Anda di halaman 1dari 5

PENDAHULUAN

I.

Pergerakan

Klasifikasi dari pergerakan, yaitu berdasarkan tujuan pergerakan, berdasarkan waktu,


dan berdasarkan tingkat pendapatan, struktur rumah tangga dan tingkat pemilikan kendaraan
Jumlah aktivitas dan intensitas tata guna lahan berpengaruh kepada sebaran pergerakan
(Trip Distribution) yang menunjukkan kemana dan dari mana lalu lintas tersebut bergerak.
Salah satu usaha untuk mengatasinya adalah dengan memahami pola pergerakan yang akan
terjadi, misalnya dari mana hendak kemana, besarnya pergerakan, kapan terjadinya
pergerakan tersebut.
II.

Sistem

Sistem adalah gabungan bebrapa komponen (objek) yang saling berkaitan dalam satu
tatanan struktur. Perubahan suatu komponen dapat menyebabkan perubahan komponen
lainnya. Misalnya, sistem transportasi merupakan bentuk keterkaitan antara
penumpang/barang, sarana, dan prasarana, yang saling berinteraksi dalam kegiatan
perpindahan orang dan barang yang tercakup dalam satu tatanan, baik alamiah maupun
rekayasa manusia.
III.

Sistem Pergerakan

Sistem pergerakan adalah hasil interaksi system kegiatan dengan system jaringan, dapat
berwujud lalu-lintas orang, kendaraan, atau barang. Diperlukan system kelembagaan untuk
menciptakan system pergerakan yang aman, nyaman, cepat, murah, dan sesuai lingkungan.
Perubahan system kegiatan akan mempengaruhi system jaringan dalam bentuk perubahan
tingkat pelayanan pada system pergerakan. Perubahan pada system jaringan akan
mempengaruhi system kegiatan dalam bentuk perubahan mobilitas dan aksesbilitas
pergerakan.
IV.

Alat Transportasi

Pergerakan tidak dapat dipisahkan dari alat transportasi. Terlebih di kota-kota besar
selalu mengandalkan alat transportasi untuk mendukung pergerakan di dalamnya. Usaha
pemerintah dalam mendukung pergerakan banyak dilakukan melalui pemecahan sektoral,
dengan meningkatkan kapasitas jaringan jalan, pembangunan jaringan jalan baru, rekayasa
manajemen lalu lintas, dan pengaturan transportasi angkutan umum. Kebutuhan pergerakan
cenderung berkembang dengan pesat sedangkan penyediaan fasilitas dan prasarana
transportasi berkembang sangat lamban sehingga tidak bisa mengikutinya.
Selain pemecahan secara sektoral untuk mendukung pergerakan dapat dilakukan secara
komprehensif melalui pendekatan struktur tata ruang kota terpadu. Struktur kota yang efisien
akan mengakomodasikan pusat dan sub pusat kota sedemikian rupa sehingga mampu
mengurangi ketergantungan kawasan kota hanya pada satu kawasan pusat atau dapat
disimpulkan struktur kota yang baik akan mampu menyebarkan pola pergerakan secara
merata diseluruh kawasan, tidak terpusat pada pusat kota.

PEMBAHASAN
V.

Faktor Pergerakan

Struktur kota dan penggunaan lahannya berpengaruh terhadap pola pergerakan. Untuk
mencapai terwujudnya tujuan review ini dilakukan analisis struktur kota dengan menganalis

faktor kependudukan, pola tata guna lahan, jaringan jalan dan menganalis pola pergerakan
melalui analisis bangkitan pergerakan, distribusi pergerakan, dan interaksi pergerakan.
1.

Faktor Kependudukan

Adanya peningkatan jumlah penduduk akan menyebabkan terjadinya peningkatan


kegiatan sosial ekonomi, juga peningkatan kebutuhan pelayanan, dan selaras dengan itu akan
terjadi peningkatan prasarana. Sebagai Sistem Kota, Prasarana (infrastruktur) merupakan
kelengkapan dasar lingkungan, kawasan, kota, atau wilayah (ruang/spatial). Dimana dengan
perkembangan tersebut akan mempengaruhi tingkat kepadatan dan juga pola pergerakan
penduduk di suatu wilayah.
2.

Pola Tata Guna Lahan

Perbedaan karakteristik pola tata guna lahan antara tanah perkotaan dan tanah pedesaan
adalah sebagai berikut.

1.

Tata guna lahan perkotaan

Salah satu pendekatan dalam manajemen tata guna lahan perkotaan adalah pendekatan
ekonomi atau economic base approach. Pendekatan ini membagi kegiatan ekonomi menjadi
2 yaitu:
a.
b.

Kegiatan ekonomi dasar (basic activities) yang membuat dan atau menyalurkan barang dan jasa ke
tempat lain di sekitar kota.
Kegiatan ekonomi bukan dasar (non basic activities) yang memproduksi dan menyalurkan barang
dan jasa untuk keperluan penduduk kota itu sendiri. Kegiatan ini disebut juga dengan residential
activities atau service activities.

Kegiatan ekonomi yang menggunakan lahan perkotaan adalah sebagai berikut.


a.
1)
2)
3)
b.
c.

Industri, terdiri dari:


Industri berhaluan bahan (bahan mentah harus diperhitungkan secara khusus), berlokasi di tempat
tedapatnya bahan mentah tsb.
Industri berhaluan pasar, berlokasi di tempat pemasaran.
Industri berhaluan pekerja, berloksi di tempat tenaga kerja yaitu pengerjaan barang industri yang
memerlukan keahlian khusus seperti membatik, bordir, dll.
Jasa, yang menggunakan lahan kota adalah jalan, terminal, rel kereta api, stasiun, dsb. Selain itu,
perdagangan (toko, warung, dll), pendidikan, rekreasi, kesehatan, keagamaan, pemerintahan, dll.
Sektor informal.
Menurut ILO, sektor informal di negara berkembang diantaranya menyangkut penduduk yang
banyak sekali serta bukan merupakan pekerjaan sementara, meliputi banyak macam kegiatan
ekonomi, pada beberapa kasus sektor informal dan sektor formal berhimpitan, dan keberadaannya
bukan merupakan indikasi atas ketertinggalan perkembangan ekonomi.

Pengelolaan sektor informal di negara berkembang dilakukan dengan menentukan skala


dan luas sektor informal, menentukan pola produksi, menentukan pola dan sumber investasi
serta jumlahnya, menentukan tingkat pendapatan dan tabungan, menentukan sifat dan
keterkaitan antara kegitan sektor informal dan perekonomian nasional, dan menentukan sifat
dan kendala pengembangannya.
2.

Tata Guna Lahan Pedesaan

Desa atau perdesaan sering dikaitkan dengan pengertian rural dan village. Pengertian
ini bisanya sejalan dengan penyebutan terhadap kota yang diambil dari urban atau town.
Wilayah perdesaan mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.

Perbandingan tanah dengan manusia (man landratio) biasanya besar


Lapangan kerja agraris
Hubungan penduduk yang akrab
Sifat yang cenderung mengikuti tradisi

Perkampungan atau permukiman di perdesaan di Indonesia umumnya merupakan


permukiman memusat (agglomerated rural settlement) berupa dukuh atau dusun dengan
jumlah rumah bervariasi. Di sekitar desa terdapat lahan pertanian, perikanan, peternakan,
hutan, pertambangan, dll yang merupakan tempat penduduk mencari nafkah sehari-hari.
Perkampungan tradisional Indonesia yang mengelompok berbeda dengan corak
perkampungan di Eropa Barat, AS, Kanada, dll yang jarak antar rumah relatif jauh dan
terpencar (disseminated rural settlement).
T. Hanafiah (1989) mencatat beberapa konsep dan pendekatan pembangunan perdesaan
antara lain, pengembangan masyarakat (community development), pembangunan desa terpadu
(integrated rural development), pembukaan daerah baru dan mendorong migrasi penduduk
serta pengelompokan permukiman kecil, pembangunan pertanian, industri pedesaan,
kebutuhan dasar manusia (basic needs strategy), pusat pertumbuhan dan wilayah
pengembangan (integrated area development), dan pendekatan agropolitan.
Usman, dkk (2002) menulis permasalahan pembangunan desa lainnya yang cukup
menonjol adalah pembangunan desa yang terlalu bernuansa modernisme. Desa dipandang
sebagai karakter yang terbelakang yang sebenarnya lebih merupakan visi kota.
Mike Douglass (1998) menulis desa-kota dapat dibangun dengan konsep agropolitan.
Konsep ini menekankan bahwa pengembangan desa dapat tercapai dengan baik apabila desa
tersebut dikaitkan dengan pengembangan kota
dalam wilayah tersebut.
Fungsi kota lebih dititikberatkan sebgai pusat kegiatan non-pertanin dan pusat
administrasi, bukan sebagai pusat pertumbuhan, sementara itu kecamatan (district) justru
memiliki fungsi sebagai unit pengembangan.
3.

Analisis Bangkitan Pergerakan

Tujuan dasar tahap bangkitan pergerakan adalah menghasilkan model hubungan yang
mengaitkan tata guna lahan dengan jumlah pergerakan yang menuju ke suatu zona atau
jumlah pergerakan yang meninggalkan suatu zona. Tahapan bangkitan pergerakan ini
meramalkan jumlah pergerakan yang akan dilakukan oleh setiap orang pada setiap zona.
Ada beberapa definisi dasar mengenai bangkitan pergerakan, yaitu pergerakan satu arah
dari zona asal ke zona tujuan, termasuk pergerakan berjalan kaki. Berhenti secara kebetulan
(misalnya berhenti diperjalan untuk membeli rokok) tidak dianggap sebagai tujuan
perjalanan, meskipun perubahan rute terpaksa dilakukan. Meskipun pergerakan sering
diartikan dengan pergerakan pulang dan pergi, dalam ilmu transportasi biasanya analisis

keduanya harus dipisahkan. Hal yang dikaji di sini tidak saja mengenai pergerakan
berkendaraan, tetapi juga pergerakan berjalan kaki.
Untuk mencapai tujuan, pelaku perjalanan dapat menentukan keputusan perjalanan
untuk memilih moda angkutan (Model Choice) yang sesuai dengan nilai manfaat (Utility)
seseorang.
4.

Distribusi Pergerakan

Distribusi pergerakan merupakan fase ke dua dalam perencanaan transportasi perkotaan yang
mengenai hubungan penghasil perjalanan dengan penarik perjalanan. Model ini meliputi
pembagian perjalanan yang dihasilkan dalam sebuah zona ke zona lainnya (destination).

5.

Gambar 2 Metode Untuk Mendapatkan Matrik Asal Tujuan ( MAT )


Interaksi Pergerakan

Interaksi dapat diartikan sebagai hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi
sehingga menghasilkan efek bagi kedua belah pihak. Misalnya hubungannya dengan interaksi
antara kota A dan kota B, interaksi kedua tempat ini dipengaruhi oleh munculnya keinginan
untuk memenuhi kebutuhan dari kedua tempat. Pola interaksinya tidak hanya terbatas pada
faktor ekonomi saja tetapi lebih dari itu pola interaksinya berlangsung dalam seluruh aspek
kehidupan. Selain itu, interaksi ini akan memunculkan gerakan penduduk dari kedua tempat
sebagai bentuk nyatanya.

VI.

Contoh Kasus

Fajar adalah mahasiswa Undip Semarang, dan bertempat tinggal di Kota Salatiga. Pada
akhir pekan, ia sering pulang ke Salatiga dan kembali ke Kota Semarang pada Senin pagi
hari. Akan tetapi pada Senin pagi sering ia jumpai kemacetan dalam perjalanan, di beberapa
lokasi karena adanya aktifitas pabrik dan keramaian pasar di Jalan Raya Semarang-Salatiga.
Oleh karena itu, banyak pengendara roda dua dan roda empat yang terjebak dalam kemacetan
sehingga mereka sering kali terlambat tiba di tempat tujuan. Dari peristiwa di atas dapat kita
gambarkan bagaimana sulitnya aksesbilitas antara Semarang dan Salatiga karena kemacetan.
Oleh karena itu, jika pembangunan jalan tol Semarang Bawen sudah selesai, maka jauh
lebih baik untuk kendaraan roda empat menggunakan jasa jalan tol tersebut sehingga volume
kendaraan di Jalan Raya Semarang-Salatiga dapat berkurang sehingga dapat mengurangi
kemacetan.

Anda mungkin juga menyukai