Anda di halaman 1dari 7

Manifestasi Klinis Rhinitis Alergi

Nina Lakhani, Michelle North, dan Anne K. Ellis

Departemen kedokteran, Queens University, Kingston, ON, Canada


Pendahuluan
Data epidemiologi menunjukkan bahwa prevalensi rhinitis alergi meningkat di
seluruh dunia. Meskipun demikian, gejala rhinitis alergi seringkali diremehkan oleh
pasien atau dianggap sebagai hal yang normal. Survei pada penderita alergi di
Amerika Serikat menunjukkan hingga 61% dari individu bisa beradaptasi terhadap
gejala klinis rhinitis alergi, tapi lebih dari 80% dari individu melaporkan gejala alergi
dapat mengubah kualitas hidup mereka saat serangan terjadi. Rendahnya tingkat
kesadaran diri pasien, pelaporan kejadian, dan keterlambatan pasien mencari bantuan
medis sering menyebabkan pengaruh pada kualitas hidup pasien. Selain itu dampak
pada produktivitas kerja dan kinerja sekolah juga kurang disadari dapat terjadi. Ulasan
ini lebih berfokus pada klasifikasi, manifestasi hidung, manifestasi non-nasal, dan
rhinitis alergi pada kualitas hidup.
Klasifikasi Alergi Rhinitis
Standar klasifikasi rhinitis alergi telah mengalami perubahan yang signifikan
selama beberapa dekade terakhir. Secara tradisional, rhinitis alergi diklasifikasikan
berdasarkan paparan terhadap alergen dan dengan demikian, dibagi atas rhinitis
alergen perennial, dengan gejala yang terjadi sepanjang tahun, atau musiman
(seasonal), dengan gejala yang terjadi pada waktu tertentu dalam setahun. Gejala
perennial secara konvensional telah dianggap terjadi karena alergen dalam ruangan,
paling sering disebabkan oleh tungau debu, kecoa, dan jamur. Sedangkan gejala
musiman dianggap karena alergen luar ruangan, seperti serbuk sari. Tantangan dalam
mengikuti klasifikasi ini terletak pada kesulitan dalam menentukan kategorisasi yang
sehubungan dengan tingkat keparahan dan durasi penyakit. Selain itu, dari perspektif
terapeutik, membedakan gejala musiman dan perennial sering terbukti menjadi sulit
karena banyak pasien yang polisensitif terhadap allergen dari kedua klasifikasi.
Alergen musiman sendirian dan dalam kombinasi dapat menyebabkan gejala
sepanjang tahun dan alergen abadi hanya dapat menyebabkan gejala pada waktu

tertentu dalam setahun.


Klasifikasi Rhinitis alergi dan Dampaknya pada Asma / The Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma (ARIA) pada tahun 1999, merupakan alat untuk
memberikan gambaran yang lebih baik dari alergi rhinitis dengan pertimbangan
terhadap tingkat keparahan dan durasi gejala klinis. Klasifikasi ini mengklasifikasikan
gejala rinitis sebagai "intermittent" atau "persistent" berdasarkan banyak kejadian
gejala per minggu dan minggu berturut-turut (Gambar). Tingkat keparahan dibagi atas
'ringan' atau 'sedang-berat' berdasarkan keterangan yang dirasakan dari simtomatologi
oleh pasien, serta kualitas hidup pasien (Gambar). Klasifikasi ARIA telah divalidasi
dalam menentukan scoring tingkat keparahan dan mutu yang baik dari indeks hidup
dengan kemampuan untuk membedakan dua klasifikasi yang berbeda dari Rhinitis
alergi (ringan vs sedang-berat) dan dampaknya pada kehidupan sehari-hari.

Cara lain untuk mengukur gejala yang termasuk scoring keparahan adalah
Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire (RQLQ), Total 4-Symptom Score
(T4SS) dan Visual Analogue Score (VAS 0-100 mm). Alat-alat ini telah digunakan
untuk memvalidasi sistem klasifikasi yang ada dan mungkin dapat digunakan lebih
lanjut oleh dokter untuk menentukan efektivitas pengobatan mereka.

Manifestasi Nasal
Rhinorrhea episodik, bersin, dan obstruksi pada saluran hidung dengan
lakrimasi dan pruritis dari mukosa hidung, konjungtiva, dan orofaring adalah gejala
klasik rhinitis alergi. Hidung tersumbat, post nasal drip, bersin berulang, dan
discharge hidung telah dilaporkan sebagai gejala yang paling mengganggu bagi pasien
rinitis alergika. Dalam kondisi normal, hidung memiliki area permukaan mukosa yang
besar, termasuk lipatan konka yang berperan dalam 50-65% dari aliran udara di
saluran napas. Hidung berfungsi untuk mengatur suhu dan kadar air dari udara yang
dihirup dan untuk menyaring partikel yang lebih besar dari 10 mikrometer. Hal ini
terjadi akibat lapisan submukosa , yang terdiri dari kelenjar lendir, seromucous, dan
serosa. Gerakan silia memperangkap partikel dan degradasi enzimatik terjadi pada
lapisan mukosa.
Pada rhinitis alergi, gerakan dan degradasi tersebut menyebabkan reaksi IgE.
Interaksi awalnya terjadi antara alergen dan sel mast intraepitel dan kemudian mulai
melibatkan sel mast perivenular lebih dalam, yang keduanya mengandung IgE yang
spesifik allergen pada permukaan sel mereka. Selama episode gejala (misalnya pada
eksaserbasi) mukosa sudah membengkak dan hiperemik memungkinkan untuk
peningkatan penetrasi dari kedua alergen yang tidak berhubungan. Seiring waktu,
gejala rhinitis dapat terjadi pada kuantitas/kualitas paparan yang lebih rendah dari
alergen (priming fenomena) dan iritan yang tidak spesifik (hiper-reaktivitas), yang
menyebabkan penambahan gejala klinis. Contoh iritasi yang mungkin berhubungan
dengan peningkatan gejala alergi yang asap tembakau lingkungan dan polusi udara.
Pada rhinoskopi anterior, pasien dengan rhinitis alergi menunjukkan mukosa
yang pucat abu-abu ke-merah muda-an, dan ditutupi lendir yang berkilauan dan tipis.
Biopsi mukosa hidung menunjukkan edema dan infiltasri oleh eosinofil, basofil, dan
neutrofil. Sel mast di daerah ini menghasilkan dan melepaskan mediator inflamasi
melalui reaksi IgE yang menghasilkan edema jaringan dan infiltrasi eosinofilik yang
bermanifestasi sebagai pruritus hidung dan tanda-tanda obstruksi (sumbatan) hidung.
Obstruksi dan gatal hidung dapat menyebabkan manipulasi berulang pada
hidung eksternal yang menyebabkan ekskoriasi dan hiper/hipopigmentas pada kulit
luar hidung. Hal ini terjadi ketika ujung hidung didorong dengan tangan (allergic
salute) secara terus menerus.

Post-nasal drip adalah gejala umum lain dari rhinitis alergi, yang terjadi ketika
kelebihan lendir diproduksi oleh mukosa hidung terakumulasi pada faring posterior
sehingga menyebabkan batuk, lendir tertelan secara konstan, atau halitosis. Pada
penderita dewasa dan anak-anak akan sering meniup hidung mereka, tetapi anak-anak
yang lebih muda yang tidak memiliki kemampuan ini, akan sering mendengus,
mengendus atau batuk untuk membersihkan lendir yang berlebih. Beberapa juga dapat
menghasilkan bunyi klik yang dikenal sebagai 'palatal click' karena gatal dari langitlangit dengan lidah.
Polip hidung terjadi pada sekitar 5% dari individu dengan rhinitis alergi. Polip
merupakan tonjolan mukosa yang mengandung cairan edema dengan eosinofil dan
dapat meningkatkan gejala obstruktif. Polip timbul secara bersamaan dalam
nasofaring atau sinus. Pasien dengan polip hidung sering mengalami hidung
tersumbat yang lebih dalam dan kronis, sehingga mengakibatkan hiponosmia atau
anosmia dan pada kasus lanjut, disguesia. Tidaklah biasa pada anak-anak dengan
rhinitis alergi untuk memiliki poliposis hidung, sehingga etiologi lain harus dicari
untuk pasien dengan sumbatan hidung dalam kelompok usia ini. Lamanya rhinitis
alergi telah terbukti menghasilkan remodelling pada jaringan mukosa hidung.
Sinusitis bakterial dapat mempersulit rhinitis alergi karena obstruksi
kompleks sinus-osteomeatal. Gejala klinis infeksi bakteri termasuk demam, cairan
hidung yang purulen, nyeri dan tekanan pada wajah, sakit gigi, dan malaise. Dalam
percobaan model tikus dengan rhinitis alergi, respon inflamasi yang meningkat
terlihat pada tikus dengan RA yang disertai infeksi bakteri daripada tikus dengan
rhinitis infeksi bakteri saja. Hal ini menunjukkan bahwa penyakit alergi bersamaan
infeksi bakteri makin memperburuk keadaan.
Rhinitis alergi umumnya menyajikan gejala klinis yang kompleks seperti
dijelaskan di atas, sehingga baiknya dokter untuk juga mencari diagnosis alternatif.
Tabel berikut menunjukkan diagnosa potensial lain untuk mempertimbangkan
ketepatan diagnosa RA.

Manifestasi klinis dan komorbiditas


Tergantung pada usia pasien pada saat terpapar, konsekuensi dari rhinitis alergi
kronik dapat bervariasi. Pasien mungkin dapat bernapas lewat mulut secara kronis,
mengalami hidung tersumbat berlama-lama, dan anak-anak dengan RA dapat
mengalami "facies alergi". Penampilan khas ini bermanifestasi sebagai langit-langit
melengkung tinggi, mulut terbuka karena pernapasan mulut, dan maloklusi gigi.
Perubahan warna dari alur orbitopalpebral pada anak-anak bukan merupakan hal yang
jarang pada rhinitis alergi perennial. Semakin parah penyakit alergi, semakin sering
terjadi perubahan warna. Hal ini diakibatkan oleh stasis vena dan edema infraorbital.
Dalam kasus yang parah, selaput lendir mata, tabung eustachius, telinga tengah dan
sinus paranasal mungkin terlibat. RA juga menghasilkan iritasi konjungtiva,
hiperemia dan lakrimasi. Pasien mungkin mengalami rasa penuh pada telinga dan
gatal-gatal pada langit-langit mulut.
Banyak kondisi lain yang berhubungan dengan rhinitis alergi termasuk asma,
alergi konjungtivitis, dan dermatitis atopik. Asma didefinisikan sebagai penyakit
inflamasi kronis pada saluran udara yang ditandai dengan paroksismal atau batuk
terus-menerus, sesak dada, mengi dan sesak napas. Gejala khas memburuk di malam
hari dan biasanya mereda secara spontan atau dengan pengobatan tertentu. Pasien
dengan riwayat penyakit atopik lain, terutama rhinitis alergi, sangat membantu dalam
mengidentifikasi pasien dengan asma. Pemicu umum yang harus diidentifikasi
meliputi tungau debu, kecoa, bulu binatang, jamur, serbuk sari, olahraga dan paparan
asap tembakau atau udara dingin. Komorbiditas lain yang dapat memperburuk asma
termasuk tidur gangguan pernapasan, penyakit gastroesophageal reflux, dan penyakit
paru obstruktif kronik. Asma alergi dan rhinitis alergi sering dianggap manifestasi

klinis dari kondisi yang sama, sindrom pernafasan alergi kronis. Hipotesis satu jalan
napas telah diusulkan sebagai alasan mengapa survei epidemiologi menunjukkan
bahwa rhinitis alergi dan asma umumnya muncul berdampingan.
Konjungtivitis alergi biasanya bermanifestasi sebagai gatal, edema konjungtiva,
hiperemia, kotoran mata yang encer, dan fotofobia. Hal ini diklasifikasikan sebagai
konjungtivitis alergi musiman atau konjungtivitis alergi abadi dan sering didiagnosis
bersamaan dengan rhinitis alergi atau disebut alergi rhinoconjunctivitis.
Hingga 80% dari anak-anak dengan dermatitis atopik kemudian akan
mengembangkan rhinitis alergi atau asma di kemudian hari. Telah ditemukan bahwa
dermatitis atopik, juga dikenal sebagai 'eksema', sering merupakan manifestasi
pertama penyakit atopik pada orang yang memiliki predisposisi genetik. Dermatitis
atopik juga dianggap sebagai awal yang disebut "atopic march", karena
kecenderungan muncul pertama, diikuti oleh alergi makanan, dan kemudian asma atau
alergi rhinitis. Dermatitis atopik dimanifestasikan pada tahun pertama kehidupan
dalam 60% kasus dan 85% dari kasus pada 5 tahun pertama kehidupan. Dermatitis ini
memiliki klinis kulit kering, kulit gatal, paling sering pada daerah leher, fossa
antecubital, dan fossa poplitea, dan dapat berkembang menjadi ruam yang gatal. Di
masa dewasa eksema sebagian besar umumnya terjadi pada tangan, lengan, wajah dan
kaki.
Ketika mendiagnosis rhinitis alergi, dokter harus juga menyelidiki komorbiditas
lain yang dimilki oleh pasien.
Kualitas Hidup
Pengenalan berbagai penelitian dengan kuesioner mengenai RA telah
memungkinkan penilaian yang lebih baik bagi dampak penyakit pada kehidupan
pasien dengan rhinitis alergi. The Rhinoconjunctivitis Quality of Life Questionnaire
(RQLQ) dan adaptasinya (Adolescent Quality of Life Questionnaire and Pediatric
Quality of Life Questionnaire) adalah beberapa kuesioner penyakit spesifik yang
paling banyak digunakan sehubungan dengan gejala rhinitis alergi, dan digunakan
untuk menilai kualitas kesehatan dan hidup.
Beberapa penelitian epidemiologi telah menunjukkan pengurangan secara
keseluruhan dalam kualitas hidup pada pasien yang menderita rhinitis alergi. Gejala
rhinitis alergi nyata dapat mengganggu kualitas hidup dan dapat mempengaruhi orang
dewasa dan anak-anak untuk berbagai kondisi komorbiditas termasuk asma, sinusitis,

otitis media, infeksi pernafasan sering, dan maloklusi ortodontik yang mungkin
kemudian berdampak lebih lanjut pada kualitas hidup. Dalam survei Alergi dan
Amerika, hingga 52% dari pasien melaporkan bahwa gejala RA mempengaruhi
kinerja mereka di tempat kerja dan pasien mengalami kehilangan 23% dari
produktivitas di tempat kerja bila saat serangan terjadi. Pada anak-anak, absensi dan
kinerja di sekolah yang buruk disebabkan oleh gangguan, kelelahan, atau lekas marah
juga telah dilaporkan. Diperkirakan bahwa dalam luar AS, anak-anak dengan alergi
rhinitis melewatkan sekitar 2 juta hari sekolah per tahun. Kesulitan sekolah pada
anak-anak juga terkait dengan efek samping dari obat-obatan, seperti antihistamin dan
dekongestan. Obat-obatan tersebut dapat menyebabkan kantuk yang mengarah ke
kinerja sekolah terganggu atau masalah perilaku. Antihistamin generasi pertama, yang
memiliki sifat antikolinergik, terutama telah terlibat dengan gangguan kewaspadaan
dan fungsi kognitif.
Kesimpulan
Gejala klinis alergi rhinitis seringkali dianggap remeh dan tidak dilaporkan
sehingga menyebabkan keterlambatan dalam mencari bantuan medis dan pengurangan
berlanjut dalam kualitas hidup dan kesehatan. Rhinorrhea episodik, bersin, obstruksi
pada saluran hidung dengan lakrimasi dan pruritus dari mukosa hidung, konjungtiva,
dan orofaring adalah gejala klasik rhinitis alergi. Kondisi lain yang umumnya terkait
dengan rhinitis alergi adalah asma, sinusitis, konjungtivitis alergim dan dermatitis
atopik. RA yang kronik dapat menyebabkan perubahan mukosa, kulit atropi, dan
peningkatan morbiditas.

Anda mungkin juga menyukai