Anda di halaman 1dari 44

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas yang
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers patch.
Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam paratifoid dan
demam enterik. Demam paratifoid secara patologik maupun klinis adalah sama
dengan demam tifoid namun biasanya lebih ringan, penyakit ini biasanya
disebabkan oleh spesies Salmonella enteriditis, sedangkan demam enterik dipakai
baik pada demam tifoid maupun demam paratifoid.1
Istilah typhoid berasal dari kata Yunani typhos. Terminologi ini dipakai
pada penderita yang mengalami demam disertai kesadaran yang terganggu.
Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena
penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan
lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri
pengolahan makanan yang masih rendah.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan jumlah kasus demam
tifoid di seluruh dunia mencapai 16-33 juta dengan 500-600 ribu kematian tiap
tahunnya. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi menular yang dapat terjadi
pada anak maupun dewasa. Anak merupakan yang paling rentan terkena demam

tifoid, walaupun gejala yang dialami anak lebih ringan dari dewasa. Di hampir
semua daerah endemik, insidensi demam tifoid banyak terjadi pada anak usia 5-19
tahun.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi
Demam tifoid disebut juga dengan Typus abdominalis atau typhoid fever.

Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran
pencernaan (usus halus) dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai
gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.1
2.2

Epidemiologi
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat
luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan
terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi
600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid
dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan
sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan
rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh
propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di
daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta
kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19
tahun pada 91% kasus.3
Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai
natural

reservoir).

Manusia

yang

terinfeksi

Salmonella

typhi

dapat

mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka

waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63C).1
Terjadinya penularan Salmonella

typhi

sebagian

besar

melalui

minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau
pembawa kuman, biasanya keluar bersama sama dengan tinja (melalui rute oral
fekal = jalurr oro-fekal).
Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang
berada dalam bakteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan pula transmisi orofekal dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada
bayinya dan sumber kuman berasal dari laboratorium penelitian.1
2.3 Etiologi
Demam Tifoid adalah suatu infeksi yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S. typhi, S.
paratyphi A, S. paratyphi B (S. Schotmuelleri) dan S. paratyphi C (S. Hirschfeldii).
Salmonella typhi sama dengan Salmonella yang lain adalah bakteri Gramnegatif, mempunyai flagela, tidak berkapsul, tidak membentuk spora fakultatif
anaerob. Mempunyai antigen somatik (O) yang terdiri dari oligosakarida, flagelar
antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri
polisakarida. Mempunyai makromolekular lipopolisakarida kompleks yang
membentuk lapis luar dari dinding sel da dinamakan endotoksin. Salmonella typhi
juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi
terhadap multipel antibiotik.1

Gambar 2.1. Mikroskopik Salmonella Typhi


2.4

Patogenesis
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks yang mengikuti

ingesti organism, yaitu: 1) penempelan dan invasi sel- sel pada Peyer Patch, 2)
bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi dalam makrofag Peyer Patch, nodus
limfatikus mesenterica, dan organ- organ extra intestinal sistem retikuloendotelial
3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, 4) produksi enterotoksin yang
meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan meningkatkan permeabilitas
membrane usus sehingga menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal
Masuknya kuman Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi ke dalam
tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian
kuman dimusnahkan dalam lambung karena suasana asam di lambung (pH < 2)
banyak yang mati namun sebagian lolos masuk ke dalam usus dan berkembang
biak dalam peyer patch dalam usus. Untuk diketahui, jumlah kuman yang masuk
dan dapat menyebabkan infeksi minimal berjumlah 105 dan jumlah bisa saja
meningkat bila keadaan lokal pada lambung yang menurun seperti aklorhidria,

post gastrektomi, penggunaan obat- obatan seperti antasida, H2-bloker, dan Proton
Pump Inhibitor.
Bakteri yang masih hidup akan mencapai usus halus tepatnya di jejunum
dan ileum. Bila respon imunitas humoral mukosa usus (IgA) kurang baik maka
kuman akan menembus sel- sel epitel (sel-M merupakan selnepitel khusus yang
yang melapisi Peyer Patch, merupakan port de entry dari kuman ini) dan
selanjutnya ke lamina propria. Di lamina propria kuman berkembang biak dan
difagosit oleh sel- sel fagosit terutama makrofag. Kuman dapat hidup dan
berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke peyer patch di
ileum distal dan kemudian kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui ductus thoracicus, kuman yang terdapat dalam
makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama
yang sifatnya asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ Retikuloendotelial
tubuh terutama hati dan Limpa. Di organ- organ RES ini kuman meninggalkan
sel- sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan
selanjutnya kembali masuk ke sirkulasi sistemik yang mengakibatkan bakteremia
kedua dengan disertai tanda- tanda dan gejala infeksi sistemik.
Di dalam hepar, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang
biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermitten ke dalam
lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan bersama feses dan sebagian masuk lagi
ke dalam sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali,
berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka pada saat fagositosis
kuman Salmonella terjadi beberapa pelepasan mediator inflamasi yang
selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,

malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, diare diselingi konstipasi, sampai
gangguan mental dalam hal ini adalah delirium. Pada anak- anak gangguan mental
ini biasanya terjadi sewaktu tidur berupa mengigau yang terjadi dalam 3 hari
berturut- turut.1,4
Dalam Peyer Patch makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiperplasi
jaringan (S. typhi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe lambat,
hyperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat terjadi
akibat erosi pembuluh darah sekitar peyer patch yang sedang mengalami nekrosis
dan hiperplasi akibat akumulasi sel- sel mononuclear di dinding usus.
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan
otot, serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi. Endotoxin dapat menempel
di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat timbulnya komplikasi seperti
gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, respirasi, dan gangguan organ lainnya.
Peran endotoksin dalam pathogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut
terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui
pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi ini menstimulasi
makrofag di dalam hepar, lien, folikel usus halus dan kelenjar limfe mesenterika
untuk memproduksi sitokin dan zat- zat lain. Produk dari makrofag inilah yang
dapat menimbulkan kelainan anatomis seperti nekrosis sel, sistem vaskuler, yang
tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada darah dan juga
menstimulasi sistem imunologis.1,4

2.5

Bagan 2.1. Patofisiologi Demam Tifoid


Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi

bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang pada gejala
atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis demam tifoid pada
anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada tifoid kongenital
ataupun tifoid pada bayi.

Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 20 hari, dengan masa inkubasi


terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi
mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status
gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar
gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :

Demam satu minggu atau lebih.


Gangguan saluran pencernaan
Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare,
konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat.
Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas, berupa demam
remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai
ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat dengan
tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di bagian
belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan. Bila
penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lebih
prominen.
9

Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua. Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan. Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan ukuran
1 5 mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas dan
punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada anak
Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 10 dan bertahan selama 2 -3 hari.1,4,5
Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak
FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun
dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan
85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa
memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala
klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut
(49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik
didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah
kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). 10
Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%),
sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%),

10

mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium


(2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi,
bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran,
stupor dan kelainan neurologis fokal.6
2.6 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus. Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah.
Sering hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis,
terutama bila disertai komplikasi lain. Trombosit jumlahnya menurun,
gambaran hitung jenis didapatkan limfositosis relatif, aneosinofilia, dapat
shift to the left ataupun shift to the right bergantung pada perjalanan
penyakitnya. SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali
menjadi normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak
memerlukan penanganan khusus.
Gambaran sumsum tulang menunjukkan normoseluler, eritroid dan
mieloid sistem normal, jumlah megakariosit dalam batas normal.1,4,6
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen
antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang

11

diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke


dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai
nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen,
jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakit).6
Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini
meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi
antibodi terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan
sejak tahun 1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara
antigen kuman S.typhi dengan antibodi yang disebut aglutinin.
Prinsip uji Widal adalah serum penderita dengan pengenceran yang
berbeda ditambah dengan antigen dalam jumlah yang sama. Jika
pada serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi.
Pengenceran

tertinggi

yang

masih

menimbulkan

aglutinasi

menunjukkan titer antibodi dalam serum.


Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin
dalam serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1.

Aglutinin O (dari tubuh kuman)

2.

Aglutinin H (flagel kuman)


12

3.

Aglutinin Vi (simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang


digunakan untuk diagnosis demam tifoid. Semakin tinggi titernya
semakin besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer
antibodi O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap
menetap lama sampai beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih
cepat hilang. Pada seseorang yang telah sembuh, aglutinin O masih
tetap dijumpai setelah 4-6 bulan, sedangkan aglutinin H menetap
lebih lama antara 9 bulan 2 tahun. Antibodi Vi timbul lebih lambat
dan biasanya menghilang setelah penderita sembuh dari sakit. Pada
pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung meningkat. Antigen Vi
biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis infeksi, tetapi
hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan
membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif
96%. Artinya apabila hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam
tifoid, akan tetapi apabila negatif tidak menyingkirkan. Banyak
senter mengatur pendapat apabila titer O aglutinin sekali periksa
1/200 atau pada titer sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis
demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin H banyak dikaitkan
dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau, sedang Vi
aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).

13

Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang


dapat dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam
tifoid yang terbukti biakan darah positif.
Ada 2 faktor yang mempengaruhi uji Widal yaitu faktor yang
berhubungan dengan penderita dan faktor teknis.
Faktor yang berhubungan dengan penderita, yaitu
1. Pengobatan

dini

dengan

antibiotik,

pemberian

kortikosteroid.
2. Gangguan pembentukan antibodi.
3. Saat pengambilan darah.
4. Daerah endemik atau non endemik.
5. Riwayat vaksinasi.
6. Reaksi anamnesik, yaitu peningkatan titer aglutinin pada
infeksi bukan demam akibat infeksi demam tifoid masa
lalu atau vaksinasi.
Faktor teknik, yaitu
1. Akibat aglutinin silang.
2. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigen.
3. Teknik pemeriksaan antar laboratorium.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian
paling sering di negara kita, demam > kasih antibiotika >

14

nggak sembuh dalam 5 hari > tes Widal) menghalangi respon


antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S.
paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga
menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan
bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan
tifoid).
b) Tes TUBEX
Tes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi
kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan
menggunakan

partikel

yang

berwarna

untuk

meningkatkan

sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen


O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada
Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat

dalam diagnosis

infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak
mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes
TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan
bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik
daripada uji Widal. Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan
hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%. 15 Penelitian lain

15

mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%. 9


Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.6
Ada 4 interpretasi hasil :
Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Penggunaan antigen 09 LPS memiliki sifat- sifat sebagai berikut:
Immunodominan yang kuat
Bersifat thymus independent tipe 1, imunogenik pada bayi
(antigen Vi dan H kurang imunogenik) dan merupakan mitogen
yang sangat kuat terhadap sel B.
Dapat menstimulasi sel limfosit B tanpa bantuan limfosit T
sehingga respon antibodi dapat terdeteksi lebih cepat.
Lipopolisakarida dapat menimbulkan respon antibodi yang kuat
dan cepat melalui aktivasi sel B via reseptor sel B dan reseptor
yang lain.
Spesifitas yang tinggi (90%) dikarenakan antigen 09 yang jarang
ditemukan baik di alam maupun diantara mikroorganisme
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
Mendeteksi infeksi akut Salmonella
16

Muncul pada hari ke 3 demam


Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
Hasil dapat diperoleh lebih cepat
c) Metode enzyme immunoassay (EIA) DOT
Uji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi
spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi
terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid
akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam
tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana
didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi
peningkatan

deteksi

IgG

spesifik

akan

tetapi

tidak

dapat

membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada


metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode
Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga
menghilangkan

pengikatan

kompetitif

dan

memungkinkan

pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.


Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus
demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan
sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan
nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh
Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar

17

76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%. Penelitian lain mendapatkan


sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.
Uji

dot

EIA tidak

mengadakan

reaksi

silang

dengan

salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan


demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot
EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak
selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dikatakan bahwa TyphidotM ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan
kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat
dan akurat.
Beberapa

keuntungan

metode

ini

adalah

memberikan

sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan


untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah
(karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit),
tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan
secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan
sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain
adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang
belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila
disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3
jam setelah penerimaan serum pasien.6
d) Metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)
Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai
untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9,
antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap

18

antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi


adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double
antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan
sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel
feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang
didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine
didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95%
pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh
Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen
Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen
Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan
penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,
terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul,
namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada
kasus dengan Brucellosis.6
e) Pemeriksaan dipstik
Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di
Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap
antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa
yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan
antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol.
Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan,

19

tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat


yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20
Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji
ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang
dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas
sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian
lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid
mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar
96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata
sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan
serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita
demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan
dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada
penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil
kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi
dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.6
3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.

20

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi


hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi
hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan
volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL. Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada
bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur
sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan
darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya. Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat
pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah
dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai. Bakteri dalam feses

21

ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu


ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas
karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif
didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan
penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama
bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau
dengan kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat
invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan
tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil
dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,6
Kegagalan

dalam

isolasi/biakan

dapat

disebabkan

oleh

keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,


jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen
yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak
tepat.
Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai
sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu
yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk

22

identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.
4. Pemeriksaan kuman secara molekuler
Metode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat
adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi
dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi
DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi
antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.
Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR
sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada
penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL
darah. Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas
sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji
Widal (35.6%).
Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini
meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang
terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya
bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR
(hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan
garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan
teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen
klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat
2.7

ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian.6


Diagnosis

23

Demam tifoid pada anak biasanya memberikan gambaran klinis yang ringan
bahkan asimtomatik. Walaupun gejala klinis sangat bervariasi namun gejala yang
timbul setelah inkubasi dapat dibagi dalam (1) demam, (2) gangguan saluran
pencernaan, dan (3) gangguan kesadaran. Timbulnya gejala klinis biasanya
bertahap dengan manifestasi demam dan gejala konstitusional seperti nyeri
kepala, malaise, anoreksia, letargi, nyeri dan kekakuan abdomen, pembesaran hati
dan limpa, serta gangguan status mental. Sembelit dapat merupakan gangguan
gastointestinal awal dan kemudian pada minggu ke-dua timbul diare. Diare hanya
terjadi pada setengah dari anak yang terinfeksi, sedangkan sembelit lebih jarang
terjadi. Dalam waktu seminggu panas dapat meningkat. Lemah, anoreksia,
penurunan berat badan, nyeri abdomen dan diare, menjadi berat. Dapat dijumpai
depresi mental dan delirium. Keadaan suhu tubuh tinggi dengan bradikardia lebih
sering terjadi pada anak dibandingkan dewasa. Rose spots (bercak makulopapular)
ukuran 1-6 mm, dapat timbul pada kulit dada dan abdomen, ditemukan pada 4080% penderita dan berlangsung singkat (2-3 hari). Jika tidak ada komplikasi
dalam 2-4 minggu, gejala dan tanda klinis menghilang namun malaise dan letargi
menetap sampai 1-2 bulan.
Gambaran klinis lidah tifoid pada anak tidak khas karena tanda dan gejala
klinisnya ringan bahkan asimtomatik. Akibatnya sering terjadi kesulitan dalam
menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gejala klinis. Oleh karena itu untuk
menegakkan diagnosis demam tifoid perlu ditunjang pemeriksaan laboratorium
yang diandalkan. Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan
diagnosis demam tifoid meliputi pemeriksaan darah tepi, serologis, dan
bakteriologis.4,5
2.8 Diagnosis Banding
24

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang secara


klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza, gastroenteritis,
bronkitis dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh
mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur sistemik,
bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam
tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan penyakit hodgkin dapat sebagai
dignosis banding.1
2. 9 Penatalaksanaan

Non Medika Mentosa


a) Tirah baring
Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu. Pasien
harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5
b) Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah serat
adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita namun
tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa (rendah
serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk penderita
demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur lunak, tim,
dan nasi biasa.
c) Cairan
Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral maupun
parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit berat, ada
komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan. Cairan harus
mengandung elektrolit dan kalori yang optimal. Kebutuhan kalori anak
pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
d) Kompres air hangat

25

Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya menurunkan


suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada daerah tubuh
akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum tulang
belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas di hipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer. Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali. Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
maka pusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.7

Medika Mentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi antipiretik.
Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman dalam hal
ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum, sedapat
mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena mempunyai
efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna yang masih
rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah mungkin.
Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral, obat yang
26

masih dianjurkan adalah yang mengandung Methamizole Na yaitu


antrain atau Novalgin.
b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah :1,4,5
Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anakanak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun. Pemberian Intra Muskuler
tidak dianjurkan oleh karena hidrolisis ester ini tidak dapat diramalkan
dan tempat suntikan terasa nyeri.

Pada kasus malnutrisi atau

didapatkan infeksi sekunder pengobatan diperpanjang sampai 21 hari.


Kelemahan dari antibiotik jenis ini adalah mudahnya terjadi relaps
atau kambuh, dan carier.
Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika
trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari

dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari

dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang


diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali
selama 2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan
ini adalah terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia
megaloblastik, Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa
Negara antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.
Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah
dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
27

untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.
Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),
merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan
lebih dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive
terhadap Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya
dengan dosis 100 mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4
gram/hari) selama 5-7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200
mg/kg/hari dibagi dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral
dapat diberikan Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.
Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor,
koma sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3
mg/kg dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam
sampai 48 jam.
Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadangkadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.
2.10 Komplikasi
Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4
1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus

28

Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja


dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan terjadi
pada bagian distal ileum. Perforasi yang tidak disertai peritonitis
hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga peritoneum
yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara hati dan
diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam keadaan
tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa perforasi
usus. Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat, dinding
abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan dan
disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi minggu
kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila terjadi
kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis berupa
kesadaran menurun, kejang kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti
oleh gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
29

d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havana dan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta gambaran
klinis tidak khas. Insidensnya terutama pada anak berumur 7 tahun
keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan ketiga. Gambaran
EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi, depresi segmen
ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I, aritmia,
supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri Salmonella
typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh. Sistitis
maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam tifoid.
Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan glomerulonefritis
yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun sidrom
nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya. Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan. Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
30

kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus


urinarius

yang

abnormal,

seperti

schistosomiasis,

mungkin

memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.


2.11 Pencegahan
Berikut beberapa petunjuk untuk mencegah penyebaran demam tifoid:2

Cuci tangan.
Cuci

tangan

dengan

teratur

meruapakan

cara

terbaik

untuk

mengendalikan demam tifoid atau penyakit infeksi lainnya. Cuci tangan


anda dengan air (diutamakan air mengalir) dan sabun terutama sebelum
makan atau mempersiapkan makanan atau setelah menggunakan toilet.
Bawalah pembersih tangan berbasis alkohol jika tidak tersedia air.

Hindari minum air yang tidak dimasak.


Air minum yang terkontaminasi merupakan masalah pada daerah
endemik tifoid. Untuk itu, minumlah air dalam botol atau kaleng. Seka
seluruh bagian luar botol atau kaleng sebelum anda membukanya.
Minum tanpa menambahkan es di dalamnya. Gunakan air minum
kemasan untuk menyikat gigi dan usahakan tidak menelan air di
pancuran kamar mandi.

Tidak perlu menghindari buah dan sayuran mentah.


Buah dan sayuran mentah mengandung vitamin C yang lebih banyak
daripada yang telah dimasak, namun untuk menyantapnya, perlu
diperhatikan hal-hal sebagai berikut. Untuk menghindari makanan
mentah yang tercemar, cucilah buah dan sayuran tersebut dengan air

31

yang mengalir. Perhatikan apakah buah dan sayuran tersebut masih


segar atau tidak. Buah dan sayuran mentah yang tidak segar sebaiknya
tidak disajikan. Apabila tidak mungkin mendapatkan air untuk mencuci,
pilihlah buah yang dapat dikupas.

Pilih makanan yang masih panas.


Hindari makanan yang telah disimpan lama dan disajikan pada suhu
ruang. Yang terbaik adalah makanan yang masih panas. Pemanasan
sampai suhu 57C beberapa menit dan secara merata dapat membunuh
kuman Salmonella typhi. Walaupun tidak ada jaminan makanan yang
disajikan di restoran itu aman, hindari membeli makanan dari penjual di
jalanan yang lebih mungkin terkontaminasi.

Jika anda adalah pasien demam tifoid atau baru saja sembuh dari demam
tifoid, berikut beberapa tips agar anda tidak menginfeksi orang lain:

Sering cuci tangan.


Ini adalah cara penting yang dapat anda lakukan untuk menghindari
penyebaran infeksi ke orang lain. Gunakan air (diutamakan air
mengalir) dan sabun, kemudian gosoklah tangan selama minimal 30
detik, terutama sebelum makan dan setelah menggunakan toilet.

Bersihkan alat rumah tangga secara teratur.


Bersihkan toilet, pegangan pintu, telepon, dan keran air setidaknya
sekali sehari.

32

Hindari memegang makanan.


Hindari menyiapkan makanan untuk orang lain sampai dokter berkata
bahwa anda tidak menularkan lagi. Jika anda bekerja di industri
makanan atau fasilitas kesehatan, anda tidak boleh kembali bekerja
sampai hasil tes memperlihatkan anda tidak lagi menyebarkan bakteri
Salmonella.

Gunakan barang pribadi yang terpisah.


Sediakan handuk, seprai, dan peralatan lainnya untuk anda sendiri dan
cuci dengan menggunakan air dan sabun.

Pencegahan dengan menggunakan vaksinasi


Di banyak negara berkembang, tujuan kesehatan masyarakat dengan
mencegah dan mengendalikan demam tifoid dengan air minum yang aman,
perbaikan sanitasi, dan perawatan medis yang cukup, mungkin sulit untuk
dicapai. Untuk alasan itu, beberapa ahli percaya bahwa vaksinasi terhadap
populasi berisiko tinggi merupakan cara terbaik untuk mengendalikan
demam tifoid.1,2
Di Indonesia telah ada 3 jenis vaksin tifoid, yakni:

Vaksin oral Ty 21a (kuman yang dilemahkan)


Vaksin yang mengandung Salmonella typhi galur Ty 21a. Diberikan per
oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari. Vaksin ini
dikontraindikasikan

pada

wanita

hamil,

menyusui,

penderita

imunokompromais, sedang demam, sedang minum antibiotik, dan anak

33

kecil 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun.
Lama proteksi dilaporkan 6 tahun.

Vaksin parenteral sel utuh (TAB vaccine)


Vaksin ini mengandung sel utuh Salmonella typhi yang dimatikan yang
mengandung kurang lebih 1 milyar kuman setiap mililiternya. Dosis untuk
dewasa 0,5 mL; anak 6-12 tahun 0,25 mL; dan anak 1-5 tahun 0,1 mL
yang diberikan 2 dosis dengan interval 4 minggu. Cara pemberian melalui
suntikan subkutan. Efek samping yang dilaporkan adalah demam, nyeri
kepala, lesu, dan bengkak dengan nyeri pada tempat suntikan. Vaksin ini di
kontraindikasikan pada keadaan demam, hamil, dan riwayat demam pada
pemberian pertama. Vaksin ini sudah tidak beredar lagi, mengingat efek
samping yang ditimbulkan dan lama perlindungan yang pendek.

Vaksin polisakarida
Vaksin yang mengandung polisakarida Vi dari bakteri Salmonella.
Mempunyai daya proteksi 60-70 persen pada orang dewasa dan anak di
atas 5 tahun selama 3 tahun. Vaksin ini tersedia dalam alat suntik 0,5 mL
yang berisi 25 mikrogram antigen Vi dalam buffer fenol isotonik. Vaksin
diberikan secara intramuskular dan diperlukan pengulangan (booster)
setiap 3 tahun. Vaksin ini dikontraindikasikan pada keadaan hipersensitif,
hamil, menyusui, sedang demam, dan anak kecil 2 tahun.

2.12 Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia, keadaan
kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju, dengan
34

terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara berkembang,


angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan diagnosis, perawatan,
dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau
perdarahan hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S.ser.
Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko menjadi
karier pada anak anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier kronik terjadi
pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid.1

BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama
: An. R
Tanggal Lahir : 29/7/2005
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia
: 10 th
BB
: 24 kg
Alamat
: Ngoro
MRS
: 28 4 2016 jam 03.32
Ayah:
o Nama
: Tn. S
o Usia
: 38 tahun
o Pekerjaan
: BUMN
35

o
Ibu:
o
o
o
o

Pendidikan

: S1

Nama
Usia
Pekerjaan
Pendidikan

: Ny. I
: 36 tahun
: IRT
: SMA

3.2 Summary Of DataBase


3.2.1 Keluhan Utama:
Panas
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien sejak hari sabtu tgl 23/4/2016 jam 06.00 WIB. Panas naik turun.
Panas terutama saat malam hari . siang hari hanya sumer-sumer. Badan
mengigil. Selama panas pasien tidak pernah dingin. Tidak mual, tidak
muntah. Tidak batuk pilek. Tidak sakit kepala. Tidak ada mimisan, tidak
ada gusi berdarah. Tidak nyeri perut. BAK lancer terakhir tadi malam tidak
nyeri, BAB lancar tidak diare, tidak konstipasi, terakhir BAB kemarin 2x
tidak mencret. Nafsu makan masih baik. Sudah diberi penurun panas tidak
reda-reda.
3.2.3 Riwayat Penyakit Dahulu :
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga :
3.2.5 Riwayat Sosisal
Sering jajan sembarangan disekolah
3.2.6 Riwayat Alergi Makanan/Obat-obatan
3.2.7 Riwayat Imunisasi
Lengkap
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.3.1 Kesan Umum: lemah
36

3.3.2 Vital Sign:

HR
RR
Suhu
TD
BB

: 140 kali/menit
: 24 kali/menit
: 39,8C
: 100/60 detik
: 24 kg

3.3.3 Kepala dan Leher


-

Anemis (-), ikterus (-), cyanosis (-), dyspneu (-)

Mukosa lidah tampak sedikit kecoklatan pada 1/3 posterior

Pembesaran KGB leher (-)

3.3.4 Sistem Pernafasan:


-

Kecepatan nafas

: 20x/menit, reguler

Pernafasan

: simetris ya, retraksi tidak, rhonki (-),

Wheezing (-), vesikuler (+)/(+)


3.3.5 Sistem Cardiovaskular:
-

Suara jantung

: reguler, HR 140 x/menit

Auskultasi

: dengar dengan mudah

Murmur

: tidak

Denyut nadi perifer

: normal, kuat

3.3.6 Sistem Gastrointestinal:


-

Inspeksi

: flat abdomen

Bising usus

: (+) normal

Palpasi abdomen

: soefl, hepar lien tidak teraba

Perkusi

: timpani, undulasi (-)

3.3.7 Ekstremitas :
-

Akral

: hangat, CRT < 2dtk, edema tidak, ptekie (-)


37

3.4 Pemeriksaan Laboratorium :


Hb : 12,6 g/dl
Leukosit : 6,500 /cmm
Hematokrit : 38,6 %
Eritrosit : 4.870.000/ul
Trombosit : 133.000 /cmm
Albumin : 4,51
3.5 Clue and Cue :
Pasien anak laki-laki, 10 th, 24 kg
Hiperpireksia.
Panas malam hari
Lidah kotor
3.6 Problem List :
Hiperpireksia
3.7 Initial Diagnosis :
Demam Thypoid dd Dengue fever H-6
3.8 Planning Diagnosis :
Foto RLD
Tubex IgM Thypi
3.9 Planing Terapi :
-

MRS

Inf RLD5 1500cc/24 jam

Inj Klorampenikol 3x500 mg

Inj paracetamol 3x25 cc

Kompres air

3.10 Planing Monitoring


Tanda-tanda vital (nadi, suhu, RR, TD)
Monitoring perkembangan pasien

38

3.11 Planing Edukasi


-

Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang keadaan pasien

Menjelaskan tentang pemeriksaan penunjang yang akan dilakukan

Menjelaskan tentang tatalaksana yang akan diberikan kepada pasien

Menjelaskan tentang komplikasi dan prognosis yang mungkin akan terjadi

Tgl

28-4-2016 (H1)

29-4-2016 (H2)

30-3-2016 (H3)

Panas naik turun

Sumer

Panas turun

Mimisan tidak

Mimisan tidak

Tidak mimisan, gusi

BAB ya, tidak hitam

Muntah tidak

Muntah tidak

Nyeri perut tidak

berdarah tidak
Nyeri perut tidak

Nyeri perut tidak


O

Ku : Lemah
TTV : N: 100

Ku : Lemah
Tax : TTV : N: 98

38 RR : 20 TD : 37,8

Ku : Lemah
Tax :

RR : 22 TD :

100/60

100/70

Kepala : a/i/c/d -/-/-/-

Kepala : a/i/c/d -/-/-/-

Lidah kecoklatan

Lidah kecoklatan

Thorak :

Thorak :

TTV : N: 88 Tax : 37
RR : 22 TD : 90/60
Kepala : a/i/c/d -/-/-/Lidah kecoklatan
Thorak :
P : simetris, sonor,

P : simetris, sonor, P : simetris, sonor, Vesikular (+/+) Rh


Vesikular

(+/+)

Rh Vesikular

(+/+)

(-/-), Wh (-/-)

(-/-), Wh (-/-)

C : S1S2 tunggal

C : S1S2 tunggal

Rh (-/-), Wh (-/-)
C : S1S2 tunggal
Abdomen : Soefl, BU

Abdomen : Soefl, BU Abdomen : Soefl, BU (+),


(+),

nyeri

tekan (+),

nyeri

nyeri

tekan

tekan
39

tidak, asites (-)

tidak, asites (-)

Ekstrimitas
akralhangat

tidak, asites (-)

: Ekstrimitas
(+/+), akralhangat

: Ekstrimitas
(+/+), akralhangat

CRT < 2dtk , petekie CRT < 2dtk


(-)

Tubex

IgM

:
(+/+),

CRT < 2dtk


S.Thypi

skor 6
RLD : efusi pleura
negative
A

Demam Thypoid

Demam Thypoid

Demam Thypoid

dd Dengue fever
H-6
P

Inf

RLD5

Inf

RLD5

Inf

RLD5

1500cc/24

1500cc/24

1500cc/24

jam

jam

jam

Inj

Inj

Inj

Klorampenikol

Klorampenikol

Klorampeniko

3x500 mg

3x500 mg

l 3x500 mg

Inj
paracetamol

Inj

paracetamol

3x25 cc

Inj paracetamol
3x25 cc

3x25 cc

Tgl

1-5-2016 (H4)

2-5-2016 (H5)

3-5-2016 (H6)

Panas tidak

Panas tidak

Tidak ada keluhan

Tidak ada keluhan

Tidak ada keluhan

40

Ku : membaik

Ku : membaik

TTV : N: 88
36,6

Ku : membaik

Tax : TTV : N: 90

RR : 18 TD : 37,1

Tax : TTV : N: 84

RR : 20 TD : 36,8

90/60

100/60

Kepala : a/i/c/d -/-/-/-

Kepala : a/i/c/d -/-/-/-

Kepala : a/i/c/d -/-/-/-

Lidah kecoklatan

Lidah

P : simetris, sonor,
Vesikular

(+/+)

Abdomen : Soefl, BU
nyeri

samar

Thorak :

Thorak :

(+/+)

Rh Vesikular (+/+) Rh

(-/-), Wh (-/-)

(-/-), Wh (-/-)

C : S1S2 tunggal

C : S1S2 tunggal

tekan Abdomen : Soefl, BU Abdomen : Soefl, BU

tidak, asites (-)


Ekstrimitas

(+),
akral

nyeri

2dtk

tekan (+),

tidak, asites (-)

hangat (+/+), CRT < Ekstrimitas

tekan

akral Ekstrimitas : akral

hangat (+/+), CRT < hangat (+/+), CRT

Demam Thypoid
-

nyeri

tidak, asites (-)

2dtk

kecoklatan

samar

Vesikular

C : S1S2 tunggal

(+),

kecoklatan Lidah

Rh P : simetris, sonor, P : simetris, sonor,

(-/-), Wh (-/-)

RR : 22 TD :

90/60

Thorak :

Tax :

Inf

RLD5

< 2dtk

Demam Thypoid
-

Inf

RLD5

Demam Thypoid
-

Inf

RLD5

1500cc/24

1500cc/24

1500cc/24

jam

jam

jam

Inj
Klorampenikol

Inj
Klorampenikol

Inj
Klorampeniko

41

3x500 mg

Inj
paracetamol

3x500 mg

Inj

paracetamol

3x25 cc

l 3x500 mg

Inj paracetamol
3x25 cc

3x25 cc

BAB IV
KESIMPULAN
Demam tifoid pada anak disebabkan oleh bakteri gram negatif Salmonella
typhi yang ditularkan melalui jalur fecal-oral yang mana pada nantinya akan
masuk ke saluran cerna dan melakukan replikasi dapal ileum terminal.
Demam tifoid pada anak memiliki gejala yang cukup spesifik berupa
demam, gangguan gastro intestinal, dan gangguan saraf pusat. Demam yang
terjadi lebih dari 7 hari terutama pada sore menjelang malam dan turun pada pagi
hari. Gejala gastrointestinal bisa terjadi diare yang diselingi konstipasi. Pada
cavum oris bisa didapatkan Tifoid Tongue yaitu lidah kotor dengan tepi hiperemi
yang mungkin disertai tremor. Gangguan Susunan Saraf Pusat berupa Sindroma
Otak Organik, biasanya anak sering ngelindur waktu tidur. Dalam keadaan yang
berat dapat terjadi penurunan kesadaran seperti delirium, supor sampai koma.

42

Diagnosis cukup ditegakkan secara klinis. Pemeriksaan penunjang yang


dapat menunjang infeksi Demam Tifoid ini adalah Darah Lengkap, Uji Widal,
atau pemeriksaan serologi khusus yaitu IgM dan IgG antiSalmonella.
Penatalaksanaan penyakit ini meliputi 3 pokok utama yaitu: istirahat dengan
tirah baring yang cukup, Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein Rendah Serat, dan
Antibiotika yang memiliki efektivitas yang cukup tinggi terhadap kuman
Salmonella typhi.

DAFTAR PUSTAKA
1.

Soedarmo, Sumarmo S., dkk. Demam tifoid. Dalam : Buku ajar infeksi &

2.

pediatri tropis. Ed. 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h. 338-45.


Rezeki,
Sri.
Demam
tifoid.
2008.
Diunduh

dari

http://medicastore.com/artikel/238/Demam_Tifoid_pada_Anak_Apa_yang_P
3.

erlu_Diketahui.html. 22 Januari 2012.


Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam :
Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi

4.

1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.


Richard E. Behrman, Robert M. Kliegman, Ann M. Arvin; edisi bahasa
Indonesia: A Samik Wahab; Ilmu Kesehatan Anak Nelson, ed.15. Jakarta:

5.

EGC ; 2000.
Alan R. Tumbelaka. Diagnosis dan Tata laksana Demam Tifoid. Dalam
Pediatrics Update. Cetakan pertama; Ikatan Dokter Anak Indonesia. Jakarta :

6.

2003. h. 2-20.
Prasetyo, Risky V. dan Ismoedijanto. Metode diagnostik demam tifoid pada

7.

anak. Surabaya : FK UNAIR ; 2010. h. 1-10.


Mohamad, Fatmawati. Efektifitas kompres hangat dalam menurunkan demam
pada pasien Thypoid Abdominalis di ruang G1 Lt.2 RSUD Prof. Dr. H. Aloei

43

Saboe

Kota

Gorontalo.

2012.

Diunduh

dari

http://journal.ung.ac.id/filejurnal/JHSVol05No01_08_2012/7_Fatwaty_JHSV
ol05No01_08_2012.pdf. 22 Januari 2012.

44

Anda mungkin juga menyukai