Ref BG Ray
Ref BG Ray
PENDAHULUAN
Kornea adalah salah satu media refrakta sehingga manusia dapat melihat.
Seorang ahli mata dapat melihat struktur dalam mata karena kornea bersifat jernih
dan memiliki daya bias sebesar 43D.
Kornea memiliki mekanisme protektif terhadap lingkungan maupun
paparan patogen (virus, amuba,bakteridanjamur).Ketika pathogen berhasil masuk
dan membuat defek epitelial di kornea, maka jaringan braditropik kornea akan
(keratitis).
Keratitis akan memberikan gejala seperti rasa nyeri, fotofobia, dan adanya
secret yang purulen yang biasa terdapat pada keratitis bakterial.
Penyebab keratitis 90% disebabkan oleh bakteri,jenis bakteri seperti
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Stapylococcusaeroginosa,
dan Moarxella.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. Definisi
Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema
kornea,Infiltrasi seluler dan kongesti siliar. Keratitis diakibatkan oleh terjadinya
infiltrasi sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh.
Keratitis Sendiri dibagi menjadi dua yaitu; keratitis superficial dan profunda.
58,60
berjalan
bening mata, bagian dari mata yang bersifat tembus cahaya, merupakan lapis dari
jaringan yang menutup bola mata sebelah depan dan terdiri atas :
1.Epitel
Terdiri dari sel epitel squamos yang bertingkat, terdiriatas 5 lapis selepitel
Tidak bertanduk yang saling tumpang tindih; sel polygonal dan sel gepeng. Tebal
lapisan epitel kira-kira 5 % (0,05 mm) dari total seluruh lapisan kornea. Epitel dan
film air mata merupakan lapisan permukaan dari media penglihatan. Pada sel
basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong kedepan menjadi lapis
sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel gepeng, sel basal berikatan erat
dengan sel basal
di
depannya melalui
desmosom dan macula okluden; ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit
dan glukosa melalui barrier. Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat
erat kepadanya.
generasi.
3. Stroma
Lapisan ini mencakup sekitar 90% dari ketebalan kornea.Merupakan
lapisan tengah pada kornea. Bagian ini terdiri atas lamel fibril-fibril kolagen
dengan lebar sekitar 1m
yang
saling menjalin
yang
hamper mencakup
seluruh diameter kornea, pada permukaan terlihat anyaman yang teratur sedang
di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya kembali serat kolagen
memakan waktu lama,
dan kadang sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak di antara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio atau
sesudah trauma.
4. Membran Descemet
Merupakan membrane selular dan merupakan batas belakang stroma
kornea yang dihasilkan oleh endotel. Bersifat sangat elastic dan jernih yang
tampak amorf pada pemeriksaan mikroskopelektron, membrane ini berkembang
terus seumur hidup dan mempunyai tebal + 40 mm. Lebih kompak dan elastic dari
pada membran Bowman. Juga lebih resisten terhadap trauma dan proses patologik
lainnya dibandingkan dengan bagian-bagian kornea yang lain.
5.Endotel
Berasal dari mesotelium, terdiri atas satu lapis sel berbentuk heksagonal,
tebal antara 20-40 mm melekat erat pada membrane descemet melalui taut.
Endotel dari kornea ini dibasahi oleh aqueous humor. Lapisan endotel berbedad
engan lapisan epitel karena tidak mempunyai daya regenerasi,
sebaliknya
jika endotel tidak lagi dapat menjaga keseimbangan cairan yang tepat
akibat gangguan system pompa endotel, stroma bengkak karena kelebihan cairan
(edemakornea) dan kemudian hilangnya transparansi (kekeruhan) akan terjadi.
Permeabilitas dari kornea ditentukan oleh epitel dan endotel yang merupakan
membrane semipermeabel, kedua lapisan ini mempertahankan kejernihan
daripada kornea, jika terdapat kerusakan pada lapisan ini maka akan terjadiedema
korneadan kekeruhan pada kornea.
cahaya
yang
untuk
yang
mencapai
retina.
Transparansi
sel
epithelial
serta tidak memiliki selebung myelin lagi sekitar 2 3 mm dar ilimbus kesentral
kornea,sehingga menyebabkan sensitifitas yang tinggi pada kornea.
Kornea menerima suplai sensoris dari bagian oftalmik nervus trigeminus.
Sensasi taktil yang terkecil pun dapat menyebabkan reflex penutupan mata.
Setiapkerusakanpadakornea
(erosi,
III. Epidemiologi
Keratitis bakteri merupakan penyebab kebutaan di Negara berkembang
menurut Murillo Lopez (2006), Sekitar 25.000 orang Amerika terkena keratitis
bakteri pertahun. Insiden keratitis jamur bervariasi sesuai dengan lokasi geografis
dan berkisar dari 2% dari kasus keratitis di NewYork untuk 35% diFlorida.Spesies
Fusarium merupakan penyebab paling umum infeksi jamur kornea di Amerika
Serikat bagian selatan (45-76% dari keratitis jamur.
III. Etiologi
Infeksi keratitis adalah kondisi yang berpotensi membutakan yang dapat
menyebabkan kehilangan penglihatan yang parah jika tidak diobati pada tahap
awal.Jika pengobatan antimikroba yang tepat tertunda, hanya 50% dari mata
memperoleh pemulihan visual yang baik. Hal ini dapat disebabkan oleh
bakteri,virus, jamur, protozoa, dan parasit. Faktor risiko umum untuk infeksi
keratitis meliputi trauma okular, memakai lensa kontak, riwayat operasi mata
sebelumnya, mata kering, gangguan sensasional kornea penggunaan kronis steroid
topikal, dan imunosupresi sistemik.Patogen umum termasuk Staphylococcus
aureus,
koagulasenegative
Staphylococcus,
Pseudomonas
aeruginosa,
keratitis bakteri
yang teratasi dengan pengobatan empirik dan tidak memerlukan kultur bakteri.
Apusan kornea untuk kultur dan tes sensitivitas diindikasikan untuk ulkus kornea
dengan ukuran yang besar, berlokasi di sentral kornea, mencapai daerah stroma.7
IV. Patofisiologi
Terdapat beberapa kondisi yang dapat sebagai predis posisi terjadinya
inflamasi pada kornea seperti blefaritis, perubahan pada barrier epitel kornea (dry
eyes),penggunaan lensa kontak, lagopthalmos, gangguan paralitik, trauma dan
penggunaan preparat imunosupresif topical maupun sistemik.
pertahanan. Mekanisme
agen
keluar. Hal ini disebutulkus kornea perforate dan merupakan indikasi bagi
intervensi bedah secepatnya.Pasien akan menunjukkan gejala penurunan visus
progresef dan bola mata akanmenjadi lunak.
V.Gejala Klinis
Pada anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasien
yang terkait dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat
mengeluhkan adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan
visussensasi benda asing, iritasi okuler dan blefaros spasma dan kadang juga di
temukan hypopion pada kamera anterior.
Oleh karena kornea bersifat sebagai jendela mata dan merefraksikan
cahaya,lesi kornea sering kali mengakibatkan penglihatan menjadi kabur, terutama
ketikalesinya berada dibagian central.
Pada keratitis pungtata superfisial didapatkan lesi kornea berupa lesi
epithelia multiple sebanyak 1 50 lesi (rata rata sekitar 20 lesi didapatkan). Lesi
epitheliayang didapatkan pada keratitis pungtata superfisial berupa kumpulan
bintik bintik kelabu yang berbentuk oval atau bulat dan cenderung berakumulasi
didaerah pupil. Opasitas pada kornea tersebut tidak tampak apabila di
inspeksisecara langsung, tetapi dapat dilihat dengan slitlamp ataupun loup setelah
diberiflouresent.
Pada Keratitis Pneumokokus muncul 24-48 jam setelah inokulasi, ulkus
berbatas tegas, kelabu,cenderung menyebar secara tak teratur dari tempat
infeksike sentral, batas yang maju menampakkan ulserasi aktif dan infiltrasi
Kornea sekitar ulkus sering bening, ada hipopion pada Keratitis Pseudomonas
Ulkus berawal sebagai infiltrat kelabu atau kuning Lesi ini cenderung cepat
menyebar ke segala arah, Terdapat hipopion Infiltrat dan eksudat berwarna hijau
kebiruan.
Pada Keratitits Streptokokus Khas sebagai ulkus yang menjalar dari tepi
kearah tengah kornea (serpinginous), Ulkus bewarna kuning keabu-abuan,
berbentuk cakram dengan tepi ulkus yang menggaung.Ulkus cepat menjalar ke
dalam dan menyebabkan perforasi sensitifitas kornea umumnya normal atau
hanya sedikit berkurang, tapi tidak pernah menghilang sama sekali seperti pada
keratitis herpes simpleks. Walaupun umumnya
respons
konjungtiva tidak
tampak pada pasien akan tetapi reaksi minimal seperti injeksi konjungtiva bulbar
dapat dilihat pada pasien.
VI. Diagnosis
Kecurigaan akan adanya keratitis pada pasien dapat timbul pada pasien
yang datang dengan trias keluhan keratitis yaitu gejala mata merah, rasa
silau (fotofobia) dan merasa kelilipan (blefarospasma). Adapun radang kornea
ini biasa nya diklasifikasikan dalam lapisan kornea yang terkena, seperti
keratitis superfisial
dan
interstisial atau
propunda.
Keratitis
superfisial
termasuk lesi inflamasi dari epitel kornea dan membrane bowman superfisial.
Sangat penting untuk dilakukan penegakan diagnosis morfologis pada
pasien yang dicurigai dengan lesi kornea. Letak lesi di kornea dapat diperkirakan
dengan melihat tanda-tanda yang terdapat pada kornea. Pada keratitis epithelial,
perubahan epitel bervariasi secara luas mulai dari penebalan epitel, Punctate
Epitelial Erosion (PEE), dan lecet kornea untuk pseudo dendrites. Dapat menja
direaksi traumatis sekunder dan alergi terhadap lensa kontak. Pada pewarnaan
fluorescein terutama terihat pada posisi pukul 3dan pukul 9 kornea,edema
ringandan vakuolasi hingga erosi, pembentukan filament maupun keratinisasi
partial. Pada keratitis stromal, respon struma kornea dapat berupa infiltrasi sel
radang, edema yang bermanifestasi kepada edema kornea yang awalnya bermula
dari stroma lalu ke epitel kornea.
Periksa ketajaman visual dengan lensa kontak atau kaca mata, jika
pasien tidak memiliki kaca mata, gunakan lubang jarum dari occluder periksa
pergerakanlensa kontak dan defect kornea pada slit lamp.Minta pasien
melepaskan lensa kontak jika mampu, dapat menggunakan
proparacaine atau
anestesi topikal
mata
satu
tetes
agar dapat
papillae atau folikel, permukaan kornea untuk menyingkirkan ulkus kornea, dan
reaksi pada ruang anterior mata.
Pemeriksaan fisis pada keluhan yang mengarahkan kecurigaan kepada
keratitismelalui inspeksi dengan pencahayaan adekuat. Larutan flouresent
dapatmenggambarkan lesi epitel superfisial yang mungkin tidak dapat terlihat
denganinspeksi biasa. Pemeriksaan biomikroskop (slit lamp) esensial dalam
pemeriksaankornea, apabila tidak terdapat alat tersebut dapat digunakan sebuah
loup dandengan iluminasi yang terang. Pemeriksaan harus melihat jalannya
refleksi cahayasementara memindahkan cahaya dengan hati-hati ke seluruh
kornea. Dengan caraini area yang kasar sebagai indikasi dari defek kornea dapat
terlihat.
Keratitis pungtata
epithelial atau Thygensons desease merupakan salah satu tipe inflamasi atau
peradangan pada kornea mata dengan hilangnya epitel kornea. Lesinya berupa
pungtata yang terlihat seperti titik titik meskipun dapat juga berupa dendritic
dengan gambaran linier dan bercabang. Karateristik dengan
tidak adanya
10
inokulasi media kultur untuk bakteri dan fungi. Spesimen lensa kontak
yang digunakan juga harus diambil dan di kultur untuk memastikan
2.
menjalani
pemeriksaan
menyeluruh
oleh
dokter
mata sesegera mungkin untuk menyingkirkan ulkus kornea. Jika tidak ada akses
yang tepat kedokter mata: ambil apusan/smear dan kultur dari apusan ulkus
dengan spatulakecil, mulai antibiotik spektrum luas topikal dengan cakupan gram
negatif sepertifluorokuinolon (misalnya, ofloxacin atau ciprofloxacin) 6 sampai 8
kali per hari dan cycloplegic tetes, jangan menggosok mata dan segera ke dokter
mata. Pengobatan empiris harus sesuai dengan anjuran dokter mata.
Beberapa terapi yang dapat secara baik menangani keratitis pungtata
superfisial. Terapi suportif dengan lubrikans topikal seperti air mata artificial
sering kali adekuat pada
mengurangi sisa produk inflamasi yang tertinggal pada reservoir air mata. Mereka
tidak hanya bekerja sebegai lubrikans, tapi juga sebagai agen pembersih, pembilas
dan dilusi dari film air mata serta sebagai agen pemoles dari epitel superficial
untuk membentuk kembali microvillae dan menstabilkan lapisan mucin dari air
mata.
Tergantung dari keparahan gejala pada pasien, air mata artifisial dengan
viskositas berbeda (dari tetes mata hingga jel viskositas tinggi) diresepkan pada
pasien dan diaplikasikan dengan frekuensi yang berbeda. Pada keratitis akibat
pemaparan (exposure keratitis ), jel atau krim
digunakan karena waktu retensinya yang panjang.
11
agar terjadi
yang
sama
seperti
terapi
kombinasi.
Gatifloksasin
dan
12
13
Secara umum prognosis dari keratitis pungtata superfisial adalah baik jika
tidak terdapat jaringan parut ataupun vaskularisasi dari kornea. Sesuai dengan
metode penanganan yang dilaksanakan prognosis dalam hal visus pada pasien
dengan keratitis pungtata superfisial sangat baik. Parut ringan pada kornea dapat
timbul pada kasus kasus dengan keratitis pungtata superfisial yang berlangsung
lama.
Prognosis ulkus kornea sembuh dengan bekas luka. Jika dalam pusat
sumbuvisual, pembiasan cahaya dipengaruhi. Jika ulkus kecil dan terletak di
pinggiran kornea akan membawa prognosis yang baik. Hindari luka pada mata
Kenakan kaca mata pelindung saat bekerja . Pada sikatriks lekoma kornea adalah
yang mengganggu visus & untuk kepentingan kosmetik, dan untuk memperbaiki
visus dapa dilakukan iridektomi optik dan keratoplasti , sehingga prognosis pasien
keratitis yang sembuh dengan sikatriks adalah baik.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keratitis adalah perdangan kornea yang ditandai dengan oedema kornea,
infiltrasi seluler dan kongesti siliar. Keratitis diakibatkan oleh terjadinya infiltrasi
14
sel radang pada kornea yang akan mengakibatkan kornea menjadi keruh. Keratitis
sendiri dibagi menjadi dua yaitu; keratitis superfisial dan profunda.Pada
anamnesis pasien, bisa didapatkan beberapa gejala klinis pada pasienyang terkait
dengan perjalan penyakit keratitis pungtata superfisial. Pasien dapat mengeluhkan
adanya pengeluaran air mata berlebihan, fotofobia, penurunan visus,sensasi benda
asing, iritasi okuler dan blefarosspasma dan kadang juga di temukan hypopion
pada kamera anterior.
Pada umumnya prognosis dari keratitis bakterial adalah baik jika di terapi
secara tepat.
DAFTAR PUSTAKA
1. Lang GK. Cornea.In : Lang GK. Ophthalmology A Short Textbook
Atlas.2ndedition.
15
3. Ilyas S. Anatomi dan Fisiologi Mata. Dalam : Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata
Edisi ketiga.Jakarta : Balai Penerbit FKUI ; 2008. h. 1-13
4. Schlote T, Rohrbach J, Grueb M, Mielke J. Pocket atlas of Ophtalmology.
Thieme. 2006. p. 97-99
5. Khaw PT, Shah P, Elkington AR. ABC of Eye Foutrth Edition. BMJ
Books. p. 17-19.
6. Tasman W, Jaeger EA. Duanes Ophtalmology. Lippincott Williams &
Wilkins
Publishers. 2007
Graw-Hill. 2002.
8. Raymond L. M. Wong, R. A. Gangwani, LesterW. H. Yu, and Jimmy S. M.
Lai.
New
Treatments for
16