Anda di halaman 1dari 25

25

4. HASIL DAN PEMBAHASAN


4.1 Kondisi Umum Lahan
Lahan Jatimulyo terletak pada Kecamatan Lowokwaru Kota Malang
memiliki kondisi yang lembab. Kondisi lahan memiliki rata-rata suhu udara
berkisar antara 22,2C24,5C. Sedangkan suhu maksimum mencapai
32,3C dan suhu minimum 17,8C. Rata kelembaban udara berkisar 74%
82% (Rustamaji, 2006). Data tersebut cukup sesuai dengan kebutuhan
tumbuh tanaman tomat, bahwa tanaman tomat tumbuh optimal pada suhu
18-29oC dan kelembaban 80%. Suhu dan kelembaban merupakan faktor
yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman tomat
(Fitriani, 2012). Lahan tanaman tomat menggunakan bedengan dengan
saluran irigasi yang berada disamping bedengan. Sejarah lahan tanaman
tomat sebelumnya ditanami tanaman ubi jalar, yang kemudian ubi jalar
tumbuh menjadi gulma.
Dari analisa laboratorium,lahan Jatimulyo memiliki tekstur liat berdebu
dan memiliki porositas 58,66% dengan berat jenis 2,5 g cm -3 dan berat isi
1,03 g cm-3. Hasil juga menunjukan kondisi lahan tanaman tomat memiliki
pH H2O 6,1 dan pH KCl 1N 5,4 sampai 5,5 dengan C/N ratio 10-11%.
Menurut Wiryanta (2002), Nilai pH tanaman tomat dibutuhkan antara 5,5-7.
Hal ini menunjukkan bahwa kondisi lahan sesuai dengan yang tanaman
tomat perlukan. Namun nilai C/N ratio pada lahan tersebut dapat
menyebabkan proses dekomposisi bahan organik menjadi lebih lambat.
Dengan ini perlu ditambahkan unsur N yang mudah terlarut dan bersifat
cepat

terdekomposisi seperti menggunakan

pupuk urea.

Dengan

mengaplikasikan pupuk urea dengan tepat, tanaman akan tumbuh dengan


baik. Seperti pendapat Hardjowigeno dalam Mulyati (2012), bahwa urea
merupakan pupuk N yang mudah larut dan tersedia bagi tanaman,
dibandingkan dengan pupuk kandang ayam yang harus mengalami proses
perubahan bentuk dari N-organik menjadi N-anorganik melalui proses
aminasi, amonifikasi dan nitrifikasi terlebih dahulu.

26

4.2 Tinggi Tanaman


Berikut merupakan tabel hasil rata-rata pengamatan tinggi tanaman
tomat yang diamati pada umur 2 sampai 8 minggu setelah tanam (MST),
dengan empat perlakuan berbeda yaitu non MPHP (mulsa hitam plastik
perak)+pewiwilan, non MPHP+pewiwilan, MPHP+non pewiwilan, dan
MPHP+pewiwilan yang disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Rerata Tinggi Tanaman Tomat
No.

Perlakuan

Kelas

Tinggi Tanaman (cm) Pengamatan Ke... MST (Minggu Setelah Tanam)


2
3
4
5
6
7
8

Non MPHP+ Non


Pewiwilan

9,8

12,4

17,8

32,6

45,6

48,4

51

Non
MPHP+Pewiwilan

AD

12,5

21,7

35,2

51,2

53,8

56,8

57

MPHP+Non
Pewiwilan

8,1

9,8

14,8

22

33,3

44

58,3

MPHP+Pewiwilan

10,2

15,9

20,5

28,2

40,2

45,2

53,6

Berdasarkan data pengamatan yang didapat dari empat perlakuan


berbeda, dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan tinggi tanaman tomat
selalu mengalami pertambahan tinggi dari 2 MST hingga 8 MST dengan
mengalami pertambahan tinggi yang beragam. Dapat dilihat bahwa pada
perlakuan non MPHP dan non pewiwilan pertambahan tinggi tanaman
tomat pada 2 MST hingga 3 MST mengalamai peningkatan sebesar 26%,
pertambahan tinggi tanaman tomat pada 3 MST hingga 4 MST mengalami
peningkatan sebesar 43%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 4 MST
ke 5 MST mengalami peningkatan sebesar 83%, pertambahan tinggi
tanaman tomat pada 5 MST hingga 6 MST mengalami peningkatan sebesar
39%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 6 MST hingga 7 MST
mengalami peningkatan sebesar 6%, dan pertambahan tinggi tanaman
tomat pada 7 MST hingga 8 MST mengalami peningkatan sebesar 5%.
Pada perlakuan non MPHP dan pewiwilan, pertambahan tinggi
tanaman tomat pada 2 MST hingga 3 MST mengalamai peningkatan
sebesar 73%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 3 MST hingga 4
MST mengalami peningkatan sebesar 62%, pertambahan tinggi tanaman
tomat pada 4 MST hingga 5 MST mengalami peningkatan sebesar 45%,

27

pertambahan tinggi tanaman tomat pada 5 MST hingga 6 MST mengalami


peningkatan sebesar 5%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 6 MST
hingga 7 MST mengalami peningkatan sebesar 5%, dan pertambahan
tinggi tanaman tomat pada 7 MST hingga 8 MST mengalami peningkatan
sebesar 0,3%.
Pada perlakuan MPHP dan non pewiwilan, pertambahan tinggi
tanaman tomat pada 2 MST hingga 3 MST mengalamai peningkatan
sebesar 20%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 3 MST hingga 4
MST mengalami peningkatan sebesar 51%, pertambahan tinggi tanaman
tomat pada 4 MST ke 5 MST mengalami peningkatan sebesar 45%,
pertambahan tinggi tanaman tomat pada 5 MST hingga 6 MST mengalami
peningkatan sebesar 51%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 6 MST
hingga 7 MST mengalami peningkatan sebesar 32%, dan pertambahan
tinggi tanaman tomat pada 7 MST hingga 8 MST mengalami peningkatan
sebesar 32%.
Pada perlakuan non MPHP dan pewiwilan, pertambahan tinggi
tanaman tomat pada 2 MST hingga 3 MST mengalamai peningkatan
sebesar 55%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 3 MST hingga 4
MST mengalami peningkatan sebesar 28%, pertambahan tinggi tanaman
tomat pada 4 MST ke 5 MST mengalami peningkatan sebesar 37%,
pertambahan tinggi tanaman tomat pada 5 MST hingga 6 MST mengalami
peningkatan sebesar 42%, pertambahan tinggi tanaman tomat pada 6 MST
hingga 7 MST mengalami peningkatan sebesar 12%, dan pertambahan
tinggi tanaman tomat pada 7 MST hingga 8 MST mengalami peningkatan
sebesar 18%.
Berdasarkan

data

diatas

dapat

diketahui

bahwa

rata-rata

pertambahan tinggi tanaman tomat pada keempat perlakuan berbeda


selalu mengalami peningkatan setiap minggunya. Rerata pertambahan
tinggi tanaman berkaitan dengan fase pertumbuhan vegetatif tanaman.
Pertumbuhan vegetatif adalah proses penting dalam siklus hidup setiap
jenis tumbuhan. Pertumbuhan vegetatif adalah pertambahan volume,
jumlah, bentuk dan ukuran organ-organ vegetatif seperti daun, batang dan

28

akar yang dimulai dari terbentuknya daun pada proses perkecambahan


hingga awal terbentuknya organ generatif. Fase pertumbuhan ini ditentukan
oleh faktor genetik dan lingkungan, tempat tumbuh tanaman (Humphries
dan Wheeler, 1963; Gardner, et. al., 1985; Solikin, 2014). Salah satu faktor
lingkungan yang berpengaruh penting dalam fase pertumbuhan vegetatif
tanaman adalah cahaya dan ketersediaan unsur hara. Pada keempat
tanaman dengan perlakuan berbeda rerata pertumbuhan tinggi tanaman
selalu mengalami peningkatan disetiap minggunya. Hal ini menunjukan
pada keempat tanaman memiliki kecukupan unsur hara sebagai bahan
untuk pertumbuhan vegetatif tanaman. Sesuai dengan pernyataan Dartius
(1990), bahwa ketersediaan unsur-unsur yang dibutuhkan tanaman yang
berada dalam keadaan cukup, maka hasil metabolismenya akan
membentuk

protein,

enzim,

hormon

dan

karbohidrat,

sehingga

pembesaran, perpanjangan dan pembelahan sel akan berlangsung dengan


cepat (Hayati, et al., 2010).
Dalam memenuhi kebutuhan unsur hara tanaman tomat, dilakukan
pemberian pupuk. Menurut Harjadi (1984), pemberian pupuk pada saat
tanaman memerlukannya akan memberikan tanggapan tanaman yang baik
dan menghindari kerusakan disamping itu pemupukan akan efektif dan
ekonomis. Tanaman yang mendapat suplai unsur hara yang cukup selama
masa pertumbuhannya berdampak pada hasil dari fase pertumbuhan
vegetatif dan generatif tanaman (Hayati, et al., 2010).
70

Tinggi Tanaman

60
50

Non MPHP +
Non Pewiwilan

40

Non MPHP +
Pewiwilan

30
20

MPHP + Non
Pewiwilan

10

MPHP +
Pewiwilan

2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst


Umur Tanaman

Gambar 10. Grafik Perbandingan Rerata Tinggi Tanaman Tomat

29

Pada grafik terlihat bahwa kenaikan rerata tinggi tanaman tomat


pada perlakuan non MPHP dengan pewiwilan mengalami peningkatan
tinggi tanaman yang cukup besar pada 2 MST hingga 6 MST dengan rerata
pertambahan tinggi berkisar 26% hingga 83% sedangkan pada 6 MST
hingga 8 MST kenaikan rerata tinggi tanaman hanya berkisar pada 5%
hingga 6%. Pada perlakuan non MPHP dengan pewiwilan mengalami
kenaikan cukup tinggi pada 2 MST hingga 4 MST dengan pertambahan
rerata tinggi tanaman berkisar pada 45% hingga 73%, namun pada 4 MST
hingga 8 MST kenaikan rerata tinggi tanaman hanya berkisar pada 0,3%
hingga 5%.
Pada perlakuan MPHP dengan non pewiwilan, pertambahan rerata
tinggi tanaman mengalami kenaikan yang tidak jauh berbeda pada 2 MST
hingga 8 MST yaitu berkisar pada 20% hingga 51%. Pada perlakuan MPHP
dengan pewiwilan, pertambahan rerata tinggi tanaman mengalami
kenaikan yang cukup besar pada 2 MST hingga 6 MST yaitu berkisar pada
28% hingga 55%, sedangkan pada 6 MST hingga 8 MST kenaikan rerata
tinggi tanaman hanya berkisar pada 12% hingga 18%. Berdasarkan data
diketahui bahwa penggunaan MPHP pada pengamatan berpengaruh pada
kenaikan rerata tinggi tanaman tiap minggunya, pada perlakuan MPHP
dengan atau tanpa pewiwilan selisih pertambahan tinggi tanaman cukup
besar dibandingkan dengan perlakuan non MPHP dengan pewiwilan atau
tanpa pewiwilan.
Hal tersebut berkaitan dengan fungsi pemberian mulsa. Penggunaan
mulsa plastik dapat menurunkan kehilangan nitrat, sulfat, Mg, dan K
(Asworth dan Harison, 1983). Menurut Hanada (1991), mulsa plastik dapat
mencegah pelindihan unsur hara, karena mulsa plastik dapat sebagai barier
fisik terhadap curah hujan. Jumlah unsur hara (N, P, K, Ca, dan Mg)
diabrospsi oleh tanaman dari dalam tanah 1,4 sampai 1,5 kali lebih tinggi
pada perlakuan mulsa plastik dibandingkan tanpa mulsa (Haryono, 2009).
Penggunaan MPHP dapat mencegah kehilangan pupuk akibar air hujan, air
siraman, dan mengurangi penguapan. Sedangkan pada tanaman tomat
dengan perlakuan non MPHP dapat meningkatkan kemungkinan pupuk

30

yang diberikan tercuci oleh air hujan maupun siraman serta mengalami
penguapan akibat panas matahari, terutama untuk pupuk yang daya
higroskopisnya tinggi seperti urea. Kandungan nitrogen dalam urea sangat
berpengaruh pada fase pertumbuhan vegetatif tanaman.
Selain itu, perlakuan pewiwilan juga dapat mempengaruhi rerata
pertamabahan tinggi tanaman. Pemangkasan merupakan penghilangan
bagian tanaman (cabang, pucuk atau daun) untuk menghindari arah
pertumbuhan yang tidak diinginkan. Pemangkasan dilakukan untuk
mengurangi

pertumbuhan

vegetatif

(cabang)

dan

meningkatnya

pertumbuhan generatif (buah) dan memperbanyak penerimaan cahaya


matahari merupakan salah satu cara untuk memperbesar buah dan
meningkatkan bobot perbuah, pemangkasan dilakukan untuk mengurangi
pertumbuhan vegetatif (daun/cabang) dan meningkatkan pertumbuhan
generatif

(buah),

memperbanyak

penerimaan

cahaya

matahari,

menurunkan tingkat kelembaban di sekitar tanaman, menghambat


pertumbuhan yang tinggi agar mudah pemeliharaannya dan untuk
menaikkan kualitas buah (Cahyono, 1996; Esrita,2012). Pada perawatan
dan pengamatan praktikum, pewiwilan tanaman tomat dilakukan pada 4
MST hingga 8 MST sehingga pada perlakuan pewiwilan baik dengan MPHP
maupun non MPHP selisih rerata pertambahan tinggi tanaman pada 4 MST
hingga 8 MST hanya bertambah sedikit di bandingkan selisih pertambahan
tinggi tanaman pada 2 MST hingga 4 MST.
4.3 Jumlah Daun Tanaman
Berdasarkan pengamatan praktikum teknologi produksi tanaman
yang dilakukan selama 9 minggu terjadi respon pertumbuhan tanaman yang
berbeda pada keempat perlakuan pada tanaman tomat yaitu dengan
perlakuan non MPHP+non pewiwilan, non MPHP+pewiwilan, MPHP+non
pewiwilan, dan MPHP+pewiwilan. Berikut adalah tabel data hasil
pengamatan jumlah daun tanaman tomat pada usia 2 MST hingga 8 MST
dengan empat perlakuan berbeda.

31

Tabel 4. Rerata Jumlah Daun Tanaman Tomat


Jumlah Daun Pengamatan Ke-... MST
(Minggu Setelah Tanam)
2
3
4
5
6
7
8

No.

Perlakuan

Kelas

Non MPHP+ Non


Pewiwilan

3,4

7,2

9,8

17,6

24,2

31,2

42,6

Non
MPHP+Pewiwilan

AD

4,2

11

24,8

92

110,2

44,6

49

MPHP+Non
Pewiwilan

3,6

7,3

11

22

46

67

MPHP+Pewiwilan

3,4

6,6

10,2

12

22,8

31,8

37,4

Dari data tabel diatas terlihat rata-rata jumlah daun tanaman tomat
yang berbeda pada setiap perlakuannya dan mengalami peningkatan
bahkan penurunan pada setiap minggunya. Pada perlakuan non
MPHP+non pewiwilan rata-rata jumlah daun pada 2 MST hingga 3 MST
terjadi peningkatan jumlah daun sebesar 111,7%, 3 MST hingga 4 MST
peningkatan terjadi sebesar 36,1%, 4 MST hingga 5 MST mengalami
peningkatan sebesar 79,5%, 5 MST hingga 6 MST peningkatan mengalami
kenaikan sebesar 37,5%, 6 MST hingga 7 MST mengalami peningkatan
sebesar 28,92%, dan di minggu terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST
hingga 8 MST mengalami kenaikan sebesar 36,5%.
Pada perlakuan non MPHP+pewiwilan rata-rata jumlah daun
tanaman tomat terjadi peningkatan dari 2 MST hingga 3 MST sebesar
161,9%, 3 MST hingga 4 MST peningkatan terjadi sebesar 125,4%, 4 MST
hingga 5 MST mengalami peningkatan sebesar 270,9%, 5 MST hingga 6
MST peningkatan mengalami kenaikan sebesar 16,5%,sedangkan pada 6
MST hingga 7 MST mengalami penurunan sebesar 59,5%, dan di minggu
terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST hingga 8 MST rata-rata jumlah daun
tanaman tomat mengalami kenaikan sebesar 9,8%.
Pada perlakuan MPHP+non pewiwilan rata-rata jumlah daun
tanaman tomat terjadi peningkatan dari 2 MST hingga 3 MST sebesar 38%,
3 MST hinggga 4 MST peningkatan terjadi sebesar 46%, 4 MST hingga 5
MST mengalami peningkatan sebesar 50,6%, 5 MST hingga 6 MST
peningkatan mengalami kenaikan sebesar 100%, 6 MST hingga 7 MST

32

mengalami peningkatan sebesar 109%, dan di minggu terakhir pengamatan


yaitu pada 7 MST hingga 8 MST mengalami kenaikan sebesar 31,3%.
Pada perlakuan MPHP+pewiwilan rata-rata jumlah daun tanaman
tomat terjadi peningkatan dari 2 MST hingga 3 MST sebesar 94,1%, 3 MST
hingga 4 MST peningkatan terjadi sebesar 54,4%, 4 MST hingga 5 MST
mengalami peningkatan sebesar 17,6%, 5 MST hingga 6 MST peningkatan
rata-rata jumlah daun tanaman mengalami kenaikan sebesar 90%, 6 MST
hingga 7 MST mengalami peningkatan sebesar 39,4%, dan pada 7 MST
hingga 8 MST mengalami kenaikan sebesar 17,6%. Berikut adalah grafik
perbandingan rata-rata jumlah daun tanaman tomat dengan empat

Jumlah Daun Tanaman

perlakuan berbeda.
120
100

Non MPHP+Non
Pewiwilan

80

Non
MPHP+Pewiwilan

60
40

MPHP+Non
Pewiwilan

20

MPHP+Pewiwilan

2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst8 mst


Umur Tanaman

Gambar 11. Grafik Perbandingan Rerata Jumlah Daun Tanaman Tomat

Dari data grafik diatas dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah daun
tanaman tomat pada masing-masing perlakuan mengalami kenaikan.
Kecuali pada perlakuan non MPHP dan pewiwilan terjadi penurunan grafik
pada enam mst ke tujuh mst. Kenaikan tertinggi dapat dilihat pada
perlakuan non MPHP dan pewiwilan,kemudian diikuti dengan MPHP+non
pewiwilan dan

perlakuan non MPHP+non pewiwilan sedangkan grafik

terendah terdapat pada perlakuan MPHP+pewiwilan.


Hasil pengamatan jumlah daun tanaman tomat menunjukkan bahwa
pada perlakuan non MPHP jumlah daunnya lebih banyak pada saat 2 MST
hingga 4 MST dan setelah dilakukan pewiwilan jumlah daun menurun. Pada
perlakuan MPHP kenaikan daun terus meningkat setiap minggunya dan
pada minggu terakhir pengamat terlihat bahwa jumlah daun perlakuan

33

dengan MPHP rerata jumlah daun paling tinggi dari perlakuan yang lainnya.
Hal tersebut menyatakan bahwa jumlah daun pada perlakuan MPHP lebih
baik dari perlakuan tanpa mulsa. Penelitian Brewster (1994) dalam Sumarni
dan Rosliani (2010), menyatakan peningkatan suhu di sekitar tanaman
akibat pemberian naungan plastik mengakibatkan laju proses fotosintesis
dan laju pertumbuhan tanaman meningkat sehingga terjadi peningkatan
jumlah daun. Jumlah daun yang semakin banyak akan menyebabkan
intensitas sinar matahari dan jumlah CO2 yang terserap juga semakin
banyak sehingga akan meningkatkan laju fotosintesis. Peningkatan laju
fotosintesis suatu tanaman akan menghasilkan fotosintat yang lebih baik.
Mudarisna (2004), menyatakan bahwa pertumbuhan organ vegetatif
termasuk daun membutukan air dan CO2 sebagai bahan dasar proses
fotosintesis. Pernyataan tersebut dapat diketahui bahwa perlakuan dengan
MPHP berpengaruh pada pertumbuhan jumlah daun tanaman tomat.
Dan pada perlakuan pewiwilan jumlah daun yang dihasilkan lebih
rendah daripada pada perlakuan non pewiwilan, hal ini disebabkan bahwa
pada pewiwilan dilakukan pemangkasan tunas air dan cabang yang tidak
diperlukan sehingga terjadi penurunan pada jumlah daunnya. Menurut
Cahyono (1996), pemangkasan merupakan penghilangan bagian tanaman
(cabang, pucuk atau daun) untuk menghindari arah pertumbuhan yang tidak
diinginkan. Pemangkasan dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan
vegetatif (cabang) dan meningkatnya pertumbuhan generatif (buah) dan
memperbanyak penerimaan cahaya matahari merupakan salah satu cara
untuk memperbesar buah dan meningkatkan bobot perbuah, pemangkasan
dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan vegetatif (daun/cabang) dan
meningkatkan pertumbuhan generatif (buah), memperbanyak penerimaan
cahaya matahari, menurunkan tingkat kelembaban di sekitar tanaman
menghambat pertumbuhan yang tinggi agar mudah pemeliharaannya dan
untuk menaikkan kualitas buah. Hasil penelitian Hestutiasih dalam Fabiola
(2004), juga memperlihatkan bahwa pemangkasan dengan meninggalkan
batang utama dapat mempertinggi persentase terbentuknya buah, bobot
buah total per tanaman dan bobot buah pada tanaman tomat.

34

4.4 Jumlah Buah Tanaman


Berikut adalah tabel data hasil pengamatan jumlah daun tanaman
tomat pada usia 2 sampai 8 minggu setelah tanam (MST) dengan empat
perlakuan berbeda.
Tabel 5. Rerata Jumlah Buah Tanaman Tomat

No.

Perlakuan

Jumlah Buah Pengamatan Ke-... MST


(Minggu Setelah Tanam)

Kelas
2

Non MPHP +
Non Pewiwilan

2,2

9,2

9,2

Non MPHP +
Pewiwilan

AD

1,4

9,6

20,6

21,4

MPHP + Non
Pewiwilan

2,5

5,3

12,6

MPHP +
Pewiwilan

0,6

5,8

18,2

30,4

Dari data hasil pengamatan jumlah buah tanaman tomat diatas dapat
diketahui bahwa pada perlakuan non MPHP+non pewiwilan terjadi
peningkatan dari 6 MST ke 7 MST mengalami peningkatan sebesar
318,18%, dan di minggu terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST ke 8 MST
presentase peningkatan jumlah buah 0% atau jumlah tetap. Pada perlakuan
non MPHP+pewiwilan terjadi peningkatan dari 5 MST ke 6 MST
peningkatan mengalami kenaikan sebesar 585,71%, sedangkan pada 6
MST ke 7 MST mengalami peningkatan sebesar 114,58%, dan di minggu
terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST ke 8 MST jumlah buah tetap atau
peningkatan 3,88%. Pada perlakuan MPHP+non pewiwilan terjadi
peningkatan pada 6 MST ke 7 MST mengalami peningkatan sebesar 112%
dan di minggu terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST ke 8 MST mengalami
kenaikan yang cukup besar yaitu sebesar 137,73%. Dan data hasil
pengamatan jumlah daun tanaman tomat pada perlakuan non MPHP+non
pewiwilan terjadi peningkatan dari 5 MST ke 6 MST peningkatan mengalami
kenaikan sebesar 866,67%, pada 6 MST ke 7 MST mengalami peningkatan
sebesar 213,79%, dan di minggu terakhir pengamatan yaitu pada 7 MST ke
8 MST mengalami kenaikan yang cukup jauh yaitu sebesar 67%.

Jumlah Buah Tanaman

35

35
30

Non MPHP+Non
Pewiwilan

25
20

Non
MPHP+Pewiwilan

15
10

MPHP+Non
Pewiwilan

MPHP+Pewiwilan

2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst


Umur Tanaman

Gambar 12. Grafik Perbandingan Rerata Jumlah Buah Tanaman Tomat

Dari data tabel memperoleh grafik yang menunjukan bahwa pada


perlakuan MPHP+pewiwilan memiliki peningkatan yang cepat pada
pengamatan dari 5mst sampai 8 mst. Dengan hasil tertinggi dari perlakuan
lain. Dengan perlakuan MPHP+pewiwilan tanaman mempunyai unsur hara
yang cukup pada tanaman dan pada cabang yang tumbuh merupakan
cabang utama dan skunder. Unsur hara tanaman dapat terjaga dalam
penggunaan mulsa plastik hitam perak. Selain unsur hara juga suhu dan
kelembaban dapat terpelihara. Hal ini karena mulsa plastik hitam perak
dapat meningkatkan suhu tanah dan memelihara kelembaban tanah.
Dengan meningkatnya suhu sekitar akar tanaman, maka serapan hara dan
aktivitas fotosintesis meningkat (Gossein dan Trudel,1986).
Selain itu, pewiwilan dilakukan untuk menghilangkan bagian
tanaman (cabang, pucuk atau daun) yang bertujuan untukn menghindari
arah pertumbuhan yang tidak diinginkan. Pemangkasan dilakukan untuk
mengurangi pertumbuhan vegetatif (daun/cabang) dan meningkatkan
pertumbuhan generatif (buah), memperbanyak penerimaan cahaya
matahari,

menurunkan

tingkat

kelembaban

di

sekitar

tanaman,

menghambat pertumbuhan yang tinggi agar mudah pemeliharaannya dan


untuk menaikkan kualitas buah (Cahyono, 1996; Esrita,2012). Dan hasil
penelitian Thompson dan Kelly (1957), juga membuktikan bahwa perlakuan
pemangkasan pada tomat memiliki keuntungan yaitu buah lebih cepat
matang, meningkatkan panen awal dan total panen, mengurangi hama dan
penyakit, buah lebih besar.

36

4.5 Intensitas Serangan Penyakit


Berikut merupakan tabel hasil rata-rata pengamatan intensitas
serangan penyakit tanaman tomat yang diamati pada umur 2 sampai 8
minggu setelah tanam (MST), dengan empat perlakuan berbeda yaitu non
MPHP (mulsa hitam pelastik perak)+pewiwilan, non MPHP+pewiwilan,
MPHP+non pewiwilan, dan MPHP+ pewiwilan yang disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Rerata Intensitas Serangan Penyakit Tanaman Tomat
Rata-rata Intensitas Serangan Penyakit
(%) Pengamatan Ke-... MST (Minggu
Setelah Tanam)
2
3
4
5
6
7
8

No.

Perlakuan

Kelas

Non MPHP+ Non


Pewiwilan

3,6

1,8

AD

0,76

3,6

4,6

Non
MPHP+Pewiwilan

MPHP+Non
Pewiwilan

MPHP+Pewiwilan

2,6

1,1

Data rata-rata pada tabel diatas merupakan hasil pengamatan


intensitas penyakit tanaman tomat dengan menggunakan metode skoring
yang digunakan untuk menghitung penyakit yang menyerang tidak pada
seluruh tanaman (sebagian) dengan skala serangan 04 dimana pada
skala 0 menunjukkan tidak ada daun yang terserang dan skala 4
menunjukkan luas daun yang terserang mencapai 76100%. Setelah
menentukan skala serangan, intensitas serangan dihitung dengan
menggunakan rumus yang ada.
Didapatkan bahwa penyakit menyerang hanya pada tiga perlakuan
yaitu pada perlakuan non MPHP + non pewiwilan, non MPHP + pewiwilan,
dan MPHP + pewiwilan dengan intensitas serangan dan jenis penyakit yang
beragam yaitu penyakit bercak kering oleh cendawan Alternaria solani dan
layu Fusarium. Sedangkan pada perlakuan MPHP+non pewiwilan tanaman
tidak terserang penyakit.
Pada perlakuan non MPHP dengan non pewiwilan intensitas
serangan penyakit mulai terlihat pada 4 MST hingga 8 MST. Intensitas
serangan penyakit mengalami penurunan dan peningkatan. Pada 4 MST

37

rerata intensitas serangan yang terlihat sebesar 3,6% kemudian pada 5


MST rata-rata intensitas serangan penyakit mengalami penurunan menjadi
3% dan pada 6 MST rata-rata intensitas penyakit mengalami penurunan
menjadi 1,8%. Penurunan rata-rata intensitas serangan dikarenakan
bertambahnya jumlah daun dan pertambahan intensitas penyakit hanya
sedikit. Pada 7 MST rata-rata intensitas serangan penyakit meningkat
menjadi 3%.
Pada perlakuan non MPHP dengan pewiwilan intensitas serangan
penyakit mulai terlihat pada 6 MST hingga 8 MST. Intensitas serangan
penyakit terus meningkat, pada 5 MST hingga 6 MST gejala timbulnya
penyakit pada daun pertama terlihat dengan rata-rata intensitas serangan
penyakit sebesar 0,76%. Pada 7 MST intensitas serangan penyakit menjadi
3,6% kenaikan intensitas serangan sebesar 363% dari 6 MST dan pada 8
MST rata-rata intensitas serangan penyakit juga meningkat menjadi 4,6%
dengan kenaikan intensitas serangan sebesar 27% dari 7 MST.
Pada perlakuan MPHP dengan pewiwilan intensitas serangan
penyakit mulai terlihat pada 6 MST hingga 8 MST. Rata-rata intensitas
serangan penyakit tertinggi terjadi pada 6 MST yaitu sebesar 2,6%,
kemudian pada 7 MST rata-rata intensitas serangan penyakit mengalami
kenaikan menjadi 2,5% dan pada 8 MST rata-rata intensitas serangan
penyakit turun menjadi 1,1%. Menurunnya rata-rata intensitas penyakit
terjadi karena pada perlakuan ini dilakukan pemangkasan pada daun yang
terserang penyakit.
Dari hasil pengamatan yang telah dilakukan oleh Mediantie (1985),
sebelumnya didapatkan bahwa beberapa penyakit penting yang ditemui
pada budidaya tanaman tomat adalah penyakit bercak kering Alternaria
(Alternaria solani Ell. And G. Martin), penyakit layu bakteri (Pseudomonas
solanacearum E. F. Sm.) dan penyakit hawar daun (Phytophthora infestans
Mont. Dby.). Penyakit-penyakit tersebut banyak dijumpai di pertanaman
dengan intensitas serangan cukup tinggi. Penyakit lainnya tetapi jarang
dijumpai dan luas serangannya rendah adalah penyakit layu Fusarium dan

38

Verticillium, penyakit bintil akar (Meloidogyne sp.), penyakit kapang daun


(Cladosporium sp.) dan penyakit keriting (virus).
5
4,5

Intensitas Penyakit

Non MPHP + Non


Pewiwilan

3,5
3

Non MPHP + Pewiwilan

2,5
MPHP + Non Pewiwilan

2
1,5

MPHP + Pewiwilan

1
0,5
0
2 mst 3 mst 4 mst 5 mst 6 mst 7 mst 8 mst

Umur Tanaman

Gambar 13. Grafik Perbandingan Rerata Intensitas Penyakit

Dari grafik terlihat bahwa intensitas penyakit mulai terlihat pada 4


MST dan 5 MST dimana tanaman tomat mulai memasuki fase generatifnya
ditandai dengan munculnya pertumbuhan bunga dan buah. Semangun
(1991), menyatakan bahwa tanaman tomat akan menjadi lebih rentan pada
waktu memasuki fase generatif yaitu saat pembentukan bunga dan buah.
Serangan A. Solani mulai meningkat pada masa pembungaan dan
mencapai maksimum pada tanaman yang sudah tua (Martin & Thurston
1989; Rotem, 1998). Sejalan dengan kerentanan yang meningkat sesuai
dengan umur tanaman, kerentanan juga meningkat sesuai dengan umur
daun (Sumaraw, 1999). Hal ini dapat dilihat pada daun tua bercak yang
ditemukan cukup banyak dan ukuran besar yang bergabung membentuk
daerah nekrotik yang luas, sedangkan pada daun muda bercak sedikit dan
kuran kecil.
Cendawan A. solani menyerang daun, batang dan buah. Gejala pada
daun umumnya terjadi pada daun tua berupa bercak-bercak kecil,
bentuknya tidak beraturan, berwarna coklat gelap dan bentuk konsentris,
bercak tersebut dapat meluas hingga diameternya 0,63-1,25 centimeter.
Tepi bercak berwarna kuning, bercak dapat meluas ke seluruh daun hingga
daun menjadi kuning dan gugur sebelum waktunya. Pada buah, bercak

39

berbentuk konsentris seperti pada daun, berwarna hitam dan terjadi busuk
kering (Mediantie, 1985). Dapat terlihat pada gambar dokumentasi
pengamatan penyakit yang ditemukan di lapang menunjukan gejala dari
serangan A. solani.

Gambar 14. Gejala penyakit pada daun dan buah


oleh cendawan A. solani

Gambar 15. Gejala serangan penyakit oleh cendawan A. solani


(Setiawati, et al., 2001)

Intensitas serangan penyakit tanaman juga tidak lepas dari konsep


segitiga penyakit (disease triangle). Seperti yang dikemukakan oleh
Blanchard dan Tattar (1981), ketiga komponen penyakit tersebut adalah
inang, patogen dan lingkungan. Interaksi antar komponen berpengaruh
terhadap berkembangnya serta intensitas penyakit yang menyerang
tanaman. Pada faktor lingkungan apakah lebih mendukung patogenesis
atau sebaliknya mendukung keteguhan pertumbuhan inang. Faktor
lingkungan yang dapat memberikan pengaruh terhadap timbulnya suatu
penyakit dapat berupa suhu udara, intensitas dan lama curah hujan,
intensitas dan lama embun, suhu tanah, kandungan air tanah, kesuburan
tanah, kandungan bahan organik, angin, pencemaran air (Djafarudin,
2001). Faktor lingkungan ini memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan

40

tanaman inang dan mnenciptakan kondisi yang sesuai bagi kehidupan jenis
patogen tertentu.
Penanaman dan pengamatan dilakukan pada bulan Oktober yang
merupakan waktu datangnya musim hujan, selain memberikan persediaan
air yang cukup bagi tanaman ternyata juga dapat memberikan dampak
negatif berupa lingkungan udara yang lembab. Kelembaban yang tinggi ini
sangat kondusif bagi perkembangan tumbuhnya jamur maupun bakteri.
Penggunaan mulsa seharunya dapat menekan intensitas serangan
penyakit. Pemakaian mulsa plastik hitam menyebabkan suhu tanah
meningkat 30C - 50C (Bhella, 1988). Plastik hitam dapat memodifikasi suhu
tanah dengan mengabsorpsi radiasi, hal ini yang menyebabkan
peningkatan suhu pada tanah (Haryono, 2009). Sehingga dapat diketahui
bahwa penggunaan mulsa dapat menjaga kelembaban tanah agar tetap
stabil sehingga pada musim hujan tanah tidak terlalu lembab dan becek
sehingga penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri pun dapat
ditekan. Oleh karena itu rata-rata intensitas serangan penyakit pada
perlakuan menggunakan MPHP lebih kecil dan bahkan tidak terserang
penyakit dibandingkan dengan perlakuan non MPHP.
4.6 Keragaman Arthropoda
Arthropoda yang ditemukan pada tanaman tomat beragam dari
berbagai perlakuan,ada yang berperan sebagai hama maupun berperan
sebagai musuh alami. Namun pada perlakuan mulsa maupun pewiwilan
hama atau musuh alami yang ditemukan sejenis,tidak ada hama yang
berbeda antara berbagai perlakuan pada tanaman tomat. Karena hama
yang ditemukan di lahan merupakan hama-hama penting pada tanaman
tomat. Berikut merupakan tabel hasil pengamatan keragaman arthropoda
tanaman tomat yang diamati pada praktikum teknologi produksi tanaman
yang dilakukan selama 9 minggu pada umur 2 sampai 8 minggu setelah
tanam (MST), dengan empat perlakuan berbeda yaitu non MPHP (mulsa
hitam plastik perak)+pewiwilan, non MPHP+pewiwilan, MPHP+non
pewiwilan, dan MPHP+pewiwilan yang disajikan pada Tabel 7.

41

Tabel 7. Keragaman Arthropoda pada Tanaman Tomat


No

Spesies

Foto
Peran

Lokal
1.

Ulat Buah
Tomat

Ilmiah

Dokumentasi

Helicoverpa
armigera Hubn.

Hama

Gambar 16.(a)
Helicoverpa
armigera
2

Kumbang
Kubah Spot
M

Ulat Grayak

(b) Helicoverpa
armigera
(Setiawati,2001)

Menochillus
sexmaculatus

Musuh
Alami
Ulat
Buah

Gambar 17.(a)
Menochillus
sexmaculatus

Literatur

(b) Menochillus
sexmaculatus
(Simanjuntak,
2000)

Spodoptera
litura

Hama

Gambar 18.(a)
Spodoptera
litura

(b) Spodoptera
litura
(Setiawati,2001)

42

Lalat
Pengorok
Daun

Liriomyz
huidobrensis
Blanchard

Hama

(b) Liriomyz
huidobrensis
(Setiawati,2001)

Gambar 19.(a)
Liriomyz
huidobrensis

Dari hasil pengamatan arthropoda ditemukan berbagai macam


arthropoda pada tanaman tomat dengan berbagai perlakuan. Arthropoda
yang ditemukan pada lahan tanaman tomat yang berperan sebagai hama
yaitu ulat buah tomat (Helicoverpa armigera), ulat grayak (Spodoptora
litura), dan serangga yang berperan sebagai musuh alami yaitu kumbang
kubah spot m (Menochillus sexmaculatus) dan lalat pengorok daun
(Liriomyz Huidobrensis). Menurut Lukefahr (1981), pada musim kemarau,
perkembangan populasi larva sangat cepat dan berbeda dengan keadaan
pada musim penghujan. Hal ini memberikan petunjuk bahwa perbedaan
musim atau perbedaan tingkat curah hujan berpengaruh terhadap
perkembangan populasi larva Helicoperva armigera dilahan sehingga hama
ulat buah yang ditemukan dilahan jumlahnya tidak terlalu banyak
dikarenakan saat ini adalah musim penghujan. Gejala kerusakan yang
disebabkan oleh ulat buah tomat larva yang bersifat polifag. H. armigera
merupakan hama penggerek buah tomat yang menyerang buah tomat
muda dan buah yang menjelang masak. Ulat ini melubangi kulit buah dan
masuk ke dalam buah (Endah dan Novizan 2002).
Arthropoda yang ditemukan lagi dilahan yaitu ulat grayak
(Spodoptora litura) yang berperan sebagai hama,jumlah populasi yang
ditemukan dilahan hanya satu saja hal ini mungkin disebabkan tidak
cocoknya lingkungan sekitar untuk hama berkembang biak. Menurut

43

Soekarna (1985), serangan parah terjadi pada musim kemarau, pada saat
kelembaban udara ratarata 70% dan suhu udara18-23%. Pada saat cuaca
demikian, ngengat akan terangsang untuk berkembang biak serta
persentase penetasan telur sangat tinggi, sehingga populasinya menjadi
sangat tinggi dan tingkat serangannya jauh melampaui ambang ekonomi.
Kerusakan daun yang diakibatkan larva yang masih kecil merusak daun
dengan meninggalkan sisa-sisa epidermis bagian atas, transparan dan
tinggal tulang-tulang daun saja.
Hama yang ditemukan dilahan yaitu lalat pengorok daun (Liriomyz
huidobrensis), umumnya hama pengorok daun bersifat polifag atau
menyerang berbagai jenis tanaman inang dan menyerang daun tanaman
tomat dengan gejala larva merusak tanaman dengan cara mengorok daun,
sedangkan serangga dewasa merusak tanaman dengan cara tusukan
ovipositor pada saat oviposisi dan dengan menusuk dan menghisap cairan
tanaman. Hal tersebut menganggu proses fotosintesis tanaman dan dapat
menimbulkan kematian atau gugur daun sebelum waktunya (Chandler et
al., 1985). Dan terdapat musuh alami yang ditemukan yaitu kumbang kubah
spot m (Menochillus sexmaculatus) yang merupakan musuh alami dari ulat
buah tomat (Helicoverpa armigera). Menurut Nurindah (2012), menyatakan
parasitoid dan predator lokal dapat dimanfaatkan untuk berperan dalam
pengendalian hama yang efektif, efisien, dan ramah lingkungan. Predator
yang dominan dalam pengendalian adalah laba-laba, kumbang kubah, dan
kepik predator. Sesuai pendapat diatas berarti jelas bahwa fungsi atau
peran kumbang kubah spot M adalah sebagai predator hama. Musuh alami
Menochillus sexmaculatus merupakan predator yang memakan telur dari
ulat buat (Helicoverpa armigera) (Simanjuntak, 2004).
4.3 Pembahasan Umum
Berdasarkan data rata-rata pengamatan yang didapatkan, diketahui
bahwa dari keempat perlakuan berbeda rerata pertumbuhan tinggi tanaman
yang paling baik untuk tomat adalah pada perlakuan dengan menggunakan
MPHP dengan non pewiwilan. Hal tersebut berkaitan dengan fungsi
pemberian mulsa. Menurut Hanada (1991), mulsa plastik dapat mencegah

44

pelindihan unsur hara, karena mulsa plastik dapat sebagai barier fisik
terhadap curah hujan. Jumlah unsur hara (N, P, K, Ca, dan Mg) diabrospsi
oleh tanaman dari dalam tanah 1,4 sampai 1,5 kali lebih tingi pada
perlakuan mulsa plastik dibandingkan tanpa mulsa (Haryono, 2009).
Penggunaan MPHP dapat mencegah kehilangan pupuk atau pencucian
hara akibar air hujan, air siraman, dan mengurangi penguapan sehingga
pertumbuhan tinggi tanaman akan maksimal. Selain itu, perlakuan
pewiwilan juga dapat mempengaruhi rerata pertambahan tinggi tanaman.
Pemangkasan merupakan penghilangan bagian tanaman (cabang, pucuk
atau daun) untuk menghindari arah pertumbuhan yang tidak di inginkan.
Pemangkasan
(cabang)

dan

dilakukan

untuk mengurangi

meningkatnya

pertumbuhan

pertumbuhan
generatif

vegetatif

(buah)

dan

menghambat pertumbuhan yang tinggi agar mudah pemeliharaannya dan


untuk menaikkan kualitas buah (Cahyono, 1996; Esrita,2012). Sehingga
perlakuan penggunaan MPHP dan non pewiwilan merupakan perlakuan
yang paling sesuai untuk mendapatkan tinggi tanaman tomat yang baik.
Pada pengamatan rerata jumlah daun, didapat bahwa pada
perlakuan penggunaan MPHP dengan non pewiwilan merupakan perlakuan
yang paling sesuai untuk mendapatkan rerata jumlah daun yang tinggi.
Cross dan Zuber (1973), menyatakan bahwa pertumbuhan tinggi tanaman
berkaitan dengan jumlah daun yang dihasilkan tanaman. Aji dan Susanto
(2013), melaporkan bahwa jumlah daun tanaman dipengaruhi juga oleh
jumlah cabang tanaman. Pertumbuhan tinggi batang utama biasanya terjadi
pada ruas 1 hingga 12 dengan jumlah daun mencapai 24. Pertumbuhan
tinggi berikutnya ditentukan oleh pertumbuhan daun, tunas, cabang dan
ranting yang muncul dari ketiak daun (Solikin, 2014). Penggunaan MPHP
dengan non pewiwilan baik untuk pertumbuhan tanaman pada fase
vegetatif. Penggunaan MPHP pada tanaman tomat dapat berpengaruh
pada pertumbuhan jumlah daun tanaman tomat.
Pertumbuhan generatif tanaman tomat (buah) dapat tumbuh baik
dengan menggunakan perlakuan pewiwilan, karena dengan menggunakan
perlakuan pewiwilan dapat meningkatkan serapan nutrisi tanaman ke

45

pertumbuhan generatif. Sesuai dengan pendapat Cahyono (1996) dan


Esrita (2012), pemangkasan meningkatkan pertumbuhan generatif (buah),
memperbanyak penerimaan

cahaya matahari, menurunkan tingkat

kelembaban di sekitar tanaman, menghambat pertumbuhan yang tinggi


agar mudah pemeliharaannya dan untuk menaikkan kualitas buah.
Keragaman arthropoda yang ditemukan di lahan tomat berbagai
macam yaitu ada yang berperan sebagai hama maupun musuh alami.
Dilahan tidak ditemukannya ledakan hama pada setiap perlakuan,namun
yang selalu muncul pada setiap perlakuan yaitu serangan hama
Helicoverpa amigera tetapi jumlahnya pun tidak terlalu banyak hal ini
Menurut Lukefahr (1981), pada musim kemarau perkembangan populasi
larva sangat cepat dan berbeda dengan keadaan pada musim penghujan.
Hal ini memberikan petunjuk bahwa perbedaan musim atau perbedaan
tingkat curah hujan berpengaruh terhadap perkembangan populasi larva
Helicoperva armigera, sehingga pada musim penghujan ini populasi hama
H. armigera yang ditemukan sedikit tetapi tetap berpengaruh menurunkan
produksi buah tomat,karena buah tomat yang terserang akan berlubang
dan menyebabkan busuk kemudian mati.
Pada pengamatan intensitas serangan penyakit, perlakuan dengan
menggunakan MPHP dan pewiwilan merupakan perlakuan yang paling
sesuai guna menekan pertumbuhan dan penyebaran penyakit pada
tanaman tomat. Pemakaian mulsa plastik hitam menyebabkan suhu tanah
meningkat

30C50C

(Bhella,

1988).

Karena

plastik

hitam

dapat

memodifikasi suhu tanah dengan mengabsorpsi radiasi, hal ini yang


menyebabkan peningkatan suhu pada tanah (Haryono, 2009). Sehingga
dapat diketahui bahwa penggunaan mulsa dapat menjaga kelembaban
tanah agar tetap stabil sehingga pada musim hujan tanah tidak terlalu
lembab sehingga penyakit yang disebabkan oleh jamur dan bakteri pun
dapat ditekan. Oleh karena itu rata-rata intensitas serangan penyakit pada
perlakuan menggunakan MPHP lebih kecil dan bahkan tidak terserang
penyakit dibandingkan dengan perlakuan non MPHP.

46

5. KESIMPULAN
Dari hasil praktikum yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa
pertumbuhan pada tanaman tomat (Lycopersicon esculentum Mill.)
menggunakan perlakuan pembeda yaitu penggunaan MPHP dan pewiwilan
didapatkan hasil bahwa tanaman tomat dapat tumbuh dengan baik pada
perlakuan MPHP dan pewiwilan. Kedua perlakuan tersebut dapat
berpengaruh dalam peningkatan hasil produksi tanaman tomat. Pada
perlakuan MPHP dan pewiwilan rerata produksi jumlah buah tertinggi yaitu
dengan rerata buah yang dihasilkan sebesar 30,4. MPHP dapat
meningkatkan produksi tanaman karena mulsa plastik hitam perak dapat
memodifikasi suhu tanah dan memelihara kelembaban tanah. Dengan
meningkatnya suhu sekitar akar tanaman, maka aktivitas fotosintesis
meningkat. Serta perlakuan pewiwilan pada tanaman tomat merupakan
perlakuan yang paling baik karena pewiwilan memiliki keuntungan yaitu
dapat memacu fase generatif tanaman tomat sehingga mempercepat
pematangan buah, meningkatkan panen awal dan total panen, mengurangi
hama dan penyakit, buah lebih besar dan mempermudah pemanenan.
Sehingga untuk perlakuan praktikum dengan menggunakan MPHP dan
pewiwilan adalah upaya yang tepat untuk meningkatkan produksi pada
tanaman tomat.

47

DAFTAR PUSTAKA
Adiyoga, W. 1999. Pola Pertumbuhan Produksi Beberapa Jenis Sayuran
di Indonesia. J.Hort. 9(2): 258-265.
Aksi Agraris Kansius (AAK). 1992. Petunjuk Praktis Sayuran.Yogyakarta:
Kanisius.
Badan

Pusat Statistik. 2015. Produksi Tanaman Hortikultura.


https://www.bps.go.id/Subjek/view/id/55#subjekViewTab3.
(Diakses 25 Oktober 2016 pukul 16.00 wib).

Blanchard, R.O dan T.A Tattar. 1981. Field and Laboratory Guide to Tree
Pathology. New York: Academic press.
Cahyono, B. 2002. Tomat ,Usaha Tani dan Penanganan Pascapanen.
Yogyakarta: Kansius.
Chandler, L.D. 1985. Flight activity of Liriomyza trifolii (Diptera:
Agromyzidae) in relationship to placement of yellow traps in bell
pepper. J. Econ. Entomol. 78(1): 825-828.
Djafarudin. 2001. Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (Umum). Jakarta:
Bumi Aksara.
Elviana. 2008. Pengaruh Pendinginan Siang/Malam Larutan Nutrisi
Terhadap Pertumbuhan Tanaman Tomat (Lycopersicum
Esculentum Mill) Pada Budidaya Secara Nutrient Film Technique
(NFT). Repository IPB.
Endah, J dan Novizan. 2002. Mengendalikan Hama dan Penyakit Tanaman.
Jakarta: Agromedia
Esrita.

2012. Pengaruh Pemangkasan Tunas Apikal Terhadap


Pertumbuhan dan Hasil Kedelai (Glycine max (L). Merril). 1(2): 125127.

Fabiola, F. 2004. Pengaruh Pemangkasan terhadap pertumbuhan dan hasil


tomat Cherry (Lycopersicum cerasiforme). Skripsi Fakultas
Pertanian Universitas Jambi: Jambi
Fitriani, E. 2012. Untung Berlipat Budidaya Tomat di Berbagai Media
Tanam. Yogyakarta: Pustaka Baru Press
Gardner,F.P., R. B. Pearce, and R. L. Mitchell. 1991. Physiology of Crop
Plants Dalam: Fisiologi Tanaman Budidaya. Jakarta: UI Press.
Gossein, A. and M. J. Trudel. 1986. Root zone tempera-ture effects on
pepper. J. Amer. Soc. Hort. Sci.111(2):220-224.
Haryono, Gembong. 2009. Mulsa Plastik pada Budidaya Pertanian. 31(1):
60-68.
Hayati, Mardhiah, E. Hayati, dan K. Narossa. 2010. Pengaruh Pupuk
Kompos Lamtorogung (Leucaena leucocephala) dan Jarak Tanam

48

terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Tomat (Lycopersicum


esculentum Mill.). J. Agr 14(1): 11-12.
Hidayati,Nurul. 2012. Tomat. Jakarta: Penebar Swadaya.
Ibarbia,E.A.,and V.N. Lamberth. 1971. Tomato Fruit Size and Quality
Interrelationships. J.Amer.Soc.Hort.Sct. 96(2):199-201.
Kartapradja, R. dan D. Djuariah, 1992. Pengaruh Tingkat Kematangan
Buah Tomat Terhadap Daya Kecambah, Pertumbuhan dan Hasil
Tomat. Buletin Penelitian Hortikultura. 24(2): 10-15.
Kastrasapoetra, A.G. 1999. Teknologi Pascapanen. Jakarta: Bina Aksara.
Lesmana,Dina. 2010. Dampak Teknologi Mulsa Plastik Terhadap Produksi
dan Pendapatan Petani Tomat (Lycopersicum esculentum L. Mill)
di Desa Bangunrejo Kecamatan Tenggarong Seberang Kabupaten
Kutai Kartanegara. J.EPP. 7(1): 14-19.
Lukefahr, MJ. 1981; Suherlinda et al,2004. Kepadatan Populasi
Helicoperva armigera (Hubner) (Lepidoptera: Noctuidae) Pada
Tanaman Tomat Di Kampung Batu Kecamatan Danau Kembar
Kabupaten Solok. Program Studi Pendidikan Biologi Sekolah Tinggi
Keguruan Dan Ilmu Pendidikan.
Margareta, R., Gumelar, Surjono H., Sutjahjo, Marwiyah, dan Anggi. 2014.
Karakterisasi dan Respon Pemangkasan Tunas Air terhadap
Produksi serta Kualitas Buah Genotipe Tomat Lokal. Bogor. IPB. J.
Hort. Indonesia 5(2):73-83.
Mediantie, Diah. 1985. Pengamatan Penyakit Penting pada Tanaman
Tomat (Lycopersicum esculentum Mill.) di Pertanaman Rakyat
Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Jurusan Hama dan Penyakit Tumbuhan,
Institut Pertanian Bogor: Tidak Diterbitkan.
Mulyati, R.S. Tejowulan,. dan Octarina. 2012. Respon Tanaman Tomat
Terhadap Pemberian Pupuk Kandang Ayam dan Urea Terhadap
Pertumbuhan dan Serapan N. Mataram: UNRAM. Agroteksos 17
(1) : 51-56.
Nurindah dan Sujak. 2008. Keanekaragaman spesies parasitoid telur
Helicoverpa armigera (Hbner) pada sistem tanam monokultur dan
polikultur kapas. Jurnal Entomologi Indonesia 3(2): 71 83.
Pitojo, S. 2005. Benih Tomat. Yogyakarta: Kanisius.
Redaksi Agromedia. 2007. Panduan Lengkap Budidaya Tomat. Jakarta:
Agromedia.
Rismunandar. 2001. Tanaman Tomat. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Rustamaji, 2006. Profil Kecamatan Lowokwaru Kota Malang. Malang:
Stasiun
Klimatologi
Karangploso.
Online
http://keclowokwaru.malangkota.go.id/gambaran-umum/. Diakses
pada 04/12/2016 pukul 15.30 WIB.

49

Setyorini, D., Indradewa, dan Sulistyaningsih. 2009. Kualitas Buah Tomat


pada Pertanaman dengan Mulsa Plastik Berbeda. Universitas
Gadjah Mada. Yogyakarta. J. Hort. 19(4): 407-412.
Soekarna, D. 1985. Ulat Grayak dan Pengendaliannya. Pertanian 4: 65-70.
Solikin. 2014. Pertumbuhan Vegetatif dan Generatif Stachytarpeta
jamaicensis (L.) Vahl.
Statistik Produksi Hortikultura. 2014. Statistik Pruduksi Hortikultura Tahun
2014.http://hortikultura.pertanian.go.id/wpcontent/uploads/2016/02
/Statistik-Produksi-2014.pdf (Diakses pada 25 Oktober 2016 pukul
12.00 wib).
Sumarni,N. Dan R. Rosliani. 2010. Pengaruh Naungan Plastik Transparan
,Kerapatan Tanaman, dan dosis N terhadap Produksi Umbi Bibit
Asal Biji Bawang Merah. J.Hort. 20(1): p52-59.
Sunarjono. 2004. Bertanam 30 Jenis Sayur. Jakarta: Penebar Swadaya.
Susanto, S., B. Hartanti, N. Khumaida. 2010. Produksi dan kualitas buah
stroberi pada beberapa sistem irigasi. J. Hort. Indonesia. 1(1):1-9.
Syukur, M. 2014. Bertanam Tomat di Musim Hujan. Jakarta: Penebar
Swadaya
Thompson, H. C. and W. C. Kelly. 1957. Vegetable Crop. 5th edition.
McGraw hill Book Company. New York. p 611.
Turgiyono, H. 2002. Budidaya Tanaman Tomat. Yogyakarta: Kanisius
Wiryanta. 2002. Bertanam Cabai pada Musim Hujan. Jakarta: Agromedia
Pustaka

Anda mungkin juga menyukai