PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi perikanan laut di Indonesia diperkirakan 6,7 juta ton/tahun terdiri
dari 4,5 juta ton/tahun pada perairan Indonesia dan 2,2 juta ton/tahun pada
wilayah ZEE. Dioihat dari penyebarannya potensi perikanan laut di laut teritorial
nusantara, sekitar 53,6% berada di wilayah perairan Indonesia Timur yaitu 30,9%
di perairan Irian Jaya dan Maluku. 22,7% di perairan sekitar Sulawesi. Sedangkan
potensi sumberdaya perikanan laut di ZEE aadalah di ZEE laut Hindia (Selatan
Jawa dan Barat Sumatera) sebesar 38,3%. ZEE Laut Cina Selatan Sebesar 23,4%
serta ZEE Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (Utara Irian Jaya) sebesar 21,2%
(Matuf, 2000).
Sumberdaya perikanan di perairan Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga
golongan besar yaitu sumberdaya ikan pelagis, sumberdaya ikan demersal, dan
biota non-ikan. Sumberdaya ikan pelagis adalah spesies ikan yang hidup di sekitar
permukaan. Ikan pelagis dibagi atas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil.
Sumberdaya ikan demersal adalah spesies ikan yang hidup atau berada di dasar
perairan. Biota non ikan yang memiliki nilai ekonomis penting antara lain cumicumi, teripang, kekerangan, rumput laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).
Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, informasi tentang potensi
sumberdaya ikan serta jenis ikannya adalah hal yang tidak dapat diabaikan.
Potensi sumberdaya ikan yang ketersediannya di seluruh wilayah perairan
Indonesia sesuai dengan daya dukung lingkungannya adalah dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan usaha penangkapan ikan. Usaha penangkapan ikan yang
berwawasan lingkungan adalah dengan tetap menjaga kelestarian sumberdayanya.
Kebijakan yang mengatur tentang jumlah pengangkapan yang diperbolehkan
(JTB) atau biasa disebut dengan Total Allowable Catch (TAC) (Imron, 2008).
Ikan kembung lelaki merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang
memiliki nilai ekologis dan ekonomis. Ikan ini juga merupakan salah satu sumber
protein bagi manusia. Menurut Fauziyah dan Jaya (2010) ikan pelagis kecil
merupakan ikan yang hidup bergerombol sebagai upaya memudahkan mencari
makan, mencari pasangan dalam memijah dan taktik untuk menghindar atau
mempertahankan diri dari serangan predator. Densitas terbesar ikan pelagis di
TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Sumberdaya Ikan di Provinsi Bengkulu
kegiatan
usaha
penangkapan
ikan
yang
berlebihan
(Tiennansari, 2000).
Klasifikasi dan Ciri Morfologi Ikan Kembung
Klasifikasi ikan kembung lelaki menurut Saanin (1968) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisce
Ordo : Percomorpy
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : R. kanagurta
Nama umum : Indian mackerel (Inggris) dan kembung lelaki (Indonesia).
Ikan kembung lelaki dalam keadaan hidup berwarna keemasan pada
bagian punggung, sedangkan dalam keadaan mati berwarna garis kegelapan pada
bagian punggung dan tanda hitam dekat batas bawah sirip dada; sirip punggung
berwarna kekuningan dengan corak hitam, sirip ekor dan sirip dada berwarna
kekuningan. Daerah penyebaran ikan kembung lelaki di perairan pantai Indonesia
Ikan kembung lelaki hidup di perairan pantai dan tersebar di wilayah IndoPasifik barat dengan suhu perairan kurang lebih 170C. Ikan kembung lelaki
dewasa banyak ditemukan di lepas pantai dan pesisir yang dalam. Ikan ini
memakan plankton dan biasa ditemukan bergerombol di kolom perairan. Ikan
kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam
hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini
dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor
hidrografis dan salinitas air laut . Ikan kembung lelaki biasanya dijual dalam
bentuk segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin seperti peda yang
lebih tahan lama. Ikan kembung lelaki yang masih kecil juga sering digunakan
sebagai umpan hidup untuk memancing cakalang (Perdanamihardja, 2011).
Distribusi Ikan Kembung
Ikan kembung lelaki yang tergolong kedalam kelompok mackerel
memiliki penyebaran secara vertikal dan horizontal. Penentuan batas penyebaran
secara vertikal penting sekali diketahui agar kedalaman alat tangkap ikan dapat
disesuaikan dengan kedalaman renang ikan. Penyebaran ikan kembung lelaki
secara horizontal perlu diketahui juga untuk penentuan daerah penangkapan ikan
(Laevastu dan Hayes 1981 in Handoyo 1991). Menurut Collette dan Nauen (1983)
daerah penyebaran ikan ini mencakup Indo-Barat pasifik, Laut Merah, Afrika
Timur sampai Indonesia, Ryukyu, Australia, Melanisia, Somalia, hingga
memasuki Laut Mediterranean melalui Terusan Suez (Fandri, 2012).
dalam
kelompok
besar
di
permukaan.
Makanannya
adalah
Dogol
Jaring dogol merupakan nama alat tangkap jenis pukat perahu (boat seine)
yaitu alat yang dalam operasinya ditarik ke arah perahu. Jaring dogol
dioperasikan pada dasar perairan dengan kedalaman sampai 20 meter. Menurut
keterangan nelayan, jaring dogol mulai dikenal sejak tahun 1920-an, namun
perkembangannya mengalami stagnasi selama lima dasawarsa lebih. Perikanan
dogol pada mulanya diawali dengan jaring dapang yaitu alat tangkap dengan
badan jaring lebih kecil dibanding dogol sendiri, tetapi dibuat dari bahan yang
sama (Dwianto, 1991).
Alat tangkap dogol memiliki nilai yang rendah pada kriteria selektivitas,
destruktif terhadap habitat dan by catch yang tinggi. Alat tangkap dogol yang
beroperasi PPP Labuan dilengkapi dengan gardan yang berfungsi sebagai mesin
outboard engine untuk memudahkan penanganan alat tangkap dan memperingan
kerja nelayan diatas kapal pada saat hauling (Irhamni, 2009).
Dogol merupakan kelompok pukat kantong lingkar (bag seine net), yaitu
jaring yang terdiri atas kantong (bug atau bag), kaki (sayap) yang dipasang pada
kedua sisi (kiri dan kanan) mulut jaring. Pengoperasiannya dilingkarkan pada
sasaran tertentu dan pada setiap akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke atas
geladak perahu atau didaratkan ke pantai. Dogol merupakan perkembangan daari
pukat pantai karena daerah penangkapan yang semakin jauh maka digunakan
kapal. Perikanan jaring pun dilakukan dari atas kapal. Pengoperasian dilakukan di
perairan pantai terutama di dasar perairan dengan tujuan untuk menangkap udang
dan ikan demersal. Dogol, cantrang atau sejenisnya dapat juga digolongkan
sebagai jaring trawl semu (shadow trawl), sedangkan trawl yang sebenarnya
disebut true trawl (Khair, 2007).
Jaring Insang Hanyut
Jaring Insang pada dasarnya adalah sebidang jaring yang dioperasikan
sedemikian rupa untuk menghadang pergerakan gerombolan ikan (sesuai atau
melawan arus). Ikan diharapkan terjerat pada mata jaring dengan sistem: terjerat
pada kepala bagian depan (snagged), terjerat pada insang (gilled), terjerat pada
bagian sirip punggung (wedged) maupun terpuntal (entangled). Dengan demikian
penamaan jaring insang sebenarnya tidak spesifik untuk ikan yang terjerat pada
insang saja.Jaring Insang termasuk jenis alat tangkap yang pasif dan selektif.
Jaring tidak bergerak, sebaliknya, ikan yang akan masuk dan berusaha melewati
mata jaring sehinga terjerat atau terpuntal. Dia hanya menangkap ikan-ikan pada
kisaran ukuran tertentu sesuai dengan ukuran mata jaring. Alat tangkap Jaring
Insang digunakan pada hampir semua daerah di Indonesia. Hasil tangkapan
terutama ikan-ikan permukaan seperti teri, tongkol. Jaring Insang bisa
dioperasikan secara beragam dipasang secara permanen tidak bergerak (fixed Gill
net), juga bisa dioperasikan hanyut mengikuti arus. Pada jaring insang tetap,
jaring dilengkapi dengan pemberat sampai dasar agar tidak mengikuti arus. Sesuai
dengan ikan yang menjadi target penangkapan, jaring insang juga bisa
dioperasikan pada permukaan, pada kolom air ataupun jaring insang dasar (Lelono
dkk., 2010).
Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut di suatu perairan terbawa
arus dengan atau tanpa kapal. Posisi jaring ini ditentukan oleh jangkar. Sehingga
pengaruh kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat diabaikan. Jaring
insang hanyut (drift gillnet) adalah jaring yang cara pengoperasiannya dibiarkan
hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian permukaan (surface drift gillnet),
kolom perairan (midwater/submerged drift gillnet) atau dasar perairan (bottom drift
gillnet) (Leo, 2010).
(3) Tali ris atas dan bawah, (4) Tali penggantung badan jaring bagian atas dan
bawah (upper bolch line and under bolch line), (5) Srampad atas dan bawah
(upper selvedge and under selvedge), (6) Badan jaring atau jaring utama (main
net), (7) Tali pemberat (sinker line), (8) Pemberat (sinker) (Pratiwi, 2010).
Payang
Menurut Monintja (1989) pukat pantai (beach seine) adalah pukat kantong
yang cara operasi penangkapannya dilakukan dengan melingkarkan jaring pada
suatu areal tertentu dan menariknya ke arah pantai melalui kedua sayapnya.
Tujuan operasi adalah untuk menangkap jenis ikan yang melakukan ruaya ke
pantai, baik jenis ikan pelagis maupun ikan demersal. Perahu yang digunakan
berukuran kurang dari 5 GT, dapat menggunakan tenaga dayung, layar ataupun
motor tempel. Ukuran jaring bervariasi dari 20 sampai 40 meter dihitung dari
ujung sayap hingga ke ujung kantongnya. Tali penarik pada masing-masing sayap
dapat mencapai 400 meter (Priyadi, 1994).
10
11
tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY). Dari model ini
dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi
dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan tersebut
(Perdanamihardja, 2011).
Metode surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox
bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu
upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari
(Maximum Sustainable Yield/MSY) tanpa mempengaruhi produktivitas stok
jangka panjang. Metode surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan
baik tentang hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan per unit
upaya (catch per unit effort) per spesies atau CPUE dalam beberapa tahun. Upaya
penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup
(Sharif, 2009).
Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan
memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin secara sumberdaya. Hal ini
dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan
hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) atau jumlah
maksimum tangkapan lestari. Analisis surplus produksi juga dapat menentukan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dan tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan
nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu
sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan
atau metode. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari
potensi maksimum lestarinya (MSY). Akan tetapi manajemen perikanan
menganut azas kehati-hatian (Precautionary approach), maka TAC ditetapkan
sebesar 80% dari potensi tersebut (Perdanamihardja, 2011).
Tingkat Pemanfaatan Ikan
Tingkat pemanfaatanberguna untuk mengetahui status pemanfaatan suatu
sumberdaya atau untuk mengetahui berapa persen dari sumberdaya yang telah
dimanfaatkan. Tingkat pemanfaatan dapat diukur dengan membadingkan hasil
tangkapan (catch) dengan potensi lestari (MSY) yang di dapatkan melalui analisis
12
surplus produksi. Untuk menaikkan suatu variabel yang akan datang harus
memperhatikan dan mempelajari sifat dan perkembangan dari variabel tersebut di
waktu yang lalu (Badruddin, 2008).
Dalam upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya ikan
pelagis kecil diperlukan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan
erat dengan daerah potensial penangkapan ikan tersebut. Saat ini, khususnya
untuk nelayan tradisional, armada penangkap ikan berangkat dari fishing base ke
fishing ground bukan untuk menangkap ikan secara langsung tetapi untuk mencari
posisi yang strategis untuk melakukan penangkapan ikan. Akibatnya, operasi
penangkapan ikan yang dilakukan selalu berada dalam ketidakpastian tentang
daerah yang potensial untuk penangkapan ikan dan berujung pada fluktuasi hasil
tangkapan. Kondisi
pemanfaatan
seperti
sumberdaya
secara
optimum
dan
berkelanjutan
(Safruddin, 2013).
Konsep yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan
sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying
capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah
stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk
menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan
pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Pada saat yang sama
juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk
memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil
tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap (Hariayanto dkk, 2008).
Studi potensi lestari dan tingkagt pemanfaatan sumberdaya ikan disuatu
perairan sangat penting untuk mengontrol dan memantau tingkat eksploitasi
penangkapan ikan yang dilakukan terhadap sumberdaya diperairan tersebut. Hal
ini ditempuh sebagai tindakan guna mencegah terjadinya kepunahan sumberdaya
akibat tingkat eksploitasi yang berlebih serta mendorong terciptanya kegiatan
operasi penangkapan ikan dengan tingkat efektifitas yang tinggi tanpa merusak
kelestarian sumberdaya ikan tersebut (Nugraha dkk., 2012).
13
METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1999 sampai dengan
30 Desember 1999. Penelitian dilakukan di pusat-pusat pendaratan ikan yang ada
di Provinsi Bengkulu dan instansi/lembaga yang memiliki informasi mengenai
sumberdaya ikan pelagis kecil serta sejumlah hasil tangkapannya di Provinsi
Bengkulu.
Kondisi Umum Lokasi
Provinsi Bengkulu dengan luas 19.788,70 km2 terletak pada posisi 101o1
sampai dengan 104o46 Bujur Timur dan 2o16 sampai dengan 5o13 Lintang
Selatan, membujur sejajar dengan bukit barisan dan berhadapan dengan Samudera
Hindia. Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan
Jambi (sebelah timur), sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat,
sebelah selatan berbatasan dengan Povinsi Lampung dan sebelah barat langsung
berhadapan dengan Samudera Hindia.
Perairan Bengkulu termasuk bagian dari perairan barat Sumatera yang
semrupakan bagian dari perairan Samudera Hindia. Luas perairannya adalah
18.100 km2 dengan panjang 500 km. Karena keberadaannya yang langsung
berhadapan dengan Samudera Hindia perairan ini memiliki karakteristik perairan
yang bergelobang besar dan berarus kuat, lebih-lebih lagi tidak adanya gugusan
pulau-pulau yang menjadi penghalang terhadap gelombang dan arus yang kuat
berasal dari Samudera Hindia, oleh sebab itu pengaruh musim barat/timur sangat
terasa di daerah ini. Perairan di sepanjang garis pantai provinsi ini memiliki dasar
perairan yang berkarang, pasir dan lumpur, serta terdapat lebih dari 120 sungai
(antara lain Sungai Hitam, Sungai Bengkulu dan Sungai Jenggalu).
Provinsi Bengkulu memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar dan memiliki peluang yang cukup menjajikan untuk pengembangan sub
sektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan
laut di perairan Bengkulu mencapai kurang lebih 126.217 ton per tahun. Dari
potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 32,8% pada tahun 1994.
Alat dan Bahan Praktikum
14
3. Estimasi Effort
Jumlah Trip = N x P
4. Hasil Tangkapan/ Upaya Penangkapan (CPUE)
CPUE = Ci
Fi
5. Standarisasi Effort
CPUEr = Catchr
Effortr
CPUEr = Catchr
Effortr
FPIi = CPUEr
CPUEs
E=
CPUE = a + b(f)
Fopt = - a
2b
MSY = - a2
4b
b. Model Fox
C = f exp (a + b (f))
Fopt = -1
b
15
C
x 100%
MSY
TPf =
fs x 100%
fopt
16
Hasil Tangkapan
Tabel 1. Hasil Tangkapan Ikan Kembung
Tahun
1992
1993
1994
1995
1996
Payang
104
300
303
432
551
Pukat Pantai
26
30
13
412
443
Alat Tangkap
Jaring Insang Hanyut
1731
1581
6282
243
3595
Cantrang
1377
3084
3296
17
9943
Dogol
6575
9061
8432
6043
6108
17
jaring insang hanyut sebesar 21870 serta pada tahun 1996 adalah cantrang sebesar
91440.
Fox
-0,3754945
-0,00011
18
MSY
F opt
R2
2273,783695 Ton
8997,437 trip
0,827
Ptoduksi
(Ton)
1287,9
1993
1215,82
1994
MSY
(Ton/Tahun)
176,1059
TAC
(Ton/tahun)
1764,98
36753,94
1995
1578,92
1996
1621,9
Ci
479.4
EF.s
624
F Opt Fox
8997.437
MSY Fox
2273.783
TPC
0.210
TPF
0.069
TAC
1819.026
19
1993
1994
1995
1996
511.6
459.1
477.4
513.5
720
312
39870
10632
0.224
0.201
0.209
0.225
0.080
0.034
4.431
1.181
terbalik
terhadap
produksi
atau
penurunan
produksi
yang
20
Effort dari tiap alat tangkap menunjukkan bahwa effort tertinggi adalah
payang sebesar 2614495. Effort ikan kembung (Gambar 4) mengindikasikan
bahwa payang merupakan alat tangkap yang digunakan secara aktif pada siang
dan malam hari oleh masyarakat nelayan di Provinsi Bengkulu karena payang
merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan
permukaan. Hal ini sesuai dengan literatur Rachman dkk. (2013) yang
menyatakan bahwa Payang dioperasikan pada lapisan permukaan air dengan
tujuan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis yang membentuk kelompok
(schooling). Operasi penangkapan ikan dengan payang dapat dilakukan baik pada
malam hari maupun siang hari.
Nilai MSY yang didapatkan yaitu sebesar 2273,783695 ton dan nilai F
optimal yaitu 8997,437 yang berarti nilai MSY belum mencapai optimumnya
yang menandakan hasil tangkapan maksimal lestari, penentuan MSY dapat
menggunakan metode surplus produksi yang dapat mempermudah penentuan
tingkat optimumnya. Hal ini sesuai dengan literatur Badruddin (2008) yang
menyatakan bahwa Tingkat pemanfaatan dapat diukur dengan membadingkan
hasil tangkapan (catch) dengan potensi lestari (MSY) yang di dapatkan melalui
analisis surplus produksi. Untuk menaikkan suatu variabel yang akan datang harus
memperhatikan dan mempelajari sifat dan perkembangan dari variabel tersebut di
waktu yang lalu.
Dari analisis data didapatkan nilai tingkat pemanfaatan terbesar yaitu
4,431% yang artinya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan kembung di perairan
Provinsi Bengkulu masih dalam kondisi lestari karena jumlah tangkapan yang
diperbolehkan kurang dari 80%. Hal ini sesuai dengan literatur Perdanamihardja
(2011) yang menyatakan bahwa Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan
nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY suatu sumberdaya perikanan yang
perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode. Jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum
lestarinya (MSY).
Rekomendasi penting yaitu dengan mengurangi tangkapan ilegal, tidak
terlaporkan dan tidak diatur untuk mencegah tangkap-lebih, Perencanaan Tata
Ruang-menegakkan Praktek terbaik untuk pembangunan pesisir dalam rangka
21
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai
berikut :
22
yang
DAFTAR PUSTAKA
23
24