Anda di halaman 1dari 24

1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Potensi perikanan laut di Indonesia diperkirakan 6,7 juta ton/tahun terdiri
dari 4,5 juta ton/tahun pada perairan Indonesia dan 2,2 juta ton/tahun pada
wilayah ZEE. Dioihat dari penyebarannya potensi perikanan laut di laut teritorial
nusantara, sekitar 53,6% berada di wilayah perairan Indonesia Timur yaitu 30,9%
di perairan Irian Jaya dan Maluku. 22,7% di perairan sekitar Sulawesi. Sedangkan
potensi sumberdaya perikanan laut di ZEE aadalah di ZEE laut Hindia (Selatan
Jawa dan Barat Sumatera) sebesar 38,3%. ZEE Laut Cina Selatan Sebesar 23,4%
serta ZEE Laut Sulawesi dan Samudera Pasifik (Utara Irian Jaya) sebesar 21,2%
(Matuf, 2000).
Sumberdaya perikanan di perairan Indonesia dapat dibagi ke dalam tiga
golongan besar yaitu sumberdaya ikan pelagis, sumberdaya ikan demersal, dan
biota non-ikan. Sumberdaya ikan pelagis adalah spesies ikan yang hidup di sekitar
permukaan. Ikan pelagis dibagi atas ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil.
Sumberdaya ikan demersal adalah spesies ikan yang hidup atau berada di dasar
perairan. Biota non ikan yang memiliki nilai ekonomis penting antara lain cumicumi, teripang, kekerangan, rumput laut (Direktorat Jenderal Perikanan, 1979).
Dalam memanfaatkan sumberdaya ikan, informasi tentang potensi
sumberdaya ikan serta jenis ikannya adalah hal yang tidak dapat diabaikan.
Potensi sumberdaya ikan yang ketersediannya di seluruh wilayah perairan
Indonesia sesuai dengan daya dukung lingkungannya adalah dapat dimanfaatkan
untuk kepentingan usaha penangkapan ikan. Usaha penangkapan ikan yang
berwawasan lingkungan adalah dengan tetap menjaga kelestarian sumberdayanya.
Kebijakan yang mengatur tentang jumlah pengangkapan yang diperbolehkan
(JTB) atau biasa disebut dengan Total Allowable Catch (TAC) (Imron, 2008).
Ikan kembung lelaki merupakan salah satu jenis ikan pelagis kecil yang
memiliki nilai ekologis dan ekonomis. Ikan ini juga merupakan salah satu sumber
protein bagi manusia. Menurut Fauziyah dan Jaya (2010) ikan pelagis kecil
merupakan ikan yang hidup bergerombol sebagai upaya memudahkan mencari
makan, mencari pasangan dalam memijah dan taktik untuk menghindar atau
mempertahankan diri dari serangan predator. Densitas terbesar ikan pelagis di

kolom perairan pada umumnya terdapat di zona epipelagis dengan kedalaman


sekitar 100150 m. Selain itu, karakteristik lain ikan pelagis kecil adalah variasi
rekrutmen yang tinggi terkait dengan kondisi lingkungan yang labil, selalu
melakukan ruaya baik temporal maupun spasial dan aktifitas gerak cukup tinggi
(Pusat Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian, 1994
dalam Fandri, 2012).
Provinsi Bengkulu memiliki kekayaan sumberdaya perikana yang cukup
besar dan memiliki peluang yang cukup menjanjuikan untuk pengembangan sub
sektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan
laut di perairan Bengukulu mencapai lebih kurang 126.217 ton/tahun. Dari potensi
tersebut baru dimanfaatkan sebesar 32,8% pada tahun 1994 (Dinas Perikanan
DATI I Bengkulu,1996 dalam Tiennasari, 2000).
Tujuan Praktikum
Tujuan dari praktikum ini adalah :
1. Untuk mengetahui jenis alat tangkap yang digunakan untuk menangkap ikan
kembung Lelaki (Rastrelliger kanagurta).
2. Untuk mengetahui jumlah potensi maksimum lestari (MSY) dan effort
optimum sumberdaya ikan kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta).
3. Untuk mengetahui status pemanfaatan dan pengupayaan ikan kembung lelaki
(Rastrelliger kanagurta).
4. Untuk megetahui jumlah TAC (Total Allowable Catch) atau tangkapan yang
diperbolehkan.
Manfaat Penulisan
Manfaat dari penulisan laporan dinamika populasi ikan ini adalah sebagai
sumber referensi dan kajian ilmiah mengenai potensi dan pemanfaatan perikanan
ikan tenggiri dan sebagai salah satu syarat mengikuti praktikal test di
Laboratorium Dinamika Populasi Ikan Program Studi Manajemen Sumberdaya
Perairan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara.

TINJAUAN PUSTAKA
Potensi Sumberdaya Ikan di Provinsi Bengkulu

Perairan Bengkulu termasuk bagian dari Perairan Barat Sumatera yang


Merupakan bagian dari Perainran Samudera Hindia. Luas perairannya sekitar
18.100 km2 dengan panjang pantai 500 km. Perairan ini merupakan daerah
penangkapan ikan yang telah dilakukan sejak lama dengan potensi yang
terkandung didalamnya diperkirakan sebesar 46.145 ton/tahun sedangkan tingkat
pemanfaatannya pada tahun 1994 baru mencapai 32,83% (Dinas Perikanan DATI
I Bengkulu, 1996). Salah satu komoditi perikanan laut Bengkulu adalah ikan
pelagis kecil dengan produksi mengalami kenaikan rata-rata sebesar 6,51% per
tahun. Produksi ikan tersebut pada tahun 1998 tercatat sebesar 5.058,10 ton
dimana menyumbang sebesar 24,56% terhadap produksi perikanan laut Bengkulu
total (Statistik Perikanan Bengkulu 1992 1998 diolah kembali). Selama ini
kegiatan penangkapan ikan pelagis kecil di Bengkulu banyak terpusat di sekitar
perairan pantai. Dengan demikian diduga perairan pantai Bengkulu telah
mengalami

kegiatan

usaha

penangkapan

ikan

yang

berlebihan

(Tiennansari, 2000).
Klasifikasi dan Ciri Morfologi Ikan Kembung
Klasifikasi ikan kembung lelaki menurut Saanin (1968) adalah sebagai
berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Pisce
Ordo : Percomorpy
Famili : Scombridae
Genus : Rastrelliger
Spesies : R. kanagurta
Nama umum : Indian mackerel (Inggris) dan kembung lelaki (Indonesia).
Ikan kembung lelaki dalam keadaan hidup berwarna keemasan pada
bagian punggung, sedangkan dalam keadaan mati berwarna garis kegelapan pada
bagian punggung dan tanda hitam dekat batas bawah sirip dada; sirip punggung
berwarna kekuningan dengan corak hitam, sirip ekor dan sirip dada berwarna
kekuningan. Daerah penyebaran ikan kembung lelaki di perairan pantai Indonesia

dengan konsentrasi terbesar di perairan Laut Jawa, Kalimantan, Sumatera Barat,


dan Selat Malaka (Perdanamihardja, 2011).
Ikan kembung lelaki memiliki ciri-ciri terdapat dua sirip punggung secara
terpisah yang masing-masing terdiri dari 8 hingga 9 jari-jari lemah. Sirip dada
terdiri dari 16 hingga 19 jari-jari sirip lemah, sirip perut terdiri dari 7 hingga 8
jari-jari lemah, sirip ekor terdiri dari 50 hingga 52 jari-jari lemah bercabang dan
sisik pada garis rusuk (linea lateralis) terdiri dari 127 hingga 130 buah sisik.
Selain itu, ikan ini memiliki panjang total 3,4 sampai 3,8 kali tinggi badan dan
panjang kepala lebih dari tinggi kepala (Fandri, 2012).

Gambar 1. Ikan kembung lelaki

Ikan kembung lelaki hidup di perairan pantai dan tersebar di wilayah IndoPasifik barat dengan suhu perairan kurang lebih 170C. Ikan kembung lelaki
dewasa banyak ditemukan di lepas pantai dan pesisir yang dalam. Ikan ini
memakan plankton dan biasa ditemukan bergerombol di kolom perairan. Ikan
kembung lelaki cenderung berenang mendekati permukaan air pada waktu malam
hari dan pada siang hari turun ke lapisan yang lebih dalam. Gerakan vertikal ini
dipengaruhi oleh gerakan harian plankton dan mengikuti perubahan suhu, faktor
hidrografis dan salinitas air laut . Ikan kembung lelaki biasanya dijual dalam
bentuk segar atau diproses menjadi ikan pindang dan ikan asin seperti peda yang
lebih tahan lama. Ikan kembung lelaki yang masih kecil juga sering digunakan
sebagai umpan hidup untuk memancing cakalang (Perdanamihardja, 2011).
Distribusi Ikan Kembung
Ikan kembung lelaki yang tergolong kedalam kelompok mackerel
memiliki penyebaran secara vertikal dan horizontal. Penentuan batas penyebaran

secara vertikal penting sekali diketahui agar kedalaman alat tangkap ikan dapat
disesuaikan dengan kedalaman renang ikan. Penyebaran ikan kembung lelaki
secara horizontal perlu diketahui juga untuk penentuan daerah penangkapan ikan
(Laevastu dan Hayes 1981 in Handoyo 1991). Menurut Collette dan Nauen (1983)
daerah penyebaran ikan ini mencakup Indo-Barat pasifik, Laut Merah, Afrika
Timur sampai Indonesia, Ryukyu, Australia, Melanisia, Somalia, hingga
memasuki Laut Mediterranean melalui Terusan Suez (Fandri, 2012).

Gambar 2. Peta penyebaran ikan kembung lelaki di dunia


Sumber : GBIF OBIS 2010
Fischer dan Whitehead (1974) menyatakan bahwa penyebaran ikan
kembung lelaki (Rastrelliger kanagurta) secara geografis di perairan dunia sangat
luas, kecuali bagian selatan perairan pantai Australia, bagian barat Laut Merah dan
bagian Timur Jepang. Ikan kembung lelaki merupakan ikan pelagis, sering
ditemukan

dalam

kelompok

besar

di

permukaan.

Makanannya

adalah

fitoplankton, terutama diatom 31%, organisme lainnya 9% dan jasad tidak


teridentifikasi 60%. Menurut Suhendrata dkk. (1990) penyebaran ikan kembung
di Indonesia hampir meliputi seluruh perairan yang ada. Konsentrasi terbesar ikan
kembung lelaki terdapat di perairan Natuna, perairan Kalimantan Seltan, Laut
Jawa, Selat Malaka, Sulawesi Selatan, Laut Arafuru dan Pantai Barat Sumatera.
Konsentrasi terbesar ikan kembung perempuan terdapat di perairan Kalimantan,
Barat Sumatera, Laut Jawa, Selat Malaka dan Muna-Buton (Aminah, 2009).
Alat Tangkap Ikan Kembung
Cantrang

Prinsip kerja dan konstruksinya ham,pir sama dengan trawl tetapi


berukuran lebih kecil dan tidak dilengkapi dengan papan pembuka. Perahu tidak
memerlukan mesin yang berukuran besar karena hanya digunakan untuk
perjalanan ke daerah penangkapan serta melingkarkan jaringnya. Cara
pengoperasiannya dengan jalan melingkarkan jaring kemudian ditarik dengan
tangan ke arah perahu dimana perahi dalam keadaan tidak bergerak.
Alat ini beroperasi di kedalaman 10 20 meter (Departemen Kelautan dan
Perikanan, 2000 dalam Imron, 2008).
Pada awalnya jaring cantrang merupakan alat tangkap tradisional yang
telah lama beroperasi di Laut Jawa, dioperasikan dengan menggunakan kapal
berbobot di bawah 10 GT dengan jumlah ABK sebanyak 3 orang dan jaring masih
ditarik dengan tangan. Penggunaan gardan sebagai alat bantu untuk menarik
jaring tahun 1987 (terutama oleh nelayan Jawa Timur), jaring cantrang telah
dimodifikasi menjadi alat tangkap aktif, dengan cara ditarik menggunakan sebuah
perahu atau kapal. Peraturan Daerah No. 3 Tahun 2005 Dinas Perikanan dan
Kelautan Jawa Tengah telah mengizinkan cantrang beroperasi dengan kapal yang
berbobot di bawah 30 GT. Kebijakan ini telah memberi kontribusi terhadap
pesatnya perkembangan alat tangkap ini (Atmaja dan Nugroho, 2013).
Penangkapan dengan Cantrang ini hanya menggunakan tenaga 2 3
orang. Umumnya dalam sekali trip melakukan sembilan kali setting dan dilakukan
selama 6 7 kali seminggu. Tahap operasi penangkapan menggunakan unit
penangkapan Cantrang, yaitu tahap setting, towing dan hauling. Pada tahap
setting, setelah kapal sampai di daerah penangkapan yang dituju, jurumudi yang
bertindak sebagai fishing master memerintahkan kepada anak buah untuk
mempersiapkan jaring kemudian jaring diturunkan. Penurunan jaring mula-mula
dari bagian kantong, kemudian badan (body), sayap (wing), lalu tali ris dan tali
penarik. Setelah jaring diturunkan dan melingkari sasaran yang dituju kemudian
dilakukan tahap towing (Mahardhika, 2008).

Dogol

Jaring dogol merupakan nama alat tangkap jenis pukat perahu (boat seine)
yaitu alat yang dalam operasinya ditarik ke arah perahu. Jaring dogol
dioperasikan pada dasar perairan dengan kedalaman sampai 20 meter. Menurut
keterangan nelayan, jaring dogol mulai dikenal sejak tahun 1920-an, namun
perkembangannya mengalami stagnasi selama lima dasawarsa lebih. Perikanan
dogol pada mulanya diawali dengan jaring dapang yaitu alat tangkap dengan
badan jaring lebih kecil dibanding dogol sendiri, tetapi dibuat dari bahan yang
sama (Dwianto, 1991).
Alat tangkap dogol memiliki nilai yang rendah pada kriteria selektivitas,
destruktif terhadap habitat dan by catch yang tinggi. Alat tangkap dogol yang
beroperasi PPP Labuan dilengkapi dengan gardan yang berfungsi sebagai mesin
outboard engine untuk memudahkan penanganan alat tangkap dan memperingan
kerja nelayan diatas kapal pada saat hauling (Irhamni, 2009).
Dogol merupakan kelompok pukat kantong lingkar (bag seine net), yaitu
jaring yang terdiri atas kantong (bug atau bag), kaki (sayap) yang dipasang pada
kedua sisi (kiri dan kanan) mulut jaring. Pengoperasiannya dilingkarkan pada
sasaran tertentu dan pada setiap akhir penangkapan hasilnya dinaikkan ke atas
geladak perahu atau didaratkan ke pantai. Dogol merupakan perkembangan daari
pukat pantai karena daerah penangkapan yang semakin jauh maka digunakan
kapal. Perikanan jaring pun dilakukan dari atas kapal. Pengoperasian dilakukan di
perairan pantai terutama di dasar perairan dengan tujuan untuk menangkap udang
dan ikan demersal. Dogol, cantrang atau sejenisnya dapat juga digolongkan
sebagai jaring trawl semu (shadow trawl), sedangkan trawl yang sebenarnya
disebut true trawl (Khair, 2007).
Jaring Insang Hanyut
Jaring Insang pada dasarnya adalah sebidang jaring yang dioperasikan
sedemikian rupa untuk menghadang pergerakan gerombolan ikan (sesuai atau
melawan arus). Ikan diharapkan terjerat pada mata jaring dengan sistem: terjerat
pada kepala bagian depan (snagged), terjerat pada insang (gilled), terjerat pada
bagian sirip punggung (wedged) maupun terpuntal (entangled). Dengan demikian
penamaan jaring insang sebenarnya tidak spesifik untuk ikan yang terjerat pada

insang saja.Jaring Insang termasuk jenis alat tangkap yang pasif dan selektif.
Jaring tidak bergerak, sebaliknya, ikan yang akan masuk dan berusaha melewati
mata jaring sehinga terjerat atau terpuntal. Dia hanya menangkap ikan-ikan pada
kisaran ukuran tertentu sesuai dengan ukuran mata jaring. Alat tangkap Jaring
Insang digunakan pada hampir semua daerah di Indonesia. Hasil tangkapan
terutama ikan-ikan permukaan seperti teri, tongkol. Jaring Insang bisa
dioperasikan secara beragam dipasang secara permanen tidak bergerak (fixed Gill
net), juga bisa dioperasikan hanyut mengikuti arus. Pada jaring insang tetap,
jaring dilengkapi dengan pemberat sampai dasar agar tidak mengikuti arus. Sesuai
dengan ikan yang menjadi target penangkapan, jaring insang juga bisa
dioperasikan pada permukaan, pada kolom air ataupun jaring insang dasar (Lelono
dkk., 2010).
Drift gillnet, yaitu gillnet yang dibiarkan hanyut di suatu perairan terbawa
arus dengan atau tanpa kapal. Posisi jaring ini ditentukan oleh jangkar. Sehingga
pengaruh kecepatan arus terhadap kekuatan tubuh jaring dapat diabaikan. Jaring
insang hanyut (drift gillnet) adalah jaring yang cara pengoperasiannya dibiarkan
hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan di bagian permukaan (surface drift gillnet),
kolom perairan (midwater/submerged drift gillnet) atau dasar perairan (bottom drift
gillnet) (Leo, 2010).

Jaring insang hanyut adalah jaring insang yang cara pengoperasiannya


dibiarkan hanyut di perairan, baik itu dihanyutkan dibagian permukaan, kolom
perairan atau di dasar perairan. Jaring insang hanyut biasanya terbuat dari bahan
nylon multifilament berwarna biru gelap. Hal ini bertujuan agar bahan jaring yang
tidak kaku (lembut) dan warna jaring yang kontras dengan warna perairan lebih
mudah untuk ikan terjerat atau terpuntal pada badan jaring. bagian-bagian dari
jaring insang terdiri atas:

(1) Pelampung (float), (2) Tali pelampung (float line),

(3) Tali ris atas dan bawah, (4) Tali penggantung badan jaring bagian atas dan
bawah (upper bolch line and under bolch line), (5) Srampad atas dan bawah
(upper selvedge and under selvedge), (6) Badan jaring atau jaring utama (main
net), (7) Tali pemberat (sinker line), (8) Pemberat (sinker) (Pratiwi, 2010).
Payang

Alat tangkap Payang adalah pukat kantong yang digunakan untuk


menangkap gerombolan ikan permukaan (pelagic fish) dimana kedua sayapnya
berguna untuk menakut-nakuti atau mengejutkan serta menggiring ikan supaya
masuk ke dalam kantong. Jenis ikan yang menjadi tujuan penangkapan dengan
payang adalah ikan yang hidup bergerombol pada lapisan permukaan perairan,
baik yang bergerombol dalam jenis yang sama ataupun dalam jenis yang berbeda.
Hasil tangkapan yang terutama jenis-jenis ikan pelagis kecil seperti ikan layang,
selar, tongkol, kembung, tembang (Hakim dkk., 2014).
Jaring payang terdiri atas bagian sayap (wing), badan (body) dan kantong
(code end). Semua bagian jaring ini dibuat dengan cara disambungkan mulai bagian
kantong sampai bagian sayap dimana ukuran mata jaring (mesh size) dari bagian
kantong hingga kaki semakin membesar. Umumnya terbuat dari bahan sintesis karena
bahan tersebut memiliki keunggulan dibandingkan dengan penggunaan bahan alami,
tidak perlu perlakuan seperti penjemuran serta sangat kuat dan tidak banyak
menyerap air. Nilon merupakan salah satu contoh bahan sintesis yang sangat baik
untuk payang atau seine net (Artikasari, 1999).

Operasi penangkapan ikan dengan payang dapat dilakukan baik pada


malam hari maupun siang hari. Pengoperasian pada malam hari terutama pada
hari-hari gelap (tidak dalam keadaan terang bulan) dapat dilakukan dengan
menggunakan alat bantu lampu petromak (kerosene pressure lamp) sebagai fish
agregating device (FAD) (Rachman dkk., 2013).
Pukat Pantai

Menurut Monintja (1989) pukat pantai (beach seine) adalah pukat kantong
yang cara operasi penangkapannya dilakukan dengan melingkarkan jaring pada
suatu areal tertentu dan menariknya ke arah pantai melalui kedua sayapnya.
Tujuan operasi adalah untuk menangkap jenis ikan yang melakukan ruaya ke
pantai, baik jenis ikan pelagis maupun ikan demersal. Perahu yang digunakan
berukuran kurang dari 5 GT, dapat menggunakan tenaga dayung, layar ataupun
motor tempel. Ukuran jaring bervariasi dari 20 sampai 40 meter dihitung dari
ujung sayap hingga ke ujung kantongnya. Tali penarik pada masing-masing sayap
dapat mencapai 400 meter (Priyadi, 1994).

10

Pada dasarnya pukat pantai dapat dikelompokkan menjadi dua golongan


besar, yaitu yang mempunyai kantong dan tidak mempunyai kantong. Pukat pantai
yang berkantong mempunyai bagian tengah yang bermata kecil dan lebih kendor,
sehingga dapat menampung ikan yang tertangkap (Wiyanti, 2001).
Metode Surplus Produksi
Model produksi surplus merupakan model yang populer dalam literatur
perikanan dan telah digunakan selama lebih dari empat puluh tahun. Hal ini
disebabkan bukan hanya model produksi surplus relatif sederhana, namun juga
hanya membutuhkan data hasil tangkapan dan upaya penangkapan time series
yang relatif lebih mungkin tersedia di kebanyakan pusat penangkapan ikan. Salah
satu model produksi surplus yang terpilih sebagai model yang terbaik adalah
model Clarke Yoshi-moto Pooly atau Model CYP yang dapat menduga parameter
r (laju pertumbuhan intrinsic), q (koefisien ketertangkapan), dan K(daya dukung).
Selain model CYP, model lain yang cukup realistik menggambarkan daya dukung
lingkungan maksimum (Maximum Carrying Capacity/MCC), dan hasil tangkapan
maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield/MSY) adalah model Cushing
(Tinungki dkk., 2004).
Untuk menentukan tingkat upaya optimum yang dapat menghasilkan suatu
tangkapan maksimum lestari tanpa mempengaruhi produktifitas stock dalam
jangka panjang (MSY), dilakukan perhitungan estimasi Model Produksi Surplus,
dimana data yyang digunakan berupa data hasil tangkap (catch) dan upaya
penangkapan (effort) dengan pengolahan datanya melalui pendekatan Schaefer.
Model produksi surplus dapat diterapkan bila dapat diperkirakan dengan baik
tentang hasil tangkapan total (berdasarkan spesies) dan/atau hasil tangkapan per
upaya penangkapan (catch per unit effort/ CPUE) per spesies, dan/atau CPUE
berdasarkan spesies dan upaya penangkapannya dalam beberapa tahun
(Sutono, 2003).
Tujuan penggunaan model surplus produksi adalah untuk menentukan
tingkat upaya optimum (biasa disebut fMSY atau effort MSY), yaitu suatu upaya
yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari tanpa
mempengaruhi produktivitas stok secara jangka panjang, yang biasa disebut hasil

11

tangkapan maksimum lestari (Maximum Sustainable Yield / MSY). Dari model ini
dapat diperoleh estimasi besarnya kelimpahan (biomassa) dan estimasi potensi
dari suatu jenis atau kelompok jenis (species group) sumberdaya ikan tersebut
(Perdanamihardja, 2011).
Metode surplus produksi yang dikembangkan oleh Schaefer dan Fox
bertujuan untuk menentukan tingkat upaya optimum (effort optimum), yaitu suatu
upaya yang dapat menghasilkan suatu hasil tangkapan maksimum lestari
(Maximum Sustainable Yield/MSY) tanpa mempengaruhi produktivitas stok
jangka panjang. Metode surplus produksi dapat diterapkan bila diketahui dengan
baik tentang hasil tangkapan (berdasarkan spesies) dan hasil tangkapan per unit
upaya (catch per unit effort) per spesies atau CPUE dalam beberapa tahun. Upaya
penangkapan harus mengalami perubahan substansial selama waktu yang dicakup
(Sharif, 2009).
Bila penangkapan ikan lebih banyak dibandingkan kemampuan ikan
memijah, maka wilayah laut tersebut akan miskin secara sumberdaya. Hal ini
dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih (overfishing). Sehubungan dengan
hal itu terdapat analisis Total Allowable Catch (TAC) atau jumlah tangkapan yang
diperbolehkan (JTB) dan Maximum Sustainable Yield (MSY) atau jumlah
maksimum tangkapan lestari. Analisis surplus produksi juga dapat menentukan
jumlah tangkapan yang diperbolehkan (Total Allowable Catch/TAC) dan tingkat
pemanfaatan sumberdaya ikan (TP). Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan
nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY (Maximum Sustainable Yield) suatu
sumberdaya perikanan yang perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan
atau metode. Jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari
potensi maksimum lestarinya (MSY). Akan tetapi manajemen perikanan
menganut azas kehati-hatian (Precautionary approach), maka TAC ditetapkan
sebesar 80% dari potensi tersebut (Perdanamihardja, 2011).
Tingkat Pemanfaatan Ikan
Tingkat pemanfaatanberguna untuk mengetahui status pemanfaatan suatu
sumberdaya atau untuk mengetahui berapa persen dari sumberdaya yang telah
dimanfaatkan. Tingkat pemanfaatan dapat diukur dengan membadingkan hasil
tangkapan (catch) dengan potensi lestari (MSY) yang di dapatkan melalui analisis

12

surplus produksi. Untuk menaikkan suatu variabel yang akan datang harus
memperhatikan dan mempelajari sifat dan perkembangan dari variabel tersebut di
waktu yang lalu (Badruddin, 2008).
Dalam upaya optimalisasi pemanfaatan sumberdaya ikan khususnya ikan
pelagis kecil diperlukan informasi mengenai kondisi oseanografi yang berkaitan
erat dengan daerah potensial penangkapan ikan tersebut. Saat ini, khususnya
untuk nelayan tradisional, armada penangkap ikan berangkat dari fishing base ke
fishing ground bukan untuk menangkap ikan secara langsung tetapi untuk mencari
posisi yang strategis untuk melakukan penangkapan ikan. Akibatnya, operasi
penangkapan ikan yang dilakukan selalu berada dalam ketidakpastian tentang
daerah yang potensial untuk penangkapan ikan dan berujung pada fluktuasi hasil
tangkapan. Kondisi
pemanfaatan

seperti

sumberdaya

ini tentunya tidak menguntungkan dalam upaya


perikanan

secara

optimum

dan

berkelanjutan

(Safruddin, 2013).
Konsep yang mendasari upaya pengelolaan adalah bahwa pemanfaatan
sumberdaya harus didasarkan pada sistem dan kapasitas daya dukung (carrying
capacity) alamiahnya. Besar kecilnya hasil tangkapan tergantung pada jumlah
stok alami yang tersedia di perairan dan kemampuan alamiah dari habitat untuk
menghasilkan biomass ikan. Oleh karena itu, upaya pengelolaan diawali dengan
pengkajian stok, agar potensi stok alaminya dapat diketahui. Pada saat yang sama
juga dilakukan pemantauan terhadap upaya penangkapan, terutama untuk
memantau apakah sudah terjadi eksploitasi yang berlebih, dengan melihat hasil
tangkapan per upaya (CPUE) dan ukuran yang tertangkap (Hariayanto dkk, 2008).
Studi potensi lestari dan tingkagt pemanfaatan sumberdaya ikan disuatu
perairan sangat penting untuk mengontrol dan memantau tingkat eksploitasi
penangkapan ikan yang dilakukan terhadap sumberdaya diperairan tersebut. Hal
ini ditempuh sebagai tindakan guna mencegah terjadinya kepunahan sumberdaya
akibat tingkat eksploitasi yang berlebih serta mendorong terciptanya kegiatan
operasi penangkapan ikan dengan tingkat efektifitas yang tinggi tanpa merusak
kelestarian sumberdaya ikan tersebut (Nugraha dkk., 2012).

13

METODE PRAKTIKUM
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1999 sampai dengan
30 Desember 1999. Penelitian dilakukan di pusat-pusat pendaratan ikan yang ada
di Provinsi Bengkulu dan instansi/lembaga yang memiliki informasi mengenai
sumberdaya ikan pelagis kecil serta sejumlah hasil tangkapannya di Provinsi
Bengkulu.
Kondisi Umum Lokasi
Provinsi Bengkulu dengan luas 19.788,70 km2 terletak pada posisi 101o1
sampai dengan 104o46 Bujur Timur dan 2o16 sampai dengan 5o13 Lintang
Selatan, membujur sejajar dengan bukit barisan dan berhadapan dengan Samudera
Hindia. Provinsi Bengkulu berbatasan dengan Provinsi Sumatera Selatan dan
Jambi (sebelah timur), sebelah utara berbatasan dengan Provinsi Sumatera Barat,
sebelah selatan berbatasan dengan Povinsi Lampung dan sebelah barat langsung
berhadapan dengan Samudera Hindia.
Perairan Bengkulu termasuk bagian dari perairan barat Sumatera yang
semrupakan bagian dari perairan Samudera Hindia. Luas perairannya adalah
18.100 km2 dengan panjang 500 km. Karena keberadaannya yang langsung
berhadapan dengan Samudera Hindia perairan ini memiliki karakteristik perairan
yang bergelobang besar dan berarus kuat, lebih-lebih lagi tidak adanya gugusan
pulau-pulau yang menjadi penghalang terhadap gelombang dan arus yang kuat
berasal dari Samudera Hindia, oleh sebab itu pengaruh musim barat/timur sangat
terasa di daerah ini. Perairan di sepanjang garis pantai provinsi ini memiliki dasar
perairan yang berkarang, pasir dan lumpur, serta terdapat lebih dari 120 sungai
(antara lain Sungai Hitam, Sungai Bengkulu dan Sungai Jenggalu).
Provinsi Bengkulu memiliki kekayaan sumberdaya perikanan yang cukup
besar dan memiliki peluang yang cukup menjajikan untuk pengembangan sub
sektor perikanan khususnya perikanan tangkap. Diperkirakan potensi perikanan
laut di perairan Bengkulu mencapai kurang lebih 126.217 ton per tahun. Dari
potensi tersebut baru dimanfaatkan sebesar 32,8% pada tahun 1994.
Alat dan Bahan Praktikum

14

Alat yang digunakan pada praktikum ini adalah kalkulator untuk


menghitung data CPUE, laptop, Microsoft excel dan alat tulis untuk mencatat
hasil dari perhitungan.
Bahan yang digunakan dalam praktikum ini adalah data produksi Peluang
Pengembangan Perikanan Tangkap di Provinsi Bengkulu.
Metode Praktikum
1. Metode Surplus Produksi
Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah model fox yang
memiliki nilai R2 yang mendekati 1
2. Produksi/ Alat Tangkap Ikan/ Tahun
Cpi =
Fi

3. Estimasi Effort

Jumlah Trip = N x P
4. Hasil Tangkapan/ Upaya Penangkapan (CPUE)
CPUE = Ci
Fi
5. Standarisasi Effort
CPUEr = Catchr
Effortr

CPUEr = Catchr
Effortr

FPIi = CPUEr
CPUEs

E=

6. Pendugaan Potensi lestari dan Effort Optimum


a. Model Schaefer
C = af + b(f)2 ..

CPUE = a + b(f)

Fopt = - a
2b

MSY = - a2
4b

b. Model Fox
C = f exp (a + b (f))

Fopt = -1
b

15

MSY = - (1/b) exp (a-1).


7. Pendugaan Tungkat Pemanfaatan dan pengupayaan
TPc =

C
x 100%
MSY

TPf =

fs x 100%
fopt

TAC = 80% x MSY

HASIL DAN PEMBAHASAN


Hasil

16

Hasil Tangkapan
Tabel 1. Hasil Tangkapan Ikan Kembung
Tahun
1992
1993
1994
1995
1996

Payang
104
300
303
432
551

Pukat Pantai
26
30
13
412
443

Alat Tangkap
Jaring Insang Hanyut
1731
1581
6282
243
3595

Cantrang
1377
3084
3296
17
9943

Dogol
6575
9061
8432
6043
6108

Berdasarkan jumlah produksi tiap alat tangkap dogol merupakan alat


tangkap yang memiliki produksi tertinggi pada tahun 1992 sampai 1995 yaitu
sebesar 6575, 9061, 8432 dan 6043 ton. Sementara di tahun 1996 adalah cantrang
sebesar 9934 ton. Sedangkan produksi terendah tahun 1992 sampai 1994 dan 1996
adalah pukat pantai sebesar 26, 30, 13 dan 443 ton serta pada tahun 1995 produksi
terendah adalah cantrang sebesar 17 ton.

Gambar 3. Produksi Tahunan


Upaya Penangkapan
Table 2. Upaya Penangkapan Ikan Kembung
Produksi CPi (ton)
Tahun
Payang
Pukat Pantai Jaring insang
Cantrang
Dogol
hanyut
1992
2,304.808
9,219.231
138.475
174.074
36.4563
1993
852.667
8,526.667
161.796
82.944
28.2309
1994
757.591
17,657.692
36.541
69.645
27.2237
1995
552.546
579.369
982.305
14,041.176
39.5723
1996
465.971
579.571
71.419
272.558
42.0350
Effort dari tiap alat tangkap menunjukkan bahwa effort tertinggi pada
tahun 1992 sampai 1996 adalah payang sebesar 493480, 1423500, 1437735,
2049840 dan 2614495. Sedangkan effort terendah dari tahun 1992, 1993 dan 1994
adalah pukat pantai sebesar 28392, 32760 dan 14196, pada tahun 1995 adalah

17

jaring insang hanyut sebesar 21870 serta pada tahun 1996 adalah cantrang sebesar
91440.

Gambar 4. Effort Tahunan


Pendugaan Potensi Lestari (MSY) dan Effort Optimum
Sebelum dilakukan analisis pendugaan potensi lestari (MSY) dan effort
optimum (f opt) terlebih dahulu ditentukan model yang cocok untuk dipergunakan
dalam analisis lanjutan. Berdasarkan grafik dari kedua model tersebut, model Fox
lebih cocok dibandingkan model schaefer dimana pada model Fox memiliki nilai
R2 mendekati 1 yaitu 0,827.

Gambar 5. Regresi linear (Model Fox)

Tabel 3. Pendugaan Potensi Lestari (MSY) dan effort optimum


Nilai
A
B

Fox
-0,3754945
-0,00011

18

MSY
F opt
R2

2273,783695 Ton
8997,437 trip
0,827

Potensi lestari (MSY) untuk sumberdaya ikan kembung (Rastrelliger


kanagurta) di Provinsi Bengkulu sebesar 2273,784 Ton/ Tahun, sementara effort
optimum sebesar 8997,437 trip/Tahun, yang artinya jika effort dilakukan tidak
melebihi effort optimum maka akan menaikkan nilai produksi. Kurva potensi
lestari terlihat pada Gambar 6, yang menunjukkan bahwa setiap tahunnya nilai
effort dengan nilai produksi tidak melebihi effort optimum. Pada tahun 1992 effort
(624 Trip/Tahun) dengan produksi 479,4 ton/tahun tidak melebihi effort optimum.
Pada tahun 1996 effort (10632 Trip/Tahun) dengan produksi ton/tahun sehingga
produksi meningkat yaitu 513,5 ton/tahun.

Gambar 6. Grafik MSY (Maximum Suistainable Yield)


Tabel 4. Kondisi Ikan Kembung (Rastrelliger kanagurta)
Tahun
1992

Ptoduksi
(Ton)
1287,9

1993

1215,82

1994

MSY
(Ton/Tahun)

176,1059

TAC
(Ton/tahun)

1764,98

36753,94

1995

1578,92

1996

1621,9

Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan


Tabel 5. Pendugaan Tingkat Pemanfaatan dan Pengupayaan
Tahun
1992

Ci
479.4

EF.s
624

F Opt Fox
8997.437

MSY Fox
2273.783

TPC
0.210

TPF
0.069

TAC
1819.026

19

1993
1994
1995
1996

511.6
459.1
477.4
513.5

720
312
39870
10632

0.224
0.201
0.209
0.225

0.080
0.034
4.431
1.181

Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan kembung terbesar adalah pada


tahun tahun 1996 yaitu sebesar 0,225% dan terendah pada tahun 1995 yaitu
sebesar 0,201%. Tingkat pengupayaan sumberdaya ikan kembung terbesar adalah
pada tahun 1995 yaitu sebesar 4,431% dan terendah pada tahun 1994 yaitu sebesar
0,034%.

Gambar 7. Tingkat pemanfaatan dan tingkat pengupayaan


Pembahasan
Jumlah produksi dogol merupakan alat tangkap yang memiliki produksi
tertinggi yaitu sebesar

9061 ton. Sedangkan produksi terendah adalah pukat

pantai sebesar 13 ton. Penurunan produktivitas hasil tangkapan dari sumberdaya


ikan kembung akibat peningkatan aktivitas penangkapan. Hal ini dapat dibuktikan
dengan penambahan effort mencapai effort optimumnya berbanding lurus dengan
peningkatan produksi. Sebaliknya penambahan effort melebihi optimumnya
berbanding

terbalik

terhadap

produksi

atau

penurunan

produksi

yang

menunjukkan telah terjadi overfishing. Hal ini sesuai dengan literatur


Perdanamihardja (2011) yang menyatakan bahwa Bila penangkapan ikan lebih
banyak dibandingkan kemampuan ikan memijah, maka wilayah laut tersebut akan
miskin secara sumberdaya. Hal ini dikenal sebagai kondisi upaya tangkap lebih
(overfishing).

20

Effort dari tiap alat tangkap menunjukkan bahwa effort tertinggi adalah
payang sebesar 2614495. Effort ikan kembung (Gambar 4) mengindikasikan
bahwa payang merupakan alat tangkap yang digunakan secara aktif pada siang
dan malam hari oleh masyarakat nelayan di Provinsi Bengkulu karena payang
merupakan alat tangkap yang digunakan untuk menangkap gerombolan ikan
permukaan. Hal ini sesuai dengan literatur Rachman dkk. (2013) yang
menyatakan bahwa Payang dioperasikan pada lapisan permukaan air dengan
tujuan untuk menangkap jenis-jenis ikan pelagis yang membentuk kelompok
(schooling). Operasi penangkapan ikan dengan payang dapat dilakukan baik pada
malam hari maupun siang hari.
Nilai MSY yang didapatkan yaitu sebesar 2273,783695 ton dan nilai F
optimal yaitu 8997,437 yang berarti nilai MSY belum mencapai optimumnya
yang menandakan hasil tangkapan maksimal lestari, penentuan MSY dapat
menggunakan metode surplus produksi yang dapat mempermudah penentuan
tingkat optimumnya. Hal ini sesuai dengan literatur Badruddin (2008) yang
menyatakan bahwa Tingkat pemanfaatan dapat diukur dengan membadingkan
hasil tangkapan (catch) dengan potensi lestari (MSY) yang di dapatkan melalui
analisis surplus produksi. Untuk menaikkan suatu variabel yang akan datang harus
memperhatikan dan mempelajari sifat dan perkembangan dari variabel tersebut di
waktu yang lalu.
Dari analisis data didapatkan nilai tingkat pemanfaatan terbesar yaitu
4,431% yang artinya tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan kembung di perairan
Provinsi Bengkulu masih dalam kondisi lestari karena jumlah tangkapan yang
diperbolehkan kurang dari 80%. Hal ini sesuai dengan literatur Perdanamihardja
(2011) yang menyatakan bahwa Besarnya TAC biasanya dihitung berdasarkan
nilai tangkapan maksimum lestari atau MSY suatu sumberdaya perikanan yang
perhitungannya didasarkan atas berbagai pendekatan atau metode. Jumlah
tangkapan yang diperbolehkan (JTB/TAC) adalah 80% dari potensi maksimum
lestarinya (MSY).
Rekomendasi penting yaitu dengan mengurangi tangkapan ilegal, tidak
terlaporkan dan tidak diatur untuk mencegah tangkap-lebih, Perencanaan Tata
Ruang-menegakkan Praktek terbaik untuk pembangunan pesisir dalam rangka

21

menjaga jasa ekosistem untuk masyarakat Bengkulu, pengelolaan KKP dengan


membangun infrastruktur dan zonasi untuk melindungi ekosistem laut dan jasa
ekosistem bagi masyarakat menyusun rencana pengelolaan, dan menerapkan
Implementasi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari praktikum ini adalah sebagai
berikut :

22

1. Berdasarkan data yang di peroleh, jenis-jenis alat tangkap yang digunakan


untuk menangkap ikan kembung lelaki adalah cantarng, dogol, jaring insang
hanyut, payang dan pukat pantai.
2. Berdasarkan data yang didapatkan bahwa estimasi hasil tangkapan maksimum
lestari (MSY) ikan kembung lelaki dengan model Fox 2273,78 ton/tahun dan
effort maksimum 8997,437 trip.
3. Berdasarkan grafik yang sudah didapatkan bahwa Tingkat pemanfaatan
sumberdaya ikan kembung lelaki masih dalam kondisi lestari.
4. Berdasarkan data yang didapatkan bahwa jumlah tangkapan

yang

diperbolehkan sebesar 36753,94 ton/tahun.


Saran
Saran yang dapat diberikan pada praktikum ini adalah diharapkan
praktikum ini memberikan manfaat kepada praktikannya agar kegiatan praktikum
ini tidak sia-sia begitu saja. Serta kepada praktikan diharapkan untuk lebih tertib
selama mengikuti praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Aminah, S. 2009. Analisis Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Kembung di Perairan


Kabupaten Tanah Laut Provinsi Kalimantan Selatan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Artikasari, W. 1999. Studi Tentang Faktor-Faktor Teknis Produksi pada Unit
Penangkapan Payang di PPI Lempasing Bandar Lampung. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.

23

Atmaja, S. B dan D. Nugroho. 2013. Distribusi Spasial Upaya Penangkapan Kapal


Cantrang dan Permasalahannya di Laut Jawa. Balai Penelitian Perikanan
Laut. Jakarta.
Badrudin. 2008. Analisis Data Catch dan Effort Untuk Pendugaan MSY.
Kementrian Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Dwianto, B. M. 1991. Perbandingan Efisiensi Teknis dan Usaha Antara Jaring
Cantrang dan Jaring Dogol di Tegal. Jawa Tengah. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Fandri, D. 2012. Pertumbuhan dan Reproduksi Ikan Kembung Lelaki
(Rastrelliger kanagurtacuvier 1817) di Selat Sunda. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Hakim, L. G., Asriyanto dan A. D. P. Fitri. 2014. Analisis Selektivitas Payang
Ampera (Seine Net) Modifikasi dengan Window Permukaan Terhadap
Hasil Tangkapan Ikan Daun Bambu (Chorinemus sp.) di Perairan
Kabupaten Kendal. Journal of Fisheries Resources Utilization
Management and Technolog. 3(2) : 54-61.
Hariyanto, T., Mulyono, S. B., John, H., dan Budhi, H. I. 2008. Pengembangan
Teknologi Penangkapan Ikan Berbasis Komoditas Potensial di Teluk
Lampung. Saintek Perikanan. 4(1) : 16-24.
Imron,

M. 2008. Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan Demersal yang


Berkelanjutan di Perairan Tegal Jawa Tengah. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

Irhamni, W. 2009. Potensi Pengembangan Usaha Penangkapan Ikan di Kabupaten


Pandeglang dan Dukungan PPP Labuhan. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Khair, M. P. B. R. 2007. Preferensi Hasil Tangkapan Dogol di Desa Karangreja
Kecamatan Suranenggala Kabupaten Cirebon. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.
Lelono, T. D., Putut. W., Daduk. S., Dewa dan Lydhyane. 2010. Pengolaan Data
Perikanan.Universitas Diponerogo. Semarang.
Leo, A. A. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Cantrang di Perairan Brondong,
Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Matuf, M. 2000. Studi Beberapa Parameter Populasi Ikan Kembung Lelaki di
Laut Cina Selatan Sekitar Kepulauan Natuna. Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

24

Mahardika, D. 2008. Pengaruh Jenis Alat Tangkap Terhadap Tingkat


Kesejahteraan Nelayan di Kelurahan Tegalsari dan Muarareja, Tegal,
Jawa Tengah. Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Nugraha, E., B. Koswara dan Yuniarti. 2012. Potensi Lestari dan Tingkat
Pemanfaatan Ikan Kurisi (Nemipterus japonicus) di Perairan Teluk
Banten. Jurnal Perikanan dan Kelautan 3(1) : ISSN : 2088-3137.
Perdanamihardja, Y. M. M. 2011. Kajian Stok Ikan Kembung Lelaki (Rastrelliger
kanagurta Cuvier 1817) di Perairan Teluk Jakarta, Provinsi DKI Jakarta.
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Pratiwi, M. 2010. Komposisi Hasil Tangkapan Ikan Pelagis pada Jaring Insang
Hanyut dengan Ukuran Mata Jaring 3,5 dan 4 Inci di Perairan Belitung
Provinsi Bangka Belitung. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Priyadi, N. 1994. Analisis Perikanan Pukat Pantai di Perairan Prigi Trenggalek.
Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Rachman, S., P. Purwanti dan M. Primyastanto. 2013. Analisis Faktor Produksi
dan Kelayakan Usaha Alat Tangkap Payang di Gili Ketapang Kabupaten
Probolinggo Jawa Timur. Jurnal ECSOFiM. 1(1) : 1-13.
Safruddin. 2013. Distribusi Ikan Layang (Decapterus Sp) Hubungannya dengan
Kondisi Oseanografi di Perairan Kabupaten Pangkep, Sulawesi Selatan.
Jurnal Ilmu Kelautan dan Perikanan 23(3) : 150-156 : ISSN : 0853-4489.
Sharif, A. 2009. Studi Dinamika Stok Ikan Layur (Lepturacanthus savala) di
Telur Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Provinsi Jawa Barat. Institut
Pertanian Bogor. Bogor
Sutono, D. 2003. Analisis Manajemen Pemanfaatan Sumbedaya Ikan Teri di
Payang Jambur di Perairan Tegal. [Tesis]. Universitas Dipoegoro.
Semarang.
Tiennansari, A. 2000. Studi Tentang Ikan Pelagis Kecil Utama yang Didaratkan di
Provinsi Bengkulu. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Tinungki, G. M., M. Boer, D. R. Monintja, J. Widodo dan A. Fauzi. 2004. Model
Surshing: Model Hybrid antara Model Produksi Surplus dan Model
Cushing dalam Pendugaan Stok Ikan. Jurnal Ilmu-Ilmu Perairan dan
Perikanan Indonesia 11(2) : 135-138.
Wiyanti, S. S. 2001. Keragaan Teknis Unit Penangkapan Pukat Pantai di Prigi
Trenggalek Jawa Timur. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai