Anda di halaman 1dari 8

Hubungan Derajat Rinitis Alergi Terhadap Tingkat Kontrol Asma Bronkial

Di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh


Relationship The Degree Of Rhinitis Allergy with Bronchial Asthma Control
Level in The District General Hospital dr. Zainoel Abidin Banda Aceh
Muhammad Rizkan Fauzi*, Azwar Ridwan, Dewi Behtri Yanifitri
Program Studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala, Banda AcehIndonesia
*email:
ABSTRAK
Rinitis alergi diketahui berkaitan dengan sejumlah kondisi komorbid, seperti asma bronkial,
dermatitis atopik, dan polip hidung sehingga timbul kecurigaan bahwa derajat rinitis alergi
mempengaruhi tingkat kontrol asma pasien asma bronkial. Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan antara derajat rhinitis alergi terhadap tingkat kontrol asma pada Poliklinik
Telinga, Hidung, Tenggorak, Bedah Kepala Leher dan Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin. Penelitian ini merupakan jenis penelitian observational
analitik dengan rancangan cross sectional. Hasil pengamatan dianalisa menggunakan Korelasi
Spearman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki
berjumlah 20 responden (54.1%), serta jenis pekerjaan PNS merupakan jenis pekerjaan
terbanyak dengan jumlah sebanyak 17 responden (45.9%). Berdasarkan hasil statistik terdapat
hubungan signifikan (p=0.00) antara derajat rinitis alergi dengan derajat asma bronkial yang
dinilai dari tingkat control asma. Kesimpulan penelitian ini adalah semakin tinggi derajat rinitis
alergi, akan semakin memperberat tingkat kontrol asma seseorang.
Kata Kunci: Derajat rinitis alergi, asma bronkial, tingkat kontrol asma
ABSTRACT
Rhinitis allergic known to be associated with a number of comorbid conditions, such as bronchial
asthma, atopic dermatitis, and nasal polyps which raised the suspicion that the degree of allergic
rhinitis affects the level of control of asthma patients with bronchial asthma. The purpose of this
study was to determine the relationship between the degree of allergic rhinitis on asthma control
level at the Polyclinic Ear, Nose, Tenggorak, Head Neck Surgery and Lung Clinic Regional
General Hospital (Hospital) dr. Zainoel Abidin. This research is an analytic observational study
with cross sectional design. The observations were analyzed using Spearman correlation. The
results showed that the highest gender is male totaling 20 respondents (54.1%), as well as the
type of work of civil servants is the type of work the most with a total of 17 respondents
(45.9%). Based on the results are statistically significant relationship (p = 0:00) between the
degree of allergic rhinitis with the degree of bronchial asthma is judged by the level of asthma
control. The conclusion of this study is the higher the degree of allergic rhinitis, will worsen the
person's level of asthma control.
Keywords: Degree of allergic rhinitis, bronchial asthma, asthma control level

PENDAHULUAN
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit saluran napas bagian atas yang sering dijumpai
pada anak, disamping penyakit asma bronkial dan sinusitis.1,2 Rinitis alergi sendiri sebenarnya
sudah dikenal sejak lama oleh masyarakat, dan masih menjadi suatu permasalahan kesehatan
yang penting pada hampir semua negara di dunia. 3 Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar
(RISKESDAS) untuk prevalensi rinitis alergi di Indonesia sendiri angkanya mencapai 1,5%12,4%, sedangkan di beberapa negara lain, seperti di Amerika Utara untuk prevalensi rinitis
alergi mencapai 10-20%, di Eropa sekitar 10-15%, di Thailand sekitar 20% dan Jepang 10%. 4,5
Rinitis alergi diketahui berkaitan dengan sejumlah kondisi komorbid, seperti asma bronkial,
dermatitis atopik, dan polip hidung. Rinitis alergi yang tidak terkendali diketahui dapat
memperburuk peradangan yang terjadi pada penderita asma bronkial. Keadaan tersebut dapat
meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta menyebabkan penurunan kualitas hidup, dimana
pada usia anak-anak penurunan kualitas hidup yang terjadi menjadi fokus permasalahan yang
penting karena pengaruhnya terhadap kesulitan dalam belajar, berintegrasi dengan teman sebaya,
kecemasan dan disfungsi keluarga, dan berakibat pada perkembangan intelektual dan mental
anak pada masa yang akan datang.6
Penyakit atau gangguan pada saluran nafas bagian atas dan bawah yang sebelumnya
diperlakukan berbeda ternyata memiliki hubungan yang sangat erat satu dengan yang lainnya. 6,7
Berbagai penelitian mengenai hubungan antara penyakit saluran pernapasan atas dan bawah telah
dilakukan salah satunya antara rinitis alergi dengan asma, dimana berdasarkan penelitian yang
dilakukan sebelumnya di Inggris pada anak usia 16 tahun dengan riwayat asma atau mengi,
didapatkan bahwa akan terjadi peningkatan serangan mengi atau sesak nafas dua kali lebih
banyak jika anak tersebut pernah mengalami kondisi rinitis alergika atau eksema. 8 Asma sendiri
merupakan salah satu penyakit kronis tidak menular yang umumnya terjadi pada berbagai
tingkatan kelompok usia, dimana tingkat keparahan dan frekuensi untuk terjadinya asma
bervariasi pada setiap individu.1 Sementara itu, asma bronkial sendiri merupakan suatu penyakit
kronik yang ditandai dengan peningkatan kepekaan atau hipersensitivitas bronkus terhadap
berbagai rangasangan sehingga menyebabkan penyempitan saluran nafas yang luas dan
reversible secara spontan atau dengan pengobatan.3
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa terdapat 235 juta orang yang saat ini
menderita asma.9 Laporan lainnya, berdasarkan Centers for Disease Control (CDC) pada tahun
2012 menunjukkan peningkatan kasus asma yang terjadi di negara Amerika Serikat, yaitu dari
sebesar 7,3% pada tahun 2001 menjadi sebesar 8,4% pada tahun 2010.3,10 Untuk prevalensi ratarata kejadian asma di wilayah Asia Tenggara berkisar 3.3% dari keseluruhan jumlah penduduk,
sedangkan di Indonesia sendiri, berdasarkan laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
pada tahun 2013 untuk prevalensi Asma di negara Indonesia adalah sebesar 4,5%, meningkat
sebanyak 1% dari laporan hasil RISKESDAS pada tahun 2007 sebelumnya. 4,5 Hal ini
menunjukkan bahwa terjadi peningkatan prevalensi asma baik yang terjadi di hampir semua
negara di dunia. Peningkatan prevalensi asma diketahui berkaitan dengan riwayat atopi yang ada
dalam keluarga, seperti rinitis alergi. Berdasarkan penelitian yang dilakukan sebelumnya
melaporkan, bahwa pada dasarnya mekanisme terjadinya gangguan fungsi saluran nafas atas
pada rinitis alergi didasari kesamaan antara mukosa rongga hidung dan nasofaring, sehingga
proses inflamasi alergi di mukosa hidung dapat berlanjut ke mukosa nasofaring dan saluran
pernapasan berikutnya.10,11
Valovirta dkk melaporkan di negara Amerika Serikat sekitar 20-40% pasien rhinitis alergi
menderita asma bronkial, sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki gejala rinitis alergi

sebelumnya. Pada dasarnya, peran rinitis alergi pada penyakit asma bronkial belumlah dapat
dipahami sepenuhnya.11
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara derajat
rinitis alergi dengan derajat kontrol asma bronkial di Poliklinik Telinga, Hidung, Tenggorak,
Bedah Kepala Leher (THT-KL) dan Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr.
Zainoel Abidin Banda Aceh.
METODELOGI PENELITIAN
Penelitian ini merupakan jenis penelitian observational analitik dengan rancangan cross
sectional, yaitu penelitian untuk mencari hubungan faktor resiko berupa derajat rinitis alergi
dengan efek berupa tingkat kontrol asma bronkial dengan metode pendekatan, observasi atau
pengumpulan data sekaligus pada suatu waktu. Penelitian ini dilakukan di Poliklinik THT-KL
dan Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Daerah dr. Zainoel Abidin Banda Aceh selama bulan
Januari 2016 sampai dengan Februari 2016.Sampel dalam penelitian ini adalah penderita rinitis
alergi di Poliklinik Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorakan, Kepala dan Leher (THT-KL)
dan Poliklinik Ilmu Kesehatan Paru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin
Banda Aceh, yang memenuhi syarat berdasarkan kriteria inklusi dan kriteria ekslusi yang telah
ditetapkan sebelumnya. Pengambilan sempel dilakukan dengan metode non probability sampling
dengan teknik pengambilan secara accidental sampling.12
Kriteria inklusi dari penelitian ini adalah pasien yang menderita rinitis alergi dan asma dan
berusia 12-45 tahun dan bersedia menjadi responden dengan persetujuan tertulis. Sedangkan,
kriteria ekslusinya adalah pasien yang memiliki IMT dengan kategori obesitas dan terdapat
riwayat penyakit paru sebelumnya, seperti: TB, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Derajat
rinitis alergi pada penelitian ini diukur berdasarkan hasil diagnosa dokter ahli THT-KL di RSUD
dr. Zainoel Abidin Banda Aceh dan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu intermiten
ringan, persisten ringan, dan persisten sedang-berat. Tingkat kontrol asma dalam penelitian ini
dinilai dengan menggunakan kuisoner tingkat konrol asma yang diperkenalkan pada tahun 2004
oleh Nathan. Kuisoner tersebut beriksan lima pertanyaan dan masing-masing dari pertanyaan
mempunyai skor satu sampai lima, sehingga nilai terendahnya adalah 5 dan tertinggi adalah 25.
Interpretasi dari skor tersebut adalah apabila kurang atau sama dengan 19 berarti asma tidak
terkontrol, 20-24 dikatakan terkontrol sebagian dan 25 dikatakan terkontrol penuh.
Analisa univariat pada penelitian ini dilakukan pada setiap variabel untuk deskripsi data.
Hasil analisa berupa distribusi frekuensi dan persentase setiap variable dalam penelitian. Data
yang diperoleh kemudian disajikan dalam bentuk tabel, grafik, dan sebagainya. Analisis bivariat
digunakan untuk mencari hubungan atau korelasi antara variabel bebas dan variabel terikat,
dalam penelitian ini untuk uji statistiknya menggunakan uji kolerasi spearman dengan derajat
kemaknaan 0,05atau 95%.12
HASIL PENELITIAN
Pengumpulan data penelitian dilakukan pada bulan Januari 2016-Februari 2016 di
Poliklinik Telinga, Hidung, Tenggorak, Bedah Kepala Leher (THT-KL) dan Poliklinik Paru
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh, dengan menggunakan data
primer dari hasil diagnosa dokter dan kuesioner tingkat kontrol asma (ACT) dengan jumlah
responden sebanyak 37 responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.

Tabel 4.1.1 Distribusi Penelitian


Variabel

Frekuensi (Total n=37)

Persentase (%)

Jenis Kelamin :
-Laki-laki
-Perempuan
Pekerjaan :

20
17

54.1
45.9

-PNS
-Wiraswasta
-Mahasiswa
-IRT
Total

17
11
3
6
37

45.9
29.7
8.1
16.2
100

Berdasarkan tabel 4.1.1 penelitian ini didapatkan hasil keseluruhan dari total responden
yang berjenis kelamin laki-laki adalah sebanyak 20 responden (54.1%) serta yang berjenis
kelamin perempuan adalah sebanyak 17 responden (45.9%), sementara itu berdasarkan pekerjaan
diketahui bahwa dari keseluruhan responden, PNS merupakan jenis pekerjaan terbanyak dengan
jumlah sebanyak 17 responden (45.9%), kedua adalah wiraswasta sebanyak 11 responden
(29.7%), ketiga adalah IRT sebanyak 6 responden (16.2%), serta yang paling sedikit adalah
mahasiswa yang berjumlah 3 responden (8.1%).
Tabel 4.1.2 Dristibusi Derajat Rinitis Alergi
Derajat Rinitis Alergi
Intermiten Ringan
Persisten Ringan
Persisten Sedang Berat
Total

Frekuensi (Total n=37)

Persentase (%)

9
15
13
37

24,3
40,5
35,1
100,0

Berdasarkan tabel 4.1.2 diatas, dari 37 responden yang mengalami penyakit rinitis alergi,
berdasarkan dari derajat rhinitis alergi paling banyak adalah yang dengan tingkat persisten ringan
sebanyak 15 responden (40.5%), kemudian tingkat persisten sedang berat sebanyak 13 responden
(35.1%), serta yang paling sedikit adalah yang dengan tingkat intermiten ringan berjumlah 9
responden penelitian (24.3%).
Tabel 4.1.3 Distribusi Derajat Asma Bronkial
Tingkat Kontrol Asma
Terkontrol Penuh
Terkontrol Sebagian
Tidak Terkontrol
Total

Frekuensi (Total n=37)

Persentase (%)

11
16
10
37

29,7
43,2
27,0
100,0

Berdasarkan tabel 4.1.3 diatas didapatkan hasil bahwa dari 37 responden yang mengalami
asma bronkial didapatkan sebanyak 11 responden (29.7%) mempunyai tingkat kontrol asma
penuh, sebanyak 16 responden (43.2%) mempunyai tingkat kontrol asma sebagian, serta
sebanyak 10 responden (27.0%) memiliki tingkat kontrol asma tidak terkontrol.
Tabel 4.1.4 Distribusi Derajat Rinitis dengan Tingkat Kontrol Asma

Spearman'
s rho

Derajat Rinitis
Alergi

Tingkat Kontrol
Asma

Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N
Correlation
Coefficient
Sig. (2-tailed)
N

Derajat
Rinitis
Alergi

Tingkat
Kontrol
Asma

1,000

.854**

37

,000
37

.854**

1,000

,000
37

37

Berdasarkan hasil analisis data pada tabel 4.1.4 diatas menggunakan uji korelasi spearman
didapatkan nilai signifikansinya adalah sebesar 0.000 (p<0.05) pada Sig. (2-tailed), yang secara
statistik menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara derajat rinitis alergi
dengan derajat asma bronkial yang dinilai dari tingkat kontrol asma pada Poliklinik Telinga,
Hidung, Tenggorak, Bedah Kepala Leher (THT-KL) dan Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum
Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
PEMBAHASAN
Berdasarkan tabel 4.1.1 penelitian ini didapatkan hasil keseluruhan dari total responden
yang paling banyak adalah yang berjenis kelamin laki-laki sebanyak 20 responden (54.1%),
sementara itu berdasarkan pekerjaan diketahui bahwa, PNS merupakan pekerjaan terbanyak
dengan jumlah 17 responden (45.9%). Pada dasarnya, terdapat dugaan bahwa jenis kelamin lakilaki lebih memiliki risiko dari perempuan untuk terkena penyakit atopik. Hasil ini sesuai dengan
penelitian yang dilakukan Hafsah di tahun 2005 yang mendapatkan kejadian penyakit atopi lebih
banyak terjadi pada laki-laki (53%).13 Penelitian lain di Inggris juga menunjukkan bahwa jenis
kelamin laki-laki mempunyai risiko lebih tinggi untuk mempunyai penyakit atopik, seperti
rinitis, asma ataupun dermatitis atopik.14 Hubungan antara jenis kelamin dan penyakit atopi
bervariasi sesuai usia. Pada masa awal anak-anak, kejadian asma lebih sering pada anak laki-laki,
namun pada usia lebih tua kejadian penyakit atopi seimbang antara anak laki-laki dan
perempuan. Dilihat dari jenis pekerjaan, PNS merupakan jenis pekerjaaan terbanyak yang
menderita baik rinitis alergi atau atopik, hal tersebut diduga terjadi karena pekerjaan PNS besar
sekali kemungkinan untuk terpapar dengan berbagai alergen yang berada dilingkungan luar
rumah.13,14
Apabila dilihat dari derajat rinitis alergi dan asma bronchial didapatkan hasil bahwa
responden paling banyak diketahui memiliki derajat rinitis alergi persisten ringan dan derajat
tingkat kontrol asma terkontrol sebagian. Hal ini sejalan dengan hasil bahwa pekerjaan PNS
adalah pekerjaan dengan penyakit atopik terbanyak karena tingginya tingkat paparan allergen
dan intensitas waktu kerja yang tinggi sehingga pada hasil penelitian ini, didapatkan derajat

rinitis alergi persisten ringan dan tingkat kontrol asma terkontrol sebagian. Berdasarkan hasil
analisis data yang dilakukan menggunakan uji korelasi spearman didapatkan nilai
signifikansinya adalah sebesar 0.000 (p<0.05) pada Sig. (2-tailed), yang secara statistik
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara derajat rinitis alergi dengan
derajat asma bronkial yang dinilai dari tingkat kontrol asma (ACT).
Pada dasarnya, rinitis alergi merupakan salah satu penyakit atopi yang sering timbul
dimasyarakat. Penderita rinitis alergi diketahui memiliki faktor risiko tiga kali lebih besar untuk
berkembang menjadi asma bronchial dibandingkan dengan orang yang sehat.28,29 Dalam sebuah
studi epidemiologi, dilaporkan hasil bahwa sebesar 20-50% dari pasien rinitis alergi menderita
asma bronkial, dan 30%-80% penderita asma yang dilaporkan dengan rinitis alergi. Status atopik
diketahui diduga memainkan peran utama dalam terjadinya rinitis alergi dengan asma bronkial,
tetapi bukanlah merupakan sebuah prasyarat.13,14 Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh Samsul, dkk yang melaporkan bahwa sebagian besar pasien yaitu 154 orang
(55,00%) memiliki lebih dari satu atopi. Dari penelitian tersebut juga didapatkan bahwa Nilai
ACT sangat berkorelasi dengan tingkat morbiditas asma, dimana semakin baik tingkat kontrol
asma (ACT) maka semakin rendah tingkat morbiditasnya begitupula sebaliknya.15 Nilai ACT
juga sangat tergantung dari derajat berat ringanya asma bronkial, hal ini sesuai dengan penelitian
yang dilakukan oleh Widi, dkk yang melaporkan bahwa terdapat hubungan bermakna secara
statistik antara derajat berat asma dengan tingkat kontrol asma.16
Secara teori hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
semakin tinggi derajat berat asma maka semakin rendah tingkat kontrol asma. 16 Chhabra
menyatakan bahwa pasien dengan derajat asma yang semakin berat, maka semakin rendah
tingkat kontrol asma pasien tersebut. Dari hal tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa derajat
asma yang berat merupakan faktor yang berhubungan dengan buruknya kontrol pasien terhadap
asma.17 Namun, menurut Cockroft dkk, pasien dengan derajat asma yang berat bisa juga
memiliki tingkat kontrol yang baik, dan sebaliknya, meskipun lebih jarang ditemukan. Hal yang
mempengaruhi pasien antara lain manjemen terapi yang baik dan kepatuhan pasien terhadap
pengobatan.18 Chhabra menyatakan bahwa walaupun terdapat hubungan antara derajat berat
asma dengan tingkat kontrol asma, hubungan sebab akibat yang pasti antara keduanya belum
sepenuhnya dimengerti. Disebutkan bahwa pasien dengan tingkat kontrol yang buruk, derajat
asma yang berat, biasanya mempunyai kepatuhan pengobatan yang rendah, akibatnya akan lebih
memperparah gejala asmanya.17
Prevalensi riinitis alergi pada pasien asma bronkial pernah diteliti dalam The International
Study ofAsthma and Allergies in Childhood (ISAAC) di 56 negara dengan prevalensi sangat
bervariasi antara 1,4% sampai 39,7%.19 Penelitian Fitriani dkk, berhasil mendapatkan prevalensi
rinitis alergi sebesar 44,7% pada anak asma usia 13-14 tahun. 20 Hasil yang hampir sama juga
dilaporkan dalam Silva dkk, bahwa prevalensi rinitis alergi pada pasien asma sebesar 33,67%
dan berhubungan dengan beratnya derajat asma bronkial. 21 Teori yang diajukan oleh Alkis
menyebutkan adanya hubungan vertical dan horizontal antara rhinitis alergi dan asma. Hubungan
horizontal yang terjadi adalah semakin berat gejala rhinitis yang akan muncul, semakin besar
kemungkinan menderita asma. Sedangkan hubungan vertikal yang dimaksud adalah hal-hal yang
terjadi di saluran pernafasan atas akan berpengaruh negatif terhadap saluran pernafasan
bawah.13,14
Pada dasarnya, reaksi inflamasi yang terjadi pada hidung dapat memperberat kondisi asma
bronkhial melalui mekanisme yang belum begitu jelas diketahui. Perubahan yang terjadi pada
hidung akibat pemaparan alergen menyebabkan respon non spesifik terhadap otot bronkus.

Berbagai teori telah diajukan untuk menerangkan hubungan antara rinitis dan asma ini. Teori
pertama adalah Neural atau nasal bronchial reflex. Hal tersebut didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh Fontanari dkk, yang memberikan stimulus pada hidung dengan air sangat dingin,
didapatkan hasil berupa peningkatan tahanan dari tracheobronchial tree dan paru, sehingga tidak
berespon terhadap anestesi topical dan bronkodilator inhalasi.6,13,14
Teori berikutnya adalah drainase post nasal bahan-bahan inflamasi atau mediator dari
hidung kesaluran nafas bawah. Teori tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Huxley dkk yang melakukan percobaan dengan memberikan marker atau label pada secret
hidung penderita rinitis alergi, dan didapatkan hasil berupa peningkatan jumlah bahan-bahan
inflamasi hidung tersebut di organ paru atau terjadi aspirasi paru. Pemaparan alergen pada
hidung diketahui akan mendorong peningkatan atau masuknya sel-sel inflamasi pada saluran
pernapasan, begitujuga sebaliknya.6,13,14 Diketahui bahwa terdapat hubungan antara saluran
pernapasan atas dan pernapasan bawah, yang mekanismenya dijelaskan dengan hipotesis One
Airway One Disease atau satu saluran satu penyakit. Hipotesis tersebut menjelaskan bahwa
terdapat dugaan dimana gangguan yang terjadi pada saluran pernapasan bagian atas dengan hasil
diproduksinya sel peradangan akan mempengaruhi saluran pernapasan bagian bawah melalui
jalur peningkatan respon inflamasi bronkus dan mengakibatkan bronchial hiperresponsivenes,
serta berakhir pada perburukan kondisi dari asma bronkial pada pasien.6,13,14
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan oleh peneliti, dapat
diambil kesimpulan berupa semakin berat derajat rinitis alergi maka akan semakin tinggi tingkat
kontrol asma seseorang pada Poliklinik Telinga, Hidung, Tenggorak, Bedah Kepala Leher (THTKL) dan Poliklinik Paru Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr. Zainoel Abidin Banda Aceh.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo A. W, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit
dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam
FKUI. 2012.
2. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th ed.
Jakarta: EGC. 2012.
3. Global Initiative for Asthma (GINA). Global Burden of Asthma. 2014.
http://www.ginasthma.com /. Diakses Maret 2015.
4. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Prevalensi Asma Di Indonesia. 2013.
http://www.litbang.depkes.go.id/. Diakses Maret 2014.
5. Lumbanraja L, Israr Y. A. Distribusi Alergen Pada Penderita Rinitis Alergi di Departemen
THT-KL FK USU/RSUP H. Adam Malik Medan. Tesis. Universitas Sumatera Utara.
2007.
6. Parthiv M. Allergic Rhinitis and Bronchial Asthma. Journal of the Association of
Physicians of India. 2014: 62. p. 23-26.
7. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS). Prevalensi Asma Di Indonesia. 2007.
http://www.litbang.depkes.go.id/. Diakses Maret 2014.
8. Brozek JL, et al. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma guidelines. J Allergy Clin
Immunol 2010: 126. p.466476.
9. World
Health
Organization.
Global
Surveillance
Of
Asthma.
2013.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs307/en/. Diakses Maret 2015.

10. Centers for Disease Control. National Surveillance of Asthma: United States, 20012010.
2012. http://www.cdc.gov/. Diakses Maret 2015.
11. Valtovirta E, Pawankar R. Survey on The Impact Of Comorbid Allergic Rhinitis in
Patients With Asthma. BMC Pulmonory Medicine. 2006. 6: 1. 1-10.
12. Sudigdo S dan Sofyan I. Dasar-Dasar Metodologi Penenlitian Klinis. Jakarta: Sagung
Seto. 2011.
13. Baohong T, Guiying R, Dongguo Wang, Yong L, Zhuping W, Genquan Y. Imbalance of
Peripheral Th17 and Regulatory T Cells in Children with Allergic Rhinitis and Bronchial
Asthma. Iran J Allergy Asthma Immunol. 2015: 14(3). p. 273-279.
14. Priti M, Dattatraya B, Nagsen R. Study of Bronchial hyper-reactivity in Patients With
Allergic Rhinitis in An Urban Indian Setup. World Allergy Organization Journal. 2015: 8.
p. 1-9.
15. Samsul A, Faisal Y, Sita A, Aria K. Tingkat Kontrol Pasien Asma di Rumah Sakit
Persahabatan Berdasarkan Asthma Control Test Beserta Hubungannya dengan Tingkat
Morbiditas dan Faktor Risiko, Studi Longitudional Di Poli Rawat Jalan Selama Satu
Tahun. Jurnal Respirologi Indonesia. 2013; 33 (4). p. 230-243.
16. Widi A, Hana K.P.F, Evans T.B. Prevalens Asma Tidak Terkontrol dan Faktor-Faktor
Yang Berhubungan dengan Tingkat Kontrol Asma di Poliklinik Asma Rumah Sakit
Persahabatan, Jakarta. Jurnal Respirologi Indonesia. 2011; 31 (2). p. 53-60.
17. Chhabra SK. Assessment of Control in Asthma: 39. The New Focus in Management. The
Indian Journal of Chest Diseases & Allied Sciences. 2008; 50. p. 109-115.
18. Cockroft DW, Swystun VA. Asthma control versus 40. asthma severity. J Allergy Clin
Immunol 1996; 98: 1017-8.
19. Van Schayck CP, Smith HA. The prevalence of asthma in children: A reversing trend. Eur
Respir J.2005;26. p. 647-649.
20. Fitriani F, Yunus F, Rasmin M. Prevalensi asma pada siswa usia 13-14 tahun dengan
menggunakan kuesioner ISAAC dan uji provokasi bronkus di Jakarta Selatan. J Respir
Indo. 2011;32. p. 81-89.
21. Silva LG, Martins SV, Correia RC, Azevedo LF, Allmeida AB, Vasc M, et al. Control of
allergic rhinitis and asthma test-a formal approach to the development of a measuring
tool. Respir Res. 2009;10. p. 52-57.

Anda mungkin juga menyukai