Anda di halaman 1dari 7

Home > Psikologi > Penyebab Perceraian Pengertian Dampak Makalah Menurut para Ahli

Penyebab Perceraian Pengertian Dampak Makalah Menurut para


Ahli
Penyebab Perceraian, Pengertian, Dampak, Makalah Menurut Para Ahli - Perceraian seringkali
berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk didalamnya anak-anak. Perceraian juga
dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan yang baru dengan lawan jenis. Menurut
Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan
hidup.

Latar belakang Artikel Perceraian - Menurut Gunarsa (1999) perceraian adalah pilihan paling
menyakitkan bagi pasutri. Namun demikian, perceraian bisa jadi pilihan terbaik yang bisa membukakan
jalan bagi kehidupan baru yang membahagiakan. Perceraian adalah perhentian hubungan perkawinan
karena kehendak pihak-pihak atau salah satu pihak yang terkait dalam hubungan perkawinan tersebut.
Perceraian mengakibatkan status seorang laki-laki bagi suami, maupun status seorang perempuan
sebagai istri akan berakhir. Namun perceraian tidaklah menghentikan status mereka masing-masing
sebagai ayah dan ibu terhadap anak-anaknya. Hal ini karena hubungan antara ayah atau ibu dengan
anak-anaknya adalah hubungan darah yang non-kontraktual, yang karena itu tidaklah akan bisa diputus
begitu saja lewat suatu pernyataan kehendak.
Perceraian menurut Bell (1979) merupakan putusnya ikatan legal yang menyatukan sepasang suami-istri
dalam satu rumah tangga, secara sosial perceraian membangun kesadaran pada masing-masing individu
bahwa perkawinan mereka telah berakhir. Istilah perceraian (Divorce) menurut Bell (1979) harus
dibedakan dengan kasus dimana salah satu pasangan meninggalkan keluarganya dalam waktu yang
cukup lama (desertion).
Pengertian Perceraian menurut para ahli Hurlock (1996), perceraian merupakan kalminasi dari
penyelesaian perkawinan yang buruk, dan yang terjadi bila antara suami-istri sudah tidak mampu lagi
mencari cara penyelesaian masalah yang dapat memuaskan kedua belah pihak, perlu disadari bahwa
banyak perkawinan yang tidak membuahkan kebahagiaan tetapi tidak diakhiri dengan perceraian. Hal ini
karena perkawinan tersebut dilandasi dengan pertimbangan-pertimbangan agama, moral, kondisi
ekonomi, dan alasan lainnya. Perpisahan atau pembatalan perkawinan dapat dilakukan secara hukum
maupun dengan diam-diam dan kadang ada juga kasus dimana salah satu pasangan (istri/suami)
meninggalkan keluarga (minggat).
Perceraian menurut Undang - Undang Republik Indonesia No.1 tahun 1994 (pasal 16), terjadi apabila
antara suami-istri yang bersangkutan tidak mungkin lagi didamaikan untuk hidup rukun dalam suatu
rumah tangga. Perceraian terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan didepan sidang
pengadilan (pasal 18). Gugatan perceraian dapat diajukan oleh suami atau istri atau kuasanya pada
pengadilan dengan alasanalasan yang dapat diterima oleh pengasilan yang bersangkutan.
Undang Undang Perkawinan, 1974 Bab VIII, pasal 39 ayat 2 berbunyi : untuk melakukan perceraian
harus ada cukup alasan antara suami istri untuk tidak akan hidup rukun sebagai suami istri
Menurut Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974, perceraian adalah keadaan terputusnya suatu ikatan
perkawinan. Ada dua macam perceraian sesuai dengan Undang Undang Perkawinan no. 1/ 1974 pasal
39 41, yaitu :

Cerai
gugat
Cerai gugat adalah terputusnya ikatan suami istri dimana dalam hal ini sang istri yang melayangkan
gugatan cerai kepada sang suami.
Cerai
talak
Cerai talak adalah putusnya ikatan suami istri yang mana dalam hal ini sang suami memberikan
talak kepada sang istri.
Inversion et. Al mendefinisikan sebagai pemutusan dan pengingkaran ikrar pernikahan serta keseluruhan
kewajiban moral, hukum dan jasmani yang tercakup didalamnya. Perceraian adalah suatu proses yang
menimbulkan pergolakan secara emosional bagi orang-orang dewasa maupun anak-anak (Tomlinson &
Keasey,
1985).
Emery (1999) mendefinisikan perceraian sebagai peristiwa berpisahnya pasgan suami istri atau
berakhirnya suatu ikatan perkawinan karena tercapainya kat sepakat mengenai masalah hidup bersama.
Emery (1999) mengemukakan bahwa perpisahan suami istri seringkali terjadi karena tidak bisa
menyelesaikan konflik intern yang fundamental. Kinflik yang timbul sejalan dengan umur kebersamaan
suami istri, baik masalah yang datang dari dalam atau masalah dari luar keluarga.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah putusnya hubungan perkawinan
karena kehendak kedua belah pihak, baik itu perceraian berdasarkan secara hukum maupun perceraian
dengan diam-diam. Sehingga mengakibatkan status suami atau istri berakhir. Perceraian ini diakibatkan
karena kegagalan dalam mencapai tujuan perkawinan yang bahagia, kekal, dan sejahtera.

Jenis

Jenis
Perceraian
Perceraian berdasarkan jenisnya dibedakan menjadi 2, yaitu :
Cerai
hidup
Perceraian adalah berpisahnya pasangan suami istri atau berakhirnya suatu ikatan perkawinan yang
diakui oleh hukum atau legal. Emery (1999) mendefinisikan perceraian hidup adalah berpisahnya
pasangan suami istri atau berakhirnya perkawinan krena tidak tercapainya kata kesepakatan
mengenai
masalah
hidup.
Perceraian dilakukan karena tidak ada lagi jalan lain yang ditempuh untuk menyelamatkan
perkawinan mereka.
Cerai
mati
Cerai mati merupakan meninggalnya salah satu dari pasangan hidup dan sebagai pihak yang
ditinggal harus sendiri dalam menjalani kehidupannya (Emery, 1999). Salah satu pengalaman hidup
yang paling menyakitkan yang mungkin dihadapi oleh seseorang adalah meninggalnya pasangan
hidup
yang
dicintai.
Benaim (dalam Ulfasari, 2006) mengatakan bahwa meninggalnya pasangan hidup bagi seorang
wanita akan terasa lebih menyakitkan dibanding laki-laki, karena itu seorang laki-laki yang ditinggal
mati pasangan hidupnya cenderung lebih cepat dapat melupakan atau menyelesaikan masalah
tersebut dan memilih untuk menikah kembali. Sebaliknya bagi para wanita yang ditinggal mati
suaminya biasanya akan memiliki masalah yang lebih kompleks. Mereka harus memikirkan sumber
masalah, sumber keuangan bagi kehidupan dan juga untuk anak-anaknya.

Penyebab

Perceraian

Menurut Newman & Newman (1984) ada empat faktor yang memberikan kontribusi terhadap perceraian,
yaitu :
a.
Usia
saat
menikah
Di Amerika Serikat, angka perceraian cukup tinggi diantara pasangan yang menikah sebelum usia 20
tahun.
b.
Tingkat
pendapatan
Angka perceraian di populasi yang memiliki pendapatan dan tingkat pendidikan rendah cenderung
labih tinggi dibandingkan mereka yang ada dikalangan menengah ke atas.
c.
Perbedaan
perkembangan
sosio
emosional
diantara
pasangan
Wanita dilaporkan lebih banyak mengalami stress dan problem penyesuaian diri dalam perkawinan di
bandingkan laki-laki. Kepuasan dalam perkawinan juga tergantung pada kualitas-kualitas suami;
seperti : stabilitas identitas maskulin, kebahagiaan dari perkawinan orangtua, tingkat pendidikan, dan
status sosialnya.
d.
Sejarah
keluarga
berkaitan
dengan
perceraian
Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa anak-anak dari keluarga yang bercerai cenderung
mengalami perceraian dalam kehidupan rumah tangganya.
Alasan lain yang umumnya boleh diajukan oleh suami untuk menceraikan istrinya adalah keadaan
kesehatan istri, wataknya yang malas, dan keengganannya bekerja melayani keperluan suami.
Sementara itu, alasan yang dipandang sah untuk seorang istri agar dapat melepaskan diri dari ikatan
perkawinan dengan suaminya umumnya berupa penelantaran dirinya oleh suami, atau oleh perlakuan
kejam
suami
terhadap
dirinya.
Konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan dan kebencian merupakan tahapan awal yang
sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi runtuh dan motivasi bercerai mulai muncul
(Turner
&
Helms,
1983).

Perkawinan menjadi gagal antara lain karena ketidakmampuan pasangan suami istri dalam memecahkan
masalah yang dihadapi (kurang adanya komunikasi 2 arah), saling cemburu, ketidakpuasan pelayanan
suami/istri, kurang adanya saling pengertian dan kepercayaan, kurang mampu menjalin hubungan baik
dengan keluarga pasangan, merasa kurang dengan penghasilan yang diperoleh, saling menuntut dan
ingin
menang
sendiri
(Gunarsa,
1999).
Kehadiran pihak ketiga dalam sebuah rumah tangga menunjukkan kegagalan dalam mengembangkan
dan menyempurnakan cinta antara suami istri sehingga mengakibatkan putusnya ikatan perkawinan
(Hadiwardoyo,
1990).
Menurut Fauzi (2006) alasan-alasan untuk bercerai adalah:
a.
Ketidakharmonisan
dalam
berumah
tangga
Ketidakharmonisan merupakan alasan yang kerap dikemukakan bagi pasangan yang hendak bercerai.
Ketidakhrmonisan disebabkan bisa disebabkan oleh berbagai hal antara lain, ketidakcocokan pandangan,
krisis
akhlak,
perbedaan
pendapat
yang
sulit
disatukan
dan
lain-lain.
b.
Krisis
moral
dan
akhlak
Perceraian juga sering memperoleh landasan berupa krisis moral dan akhlak misalnya kelalaian
tanggung jawab baik suami maupun istri, poligami yang tidak sehat, pengaiayaan, pelecehan dan
keburukan perilaku lainnya misalnya mabuk-mabukkan, terlibat tindak kriminal, bahkan utang piutang.
c.
Perzinahan
Terjadinya perzinahan yaitu hubungan seksual di luar nikah yang dilakukan baik suami maupun istri
merupakan penyebab perceraian. Di dalam hukum perkawinan Indonesia, perzinahan dimasukkan
kedalam
salah
satu
pasalnya
yang
dapat
mengakibatkan
berakhirnya
percereaian.

e.
Pernikahan
tanpa
cinta
Alasan lain yang kerap dikemukakan baik oleh suami atau istri untuk mengakhiri sebuah perkawinan
adalah bahwa perkawinan mereka telah berlangsung tanpa dilandasi adanya cinta.

Bentuk

Dan

Tahapan

Perceraian

Perceraian menjadi salah satu persoalan yang paling menyakitkan dan menyulitkan dalam kehidupan
seseorang. Hal ini dikarenakan perceraian menghadapkan seseorang dengan sejumlah proses dan
pengambilan
keputusan
yang
penting.
Bohannon (dalam Fitria, 2004) mencatat sejumlah bentuk dan tahapan perceraian yang harus dilalui oleh
seseorang, yaitu :
1. Perceraian Emosional merupakan awal persoalan dari perkawinan yang mulai memburuk. Bentuk
perceraian ini adalah tahapan awal yang sangat berpengaruh dimana struktur perkawinan menjadi
runtuh dan motivasi untuk bercerai mulai muncul. Perilaku-perilaku yang muncul diantanya adalah
konflik, terhambatnya komunikasi, hilangnya kepercayaan, dan kebencian.
2. Perceraian Legal memerlukan lembaga pengaduan untuk memutuskan ikatan perkawinan.
Pasangan biasanya mengalami kelegaan, jika perceraiannya telah diputuskan secara legal dimana
berbagai ekspresi emosional akan muncul pada tahap ini.
3. Perceraian Ekonomi menunjukkan pada tahap dimana pasangan telah memutuskan untuk
membagi kekayaan dan harta mereka masing-masing. Pada tahap ini seringkali dibutuhkan seorang

penengah karena biasanya Kedua pasangan menunjukkan reaksi kebencian, kemarahan, dan
permusuhan berkaitan dengan pembagian harta kekayaan.
4. Perceraian antar orang tua merupakan tahapan keempat yang berkenan dengan persoalan
pengasuhan anak. Kekhawatiran dan perhaatian terhadap dampak perceraian pada anak seringkali
muncul dalam tahap ini.
5. Perceraian Komunitas menunjukkan bahwa status individu dalam hubungan sosial menjadi
berubah. Banyak individu yang bercerai merasa bahwa mereka terisolasi dan kesepain.
6. Perceraian Psikis berkaitan dengan mendapatkan kembali otonomi individual. Perubahan dari
situasi yang berpasangan menjadi individu yang sendirian, membutuhkan penyesuaian kembali
peran-peran dan penyesuaian mental.
Reaksi pertama yang dimunculkan oleh individu saat menghadapi perceraian umumnya adalah reaksi
reaksi yang bersifat emosional. Rekasi tersebut tampak dengan wujud penyangkalan terhadap kenyataan
perceraian dan kemarahan yang memuncak pada depresi. Individu pada akhirnya setuju untuk bercerai,
hanya ketika melihat kenyataan bahwa perceraian merupakan keputusan yang terbaik dari pada
mempertahankan perkawinan yang sudah tidak harmonis.
Dampak Perceraian
1.
Traumatik
Setiap perubahan akan mengakibatkan stres pada orang yang mengalami perubahan tersebut. Sebuah
keluarga melakukan penyesuaian diri terhadap perubahan-perubahan yang terjadi, seperti pindah rumah
atau lahirnya seorang bayi dan kekacauan kecil lainnya, namun keretakan yang terjadi pada keluarga
dapat menyebabkan luka-luka emosional yang mendalam dan butuh waktu bertahun-tahun untuk
penyembuhan
(Tomlinson
&
Keasey,
1985).
Hurlock (1996) dampak traumatik dari perceraian biasanya lebih besar dari pada dampak kematian,
karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit dan tekanan emosional, serta
mengakibatkan
cela
sosial.
Stres akibat perpisahan dan perceraian yang terjadi menempatkan laki-laki maupun perempuan dalam
risiko kesulitan fisik maupun psikis. (Coombs & Guttman, dalam Santrock. 2002). Laki-laki dan
perempuan yang bercerai memiliki tingkat kemungkinan yang lebih tinggi mengalami gangguan psikiatris,
masuk rumah sakit jiwa, depresi klinis, alkoholisme, dan masalah psikosomatis, seperti gangguan tidur,
dari
pada
orang
dewasa
yang
sudah
menikah.
Hurlock (1996) dampak perceraian sangat berpengaruh pada anak-anak. Pada umumnya anak yang
orang tuanya bercerai merasa sangat luka karena loyalitas yang harus dibagi dan mereka sangat
menderita kecemasan karena faktor ketidakpastian mengakibatkan terjadi perceraian dalam keluarganya.
Ketidakpastian ini khususnya akan lebih serius apabila masalah keselamatan dan pemeliharaan anak
menjadi bahan rebutan anatara ayah dan ibu, sehingga anak akan mondar mandir antara rumah ayah
dan ibu.
2.
Perubahan
Peran
dan
Status
Efek yang paling jelas dari perceraian akan mengubah peranan dan status seseorang yaitu dari istri
menjadi janda dan suami menjadi duda dan hidup sendiri, serta menyebabkan pengujian ulang terhadap
identitas mereka (Schell & Hall, 1994). Baik pria mupun wanita yang bercerai merasa tidak menentu dan
kabur setelah terjadi perceraian. terutama bagi pihak wanita yang sebelum bercerai identitasnya sangat
tergantung
pada
suami.
Hal ini karena orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka sebagai

kebebalan personal. Mereka mencoba untuk mengintegrasikan kegagalan perkawinan dengan definisi
personal mereka tentang maskulinitas ataupun feminitas, kemampuan mereka dalam mencintai
seseorang, dan aspirasi mereka untuk menjalankan peran sebagai suami, istri, bapak, ibu dari pada
anak-anak.
Setelah bercerai baik pria maupun wanita akan terhenti dalam melakukan hubungan seksual secara rutin.
Bagi pria biasanya dapat menyelesaikn masalahnya dengan menjalin hubungan seksual dengan wanita
lain atau kumpul kebo. Sedangkan janda yang mempunyai anak sering kesulitan dalam menyelesaikan
masalah
seksualnya.
Menurut Campbell (dalam Schell & Hall, 1994) orang-orang yang bercerai umumnya kurang merasa puas
dengan kehidupan mereka dibandingkan dengan orang-orang yang menikah, yang belum menikah, atau
bahkan janda / duda yang ditinggal mati. Perasaan tidak puas ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor.
Salah satu diantaranya, orang-orang yang bercerai seringkali menilai kegagalan perkawinan mereka
sebagai kegagalan personal.
3.
Sulitnya
Penyesuaian
Diri
Kehilangan pasangan karena kematian maupun perceraian menimbulkan masalah bagi pasangan itu
sendiri. Hal ini lebih menyulitkan khususnya bagi wanita. Wanita yang diceraikan oleh suaminya akan
mengalami kesepian yang mendalam. Bagi wanita yang bercerai, masalah sosial lebih sulit diatasi
dibandingkan bagi pria yang bercerai. Karena wanita yang diceraikan cenderung dikucilkan dari kegiatan
sosial, dan yang labih buruk lagi seringkali ditinggalkan oleh teman-teman lamanya. Namun jika pria
yang diceraikan atau menduda akan mengalami kekacauan pola hidup (Hurlock,1996)
Beberapa individu, tidak pernah dapat menyesuaikan diri dengan perceraian. Individu itu bereaksi
terhadap perceraiannya dengan mengalami depresi yang sangat dan kesedihan yang mendalam, bahkan
dalam beberapa kasus, sampai pada taraf bunuh diri. Bagaimanapun, tidak semua pasangan yang
bercerai mengakhirinya dengan permusuhan. Beberapa diantaranya masih tetap berteman dan
memelihara hubungan dengan lain pihak melalui minat yang sama terhadap anak-anaknya.
Hozman dan Froiland (dalam Hurlock, 1996) menjelaskan tentang kesulitan dan kerumitan penyesuaian
diri setelah terjadi perceraian. Mereka membagi 5 tahap penyesuaian setelah terjadinya penyesuaian
yaitu
Menyangkal bahwa ada perceraian,
Timbul kemarahan dimana masing-masing individu tidak ingin saling terlibat,
Dengan alasan pertimbangan anak mereka berusaha untuk tidak bercerai,
Mereka mengalami depresi mental ketika mereka tahu akibat menyeluruh dari perceraian
terhadap kelurga,
Dan akhirnya mereka setuju untuk bercerai.
Dampak perceraian khususnya sangat berpengaruh pada anak-anak. Kenyataan ini yang sering kali
terlupakan oleh pasangan yang hendak bercerai (Papalia & Diane, 2001). Perceraian menyebabkan
problem penyesuaian bagi anak-anak. Situasi perceraian ini, khususnya jika anak-anak memandang
bahwa kehidupan keluarganya selama ini sangat bahagia, dapat menjadi situasi yang mengacaukan
kognitifnya.
Masa ketika perceraian terjadi merupakan masa kritis buat anak, terutama menyangkut hubungan
dengan orangtua yang tinggal bersama. Pada masa ini anak harus mulai beradaptasi dengan perubahan
hidupnya yang baru. Proses adaptasi pada umumnya membutuhkan waktu. Pada awalnya anak akan
sulit
menerima
kenyataan
bahwa
orang
tuanya
tidak
bersama
lagi.

Namun banyak wanita dan pria yang merasa beruntung dengan adanya perceraian, dengan pengertian
bahwa perceraian tersebut memberikan kesempatan pada mereka untuk memulai hidup yang baru
(Hurlock, 1996). Hetherington dan kawan-kawan (Hurlock, 1996), menjelaskan bahwa pasangan yang
bercerai pada umumnya berharap tekanan dan konflik batin berkurang dapat menikmati kebebasan lebih
besar dan akan menemukan kebahagiaan diri sendiri. Studi tentang akibat perceraian pada anggota
keluarga membawa dampak yang sangat besar, terutama pada tahun pertama setelah perceraian
kemudian bertahap akan terjadi penyesuaian terhadap berbagai masalah yang ada dalam keluarga.

Daftar Pustaka - Penyebab Perceraian, Pengertian, Dampak, Makalah Menurut Para Ahli
Gunarsa, S. D. (1999). Psikologi untuk Keluarga. Cetakan ke-13. Jakarta : Gunung Agung Mulia.
Bell, R. R. (1979). Marriage and Family Interaction. 5th edition. Illinois : The Dorsey Press.
Hurlock, E. B. (1994). Psikologi Perkembangan, Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan.
Jakarta
:
Erlangga.
Emery, E. R. (1999). Marriage, divorce, and children adjustment. 2nd edition . New York: Prentice Hall
International.
Newman, B. M. & Newman, P. R. (1984). Development through Life : A Psychological Approach. 3rd
edition.
Chicago
:
The
Dorsey
Press.
Turner, J. S. & Helms, D. B. (1983). Lifespan Development. 2nd edition. New York : CBS College
Publishing.
Hadiwardoyo, P. (1990). Perkawinan menurut Islam dan Katolik : Implikasinya dalam Kawin
Campur. Yogyakarta
:
Kanisius.
Fauzi,

D.A.

(2006). Perceraian

Siapa

Takut!.

Jakarta

Papalia, Diane E. (2001). Human Development. 8th edition. New York : Mc Graw Hill.

Restu

Agung

Anda mungkin juga menyukai