009). Metoklopramid mengurangi dosis


kebutuhan induksi anestesi dengan tiopental. Obat ini tidak mengembalikan efek
infus dopamin dosis-rendah terhadap pembuluh darah ginjal (Katzung, 2002).
2.2.7 Antagonis reseptor 5-HT3
a. Fisiologi Serotonin

11

Serotonin, 5-hidroksitriptamin (5-HT), ditemukan dalam jumlah banyak pada


trombosit dan saluran cerna (sel enterkromafin dan pleksus mienterik). Selain itu,
serotonin juga merupakan neurotransmiter penting di berbagai area sistem saraf
pusat, antara lain retina, sistem limbik, hipotalamus,

serebelum dan medulla

spinalis. Serotonin dibentuk melalui hidroksilasi dan dekarboksilasi triptofan.


Monoamin oksidase membuat serotonin menjadi tidak aktif menjadi asam 5hidroksiindoleasetat (5-HIAA). Fisiologi serotonin sangat kompleks karena
ada setidaknya

tujuh

tipe

reseptor,

sebagian

besar

dengan

beberapa

subtipe. Reseptor 5-HT3 memediasi muntah dan ditemukan di saluran cerna dan
otak (area postrema). Reseptor 5-HT2A berperan untuk kontraksi otot polos dan
agregasi trombosit, reseptor 5-HT4 pada saluran cerna memediasi sekresi dan
persitaltik, dan reseptor 5-HT6 dan 5-HT7 terutama terletak di sistem limbik dan
berperan dalam depresi. Banyak obat antidepresan mengikat reseptor 5-HT6.
Semua reseptor, kecuali reseptor 5-HT3, berpasangan dengan protein G dan
memengaruhi salah satu dari adenilil siklase atau fosfolipase C; reseptor 5-HT3
adalah saluran ion (Guyton, 2008).

Kardiovaskular
Selain di otot jantung dan rangka, serotonin adalah vasokonstriktor arteriol

dan vena yang kuat. Efek vasodilatasinya di jantung sangat bergantung pada
endotel. Ketika endotel miokardium rusak setelah cedera, serotonin menyebabkan
vasokonstriksi. Pembuluh darah paru dan ginjal sangat sensitif terhadap efek
vasokonstriksi arteri serotonin. Setelah pelepasan serotonin, kontraktilitas dan
denyut jantung dapat meningkat secara sesaat; biasanya diikuti refleks bradikardi.
Vasodilatasi otot rangka pada akhirnya dapat menyebabkan hipotensi (Katzung,
2002).

Respirasi
Kontraksi otot polos meningkatkan resistensi jalan napas. Bronkokonstriksi

adalah tanda yang menonjol dari sindroma karsinoid (Katzung, 2002).

Gastrointestinal

12

Kontraksi otot polos secara direk (melalui reseptor 5-HT2) dan pelepasan
asetilkolin yang diinduksi oleh serotonin di pleksus mienterik (melalui reseptor 5HT3) sangat meningkatkan peristalsis. Sekresi tidak dipengaruhi (Katzung, 2002).

Hematologi

Aktivasi reseptor 5-HT2 menyebabkan agregasi trombosit (Katzung, 2002).


b. Mekanisme Kerja
Ondansetron (Zofran), granisetron (Kytril) dan dolasetron (Anzemet)
memblok reseptor 5-HT3 serotonin secara selektif. Reseptor 5-HT3 yang terletak
di perifer (aferen vagal abdomen) dan

sentral

(chemoreceptor trigger zone

daerah postrema dan nucleus traktus solitarius), berperan penting untuk terjadinya
refleks muntah. Obat-obat ini tidak memengaruhi motilitas saluran cerna atau
tonus sfingter esofagus bawah, tidak seperti metoklopramid.
c. Penggunaan Klinis
Semua obat ini terbukti sebagai antiemetik yang efektif untuk masa pasca
operasi. Dalam beberapa penelitian, antagonis reseptor 5-HT3, sebagai obat
tunggal, adalah profilaksi antiemetik yang lebih baik dibandingkan dengan
metoklopramid atau droperidol tunggal. Penelitian lain menemukan bahwa
metoklopramid bersama dengan droperidol dapat menjadi profilaksis yang
sebanding dengan ondansetron tunggal. Beberapa klinisi percaya bahwa karena
harganya yang mahal, antagonis reseptor 5-HT3

tidak disarankan untuk

digunakan sebagai profilaksis rutin, tetapi digunakan sebagai cadangan terapi


simtomatik mual atau muntah. Penelitian-penelitian tersebut tidak menemukan
perbedaan hasil ketika antiemetik diberikan untuk terapi simtomatik maupun
profilaksis. Namun, profilaksis sebaiknya diberikan untuk pasien dengan riwayat
mual pasca operasi, yang akan menjalani prosedur berisiko tinggi terjadi mual
(misal, laparoskopi), yang perlu mencegah mual dan muntah (misal, bedah saraf),
dan yang sudah mengalami mual dan muntah, untuk mencegah serangan lebih
lanjut.
d. Efek Samping
Antagonis reseptor 5-HT3 sebenarnya tidak memiliki efek samping serius,
bahkan dalam jumlah berkali-kali lipat dari dosis yang dianjurkan. Golongan ini
tidak menyebabkan sedasi, tanda ekstrapiramidal, atau depresi napas. Efek
13

samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala. Ketiga obat ini dapat
memperpanjang interval QT pada elektrokardiogram. Efek ini lebih sering terjadi
dengan dolasetron, walaupun tidak disertai dengan gangguan aritmia lainnya.
Walaupun demikian, obat-obat ini, khususnya dolasetron, harus diberikan dengan
hati-hati pada pasien yang menggunakan obat antiaritmia atau yang memiliki
interval QT memanjang (Katzung, 2002).
e. Dosis
Dosis ondansetron intravena untuk mencegah mual dan muntah perioperatif
pada orang dewasa adalah 4 mg, baik sebelum induksi anestesi atau pada akhir
operasi. Mual dan muntah pascaoperasi juga dapat diterapi dengan dosis 4 mg,
diulang sesuai kebutuhan tiap 4-8 jam. Ondansetron mengalami metabolisme
ekstensif dalam hepar melalui hidroksilasi dan konjugasi melalui enzim sitokrom
P-450. Gagal hati mengganggu klirens beberapa kali lipat, dan dosisnya perlu
dikurangi. Dosis intravena yang dianjurkan adalah 12.5 mg untuk dolasetron dan 1
mg untuk granisetron. Semua obat ini tersedia dalam bentuk oral untuk profilaksis
mual dan muntah pasca operasi. Dosis oral adalah sama dengan preparat parenteral
untuk ondansetron dan granisetron, sedangkan 100mg untuk dolasetron (Katzung,
2002).
2.2.8 Ketorolak
a. Mekanisme Kerja
Ketorolak adalah obat anti inflamasi non-steroid (non-steroidal anti
inflammatory drug atau NSAID) parenteral yang menghasilkan analgesia dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
b. Penggunaan Klinis
Ketorolak di indikasikan untuk penatalaksanaan nyeri jangka pendek (kurang
dari 5 hari) dan sangat bermanfaat dalam periode segera pasca operasi. Dosis
standar ketorolak menghasilkan analgesia setara dengan 6-12 mg morfin yang
diberikan dalam rute yang sama. Waktu onsetnya juga hampir sama dengan
morfin, tetapi ketorolak memiliki durasi kerja yang lebih lama (6-8 jam).
Ketorolak, obat yang bekerja di perifer, telah menjadi pilihan lain yang popular
dari opioid
terhadap

untuk analgesia
sistem saraf

pasca operasi karena

efek

sampingnya

pusat minimal. Secara khusus, ketorolak tidak

menyebabkan depresi napas, sedasi, atau mual dan muntah. Kenyataannya,


14

ketorolak

tidak

melewati

sawar

darah-otak

sama

sekali.

Berbagai

penelitian menunjukkan bahwa NSAID oral dan parenteral memiliki efek opioid
sparing. Obat ini paling berguna bagi pasien yang berisiko mengalami depresi
napas pasca operasi atau muntah-muntah. Efek analgesik ketorolak lebih jelas
setelah tindakan ortopedi dan ginekologi dari pada setelah bedah intra abdomen.
c. Efek Samping
Seperti NSAID lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan
memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, ketorolak dan NSAID lainnya
harus hati-hati jika diberikan untuk pasien berisiko terjadi perdarahan pasca
operasi. Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan toksisitas ginjal (misal,
nekrosis papilari) atau ulserasi saluran cerna dengan perdarahan dan perforasi.
Obat ini jangan diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal karena eliminasinya
bergantung pada ginjal. Ketorolak di kontraindikasikan bagi pasien yang alergi
aspirin atau NSAID. Pasien dengan asma memiliki insidens sensitivitas terhadap
aspirin lebih besar (sekitar10%), khususnya jika disertai dengan riwayat polip
nasal (sekitar 20%).
d. Dosis
Ketorolak

diberikan

secara loading dose intramuscular 60 mg maupun

intravena 30 mg, dianjurkan dosis pemeliharaan 15-30 mg setiap 6 jam.


Pasien usia lanjut mengeliminasi ketorolak lebih lambat dan perlu dikurangi
dosisnya.
e. Interaksi Obat
Ketorolak tidak memengaruhi konsentrasi alveolar minimum (minimum
alveolar concentration) (Mansjoer, 2010). Aspirin mengurangi ikatan protein
ketorolak, meningkatkan jumlah obat tidak terikat yang aktif. Ketorolak tidak
memengaruhi konsentrasi alveolar minimum (minimum alveolar concentration)
obat anestesi inhalasi, dan pemberiannya tidak merubah hemodinamik pasien
yang teranestesi. Obat ini mengurangi kebutuhan analgesik opioid pasca operatif
(Katzung, 2002).
f. NSAID Parenteral Lainnya
NSAID yang diberikan secara parenteral, antara lain diklofenak,
ketoprofen, dan parecoxib. Bila ketorolak dan diklofenak adalah inhibitor
siklooksigenase (COX) nonspesifik, maka parecoxib adalah inhibitor COX-2
15

selektif (Bab 18). Inhibitor COX-2 memiliki toksisitas lebih rendah, khususnya
efek samping GI yang lebih sedikit, dan berefek kecil terhadap agregasi
trombosit. Diklofenak diberikan dengan dosis 1 mg/kg secara intravena,
sementara dosis parecoxib adalah 20-40 mg secara intravena pada orang dewasa
(Katzung, 2002).
2.2.9 Klonidin
a. Mekanisme Kerja
Klonidin adalah derivat imidazolin yang dominan aktivitas agonis 2adrenergik. Obat ini sangat larut lemak dan mudah melewati sawar darah-otak dan
plasenta. Penelitian menunjukkan bahwa klonidin terikat paling banyak di medula
venterolateralrostral batang otak (jalur utama terakhir outflow simpatis) tempat
terjadinya aktivasi neuron inhibitor. Efek akhirnya adalah untuk mengurangi
aktivitas simpatis, meningkatkan

tonus parasimpatis. Selain itu, juga terbukti

bahwa sebagian besar kerja anti hipertensi, klonidin terjadi melalui ikatan pada
reseptor non adrenergik (imidazolin). Sebaliknya, efek analgesiknya, khususnya di
medula spinalis, dimediasi seluruhnya melalui reseptor adrenergic -2 pre-sinaps
dan mungkin juga pasca sinaps yang memblokade transmisi nyeri.
b. Penggunaan Klinis
Klonidin umumnya digunakan sebagai obat anti hipertensi, namun dalam
anestesi, obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural untuk penatalaksanaan
nyeri. Klonidin paling bermanfaat dalam penanganan pasien dengan nyeri
neuropati yang resisten terhadap infus epidural opioid. Ketika diberikan secara
epidural, efek analgesik klonidin adalah segmental,
tempat

disuntik

atau

diinfus.

Ketika

digunakan

terlokalisasi

di

level

untuk penatalaksanaan

hipertensi akut atau kronis, penurunan tonus simpatisnya menurunkan resistensi


vaskular sistemik, denyut jantung, dan tekanan darah. Penggunaannya diluar atau
penelitian antara lain sebagai adjuvan premedikasi,mengendalikan sindrom
withdrawal (nikotin, opioid dan alkohol) dan terapi glaukoma serta berbagai
gangguan psikiatri.
c. Dosis
Klonidin epidural biasanya dimulai dari 30 mcg/jam dicampur dengan
opioid dan/atau anestesi lokal (Bab 18). Klonidin oral langsung diabsorbsi,
memiliki onset 30-60 menit, dan durasi 6-12 jam. Pada terapi hipertensi akut, 0.1
16

mg dapat diberikan per oral setiap jam sampai tekanan darah terkontrol, atau
sampai maksimum 0.6 mg; dosis maintenance dengan 0.1-0.3 mg dua kali sehari.
Preparat transdermal klonidin dapat dapat juga digunakan sebagai terapi
pemeliharaan. Tempelan tersedia dengan dosis 0.1, 0.2, dan 0.3 mg/hari yang
diganti setiap 7 hari. Klonidin dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh
ginjal. Dosis harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi ginjal (Katzung,
2002).
c. Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, pusing, bradikardi dan mulut
kering. Yang jarang terjadi adalah bradikardi, hipotensi, mual dan diare.
Penghentian klonidin secara tiba-tiba setelah pemberian jangka panjang (> 1
bulan) dapat menimbulkan fenomena withdrawal, yang ditandai oleh hipertensi
rebound, agitasi, dan simpatis yang terlalu aktif. Dosis Klonidin epidural biasanya
dimulai dari 30 mcg/jam dicampur dengan opioid dan atau anestesilokal. Klonidin
oral langsung diabsorbsi, memiliki onset 30-60 menit, dan durasi 6-12 jam. Pada
terapi hipertensi akut, 0.1 mg dapat diberikan per oral setiap jam sampai tekanan
darah terkontrol, atau sampai maksimum 0.6 mg; dosis maintenance dengan 0.10.3 mg dua kali sehari. Klonidin dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh
ginjal. Dosis harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
d. Interaksi Obat
Klonidin menambah dan memperpanjang blokade sensorik dan motorik
anestesi lokal epidural. Efek aditif dengan obat hipnotik, anestesi umum, dan
sedatif dapat menambah sedasi, hipotensi dan bradikardi. Obat ini harus
digunakan dengan hati-hati, atau tidak digunakan sama sekali,pada pasien dengan
adrenergik bloker dan pasien dengan gangguan sistem konduksi jantung. Selain
itu, klonidin dapat menutupi gejala hipoglikemi pasien diabetic (Mansjoer, 2010).
2.2.10 Deksmedetomidin
a. Mekanisme Kerja
Deksmedetomidin adalah -2 agonis selektif parenteral bersifat sedatif.
b. Penggunaan Klinis
Deksmedetomidin menyebabkan ansiolisis sedasi bergantung-pada-dosis dan
sedikit analgesia serta menumpulkan respons simpatis terhadap pembedahan
dan stres lainnya. Yang paling penting, obat ini memiliki efek opioid-sparring
17

dan tidak menyebabkan depresi pusat napas. Obat ini digunakan untuk jangka
pendek (< 24 jam), sedasi intravena pasien yang diventilasi

secara mekanik.

Penghentian setelah pemakaian

secara potensial

jangka

lama dapat

menyebabkan fenomena withdrawal. Selain itu deksmedetomidin juga digunakan


untuk sedasi intraoperatif dan merupakan adjuvan anestesi umum.
c. Efek Samping
Efeks samping yang utama adalah bradikardi dan hipotensi. Obat ini juga
dapat menyebabkan mual.
d. Dosis
Dosis loading awal yang direkomendasikan adalah 1 mcg/kg secara intravena
selama 10 menit dengan kecepatan infus pemeliharaan 0.2-0.7 mcg/kg/jam.
Deksmedetomidin memiliki onset cepat dan waktu paruh 2 jam. Obat ini di
metabolisme dalam hepar dan metabolitnya dieliminasi dalam urin. Dosis harus
dikurangi pada pasien dengan insufisiensi ginjal atau gangguan hepar.
e. Interaksi Obat
Bila diberikan bersamaan dengan obat vasodilator, depresan jantung, dan obat
yang

mengurangi

denyut

jantung

maka

perlu

hati-hati

menggunakan

deksmedetomidin. Kebutuhan obat hipnotik / anestesi yang lebih sedikit dapat


mencegah hipotensi berlebihan (Katzung, 2002).
2.1.11. Nalokson
a. Mekanisme Kerja
Nalokson adalah antagonis kompetitif reseptor opioid.
b. Penggunaan Klinis
Nalokson membalikkan aktivitas agonis yang terjadi bersama komponen
opioid. Contoh yang jelas adalah reversal ketidaksadaran yang terjadi pada pasien
dengan over dosis opioid yang mendapat nalokson. Depresi napas perioperatif
yang terjadi akibat pemberian opioid secara berlebihan dapat diantagonis dengan
cepat (1-2 menit). Sebagian efek analgesia opiod dapat dipertahankan jika dosis
nalokson dibatasi sampai dosis minimum untuk mempertahankan ventilasi
adekuat. Dosis rendah nalokson intravena membalikkan efek samping opioid
yang diberikan secara epidural tanpa menghilangkan analgesia.

18

c. Efek Samping
Reversal mendadak analgesia opioid dapat menyebabkan stimulasi simpatis
(takikardi, hipertensi dan edema paru) yang disebabkan oleh persepsi nyeri, suatu
sindrom withdrawal pada pasien dengan ketergantungan opioid atau muntahmuntah. Besarnya efek samping ini sebanding dengan jumlah opioid yang
direversi dan kecepatan reverse.
d. Dosis
Pada pasien pasca operasi yang mengalami depresi napas dari pemberian
opioid berlebihan, nalokson intravena (vial 0,4 mg/mL diencerkan menjadi 0,04
mg/mL) dapat dititrasi dengan penambahan 0,5 1 g/kg setiap 3 5 menit
sampai ventilasi adekuat dan kesadaran tercapai. Dosis intravena lebih dari 0.2
mg jarang diperlukan. Durasi kerja pendek nalokson intravena (30 45 menit)
adalah akibat redistribusi cepat dari sistem saraf pusat. Efek yang lebih panjang
hampir selalu dibutuhkan untuk mencegah kembalinya depresi napas dari opioid
kerja jangka lebih lama. Oleh karena itu, dianjurkan pemberian nalokson
intramuskular (dua kali dari dosis intravena) atau infus kontinu (4 5 g/kg/jam).
Depresi napas neonatus akibat pemberian opioid maternal diatasi dengan 10 /kg,
diulang setiap 2 menit jika perlu. Neonatus dari ibu dengan ketergantunganopioid akan menunjukkan gejala withdrawal jika diberikan nalokson. Terapi
utama depresi napas adalah selalu menjaga jalan napas dan ventilasi buatan
(Katzung, 2002).
e. Interaksi Obat
Nalokson dapat mengantagonis efek anti hipertensi klonidin. Antagonis opioid
lain seperti nalmefen (revex) dan naltrekson (revia) juga merupakan antagonis
opioid murni. Nalmefen digunakan untuk kecurigaan over dosis opioid dan
reversal komplit atau parsial perioperatif, depresi napas yang diinduksi oleh
opioid. Pemberiannya dapat secara intravena, intramuscular atau subkutan. Untuk
reversi depresi napas pasca operatif yang diinduksi oleh opioid, nalmefen
diberikan secara intravena dengan penambahan 0.25 g/kg setiap 2-5 menit
sampai total 1 g/kg. Untuk kecurigaan over dosis opioid, dosis nalmefen yang
dianjurkan adalah 0.5 mg/70 kg, sampai maksimum 1.5 mg/70 kg. Naltrekson
diberikan per oral untuk terapi pemeliharaan penderita ketergantungan opioid dan
penyalah guna etanol (Mycek, 2011).

19

f. Antagonis Opioid Lain


Nalmefen (Revex) dan naltrekson (ReVia) juga merupakan antagonis opioid
murni dengan afinitas tinggi terhadap reseptor . Nalmefen digunakan untuk
kecurigaan overdosis opioid dan reversal komplit atau parsial perioperatif, depresi
napas yang diinduksi oleh opioid. Pemberiannya dapat secara intravena,
intramuskular, atau subkutan. Untuk reversi depresi napas pasca operatif yang
diinduksi oleh opioid, nalmefen diberikan secara intravena dengan penambahan
0.25 g/kg setiap 2-5 menit sampai total 1 g/kg. Untuk kecurigaan overdosis
opioid, dosis nalmefen yang dianjurkan adalah 0.5 mg/70 kg, sampai maksimum
1.5 mg/70 kg. Naltrekson diberikan per oral untuk terapi pemeliharaan penderita
ketergantungan opioid dan penyalahguna etanol. Untuk penyalahguna etanol, obat
tersebut memblok sebagian efek menyenangkan dari alkohol pada beberapa
individu (Katzung, 2002).
2.1.12. Flumazenil
a. Mekanisme Kerja
Flumazenil suatu imidazo benzodiazepin, adalah antagonis kompetitif dan
spesifik dari benzodiazepin pada reseptor benzodiazepine.
b. Penggunaan Klinis
Flumazenil bermanfaat untuk reversal sedasi benzodiazepin dan terapi
overdosis benzodiazepin. Walaupun obat ini cepat mereversi efek hipnotik
benzodiazepin (onset < 1 menit), namun amnesia lebih sedikit dihambat.
Mungkin masih ada sisa depresi napas walaupun pasien tampak sadar baik.
Secara spesifik, volume tidal dan ventilasi semenit kembali ke normal, namun
slope kurva respons karbon dioksida tetap terdepresi. Pasien usia lanjut
khususnya lebih sulit direversi sepenuhnya dan lebih rentan tersedasi ulang
(Katzung, 2002).
c. Efek Samping & Interaksi Obat
Pemberian flumazenil secara cepat dapat menyebabkan reaksi ansietas
pada pasien yang sebelumnya tersedasi dan gejala withdrawal pada pasien dengan
terapi benzodiazepin jangka-panjang. Reversal flumazenil disertai dengan
peningkatan tekanan intrakranial pada pasien cedera kepala dan komplians
intrakranial yang abnormal. Flumazenil dapat menginduksi aktivitas kejang jika
benzodiazepin telah diberikan sebagai antionvulsan atau bersamaan dengan
20

overdosis antidepresan trisiklik. Reversal flumazenil setelah teknik anestesi


midazolam-ketamin dapat meningkatkan insidens disforia dan halusinasi saat
bangun. Mual dan muntah sering terjadi setelah flumazenil diberikan. Efek reversal
flumazenil adalah berdasarkan afinitasnya yang kuat pada reseptor benzodiazepin,
suatu

efek

farmakodinamik

(bukan

farmakokinetik).

Flumazenil

tidak

memengaruhi konsentrasi alveolar minimum anestesi inhalasi (Katzung, 2002).


d. Dosis
Titrasi
intravena

bertahap

dengan

flumazenil

biasanya

dilakukan

melalui

jalur

0.2 mg / menit sampai mencapai derajat reversal yang

diinginkan. Dosis total yang umum adalah 0.6 1.0 mg. Dosis ulangan mungkin
diperlukan setelah 1-2 jam untuk mencegah sedasi berulang (Handoko, 2009).
Infus kontinu (0.5 mg/jam) dapat bermanfaat pada kasus overdosis benzodiazepin
yang bekerja lebih panjang. Gagal hati memperpanjang klirens flumazenil dan
benzodiazepine (Katzung, 2002).
2.1.13. Inhibitor Pompa Proton
a. Mekanisme Kerja
Golongan ini, termasuk omeprazol (Prilosec), lansoprazol (Prevacid),
rabeprazol (Aciphex), dan pantoprazol (Protonix), mengikat pompa proton sel
parietal dalam mukosa lambung dan menghambat sekresi ion hydrogen
(Katzung, 2002).
b. Penggunaan Klinis
Inhibitor pompa proton diindikasikan untuk terapi ulkus duodenal, GERD,
dan sindrom Zollinger-Ellison. Obat ini dapat menyembuhkan ulkus peptik dan
GERD erosif lebih cepat daripada bloker reseptor-H 2. Penggunaan inhibitor
pompa proton untuk profilaksis aspirasi sebelum anestesi umum masih terbatas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan omeprazol,
bloker reseptor-H2 lebih dapat diandalkan untuk meningkatkan pH lambung dan
mengurangi volume lambung secara konsisten; lanzoprazol mungkin sama
efektifnya dengan bloker reseptor-H2. Dua dosis lansoprazol (malam dan pagi
sebelum operasi) lebih efektif daripada profilaksis dosis-tunggal. Data untuk
penggunaan obat intravena yang lebih baru (pantoprazol) untuk profilaksis
aspirasi masih terbatas (Katzung, 2002).

21

c. Efek Samping
Inhibitor pompa proton umumnya dapat ditoleransi dengan baik karena
efek sampingnya sedikit. Efek samping yang tak diinginkan terutama GI (mual,
nyeri abdomen, konstipasi, dan diare). Mialgia, anafilaksis, angioedema, dan
reaksi dermatologi berat, pernah dilaporkan. Terapi jangka-panjang juga disertai
hiperplasia sel mirip-enterokromafin gaster (Katzung, 2002).
d. Dosis
Dosis oral yang disarankan untuk orang dewasa adalah omeprazol 20 mg,
lansoprazol 15 mg, rabeprazol 20 mg, dan pantoprazol 40 mg. Di Amerika
Serikat, hanya pantoprazol yang tersedia untuk pemberian intravena. Pemberian
ulang harus dikurangi pada pasien dengan gangguan hepar berat, karena obatobat ini terutama dieliminasi oleh hepar (Katzung, 2002).
e. Interaksi Obat
Omeprazol mempengaruhi enzim P-450 hepar dan mengurangi klirens
diazepam, warfarin, dan fenitoin. Obat lain tidak menunjukkan interaksi obat
yang bermakna (Katzung, 2002).

22

BAB III
KESIMPULAN
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An tidak, tanpa dan aesthesos,
persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifitas dan
potensi obat. Adapun macam macam adjuvant anestesi yang paling sering digunakan yaitu,
difenhidramin,

bloker

H2,

metoklopramid,

dexmedetomidin, nalokson dan flumazenil.

23

ondansentron,

ketorolak,

klonidin,

DAFTAR PUSTAKA
Dobson, M. B. dkk. 2006. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC. Jakarta: Widya Medika
2011
Ganiswarna

SG,

Farmakologi

Setiabudy
dan

R,

Terapi,

Suyatna
Edisi

FD,

Purwantyastuti,

4. Jakarta: Bagian

Nafrialdi, editor.

Farmakologi

Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia 2010


Guyton, A.C., dan Hall, J.E. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta: EGC
Katzung, B. G. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Penerjemah dan Editor: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Erlangga. Edisi VIII. Jakarta: Penerbit
Salemba Medika
Handoko, Tony. 2009. Anestetik Umum. Dalam : Farmakologi dan Terapi FKUI, edisike- 4.
Jakarta : Gaya baru.
Latief, Said. Analgesia Regional. Dalam: Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi II. Jakarta:
Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. 2009
Mansjoer A, Suprohaita, dkk. 2010. Ilmu Anestesi. dalam: Kapita Selekta Kedokteran FKUI.
Jilid 2. edisi ketiga. Jakarta : Media Aesculapius
Mycek MJ, Harvey RA, Champe PC. Farmakologi Ulasan Bergambar, Edisi 2.

24

Anda mungkin juga menyukai

  • Lapkas Akut GEA
    Lapkas Akut GEA
    Dokumen8 halaman
    Lapkas Akut GEA
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Diabetes dan Hipertensi
    Diabetes dan Hipertensi
    Dokumen9 halaman
    Diabetes dan Hipertensi
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Eklapmsia
    Eklapmsia
    Dokumen20 halaman
    Eklapmsia
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Diabetes dan Hipertensi
    Diabetes dan Hipertensi
    Dokumen9 halaman
    Diabetes dan Hipertensi
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • LAPORAN DIARE AKUT
    LAPORAN DIARE AKUT
    Dokumen16 halaman
    LAPORAN DIARE AKUT
    Rifqi Akbar
    Belum ada peringkat
  • Laringitis TB
    Laringitis TB
    Dokumen39 halaman
    Laringitis TB
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Laporan Kasus Kronik 2
    Laporan Kasus Kronik 2
    Dokumen13 halaman
    Laporan Kasus Kronik 2
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Bahaya Merokok
    Bahaya Merokok
    Dokumen24 halaman
    Bahaya Merokok
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Manajemen Nyeri
    Manajemen Nyeri
    Dokumen49 halaman
    Manajemen Nyeri
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Tugas I
    Tugas I
    Dokumen3 halaman
    Tugas I
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Topikal Antibakteri
    Topikal Antibakteri
    Dokumen13 halaman
    Topikal Antibakteri
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • SSP
    SSP
    Dokumen69 halaman
    SSP
    dianaindahlestari
    Belum ada peringkat
  • PKAK Pendahuluan
    PKAK Pendahuluan
    Dokumen37 halaman
    PKAK Pendahuluan
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Referat Nutrisi Parenteal
    Referat Nutrisi Parenteal
    Dokumen21 halaman
    Referat Nutrisi Parenteal
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Morbus Hensen
    Morbus Hensen
    Dokumen19 halaman
    Morbus Hensen
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Sol PP
    Sol PP
    Dokumen32 halaman
    Sol PP
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Soal Kulit
    Soal Kulit
    Dokumen97 halaman
    Soal Kulit
    mirellagresyalli
    100% (1)
  • TB Paru
    TB Paru
    Dokumen25 halaman
    TB Paru
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Dermatitis Penyuluhan
    Dermatitis Penyuluhan
    Dokumen12 halaman
    Dermatitis Penyuluhan
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Bells Palsy
    Bells Palsy
    Dokumen16 halaman
    Bells Palsy
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • SMF_ILMU_PENYAKIT_SARAF
    SMF_ILMU_PENYAKIT_SARAF
    Dokumen7 halaman
    SMF_ILMU_PENYAKIT_SARAF
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen26 halaman
    Ulkus Kornea
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • OPTIMASI KUSTA
    OPTIMASI KUSTA
    Dokumen47 halaman
    OPTIMASI KUSTA
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Bells Palsy
    Bells Palsy
    Dokumen16 halaman
    Bells Palsy
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Ulkus Kornea
    Ulkus Kornea
    Dokumen27 halaman
    Ulkus Kornea
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Lapkas Mata Katarak
    Lapkas Mata Katarak
    Dokumen24 halaman
    Lapkas Mata Katarak
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Lepra
    Lepra
    Dokumen20 halaman
    Lepra
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Skizofrenia
    Skizofrenia
    Dokumen43 halaman
    Skizofrenia
    Bellia Marsya
    Belum ada peringkat
  • Chapter II
    Chapter II
    Dokumen18 halaman
    Chapter II
    Amri Malik Fatahilah
    Belum ada peringkat