PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Takhrij dan Tajdid
2.1.1 Pengertian Tajdid
Menurut paham Muhammadiyah, tajdid mempunyai dua pengertian, ibarat dua sisi dari
satu mata uang. Pertama, mengandung pengertian purifikasi dan reformasi yaitu pembaruan
dalam pemahaman dan pengalaman ajaran islam ke arah keaslian dan kemurniannya sesuai
dengan al-Quran dan as-sunnah. Dalam penegertian pertama ini diterapkan pada bidang
aqidah dan ibadah mahdah.
Kedua, mengandung pengertian modernisasi atau dinamisasi (pengembangan) dalam
pemahaman dan pengamalan ajaran islam sejalan dengan kemjuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perubahan masyarakat. Pengertian yang kedua diterapkan pada masalah
muamalah duniawiyah. Tajdid dalam pengertian ini sangat diperlukan, terutama setelah
memasuki era globalisasi, karena pada era ini bangsa-bangsa di dunia mengalami hubungan
antarbudaya yang sangat kompleks.
Arti pemurnian tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran islam yang
berdasarkan pada al-Quran dan as-sunnah. Pada pengertian tajdid dalam arti pemurnian ini
Bernard Vlekke dan Wertheim, misalnya, mengkategorikan Muhammadiyah sebagai gerakan
puritan yang menjadikan focus utamanya pemurnian atau pembersihan ajaran-ajaran islam
dari sinkretisme dan belenggu formalisme.
Sedang arti peningkatan, pengembangan, modernisasi dan yang semakna dengannya,
tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran islam dengan
tetap berpegang teguh kepada al-Quran dan as-sunnah.
Sebagai gerakan tajdid, Muhammadiyah telah melahirkan berbagai prestasi yang
1.
2.
3.
4.
1. Metode Pertama, takhrij dengan cara mengetahui perawi hadits dari sahabat. Metode ini
dikhususkan jika kita mengetahui nama sahabat yang meriwayatkan hadits, lalu kita mencari
bantuan dari tiga macam karya hadits :
Al-Masaanid (musnad-musnad) : Dalam kitab ini disebutkan hadits-hadits yang diriwayatkan
oleh setiap shahabat secara tersendiri. Selama kita telah mengetahui nama shahabat yang
meriwayatkan hadits, maka kita mencari hadits tersebut dalam kitab al-masaanid hingga
mendapatkan petunjuk dalam satu musnad dari kumpulan musnad tersebut.
Al-Maaajim (mujam-mujam) : Susunan hadits di dalamnya berdasarkan urutan musnad
para shahabat atau syuyukh (guru-guru) atau bangsa (tempat asal) sesuai huruf kamus
(hijaiyyah). Dengan mengetahui nama shahabat dapat memudahkan untuk merujuk haditsnya.
Kitab-kitab Al-Athraf : Kebanyakan kitab-kitab al-athraf disusun berdasarkan musnadmusnad para shahabat dengan urutan nama mereka sesuai huruf kamus. Jika seorang peneliti
mengetahui bagian dari hadits itu, maka dapat merujuk pada sumber-sumber yang
ditunjukkan oleh kitab-kitab al-athraf tadi untuk kemudian mengambil hadits secara lengkap.
2. Metode Kedua, takhrij dengan mengetahui permulaan lafadh dari hadits. Cara ini dapat
dibantu dengan :
Kitab-kitab yang berisi tentang hadits-hadits yang dikenal oleh orang banyak, misalnya: AdDurarul-Muntatsirah fil-Ahaaditsil-Musytaharah karya As-Suyuthi;Al-Laali Al-Mantsuurah
fil-Ahaaditsl-Masyhurah karya Ibnu Hajar; Al-Maqashidul-Hasanah fii Bayaani Katsiirin
minal-Ahaaditsil-Musytahirahalal-Alsinah karya As-Sakhawi; Tamyiizuth-ThayyibminalKhabits fiimaa Yaduru ala Alsinatin-Naas minal-Hadiits
(meninggal 1939 M), seorang guru bahasa Arab di Universitas Leiden Belanda; dan ikut
dalam menyebarkan dan mengedarkannya kitab ini adalah Muhammad Fuad Abdul-Baqi.
4. Metode Keempat, takhrij dengan cara mengetahui tema pembahasan hadits. Jika telah
diketahui tema dan objek pembahasan hadits, maka bisa dibantu dalam takhrij-nya dengan
karya-karya hadits yang disusun berdasarkan bab-bab dan judul-judul. Cara ini banyak
dibantu dengan kitab Miftah Kunuz As-Sunnah yang berisi daftar isi hadits yang disusun
berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan
Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab
termasuk dalam 4 tokoh nasional yang sangat diperhitungkan dan dikenal dengan Empat
Serangkai, yaitu Soekarno, Mohammad Hatta, Ki Hajar Dewantara, dan Mas Mansyur.
5. Muhammadiyah Sesudah Kemerdekaan dan Masa Orde Lama
Babak baru perkembangan Muhammadiyah ini berlangsung hingga Muhtamar tahun 1956
di Palembang. Bahkan perkembangan Muhammadiyah pada masa ini mengalami stagnasi
(kemendekan) karena rakyat harus menghadapi Perang Pasifik yang menuntut
Muhammadiyah terlibat didalamnya demi kepentingan umat islam. Selain itu, pada masa ini
para pimpinan Muhammadiyah terlibat dalam revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan
hingga tidak bisa berkonsentrasi memikirkan organisasi, terutama dalam gerakan dakwah
islamiyah.
Perjuangan Muhammadiyah untuk mempertahankan kemerdekaan ini kembali terjadi saat
kekuatan PKI berencana menguasai Indonesia pada tahun 1948 dan Gerakan 30 September
tahun 1965 yang cukup menguras tenaga dan fikiran Muhammadiyah.
Masa ini dikenal sebagai masa kebangkitan Muhammadiyah. Mukhtamar
Muhammadiyah ke-33 di Palembang tahun 1965 menghasilkan khittah perjuangan yang
akhirnya merumuskan pedoman gerakan dalam berbagai dimensi. Kebangkitan untuk
kembali berdakwah lebih ditekankan pada masa ini. Berikut para pemimpin pada masa ini.
1. Kepemimpinan Ki Bagus Hadi Kusumo (1942 1953)
Ki Bagus pernah menjadi Tabligh pada tahun 1922, ketua majlis Tarjih, anggota Komisi
MPR Hoofdestuur Muhammadiyah tahun 1926 dan ketua PP Muhammadiyah sejak tahun
1942 1953. Adapun kemajuan kemajuan yang di capai adalah:
a. Beliau dapat merumuskan pokok pokok pikiran Ahmad Dahlan sehingga dapat menjiwai
dan mengarahkan gerakan langkah serta perjuangan Muhammadiyah bahkan pokok pokok
pikiran itu menjadi Muqoddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah.
b. Menjadi Inspirasi sejumlah tokoh Muhammadiyah lainnya seperti HAMKA, yang
terinspirasi dari Muqoddimah tersebut untuk merumuskan dua landasan idiil Muhammadiyah,
yaitu kepribadian Muhammadiyah dan Matan Keyakinan dan Cita cita Hidup
Muhammadiyah.
2. Kepemimpinan Buya A. R. Sutan Mansyur (1953 1959)
Kemajuan kemajuan yang dicapai pada kepemimpinan ini adalah:
a. Pemuliahan ruh Muhammadiyah dikalangan warga dan pimpinan semakin digiatkan dengan
memasyaratkan dua hal yaitu khasyyah (takut pada kemurkaan Allah), merebut waktu,
memenuhi janji, menanam ruh tauhid dan mewujudkan akhlak tauhid. Kedua, mengusahakan
buqah mubarokah (tempat yang diberkati di tempat masing masing), mengutamakan sholat
berjamaah tepat waktu, mendidik anak beribadah dan mengaji al-Quran, mengaji al-Quran
untuk mengharap rahmat, melatih puasa Senin Kamis dan tanggal 13, 14, 15, bulan Islam
serta tetap menghidupkan taqwa.
b. Berhasil merumuskan khittah pada tahun 1956 1959 yang populer dengan khittah
Palembang.
6. Muhammadiyah Masa Orde Baru Sampai Reformasi
Pada awal orde baru peran dan kiprah Muhammadiyah masih banyak dalam bidang
politik-struktural. Hal ini di karenakan terjadinya perubahan kepemimpinan dari orde lama
yang dipimpin oleh Ir Soekarno pada tahun 1968 yang di sebut awal orde baru. Energi
dakwah pada periode ini banyak terkuras untuk gerakan politik yang dilakukan para pimpinan
Muhammaduyah. Namun, setelah dilakukan evaluasi bahwa gerakan dakwah memalui jalur
politik tidak bisa mempercepat pencapaian tujuan Muhammadiyah, maka pada tahun 1971
Muhammadiyah memberlakukan kittah untuk tidak berpolitik yang di putuskan dalam
Muktamar ke-38 di Ujung Pandang tahun 1971.
Perkembangan Muhammadiyah pada masa orde baru dan reformasi berlangsung cukup
pesat. Kinerja dan organisasi amal usaha Muhammadiyah berkembang secara bagus, baik dari
sisi kualitas maupun kuantitas.
Perjalanan sejarah Muhammadiyah pada masa Orde Baru pasca Muktamar ke-44 di
Jakarta dan masa reformasi dapat dilihat dalam kiprah dan kepemimpinan Muhammadiyah,
yaitu:
1. Kepemimpinan K. H. Faqih Usman (1968 1971)
Kemajuan yang di capainya adalah:
a. Beliau pernah memimpin Majalah Bintang Islam sebagai media cetak Muhammdiyah
wilayah jawa timur.
b. Beliau banyal terlibat dalam aktivitas politik negeri ini. Ia perna dipercaya pemerintah RI
untuk menjadi Menteri Agama pada masa kabinet Halim Perdanakusuma tahun 1951.
c. Beliau perna menjadi Wakil Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada masa kepengurusan
Badawi (1962 1965), ia merumuskan sebuah konsep pemikiran yang kemudian dikenak
dengan kepribadian Muhammdiyah.
2. Kepemimpinan Abdul Rozak Fachruddin (1971 1990)
Abdul Rozak Fachruddin adalah ulama besar berwajah sejuk dan bersahaja yang lebih di
kenal dengan nama Pak AR. Kesejukannya menjadi pemimpin umat islam juga bisa dirasakan
oleh umat beragama lain, ketika beliau menyambut kunjungan Paus Yohanne Paulus II di
Yogyakarta. Ia mengkritik bahwa umat katolik banyak menggunakan kesempatan untuk
mempengaruhi umat islam yang masih menderita agar mau masuk ke agama katolik. Umat
islam di bujuk dan di rayu agar pinda agama. Dalam tulisannya pada Uskup Yohanes Paulus
II, ia mengungkapkan bahwa agama harus disebarluaskan dengan cara cara yang perwira
dan sportif. Kritik ini diterima dengan lapang dada oleh umat agama lain karena disampaikan
dengan lembut dan sejuk serta dijiwai denan semangat toleransi yang tinggi.
3. Kepemimpinan K. H. A. Azhar Basyir, MA (1990 1995)
Pada masa kepemimpinannya, K. H. A. Azhar Basyir banyak memberi sumbangan
pemikiran dan kritik terhadap pemerintah. Melihat kebijakan politik pemerintah akomodatif
pada saat itu, terutama kepada umat islam, maka Muhammadiyah menyambut hal itu dengan
baik. Hal ini merupakan perhitungan politik Muhammadiyah yang matang bukan
dimaksudkan sebagai lat untuk mendapatkan kekuasaan dalam kabinet melainkan untuk
menghindarkan diri dari resiko resiko politik yang terlampau besar.
4. Kepemimpinan Prof. Dr. H. M. Amien Rais, MA (1995 1998)
Pada muktamar muhammadiyah ke-42 di yogyakarta ia terpilih sebagai wakil ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah dan juga di tetapkan sebagai pejabat ketua PP
Muhammadiyah pada sidang pleno di Jakarta bulan Juli 1994 berkenaan dengan wafatnya
ketua PP Muhammadiyah, yaitu Ahmad Azhar Basyir 28 Juni 1994.
Pada tanggal 6-5 juli 1998 berlangsung sidang tanwir Muhammadiyah yang di adakan di
Semarang. Momen itu dipakai oleh Amin Rais untuk menyampaikan agenda Muhammadiyah
era pasca Soeharto yang terdiri dari agenda internal an eksternal.
Agenda Internal:
a. Menyiapkan muktamar tahun 2000 dengan sasaran menemukan kepemimpinan yang lebih
muda, kreatif, dan kompak serta responsif menyongsung tunas-tunas muhammadiyah abad
ke-21.
b. Membina pembibitan kader pada seluruh tingkatan, dari ranting sampai pusat.
c. Membangun kerjasama antar ortom secara lebih rafi dan efisien.
d. Meningkatkan kualitas dan kuantitas seluruh amal usaha muhammadiyah tetap survive.
e. Menggairahkan semangat ber-ZIS (zakat, infak, dan shodaqoh).
Agenda Eksternal:
Selain itu, Muhammadiyah juga tidak lepas dari dinamika kehidupan berbangsa dan
bernegara, mulai dari zaman penjajahan, kemerdekaan, Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde
Reformasi Kontemporer. Dalam berbagai pengolokan yang terjadi di Republik Indonesia,
Muhammadiyah tidak tinggal diam untuk memberi kontribusi dan sumbangsih bagi kemajuan
bangsa. Keterlibatan inilah yang membuat Muhammadiyah juga identik sebagai gerakan
nasional, dan menjadi identitasnya, meski secara formal tidak di cantumkan dalam Anggaran
Dasar maupun Anggaran Rumah Tangga (ART) Muhammadiyah.
2.3.1
1. Agar umat manusia menyembah kepada Allah, tidak akan menyekutukan-Nya dengan
sesuatu, dan tidak akan menyembah tuhan selain Allah semata mata.
2. Agar umat manusia bersedia menerima Islam sebagai agamanya, memurnikan keyakinannya,
hanya mengakui allah sebagai tuhannya, membersihkan jiwanya dan penyakit nifaq
(kemunafikan) dan selalu menjaga amal perbuatannya agar tidak bertentangan dengan ajaran
agama yang dianutnya.
3. Dakwah di tujukan untuk merubah sistem pemerintahan yang zalim ke pemerintahan Islam.
Adapun objek yang dijadikan sasaran dakwah (madu) Muhammadiyah ada 2 macam,
yaitu:
1. Orang yang belum Islam (umat dakwah)
Dakwah orang yang belum Islam adalah ajakan, seruan, dan panggilan yang sifatnya
menggembirakan dan menyenangkan. Cara yang dilakukan adalah dengan menunjukkan
mahasin al-Islam (keindahan Islam) melalui tingkah laku, bukan paksaan,. Tujuan utamanya
adalah agar mereka mengerti, memahami ajaran Islam, serta mau menerima Islam sebagai
agamanya.
2. Orang yang sudah Islam (umat ijabi)
Sifat dakwah yang dilakukan kepada orang yang sudah Islam bukan lagi bersifat ajakan
untuk menerima Islam sebagai agamanya, tetapi bersifat tajdid dalam arti pemurnian. Artinya,
dakwah yang dilakukan kepada golongan ini adalah menata kembali amal keagamaannya
agar sesuai dengan ajaran Islam yang berdasarkan al-Quran dan Hadits Nabi.
2.3.3
1.
2.
3.
4.
2.3.4
dan
lebih-lebih
era
kontemporer,
mendekatkan
dan
mendialogkan Islamic
Studies dan Religious Studies, bersikap inklusif terhadap perkembangan pengalaman dan
keilmuan generasi mudanya, terbuka, mengenalkan dialog antar budaya dan agama di akar
rumput, memahami Cross-cultural Values dan multikulturalitas, dalam bingkai fikih NKRI,
dan begitu seterusnya.
Tanpa menempuh langkah-langkah tersebut, gerakan pembaharuan Islam menuju ke arah
terwujudnya Masyarakat dan Peradaban Utama di tanah air ini, tentu akan mengalami
kesulitan bernapas dan kekurangan oksigen untuk menghirup dan merespon isu-isu sosialkeagamaan global dan isu-isu peradaban Islam kontemporer.
Untuk konteks keindonesiaan, Ikon perjoangan meraih Islam yang berkemajoean
sepertinya tetap menarik untuk diperbincangkan dan didiskusikan sepanjang masa. Dengan
begitu kontinuitas dan kesinambungan perjoangan antara generasi abad pertama dan generasi
penerus abad kedua masih terpelihara, sebagaimana dicanangkan dan dipesankan
oleh founding fathers Muhammadiyah terdahulu.
Dalam memasuki fase kedua gerakannya, yakni memasuki abad kedua perjalanan sejarah
Muhammadiyah, sudah tinggi waktu dan kesempatan untuk melakukan pembaruan
paradigma tajdid di tubuh persyarikatan ini. Kodifikasi dan konsensus tajdid yang terpadu
atau eklektik antara purifikasi dan dinamisasi dapat menjadi titik tolak bagi transformasi
paradigma tajdid Muhammadiyah. Selain tidak akan terjebak pada ekstrimitas yang radikal
baik ke arah radikal kiri maupun radikal kanan dalam pemikiran Islam, transformasi
tajdid yang bercorak purifikasi dan dinamisasi sekaligus memberikan jalan keluar atau solusi
untuk melakukan rancang bangun tajdid jilid kedua bagi Muhammadiyah saat ini dan ke
depan dalam usianya yang memasuki satu abad menuju era baru abad berikutnya.
Dalam transformasi orientasi tajdidnya, Muhammadiyah di satu pihak tidak terjebak
pada pemurnian semata minus pembaruan, sebaliknya pembaruan tanpa peneguhan, sehingga
terdapat ruang untuk transformasi atau perubahan secara seimbang antara pemurnian dan
pengembangan atau antara peneguhan dan pencerahan. Namun paradigma dan strategi yang
eklektik atau tengahan seperti itu jika dibiarkan sekadar normatif belaka maka hanya akan
indah di ranah teori atau klaim tetapi sering tidak aktual atau mewujud dalam kenyataan
secara jelas dan tegas. Jika tanpa rancang-bangun yang jelas tajdid purifikasi dan dinamisasi
bahkan dapat melahirkan kecenderungan kehilangan dua-duanya, yakni tidak pemurnian
sekaligus tidak pembaruan. Di sinilah pentingnya transformasi paradigmatik dalam orientasi
tanjdid purifikasi plus dinamisasi atau dinamisasi plus purifikasi dalam gerakan
Muhammadiyah.
Dalam penyusunan rancang-bangun paradigma tajdid yang integratif atau eklektik antara
purifikasi dan dinamisasi, Muhammadiyah diperlukan penyusunan agenda-agenda strategis
yang sifatnya menyusun ulang bangunan konseptual yang selama ini telah dimiliki
Muhammadiyah dengan keberanian untuk mengambil keputusan tanpa sering terjebak pada
sikap mauquf. Jika sejumlah hal mauquf terus maka akan ada kevakuman atau stagnasi dalam
gerakan, kendati sikap kehati-hatian itu tetap diperlukan. Namun hati-hati terus menerus
tanpa berani mengambil keputusan maka akan menjadi agenda yang tidak berkesudahan,
padahal Muhammadiyah harus terus bergerak menghadapi masalah-masalah dan tantangantantangan baru. Dua materi strategis dapat diselesaikan dalam Muhammadiyah menyangkut
fondasi pemikiran yang fundamental dalam gerakan Islam ini.
Pertama, menyelesaikan atau memulai kembali penyusunan buku Risalah Islamiyah
yang berisi tentang Islam dalam berbagai aspeknya yang menjadi pandangan resmi
Muhammadiyah. Tanpa memiliki pandangan yang substantif dan komprehensif mengenai
Islam maka akan sering terjadi tarik-menarik pandangan dalam Muhammadiyah mengenai
hal-hal yang fundamental mengenai aspek-aspek ajaran Islam. Materi dalam al-Masail alKhamsah (Masalah Lima) mengenai m hua al-din (apa itu agama), Matan Keyakinan dan
Cita-Cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan
berbagai rumusan resmi lainnya dapat menjadi dasar bagi perumusan Risalah Islam dalam
pandangan Muhammadiyah. Dalam Risalah Islam itu dibahas dan dijelaskan pula secara
komprehensif mengenai pandangan Islam tentang perempuan, sehingga menghasilkan
pandangan yang substantif, mendalam, dan luas dari Muhammadiyah.
Perumusan dan elaborasi Risalah Islam yang komprehensif sekaligus dapat menjadi
jawaban atas keperluan Muhammadiyah untuk memberi substansi atas slogan al-ruju ila alQuran wa al-Sunnah sebagaimana selama satu abad perjalanannya telah menjadi ikon
sekaligus tema gerakan yang nyaring. Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang
luas dan mendalam mengenai isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya
harus Kembali kepada Al-Quran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah
meneguhkan dirinya sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini,
dipahami, dan diamalkan oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam
sebagaimana terkandung dalam al-Masail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup
Muhammadiyah, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan
materi awal dan pokok untuk kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.
Umat Islam lain dan pihak luar juga dapat memiliki rujukan yang jelas apa dan bagaimana
sebenarnya pandangan Muhammadiyah tentang Islam yang bersifat komprehensif.
Kedua, mengembangkan konsep secara tuntas dan luas tentang Manhaj Tarjih mengenai
tiga pendekatan dalam memahami Islam yaitu bayani, burhani, dan irfani. Pengembangan
yang bersifat elaborasi terhadap manhaj tarjih tersebut sangat diperlukan untuk memperluas
cakrawala
metodologis
dalam
pengembangan
pemikiran
Islam
di
lingkungan
perspektif
mengenai
metodologi
pemikiran
Islam
yang
dipedomani
dalam
Muhammadiyah.
Elaborasi metodologi bayani, burhani, dan irfani juga diperukan agar diperoleh pedoman
yang jelas sekaligus menyelesaikan kontroversi pada masing-masing pendekatan. Ketiga
pendekatan yang bersifat integratif tersebut (bayani, burhani, irfani) sebenarnya dapat
memecahkan atau merupakan jalan keluar dari kebuntuan atau ekstrimitas yang selama ini
menjadi bagian yang dianggap krusial dalam dunia pemikiran Muhammadiyah antara garis
ekstrem kelompok radikal-tekstual versus radikal-kontekstual atau kategori lain yang sejenis
yang saling berlawanan secara diametral. Langkah yang diperlukan ialah pertama melakukan
teoritisasi di mana ketiga pendekatan tersebut ditarik ke level epistemologi agar manhaj
Tarjih, Tajdid, dan Pemikiran Islam dalam Muhammadiyah memiliki bangunan epistemologis
yang kokoh dan berada dalam paradigma perspektivisme (banyak perspektif, tidak tunggal)
baik yang terintegrasi dengan ilmu-ilmu Islam klasik maupun kontemporer. Kedua, elaborasi
metodologis, yakni menurunkan kerangka berpikir pada ketiga pendekatan tersebut ke dalam
berbagai cara berpikir (metode) yang lebih detail terutama ketika menjelaskan dimensidimensi ajaran Islam seperti aqidah, ibadah, akhlak, dan muamalat-dunyawiyah pada tataran
praksis. Dengan demikian diperoleh perspektif pengembangan pemikiran Islam yang
komprehensif dan memiliki landasan yang kokoh dalam ajaran Islam.
Ketiga, mengagendakan tajdid di bidang dakwah, organisasi, amal usaha, pengembangan
kader dan anggota, dan berbagai model aksi gerakan agar Muhammadiyah tampil menjadi
gerakan Islam yang unggul dan bergerak di garis depan dalam dinamika kehidupan umat,
bangsa, dan perkembangan global. Modsel modernis-reformis perlu dikembangkan menjadi
model transformatif yang lebih dinamis, kaya pemikiran, dan langsung ke jantung persoalanpersoalan struktural dan kultural dalam mencari solusi atas masalah-masalah yang terjadi
dalam masyarakat. Muhammadiyah dengan seluruh komponen dan lini organisasinya tidak
cukup memadai hanya bertahan dengan strategi dan model gerakan seperti sekarang ini, yang
cenderung formalistik, rutin, dan bertahan dengan status-quo yang dimiliki. Muhammadiyah
sebagai organisasi dituntut untuk tampil lebih reformis, produktif, emansipatoris, dan
partisipatoris di tengah lalulintas dinamika gerakan-gerakan keagamaan dan gerakan-gerakan
sosial-kemasyarakatan yang semakin kompetitif saat ini. Muhammadiyah bahkan perlu
memiliki militansi yang lebih kuat agar kebesaran dirinya tidak kalah lincah dan dinamis dari
gerakan-gerakan lain di negeri ini, yang dalam bahasa Pak AR Fakhruddin (Allahu yarham)
tidak menjadi gajah bengkak yang besar tetapi lambat bergerak.
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Dalam melaksanakan takhrij ada lima cara yang dapat dijadikan pedoman yaitu:
Takhrij menurut lafaz pertama matan hadis
Takhrij menurut lafaz-lafaz yang terdapat dalam matan
Takhrij menurut rawi pertama
Takhrij menurut tema hadis
Takhrij menurut status hadis
Warga Muhammadiyah memerlukan pengetahuan yang luas dan mendalam mengenai
isi dan metodologi tentang apa, kenapa, dan bagaimana caranya harus Kembali kepada AlQuran dan As-Sunnah (yang maqbulah). Jika Muhammadiyah telah meneguhkan dirinya
sebagai Gerakan Islam, maka Islam yang seperti apa yang diyakini, dipahami, dan diamalkan
oleh Muhammadiyah. Pokok-pokok pikiran tentang Islam sebagaimana terkandung dalam alMasail al-Khamsah, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah, Pedoman Hidup
Islami Warga Muhammadiyah, dan sebagainya merupakan materi awal dan pokok untuk
kepentingan perumusan dan penyusunan Risalah Islam tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Umar. 1990. Muhammadiyah Jalan Lurus dalam Tajdid, Dakwah, Kaderisasi dan
Pendidikan (Kritik dan Terapinya). Surabaya: PT. Bina Ilmu.
Djarir, Ibnu, Revitalisasi Gerakan Tajdid. Semarang: Harian Suara Merdeka, Edisi Kamis, 16
Nopember 2006. Hhtp:// www.suaramerdeka.com/ harian/ 0611/ 16/ opi03.htm.
Jainuri, Achmad, Ideologi Kaum Reformis. Surabaya : Lembaga Pengkajian Agama dan
Masyarakat, 2002.