Anda di halaman 1dari 4

Wawasan Wiyata Mandala dan Wawasan Almamater

Wawasan Wiyatamandala
Dengan memperhatikan kondisi sekolah dan masyarakat dewasa ini yang umumnya masih
dalam taraf perkembangan, maka upaya pembinaan kesiswaan perlu diselenggarakan untuk
menunjang perwujudan sekolah sebagai Wawasan Wiyatamandala.
Berdasarkan surat Direktur Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah nomor :13090/CI.84
tanggal 1 Oktober 1984 perihal Wawasan Wiyatamandala sebagai sarana ketahanan sekolah,
maka dalam rangka usaha meningkatkan pembinaan ketahanan sekolah bagi sekolah-sekolah
di lingkungan pembinaan Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen
pendidikan dan kebudayaan, mengeterapkan Wawasan Wiyatamandala yang merupakan
konsepsi yang mengandung anggapan-anggapan sebagai berikut.
Sekolah merupakan Wiyatamandala (lingkungan pendidikan) sehingga tidak boleh
digunakan untuk tujuan-tujuan diluar bidang pendidikan.
Kepala sekolah mempunyai wewenang dan tanggung jawab penuh untuk menyelenggarakan
seluruh proses pendidikan dalam lingkungan sekolahnya, yang harus berdasarkan Pancasila
dan bertujuan untuk:
1. Meningkatkan ketakwaan teradap Tuhan yang maha Esa,
2. Meningkatkan kecerdasan dan keterampilan,
3. Mempertinggi budi pekerti,
4. Memperkuat kepribadian,
5. Mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air.
Antara guru dengan orang tua siswa harus ada saling pengertian dan kerjasama yang baik
untuk mengemban tugas pendidikan.
Para guru, di dalam maupun di luar lingkungan sekolah, harus senantiasa menjunjung tinggi
martabat dan citra guru sebagai manusia yang dapat digugu (dipercaya) dan ditiru, betapapun
sulitnya keadaan yang melingkunginya.
Sekolah harus bertumpu pada masyarakat sekitarnya, namun harus mencegah masuknya
sikap dan perbuatan yang sadar atau tidak, dapat menimbulkan pertientangan antara kita sama
kita.
Untuk mengimplementasikan wawasan Wiyatamandala perlu diciptakan suatu situasi di mana
siswa dapat menikmati suasana yang harmonis dan menimbulkan kecintaan terhadap
sekolahnya, sehingga proses belajar mengajar, kegiatan kokurikuler, dan ekstrakurikuler
dapat berlangsung dengan mantap.
Upaya untuk mewujudkan wawasan Wiyatamandala antara lain dengan menciptakan sekolah
sebagai masyarakat belajar, pembinaan Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS), kegiatan
kurikuler, ko-kurikuler, dan ekstra-kurikuler, serta menciptakan suatu kondisi kemampuan
dan ketangguhan yakni memiliki tingkat keamanan, kebersihan, ketertiban, keindahan, dan
kekeluargaan yang mantap.
(www.wikipedia.com)
Wawasan Wiyata Mandala adalah suatu pandangan atau sikap menempatkan sekolah
sebagai lingkungan pendidikan. Suatu wawasan proses pembudayaan tata kehidupan keluarga
besar, dimana para anggotanya merasa ikut memiliki, melindungi dan menjaga citra dan
proses wibawa tersebut. Suatu lingkungan dimana terjadi proses koordinasi, proses
komunikasi, tempat saling bekerja sama dan bantu membantu.
Makna yang terkandung dalam proses pendidikan Wiyata Mandala adalah :
1. Sekolah hendaknya betul-betul menjadi tempat terselenggaranya proses belajar mengajar
tempat dimana ditanamkan dan dikembangkan berbagai nilai-nilai ilmu pengetahuan,
keterampilan dan wawasan dalam rangka mencapai tujuan pendidikan Nasional yaitu

manusia yang cerdas, siap kerja, menguasai ilmu dan tehnologi tetap berakar pada nilai-nilai
budaya bangsa.
2. Sekolah sebagai masyarakat belajar, dimana terjadi proses interaksi antara siswa, guru dan
lingkungan sekolah, maka dalam kehidupan sekolah berperan unsur dan macam macam
satuan, seperti; kepala sekolah, guru, orang tua siswa, para siswa, pegawai dan hubungan
timbal balik antara sekolah dengan masyarakat dimana sekolah itu berada.
3. Sekolah sebagai tempat terselenggaranya proses belajar mengajar, tempat terjadinya proses
pembudayaan kehidupan hanya dapat berfungsi dengan sebaik-baiknya apabila di lingkungan
sekolah tersebut dapat diciptakan suasana aman, nyaman, tertib dari segala ancaman.
Tujuan Wawasan Wiyata Mandala adalah diharapkan seluruh siswa dapat berperan aktif
dalam meningkatkan fungsi sekolah sebagai lingkungan pendidikan. Aktivitas dan kreativitas
siswa sangat diperlukan untuk menciptakan sekolah sebagai masyarakat belajar, tempat saling
asah, saling asih, dan saling asuh yang dibimbing oleh kepala sekolah dan guru yang dapat
mendorong semangat dan minat belajar. Hal yang sangat penting bagi siswa adalah dapat
mendudukkan dan menempatkan diri sesuai dengan fungsinya sebagai warga wiyata.
(http://smpn1bpn.sch.id/index.php?option=com_content&task=view&id=13&Itemid=34)
Wawasan Almamater
Alma mater, atau kadang-kadang ditulis tersambung sebagai almamater, Almamater adalah
istilah dalam bahasa Latin yang secara harafiah berarti "ibu susuan". Penggunaan istilah ini
populer di kalangan akademik/pendidikan untuk menyebut perguruan tempat seseorang
menyelesaikan suatu jenjang pendidikan. Walaupun sering dipakai di kalangan pendidikan
tinggi, istilah ini sebetulnya pernah dipakai di masa Romawi Kuno untuk menyebut dewi ibu
dan di kalangan Kristen Eropa Abad Pertengahan dipakai untuk merujuk Perawan Maria.
(Sumber Kep. MENDIKBUD No. 0319/U/1983 tanggal 22 Juli 1983)
Wawasan Almamater adalah konsepsi yang mengandung anggapan-anggapan sebagai
berikut :
1. Perguruan Tinggi harus benar-benar merupakan lembaga ilmiah, sedang kampus harus
benar-benar merupakan masyarakat ilmiah.
2. Perguruan Tinggi sebagai Almamater (Ibu Asuh) merupakan suatu kesatuan yang bulat &
mandiri dibawah pimpinan Rektor sebagai pimpinan utama.
3. Keempat unsur Sivitas Akademika, yakni Pengajar, Karyawan Administrasi, Mahasiswa
serta Alumnus harus manunggal dengan Almamater, berbakti kepadanya dan melalui
Almamater mengabdi kepada rakyat, bangsa dan negara dengan jalan melaksanakan Tri
Dharma Perguruan Tinggi.
4. Keempat unsur sivitas akademika dalam upaya menegakkan Perguruan Tinggi sebagai
lembaga ilmiah dan kampus sebagai masyarakat ilmiah melaksanakan Tri Karya, yaitu :
o Institusionalisasi (pembentukan institusi-institusi)
o Profesionalisasi (proses memantapan profesi-profesi)
o Transpolitisasi (mempelajari politik, politicking)
5. Tata krama pergaulan di dalam lingkungan Perguruan Tinggi dan kampus di dasarkan atas
azas kekeluargaan serta menjujung Tinggi keselarasan dan keseimbangan sesuai dengan
pandangan hidup Pancasila.
Trikarya
Sub 4 Wawasan Almamater adalah :
1. Institusionalisasi
2. Profesionalisasi
3. Transpolitisasi
Institusionalisasi
Institusi adalah Suatu proses atau kelompok yang sangat terorganisasi ( ada spesifikasi yang

cermat daripada peranan dan hubungan antar peranan bagi yang bersangkutan),
tersistematisasi (ada spesifikasi yang cermat daripada apa yang dapat dan harus dilakukan),
dan mantap (eksistensi proses atau kelompok tidak tergantung pada hadirnya individuindividu tertentu, sedangkan organisasi dan sistematisasi cenderung untuk tidak berubah-ubah
dalam jangka waktu yang lama ).
Institusionalisasi adalah pembentukan institusi-institusi.
Profesionalisasi
Profesi adalah bukan sekedar pekerjaan atau vacation, melainkan merupakan suatu vakasi
yang khusus, yang mempunyai ciri-ciri :
1. Expertise (keahlian)
2. Responsibility (tanggung jawab)
3. Corporateness (kesejawatan)
Profesionalisme adalah proses memantapan profesi-profesi.
Transpolitisasi
Mengandung dua hal :
1. Kegiatan mempelajari politik untuk memperoleh kesadaran politik untuk kemudian
melangkah terus dan melakukan kegiatan ilmiah guna melaksanakan keputusan-keputusan
politik yang diambil secara sah oleh seluruh rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat.
2. Jika ingin melakukan politicking tidak boleh mengatasnamakan Almamater dan harus
diluar lingkungan kampus.
(http://www.usm.ac.id/index.php?
pModule=mahasiswa&pSub=wawasan_almamater&pAct=view)
Wawasan Wiyata Mandala dan Wawasan Almamater sangatlah erat dengan ciri khas sekolah
yang membuatnya berbeda dan warga sekolah pun merasa bangga menjadi bagian dari
warganya. Sebutlah SMA Pangudi Luhur, Brawijaya, Jakarta Selatan yang hanya
diperuntukkan bagi peserta didik putra, dan jika nilainya bagus (rata-rata di atas 7,5)
diperbolehkan untuk berekspresi ala remaja masa kini semisal rambut gondrong dan sepatu
bebas. Bagaimana sekolah memberikan bargaining position kepada peserta didik untuk
memilih pilihannya sendiri dengan konsekuensi-konsekuensi yang tentunya sepadan.
Stimulus ini membuat siswa termotivasi secara baik dari luar. Atau SMA Tara Kanita yang
terkenal dengan sekolah wanita karena seluruh muridnya adalah wanita. Kita bisa lihat lagi
SMA Kanisius, bekas sekolah Ade Rai, Akbar Tandjung, Fauzi Bowo dan Soe Hok Gie, yang
memiliki ketegasan luar biasa kepada muridnya perihal akademik dan kejujuran, yakni bila
didapati siswa mencontek atau mendapat nilai di bawah 6, siswa akan dikeluarkan dari
sekolah. SMA Xaverius 1 Palembang yang kental dengan kedisiplinannya dan mengambil
suster/biarawati sebagai pengajarnya. SMA Gonzaga yang terkenal dengan apresiasi seni
yang tinggi, siswa laki-lakinya pun diperbolehkan berambut panjang (gondrong) namun
perihal prestasi akademik, tidak perlu ditanya. Nurul Fikri atau Al-Azhar yang merupakan
sekolah bernafaskan ISLAM juga memliki ciri khas yang membedakannya dengan sekolah
yang lain. Dimana pengelolaan peserta didik dilakukan dengan tata cara dan pendekatan
spiritual.
Hal-hal semacam inilah yang membuat sekolah berbeda, memiliki karakter dan ciri khas,
yang membuat seluruh keluarga besar sekolah mencintainya, menjaganya sehingga tumbuh
rasa memiliki yang tinggi dan kebanggaan terhadap sekolah. Kepala sekolah, guru, karyawan,
siswa, alumni bahkan tukang lontong sayur yang berjualan pun akan menjawab dengan
bangga ketika ada orang bertanya kerja dimana? atau sekolah dimana? atau ngajar
dimana? atau alumni mana? atau dagang dimana?
Pertanyaannya, bagaimana dengan sekolah kita? Apakah kita bangga pernah menjadi bagian
dari SD, SMP, atau SMA yang sudah kita tinggalkan? Apakah kita akan menjawab dengan
bangga ketika ditanya alumni mana? atau kuliah dimana? banggakah kita? Atau biasa-

biasa saja? Atau bahkan MALU? Apapun jawabannya, inilah salah satu dari implikasi dari
pelaksanaan wawasan wiyata mandala dan wawasan almamater di suatu satuan pendidikan.
Permasalahan
Saya temui seorang alumni SMA N 4 Depok tahun 2009 kemarin di info profil FBnya
menuliskan bahwa ia alumni SMA N 8 Jakarta. Di sini kita dapat melihat adanya
ketidakbanggaan, dalam dirinya terhadap sekolah yang bagaimanapun telah
mengantarkannya ke bangku perkuliahan sekarang.
Faktor Penyebab
1. Kurangnya kualitas layanan dan pengelolaan peserta didik di sekolah
2. Fasilitas yang kurang memadai atau memadai tapi tidak pernah digunakan
3. Guru-guru yang kurang professional dan kurang bersahabat, guru lebih dianggap sebagai
oknum penegak hukum dari pada pendidik
4. Terlalu banyak aturan yang mengekang kebebasan berekspresi
5. Letak geografis yang terpencil atau di kampung
6. Secara akademik, tidak memiliki rating yang terlalu tinggi atau bahkan rendah
7. Sekolah tidak memiliki ciri khas yang membanggakan, yang ada hanya wc kotor, sedikit,
lusuh, meja penuh coretan, bangku reot goyang-goyang, tembok retak, atap bocor, kantin
kecil, harga makanan mahal, guru sogokan, guru killer, guru sibuk di luar, razia rambut
gondrong, sepatu kates, baju keluar, video porno, dll
Solusi
1. Perbaiki layanan dan pengelolaan peserta didik
2. Pengadaan dan pendayagunaan fasilitas yang ada
3. Adakan pelatihan untuk menjadi guru yang baik dan mampu memiliki hubungan emosional
yang positif dengan siswa
4. Jangan terlalu banyak aturan yang mengekang, tapi ciptakan bargaining position (posisi
tawar) untuk siswa
5. Buat program pengembangan kurikulum untuk meningkatkan akademik siswa semacam
quantum learning
6. Buat ciri khas sekolah yang dapat dibanggakan

Anda mungkin juga menyukai