PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi, tuntutan masyarakat akan
pelayanan kesehatan terus meningkat. Perkembangan tersebut, selain untuk menurunkan
angka morbiditas dan mortalitas, juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan yang
mengacu pada masalah efisiensi, keamanan dan kenyamanan pasien.
Nyeri adalah suatu pengalaman yang tidak menyenangkan bagi pasien pasca
operasi. Oleh karena itu seseorang anestesiologi harus dapat menghilangkan nyeri selama
operasi ataupun setelah operasi dalam rangka memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan.
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifitas dan
potensi obat. Adapun macam macam adjuvant anestesi yang paling sering digunakan
yaitu, difenhidramin, bloker-H2, metoklopramid, ondansetron, ketorolak, klonidin,
dexmedetomidin, nalokson dan flumazenil.
1.2. Tujuan dan Manfaat
1.2.1
Tujuan
Untuk mengetahui tentang adjuvan anestesi,baik dalam definisi, tujuan serta
BAB II
1
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anestesi
2.1.1 Definisi
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An tidak, tanpa dan
aesthesos, persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu
tindakan menghilangkan rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai
prosedur lainnya yang menimbulkan rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia
digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes pada tahun 1948 yang
menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena anestesi
adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan
(Latief, 2009).
2.1.2 Sejarah
Dahulu sebelum anestesi dikenal, operasi harus dijalankan secepat mungkin
untuk meminimalkan rasa sakit (Latief, 2009). Rekor dunia untuk amputasi kaki
dicapai dalam waktu 15 detik yang dilakukan oleh Dominique Larrey, ketua tim
dokter pribadi Napoleon. Tahun 1800,Davy seorang ahli kimia yang sangat terkenal
telah mempublikasikan bahwa zat kimia tertentu seperti oksida nitrogen dapat
mempunyai efek bius. Walaupun dokter yang pertama kali menggunakan anestesi
dalam praktiknya adalah Crawford Long, di Amerika Serikat, karena ia tidak pernah
mempublikasikan, maka dalam sejarah Amerika Serikat menyebutkan bahwa
penemu anestesi atau bius adalah William Morton, karena Morton secara
demonstratif telah menunjukkan cabut gigi tanpa rasa sakit di depan umum pada
tahun 1846 (Morgan,2006).
Pada tahun 1848, di Inggris tercatat J Y Simpson dan John Snow yang banyak
mengembangkan anestesi. Eter waktu itu banyak digunakan untuk membantu
persalinan di Inggris. Sambil berpraktik sebagai dokter, Simpson dan asistennya
banyak bereksperimen dengan bahanbahan kimia untuk mencari anestesi yang
efektif. Kadang mereka bereksperimen dengan diri mereka sendiri. Pada waktu itu,
di dunia terutama di Inggris, banyak orang menganggap rasa sakit adalah bagian
kodrat dari Tuhan dan menggunakan anestesi berarti melawan kodrat itu. Namun,
oposisi penggunaan anestesi berakhir setelah Ratu Victoria menggunakannya saat
2
melahirkan pangeran Leopold tahun 1853. Anestesi terhadap Ratu Victoria tersebut
dilakukan oleh John Snow. Tindakan Ratu Victoria tersebut ternyata bisa mengubah
pandangan umum tentang anestesi. Sehingga penggunaan anestesi pada prosedur
bedah semakin lama semakin di perhitungkan (Katzung, 2002).
2.1.3 Jenis Anestesi
Anestesi dibagi menjadi dua kelompok, yaitu anestesi lokal dan anestesi
umum. Anestesi lokal yaitu, hilang rasa sakit tanpa disertai dengan kehilangan
kesadaran. Anestesi umum yaitu, hilang rasa sakit diserti hilangnya kesadaran
(Latief, 2009).
2.2. Adjuvan Anestesi
2.2.1 Definisi
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan tambahan yang dapat meningkatkan
efektifitas dan potensi obat (Handoko, 2009).
2.2.2 Konsep adjuvan anestesi
Konsep utama pada adjuvan anestesi yaitu, (Handoko, 2009) :
1. Difenhidramin adalah salah satu contoh dari beragam kelompok obat yang
memblok reseptor H-1 secara kompetitif. Kebanyakan obat dengan sifat-sifat
antagonis reseptor H-1 memiliki aktivitas anti muskarinik (misal, mulut kering),
atau aktivitas anti serotonergik (antiemetik).
2. Antagonis reseptor H-2 mengurangi risiko pneumonia aspirasi perioperatif dengan
mengurangi volume cairan lambung dan meningkatkan pH isi lambung.
3. Metoklopramid meningkatkan tonus sfingter esofagus bawah, mempercepat
pengosongan lambung, dan mengurangi volume cairan lambung dengan
menambah efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus.
4. Ondansetron memblok reseptor 5-HT3 serotonin secara selektif, sedikit berefek
terhadap reseptor dopamin. Reseptor 5-HT3, yang berlokasi di perifer dan sentral,
berperan penting dalam inisiasi refleks muntah.
5. Ketorolak adalah obat anti inflamasi non steroid yang diberikan secara parenteral
yang menghasilkan analgesia dengan menghambat sintesis prostaglandin.
6. Klonidin umumnya digunakan sebagai obat anti hipertensi namun dalam anestesi,
obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural pada pengelolaan nyeri.
Gambar 2.1. Sekresi asam hidroklorida normalnya dimediasi oleh pelepasan histamin
yang diinduksi oleh gastrin dari sel mirip-enterokromafin di lambung. Ingat bahwa
sekresi asam oleh sel parietal lambung juga dapat meningkat secara indirek oleh
asetilkolin melalui stimulasi reseptor M3 dan secara direk oleh gastrin melalui
peningkatan konsentrasi intrasel Ca2+. Prostaglandin E2 dapat menghambat sekresi
asam dengan menurunkan aktifitas cAMP (Guyton, 2008).
Kardiovaskular
Histamin menurunkan tekanan darah arteri namun meningkatkan denyut
Respirasi
Histamin menyebabkan konstriksi otot polos bronkiol melalui reseptor-H 1.
Stimulasi
reseptor-H2
dapat
menghasilkan
bronkodilatasi
ringan.
Histamin
Gastrointestinal
Aktivasi reseptor-H2 dalam sel parietal meningkatkan sekresi asam lambung.
Dermal
Respons kulit klasik wheal-dan-flare terhadap histamin adalah hasil dari
Imunologis
Histamin adalah mediator utama reaksi hipersensitifitas tipe 1 (lihat Bab 46).
supresi
batuk;
dan
diskinesia
piramidal yang diinduksi oleh obat). Beberapa aksinya dapat diramalkan dari
pemahaman fisiologi histamin,sementara lainnya adalah hasil dari efek anti
muskarinik dan anti serotoninergik obat. Walaupun bloker-H1 mencegah respons
bronkokonstriksi terhadap histamin, namun obat ini tidak efektif dalam pengobatan
asma bronkial, yang terutama dimediasi oleh mediator lain. Selain itu, bloker-H1
tidak akan mencegah efek hipotensi histamin sepenuhnya kecuali jika bloker-H2
diberikan secara bersamaan. Oleh karena itu, kegunaan bloker-H1 saat reaksi
anafilaktik akut agak terbatas, epinefrin adalah terapi pilihannya (Ganiswarna,
2010).
Efek antiemetik dan hipnotik ringan dari obat antihistamin (terutama
difenhidramin, prometazin
dan
hidroksizin)
adalah
alasannya
digunakan
yang
bermakna, namun pusat napas biasanya tidak terpengaruh bila tidak ditambah
obat sedasi lainnya. Prometazin dan hidroksizin sering dikombinasi dengan
opioid untuk menambah analgesia. Antihistamin lebih baru (generasi-kedua)
cenderung menimbulkan sedikit atau tanpa sedasi karena keterbatasannya melewati
sawar darah-otak. Kelompok obat ini hanya tersedia dalam preparat oral yang
terutama diberikan untuk rinitis alergi dan urtikaria. Yang termasuk kelompok ini
adalah loratadin, feksofenadin, dan setirizin. Banyak
preparat
untuk
rinitis
Rute
PO, IM, IV
PO, IM, IV
PO
IM, IV
Dosis (mg)
25-100
50-100
2-12
5-20
Durasi (jam)
3-6
3-6
4-8
Sedasi
+++
+++
++
Antiemetik
++
++
0
Vistaril)
Prometazin (Phenergan)
Setirizin (Zyrtec)
Siproheptadin (Periactin)
Dimenhidrat (Dramamin)
Feksofenadin (Allegra)
Meklizin (Antivert)
Loratadin (Claritin)
PO, IM
PO, IM, IV
PO
PO
PO
PO
PO
PO
25-100
12.5-50
5-10
4
50
30-60
12.5-50
10
4-12
4-12
24
6-8
6-12
12
8-24
24
+++
+++
+
++
++
0
+
0
++
+++
dengan
demikian
mengurangi
produksi
asam
lambung
dan
Ulkus
duodenal dan gastrik biasanya disertai dengan infeksi Helicobacter pylori, yang
juga diterapi dengan kombinasi bismuth, tetrasiklin, dan metronidazol. Ranitidin
bismuth sitrat dengan klaritromisin juga dapat digunakan untuk ulkus peptik yang
disertai dengan infeksi H.pylori. Dengan menurunnya volume dan kandungan ion
hidrogen cairan lambung, maka bloker- H2 juga mengurangi risiko pneumonia
aspirasi perioperatif. Obat-obat ini hanya memengaruhi pH sekresi lambung yang
keluar sesudah obat diberikan. Kombinasi antagonis reseptor H1 dan H2
menghasilkan sedikit proteksi terhadap reaksi alergi yang diinduksi oleh obat
(misal, radiokontras intravena, injeksi kimopapain untuk penyakit diskus lumbal,
protamin). Walaupun terapi awal dengan obat ini tidak mengurangi pelepasan
histamin, namun obat ini dapat mengurangi hipotensi yang akan terjadi kemudian
(Katzung, 2002).
c. Efek Samping
sistem
sitokrom
P-450
(Ganiswarna,
2010).
2.2.5 Antasid
a. Mekanisme Kerja
Antasid menetralkan keasaman cairan lambung menyediakan suatu basa
(biasanya hidroksida, karbonat, bikarbonat, sitrat) yang bereaksi dengan ion
hidrogen untuk membentuk air.
b. Penggunaan Klinis
Penggunaan umum antasid, antara lain untuk terapi ulkus gastrik dan duodenal
dan
GERD. Dalam
anestesiologi,
antasid
memberi
meningkatkan
proteksi
pH
isi
dari
efek
lambung.
Tidak seperti antagonis reseptor-H2, antasid memberi efek segera. Sayangnya, obat
ini meningkatkan volume intra gastrik.
c. Dosis
Dosis umum untuk orang dewasa 0.3 mL (sodium sitrat dan asam sitrat) atau
Polycitra (sodium sitrat, potasium sitrat dan asam sitrat) adalah 15-30 mL per oral,
15-30 menit sebelum induksi.
d. Interaksi Obat
Antasid mengubah absorpsi dan eliminasi berbagai obat, karena obat ini
mengubah pH lambung dan urin (Ganiswarna, 2010).
2.2.6 Metoklopramid
a. Mekanisme Kerja
Metoklopramid bekerja di perifer sebagai kolinomimetik (yaitu, fasilitasi
transmisi asetilkolin pada reseptor muskarinik selektif) dan di sentral sebagai
antagonis dopamin. Kerjanya sebagai obat prokinetik di saluran gastrointestinal (GI)
atas, tidak bergantung pada persarafan vagal tetapi dihilangkan oleh obat
antikolinergik. Obat ini tidak merangsang sekresi (Katzung, 2002).
b. Penggunaan Klinis
Metoklopramid
mempercepat
meningkatkan
tonus
sfingter
esofagus
bawah,
dengan cara memperkuat efek stimulasi asetilkolin pada otot polos usus. Sifat ini
berperan dalam efikasinya untuk terapi pasien dengan gastroparesis diabetik dan
GERD, dan juga profilaksis untuk pasien berisiko pneumonia aspirasi.
Metoklopramid tidak memengaruhi sekresi asam lambung atau pH cairan lambung.
Metoklopramid menghasilkan efek antiemetik dengan blokade reseptor dopamin di
10
meningkatkan kecenderungan
11
tujuh
tipe
reseptor,
sebagian
besar
dengan
beberapa
subtipe. Reseptor 5-HT3 memediasi muntah dan ditemukan di saluran cerna dan
otak (area postrema). Reseptor 5-HT2A berperan untuk kontraksi otot polos dan
agregasi trombosit, reseptor 5-HT4 pada saluran cerna memediasi sekresi dan
persitaltik, dan reseptor 5-HT6 dan 5-HT7 terutama terletak di sistem limbik dan
berperan dalam depresi. Banyak obat antidepresan mengikat reseptor 5-HT6.
Semua reseptor, kecuali reseptor 5-HT3, berpasangan dengan protein G dan
memengaruhi salah satu dari adenilil siklase atau fosfolipase C; reseptor 5-HT3
adalah saluran ion (Guyton, 2008).
Kardiovaskular
Selain di otot jantung dan rangka, serotonin adalah vasokonstriktor arteriol
dan vena yang kuat. Efek vasodilatasinya di jantung sangat bergantung pada
endotel. Ketika endotel miokardium rusak setelah cedera, serotonin menyebabkan
vasokonstriksi. Pembuluh darah paru dan ginjal sangat sensitif terhadap efek
vasokonstriksi arteri serotonin. Setelah pelepasan serotonin, kontraktilitas dan
denyut jantung dapat meningkat secara sesaat; biasanya diikuti refleks bradikardi.
Vasodilatasi otot rangka pada akhirnya dapat menyebabkan hipotensi (Katzung,
2002).
Respirasi
Kontraksi otot polos meningkatkan resistensi jalan napas. Bronkokonstriksi
Gastrointestinal
12
Kontraksi otot polos secara direk (melalui reseptor 5-HT2) dan pelepasan
asetilkolin yang diinduksi oleh serotonin di pleksus mienterik (melalui reseptor 5HT3) sangat meningkatkan peristalsis. Sekresi tidak dipengaruhi (Katzung, 2002).
Hematologi
sentral
daerah postrema dan nucleus traktus solitarius), berperan penting untuk terjadinya
refleks muntah. Obat-obat ini tidak memengaruhi motilitas saluran cerna atau
tonus sfingter esofagus bawah, tidak seperti metoklopramid.
c. Penggunaan Klinis
Semua obat ini terbukti sebagai antiemetik yang efektif untuk masa pasca
operasi. Dalam beberapa penelitian, antagonis reseptor 5-HT3, sebagai obat
tunggal, adalah profilaksi antiemetik yang lebih baik dibandingkan dengan
metoklopramid atau droperidol tunggal. Penelitian lain menemukan bahwa
metoklopramid bersama dengan droperidol dapat menjadi profilaksis yang
sebanding dengan ondansetron tunggal. Beberapa klinisi percaya bahwa karena
harganya yang mahal, antagonis reseptor 5-HT3
samping yang paling sering dilaporkan adalah sakit kepala. Ketiga obat ini dapat
memperpanjang interval QT pada elektrokardiogram. Efek ini lebih sering terjadi
dengan dolasetron, walaupun tidak disertai dengan gangguan aritmia lainnya.
Walaupun demikian, obat-obat ini, khususnya dolasetron, harus diberikan dengan
hati-hati pada pasien yang menggunakan obat antiaritmia atau yang memiliki
interval QT memanjang (Katzung, 2002).
e. Dosis
Dosis ondansetron intravena untuk mencegah mual dan muntah perioperatif
pada orang dewasa adalah 4 mg, baik sebelum induksi anestesi atau pada akhir
operasi. Mual dan muntah pascaoperasi juga dapat diterapi dengan dosis 4 mg,
diulang sesuai kebutuhan tiap 4-8 jam. Ondansetron mengalami metabolisme
ekstensif dalam hepar melalui hidroksilasi dan konjugasi melalui enzim sitokrom
P-450. Gagal hati mengganggu klirens beberapa kali lipat, dan dosisnya perlu
dikurangi. Dosis intravena yang dianjurkan adalah 12.5 mg untuk dolasetron dan 1
mg untuk granisetron. Semua obat ini tersedia dalam bentuk oral untuk profilaksis
mual dan muntah pasca operasi. Dosis oral adalah sama dengan preparat parenteral
untuk ondansetron dan granisetron, sedangkan 100mg untuk dolasetron (Katzung,
2002).
2.2.8 Ketorolak
a. Mekanisme Kerja
Ketorolak adalah obat anti inflamasi non-steroid (non-steroidal anti
inflammatory drug atau NSAID) parenteral yang menghasilkan analgesia dengan
menghambat sintesis prostaglandin.
b. Penggunaan Klinis
Ketorolak di indikasikan untuk penatalaksanaan nyeri jangka pendek (kurang
dari 5 hari) dan sangat bermanfaat dalam periode segera pasca operasi. Dosis
standar ketorolak menghasilkan analgesia setara dengan 6-12 mg morfin yang
diberikan dalam rute yang sama. Waktu onsetnya juga hampir sama dengan
morfin, tetapi ketorolak memiliki durasi kerja yang lebih lama (6-8 jam).
Ketorolak, obat yang bekerja di perifer, telah menjadi pilihan lain yang popular
dari opioid
terhadap
untuk analgesia
sistem saraf
efek
sampingnya
ketorolak
tidak
melewati
sawar
darah-otak
sama
sekali.
Berbagai
penelitian menunjukkan bahwa NSAID oral dan parenteral memiliki efek opioid
sparing. Obat ini paling berguna bagi pasien yang berisiko mengalami depresi
napas pasca operasi atau muntah-muntah. Efek analgesik ketorolak lebih jelas
setelah tindakan ortopedi dan ginekologi dari pada setelah bedah intra abdomen.
c. Efek Samping
Seperti NSAID lainnya, ketorolak menghambat agregasi trombosit dan
memperpanjang waktu perdarahan. Oleh karena itu, ketorolak dan NSAID lainnya
harus hati-hati jika diberikan untuk pasien berisiko terjadi perdarahan pasca
operasi. Pemberian jangka panjang dapat menyebabkan toksisitas ginjal (misal,
nekrosis papilari) atau ulserasi saluran cerna dengan perdarahan dan perforasi.
Obat ini jangan diberikan kepada pasien dengan gagal ginjal karena eliminasinya
bergantung pada ginjal. Ketorolak di kontraindikasikan bagi pasien yang alergi
aspirin atau NSAID. Pasien dengan asma memiliki insidens sensitivitas terhadap
aspirin lebih besar (sekitar10%), khususnya jika disertai dengan riwayat polip
nasal (sekitar 20%).
d. Dosis
Ketorolak
diberikan
selektif (Bab 18). Inhibitor COX-2 memiliki toksisitas lebih rendah, khususnya
efek samping GI yang lebih sedikit, dan berefek kecil terhadap agregasi
trombosit. Diklofenak diberikan dengan dosis 1 mg/kg secara intravena,
sementara dosis parecoxib adalah 20-40 mg secara intravena pada orang dewasa
(Katzung, 2002).
2.2.9 Klonidin
a. Mekanisme Kerja
Klonidin adalah derivat imidazolin yang dominan aktivitas agonis 2adrenergik. Obat ini sangat larut lemak dan mudah melewati sawar darah-otak dan
plasenta. Penelitian menunjukkan bahwa klonidin terikat paling banyak di medula
venterolateralrostral batang otak (jalur utama terakhir outflow simpatis) tempat
terjadinya aktivasi neuron inhibitor. Efek akhirnya adalah untuk mengurangi
aktivitas simpatis, meningkatkan
bahwa sebagian besar kerja anti hipertensi, klonidin terjadi melalui ikatan pada
reseptor non adrenergik (imidazolin). Sebaliknya, efek analgesiknya, khususnya di
medula spinalis, dimediasi seluruhnya melalui reseptor adrenergic -2 pre-sinaps
dan mungkin juga pasca sinaps yang memblokade transmisi nyeri.
b. Penggunaan Klinis
Klonidin umumnya digunakan sebagai obat anti hipertensi, namun dalam
anestesi, obat ini digunakan sebagai adjuvan infus epidural untuk penatalaksanaan
nyeri. Klonidin paling bermanfaat dalam penanganan pasien dengan nyeri
neuropati yang resisten terhadap infus epidural opioid. Ketika diberikan secara
epidural, efek analgesik klonidin adalah segmental,
tempat
disuntik
atau
diinfus.
Ketika
digunakan
terlokalisasi
di
level
untuk penatalaksanaan
mg dapat diberikan per oral setiap jam sampai tekanan darah terkontrol, atau
sampai maksimum 0.6 mg; dosis maintenance dengan 0.1-0.3 mg dua kali sehari.
Preparat transdermal klonidin dapat dapat juga digunakan sebagai terapi
pemeliharaan. Tempelan tersedia dengan dosis 0.1, 0.2, dan 0.3 mg/hari yang
diganti setiap 7 hari. Klonidin dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh
ginjal. Dosis harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi ginjal (Katzung,
2002).
c. Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi adalah sedasi, pusing, bradikardi dan mulut
kering. Yang jarang terjadi adalah bradikardi, hipotensi, mual dan diare.
Penghentian klonidin secara tiba-tiba setelah pemberian jangka panjang (> 1
bulan) dapat menimbulkan fenomena withdrawal, yang ditandai oleh hipertensi
rebound, agitasi, dan simpatis yang terlalu aktif. Dosis Klonidin epidural biasanya
dimulai dari 30 mcg/jam dicampur dengan opioid dan atau anestesilokal. Klonidin
oral langsung diabsorbsi, memiliki onset 30-60 menit, dan durasi 6-12 jam. Pada
terapi hipertensi akut, 0.1 mg dapat diberikan per oral setiap jam sampai tekanan
darah terkontrol, atau sampai maksimum 0.6 mg; dosis maintenance dengan 0.10.3 mg dua kali sehari. Klonidin dimetabolisme oleh hepar dan diekskresi oleh
ginjal. Dosis harus dikurangi untuk pasien dengan insufisiensi ginjal.
d. Interaksi Obat
Klonidin menambah dan memperpanjang blokade sensorik dan motorik
anestesi lokal epidural. Efek aditif dengan obat hipnotik, anestesi umum, dan
sedatif dapat menambah sedasi, hipotensi dan bradikardi. Obat ini harus
digunakan dengan hati-hati, atau tidak digunakan sama sekali,pada pasien dengan
adrenergik bloker dan pasien dengan gangguan sistem konduksi jantung. Selain
itu, klonidin dapat menutupi gejala hipoglikemi pasien diabetic (Mansjoer, 2010).
2.2.10 Deksmedetomidin
a. Mekanisme Kerja
Deksmedetomidin adalah -2 agonis selektif parenteral bersifat sedatif.
b. Penggunaan Klinis
Deksmedetomidin menyebabkan ansiolisis sedasi bergantung-pada-dosis dan
sedikit analgesia serta menumpulkan respons simpatis terhadap pembedahan
dan stres lainnya. Yang paling penting, obat ini memiliki efek opioid-sparring
17
dan tidak menyebabkan depresi pusat napas. Obat ini digunakan untuk jangka
pendek (< 24 jam), sedasi intravena pasien yang diventilasi
secara mekanik.
secara potensial
jangka
lama dapat
mengurangi
denyut
jantung
maka
perlu
hati-hati
menggunakan
18
c. Efek Samping
Reversal mendadak analgesia opioid dapat menyebabkan stimulasi simpatis
(takikardi, hipertensi dan edema paru) yang disebabkan oleh persepsi nyeri, suatu
sindrom withdrawal pada pasien dengan ketergantungan opioid atau muntahmuntah. Besarnya efek samping ini sebanding dengan jumlah opioid yang
direversi dan kecepatan reverse.
d. Dosis
Pada pasien pasca operasi yang mengalami depresi napas dari pemberian
opioid berlebihan, nalokson intravena (vial 0,4 mg/mL diencerkan menjadi 0,04
mg/mL) dapat dititrasi dengan penambahan 0,5 1 g/kg setiap 3 5 menit
sampai ventilasi adekuat dan kesadaran tercapai. Dosis intravena lebih dari 0.2
mg jarang diperlukan. Durasi kerja pendek nalokson intravena (30 45 menit)
adalah akibat redistribusi cepat dari sistem saraf pusat. Efek yang lebih panjang
hampir selalu dibutuhkan untuk mencegah kembalinya depresi napas dari opioid
kerja jangka lebih lama. Oleh karena itu, dianjurkan pemberian nalokson
intramuskular (dua kali dari dosis intravena) atau infus kontinu (4 5 g/kg/jam).
Depresi napas neonatus akibat pemberian opioid maternal diatasi dengan 10 /kg,
diulang setiap 2 menit jika perlu. Neonatus dari ibu dengan ketergantunganopioid akan menunjukkan gejala withdrawal jika diberikan nalokson. Terapi
utama depresi napas adalah selalu menjaga jalan napas dan ventilasi buatan
(Katzung, 2002).
e. Interaksi Obat
Nalokson dapat mengantagonis efek anti hipertensi klonidin. Antagonis opioid
lain seperti nalmefen (revex) dan naltrekson (revia) juga merupakan antagonis
opioid murni. Nalmefen digunakan untuk kecurigaan over dosis opioid dan
reversal komplit atau parsial perioperatif, depresi napas yang diinduksi oleh
opioid. Pemberiannya dapat secara intravena, intramuscular atau subkutan. Untuk
reversi depresi napas pasca operatif yang diinduksi oleh opioid, nalmefen
diberikan secara intravena dengan penambahan 0.25 g/kg setiap 2-5 menit
sampai total 1 g/kg. Untuk kecurigaan over dosis opioid, dosis nalmefen yang
dianjurkan adalah 0.5 mg/70 kg, sampai maksimum 1.5 mg/70 kg. Naltrekson
diberikan per oral untuk terapi pemeliharaan penderita ketergantungan opioid dan
penyalah guna etanol (Mycek, 2011).
19
efek
farmakodinamik
(bukan
farmakokinetik).
Flumazenil
tidak
bertahap
dengan
flumazenil
biasanya
dilakukan
melalui
jalur
diinginkan. Dosis total yang umum adalah 0.6 1.0 mg. Dosis ulangan mungkin
diperlukan setelah 1-2 jam untuk mencegah sedasi berulang (Handoko, 2009).
Infus kontinu (0.5 mg/jam) dapat bermanfaat pada kasus overdosis benzodiazepin
yang bekerja lebih panjang. Gagal hati memperpanjang klirens flumazenil dan
benzodiazepine (Katzung, 2002).
2.1.13. Inhibitor Pompa Proton
a. Mekanisme Kerja
Golongan ini, termasuk omeprazol (Prilosec), lansoprazol (Prevacid),
rabeprazol (Aciphex), dan pantoprazol (Protonix), mengikat pompa proton sel
parietal dalam mukosa lambung dan menghambat sekresi ion hydrogen
(Katzung, 2002).
b. Penggunaan Klinis
Inhibitor pompa proton diindikasikan untuk terapi ulkus duodenal, GERD,
dan sindrom Zollinger-Ellison. Obat ini dapat menyembuhkan ulkus peptik dan
GERD erosif lebih cepat daripada bloker reseptor-H 2. Penggunaan inhibitor
pompa proton untuk profilaksis aspirasi sebelum anestesi umum masih terbatas.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa bila dibandingkan dengan omeprazol,
bloker reseptor-H2 lebih dapat diandalkan untuk meningkatkan pH lambung dan
mengurangi volume lambung secara konsisten; lanzoprazol mungkin sama
efektifnya dengan bloker reseptor-H2. Dua dosis lansoprazol (malam dan pagi
sebelum operasi) lebih efektif daripada profilaksis dosis-tunggal. Data untuk
penggunaan obat intravena yang lebih baru (pantoprazol) untuk profilaksis
aspirasi masih terbatas (Katzung, 2002).
21
c. Efek Samping
Inhibitor pompa proton umumnya dapat ditoleransi dengan baik karena
efek sampingnya sedikit. Efek samping yang tak diinginkan terutama GI (mual,
nyeri abdomen, konstipasi, dan diare). Mialgia, anafilaksis, angioedema, dan
reaksi dermatologi berat, pernah dilaporkan. Terapi jangka-panjang juga disertai
hiperplasia sel mirip-enterokromafin gaster (Katzung, 2002).
d. Dosis
Dosis oral yang disarankan untuk orang dewasa adalah omeprazol 20 mg,
lansoprazol 15 mg, rabeprazol 20 mg, dan pantoprazol 40 mg. Di Amerika
Serikat, hanya pantoprazol yang tersedia untuk pemberian intravena. Pemberian
ulang harus dikurangi pada pasien dengan gangguan hepar berat, karena obatobat ini terutama dieliminasi oleh hepar (Katzung, 2002).
e. Interaksi Obat
Omeprazol mempengaruhi enzim P-450 hepar dan mengurangi klirens
diazepam, warfarin, dan fenitoin. Obat lain tidak menunjukkan interaksi obat
yang bermakna (Katzung, 2002).
22
BAB III
KESIMPULAN
Anestesi (pembiusan) berasal dari bahasa Yunani. An tidak, tanpa dan aesthesos,
persepsi, kemampuan untuk merasa. Secara umum berarti suatu tindakan menghilangkan
rasa sakit ketika melakukan pembedahan dan berbagai prosedur lainnya yang menimbulkan
rasa sakit pada tubuh. Istilah Anestesia digunakan pertama kali oleh Oliver Wendell Holmes
pada tahun 1948 yang menggambarkan keadaan tidak sadar yang bersifat sementara, karena
anestesi adalah pemberian obat dengan tujuan untuk menghilangkan nyeri pembedahan.
Adjuvan anestesi merupakan obat-obatan yang dapat meningkatkan efektifitas dan
potensi obat. Adapun macam macam adjuvant anestesi yang paling sering digunakan yaitu,
difenhidramin,
bloker
H2,
metoklopramid,
23
ondansentron,
ketorolak,
klonidin,
DAFTAR PUSTAKA
Dobson, M. B. dkk. 2006. Penuntun Praktis Anestesi. Jakarta: EGC. Jakarta: Widya Medika
2011
Ganiswarna
SG,
Farmakologi
Setiabudy
dan
R,
Terapi,
Suyatna
Edisi
FD,
Purwantyastuti,
4. Jakarta: Bagian
Nafrialdi, editor.
Farmakologi
Fakultas
24