Apresiasi Hasl Penelitian Padi 2007
APLIKASI TEKNIK KULTUR ANTERA PADA
PEMULIAAN TANAMAN PADI
Priatna Sasmita
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi
E-mail: balitpa@telcom.net
ABSTRACT
The Application of Anther Culture Technique on Rice Breading.
Anther culture is one of the tissue culture techniques that can be
applied on plant breeding programs in the frame work to accelerate
obtainment of pure lines. Application of anther culture in rice breeding
program to be conducted by two steps in vitro, i.e. induction of callus
from pollen and regeneration of planlet from callus. Resulted haploid
plants will have traits recombination of the parents. The chromosome of
haploid plant can be doubled or doubling spontaneously during culture
become doubled haploid plant or pure lines. Doubled haploid lines
(pure lines) could be generated through anther culture techniques
within thirty months. Selection for expected traits can be done directly to
the first generation of doubled haploid (DH1) or the second generation
(DH2), so the time period to obtain of expected lines relatively faster in
comparison to conventional breeding method.
Key words: F-1 anther culture, doubled haploid, selection, expected lines
ABSTRAK
Aplikasi teknik kultur antera dalam program pemuliaan tanaman padi
bertujuan untuk mempercepat pembentukan galur muri sehingga
mempersingkat waktu perakitan varietas unggul. Prosedur teknik
kultur anter dilakukan secara in vitro melalui dua tahap, yaitu tahap
induksi kalus dari polen yang terdapat dalam antera tanaman F-1 (hasil
persilangan antara tetua yang memiliki karakter diharapkan), dan tahap
regenerasi tanaman dari kalus menjadi tanaman haploid (planiet).
Regeneran tanaman haploid yang dihasilkan akan memiliki kombinasi
karakter kedua tetua. Kromosom tanaman haploid dapat digandakan
atau mengganda secara spontan selama kultur, sehingga dihasilkan
tanaman haploid ganda atau galur murni. Pembentukan galur haploid
ganda (galur murni) melalui kultur anter memerlukan waktu kurang
lebih 30 bulan. Seleksi terhadap karakter diinginkan dapat dilakukan
‘Sasmita: Apliast Teknik Kultur Antera pada Pemulisan Tanaman Padi 595‘Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007
Jangsung pada tanaman haploid ganda generasi pertama (DHI)
atau generasi kedua (DH2), sehingga waktu yang diperiukan untuk
mendapatkan galur harapan relatif lebih singkat jika dibandingkan
dengan cara pemuliaan konvensional yang memerlukan 10-12 generasi
setelah persilangan.
Kata kunci: Kultur antera F-1, haploid ganda, seleksi, galur harapan.
PENDAHULUAN
Pemuliaan tanaman padi bertujuan untuk menghasilkan varietas baru yang lebih
baik dari varietas yang telah ada. ‘Tujuan utama dari program pemuliaan saat ini
adalah merakit suatu varietas unggul yang memiliki produktivitas dan kualitas
hasil lebih baik serta memiliki ketahanan baik terhadap cekaman biolik maupun
abiotik. Secara konvensional perakitan varietas unggul baru yang memiliki
karakter diinginkan dapat dilakukan melalui metode persilangan (hibridisasi).
Untuk mendapatkan kombinasi karakter yang diharapkan dari hasil hibridisasi,
generasi F, dan generasi berikutnya diseleksi hingga mencapal kemurnian
genetik (galur muri). Proses tersebut_memeriukan waktu cukup lama hingga
mencapal 6-7 tahun bahkan lebih. Aplikas! teknik kultur antera pada pemuliaan
tanaman padi berpeluang mempercepat perolehan galur murni sehingga dapat
dimanfaatkan dalam percepatan perbaikan dan atau perakitan varletas unggul
padi (Li 1992; Niizeki 1997).
Aplikasi teknik kultur antera dalam pemuliaan padi telah berhasil merakit
berbagai varietas padi unggul terutama di Cina dan Korea (Hu 1985). Teknik
ini telah dikembangkan pula di negara-negara produsen padi lainnya dalam
upaya perakitan varietas unggul seperti di India, Jepang, dan Filipina (Niizeki,
1997). Kultur antera, lebih tepatnya disebut sebagai kultur polen adalah induksi
‘embryogenesis dari sel polen yang menghasilkan tanaman haploid. Sel polen atau
sel gamet jantan berasal dari sel induk gamet jantan (mikrospor) diploid (2n).
Pada pembentukan gamet melalui pembelahan miosis, sel mikrospor membelah
menjadi 4 sel anak (haploid) dengan jumlah kromosom setengah sel induknya.
Rekombinasi kromosom tetua selama meiosis akan menghasilkan rekombinasi
genetik pada kromosom haploidnya.
Melalui kultur antera, sel polen haploid dapat diinduksi menjadi tanaman
haploid. Kombinasi karakter kedua tetua akan dimiliki oleh tanaman haploid,
sehingga bila kromosomnya digandakan atau terjadi penggandaan spontan
selama kultur akan diperoleh tanaman-tanaman haploid ganda yang homozigos
atau galur muri, Karakter-karakter yang dikendalikan baik oleh gen dominan
maupun gen resesif dapat diekspresikan pada tanaman haploid ganda. Variasi
genetik pada tanaman haploid ganda akan terjadi akibat efek additif, terlepas dari
‘efek dominan resesif. Untuk menjamin atau meningkatkan peluang ketersediaan
rekombinan yang diinginkan diperlukan populasi galur haploid ganda dari tiap-
‘596 Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresiasi Hasil Penelitin Padi 2007
tiap persilangan (F1) yang cukup sebagai bahan seleks! Pada populasi demikian,
jumlah individu yang dibutuhkan sebagai bahan seleksi untuk mendapatkan
rekombinasi gen yang diinginkan akan jauh berkurang jika diperoleh dari populasi
bersegregasi hasil persilangan konvensional.
Pada pemuliaan konvensional (persilangan), jika jumlah gen yang terlibat
dinyatakan dengan n, kemungkinan untuk mendapatkan individu homosigos
pada generasi F, adalah (1/4), sedangkan melalui pembentukan tanaman
haploid ganda (kultur antera) adalah(1/2)" (Chung 1992). Jika sejumlah n gen
diasumsikan tidak terpaut, maka populasi tanaman bahan seleksi minimum yang
harus tersedia agar semua genotipe homosigos terwakili adalah 2" tanaman,
sedangkan melalui konvensional diperlukan sebanyak 4" tanaman. Chahal dan
Gossal (2002), memperkirakan pada tanaman padi dibutuhkan kurang lebih 150
tanaman haploid ganda yang dihasilkan dari populasi F-1 antera untuk seleksi
genotipe yang diinginkan.
Regeneran tanaman hasil kultur antera sebagian besar (50-65%) merupakan
tanaman haploid dan diploid (Chen 1983). Hasil analisis genetik dilaporkan pula
bahwa 90% turunani galur ferti! hasil kultur antera adalah homisigos (haploid
ganda). Pembentukan tanaman haploid ganda spontan sangat menguntungkan,
karena tidak perlu menggandakan kromosom tanaman haploid sebagai bahan
seleksi (Dodds & Robert 1987; Chung 1992). Menurut Zhang (1989) karakter
tanaman haploid ganda dalam galur yang sama adalah seragam dan telap
stabil dari generasi ke generasi, sehingga seleksi karakter yang diinginkan dapat.
dilakukan langsung pada generasi awal. Teknik ini dilaporkan selain dapat
menghemat waktu, juga dapat menghemat biaya dan tenaga yang diperlukan
(Sanint et al. 1996).
Secara teknis kultur antera padi telah dapat dilakukan di Indonesia.
Namun demikian keberhasilan memperoleh sejumlah populasi galur haploid
ganda yang diinginkan masih periu ditingkatkan. Oleh karena itu, aplikasi teknik
ini masih perlu perbaikan balk secara genetik (menyiapkan materi eksplan yang
berpeluang dikulturkan) maupun secara teknis (modifikasi media, ruang kultur
dan keterampilan) mengacu pada informasi-informasi hasil penelitian yang
telah dicapai.
PROSEDUR APLIKASI
Prosedur teknik kultur antera pada pemuliaan tanaman padi terbagi ke dalam
tahapan-tahapan sebagai berikut; pemilihan tetua dan persilangan (F-1),
pemeliharaan tanaman F-1 sumber eksplan, penyiapan eksplan, kultur antera in
vitro, aklimatisasi, dan penanganan tanaman pasca aklimatisasi, karakterisasi
tanaman haploid ganda, perbanyakan benih haploid ganda dan seleksi untuk
karakter diinginkan. Prosedur teknis dan alokasi waktu yang diperlukan dalam
aplikasi kultur antera padi disajikan dalam Gambar 1.
‘Sasmita: Aplitasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 597‘Apresiasi Has Peneliian Padi 2007
PROSEDUR
AAbb X aaBB
[ ‘AaBb FA preccesennng
t4Buan }
AB Ab aB ab Gametimelosis
Induksi kalus
Kultur Antera
tip J Caer
Wapleld, Doubled Hapioid [~ Akiimatisast
Speman (Die), Plata ‘Pemeliharaan
Kromosom] [ = Kolkhisin
fanomen Haptold 2Ratun
ABB AAbb anne eabt | / ("Komen
= ~Perbanyakan } 1---<------5
GALUR MURNI BESS 1. 210.Buten |
Gambar 1. Prosedur, teknis, dan alokasi waktu yang diperlukan pada plikas! teknik Kultur
antera padi,
Pemilihan Bahan Tetua dan Persilangan:
Bahan tetua persilangan dapat berupa varietas atau galur yang telah diidentifikasi
memiliki satu atau lebih karakter yang diunggulkan. Setiap bahan tetua ditanam
di lapang atau pada pot/ember di rumah kaca sebagai blok hibridisasi. Untuk
menjamin tercapainya saat pembungaan yang sinkron antara calon tetua jantan
dan calon tetua betina, serta agar persilangan dapat dilakukan lebih sempurna,
semua calon tetua ditanam dalam 2-3 waktu tanam yang berbeda, dengan selang
waktu tanam 7-10 hari. Pemupukan, penyiangan, dan pengendalian hama serta
penyakit, dilakukan sesuai keperluan. Pada saat fase pembungaan, tanaman
calon tetua betina yang telah siap berbunga diemaskulas! (dikebiri organ
jantannya) pada sore hari. Malai tetua betina yang telah diemaskulasi (dengan
vacuum emasculator) segera ditutup dengan amplop kertas minyak (glassine
bag) sebagai penutup/penghalang bag! serbbuk sari asing yang tidak dikehendaki.
Tetua-tetua yang telah diemaskulasi, keesokan harinya, saat anthesis maksimal
bagi tetua jantan, disilangkan (diserbukan polennya) secara manual dan ditutup
dengan kertas glassine. Hasil persilangan dipelihara hingga dapat menghasilkan
bili F-1 yang dapat dipanen.
598 Sasmlta: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresias Hasil Penettian Padi 2007
Pemeliharaan tanaman F-1 sumber eksplan. Benih F-1_hasil persilangan
ditanam dalam pot/ember di rumah kaca atau di lapangan sebagai populasi F-1
sumber eksplan kultur antera. Pada setiap hasil persilangan tunggal, kepastian F-1
sebagai progeni hasil persilangan antar tetua yang digunakan diobservasi dengan
menanam tetua asal atau tetua betina berjajar dalam barisan di samping populasi
F-1 hasil silang tunggal. Pertanaman F-1 dipelihara hingga fase bunting yaitu
saat eksplan berupa malal muda yang akan digunakan untuk kultur antera siap
dipanen. Sebagai penanda, malai diambil pada saat jarak antara aurikel daun
bendera dengan daun di bawahnya antara 7-12 cm. Jarak tersebut merupakan
marka morfologi yang berhubungan erat dengan perkembangan polen fase akhir
uninucleat atau awal binucleat yang dapat memberikan respons induksi kalus
dan regenerasi tanaman terbaik dalam kultur antera padi (Li 1992).
Kultur antera in vitro. Secara in vitro kultur antera padi dilakukan di
laboratorium. Pada saat tanaman mencapai fase bunting dan sesual dengan
kriteria bahan eksplan, malal yang masih terbungkus dalam pelepah dipanen
‘sebagai sumber eksplan. Malai yang masih dalam selubung pelepah tersebutdicuci
bersih dan dibungkus dengan kertas tissue basah, selanjutnya dimasukkan ke
dalam kantong plastik, kemudian diberi perlakuan dingin dengan menyimpannya
dalam lemari pendingin pada suhu 10°C selama 8 hari.
Penyiapan media. Penyiapan media dapat dilakukan sambil menunggu
eksplan saat diberi perlakuan dingin. Media kultur antera padi yang cocok untuk
subspesies Indica adalah N, dan MS dengan berbagai modifikasinya, masing-
masing sebagai media induksi kalus dan regenerasi tanaman. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa modifikasi N, dengan penambahan 2 mg/ NAA, 0,5
mg/ kinetin, 60 g sukrosa dan 0,1644 g/ putresin; serta modifikasi MS dengan
penambahan 0,5 mg/l NAA, 2 mg/l kinetin, 40 g sukrosa, dan 0,1644 g/l putresin
cocok untuk kultur antera subsp Indica dan silangannya (Dewi et al. 1996;
Purwoko et al. 2001).
Pembuatan media N, dimulai dengan melarutkan putresin ke dalam +
700 ml air, kemudian semua bahan (kecuali phytagel) dicampur dan ditera
pHnya, sehingga pH campuran mencapai 5,8. Ke dalam media ditambahkan 3
‘gt/l phytagel sebagai pemadat, kemudian diautoklaf selama 20 menit. Selesai
diautoklaf, tiap | liter media dituangkan ke dalam + 30-35 cawan petri di dalam
laminar air flow cabinet. Setiap cawan petri yang telah diisi media kemudian
ditutup dan direkatkan dengan parafilm. Pembuatan media MS dilakukan
seperti pembuatan media N,, namun setelah ditambahkan phytagel media tidak
diautoklaf melainkan dipanaskan hingga mendidih. Setelah dipanaskan, tiap 1
liter media dituangkan ke dalam + 50 botol kultur dan ditutup dengan alumunium
foil atau plastik. Media dalam botol kultur kemudian diautoklaf selama 20 menit
pada temperatur 120 °C dan tekanan 18-20 psi.
Penyiapan eksplan. Malai yang telah diinkubasi selama delapan hari, dibuka
dan dipilih (disortir) bagian percabangan tengah dan atasnya. Malal yang terpilih
adalah malai dengan bulir yang memiliki panjang antera dan filamennya tidak
‘Sasmita: Aplkasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 599)‘Apresiasi Hasil Peneliian Padi 2007
melebihi setengah panjang bulir dan berwama kuning muda kehijauan, Malai-
‘malai yang terpilih disterilkan dengan Bayclin 20% yang mengandung bahan aktif
5,25% NaClO selama 20 menit, lalu dicuci dengan air steril.
Induksi kalus. Sebelum diregenerasikan menjadi tanaman, polen dalam
antera diinduksi menjadi kalus (massa sel). Induksi kalus dimulai dengan inokulasi
antera pada media induksi kalus. Bulir gabah muda (spikelet) dari malai yang
sudah steril kemudian sepertiga dari pangkalnya dipotong dengan gunting dan
dikumpulkan pada cawan petr steril. Selanjutnya antera diinokulasikan ke dalam
media induksi kalus (N,) yang telah disiapkan sebelumnya. Inokulasi dilakukan
dengan cara mengetukkan spikelet pada tepi cawan petri menggunakan pinset.
Setiap cawan petri diisi sebanyak 120-150 antera yang berasal dari 25 spikelet.
Inokulasi antera untuk setiap genotipe F-1 dilakukan masing-masing sebanyak
25 petri diulang tiga kali pada waktu yang berbeda. Selanjutnya antera yang
diinokulasi pada media disimpan pada rak kultur dalam ruangan gelap pada suhu
252°C. Dari hasil penelitian sebelumnya pada umumnya kalus terbentuk 2-10
minggu sejak antera berada pada media inkubasi.
Regenerasi tanaman. Secara teknis regenerasi tanaman dilakukan dengan
memindahkan kalus yang terbentuk pada tahap induksi kalus ke media regenerasi
tanaman (MS). Kalus yang telah berukuran 1-2 mm pada media induksi kalus
dipindahkan ke media regenerasi (MS) dalam botol kultur, kemudian diberi label
(nomor kalus, genotipe, dan tanggal). Kalus yang dapat beregenerasi menjadi
tanaman adalah kalus generasi minggu pertama hingga keempat (Sasmita et al.
2002), Pemindahan kalus dilakukan dalam laminar air flow cabinet. Kalus yang
telah dipindah ke dalam media regenerasi tanaman kemudian diinkubasi dalam
ruang terang dengan cahaya kuat (1000-3000 lux) serta suhu 22 + 2 °C (Chen et
al 1986). Tiga minggu sejak kalus dipindah ke media regenerasi, umumnya kalus
embriogenik dapat tumbuh dan berkembang menjadi planlet tanaman hijau
dan atau tanaman albino hingga mencapai tinggi 1-2 cm. Regeneran tanaman
hijau yang dihasilkan pada media regenerasi biasanya belum memiliki akar yang
cukup bahkan sama sekali tidak memiliki akar. Setelah tanaman regeneran
mencapai tinggi 3-5, cm tanaman tersebut dapat diinduksi perakarannya dengan
cara memindahkannya ke media perakaran dalam tabung-tabung reaksi. Media
perakaran terdiri atas media MS ditambah dengan 40 g/l maltosa dan 0,5 mg/l
IBA (Dewi et al. 1994).
Aklimatisasi. Aklimatisasi dilakukan untuk menyesuaikan kondisi lingkungan
tumbuh tanaman kultur yang aseptik dan heterotrof ke lingkungan alami yang
autotrof. Aklimatisasi meliputi tiga tahap: tahap pertama, aklimatisasi dalam
tabung reaksi berisi air bersih selama 1-2 minggu; tahap kedua, aklimatisasi
dilakukan pada media tanah lumpur dalam bak selama 1-2 minggu; dan ketiga,
alimatisasi dilakukan pada media tanah dalam ember atau pot di rumah kawat.
Pada penanaman dan pemeliharaan di rumah kawat, tanaman yang berasal
dari kalus yang sama dan ditanam pada pot berbeda dikelompokkan dan diberi
nomor yang sama. Pemberian cahaya dilakukan secara berangsur untuk melatih
tanaman agar dapat tumbuh pada kondisi normal.
600 ‘Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresiasi Hasil Peneliian Padi 2007
Penanganan tanaman pascaaklimatisasi. Pemeliharaan tanaman dilakukan
sesual dengan anjuran budidaya padi sawah. Individu tanaman yang berasal
dari kalus yang sama dikelompokkan menjadi satu kelompok putatif galur;
kemudian masing-masing kelompok tanaman diberi nomor (sebagai nomor
galur). Pada fase pertumbuhan anakan aktif, masing-masing nomor galur (putatif
galur) hasil kultur antera dievaluasi ploidinya secara morfologi. Pertama-tama
evaluasi dilakukan terhadap tanaman haploid ganda. Pada fase pertumbuhan
ini secara morfologi tanaman haploid ganda tumbuh normal seperti tanaman
diploid yang dicirikan dengan adanya auricle dan ligule, serta pada fase generatif
menghasilkan biji fertil (Chu 1982). Populasi tanaman haploid ganda dipelihara
serta dievaluasi karakter morfologi dan agronominya hingga dapat dipanen
bijinya. Benih yang dihasilkan dari populasi tanaman tersebut selanjutnya dapat
diperbanyak untuk menghasilkan benih DH2 dan DH3, sebagai bahan seleksi
untuk karakter target yang diinginkan. Selanjutnya evaluas! dilakukan terhadap
tanaman haploid. Tanaman haploid hasil kultur dicitikan dengan pertumbuhan
yang kerdil, anakan banyak, serta tidak memiliki auricle dan ligule. Tanaman
tersebut dikelompokkan dan dipelihara pula untuk digandakan kromosomnya
dengan cara di ratun atau diberi perlakuan kolkhisin, agar dapat menghasilkan
biji untuk dievaluasi karakter unggulnya.
DAYA KULTUR ANTERA PADI
Berdasarkan distribusi geografis, morfologi tanaman dan biji, sterilitas hibrida dan.
reaksi serologi, padi (Oryza sativa L.) diklasifikasikan ke dalam subspesies Indica
dan Japonica (Oka 1991). Selain kedua subspesies tersebut, di Indonesia terdapat
subspesies Javanica. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa tiap subspesies
tanaman padi memberikan respons berbeda dalam menginduksi kalus dan
meregenerasikan tanaman, ketika anteranya dikulturkan secara in vitro. Masyhudi
dan Rianawati (1994) melaporkan bahwa perbedaan tersebut tidak hanya pada
spesies dalam genus tetapi juga perbedaan varietas dalam satu spesies.
Secara umum dilaporkan bahwa perbedaan respons daya kultur antera
diantara subspesies padi mengikuti gradasi sebagai berikut: Japonica > Japonica
xindica > Indica (Zapata et al. 1983; Quimio dan Zapata 1990). Perbedaan respons
daya kultur antera (induksi kalus dan regenerasi tanaman) ketiga subspesies padi,
disajikan dalam Tabel 1. Subspesies Javanica yang ada di Indonesia dilaporkan
pula memiliki daya kultur anter paling rendah dibanding kedua subspesies
lainnya.
Rendahnya daya kultur antera padi Indica dan Javanica yang merupakan
subspesies padi budidaya di Indonesia, merupakan salah satu kendala untuk
keberhasilan aplikasi teknik kultur anter padi di Indonesia. Rendahnya daya kultur
anterapadiselain ditunjukkan oleh ketidakmampuanataurendahnyakemampuan
anter (polen) dalam menginduksi kalus dan kalus dalam meregenerasikan
tanaman, juga tingginya pembentukan tanaman albino. Tanaman albino tersebut
tidak dapat bertahan hidup karena tidak memiliki khlorofil. Hasil penelitian di
‘Smamite: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 601‘Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007
‘Tbe 1. Hasilinduksi kalus dan regenerasitanaman pada kulturantera padi subspesies Japonica, Indica
dan Javanica (Masyhudi 1991)
Samer KOS Sas ramen Tenaman
Genotipe (subspesies) divcinies ‘en Zinta Nig ain
TRE
“ip 209 Geponica) 4270 ws 1.069 ns a7
172 (indica) 481 wy “ss 22 °
‘Kencana Bali (Javanica) 10.838 79 470 30 12
Puslltbangtan:
“Taipe-309 Vaponica) 16246 102 see 26 39
JR64 Unica) na07 1 * ° wr
Rojolele Javaniea) 970 os 5 ° °
‘Tabel 2. Hasilinduksi kalus dan regenerasi anaman pada kltur antera padi subsp. Indica dan F-1 hasil
silangannya (Dew etal. 1994; Masyhual etal. 1987)
5 oe Kes Tanamanhijau—‘Tenaman
terbentul (6) @ albino (6)
Re 18.750 68 (0.4) 0(0) 00)
IRGARPIEST.15:3.2 15.480 464 (89) 0(0) 0(0)
IR6{/Aceh-aceh 17478 1.19 64) mG) 260
1R64Sipulut 19295 1.389 (72) 8 @s) 0(0)
Re47t:309 12720 1.705134) 166 (1,3) 4 05)
Cisanggarung 7.000 238 (34) 0(0) 109
Sei atin 8.250 150 (9) 74) 100
Kapuas 4375 4 09) 0(0) 00)
‘Lematang 4250 as) 0(0) 0(0)
BSSE5-135.Sm873 1375 230. 0(0) 0(0)
mre 5.875 0(0) 0(0) 000)
IRRI tentang respons genotipe terhadap kultur antera menunjukkan bahwa dari
465 kalus subspesies Indica yang dikulturkan hanya 2,2% saja (10 tanaman)
yang menjadi tanaman hijau. Hasil penelitian yang sama di Puslitbangtan tidak
berhasil mendapatkan tanaman hijau (Tabel 1).
Tabel 2 menunjukkan pula rendahnya daya kultur antera padi subspesies
Indica (Dewi et al. 1994; Masyhudi et al. 1997). Dari sebelas genotipe subspesies
Indica dan F-| silangannya yang dikulturkan hanya tiga genotipe yang dapat
‘menghasilkantanamanhijau.Jumlahtanamanhijauyangdihasilkanketigagenotipe
itupun relatif sedikit (0 - 7,1% dari banyaknya kalus yang diregenerasikan).
602 Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresiasi Hast Penelitian Padi 2007
‘Tabel 3. Daya induksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera padi subspesies Indica dan F-1
‘asi silangannya (Priainaet al. 2001; Priatna etal. 2002)
- Thap induls tals Tap regener tara
Genotpe SAMK (6) Kaus) -STapaman | ETapaman
WayRarem 1027) 19498) 18092) «2
aah Munghur 21G04) 28021) 32) 358. TH)
Jatiluhur: 14 (85) 158 (11,8) 43 (25,1) 12,9 (74,9)
er w72(@07) 529423) 13855) «384 (745)
WayRarem/A2 2141S) 214 (15) 90.07.88 (2)
TAZI7AayRarem 25 5(183)-255(183) 183.71) 310 2)
‘Way RaremyJatiluhur 18,0 (12,8) 18,0 (12,8) 4,4 (15,3) 246 (64,7)
JastuhurWeyRarem 168120) 168(120) «GI GIA) ——«188 78S)
Gajah Mungkur/ITA-247 30,0 (21,5) 30,0 (21,5) 12,0 (30,2) 32,7 (69,8)
TEA-247/Gajah Mungkur 39,4 (28,2) 39,4 (28,2) 15,7 GL 33,8 (68,3)
Gajah Mungkur/Jatiluhur ‘18,0 (14,5) 18,0 (14,5) 11,2 (25,9) 31,9 (74,1)
JastuhwiGajoh Munghur 2040131) 204131) ___75@u) _ 282 90)
‘Keterangan: AMK = Anter menghasilkan Kalus, %6kalus = 3Kalus/ SAntera dinokulasi, Yantera yang
4liinokalasi per genotipe = + 150 antera
Penelitian-penelitian tentang pengaruh genotipe, media dan modifikasinya,
serta perbaikan teknis kultur anter F-1 hasil persilangan diantara padi subspesies
Indica telah menunjukkan kemajuan dalam rangka memanfaatkan keuntungan
aplikasi teknik tersebut pada pemuliaan padi di Indonesia. Pengaruh genotipe
F-1 dan tetua persilangannya merupakan salah satu faktor penentu penting
keberhasilan aplikasi teknik ini, Oleh _karena itu, pemilihan tetua persilangan
yang tanggap terhadap kultur antera (high anther culturability) harus menjadi
pertimbangan utama dalam menyiapkan F-1 bahan eksplan. Sifat tersebut harus
digabungkan dengan tetua yang mempunyai sifat unggul yang diinginkan tetapi
tidak tanggap apabila dikulturkan. Menurut Chen (1983) respons kultur antera
hibrida F-1 kadang-kadang lebih baik dari induk inbrednya. Seperti ditunjukkan
pada Tabel 2, IR64 yang tidak memiliki daya kultur anter, F-1 hasil silangannya
dengan Japonica dapat dikulturkan dan menghasilkan tanaman hijau.
Sasmita et al. (2002) melaporkan bahwa untuk mendapatkan daya kultur
anter F-1 terbaik, persilangan harus dilakukan di antara kedua tetua atau salah
satu tetua yang betina memiliki daya kultur anter baik. Pengaruh tetua terhadap
daya kultur antera padi F-1 dan F-1 resiproknya (F-1’) disajikan pada Tabel 3.
Dengan menggunakan media N, untuk induksi kalus, dan MS untuk regenerasi
tanaman, antera dari 12 genotipe padi subsp Indica tidak berhasil dikulturkan
(Sasmita dan Purwoko 2002; Sasmita et al. 2002).
‘Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 603Apresiasi Hasil Peneliian Padi 2007
Pada Tabel 3 terlihat bahwa berdasarkan asal tetua persilangan, respons
kultur antera terbalk dicapai oleh F-1 dan F-1 resiproknya hasil persilangan
antara ITA-247 dengan Gajah Mungkur, diikuti oleh kombinasi ITA-247 dengan
‘Way Rarem. Hasil percobaan ini menunjukkan bahwa respons kultur antera padi
F-1 terbaik diperoleh dari hasil persilangan yang melibatkan tetua atau salah satu
tetua betina yang memiliki daya kultur antera baik.
Secara prosedur teknik kultur anter padi telah dapat dilakukan di Indonesia.
Sasmita et al. (2002), telah berhasil mengidentifikasi populasi galur haploid ganda
hasil kultur antera F-1 asal persilangan antara dua tetua yang memiliki karakter
agronomi baik (Way Rarem dan Gajah Mungkur) dengan tetua yang toleran
terhadap naungan (Jatiluhur dan ITA-247) dalam waktu 30 bulan. Perolehan
galur mumi tersebut lebih cepat Jika dibandingkan dengan cara konvensional
(persilangan), sehingga dapat dimanfaatkan dalam mempercepat perakitan dan
atau perbaikan suatu varietas unggul pada program pemullaan tanaman padi.
PENINGKATAN DAYA KULTUR ANTERA PADI
Peningkatan efisiensi induksi kalus dan regenerasi tanaman dalam kultur antera
padi F-1 masih perlu dilakukan untuk mendapatkan keragaman populasi tanaman_
haploid ganda dan peluang yang lebih besar memperoleh galur dengan karakter
unggul diharapkan. Dari uraian di atas telah ditunjukkan bahwa genotipe
berperan penting dalam menentukan keberhasilan aplikasi kultur anter. Daya
kultur antera padi Japonica secara umum telah diketahui lebih baik dibandingkan
dengan padi Indica. Itulah sebabnya aplikasi teknik kultur antera padi Japonica
berhasil dikembangkan di China dan Korea dalam merakit berbagai varietas
unggul baru padi. Di Indonesia yang membudidayakan padi subspesies Indica
dan Javanica dengan daya kultur anter rendah, peningkatannya dapat dilakukan
dengan menyiapkan F-1 sumber eksplan dari persilangan antara tetua Indica dan
Japonica atau persilangan diantara padi Indica yang salah satu tetuanya memiliki
aya kultur antera baik. Oleh karena itu, informasi daya kultur antera bahan tetua
harus dipertimbangkan dalam melakukan persilangan untuk mendapatkan F-1
sumber eksplan.
Media kultur merupakan faktor kritis untuk keberhasilan pembentukan
tanaman haploid dari kultur antera. Media berperan untuk menyediakan hara
yang lengkap berupa unsur makro, unsur mikro, karbohidrat, asam amino,
vitamin dan zat pengatur tumbuh yang diperlukan dalam proses pembelahan sel
mikrospora menjadi kalus. Media yang cocok untuk kultur antera padi diantaranya,
adalah media MS, LS, B,, dan N, (Masyhudi 1994). Beberapa modifikasi media
telah dilakukan pula untuk memperbaiki kultur antera padi. Menurut Zapata dan
‘Torrizo (1989), media He-2, He-5, Potato-2, E-10, dan MS yang dimodifikasi cocok
untuk kultur antera padi subspesies /ndica. Selain itu untuk kultur antera padi
subspesies indica, dapat digunakan pula media N6 dan MS serta modifikasinya
masing-masing untuk induksi kalus dan regenerasi tanaman (Dewi et al. 1994).
604 Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresias Hasil Peneltian Padi 2007
Hasil penelitian menunjukkan bahwa modifikasi N, dengan penambahan 2 mg/
NAA, 0,5 mg/l kinetin, 60 g sukrosa dan 0,1644 9/1 putresin; serta modifikasi MS
dengan penambahan 0,5 mg/ NAA, 2 mg/ kinetin, 40 g sukrosa, dan 0,1644 gf
putresin cocok untuk kultur antera padi susbsp Indica dan silangannya (Dewi ef
al, 1996; Purwoko et al. 2001).
Raina dan Zapata (1989) melaporkan bahwa keadaan fisiologis dan
lingkungan tumbuh tanaman F-1 sumber eksplan turut menentukan daya kultur
anternya. Tanaman yang sehat akan lebih baik daya kultur anteranya. Demikian
pula kondisi lingkungan yang berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
eksplan seperti perbedaan waktu tanam dan musim, lokasi (rumah kaca dan
lapangan), pemupukan dan temperatur turut berpengaruh terhadap daya kultur
antera. Oleh karena itu, pemeliharaan tanaman F-1 sumber eksplan perlu
dilakukan intensif untuk menghasilkan daya kultur antera yang diharapkan.
Keadaan fisiologis polen (mikrospora) dalam antera_turut menentukan
pula daya kultur anteranya. Perkembangan mikrospora dalam antera sebelum
Pembelahan mitosis dapat dibedakan menjadi tiga stadia, yaitu: awal uninukleat,
mid-uninukleat, dan akhir uninukleat atau awal binukleat. Hasil-hasil penelitian
‘menunjukkan bahwa fase akhir uninukleat atau paling lambat fase awal binukleat
adalah stadia terbaik untuk induksi kalus dalam kultur antera (Zapata 1985; Raina
1993). Untuk menentukan stadia tersebut secara morfologi pengambilan eksplan
dapat dilakukan pada saat jarak antara auricle daun bendera dengan daun
di bawahnya antara 7-12 cm). Menurut Li (1992), jarak tersebut adalah marka
morfologiyang berhubungan erat dengan perkembangan mikrospora yang berada
Pada fase akhir uninucleat atau awal binucleate. Untuk membantu kepastian
stadia polen tersebut dapat pula dilakukan dengan pewarnaan menggunakan
KI selanjutnya dilakukan pemeriksaan stadia perkembangan polen di bawah
mikroskop.
Perlakuan awal (pretreatment) terhadap malai padi sebelum antera
diinokulasikan ke dalam media dilaporkan dapat berpengaruh pula terhadap
frekuensi induksi kalus. Perlakuan shock temperatur rendah hingga 11 hari dapat
meningkatkan frekuensi pembentukan kalus antara 12,5 hingga 32,8%. Perlakuan
tersebut dilaporkan berguna memperlambat senesen, selanjutnya memberikan
waktu yang cukup terhadap jaringan dinding antera untuk perkembangan
mikrospora, memacu pembentukan proembryo, serta menyelaraskan keadaan
sel (Zapata ef al. 1983). Hasil penelitian menunjukkan bahwa respons terbaik
untuk pembentukan kalus adalah perlakuan suhu dingin 8°C selama 8 hari. Untuk
aplikasi, perlakuan suhu dingin dapat dilakukan dengan menyimpan eksplan
dalam lemari pendingin pada suhu 8-10°C selama 8 hari.
Pada media induksi kalus, kalus akan terbentuk dengan jumlah, ukuran,
frekuensi, dan periode waktu yang berbeda, sehingga memerlukan penanganan
hati-hati terutama saat ditransfer ke media regenerasi tanaman. Kalus-kalus akan
terbentuk 40-45 hari sejak antera diinokulasi ke dalam media induksi kalus. Untuk
menghasilkan daya regenerasi tanaman yang optimal, kalus-kalus yang telah
mencapai ukuran 1-2 mm harus segera ditransfer ke media regenerasi (Gosal et
‘Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 605‘Apresiasi Has Penelitian Padi 2007
al, 1997). Kalus yang ditransfer adalah kalus yang terbentuk pada minggu kesatu
hingga keenam sejak kalus pertama muncul. Pemindahan kalus yang muncul
setelah minggu keenam tidak disarankan (Sasmita et al. 2001).
Untuk keperluan induksi kalus dan regenerasi tanaman pada kultur antera
padi diperlukan kondist ruang yang berbeda. Untuk induksi kalus diperlukan
ruang gelap total dengan tujuan menghindari proses fotosintesis, sehingga polen
androgenik membelah dan membentuk kalus; sedangkan untuk regenerasi
diperlukan ruang terang dengan cahaya kuat (1000-3000 lux), agar kalus dapat
tumbuh, mengandung klorofil, berfotosintesis dan mampu beregenerasi menjadi
tanaman seutuhnya (Chen et al, 1986). Temperatur ruangan yang stabil (25-30 °C)
dipertukan pula untuk menghasilkan respons kultur antera yang optimal.
Secara teknis untuk meningkatkan jumlah regeneran hasil kultur antera dari
genotipe yang memiliki daya kultur antera rendah, dapat dilakukan pula dengan
meningkatkan volume kultur atau meningkatkan jumlah anter yang diinokulasikan
dan kalus yang diregenerasikan. Peningkatan volume kultur tersebut selain
dengan menyiapkan jumiah eksplan yang banyak dan tenaga yang cukup, dapat
pula dilakukan dengan mengatur penyiapaan eksplan (jadwal tanam F-1 sumber
‘eksplan), yang memungkinkan inokulasi antera padi dapat dilakukan secara
kontinu.
KESIMPULAN
1. Aplikasi teknik Kultur antera pada pemuliaan berperan penting dalam
mempercepat perolehan galur murni (galur haploid ganda) sehingga dapat
dimanfaatkan dalam percepatan perakitan dan atau perbaikan suatu varietas
unggul padi. Pembentukan galur murni (galur haploid ganda) melalui teknik
kultur antera memertukan waktu kurang lebih 30 bulan.
2, Genotipe paling berperan dalam menentukan daya kultur antera padi F-1.
Pemilihan genotipe tetua F-1 yang memiliki karakter diharapkan dan tanggap
dalam kultur antera (high anther culturability) harus diperhitungkan oleh
pemulia tanaman. Karakter tersebut dimaksudkan agar diwariskan pada
generasi tanaman F-1 yang akan digunakan sebagai suber eksplan. Untuk
mendapatkan eksplan F-1 yang memiliki daya kultur antera, persilangan
disarankan dilakukan diantara subspesies padi Indica dengan Japonica atau
persilangan diantara padi Indica yang salah satu tetuanya memiliki daya
keultur antera baik.
3. Peningkatan daya kultur antera padi dapat dilakukan antara lain dengan
cara; menyiapkan F-1 yang memiliki latar belakang daya kultur antera baik,
menggunakan media induksi kalus dan regenerasi tanaman yang sesuai,
‘menggunakan eksplan (antera) pada saat stadia mikrospora akhir uninukleat
atau awal binukleat, memberikan perlakuan suhu dingin 8 °C selama 8 hari
terhadap eksplan sebelum dikulturkan, penanganan kalus secara intensif,
(606 Sasmlta: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresiasi Hasl Penelitian Padi 2007
mengkondisikan ruangan gelap saat induksi kalus dan ruangan dengancahaya
kuat (1000-3000 lux) saat regenerasi tanaman, serta dengan meningkatkan
volume kultur (jumlah anter yang diinokulasikan).
DAFTAR PUSTAKA
Chahal, GS dan SS Gosal. 2002. Principles and prosedur of plant breeding.
Biotechnology and Conventional Approaches. Alpa Science International.
Pongbourne, UK. 604 p.
Chen, Y. 1983, Anther and pollen culture of rice in China. In: Cell and Tissue
Culture Techniques for Cereal Crop Improvement. Proceeding of a
Workshop Cosponsored by the International Rice Research Institute.
Science Press. Beljing. p. 11-26.
Cheh, C.C.,H.S. Tsay, and C.R. Huang. 1986. Rice (Oryza sativa L.): Factors affecting
androgenesis. In: YPS Bajay (Eds.). Biotechnology in Agricultural and
Forestry, Vol.2 Crop Springer-Verlag, Berlin, Heidelberg.
Chu, C.C. 1982. Anther culture of rice and its significance in distant hybridization.
In: Rice Tissue Culture Planning Conference. IRRI. Los Banos, Laguna,
Philippines.
Chung, G.S. 1992. Anther culture for rice improvement in Korea. In: Zheng Kangle
and T. Murashige (Eds.). Anther Culture for Rice Breeders. Hangzhou,
China. p. 8-37.
Dewi, LS., A.D. Ambarwatl, M.-F. Masyhudi, T. Soewito dan Suwamo. 1994. Induksi
kalus dan regenerasi kultur antera padi (Oryza sativa L.). Risalah Hasil
Penelitian Tanaman Pangan 2:136-143.
|. Hanarida., and S. Rianawati. 1996. Anther culture and its application
for rice improvement program in Indonesia. Indonesian Agriculture and
Development Journal Vol 18 (3): 51-56.
Dodds, J.H., and L.W. Roberts. 1987. Plant tissue culture, Cambridge University
Press. New York. 232 p.
Gossal, SS, A.S. Sindhu, J.S. Sandhu, R. Sandhu-Gill, B. Singh, G.S. Khehra, G.S.
Sindhu, and H.S. Dhaliwal. 1997. Haploidy in rice. In: Jain SM., Sopory
SK, and Veilleux RE (Eds.). Invitro Haploid Production in Higher Plants.
Kluwer Academic Publishers 4 : 1-35.
Li, M. 1992. Anther culture breeding of rice at the CAAS. In: Zheng, K. and T.
Murashige (Eds.). Antera Culture for Rice Breeders. Hasngzou, China.
P. 75-86.
Masyhudi, M.F. 1994, Kultur antera tanaman padi. Balai Penelitian Tanaman
Pangan Bogor. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan,
Badan Litbang Pertanian, Deptan. Buletin Penelitian 9:18-31.
Dewi, |
‘Snemita: Aptkasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 607‘Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007
Masyhudi, MF. dan S. Rianawati. 1994, Pengaruh genotipa dan sumber karbon
pada kultur antera tanaman padi bulu. Zuriat 5(1), 1994. p. 61-68.
Masyhudi, MR, T. Suwito, S. Rianawati; 1.8. Dewi, 1997. Regenerasi kultur
antera beberapa varietas tanaman padi sawah. J. Penelitian Pertanian
16 (2):22-85
Niizeki, H. 1997. Anther (Pollen) culture. in: Tanane, M., M. Yuzo, K. Fumio,
Y. Hikoyuki (Ed.) Science of the Rice Plant. Volume 3 Genetics. Food and
Agriculture Policy and Research Center. Tokyo. p 691-704.
Oka, H.1. 1991. Genetic diversity of wild and cultivated rice. Biotechnology in
agriculture No.6. IRRI.
Purwoko, B.S., A Mufida, 1S, Dewi. 2001. Pengaruh putresin terhadap induksi
kalus dan regenerasi tanaman padi (Oryza sativa L.) melalui kultur
antera. Tanaman Tropika 4(2): 88-96.
Quimio, C.A. and FJ. Zapata. 1990. Diallel analysis of callus induction and green
plant regeneration in rice anther culture. Crop Science 30: 188-192.
Raina, S.K. 1993. Plant regeneration by anther culture of javanica and javanica x
indica rice lines. Indonesian J. of Crop Sct 7 (1): 1-18.
Raina, S.K. and FJ. Zapata. 1989. Anther culture indica rices. A progress report
Paper pre-sented in a special seminar on 6 December 1989. IRRI. Los
Banos, Philippines. 47 p.
Sanint, L.R., C.P, Martinez, Z. Lentini. 1996. Anther culture as rice breeding
tool: A profitable investment. In: GH Khush (Ed.). Rice Genetics Ill.
Proceeding of the 3” International Rice Genetics Symposium. IRI.
Philippines, Los Banos, p. 511-531.
Sasmita P, Purwoko BS, 2002. Kultur antera padi gogo (Oryza sativa L.. subspesies
indica). Agrikultura 13 (3) : 137-142.
Sasmita, P. dan BS. Purwoko, 2002. Kultur antera padi gogo (Oryza sativa L.
subspesies indica). Agrikultura 13 (3) : 137-142.
Sasmita, P., 1.8. Dewi, dan B.S. Purwoko. Pengaruh generasi kalus terhadap
regenerasi tanaman pada kultur antera padi (Oryza sativa 1.) kultivar
Gajah Mungkur. Sain Teks, Edisi Khusus Oktober 2001. p. 179-188
Sasmita, P,, B.S. Purwoko, S. Sujiprihati, 1. Hanarida, 2002. Kultur antera padi
gogo hasil persilangan kultivar dengan galur toleran naungan. Hayati
9 (3): 89-93.
Zapata, FJ. 1985. Rice anther culture at IRRI. Biotechnology in International
Agricultural Research. IRRI. Los Banos, Philippines. p. 85-95.
608 Sasmita: Aplikasi Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi‘Apresiasi Hasl Penelitian Padi 2007
Zapata, F. J., G.S. Khush,, J.P. Crill, MH. Neu, R.O Romero, L.B. Torrizo and M.
Alejar. 1983. Rice anther culture at IRRI. /n: Cell and Tissue Culture
Techniques for Cereal Crop Improvement. Proceeding of a Workshop
Cosponsored by the International Rice Research Institute. Science
Press. Beijing. p. 27-40.
Zapata, F. J., and L.B. Torrizo. 1989. Breeding for rice varieties tolerant to adverse
conditions through tissue culture at IRRI. Strengthening Collaboration in
Biotechnology: International Agriculture Research and Private Sector.
p. 93-108,
Zhang, Z. 1992, Anther culture for rice breeding at SAAS. In: K. Zheng and T.
Murashige (Ed.). Anther Culture for Rice Breeders. Hangzhou, China.
p. 38-74.
‘Sasmita: Aplicas Teknik Kultur Antera pada Pemuliaan Tanaman Padi 609