Anda di halaman 1dari 16

BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij dan Tajdid
2.1.1 Pengertian Tajdid
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari
satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan
dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai
dengan al-Quran dan as-sunnah. Dalam penegertian pertama ini diterapkan pada bidang
aqidah dan ibadah mahdah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah
muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah
memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia mengalami hubungan
antarbudaya yang sangat kompleks.
Arti pemurnian tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam yang
berdasarkan pada al-Quran dan as-sunnah. Pada pengertian tajdid dalam arti pemurnian ini
Bernard Vlekke dan Wertheim, misalnya, mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan
puritan yang menjadikan focus utamanya pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran islam
dari sinkretisme dan belenggu formalisme.
Sedang arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran islam dengan
tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-sunnah.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang
1.
2.
3.
4.

mengagumkan. Di antaranya adalah :


Membersihkan islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan islam.
Reformulasi doktrin islam dengan pandangan alam pikiran modern
Reformulasi ajaran islam dan pendidikan islam
Mempertahankan islam dari pengaruh dan serangan orang di luar islam

2.1.2 Pengertian Takhrij


Takhrij menurut bahasa mempunyai beberapa makna. Yang paling mendekati di sini
adalah berasal dari kata kharaja ( ) yang artinya nampak dari tempatnya, atau
keadaannya, dan terpisah, dan kelihatan. Demikian juga kata al-ikhraj ( ) yang artinya
menampakkan dan memperlihatkannya. Dan al-makhraj ( ) artinya artinya tempat

keluar; dan akhrajal-hadits wa kharrajahu artinya menampakkan dan memperlihatkan hadits


kepada orang dengan menjelaskan tempat keluarnya.
Mahmud attahhan menjelaskan pengertian Takrij menurut bahasa sebagai
Berkumpulnya dua perkara yang berlawanan pada sesuatu yang satu kata. Tahkrij sering
dikatakan dalam beberapa arti :
1. Al-Istimbat (hal mengeluarkan)
2. Al-Tadrib (hal melasih)
3. At-taujih (hal memperhadapkan)
Sedangkan tahkrij menurut istilah berbeda-beda menurut penuturan berbagai ulama.
Abd. Yuhdi Abdul Qodir mendefenisikan takhrij sebagai bahwa penulis menyebutkan hadis
dengan sanad-sanadnya dalam kitab-kitabnya. Ibrohim abd. Fattah Halibah mengutib
pendapat Al Manawi tentang defenisi takhrij sebagai berikut : Mengembalikan hadis-hadis
ketempat asalnya yang ditulis oleh ulama-ulama hadis dalam kitab jawami, sunan dan
musnad.
Sementara Mahmud at-Tahhan memberi defenisi sebagai berikut: Menunjukkan letak
hadis pada sumber aslinya yang lengkap dengan sanad-sanadnya kemudian menjelaskan
status atau kualitas hadis jika diperlukan. Berdasarkan batasan di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa Takhrij menurut istilah adalah menunjukkan tempat hadis pada sumber
aslinya yang mengeluarkan hadis tersebut dengan sanadnya dan menjelaskan derajatnya
ketika diperlukan.
Dari defenisi diatas dapat kita lihat bahwa takhrij itu adalah menelusuri suatu hadis
kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan, dan musnad kemudian jika diperlukan
menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih, hasan atau doif.

2.2 Model Takhrij dan Tajdid Muhammadiyah


2.2.1 Model Takhrij
Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
1. Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
2. Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
3. Takhrij menurut rawi pertama
4. Takhrij menurut tema hadis
5. Takhrij menurut status hadis
Dalam takhrij terdapat beberapa macam metode yang diringkas dengan mengambil
pokok-pokoknya sebagai berikut :

1. Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat. Metode ini
dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari
bantuan dari tiga macam karya hadits :
Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang
meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga
mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
Al-Maaajim (mujam-mujam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad
para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnadmusnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
2. Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits. Cara ini dapat
dibantu dengan :
Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: AdDurarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi;Al-Laali Al-Mantsuurah
fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin
minal-Ahaaditsil-Musytahirahalal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-ThayyibminalKhabits fiimaa Yaduru ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits

karya Ibnu Ad-Dabi Asy-

Syaibani; Kasyful-Khafa wa Muziilul-Ilbaamma Isytahara minal-Ahaaditsala AlsinatinNaas karya Al-Ajluni.


Kitab-kitab hadits yang disusun berdasarkan urutan huruf kamus, misalnya Al-JamiushShaghiir minal-Ahaaditsil-Basyir An-Nadzir karya As-Suyuthi.
Petunjuk-petunjuk dan indeks yang disusun para ulama untuk kitab-kitab tertentu, misalnya:
Miftah Ash-Shahihain karya At-Tauqadi; Miftah At-Tartiibi li Ahaaditsi Tarikh Al-Khathib
karya Sayyid Ahmad Al-Ghumari; Al-Bughiyyah fii Tartibi Ahaaditsi Shahih Muslim karya
Muhammad Fuad Abdul-Baqi; Miftah Muwaththa Malik karya Muhammad Fuad AbdulBaqi.
3. Metode Ketiga, takhrij dengan cara mengetahui kata yang jarang penggunaannya oleh orang
dari bagian mana saja dari matan hadits. Metode ini dapat dibantu dengan kitab Al-Mujam
Al-Mufahras li Alfaadzil-Hadits An-Nabawi, berisi sembilan kitab yang paling terkenal
diantara kitab-kitab hadits, yaitu: Kutubus-Sittah, Muwaththa Imam Malik, Musnad Ahmad,
dan Musnad Ad-Darimi. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis, yaitu Dr. Vensink

(meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut
dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
4. Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits. Jika telah
diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan
karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak
dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun
berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan
Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab

hadits yang terkenal, yaitu:


Shahih Bukhari
Shahih Muslim
Sunan Abu Dawud
Jami At-Tirmidzi
Sunan An-Nasai
Sunan Ibnu Majah
Muwaththa Malik
Musnad Ahmad
Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
Sunan Ad-Darimi
Musnad Zaid bin Ali
Sirah Ibnu Hisyam
Maghazi Al-Waqidi
Thabaqat Ibnu Saad
5. Metode Kelima, takhrij dengan cara melalui pengamatan terhadap ciri-ciri tertentu pada
matan atau sanad. Metode ini dilihat dari ciri-ciri tertentu dalam matan maupun sanad-nya
(klasifikasi) maka akan ditemukan hadits itu berasal. Ciri-ciri yang dimaksud adalah ciri-ciri
maudhuk, ciri-ciri hadits qudsi, ciri-ciri dalam periwayatan dengan silsilah sanad tertentu,dll.
Contoh Takhrij Hadits:
Berikut ini contoh takhrij dari kitab At-Talkhiisul-Habiir (karya Ibnu Hajar) :
Al-Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,Hadits Ali bahwasannya Al-Abbas meminta
kepada Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam tentang mempercepat pembayaran zakat
sebelum sampai tiba haul-nya. Maka Rasulullah shallallaahu alaihi wasallam memberikan
keringanan untuknya. Diriwayatkan oleh Ahmad, para penyusun kitab Sunan, Al-Hakim, AdDaruquthni, dan Al-Baihaqi; dari hadits Al-Hajjaj bin Dinar, dari Al-Hakam, dari Hajiyah bin
Adi, dari Ali. Dan diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dari riwayat Israil, dari Al-Hakam, dari
Hajar Al-Adawi, dari Ali. Ad-Daruquthni menyebutkan adanya perbedaan tentang riwayat
dari Al-Hakam. Dia menguatkan riwayat Manshur dari Al-Hakam dari Al-Hasan bin Muslim
bin Yanaq dari Nabi shallallaahu alaihi wasallam dengan derajat mursal. Begitu juga Abu

Dawud menguatkannya. Al-Baihaqi berkata,Imam Asy-SyafiI berkata : Diriwayatkan dari


Nabi shallallaahu alaihi wasallam bahwasannya beliau mendahulukan zakat harta Al-Abbas
sebelum tiba masa haul (setahun), dan aku tidak mengetahui apakah ini benar atau tidak?.
Al-Baihaqi berkata,Demikianlah riwayat hadits ini dari saya. Dan diperkuat dengan hadits
Abi Al-Bakhtari dari Ali, bahwasannya Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda,Kami
sedang membutuhkan lalu kami minta Al-Abbas untuk mendahulukan zakatnya untuk dua
tahun. Para perawinya tsiqah, hanya saja dalam sanadnya terdapat inqitha. Dan sebagian
lafadh menyatakan bahwa Nabi shallallaahu alaihi wasallam bersabda kepada Umar,Kami
pernah mempercepat harta Al-Abbas pada awal tahun. Diriwayatkan oleh Abu Dawud AthThayalisi dari hadits Abi Rafi [At-Talkhiisul-Habiir halaman 162-163]
2.2.2 Model Tajdid Muhammadiyah
A. Muhammadiyah periode awal dan sebelum kemerdekaan
1. Kepemimpinan K. H. Ahmad Dahlan (1912 1923)
Periode sebelum kemerdekaan merupakan lanjutan dari masa sebelumnya. Periode awal
Muhammadiyah di bawah pimpinan K. H. Ahmad Dahlan. Masa ini masih termasuk masa
perintisan, pembentukan jiwa dan amal usaha serta penataan organisasi.
Kondisi umat pada saat itu sedang terbelenggu oleh takhayyul, bidah, khurofat dan
singkretisme. Kehidupan umat islam terbungkus dalam sikap taqlidisme (faham taqlid),
feodalisme, konservativisme, dan tradisionalisme, yang dipandang menjadi penyebab
keterbelakangan umat islam.
Gagasan gagasan K. H. Ahmad Dahlan yang ingin mengajurkan agar cabang
Muhammadiyah di luar Yogyakarta memakai nama lain sehingga gagasan ini mendapat
sambutan besar dari masyarakat berbagai kota di Indonesia. Ulama ulama dari berbagai
daerah lain berdatangan untuk menyatakan dukungan terhadap muhammadiyah. Sehingga
pada tahun 1917 Muhammadiyah mulai meluas dan berkembang.
Jasa jasa K. H. Ahmad Dahlan dalam membangkitkan kesadaran melalui pembaharuan
islam dan pendidikan, pemerintahan republik indonesia menobatkan K.H. Ahmad Dahlan
sebagai pahlawan nasional dengan surat keputusan presiden No. 657 Tahun 1961. Adapun
dasar dasar penerapan itu adalah:
a. K. H. Ahmad Dahlan telah mempelopori kebangkitan umat islam untuk menyadari nasibnya
sebagai bangsa terjajah yang masih harus belajar dan berbuat.
b. Organisasi Muhammadiyah yang didirikan telah banyak memberikan ajarn islam yang murni
kepada bangsanya, ajaran yang menuntut kemajuan, kecerdasan, dan beramal bagi
masyarakat dan umat dengan dasar iman dan islam.
c. Organisasi Muhammadiyah telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat
di perlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran islam.
d. Organisasi Muhammadiyah bagian wanita (Aisyiyah) telah mempelopori kebangkitan wanita
indonesia untuk mengenyam pendidikan dan berfungsi sosial setingkat dengan kaum pria.
2. Kepemimpinan K. H. Ibrahim (1922 1934)
Menurut catatan A. R. Fachruddin (1991), pada masa kepemimpinan K. H. Ibrahim,
kegiatan kegiatan yang dapat menonjol adalah:
Dalam bidang pendidikan:
a. Pada tahun 1924 K. H. Ibrahim mendirikan Fouds Dahlan / yang bertujuan membiayai
sekolah untuk anak anak miskin.
b. Pada tahun 1925 ia mengadakan khitanan massal.

c. Mengadakan perbaikan badan perwakilan untuk menjodohkan putra putri keluarga


muhammadiyah.
d. Pada kongres muhammadiyah di solo pada tahun 1929, Muhammadiyah mendirikan
Uisgeefster My. Yaitu Badan uasaha penerbitan buku buku sekolah Muhammadiyah yang
bernaung di bawah Majelis Taman Pustaka.
Dalam bidang dakwah:
a. Terjadi penurunan gambar K. H. Ahmad Dahlan karena pada waktu itu ada gejalah
pengkultusan terhadap K. H. Ahmad Dahlan.
b. Semenjak tahun 1928, diadakan pengiriman putra putri lulusan sekolah sekolah
Muhammadiyah (Muallimin, Tabligh School, Noormalschool) keseluruh pelosok tanah air
yang kemudian di kenal dengan anak panah Muhammadiyah.
c. Pada tahun 1932Muhammadiayah menerbitkan surat kabar (dagblaad) dan penanggung
jawab dan pelaksana diserahkan kepada pengurus cabang muhammadiyah solo, yang di
kemudian hari dinamakan Adil.
d. Mendorong gerakan dakwah Muhammadiyah serta membimbing gerakan Aisyiyah untuk
semakin maju, tertib dan kuat.
e. Berhasil meningkatkan kualitas tamirul masjid (pengelolaan masjid).
f. Mondorong berdirinya koperasi adz-Dzakirat.
3. Kepemimpinan K. H. Hisyam (1934 1936)
Kemajuan kemajuan yang di capai selama kepemimpinan K. H. Hisyam adalah:
a. Ketertiban administrasi dan manajemen organisasi serta masalah pendidikan dan pengajalan
baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.
b. Membuka sekolah dasar 3 tahun (Folkschool) atau sekolah desa dengan menyamai
persyaratan dan kurikulum sebagaimana Folkschool Gubernemen.
c. Membuka Vervolgschool Muhammadiyah sebagai lanjutannya. Dengan langkah inilah
akhirnya bermunculan Volkschool dan Vervolgschool Muhammadiyah di Indonesia.
d. Ketika pemerintahan Kolonial Belanda membuka standarschool yaitu sekolah dasar enam
tahun muhammadiyah pun mendirikan Hollands Inlandse School met de Quran
Muhammadiyah untuk menandingi masyarakat Katolik yang telah mendirikan Hollands
Inlandse School met de Bijbel.
e. Mengarahkan modernisasi sekolah sekolah Muhammadiyah sehingga selaras dengan
kemajuan pendidikan yang dicapai oleh sekolah sekolah yang didirikan oleh Pemerintah
Kolonial.
4. Kepemimpinan K. H. Mas Mansyur (1937 1943)
Sebagai ketua pengurus Besar Muhammadiyah hal hal yang di capai adalah sebagai
berikut:
a. Di berlakukannya disiplin dalam berorganisasi, sidang pengurus Besar Muhammadiyah
selalu diadakan tepat waktu, demikian juga dengan para tamu dari daerah lain.
b. Mengfungsikan kantor sebagai tempat untuk menyelesaikan persoalan Muhammadiyah.
Sebab selama ini selalu dilaksanakan di rumah masing masing. Hal ini karena Pengurus
Besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan
perlengkapannya.
c. Adanya kebijakan baru yang disebut langkah Muhammadiyah 1083 1949, yang hal ini
terdapat 12 langkah yang dicanagkannya.
d. Mas Mansyur tidak ragu mengambil kesimpulan tentang hukum bank, yaitu haram tetapi
diperkenankan, kemudian, dan di manfaatkan selama keadaan memaksa untuk itu.
Selain itu, juga memprakarsai berdirinya Partai Islam Indonesia (PII) bersama Dr.
Sukiman Wiryasanjaya. Sebagai pertimbangan atas sikap nonkooperatif dari Partai Syarikat
Islam Indonesia (PSII), demikian juga ketika Jepang menguasai Indonesia, Mas Mansyur

termasuk dalam 4 tokoh nasional yang sangat diperhitungkan dan dikenal dengan Empat
Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur.
5. Muhammadiyah Sesudah Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Babak baru perkembangan Muhammadiyah ini berlangsung hingga Muhtamar tahun 1956
di Palembang. Bahkan perkembangan Muhammadiyah pada masa ini mengalami stagnasi
(kemendekan) karena rakyat harus menghadapi Perang Pasifik yang menuntut
Muhammadiyah terlibat didalamnya demi kepentingan umat islam. Selain itu, pada masa ini
para pimpinan Muhammadiyah terlibat dalam revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan
hingga tidak bisa berkonsentrasi memikirkan organisasi, terutama dalam gerakan dakwah
islamiyah.
Perjuangan Muhammadiyah untuk mempertahankan kemerdekaan ini kembali terjadi saat
kekuatan PKI berencana menguasai Indonesia pada tahun 1948 dan Gerakan 30 September
tahun 1965 yang cukup menguras tenaga dan fikiran Muhammadiyah.
Masa ini dikenal sebagai masa kebangkitan Muhammadiyah. Mukhtamar
Muhammadiyah ke-33 di Palembang tahun 1965 menghasilkan khittah perjuangan yang
akhirnya merumuskan pedoman gerakan dalam berbagai dimensi. Kebangkitan untuk
kembali berdakwah lebih ditekankan pada masa ini. Berikut para pemimpin pada masa ini.
1. Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1942 1953)
Ki Bagus pernah menjadi Tabligh pada tahun 1922, ketua majlis Tarjih, anggota Komisi
MPR Hoofdestuur Muhammadiyah tahun 1926 dan ketua PP Muhammadiyah sejak tahun
1942 1953. Adapun kemajuan kemajuan yang di capai adalah:
a. Beliau dapat merumuskan pokok pokok pikiran Ahmad Dahlan sehingga dapat menjiwai
dan mengarahkan gerakan langkah serta perjuangan Muhammadiyah bahkan pokok pokok
pikiran itu menjadi Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
b. Menjadi Inspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya seperti HAMKA, yang
terinspirasi dari Muqoddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah,
yaitu kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita cita Hidup
Muhammadiyah.
2. Kepemimpinan Buya A. R. Sutan Mansyur (1953 1959)
Kemajuan kemajuan yang dicapai pada kepemimpinan ini adalah:
a. Pemuliahan ruh Muhammadiyah dikalangan warga dan pimpinan semakin digiatkan dengan
memasyaratkan dua hal yaitu khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu,
memenuhi janji, menanam ruh tauhid dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan
buqah mubarokah (tempat yang diberkati di tempat masing masing), mengutamakan sholat
berjamaah tepat waktu, mendidik anak beribadah dan mengaji al-Quran, mengaji al-Quran
untuk mengharap rahmat, melatih puasa Senin Kamis dan tanggal 13, 14, 15, bulan Islam
serta tetap menghidupkan taqwa.
b. Berhasil merumuskan khittah pada tahun 1956 1959 yang populer dengan khittah
Palembang.
6. Muhammadiyah Masa Orde Baru Sampai Reformasi
Pada awal orde baru peran dan kiprah Muhammadiyah masih banyak dalam bidang
politik-struktural. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan kepemimpinan dari orde lama
yang dipimpin oleh Ir Soekarno pada tahun 1968 yang di sebut awal orde baru. Energi
dakwah pada periode ini banyak terkuras untuk gerakan politik yang dilakukan para pimpinan
Muhammaduyah. Namun, setelah dilakukan evaluasi bahwa gerakan dakwah memalui jalur
politik tidak bisa mempercepat pencapaian tujuan Muhammadiyah, maka pada tahun 1971
Muhammadiyah memberlakukan kittah untuk tidak berpolitik yang di putuskan dalam
Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971.

Perkembangan Muhammadiyah pada masa orde baru dan reformasi berlangsung cukup
pesat. Kinerja dan organisasi amal usaha Muhammadiyah berkembang secara bagus, baik dari
sisi kualitas maupun kuantitas.
Perjalanan sejarah Muhammadiyah pada masa Orde Baru pasca Muktamar ke-44 di
Jakarta dan masa reformasi dapat dilihat dalam kiprah dan kepemimpinan Muhammadiyah,
yaitu:
1. Kepemimpinan K. H. Faqih Usman (1968 1971)
Kemajuan yang di capainya adalah:
a. Beliau pernah memimpin Majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammdiyah
wilayah jawa timur.
b. Beliau banyal terlibat dalam aktivitas politik negeri ini. Ia perna dipercaya pemerintah RI
untuk menjadi Menteri Agama pada masa kabinet Halim Perdanakusuma tahun 1951.
c. Beliau perna menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada masa kepengurusan
Badawi (1962 1965), ia merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenak
dengan kepribadian Muhammdiyah.
2. Kepemimpinan Abdul Rozak Fachruddin (1971 1990)
Abdul Rozak Fachruddin adalah ulama besar berwajah sejuk dan bersahaja yang lebih di
kenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya menjadi pemimpin umat islam juga bisa dirasakan
oleh umat beragama lain, ketika beliau menyambut kunjungan Paus Yohanne Paulus II di
Yogyakarta. Ia mengkritik bahwa umat katolik banyak menggunakan kesempatan untuk
mempengaruhi umat islam yang masih menderita agar mau masuk ke agama katolik. Umat
islam di bujuk dan di rayu agar pinda agama. Dalam tulisannya pada Uskup Yohanes Paulus
II, ia mengungkapkan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara cara yang perwira
dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh umat agama lain karena disampaikan
dengan lembut dan sejuk serta dijiwai denan semangat toleransi yang tinggi.
3. Kepemimpinan K. H. A. Azhar Basyir, MA (1990 1995)
Pada masa kepemimpinannya, K. H. A. Azhar Basyir banyak memberi sumbangan
pemikiran dan kritik terhadap pemerintah. Melihat kebijakan politik pemerintah akomodatif
pada saat itu, terutama kepada umat islam, maka Muhammadiyah menyambut hal itu dengan
baik. Hal ini merupakan perhitungan politik Muhammadiyah yang matang bukan
dimaksudkan sebagai lat untuk mendapatkan kekuasaan dalam kabinet melainkan untuk
menghindarkan diri dari resiko resiko politik yang terlampau besar.
4. Kepemimpinan Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1995 1998)
Pada muktamar muhammadiyah ke-42 di yogyakarta ia terpilih sebagai wakil ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga di tetapkan sebagai pejabat ketua PP
Muhammadiyah pada sidang pleno di Jakarta bulan Juli 1994 berkenaan dengan wafatnya
ketua PP Muhammadiyah, yaitu Ahmad Azhar Basyir 28 Juni 1994.
Pada tanggal 6-5 juli 1998 berlangsung sidang tanwir Muhammadiyah yang di adakan di
Semarang. Momen itu dipakai oleh Amin Rais untuk menyampaikan agenda Muhammadiyah
era pasca Soeharto yang terdiri dari agenda internal an eksternal.
Agenda Internal:
a. Menyiapkan muktamar tahun 2000 dengan sasaran menemukan kepemimpinan yang lebih
muda, kreatif, dan kompak serta responsif menyongsung tunas-tunas muhammadiyah abad
ke-21.
b. Membina pembibitan kader pada seluruh tingkatan, dari ranting sampai pusat.
c. Membangun kerjasama antar ortom secara lebih rafi dan efisien.
d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas seluruh amal usaha muhammadiyah tetap survive.
e. Menggairahkan semangat ber-ZIS (zakat, infak, dan shodaqoh).
Agenda Eksternal:

a. Bergabung dengan kekuatan kekuatan reformis untuk mewujudkan reformasi total.


b. Menjadikan kepentingan rakyat, menjadi langkah langkah orientasi Muhammadiyah
kedepan bukan kepentingan kekuasaan.
c. Mengibarkan panji panji amar maruf nahi mungkar di segala bidang kehidupan sesuai
dengan kemampuan maksimal Muhammadiyah.
d. Membangun jaringan kerjasama nasioanal dan internasioanal secara transparan.
e. Memelihara kerjasama yang baik dengan pemerintah, termasuk ABRI/TNI, dalam rangka
mencapai cita cita proklamasi bangsa Indonesia.
7. Muhammadiyah Pasca Reformasi dan Muktamar ke-45 di Malang
1. Orientasi Gerakan
Muhammadiyah memerluakan pembaharuan yang bersifar reformis untuk menghadapi
perkembangan kontemporer. Bagi organisasi Muhammadiyah mungkin pembaharuan (tajdid)
reformatif merupakan pilihan yang lebih realistik dari pada perubahan radikal, terutama
perubahan yang menyangkut idealisme atau nilai nilai fundamental dalam persayarikatan.
Pada periode ini Muhammadiyah tidak berpolitik praktis tetapi mendukung gerakan
politik yang mengarah pada perwujudan negara yang baik dan bersih (good gavernance dan
clean gaverment). Selain itu, Muhammadiyah juga melakukan pemberdayaan masyarakat
melalui pembinaan yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjualan moral
untuk mewujudkan masyarakat yang utama.
2. Kepemimpinan Muhammadiyah Pascareformasi
Pascareformasi yang ditandai dengan lengsernya Soeharto, Muhammadiyah dituntut
untuk tetap berpartisipasi dalam mendorong terwujudnya reformasi menyeluruh, utamanya
reformasi politik.
Adapun tongkat kepemimpinan Muhammadiyah selanjutnya di amanakan oleh:
1. Prof. Dr. H. A. Syafii Maarif (1998 2005)
Syafii Maarif dipilih sebagai ketua PP Muhammadiyah melalui sidang pleno Pimpinan
Pusat Muhammadiyah. Akhirnya, tongkat kepemimpinan muhammadiyah di pegang sampai
muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta. Kemudian ia terpilih menjadi Pimpinan Pusat
Muhammadiyah untuk masa jabatan 2000 2005.
2. Prof. Dr. H. Din Syamsuddin (2005 2010)
Dalam kepemimpinannya, beliau banyak memberi kontribusi pemikiran dan gerakan
keagamaan dan sosial. Kemudian menekankan pada orientasi sosial dan peneguhan ideologi
kader.
Selain itu, gerakan dakwah yang dikembangkan adalah dakwah kultural, yaitu melakukan
dakwa dengan mengoptimalkan penggunaan kondisi lokal indonesia dengan menanamkan
nilai nilai islam sesuain dengan al-Quran dan hadits.
Beliau juga mempertahankan khittah politik yang telah di sepakati olaeh persyarikatan.
Muhammadiyah diteguhkan sebagai gerakan dakwah dan tidak terlibat dengan politik praktis.
Bahkan beliau juga mengatakan, pendiri PAN memang para elit Muhammadiyah namun
bukan berarti PAN milik Muhammadiyah. Tujuan menjaga jarak dengan partai politik ini
adalah agar kader Muhammadiyah lebih memperhatikan aspek sosial dan keagamaan yang
lebih penting untuk di perbaharui.
2.3 Makna Gerakan Keagamaan Muhammadiyah
Berdasarkan sejarah Muhammadiyah sejak didirikan, latar belakang, aspirasi, motif, cita
cita, amal usaha dan lainnya, terlihat bahwa Persyarikatan ini mempuyai ciri khas dan
identitas yang menempel pada dirinya. Berbagai ciri khas ini adalah satu kesatuan yang tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan lainnya, dan dapat dilihat secara mudah oleh siapa saja
yang sepintas mau memperhatikannya. Identitas itu adalah Muhammadiyah sebagai gerakan
islam, sebagai gerakan dakwah amal maruf nahi mungkar, dan sebagai gerakan tajdid.

Selain itu, Muhammadiyah juga tidak lepas dari dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara, mulai dari zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde
Reformasi Kontemporer. Dalam berbagai pengolokan yang terjadi di Republik Indonesia,
Muhammadiyah tidak tinggal diam untuk memberi kontribusi dan sumbangsih bagi kemajuan
bangsa. Keterlibatan inilah yang membuat Muhammadiyah juga identik sebagai gerakan
nasional, dan menjadi identitasnya, meski secara formal tidak di cantumkan dalam Anggaran
Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah.
2.3.1

Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam


Dalam Muqoddimah AD Muhammadiyah dinyatakan secara jelas, bahwa Persyarikatan
Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang didirikan pada tanggal 8 Dzulhijah 1330 Hijriyah
atau 18 Nopember 1912 Miladiyah. Sedangkan dalam tubuh AD-nya, Muhammadiyah
menegaskan bahwa organisasi ini berasaskan Islam, bersumber pada Al-Quran dan Sunnah
Nabi, yang yang gerakannya melaksanakan amal maruf nahi mungkar dan tajdid, dengan
maksud dan tujuan menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang
sebenar benarnaya.
Sejak kelahirannya Muhammadiyah memerankan diri sebagai Gerakan Islam, yakni
gerakan yang menyebarluaskan dan memajukan hal-ihwa agama Islam di Indonesia.
Penegasan dalam Anggaran dasar dan pertautan historis itu menunjukkan bahwa
Muhammadiyah adalah organisasi yang tidak lepas dari semangat Islam. Bahkan, kelahiran
Muhammadiyah sendiri juga tidak lepas dari pemahaman mendalam yang di lakukan oleh
K.H. Ahmad dahlan terhadap Al-Quran, khususnya surat Ali Imran: 104. Penelaahan inilah
yang mendorong K.H Ahmad Dahlan melakukan berbagai langka taktis dan strategi untuk
mengentaskan keterbelakangan umat Islam, dengan mendirikan Persyarikatan
Muhammadiyah
Tidak diragukan bahwa eksistensi dan esensi Muhammadiayah sebagai gerakan Islam,
bukan gerakan sosial-kemasyarakatan semata. Gerakan kemasyarakatannya hanyalah sebagai
atau fungsi transformasi dari gerakan Islam, bukan sesuatu yang berdiri sendiri apalagi
terlepas dari gerakan Islam. Kondisi sosio-historis berdirinya Muhammadiyah tidak lain
karena diilhamu, dimotivasi, dan disemangati oleh ajaran ajaran al-Quran. Motif
gerakannya tidak lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip prinsip ajaran
Islam dalam kehidupan nyata. Gerakanya hendak berusaha menampilkan wajah islam dalam
dinamika hidup, yang dapat dihayati, dirasakan, dan dinikmati oleh manusia sebagai
rahmatan lilalamin.
2.3.2 Muhammadiyah sebagai Gerakan Dakwah
Ciri kedua dari gerakan Muhammadiyah dikenal sebagai dakwah Islam, amar maruf nahi
mungkar. Ciri yang kedua ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak
terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Hal ini di akui ole beberapa pihak yang
menyatakan bahwa Muhammadiyah terlihat sebagai penggerakan dakwa yang menekankan
pendalaman nilai nilai Islam dan memiliki kepedulian yang sangat besar terhadap penetrasi
misi Kristen di Indonesia.
Adapun tujuan akhir dan tujuan umum dakwa Islam adalah sama dan sebangun dengan
tujuan hidup muslim, yaitu:
1. Tujuan vertikal: mencari keridlaan Allah SWT
2. Tujuan historis: menyampaikan rahmat bagi seluruh alam semesta. Secara rinci, tujuan ini
dapat dijabarkan menjadi tujuan sebagai individu, anggota keluarga, warga lingkunagan,
warga bangsa, dan warga dunia.
Sedangkan menurut Abul Aal al-Maududi sebagai mana yang di kutip Musthafa Kamal
Pasya dan Ahmad Aoaby Darban, tujuan dakwa Islamnya secara proporsional meliputi 3
sasaran, yaitu:

1. Agar umat manusia menyembah kepada Allah, tidak akan menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, dan tidak akan menyembah tuhan selain Allah semata mata.
2. Agar umat manusia bersedia menerima Islam sebagai agamanya, memurnikan keyakinannya,
hanya mengakui allah sebagai tuhannya, membersihkan jiwanya dan penyakit nifaq
(kemunafikan) dan selalu menjaga amal perbuatannya agar tidak bertentangan dengan ajaran
agama yang dianutnya.
3. Dakwah di tujukan untuk merubah sistem pemerintahan yang zalim ke pemerintahan Islam.
Adapun objek yang dijadikan sasaran dakwah (madu) Muhammadiyah ada 2 macam,
yaitu:
1. Orang yang belum Islam (umat dakwah)
Dakwah orang yang belum Islam adalah ajakan, seruan, dan panggilan yang sifatnya
menggembirakan dan menyenangkan. Cara yang dilakukan adalah dengan menunjukkan
mahasin al-Islam (keindahan Islam) melalui tingkah laku, bukan paksaan,. Tujuan utamanya
adalah agar mereka mengerti, memahami ajaran Islam, serta mau menerima Islam sebagai
agamanya.
2. Orang yang sudah Islam (umat ijabi)
Sifat dakwah yang dilakukan kepada orang yang sudah Islam bukan lagi bersifat ajakan
untuk menerima Islam sebagai agamanya, tetapi bersifat tajdid dalam arti pemurnian. Artinya,
dakwah yang dilakukan kepada golongan ini adalah menata kembali amal keagamaannya
agar sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Quran dan Hadits Nabi.
2.3.3

1.
2.
3.
4.
2.3.4

Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid


Ciri ketiga yang melekat pada persarikatan muhammadiyah adalah sebagai gerakan tajdid
atau gerakan revormasi. Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian,
ibarat dua sisi dari mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi:
yaitu, pembaruan dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam kearah keaslian dan
kemurniannya sesuai dengan al-Quran dan al-Sunnah al-Maqbulah. Dalam pengertian
pertama ini di terapkan pada bidang aqidah dan ibadah mahdhah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua di terapkan pada masalah
muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat di perlukan. Terutama setelah
memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa bangsa di dunia mengalami hubungan
antar budaya yang sangat kompleks.
Sebagai gerakan tajdid, muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang
mengagumkan. Diantarannya adalah:
Membersikan Islam dari pengaruh dan kebiasaan yang bukan Islam
Reformulasi doktrin Islam dengan pandangan alam pikiran moderen
Reformulasi ajaran Islam dan pendidikan Islam
Mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan orang di luar Islam
Muhammadiyah sebagai Gerakan Nasional
Pendiri organisasi K. H. Ahmad Dahlan adalah orang yang tidak pernah menempuh
pendididkan modern. Tidak heran jika Deliar Noer langsung mencatat muhammadiyah
sebagai organisasi islam yang terpenting di indonesia sebelu perang dunia II dan mungkin
juga sampai saat sekarang ini.
Sejak berdiri pada tahun 1912, Muhammadiyah memang menjahui jalur perjuangan
politik dan memilih jalur pendidikan. Begitu muncul, Muhammadiyah segera mlakukan
program pembaharuannya dalam tiga bidang, yaitu keagamaan, kemasyarakatan, dan

pendidikan. Munculnya Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan dalam sosial


budaya waktu itu merupakan eksperimen sejarah yang cukup spektakuler.
Muhammadiyah berkiprah di tengah tengah masyarakat bangsa indonesia dengan
membangun berbagai amal usaha yang benar benar dapat menyentuh hajat orang banyak,
seperti berbagai ragam lembaga pendidikan dari sejak kelompok bermain, taman kanak
kanak, hingga perguruan tinggi, juga sekian banyak lembaaga kesehatan dan pelayanan
sosial, seperti rumah sakit, panti asuhan dan sebagainya. Seluruh amal usaha Muhammadiyah
tidak lain merupakan manifestasi atau perwujudan dakwa islamiyah. Semua amal usaha
diadakan dengan niat dan tujuan yang tunggal, yaitu untuk dijadikan sarana dan wahana
dakwah islam sebagaimana yang diajarkan oleh Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah.
2.4 Gerakan Tajdid Pada 100 Tahun Kedua
Tantangan yang dihadapi Muhammadiyah pada abad pertama usianya pasti berbeda dari
abad kedua usianya, meskipun kontinuitasnya antara keduanya tetap ada. Untuk itu,
Paradigma, Model, dan Strategi Tajdidnya juga harus disesuaikan dengan perkembangan
terbaru discourse keislaman baik dalam teori maupun praktek.
Muhammadiyah harus melakukan upaya pembaharuan from within, yang meliputi
strategi pembaharuan gerakan pendidikan yang selama ini digelutinya, mengenal dengan baik
dan mendalam metode dan pendekatan kontemporer terhadap studi Islam dan Keislaman era
klasik

dan

lebih-lebih

era

kontemporer,

mendekatkan

dan

mendialogkan Islamic

Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan
keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar
rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI,
dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah
terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami
kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosialkeagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih Islam yang berkemajoean
sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan
begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi
penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan
oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah
Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan
paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu
atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi

paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal
baik ke arah radikal kiri maupun radikal kanan dalam pemikiran Islam, transformasi
tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi
untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke
depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam transformasi orientasi tajdidnya, Muhammadiyah di satu pihak tidak terjebak
pada pemurnian semata minus pembaruan, sebaliknya pembaruan tanpa peneguhan, sehingga
terdapat ruang untuk transformasi atau perubahan secara seimbang antara pemurnian dan
pengembangan atau antara peneguhan dan pencerahan. Namun paradigma dan strategi yang
eklektik atau tengahan seperti itu jika dibiarkan sekadar normatif belaka maka hanya akan
indah di ranah teori atau klaim tetapi sering tidak aktual atau mewujud dalam kenyataan
secara jelas dan tegas. Jika tanpa rancang-bangun yang jelas tajdid purifikasi dan dinamisasi
bahkan dapat melahirkan kecenderungan kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian
sekaligus tidak pembaruan. Di sinilah pentingnya transformasi paradigmatik dalam orientasi
tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus purifikasi dalam gerakan
Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma tajdid yang integratif atau eklektik antara
purifikasi dan dinamisasi, Muhammadiyah diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis
yang sifatnya menyusun ulang bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki
Muhammadiyah dengan keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada
sikap mauquf. Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi dalam
gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun hati-hati terus menerus
tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi agenda yang tidak berkesudahan,
padahal Muhammadiyah harus terus bergerak menghadapi masalah-masalah dan tantangantantangan baru. Dua materi strategis dapat diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut
fondasi pemikiran yang fundamental dalam gerakan Islam ini.
Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah Islamiyah
yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi pandangan resmi
Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang substantif dan komprehensif mengenai
Islam maka akan sering terjadi tarik-menarik pandangan dalam Muhammadiyah mengenai
hal-hal yang fundamental mengenai aspek-aspek ajaran Islam. Materi dalam al-Masail alKhamsah (Masalah Lima) mengenai m hua al-din (apa itu agama), Matan Keyakinan dan
Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan
berbagai rumusan resmi lainnya dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam dalam

pandangan Muhammadiyah. Dalam Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan pula secara
komprehensif mengenai pandangan Islam tentang perempuan, sehingga menghasilkan
pandangan yang substantif, mendalam, dan luas dari Muhammadiyah.
Perumusan dan elaborasi Risalah Islam yang komprehensif sekaligus dapat menjadi
jawaban atas keperluan Muhammadiyah untuk memberi substansi atas slogan al-ruju ila alQuran wa al-Sunnah sebagaimana selama satu abad perjalanannya telah menjadi ikon
sekaligus tema gerakan yang nyaring. Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang
luas dan mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya
harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah
meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini,
dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam
sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan
materi awal dan pokok untuk kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.
Umat Islam lain dan pihak luar juga dapat memiliki rujukan yang jelas apa dan bagaimana
sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai
tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan
yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas
cakrawala

metodologis

dalam

pengembangan

pemikiran

Islam

di

lingkungan

Muhammadiyah. Dengan paradigma purifikasi dan dinamisasi maka pengembangan atau


elaborasi pendekatan bayani, burhani, dan irfani akan menghasilkan konstruksi metodologis
yang jelas dan luas dari manhaj tarjih. Jangan biarkan di antarea warga Muhammadiyah
terjebak pada logika saling sesat-menyesatkan tanpa ilmu hanya karena kehilangan pegangan
dan

perspektif

mengenai

metodologi

pemikiran

Islam

yang

dipedomani

dalam

Muhammadiyah.
Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman
yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga
pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat
memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini
menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis
ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis
yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan
teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj

Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis
yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal)
baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi
metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam
berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensidimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat-dunyawiyah pada tataran
praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang
komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan
kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi
gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat,
bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi
model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalanpersoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi
dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak
cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang
cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah
sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan
partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan
sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu
memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari
gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham)
tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.

BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan

Tajdid mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan dalam


pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai dengan
al-Quran dan as-sunnah. Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi
(pengembangan) dalam pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta perubahan masyarakat.
takhrij adalah menelusuri suatu hadis kesumber asalnya yaitu kitab-kitab Jami, sunan,
dan musnad kemudian jika diperlukan menyebutkan kualitas hadis tersebut apakah sohih,
hasan atau doif.
1.
2.
3.
4.
5.

Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
Takhrij menurut rawi pertama
Takhrij menurut tema hadis
Takhrij menurut status hadis
Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai
isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus Kembali kepada AlQuran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah meneguhkan dirinya
sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini, dipahami, dan diamalkan
oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana terkandung dalam alMasail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk
kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.

DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan
Pendidikan (Kritik dan Terapinya). Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Djarir, Ibnu, Revitalisasi Gerakan Tajdid. Semarang: Harian Suara Merdeka, Edisi Kamis, 16
Nopember 2006. Hhtp:// www.suaramerdeka.com/ harian/ 0611/ 16/ opi03.htm.
Jainuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis. Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan
Masyarakat, 2002.

Anda mungkin juga menyukai