Page
Di dalam sistem perpajakan Indonesia terdapat hal yang dapat dilakukan sebagai bentuk proses
dalam penanganan dan pengawasan yaitu upaya intensifikasi pajak. Intensifikasi pajak adalah
kegiatan optimalisasi penggalian penerimaan pajak terhadap objek serta subjek pajak yang telah
tercatat atau terdaftar dalam administrasi (Direktorat Jenderal Pajak) DJP (Vergina, 2009:1).
Tujuan adanya intensifikasi pajak adalah mengintensifkan semua usaha dalam meningkatkan
penerimaan pajak, khususnya dalam hal ini adalah Wajib Pajak pelaku usaha online. Wajib Pajak
yang dimaksud adalah mereka yang telah memenuhi syarat sebagai subjek pajak. Subjek Pajak
adalah Orang Pribadi atau Badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. Menurut
Undang-Undang PPh, subjek pajak terdiri dari orang pribadi, badan, BUT. Transaksi e-commerce
merupakan salah satu objek yang perlu adanya instensifikasi pajak.
Melihat potensi yang cukup besar dari tentang nilai transaksi e-commerce, maka perlu
adanya pengawasan dan penanganan secara simultan kepada setiap wajib pajak yang melakukan
transaksi e-commerce pada sistem perdagangannya. Potensi besar pada e-commerce ini
dikarenakan model perdagangan yang berbeda dari bisnis secara konvensional. Seseorang akan
dengan mudah memilih barang yang akan dibeli dari tempat dimanapun dengan akses internet.
Lalu mengirimkan sejumlah uang ke rekening penjual dan barang diantar langsung ke tempat
pembeli.
Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2008 pasal 5 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik yang selanjutnya disebut UU ITE dikemukakan bahwasanya
subjek pelaku untuk kegiatan e-commerce adalah orang yang telah melakukan perbuatan hukum
secara nyata untuk kegiatan perdagangannya, dalam hal ini adanya dokumen elektronik dari ecommerce kedudukannya adalah disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Selain
itu, kelegalan dokumen yang dilakukan oleh para pengusaha online dibahas di dalam Surat
Direktur Jenderal Pajak nomor S-702/PJ.332/2006 tentang legalitas dokumen dari transaksi ecommerce. Isi dari surat tersebut menunjukkan bahwa segala dokumen yang dikeluarkan dari
sistem perdagangan dunia maya adalah legal dan dapat dipergunakan untuk laporan keuangan
sebagai bukti fisik atas pelaporannya. Sesuai dengan ketentuan tersebut, maka tidak ada alasan
apapun bagi para pelaku e-commerce untuk menghindari kewajiban perpajakannya.
Meningkatnya jumlah pengguna internet yang berdampak pada meningkatnya omset
perdagangan elektronik ini nyatanya menimbulkan beberapa masalah dalam bidang keuangan,
salah satunya adalah pajak penjualan internet. Adanya perdagangan elektronik yang tidak
mengenal batas geografis tentunya juga menimbulkan pertanyaan mengenai bagaimana peraturan
perpajakan dalam mengantisipasi adanya penghasilan dari transaksi e-commerce. Tanpa adanya
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
regulasi perpajakan yang tepat atas transaksi e-commerce, potensi penerimaan pajak atas transaksi
e-commerce dapat menjadi hilang. Padahal potensi penerimaan pajak atas transaksi e-commerce
sangatlah besar mengingat
banyaknya omset transaksi e-commerce juga menimbulkan potensi penerimaan pajak yang hilang
(potential loss) akibat masih belum adanya regulasi yang tepat untuk transaksi ini.
Seperti yang dilansir Harian Surabaya Post (2013), diperkirakan jumlah
potensi
penerimaan pajak yang hilang adalah sekitar 440 milyar rupiah pada tahun2013, dengan asumsi
pajak yang dikenakan adalah sama dengan toko konvensional dan diasumsikan sekitar 10% dari
omset perdagangan elektronik. Amerika Serikat, Hongkong, Kanada, Inggris, India, Meksiko, dan
beberapa negara lain telah memiliki regulasi perpajakan yang tegas terkait dengan transaksi
e-commerce. Menurut Harian Seputar Indonesia (2010), Indonesia sendiri masih mengkaji
transaksi ini lebih lanjut, karena sumber daya manusia (SDM) dan teknologi informasi (TI) yang
dimiliki oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia untuk mengimplementasikan regulasi ini
juga masih terbatas. Berkenaan dengan hal ini, makalah ini bertujuan untuk mencoba mengetahui
potensi penerimaan pajak atas transaksi e-commerce di Indonesia.
TINJAUAN TEORI
2.1 Pajak
Pajak menurut Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009 yang selanjutnya disebut UU KUP
adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat
memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan
digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Suandy (2011)
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
menjelaskan, terdapat dua fungsi pajak, antara lain (1) fungsi finansial (budgeter), yaitu
memasukkan uang sebanyak-banyaknya ke kas negara, dengan tujuan utuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran negara; dan (2) fungsi mengatur (regulerend) yaitu pajak digunakan
sebagai alat untuk mengatur masyarakat baik di bidang ekonomi, sosial, maupun politik dengan
tujuan tertentu.
2.2 E-commerce
E-commerce atau perdagangan elektronik, dalam arti luas berarti transaksi bisnis yang dilakukan
melalui jaringan, menggunakan komputer, dan telekomunikasi, atau dengan kata lain,
e-commerce mengacu pada pertukaran barang atau jasa untuk nilai di internet. Beberapa aktivitas
yang termasuk di dalamnya antara lain, belanja online, transfer dana elektronik, Electronic Data
Interchange (EDI), dan online trading instrumen keuangan. E-commerce pada dasarnya
merupakan suatu kontak transaksi perdagangan antara penjual dan pembeli dengan menggunakan
media internet. Jadi proses pemesanan barang, pembayaran transaksi hingga pengiriman barang
dikomunikasikan melalui internet. Dilihat dari jenis transaksinya, e-commerce dikelompokan
menjadi dua segmen yaitu:
1. Business to Business E-commerce (B2B e-commerce) dan
adalah transaksi perdagangan melalui internet yang dilakukan oleh dua atau lebih perusahaan.
Transaksi dagang tersebut sering disebut sebagai Enterprise Resouces Planning (ERP)
ataupun supply chain management
2. Business to Consumer (B2C e-commerce).
merupakan transaksi jual beli melalui internet antara penjual barang konsumsi dengan
konsumen (end user).
Ada dua jenis e-commerce, yaitu :
1. Front-end e-commerce
yaitu transaksi melalui e-commerce antara pengusaha (baik pribadi maupun badan hukum)
dengan konsumen.
2. Back-end e-commerce
yaitu transaksi antara para pengusaha menyangkut transaksi informasi internal dengan
masing-masing pengusaha atau antara para pelaku usaha menyangkut pertukaran data
komersial
Terdapat pula e-commerce yang dikelompokkan menjadi beberapa segmen yaitu:
a. metode cash on delivery (COD),
b. toko online.
Page
Beberapa hal selanjutnya yang menjadi tugas dari pemerintah untuk menggabungkan
beberapa Undang-Undang yang telah dibuat guna mempertegas adanya kegiatan e-commerce. UU
ITE telah menegaskan bahwasanya pada saat ini telah lahir suatu rezim hukum baru yang dikenal
dengan hukum telematika. Secara internasional digunakan untuk istilah hukum yang terkait
dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Permasalahan hukum yang seringkali
terjadi dan tengah dihadapi adalah ketika terkait dengan penyampaian informasi, komunikasi dan
transaksi elektronik, khususnya dalam hal pembuktian dan hal yang terkait dengan perbuatan
hukum yang dilaksanakan melalui sistem eletronik.
Permasalahan yang lebih luas terjadi pada bidang keperdataan karena transaksi elektronik
untuk kegiatan perdagangan melalui sistem elektronik telah menjadi bagian dari perniagaan
nasional dan internasional. Dalam kegiatan e-commerce telah didukung dalam UU ITE pasal 5
bahwa dokumen elektronik yang dijadikan sebagai alat atau bukti perdagangan yang sah di mata
hukum merupakan salah satu hal yang telah memperluas aspek dari perpajakan. Bahwasanya
kegiatan e-commerce merupakan kegiatan perdagangan dimana pelaku usaha yang terlibat wajib
menaati peraturan perundang-undangan yang ada.
Sementara itu, di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2014 Pasal
1 tentang Perdagangan yang selanjutnya disebut dengan UU Perdagangan, yang dimaksud dengan
perdagangan adalah tatanan kegiatan yang terkait dengan transaksi barang atau jasa di dalam
negeri dan melampaui batas wilayah negara dengan tujuan pengalihan hak atas barang atau jasa
untuk memperoleh imbalan atau kompensasi. Pada kegiatan e-commerce terjadi sebuah transaksi
perdagangan yang dilakukan melalui jaringan elektronik. Pada UU Perdagangan Pasal 65 ayat (1)
bahwasanya setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang atau jasa dengan menggunakan
sistem elektronik wajib menyediakan data atau informasi secara lengkap dan benar. Data atau
informasi yang ditujukan adalah identitas dan legalitas pelaku usaha, persyaratan mengenai teknis
barang yang ditawarkan, kualifikasi jasa, harga dan cara pembayaran, maupun cara penyerahan
barang tersebut. Pada UU Perdagangan Pasal 115 disebutkan pula mengenai ketentuan pidana di
sana dijelaskan bahwa setiap pelaku usaha yang memperdagangkan barang atau jasa dengan
menggunakan sistem elektronik yang tidak sesuai dengan data atau informasi akan dipidana
paling lama 12 tahun dan pidana denda paling banyak Rp. 12.000.000.000,00.
Terlihat bahwasanya untuk kegiatan e-commerce ini telah didukung oleh Undang-Undang
yang dikeluarkan negara, yaitu UU ITE dan UU Perdagangan. Hal ini dimaksudkan bahwasanya
e-commerce merupakan kegiatan yang sah di mata hukum. Mulai dari pendirian usahanya, para
pelaku usaha yang terlibat, transaksi antara penjual dan pembeli, sampai pada dokumen secara
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
elektronik yang digunakan. Hal ini terkait pula dengan Undang-Undang perpajakan dimana segala
kegiatannya merupakan subjek dan objek pajak yang menjadi kewajiban dari para pelaku usaha
yang terlibat.
PEMBAHASAN
Page
commerce ini. Data-data laporan keuangan yang terjadi di dalam suatu objek perpajakan menjadi
penanganan yang mendapatkan sedikit kesulitan dalam hal pengenaan perpajakan. Di dalam ecommerce tidak ada perbedaan dengan transaksi perdagangan secara konvesional, hanya saja
karena transaksi yang digunakan melalui media elektronik, maka menjadi hal yang penting dalam
penegasan aspek perpajakannya.
Sesuai dengan Surat Edaran DJP Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan atas Transaksi E-commerce, disana telah dijelaskan bahwasanya perlu adanya
pengoptimalan dalam potensi penerimaan pajak dari transaksi e-commerce. Secara garis besar,
karena model transaksi yang cukup sederhana serta kegiatan yang dapat dilakukan dimana saja,
maka transaksi ini menjadi daya tarik tersendiri bagi para pelakunya. Dalam penanganan yang
telah dilakukan oleh pihak DJP terdapat empat model transaksi e-commerce beserta aspek
perpajakannya. Keempat model transaksi tersebut adalah sebagai berikut:
1. Online Marketplace
Transaksi model ini merupakan kegiatan untuk menyediakan tempat usaha di Mal Internet sebagai
tempat Online Marketplace Merchant (penjual) dalam hal menjual barang atau jasa kepada
pembeli yang bertransaksi melalui Mal Internet. Dalam hal bertransaksi dengan model ecommerce ini menggunakan pihak ketiga sebagai rekening escrow account bank Penyelenggara
Online Marketplace. Pihak penyelenggara akan membayarkan hasil penjualan barang atau jasa
kepada penjual dengan terlebih dahulu melakukan pemotongan fee atas hasil yang didapatkan.
Pembeli membayarkan barang atau jasanya melalui rekening Penyelenggara. Contoh model ecomerce ini adalah zalora.com. Pihak-pihak yang terkait dalam transaksi model ini adalah
penyelenggara Online Marketplace, Online Marketplace Merchant (penjual), dan Pembeli
2. Classified Ads
Transaksi pada jenis model e-commerce ini merupakan kegiatan untuk menyediakan tempat atau
waktu guna memajang content (teks, grafik, video penjelasan, informasi dan lain-lain) berupa
barang atau jasa bagi Pengiklan untuk memasang iklan yang ditujukan kepada Pengguna Iklan
melalui situs yang disediakan oleh Penyelenggara Classified Ads. Baik Pengiklan maupun
Pengguna Iklan akan bertransaksi secara mandiri, tidak terdapat pihak ketiga yang membantu
dalam hal proses pembayaran barang atau jasa yang akan dijual. Penyelenggara Classified Ads
hanya sebagai tempat bagi Pengiklan dalam hal proses promosi barang atau jasa yang akan dijual.
Contoh Classified Ads adalah Berniaga.com. Pihak-pihak yang terkait dalam transaksi model ini
adalah Penyelenggara Classified Ads, Pengiklan, dan Pengguna Iklan.
3. Daily Deals
E-commerce dalam kategori ini merupakan penyediaan kegiatan usaha berupa situs Daily Deals
yang berfungsi sebagai tempat Daily Deals Merchant (penjual), dalam hal menjual barang atau
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
jasa kepada para Pembeli dengan menggunakan Voucher sebagai sarana pembayaran. Pihak-pihak
yang terkait di dalam model transaksi jenis ini adalah Penyelenggara Daily Deals, Daily Deals
Merchant dan Pembeli.
4. Online Retail
E-commerce dalam kategori ini paling banyak digunakan oleh pelaku usaha online di Indonesia.
Seperti halnya melakukan kegiatan promosi dan penjualan melalui jejaring media sosial. Online
Retail merupakan kegiatan menjual barang atau jasa yang dilakukan oleh Penyelenggara Online
Retail sekaligus sebagai Online Retail Merchant (penjual) kepada Pembeli di situs Online Retail.
Untuk model e-commerce ini penyelenggara juga berfungsi sebagai penjual yang ikut serta dalam
hal bertransaksi atas barang atau jasa yang dipajang di dalam media online. Contoh model ecommerce ini adalah Bhinneka.com. Pihak-pihak yang terkait di dalam kegiatan transaksi ini
adalah Penyelenggara Online Retail sekaligus sebagai Online Retail Merchant (penjual) dan
Pembeli.
Dalam keempat model transaksi e-commerce ini, ada pembayaran imbalan atau
penghasilan karena jual-beli barang/atau jasa yang merupakan objek pajak Pajak Penghasilan
(PPh) dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang akan dikenakan pajak menurut aturan perpajakan
yang berlaku.
3.2 Penanganan terhadap pajak di bidang e-commerce
Penanganan yang dilakukan oleh DJP memuat dari berbagai klasifikasi model bisnis
masing-masing transaksi e-commerce. Para Wajib Pajak pelaku usaha online dilakukan
pemungutan oleh pihak fiskus berdasarkan aspek perpajakan atas kegiatan dagangnya. Baik dari
segi penjualan, pembelian, pajak atas pertambahan nilai barang atau jasa tersebut maupun seluruh
proses yang berkaitan dengan pemungutan pajak yang sebelumnya telah diatur di dalam UndangUndang Perpajakan. Aspek perpajakan tersebut berlaku bagi setiap pihak-pihak yang berkaitan
dengan penyelenggaraan kegiatan e-commerce. Para pelakunya merupakan subjek dan objek yang
di dalam kegiatan perdagangannya memiliki aspek perpajakan yang dikenakan.
Selain itu penanganan untuk transaksi e-commerce ini adalah sesuai dengan transaksi pada
perdagangan secara konvensional. Tidak ada perbedaan dalam hal pemungutannya, yaitu sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hanya saja penerapannya terhadap para
pelaku bisnis di bidang e-commerce membutuhkan proses penangkapan atau penjaringan data
yang cukup sulit. Keadaan para pelaku yang menggunakan media dunia maya, menyebabkan
pihak DJP menjadi kesulitan.
Page
Selain itu DJP juga perlu untuk mempertimbangkan kebijakan pajak internasional dan
cyber law. Kebijakan pajak internasional mengenai transaksi e-commerce diatur dalam OECD.
Salah satu kebijakan internasional yang telah dibuat oleh OECD adalah kebijakan mengenai pajak
untuk transaksi e-commerce. OECD (2000) dalam Sakti (2007) menyatakan terdapat lima prinsip
perpajakan yang diajukan untuk regulasi transaksi e-commerce dalam laporan yang dibuat oleh
Committee on Fiscal Affairs meliputi (1) Kenetralan, ketentuan perpajakan harus bersifat netral
untuk seluruh bentuk perdagangan, baik elektronik maupun tradisional; (2) Efisiensi, adanya
biaya seperti biaya kepatuhan untuk wajib pajak dan biaya administrasi untuk Dirjen Pajak harus
benar-benar diminimalkan; (3) Kepastian dan kesederhanaan, peraturan perpajakan harus jelas
dan mudah dimengerti sehingga wajib pajak mengetahui pengenaan pajak ketika transaksi
dilakukan; (4) Efektivitas dan keadilan, perhitungan pajak harus benar- benar tepat pada saat yang
tepat; (5) Fleksibel, sistem perpajakan harus fleksibel dan dinamis untuk memastikan bahwa
sistem dapat mengikuti perkembangan teknologi dan perdagangan. Lima hal tersebut dapat
dipertimbangkan jika DJP ingin melakukan pungutan pajak terhadap transaksi e-commerce. Hal-hal
lain yang perlu dipertimbangkan oleh DJP adalah regulasi OECD dan implikasinya pada Pajak
Penghasilan (PPh) maupun Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
3.3 Tantangan atas Pajak E-commerce
Karena transaksi e-commerce tidak mengenal batas negara, tidak ada bentuk fisik yang
dijual belikan dan tidak ada persyaratan khusus, maka pengenaan PPh dan PPN dalam transaksi
ecommerce harus memperhatikan beberapa hal penting. Hal pertama adalah bagaimana
menentukan keberadaan perusahaan e-commerce tersebut, ketika tidak berlokasi di Indonesia.
Karena seringkali perusahaan tersebut secara fisik tidak nyata namun dapat menjalankan
aktifitasnya di Indonesia. Amerika Serikat (AS) pernah menghapuskan pajak e-commerce ini
karena kesulitan mendefiniskan keberadaan lokasi perusahaan e-commerce. Namun, karena
transaksi online meningkat tajam, hingga mencapai jutaan dollar AS, maka pemerintah AS
terpaksa mengenakan pajak atas transaksi e-commerce atau dikenal dengan streamlined sales tax
project walaupun bertentangan dengan prinsip kehadiran fisik perusahaan.
Hal kedua yang harus diperhatikan adalah negara mana yang berhak memajaki transaksi
ecommerce. Hak pemajakan suatu negara hanya mencakup batas-batas nasional yang diatur dalam
peraturan negara tersebut. Namun, dalam transaksi e-commerce, dapat saja menggunakan satelit
atau server di wilayah yang bukan yuridiksinya. Pembatasan waktu atau time test bagi wajib
pajak luar negeri sebanyak 183 hari tampaknya tidak mempengaruhi sulitnya menentukan hak
Page
pemajakan e-commerce. Karena, pembatasan 183 hari tersebut menjadi tidak pas apabila
ukurannya menggunakan kuantitas akses internet.
Hal penting ketiga dalam transaksi e-commerce adalah definisi objek pajaknya. Dalam
empat model transaksi yang disebutkan sebelumnya - semuanya jelas, ada barang dan/atau jasa
yang dijual belikan dan ada perpindahan barang dan/atau jasa tersebut dari penjual ke pembeli.
Nah, seringkali dalam kenyataanya semua transaksi e-commerce terjadi dalam dunia maya dan
tidak diketahui secara jelas apa yang menjadi objek pajaknya. Penghasilan dapat saja
dikategorikan sebagai hasil penjualan, royalti, hasil pembayaran bantuan teknis, deviden atau
bunga. Tentunya, pengkategorian objek pajak ini sangat tergantung dari keberadaan Bentuk Usaha
Tetap (BUT) perusahaan e-commerce tersebut. Apakah menjadi pendapatan BUT atau menjadi
pajak pertambahan nilai saja, yang kesemuanya harus pastikan terlebih dahulu. Yang harus segera
dilakukan oleh DJP adalah menambahkan definisi BUT dalam amandemen UU PPh yang
sedang disusun kajian akademiknya- agar mencakup definisi perusahaan e-commerce atau
Internet Service Provider (ISP). Sehingga, tidak ada (lagi) transaksi e-commerce yang luput
pengenaan pajaknya
3.4 Tinjauan atas Pajak Penghasilan Transaksi E-commerce
Negara-negara OECD telah sepakat bahwa pemungutan pajak penghasilan atas transaksi
e-commerce yang memiliki BUT akan menggunakan asas sumber, jika tidak memiliki BUT maka
akan digunakan asas domisili (Fletshcer, 2000). Definisi BUT menurut Pasal 2 ayat 5 UU PPh
yaitu:
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183
(seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan
kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa: (a) tempat kedudukan manajemen; (b) cabang
perusahaan; (c) kantor perwakilan; (d) gedung kantor; (e) pabrik; (f) bengkel; (g) gudang; (h)
ruang untuk promosi dan penjualan; (i) pertambangan dan penggalian sumber alam; (j) wilayah
kerja pertambangan minyak dan gas bumi; (k) perikanan, peternakan, pertanian, perkebunan, atau
kehutanan; (l) proyek konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan; (m) pemberian jasa dalam
bentuk apa pun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60 (enam puluh)
hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan; (n) orang atau badan yang bertindak selaku agen
yang kedudukannya tidak bebas; (o) agen atau pegawai dari perusahaan asuransi yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima premi asuransi atau
menanggung resiko di Indonesia; dan (p) komputer, agen elektronik, atau peralatan otomatis yang
dimiliki, disewa, atau digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan
kegiatan usaha melalui internet.
Page
Implikasi pajak untuk e-commerce akan timbul apabila penyewa atas space di Internet
Service Provider atau penyedia jasa internet adalah perusahaan yang berdomisili di luar negeri
(Budilaksono, 2011). Hadirnya perusahaan luar negeri melalui sebuah situs web menimbulkan
pertanyaan apakah perusahaan tersebut merupakan BUT. Sesuai dengan Pasal 2 ayat 5 UU PPh,
kegiatan tersebut tidak menimbulkan BUT. Apabila kegiatan tersebut memberikan jasa melalui
websitenya, maka perusahaan dapat dikenakan PPh Pasal 26, dengan asumsi bahwa perusahaan
tersebut tidak memiliki Perjanjian Pajak Berganda dengan Indonesia (P3B). Apabila perusahaan
memiliki sebuah server, maka server tersebut akan menimbulkan BUT dengan syarat
server tersebut memiliki lokasi yang tetap dan pasti, sehingga dapat dikenakan Pajak Penghasilan
(OECD, 2000 dalam Budilaksono, 2011).
Budilaksono (2011) menambahkan bahwa semua transaksi yang terkait dengan persiapan
untuk mengoperasikan website, dimana server dimiliki oleh wajib pajak luar negeri, perlakuannya
akan sama dengan yang telah dijelaskan di atas. Semisal salah satu penyewa website, yang
merupakan wajib pajak luar negeri, menggunakan website tersebut untuk menyimpan informasi
tertentu, yang kemudian ditawarkan ke pihak ketiga, sehingga pihak ketiga menjadi
pelanggannya, dan pelanggan tersebut membayar iuran untuk mengakses informasi yang
dimaksud, akan dimasukkan dalam kategori royalti sesuai dengan penjelasan Pasal 4 ayat (1)
huruf h UU PPh. Sehingga apabila pelanggannya wajib pajak Indonesia, maka penyewa website
harus dipotong PPh Pasal 26.
3.5 Tinjauan Atas Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Transaksi E-commerce
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah pajak yang dikenakan terhadap penyerahan atas
impor Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak, dan
dapat dikenakan berkali-kali setiap ada pertambahan nilai dan dapat dikreditkan. Dasar hukum
PPN adalah Undang-Undang No. 42 Tahun 2009. Seperti yang tertera dalam Pasal 11 Ayat 1
Undang-Undang No. 42 Tahun 2009, terutangnya pajak terjadi pada saat (a) penyerahan Barang
Kena Pajak; (b) impor Barang Kena Pajak; (c) penyerahan Jasa Kena Pajak; (d) pemanfaatan
Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari Luar Daerah Pabean; (e) pemanfaatan Jasa Kena Pajak
dari Luar Daerah Pabean; (f) ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; (g) ekspor Barang Kena Pajak
Tidak Berwujud; dan (h) ekspor Jasa Kena Pajak. Tempat terutang Pajak Pertambahan Nilai
menurut Pasal 12 Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 yaitu:
(1) Pengusaha Kena Pajak terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha dilakukan atau tempat lain yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. (2) Atas
pemberitahuan secara tertulis dari Pengusaha Kena Pajak, Direktur Jenderal Pajak dapat
menetapkan satu tempat atau lebih sebagai tempat pajak terutang. (3) Dalam hal impor,
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
terutangnya pajak terjadi di tempat Barang Kena Pajak dimasukkan. Pemungutannya dilakukan
oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.(4) Orang pribadi atau badan yang memanfaatkan Barang
Kena Pajak Tidak Berwujud dan/atau Jasa Kena Pajak yang berasal dari luar daerah Pabean di
dalam daerah Pabean, terutang pajak di tempat tinggal atau tempat kedudukan dan/atau tempat
kegiatan usaha.
Hal tersebut senada dengan OECD yang merekomendasikan tempat terutang dari PPN,
yaitu dimana konsumsi atas barang/jasa terjadi, dalam pasal 1dari empat model perpajakan untuk
transaksi e-commerce, yaitu, perpajakan atas perdagangan lintas batas harus di bawah jurisdiksi
dimana konsumsi dilakukan. Terdapat dua macam transaksi e-commerce, yaitu:
1) transaksi yang berhubungan dengan pembuatan desain website
2) dan transaksi yang dapat dilakukan melalui website.
Pembuatan desain dan pembuatan homepage website termasuk jasa periklanan, dimana sesuai
dengan pasal 4A ayat 3 UU PPN dan pasal 5 dari PP-144/2000 bukan termasuk jenis jasa yang
dikecualikan dari PPN. Oleh karena itu, penyerahan jasa desain website dan pembuatan
homepage terutang PPN. Sesuai dengan OECD Characterization terdapat 28 jenis transaksi ecommerce yang dapat dilakukan melalui website dan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai, di
antaranya adalah:
1) Proses order elektronik atas barang tidak berwujud
2) Pemesanan elektronik dan download atas produk digital
3) Pemesanan elektronik dan download atas produk digital untuk tujuan eksploitasi
komersial atas hak cipta
4) Kegiatan update dan penambahan kelengkapan atas suatu software
5) Pemberian izin secara cuma-cuma untuk memanfaatkan suatu software dalam jangka
waktu tertentu
6) Transaksi dimana pembeli mendapatkan hak hanya sekali untuk memakai software atau
produk digital lain
7) Hak untuk menempatkan software dan bantuan teknik
8) Perjanjian dengan provider pemilik hak cipta untuk mengakses suatu software
9) Transaksi ASP
10) Biaya lisensi atas ASP
11) Pemberian tempat pada server untuk ditempati website
12) Pemeliharaan software
13) Jasa pemanfaatan space untuk menyimpan database
14) Bantuan teknik yang dilakukan secara online
15) Penyerahan informasi kepada pelanggan
16) Penyerahan produk dalam bentuk informasi beserta tambahan analisis data pelanggan
17) Transaksi pembayaran atas fee iklan yang muncul
18) Konsultasi jasa professional
19) Informasi teknis yang rahasia
20) Informasi yang dikirim ke pelanggan
21) Akses terhadap website tertentu
22) Penempatan katalog oleh merchant secara online
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
KESIMPULAN
4.1 Kesimpulan
Dari data dan pembahasan yang telah dipaparkan, maka sebenarnya terdapat potensi
perpajakan yang berasal dari intensifikasi terhadap adanya transaksi e-commerce.Dengan berkaca
pada negara lain, salah satu cara yang dapat dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak adalah
Pajak Atas Transaksi E-commerce
Page
dengan mulai meninjau transaksi e-commerce atau perdagangan elektronik yang sedang marak di
Indonesia. Indonesia merupakan salah satu negara yang transaksi e-commercenya sedang
berkembang. Kebanyakan pengguna internet di Indonesia biasanya menawarkan produknya
melalui social media. Transaksi e-commerce ini nilainya cukup besar dan selalu meningkat, dan
akan sangat disayangkan apabila tidak dikenakan pajak, apalagi jika melihat pengguna internet
yang juga selalu meningkat tiap tahunnya. Padahal, apabila Indonesia kembali berkaca pada
negara lain, negara-negara lain telah memiliki sebuah regulasi yang tepat untuk memungut pajak
atas transaksi ini, dimana negara-negara lain tersebut juga melakukan harmonisasi terhadap
regulasi internasional yang ada. Oleh karena itu, Direktorat Jenderal Pajak perlu adanya untuk
mulai mempertimbangkan transaksi ini sebagai salah satu penerimaan pajak di Indonesia, karena
nilainya sangat besar dan selalu meningkat tiap tahunnya.
Pengawasan terhadap para pelaku usaha online adalah dengan melakukan pelaksanaan
peraturan yang sesuai dengan peraturan perpajakan pada umumnya, seperti PPh, PPN, PPnBM,
dan Bea Meterai. Penanganan pada aspek perpajakan adalah sama dengan penanganan perpajakan
pada perdagangan secara konvensional. Namun Pengawasan terhadap perpajakan di bidang ecommerce masih terkendala dalam hal melacak atau tracking para pelaku usaha online yang
terlibat. Pelacakan yang dilakukan masih berkutat pada media informasi yang ada, seperti media
internet, jejaring sosial, surat kabar dan media informasi lainnya. Minimnya data yang tersedia
baik secara internal maupun eksternal DJP belum mampu mengidentifikasi para pelaku usaha
online tersebut. Pengawasan dilakukan dalam rangka intensifikasi dengan memberikan pelayanan
yang baik serta pemahaman dari para AR kepada Wajib Pajak, baik secara administrasi
perpajakan, mekanisme e-commerce, dan aspek perpajakan yang melekat di dalamnya. Selain itu
DJP telah membuat klasifikasi serta aspek perpajakan yang melekat pada kegiatan bisnis ecommerce. Hal tersebut termuat di dalam Surat Edaran dari Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE62/PJ/2013 mengenai Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi e-commerce.
4.2 Saran
Beberapa hal dapat dilakukan Direktorat Jenderal Pajak untuk mempertimbangkan
regulasi perpajakan atas transaksi e-commerce, yaitu:
o Bekerja sama dengan pihak-pihak terkait, seperti APJII dan Departemen Komunikasi dan
Informasi
o Memperhatikan sistem pemungutan pajak yang efektif dan mempertimbangkan modernisasi
sistm administrasi perpajakan untuk transaksi e-commerce
Page
o Melakukan harmonisasi dan konvergensi atas standar internasional maupun regulasi OECD,
dan melakukan perjanjian bilateral untuk menghindari pajak berganda
o Adanya sosialisasi terkait perpajakan mengenai transaksi e-commerce kepada wajib pajak
online. Hal ini dilaksanakan agar para pelaku usaha online sadar terhadap kewajiban dan hak
perpajakannya.
o Peran aktif DJP dalam menjaring Wajib Pajak baru pelaku usaha online dengan cara
melakukan tracking di media sosial maupun jejaring media internet lainnya. Dapat juga
melalui data internal DJP atau media surat kabar. Selain itu, pihak DJP seharusnya telah
mempersiapkan sistem yang terintegrasi dengan baik terhadap peredaran usaha yang
dilakukan oleh pelaku usaha online tersebut, agar pengawasan dan penanganan dapat
dimaksimalkan.
o Pihak DJP dapat bekerjasama dengan pihak Bank untuk melakukan pengawasan pada para
Wajib Pajak pelaku usaha online, arsitektur perbankan yang ada seharusnya memungkinkan
pihak DJP untuk dapat melakukan pengawasan atas aliran transaksi yang terjadi dalam ecommerce.
o Pihak DJP dapat bekerjasama dengan organisasi yang menaungi para pelaku e-commerce.
Contohnya pada Asosiasi E-commerce Indonesia (idEA), yaitu wadah yang didirikan untuk
pelaku industri e-commerce. Diciptakannya asosiasi ini guna menunjang kebutuhan
pengembangan untuk transaksi e-commerce serta sumber daya manusia yang berada di
dalamnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 16 tahun 2009.
Ustadiyanto, R. (2001), Framework e-commerce, Yogyakarta: ANDI.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak Nomor SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan
Perpajakan atas Transaksi E-commerce
Page
16