Anda di halaman 1dari 13

PENGARUH LATIHAN TERHADAP KEKUATAN OTOT BISEP PADA LANSIA

DI POSYANDU LANSIA KANTIL KELURAHAN JUWIRING


KECAMATAN JUWIRINGKLATEN
Abstract
Esri Rusminingsih*

Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah ,massa otot tubuh mengalami


penurunan. Lansia mengalami penurunan pada sistem muskuloskeletal. Salah satu
diantaranya adalah penurunan kekuatan otot yang disebabkan oleh penurunan massa otot
(atrofi otot). Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem neuromuskular
adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Oleh karena itu, untuk
meningkatkan kekuatan otot diperlukan suatu latihan yang dikenal dengan senam lansia,
selain meningkatkan kekuatan otot senam lansia dapat meningkatkan kebugaran. Di
tempat penelitian yang dilakukan belum pernah dilakukan penelitian dengan judul
serupa.Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kekuatan otot bisep pada lansia yang
melakukan senam lansia dan tidak melakukan senam lansia.
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah quasi eksperimental dengan
rancangan pretest-posttest with control-group design. Subyek penelitian ini adalah lansia
yang berumur 60-80 tahun dan sesuai dengan kriteria yang berada di Posyandu Lansia
Kantil. Sampel yang digunakan berjumlah 34 responden dengan pembagian 17 perlakuan
dan 17 kontrol. Metode pengumpulan data dengan pengukuran kekuatan otot bisep yang
diukur dengan dynamometer dan hasil pengukuran ditulis ke dalam lembar observasi.
Data diambil sebelum perlakuan dan satu bulan setelah perlakuan yang melakukan latihan
(senam nifas) dan tidak latihan (melakukan senam nifas). Kemudian hasil pengukuran
dianalisis dengan pendekatan analitik menggunakan uji statistika t-test.
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata kekuatan otot bisep pra test pada
kelompok perlakuan 3,2 Kg dan kontrol 3,3 Kg sedangkan rata-rata peningkatan kekuatan
otot bisep pada kelompok perlakuan 3,9 Kg dan kelompok kontrol 3,2 Kg dengan
St.Deviasi 0,466 dan hasil uji statistik dengan uji t-independent signifikansi <0,05
(0,000<0,05) hasilnya ada perbedaan yang bermakna.Senam lansia dapat mempengaruhi
peningkatan kekuatan otot bisep.

Kata kunci : Lansia, peningkatan kekuatan otot bisep, senam lansia.


*Dosen Keperawatan Stikes Muhammadiyah Klaten

A. LATAR BELAKANG MASALAH


Salah

satu

indikator

keberhasilan

pembangunan

adalah

semakin

meningkatnya usia harapan hidup penduduk. Dengan semakin meningkatnya usia


harapan hidup menyebabkan jumlah penduduk lanjut usia terus meningkat dari tahun
ke tahun. Menurut undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang batasan usia lanjut
bahwa yang termasuk Lanjut Usia adalah penduduk yang telah mencapai usia 60
tahun ke atas. Diseluruh dunia penduduk Lansia ( usia 60 tahun keatas ) tumbuh
dengan sangat cepat bahkan tercepat dibanding kelompok usia lainnya. Penduduk
Lanjut usia dua tahun terakhir ini mengalami peningkatan yang signifikan pada
tahun 2007, Jumlah penduduk lanjut usia sebesar 18,96 juta jiwa dan meningkat
menjadi 20.55 juta jiwa pada tahun 2009. Diperkirakan mulai tahun 2010 akan
terjadi ledakan jumlah penduduk lanjut usia. Hasil perkiraan menunjukan bahwa
persentase penduduk lanjut usia akan mencapai 9.77 persen dari total penduduk pada
tahun 2010 dan menjadi 11,34 persen pada tahun 2020 (U.S. Census
Bureau,International Data Base, 2009) (Darmodjo dan Martono, 2004, hal.3).
Seiring dengan semakin bertambahnya populasi usia lanjut di berbagai
belahan dunia telah banyak dikemukakan bahwa proses menua amat dipengaruhi
oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan. Perjalanan usia yang diukur
dengan tahun dan usia fisiologis yang diukur dengan kapasitas fungsional tidak
selalu seiring atau sejalan, seseorang dapat terlihat lebih muda atau lebih tua dari
usianya dan mungkin memiliki kapasitas fungsional yang lebih besar atau lebih kecil
dari yang diperkirakan. Proses menua seyogyanya dianggap sebagai suatu proses
normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ atau penyakit.
Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan mungkin lebih
besar mengakibatkan gangguan fungsi dari pada penambahan usia itu sendiri
(Sudoyo & Bambang, 2006).
Beberapa wilayah di Indonesia akan mengalami ledakan penduduk lansia
(lanjut usia) pada 2010 hingga 2020. Jumlah lansia diperkirakan naik mencapai
11,34% dari jumlah penduduk di Indonesia. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik
(BPS) pada 2007, jumlah lansia di Indonesia mencapai 18,96 juta orang. Dari jumlah
tersebut, 14% di antaranya berada di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, atau
yang merupakan daerah paling tinggi jumlah lansianya. Disusul Provinsi Jawa
Tengah (11,16%), Jawa Timur (11,14%), dan Bali (11,02%) (Badan Pusat Statistik,
2007).

Menua (aging) adalah suatu proses menghilang secara perlahan-lahan


kemampuan

jaringan

untuk

memperbaiki

diri

atau

mengganti

diri

dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan


terhadap jejas dan memperbaiki kerusakan yang diderita (.Darmojo dan Martono,
2004, hal.3). Menua adalah suatu proses alami dan yang tidak dapat dihindari,
berjalan secara terus menerus, dan berkesinambungan. Selanjutnya akan
menyebabkan perubahan anatomis, fisiologis, dan biokimia pada tubuh, sehingga
akan mempengaruhi fungsi dan kemampuan tubuh secara keseluruhan, Depkes RI,
2001 (Siti Maryam, 2008, hal.22).
Budiarjo (2003) mengatakan massa otot mulai berkurang kesiapannya pada
suatu angka 6% setelah usia 30 tahun. Kekuatan statis dan dinamis otot berkurang
5% setelah usia 45 tahun. Sedangkan endurance otot akan berkurang 1% tiap
tahunnya. Komposisi otot berubah sepanjang waktu manakala miofibril digantikan
oleh lemak, kolagen dan jaringan parut. Aliran darah ke otot berkurang sejalan
dengan menuanya seseorang, diikuti dengan berkurangnya jumlah nutrien dan energi
yang tersedia untuk otot sehingga kekuatan otot berkurang. Pada usia 60 tahun,
kehilangan total adalah 10-20% dari kekuatan otot yang dimiliki pada usia 30 tahun
(Soedjono). Manula mengalami atrofi otot, disamping sebagai akibat berkurangnya
aktifitas, juga seringkali akibat gangguan metabolik atau denervasi syaraf (Darmojo,
2004).
Lansia mengalami penurunan pada sistem muskuloskeletal. Salah satu
diantaranya adalah penurunan kekuatan otot yang disebabkan oleh penurunan massa
otot (atrofi otot). Sel otot yang mati digantikan oleh jaringan ikat dan lemak.
Kekuatan atau jumlah daya yang dihasilkan oleh otot menurun dengan bertambahnya
usia. Kekuatan otot ekstrimitas bawah berkurang sebesar 40% antara usia 30 sampai
80 tahun. Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem neuromuskular
adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot (Mick Stanley, 2007,
hal.154).
Mick Stanley, 2007 mengatakan masalah kesehatan otot yang sering muncul
pada lansia yaitu tetanus dan atrofi otot. Pada lansia yang sehat masih terjadi
penurunan kadar masa otot hingga 40 persen dan digantikan jaringan lemak. Kualitas
kekuatan otot yang ada pada lansia juga turun. Perubahan lain dalam sistem
muskuloskeletal lansia mencakup perubahan kekuatan dan komposisi tulang (Burke,
2001). Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah ,massa otot tubuh mengalami

penurunan. Hilangnya lemak subkutan perifer cenderung untuk mempertajam kontur


tubuh dan memperdalam cekungan disekitar kelopak mata, aksila, bahu, dan tulang
rusuk. Tonjolan tulang (vertebra, Krista iliaka, tulang rusuk, skapula) menjadi lebih
menonol. Lemahnya kekuatan otot pada lansia merupakan disabilitas cara berjalan,
keseimbangan dan kemampuan (Stanley, 2007).
Irianto, 2001 mengatakan kekuatan otot dapat diartikan sebagai kemampuan
sekelompok otot melawan beban dalam satu usaha. Kekuatan muskular mulai
merosot sekitar usia 40 tahun, dengan suatu kemunduran yang dipercepat setelah
usia 60 tahun. Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem
neuromuskular adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Kerusakan
otot terjadi karena penurunan jumlah serabut otot dan atrofi secara umum pada organ
dan jaringan tubuh. Regenerasi jaringan otot melambat dengan penambahan usia,
dan jaringan atrofi digantikan oleh jaringan fibrosa (Stanley, 2007). Lemahnya
kekuatan otot lansia dapat diperbaiki dengan cara olahraga atau aktivitas fisik
dengan menambah latihan unsur penguatan otot yaitu latihan daya hambat ( Burke,
2001).
Program latihan fisik bagi para lansia harus meningkatkan kemungkinan
bahwa mereka akan dapat menjalankan tingkatan aktivitas yang lebih tinggi. Ada
beberapa indikator fisik yang berhubungan dengan fungsi pergerakan, yaitu
endurance (daya tahan), muscle strength (kekuatan otot), gait speed (kecepatan jalan)
dan range of motion (ROM). Senam lansia termasuk senam aerobik low impact
(menghindari gerakan loncat-loncat), intensitas ringan sampai sedang, bersifat
menyeluruh dengan gerakan yang melibatkan sebagian besar otot tubuh, serasi sesuai
gerak sehari-hari, dan mengandung gerakan-gerakan melawan beban badan dengan
pemberian beban antara bagian kanan dan kiri secara seimbang dan berimbang
(Suhardo, 2001).
Banyak manfaat yang dapat diperoleh dengan melakukan latihan, yang salah
satunya yaitu dapat memperbaiki keadaan fisik yang masih sering dialami oleh
lansia. Gangguan otot sendiri merupakan masalah fisik yang masih sering dialami
oleh lansia yang ada dimasyarakat. Keunggulan latihan yaitu efek samping tidak ada,
murah, mudah dilakukan dan dapat dilakukan kapanpun dan dimanapun. Dengan
mengacu tehnik latihan sehingga peneliti meneliti latihan untuk meningkatkan
kekuatan otot.

B. METODE PENELITIAN
Penelitianinitergolongpadapenelitianeksperimen,yaituuntukmenilaipengaru
hlatihanterhadapkekuatanototpadausialanjut.Desainpenelitianinimenggunakaneksperi
mensemu

(QuasyEksperimen)

Control

denganrancanganNon-Equivalent

Group.Desaininitidakmempunyaipembatasan

yang

ketatterhadaprandomisasi

(Notoadmojo,
2002).Disebuteksperimensemukarenaeksperimeninibelumatautidakmemilikiciricirirancanganeksperimen

yang

sebenarnya,

karena

variable-

variabelseharusnyadikontrolataudimanipulasi.Dalamrancanganini,
kelompokeksperimenmaupunkelompokkontroldilakukan

pretest

(01)

dandiikutiintervensi

(X)

padakelompokeksperimen.Setelahbeberapawaktudilakukanpostest

(02)

padakeduakelompoktersebut

(Notoadmojo,

2002).

Groupmembandingkansuatuhasildariintervensi
dengansubjekkontrol

yang

serupa

Non-Equivalent
program

Control

(kesehatan)

(tidakperluharussama).

Penetapananggotasampeltidakdilakukansecararandomisasiatauacak (Imron&Munif,
2010).
Populasi dalam penelitian ini adalah usia lanjut yang berusia 60-90 tahun
di Posyandu Kantil Juwiring. Purposive sampling yaitu pengambilan sampel
didasarkan pada suatu pertimbangan

tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri.

Berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya


(Notoatmodjo, 2002). Berdasarkan perhitungan besar sampel, maka dibutuhkan 15
lansia perkelompok perkiraan 10% perlu keluar dari penelitian, maka besar sampel
penelitian yang dibutuhkan adalah 15+(10%X16) = 16,5, sehingga dibutuhkan 17
lansia untuk masing-masing kelompok.

C. HASIL PENELITIAN
Penelitianinidilakukan

di

PosyanduLansiaKantilKelurahanJuwiringKecamatanJuwiringKlaten

yang

dilaksanakanpadabulanJuni-Juli

yang

2011.Subyekpenelitian

memenuhikriteriainklusisebanyak 34 responden, yang terdiridarikelompok yang


melakukansenamlansia 17 respondendankelompok yang tidakmelakukansenamlansia
17

responden.

Data

yang

diambiladalah

data

didapatsaatpenelitian.Untukpemantauankekuatanototbisepbaik

primer

yang
yang

melakukansenamlansiadantidakmelakukansenamlansiadilakukanselamasatubulan di
PosyanduLansiaKantilKelurahanJuwiringKecamatanJuwiringKlaten.Setelah
dilakukan penelitian dan data terkumpul, maka data-data tersebut ditabulasi ke dalam
table-tabel.
1. KarakteristikResponden
Tabel

1.Distribusifrekuensikarakteristikusiaresponden

di

PosyanduLansiaKantilKelurahanJuwiringKecamatanJuwiringKlaten
(N= 34)
Usia

Frekuensi

Presentase

60-70 tahun

12

35,3

71-80 tahun

22

64,7

Total

34

100,0

Tabel1.Menunjukkanbahwausiaresponden 60-70 tahunsebesar 12 (35,3% )


danusia 71-80 sebesar 22 (64,7%).
Tabel

2.Distribusifrekuensikarakteristiktingkatpendidikanresponden

di

PosyanduLansiaKantilKelurahanJuwiringKecamatanJuwiringKlaten
(N= 34)
Tingkat Pendidikan

Frekuensi

Presentase

Tidaksekolah

23,5

Tamat SD

19

55,9

Tamat SLTP

14,7

Tamat SLTA

5,9

34

100,0

Total

Tabel
2.Menunjukkanbahwatingkatpendidikanrespondenyaitutidaksekolahsebesar

(23,5%), SD sebesar 19 (55.9%), SLTP sebesar 5 (14,7%), SLTA sebesar 2


(5,9%).
Tabel

3.Distribusifrekuensikarakteristik

status

perkawinanresponden

PosyanduLansiaKantilKelurahanJuwiringKecamatanJuwiringKlaten
(N= 34)

di

Status Perkawinan

Frekuensi

Presentase

Menikah

15

44,1

Cerai/Janda

19

55,9

Total

34

100,0

Tabel 3.Menunjukkanbahwa status perkawinanrespondenyaitumenikahsebesar


15 (44,1%) danceraiataujandasebesar 19 (55,9%).
2. Hasilpemantauankekuatanototbiseppra-test
Pengukurankekuatanototbisep

yang

pertamadilakukansebelumrespondendiberikansenamlansia,

yang

digunakansebagaipatokanpra-test

yang

untukpemantauanbaikresponden

diberisenamlansiamaupuntidakdiberisenamlansia.
Tabel

4.

Rata-rata

kekuatanototbisepsebelumdilakukansenamlansiapadakelompokinterve
nsidankelompokkontrol (N= 34)
Responden

Rata-rata

SD

T-test P value

-1,461 0,163

kekuatanototbiseppratest (X)
Intervensi

17

3,176

0,2463

Kontrol

17

3,294

0,3976

Perbedaankekuatanototbiseppra-test

padakelompok

melakukansenamlansiadantidakmelakukansenamlansia,
yang

hampirsamayaitu

3,176

yang

didapatkan
dan

3,294

denganstandardeviasilebihtinggipadakelompok
tidakmelakukansenamlansia

0,3976

dannilai

rata-rata

yang
p

>

0,05,

hasilnyatidakadaperbedaan yang bermakna.


3. HasilPemantauankekuatanototbisepsetelahsatubulan
Pengukurankekuatanototbisepdenganmenggunakanlembarobservasibaikp
adakelompok

yang

tidakmelakukansenamlansia.

melakukansenamlansiadankelompok

yang

Tabel

5.

Rata-rata

peningkatankekuatanototbisepsetelahdilakukansenamlansiapadakelomp
okintervensidankelompokkontrol (N= 34)
Responden

Rata-rata kekuatanototbisep

SD

T-test

post-test (X)

P
value

Intervensi

17

3,853

0,4926

Kontrol

17

3,176

0,3032

5,989

0,000

Perbedaanpeningkatankekuatanototbisepsetelahsatubulanpadakelompoks
enamlansiadidapatkan rata-rata 3,853 sedangkanpadakelompoktidaksenamlansia
rata-rata

3,176

denganstandardeviasilebihtinggipadakelompoksenamlansia

0,4926.

Berdasarkanhasiluji

t-test

perbedaanpeningkatankekuatanototbisepantarakelompok

yang

melakukansenamlansiadibandingkandengankelompok

yang

tidakmelakukansenamlansiasecarastatistikmenunjukkanbahwa p=0,000 sehingga


p<0,005.
Makahipotesisditerimayaituadapengaruhsenamlansiaterhadapkekuatanototbisepp
adalansia. Senamlansiaberpengaruhterhadapkekuatanototbisep.

D. PEMBAHASAN
1) Karakteristik Responden
Responden pada penelitian ini adalah semua lansia di Posyandu Kantil
Kelurahan Juwiring, Kecamatan Juwiring Klaten dan sesuai dengan kriteria
inklusi. Usia responden pada kelompok yang melakukan latihan (senam lansia)
dan tidak melakukan latihan (senam lansia) berkisar antara 60-80 tahun, hal ini
menunjukkan kelompok umur yang relatif aman untuk melakukan senam, pada
usia diatas 80 tahun lebih banyak resikonya. Menurut Depkes (2001), lansia
adalah seseorang yang berusia 60 tahun atau lebih, baik secara fisik masih
berkemampuan (potensial) maupun karena permasalahannya tidak lagi mampu
berperan secara kontributif dalam pembangunan (non potensial).
Menurut Soedjono (2003), pada usia 60 tahun kehilangan total adalah
10-20% dari kekuatan otot yang dimiliki pada usia 30 tahun.
2) Pengaruh Latihan (Senam Lansia) Terhadap Kekuatan Otot Bisep

Hasil penelitiana mengenai pengaruh latihan (senam lansia) terhadap


kekuatan otot bisep pada lansia yang dilakukan selama 1 bulan menunjukkan
hasil bahwa responden yang diberi latihan (senam lansia) sebagian besar dapat
meningkatkan kekuatan otot dan sebaliknya responden yang tidak diberi latihan
(senam lansia) tetap mengalami penurunan kekuatan otot.
Setelah diketahui hasil latihan (senam lansia) terhadap kekuatan otot
bisep, kemudian data dianalisis dengan uji T-test. Hasil penelitian menunjukkan
nilai Sig. (2-tailed) yaitu p=0,000(p<0,05) yang berarti ada pengaruh latihan
(senam lansia) terhadap kekuatan otot bisep pada lansia di Posyandu Lansia
Kantil Kantil Kelurahan Juwirng Kecamatan Juwiring Klaten.
Adanya perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan yang
diberi latihan (senam lansia) dan kelompok kontrol yang tidak diberi latihan
(senam lansia), maka latihan (senam lansia) dapat digunakan sebagai alternatif
dalam memberikan intervensi pada lansia khususnya bagi lansia yang mengalami
penurunan kekuatan otot. Seperti yang kita ketahui bahwa lansia merupakan
kelompok rawan karena kepekaan dan kerentanannya yang tinggi terhadap
gangguan kesehatan sebagai akibat menurunnya fungsi kekuatan fisik dan fungsi
kognitif, sumber-sumber finansial yang tidak memadai, dan isolasi sosial.
Budiarjo (2003) mengatakan massa otot mulai berkurang kesiapannya
pada suatu angka 6% setelah usia 30 tahun. Kekuatan statis dan dinamis otot
berkurang 5% setelah usia 45 tahun. Sedangkan endurance otot akan berkurang
1% tiap tahunnya. Komposisi otot berubah sepanjang waktu manakala miofibril
digantikan oleh lemak, kolagen dan jaringan parut. Aliran darah ke otot
berkurang sejalan dengan menuanya seseorang, diikuti dengan berkurangnya
jumlah nutrien dan energi yang tersedia untuk otot sehingga kekuatan otot
berkurang. Pada usia 60 tahun, kehilangan total adalah 10-20% dari kekuatan otot
yang dimiliki pada usia 30 tahun (Soedjono). Manula mengalami atrofi otot,
disamping sebagai akibat berkurangnya aktifitas, juga seringkali akibat gangguan
metabolik atau denervasi syaraf (Darmojo, 2004).
Lansia mengalami penurunan pada sistem muskuloskeletal. Salah satu
diantaranya adalah penurunan kekuatan otot yang disebabkan oleh penurunan
massa otot (atrofi otot).
Kekuatan atau jumlah daya yang dihasilkan oleh otot menurun dengan
bertambahnya usia. Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem

neuromuskular adalah penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot (Mick


Stanley, 2007, hal.154).
Irianto, 2001 mengatakan kekuatan otot dapat diartikan sebagai
kemampuan sekelompok otot melawan beban dalam satu usaha. Kekuatan
muskular mulai merosot sekitar usia 40 tahun, dengan suatu kemunduran yang
dipercepat setelah usia 60 tahun. Menurut Sajoto, 1994 cit Budiarjo, 2003 faktorfaktor yang mempengaruhi menurunnya kekuatan otot salah satunya adalah usia.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa lansia yang mengalami penurunan
kekuatan otot lebih banyak terjadi pada usia 71-80 tahun yaitu sebanyak (64,7%).
Perubahan gaya hidup dan penurunan penggunaan sistem neuromuskular adalah
penyebab utama untuk kehilangan kekuatan otot. Kerusakan otot terjadi karena
penurunan jumlah serabut otot dan atrofi secara umum pada organ dan jaringan
tubuh. Regenerasi jaringan otot melambat dengan penambahan usia, dan jaringan
atrofi digantikan oleh jaringan fibrosa (Stanley, 2007). Lemahnya kekuatan otot
lansia dapat diperbaiki dengan cara olahraga atau aktivitas fisik dengan
menambah latihan unsur penguatan otot yaitu latihan daya hambat ( Burke,
2001).
Kekuatan otot dapat ditingkatkan melalui program latihan penguatan
otot. Menurut Irianto, prinsip dan ciri utama untuk meningkatkan kekuatan dan
daya tahan otot adalah latihan dengan gerak melawan beban baik beban berat
badan sendiri atau beban luar. Program latihan penguatan otot memberikan
tahanan pada otot dengan menggunakan beban badan dalam bentuk senam badan
(Burke, 2001).
Senam Bugar Lansia (SBL) termasuk senam aerobic low impact
(menghindari gerakan meloncat-loncat), intensitas ringan sampai sedang. SBL
AWARA-2004 (SBL Angajab Warasing Salira-2004) bersifat menyeluruh
dengan gerakan yang melibatkan sebagian besar otot tubuh, serasi sesuai dengan
kebutuhan, setara dengan kondisi dan anatomis, seimbang, yaitu bagian kanan
dan kiri dikenakan beban sama dan ada imbangan berpasangan. Gerakan di dalam
SBL mengandung gerakan-gerakan yang diharapkan dapat meningkatkan
komponen kebugaran kardiorespirasi, kekuatan dan ketahanan otot, kelenturan
dan komposisi badan yang seimbang (Suhardo, 2004). Senam Bugar Lansia tipe
B dapat melancarkan aliran darah sehingga nutrisi dan oksigen yang diperlukan
otot bisep dapat terpenuhi sehingga senam ini dapat mengontrol pergerakan,

mempertahankan postur tubuh, dan menghasilkan panas. Konsistensi dari latihan


(senam lansia) ini membuktikan bahwa latihan (senam lansia) 3 kali dalam
seminggu mempunyai hasil yang signifikan untuk meningkatkan kekuatan otot
bisep pada lansia. Dari hasil penelitian terjadi peningkatan jumlah responden
yang mengalami peningkatan kekuatan otot bisep setelah diberi latihan (senam
lansia).
Hasil ini disebabkan latihan (senam lansia) merupakan salah satu terapi
yang membantu lansia dalam mengatasi penurunan kekuatan otot bisep. Beberapa
faktor yang mempengaruhi keberhasilan latihan (senam lansia) dalam mengatasi
penurunan kekuatan otot yaitu konsistensi melakukan latihan (senam lansia) dan
kondisi usia lanjut yang sehat. Selama melakukan intervensi latihan (senam
lansia) lansia merasakan kondisi yang nyaman, tenang, dan rileks.
Menurut penelitian Budiharjo (2003), kekuatan otot yang diteliti pada
kelompok perlakuan SBL paket D meningkat tidak bersamaan, dan dimulai
minggu kedua untuk kekuatan genggam kiri, punggung dan tungkai meningkat
sangat bermakna dan tarik bahu meningkat bermakna, sedangkan kekuatan
genggam kanan dan dorong bahu mulai meningkat minggu keempat. Keadaan ini
menunjukkan bahwa gerakan-gerakan didalam SBL paket D sudah mampu
memberi daya hambat dan melawan gaya gravitasi.

Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa pada kelompok perlakuan terjadi peningkatan kekuatan otot


bisep setelah diberikan latihan (senam lansia) 3 kali dalam seminggu selama satu
bulan sedangkan kelompok kontrol tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna
dan terjadi perubahan yang negatif. Hal ini menguatkan bahwa inaktif atau
immobilisasi pada lansia dapat menyebabkan penuruna kekuatan atau kelemahan
otot (Bandy & Dunleavy, 1996 cit Budiharjo, 2003).
E. SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian Pengaruh Latihan Terhadap Kekuatan Otot Bisep Pada
Lansia Di Posyandu Lansia Kantil Kelurahan Juwiring Kecamatan Juwiring Klaten,
peneliti dapat menarik kesimpulan bahwa:
1. Lansia yang mengalami penurunan kekuatan otot bisep lebih banyak terjadi
pada umur 71-80 tahun yaitu sebanyak 64,7% responden.
2. Penurunan kekuatan otot bisep lebih banyak terjadi pada lansia dengan tingkat
pendidikan SD yaitu sebesar 55,9% responden.

3. Persentase status perkawinan yang mengalami penurunan kekuatan otot bisep


paling banyak adalah cerai atau janda yaitu 55,9% responden.
4. Ada pengaruh latihan (senam lansia) terhadap kekuatan otot bisep pada lansia.
Latihan (senam lansia) dapat meningkatkan kekuatan otot bisep pada lansia di
Posyandu Lansia Kantil Kelurahan Juwiring Kecamatan Juwiring Klaten.
Secara statistik dengan signifikansi p=0,000 (p<0,05).

DAFTAR PUSTAKA
Adinata, Dita. (2007). Pelaksanaan Senam Lansia terhadap Perubahan Tingkat Depresi
pada Lansia di Panti Werdha. Yogyakarta. Skripsi. Program Ilmu Keperawatn
Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Edisi revisi
VI. Jakarta:Rineka Cipta.
Aswin, S.2003. Pengaruh Proses Menua Terhadap Sistem Muskuloskeletal. Fakultas
Kedokteran, Yogyakarta.
Budiarjo, S., 2003. Pengaruh Senam Lansia Terhadap Kekuatan Otot Wanita Lanjut Usia
Tidak Terlatih Di Jogjakarta. Tesis. Pascasarjana, UGM, Yogyakarta
Burke, E.R. 2001. Panduan Lengkap Latihan Kebugaran di Rumah. Rajagrafindo
Persada, Jakarta.
Depkes. (2008). Jumlah Penduduk Lanjut Usia Meningkat.

Diakses 15 februari

2011.WebsiteURLhttp://www.depkes.go.id/index.php?option=news&task=viewa
rticle&sid=3135&Itemid=2.
Fidya Santi, Neni. (2009). Hubungan Antara Senam Dengan Kualitas Hidup Lansia Di
Panti Sosial Tresna Werdha Yogyakarta Unit Budhi Luhur. Skripsi. Program
Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada.
Hidayat, Aziz Alimul A. (2008). Metode Penelitia Keperawatan dan Teknik Analisis
Data. Jakarta: Salemba Medika.
Imron, Moch & Munif, Amrul. 2010. Metodologi Penelitian Bidang Kesehatan Bahan
Ajar untuk Mahasiswa. Jakarta:Sagung Seto.
Irianto, D.P. 2001. Panduan Latihan Kebugaran yang Efektif dan Aman. Lukman Offset,
Yogyakarta.
Mubarak, Wahit Iqbal & Chayantin, Nurul. 2007. Buku Ajar Kebutuhan Dasar Manusia
Teori & Aplikasi dalam Praktik. Jakarta: EGC.
Mubarak, Wahit Iqbal, dkk. 2006. Ilmu Keperawatan Komunitas 2. Jakarta:Sagung Seto.

Notoatmodjo, Soekidjo. (2002). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.


Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik dan Geriatri Ed.3. Jakarta:EGC.

Anda mungkin juga menyukai