Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
PENDAHULUAN
Istilah uveitis menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis), corpus
ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau koroid
(koroiditis). Namun dalam praktiknya, istilah ini turut mencakup peradangan pada
retina (retinitis), pembuluh-pembuluh retina (vaskulitis retinal), dan nervus
opticus intraokular (papilitis). Uveitis bisa juga terjadi sekunder akibat radang
kornea (keratitis), radang sklera (skleritis), atau keduanya (sklerokeratitis).
Uveitis biasanya terjadi pada usia 20-50 tahun dan berpengaruh pada 10-20%
kasus kebutaan yang tercatat di negara-negara maju. Angka kejadian uveitis di
dunia yaitu 14-52 dari 100.000 penduduk. Terdapat perbedaan jumlah penderita
uveitis di setiap negara tergantung oleh perbedaan geografi, ras, nutrisi, dan
sosioekonimi yang beragam. Uveitis lebih banyak ditemukan di negara-negara
berkembang dibandingkan di negara-negara maju karena lebih tinggi prevalensi
infeksi yang bisa mempengaruhi mata, seperti toksoplasmosis dan tuberkulosis di
negara-negaa berkembang.
Uveitis difus atau panuveitis menunjukkan suatu kondisi terdapatnya infiltrasi
selular yang kurang-lebih merata di segmen anterior maupun posterior. Uveitis
difus ini lebih sering terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan apabila
dibandingkan dengan Amerika Utara, Eropa, dan Australia. Gambaran yang khas,
berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis, bisa ditemukan dan sering kali
memerlukan tes diagnostik lanjutan. Secara umum panuveitis tejadi secara
bilateral, walaupun 1 mata dapat terkena terlebih dahulu dan tingkat keparahannya
tidak selalu simetris. Infeksi tuberkulosis, sarkoidosis, dan sifilis harus
dipertimbangkan pada pasien-pasien uveitis difus. Penyebab yang lebih jarang
antara lain oftalmia simpatika, sindrom Vogt Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet,
retinokoroiditis birdshot, dan limfoma intraokular. Tuberkulosis (TB) dan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 DEFINISI
Uveitis difus menunjukkan suatu peradangan pada iris (iritis, iridosiklitis),
corpus ciliare (uveitis intermediet, siklitis, uveitis perifer, atau pars planitis), atau
koroid (koroiditis) (Vaughan, 2010).
2.2 EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian uveitis di dunia yaitu 14-52 dari 100.000 penduduk.
Terdapat perbedaan jumlah penderita uveitis di setiap negara tergantung oleh
perbedaan geografi, ras, nutrisi, dan sosioekonomi yang beragam (Bansal, 2010).
Panuveitis lebih sering terjadi di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan apabila
dibandingkan dengan Amerika Utara, Eropa, dan Australia (Bansal, 2010).
2.3 ETIOLOGI
Uveitis difus atau panuveitis menunjukkan suatu kondisi terdapatnya
infiltrasi selular yang kurang lebih merata di segmen anterior maupun posterior.
Gambaran yang khas, berupa retinitis, vaskulitis, atau koroiditis, bisa ditemukan
dan sering kali memerlukan tes diagnostik lanjutan (Vaughan, 2010).
Penyebab dari uveitis difus diantaranya yaitu : infeksi tuberkulosis,
sarkoidosis, dan sifilis. Penyebab yang lebih jarang antara lain oftamia simpatika,
sindrom Vogt-Koyanagi-Harada, Sindrom Behcet, Retinokoroiditis birdshot, dan
limfoma intraokular (Vaughan, 2010).
ini juga ikut memasok darah ke retina. Iris dan badan siliaris disebut juga uvea
anterior sedangkan koroid disebut uvea posterior (Vaughan, 2010).
Iris adalah lanjutan dari badan siliar ke anterior dan merupakan diafragma
yang membagi bola mata menjadi 2 segmen, yaitu segmen anterior dan segmen
posterior, di tengah-tengahnya berlubang yang disebut pupil. Iris membagi bilik
mata depan (camera oculi anterior) dan bilik mata posterior (camera oculi
posterior) (Crick, 2003).
Iris mempunyai kemampuan mengatur secara otomatis masuknya sinar ke
dalam bola mata. Secara histologis iris terdiri dari stroma yang jarang diantaranya
terdapat lekukan-lekukan dipermukaan anterior yang berjalan radier yang
dinamakan kripa. Didalam stroma terdapat sel-sel pigmen yang bercabang, banyak
pembuluh darah dan saraf (Moses, 1987).
Badan Siliar (Corpus Ciliaris) berbentuk segitiga, terdiri dari 2 bagian yaitu:
pars korona, yang anterior bergerigi, panjangnya kira-kira 2mm dan pars plana,
yang postrior tidak bergerigi panjangnya kira-kira 4 mm. Badan siliaris berfungsi
sebagai pembentuk humor aquous. Badan siliar merupakan bagian terlemah dari
mata. Trauma, peradangan, neoplasma didaerah ini merupakan keadaan yang
gawat (Crick, 2003; Vaughan, 2010).
vortikosa. Pada bagian pars plana, terdiri dari satu lapisan tipis jaringan otot
dengan pembuluh darah diliputi epitel (Vaughan, 2010).
2.5 PATOFISIOLOGI
Peradangan uvea biasanya unilateral, dapat disebabkan oleh defek
langsung suatu infeksi atau merupakan fenomena alergi. Infeksi piogenik biasanya
mengikuti suatu trauma tembus okuli; walaupun kadang-kadang dapat juga terjadi
sebagai reaksi terhadap zat toksik yang diproduksi mikroba yang menginfeksi
jaringan tubuh di luar mata. Uveitis yang berhubungan dengan mekanisme alergi
merupakan reaksi hipersensitifitas terhadap antigen dari luar (antigen eksogen)
atau antigen dari dalam badan (antigen endogen). Dalam banyak hal antigen luar
berasal dari mikroba yang infeksius. Sehubungan dengan hal ini peradangan
uvea terjadi lama setelah proses infeksinya yaitu setelah munculnya mekanisme
hipersensitivitas (Ilyas, 2010).
Radang iris dan badan siliar menyebabkan rusaknya Blood Aqueous
Barrrier sehingga terjadi peningkatan protein, fibrin dan sel-sel radang dalam
humor akuos yang tampak pada slitlamp sebagai berkas sinar yang disebuit fler
(aqueous flare). Fibrin dimaksudkan untuk menghambat gerakan kuman, akan
tetapi justru mengakibatkan perlekatan-perlekatan, misalnya perlekatan iris pada
permukaan lensa (sinekia posterior) (Ilyas, 2010).
Sel-sel radang yang terdiri dari limfosit, makrofag, sel plasma dapat
membentuk presipitat keratik yaitu sel-sel radang yang menempel pada
permukaan endotel kornea. Akumulasi sel-sel radang dapat pula terjadi pada tepi
pupil disebut koeppe nodules, bila dipermukaan iris disebut busacca nodules,
yang bisa ditemukan juga pada permukaan lensa dan sudut bilik mata depan. Pada
iridosiklitis yang berat sel radang dapat sedemikian banyak sehingga
menimbulkan hipopion (Ilyas, 2010).
Otot sfingter pupil mendapat rangsangan karena radang, dan pupil akan
miosis dan dengan adanya timbunan fibrin serta sel-sel radang dapat terjadi
seklusio maupun oklusio pupil, sehingga cairan di dalam kamera okuli posterior
tidak dapat mengalir sama sekali mengakibatkan tekanan dalam dalam camera
okuli posterior lebih besar dari tekanan dalam camera okuli anterior sehingga iris
tampak menggelembung kedepan yang disebut iris bombe (Bombans) (Ilyas,
2010).
Gangguan pada humor akuos terjadi akibat hipofungsi badan siliar
menyebabkan tekanan bola mata turun. Adanya eksudat protein, fibrin dan sel-sel
radang dapat berkumpul di sudut camera okuli anterior sehingga terjadi penutupan
kanal schlemm sehingga terjadi glukoma sekunder. Pada fase akut terjadi
glaucoma sekunder karena gumpalan gumpalan pada sudut bilik depan, sedang
pada fase lanjut glaucoma sekunder terjadi karena adanya seklusio pupil. Naik
turunnya tekanan bola mata disebutkan
2.6 KLASIFIKASI
Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan terjadinya panuveitis, yaitu :
1.
Sarkoidosis
Sarkoidosis adalah penyakit granulomatosa kronik yang belum
dengan iridocyclitis pada pasien muda yang sembuh secara spontan dalam 2
tahun onset penyakit (Grillo, 2011).
Uveitis anterior terjadi baik secara akut ataupun kronik sebagai
iridocyclitis granulomatosa, merupakan lesi okular yang paling sering terjadi.
Gejala adanya keterlibatan uvea ditandai dengan penurunan ketajaman
penglihatan ringan sampai sedang dan
corticosteroid
sparing
agent,
misalnya
methotrexate,
Vogt-Koyanagi-Harada
(VKH)
merupakan
penyakit
pendengaran. Penyakit ini lebih banyak diderita oleh etnis kulit hitam dan
jarang diderita oleh etnis kulit putih (The eye, 2011).
Etiologi dan patogenesis dari sindroma VKH tidak diketahui, namun
bukti klinis menunjukkan adanya proses autoimun yang dimediasi oleh sel
terutama limfosit T melawan self-antigen yang berhubungan dengan
melanosit pada semua sistem organ pada individu yang rentan secara genetik
(The eye, 2011).
Terdapat 4 stadium sindroma VKH yaitu prodromal, uveitis akut,
konvalesen, dan kronik berulang. Manifestasi klinis sindroma VKH bervariasi
bergantung pada stadiumnya. Stadium prodromal ditandai dengan gejala
seperti flu. Pasien mengeluh sakit kepala, mual, meningismus, dysacusia,
tinitus, demam, nyeri orbita, fotofobia, dan hipersensitivitas pda kulit dan
rambut terhadap sentuhan beberapa hari sebelum onset gejala okular. Terdapat
pula gejala-gejala neurologis (Grillo, 2011).
Stadium uveitis akut ditandai dengan adanya penurunan tajam
penglihatan pada kedua mata, 1-2 hari setelah onset gejala sistem saraf pusat
dan ditandai dengan uveitis anterior granulomatosa bilateral, vitritis dengan
derajat yang bervariasi, penebalan koroid posterior dengan elevasi lapisan
peripapilar retinal koroidal, hiperemia, dan edema saraf optik dan ablasio
retina serosa. Jarang ditemukan, presipitat keratik dan nodul iris pada pinggir
pupil, peningkatan tekanan intra okular, bilik mata depan yang dangkal
(Huang, 2011).
Stadium konvalesen terjadi beberapa minggu kemudia dan ditandai
dengan resolusi dari ablasio retina eksudatifa dan depigmentasi koroid sedikit
demi sedikit., menghasilkan diskolorasi orange kemerahan atau sunset glow
fundus. Stadium kronik berulang ditandai dengan berulangnya uveitis anterior
granulomatosa, dengan perkembangan presipitat keratik, sinekia posterior,
nodul iris, depigmentasi iris dan atrofi stroma (Ilyas, 2011). Berulangnya
vitritis, papilitis, koroiditis multifokal dan ablasio retina eksudativa telah
dilaporkan namun jarang selama stadium ini. Gejala sisa kelemahan visual
karena inflamasi kronis terjadi selama stadium ini dan termasuk katarak
terjadi mencapai 70% pada pasien dengan penyakit Behcet dan menyebabkan
kerusakan okular permanen. Hilangnya penglihatan dapat tejadi hingga 25%
pada pasien dengan penyakit Behcet, dan 80% kasus terjadi bilateral (Bansal,
2010). Keterlibatan okular ditandai dengan vaskulitis nongranulomatosa
nekrotikans yang merusak sebagian atau seluruh bagian traktus uvea.Uveitis
anterior merupakan satu-satunya manifestasi okular dari penyakit Behcet,
ditandai dengan hipopion pada 25% kasus. Peradangan yang terjadi bersifat
nongranulomatosa. Mata merah, nyeri, fotofobia, dan penurunan ketajaman
penglihatan sering ditemukan (Huang, 2011).
Pada pemeriksaan klinis, hipopion dapat bergeser dengan posisi
kepala pasien yang berpindah, dapat tidak terlihat walaupun menggunakan
gonioskopi. Walaupun uveitis anterior dapat sangat berat namun dapat
sembuh tanpa pengobatan. Saat terjadi kekambuhan, sinekia posterior, iris
bombe, dan glaukoma sudut tertutup dapat berkembang. Penemuan segmen
anterior yang jarang terjadi sepeti katarak, episkleritis, skleritis, ulkus
konjungtiva, dan kekakuan kornea (The eye, 2011).
segmen
dari
penyakit
Behcet
okular
dari vaskulitis retina dan oklusi vaskular, pembuluh darah retina dapat
menjadi putih dan sklerosi (Huang, 2011; The eye, 2011).
oleh edema makula, vaskulitis oklusi retina, atrofi optik, dan glaukoma.
Namun jika dibandingkan dengan hasil yang didapat pada tahun 1980an,
pasien kini bisa mendapatkan
disebabkan
oleh
Mycobacterium
tuberculosis,
merupakan bakteri tahan asam, aerob, dan dapat ditularkan melalui droplet
aerosol. Bakteri tersebut memiliki afinitas yang tinggi terhadap jaringan
dengan oksigenisasi tinggi seperti apeks paru dan koroid, yang memiliki
kecepatan aliran darah yang paling tinggi dalam tubuh. Manifestasi klinis
yang umum dari penyakit ini adalah demam, keringat malam, dan penurunan
berat badan, ditemukan baik infeksi pulmoner maupun ekstrapulmoner
(Vaughan, 2010).
Manifestasi okular TB dapat berasal dari infeksi aktif atau reaksi
imunologis terhadap oganisme. TB okular primer merupakan TB dimana
mata merupakan jalur masuk organisme yang utama dan manifestasi utama
terjadi di konjungtiva, kornea, sklera. TB okular sekunder, dimana uveitis
merupakan manifestasi yang paling sering terjadi, disebabkan oleh
penyebaran secara hematogen atau penyebaran dari struktur yang berdekatan
(Vaughan, 2010).
Diagnosis
pasti
infeksi
TB
didapatkan
dari
ditemukannya
pertama diikuti dengan fase lanjutan selama 4-7 bulan. Pada kasus resistensi
obat, agen lain seperti ethambutol atau streptomycin ditambahkan pada
regimen awal, diikuti dengan fase lanjutan selama 4 bulan dengan INH dan
rifampin (The eye, 2011).
digunakan untuk mendeteksi adanya oklusi vaskular, edema makula dan diskus
optikus. Selain lesi aktif, komplikasi uveitis
flurescein
angiography,
seperti
edema
makula,
neovaskularisasi
retina,
jaringan pada praktik klinis. Polymerase Chain Reaction (PCR) digunakan untuk
mendeteksi adanya agen infeksius. PCR merupakan teknik molekular untuk
mengevaluasi jumlah yang sangat kecil dari DNA dan RNA, merupakan teknik
yang sederhana, cepat, sensitif dan spseifik untuk mendiagnosis infeksi, dan
autoimun (Bansal, 2010).
2.9 PENATALAKSANAAN
Terapi uveitis memiliki 3 tujuan utama yaitu mencegah komplikasi yang
mengancam tajam penglihatan, meredakan keluhan pasien, dan jika mungkin
mengobati penyakit yang mendasari. Penatalaksanaan dapat dibagi dalam
beberapa langkah (Bansal, 2010):
Penatalaksanaan nonspesifik
Terapi suportif
Kortikosteroid
Terapi supportif
Agen Imunosupresif
Tiga kelas utama obat imunosupresif yang secara luas dipakai saat ini
adalah antimetabolit, inhibitor sel T, dan agen alkilasi. Antimetabolit mencakup
azathioprine, metotreksat, dan mycophenolate mofetil (MMF). Inhibitor sel T
sepeti siklosporin dan tacrolimus. Agen alkilasi seperti cyclophosphamide dan
clorambucil. Saat terapi kortikosteroid tidak dapat untuk mengontrol penyakit
inflamasi okular, agen imunosupresif diberikan. Agen imunosupresif bekerja
dengan cara membunuh secara cepat sel-sel yang dapat menyebabkan inflamasi
(Grillo, 2011).
Indikasi terapi imunosupresif pada panuveitis adalah inflamasi berat yang
mengancam penglihatan, inflamasi kronik yang tidak respon terhadap terapi
kortikosteroid konvensional primer, uveitis yang sering kambuh, intoleransi atau
kontraindikasi terhadap kortikosteroid sistemik (The eye, 2011).
Sindroma Vogt-Koyanagi-Harada dan oftalmia simpatetik merupakan
kondisi uveitis yang biasanya resisten terhadap kortikosteroid atau membutuhkan
terapi jangka panjang dengan kortikosteroid. Pada kondisi tersebut, agen
imunosupresif dimulai segera sebagai terapi lini kedua atau sebagai agen hemat
steroid pada terapi lini pertama (Huang, 2011).
Obat biologis
e. Vitrektomi
Pilihan terapi saat uveitis menetap setelah terapi pengobatan dengan
kortikosteroid dan atau imunosupresan lainnya, saat hilangnya penglihatan karena
komplikasi inflamasi jangka panjang seperti vitreous yang memadat, jaringan ikat
yang menarik badan siliar yang menyebabkan hipotoni, edema makula, membran
epiretinal (kapsul lensa posterior yang menebal) atau robeknya retina. Vitrektomi
membuang limfosit di vitreous, debris inflamasi, kompleks imun dan autoantigen,
peningkatan penetrasi uveal sel-sel antiinflamasi (The eye, 2011).
Komplikasi vitrektomi adalah pendarahan, katarak, glaukoma, infeksi,
robeknya retina/kebutaan (Bansal, 2010).
2.10 KOMPLIKASI
Komplikasi terpenting yaitu tejadinya peningkatan tekanan intraokular
(TIO) akut yang terjadi sekunder akibat blok pupil (sinekia posterior), inflamasi,
atau penggunaan kotikosteroid topikal. Katarak juga dapat terjadi akibat
pemakaian kortikosteroid. Penggunaan siklopegik dapat mengganggu akomodasi
pada pasien yang berusia diatas 45 tahun. Peningkatan TIO dapat menyebabkan
atrofi nervus optikus dan kehilangan penglihatan permanen. Komplikasi struktural
lainnya yang dapat ditimbulkan seperti terbentuknya CNV, subretina fibrosis,
edema makula, vaskulitis oklusi retina, dan atrofi optik (Bansal, 2010) (The eye,
2011).
2.11 PROGNOSIS
Prognosis uveitis tergantung pada banyak hal, diantaranya derajat
keparahan, lokasi, dan penyebab peradangan. Secara umum, peradangan yang
berat perlu waktu lebih lama untuk sembuh serta lebih sering menyebabkan
kerusakan intraokular dan kehilangan penglihatan dibandingkan dengan
peradangan ringan atau sedang. Secara umum, kasus panuveitis prognosisnya
baik bila didiagnosis lebih awal dan diberi pengobatan yang tepat. Pada panuveitis
yang disebabkan oleh sarkoidosis, faktor prognosis berhubungan dengan adanya
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
Bansal R, Gupta V, Gupta A. 2010. Current Approach in the Diagnosis and
Management Panuveitis. Indian Journal of Ophtalmology. 58:45-54
Crick and Haw. 2003. The textbook of clinical opthalmology, 3th edision. London.
Grillo A, et al. 2011. Practical Diagnostic Approach to Uveitis. 6(4 ): 449-459.
Diakses dari www. Medscape.com/viewarticle/748741_9
Huang J, et al. 2011. Ocular Inflammatory Disease and Uveitis Manual:
Diagnosis and Treatment, 1st Edition. USA : Lippicott Williams and
Wilkins
Ilyas SH. 2010. Ilmu penyakit mata : untuk dokter umum dan mahasiswa
kedokteran. 2nd ed. Jakarta : Sagung Seto.
Moses RA. Ophthalmic Facial Anatomy ang Physiology in: Adlers Physiologyof
the Eye. 8th Edition. The C.V. Mosby Co. St. Louis Toronto. 1987 : 23-4.
Ongchin S, et al. 2013. A Diagnostic Dilemma : Infectiour Versus Noninfectious
multifocal Choroiditis With Panuveitis. USA : Springer
The Eye MD Assotiation. 2011. Intraocular Inflammation and Uveitis. Section 9.
American Academy of Ophthalmology. San Franscisco.
Vaughan DG, Asburg T, Paul R. 2010. Oftalmologi Umum Edisi 17. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC