Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENYAJIAN KASUS

IDENTITAS PASIEN
Nama
: Ny. EC
Umur
: 67 tahun
Jenis kelamin
: Perempuan
Agama
: Islam
Jabatan/Pekerjaan
: Ibu Rumah Tangga
Alamat
: Jl. Prapatan Cihanjuang RT 11/04, Cimahi
Ruang
: Ceremai
Masuk Rumah Sakit : 24 September 2016

A. ANAMNESA
Keluhan Utama : Sesak Napas
Anamnesis:
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien mengeluh sesak napas sejak 7 jam sebelum masuk rumah sakit (SMRS).
Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, setelah buang
air besar dan kadang sesak napas juga dirasakan saat beristirahat. Pasien mengaku sering
terbangun karena sesaknya. Pasien biasanya tidur dengan 2 bantal. Sesak napas disertai
dengan jantung terasa berdebar-debar yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati dan mual. Bengkak pada kaki (-).
Keluhan sesak napas pernah dirasakan sebelumnya oleh pasien. Nyeri dada (-),
pingsan (-), muntah (-), batuk (-) demam (-).

Riwayat Penyakit Dahulu:


Riwayat Hipertensi (+) terkontrol, penyakit jantung koroner (+), DM (-), asma (-), maag
(-), dislipidemia tidak diketahui. Riwayat stroke (-), operasi sebelumnya (-), penyakit
perdarahan (-), penyakit saraf (-), penyakit hati (-), trauma kepala (-), penggunaan obatobatan (-).
Riwayat keluarga
1

Riwayat keluarga hipertensi (+). DM (-), stroke (-), infeksi paru (-).
B. PEMERIKSAAN FISIK
I. Kesan Umum
a. Status generalis
Keadaan umum: Sakit sedang / Compos mentis (GCS 15 E4M6V5)
BB: 55 kg, Tb: 148 cm, IMT: 25,11 kg/m2
Tanda vital
Tekanan darah
Nadi
RR
Suhu
SpO2

: 140/80 MmHg
: 150 x/menit, regular, kuat angkat
: 32 x/menit, reguler
: 36,7 0C
: 95%

Pemeriksaan Status Lokalis


Mata
: Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil isokor (+/+), refleks
cahaya (+/+).
Mulut

: Bibir sianosis (-), mukosa bibir kering (-), atrofi papil lidah (-).

Leher

: Pembesaran KGB (-), distensi vena leher (-), JVP 5+2 cmH2O.

Thoraks
Paru
Inspeksi

: Simetris kiri dan kanan.

Palpasi

: Massa tumor (-), nyeri tekan (-), vokal fremitus simetris sama kiri dan
kanan.

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru.


Auskultasi : Bunyi napas dasar vesikuler (+/+), rhonki halus basal +/+,
wheezing -/Jantung
Inspeksi
: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi
: Iktus kordis teraba, thrill (-)
Perkusi
: Batas jantung atas : ICS II Linea parasternalis sinistra
Batas jantung kanan : ICS IV Linea parasternalis dextra
Batas jantung kiri : ICS V Linea axilaris anterior sinistra
Auskultasi
: Bunyi jantung: S I/II reguler, murmur (-), gallop (-).

Abdomen
Inspeksi
Auskultasi
Palpasi

: Datar, sikatrik (-)


: Bising usus normal
: Supel, massa (-), nyeri tekan (+) epigastrium, hepar dan limpa

Perkusi

tidak teraba
: Timpani (+), ascites (-)

Ekstremitas
Feel

Look
Movement

: Ekstremitas teraba hangat


Edema pretibial +/+
Edema dorsum pedis -/CRT <2 detik.
: deformitas (-), clubbing finger (-).
: kelemahan anggota gerak (-).

Skor Farmingham untuk pasien ini :


Kriteria mayor
Paroxysmal nocturnal dyspneu
Distensi vena leher
Ronkhi paru
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Peninggian tekanan vena jugularis
Refluks hepatojugular

(+)
(-)
(+)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)

Kriteria minor
Edema ekstremitas
(+)
Batuk malam hari
(-)
Dispneu on effort
(+)
Hepatomegali
(-)
Efusi pleura
(-)
Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal
(-)
Takikardi (>120 x/menit)
(+)

C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Darah
-

Hb

: 13,6 g/dL

Eritrosit
Leukosit
Hematokrit

: 6,6 x 106/mm2
: 12,1 x 103/mm2
: 44,3 %

Trombosit
Ureum
Kreatinin
Trigliserida
LDL

: 274 x 103/mm2
: 39 mg/dl
: 1,0 mg/dl
: 105 mg/dl
: 105 mg/dl

- Elektrokardiografi

Irama

: Atrial

Frekuensi

: 150 x/menit Reguler

Axis

: Normal

Kelainan Gelombang :

Gelombang P (-)

Kompleks QRS= 2 kotak kecil


-

Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia

D. Resume
-

Ny. EC, 67 tahun dengan sesak napas sejak 7 jam SMRS, sesak terutama
dirasakan saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, setelah buang air
besar dan juga kadang sesak napas dirasakan saat beristirahat. Paroxsysmal

Nocturnal Dispneu (+), orthopneu (+). Palpitasi (+) yang dirasakan sejak 1 hari
SMRS. Nyeri ulu hati (+) dan nausea (+). Pasien memiliki riwayat hipertensi
sejak 6 tahun, tapi sering kontrol ke poli jantung. Selain itu, pasien juga
-

memiliki riwayat hipertensi pada keluarga.


Pasien datang dengan keadaan kompos mentis, tekanan darah 140/80
mmHg, frekuensi nadi 150x/menit (takikardi), frekuensi napas 32 x/menit
(takipneu), dan saturasi oksigen 95%. Pada pemeriksaan fisik ditemukan
adanya rhonki basah halus pada basal kedua lapang paru, pada perkusi jantung
didapatkan pergeseran batas jantung kiri ke SIC V linea axilaris anterior

sinistra dan ditemukan pula edem pitting pada ekstremitas bawah.


Pada pemeriksaan darah rutin hanya ditemukan adanya leukositosis. Pada
pemeriksaan profil lipid dan fungsi ginjal tidak ditemukan kelainan. Pada
pemeriksaan EKG ditemukan adanya supraventrikular takikardi.

D. Diagnosis

Diagnosis klinis

: CHF Fc III-IV, Supraventricular Tachycardia

Diagnosis anatomis

: Kardiomegali

Diagnosis etiologi

: Hipertensi

1.
2.
3.
4.

E. Penatalaksanaan

Non Medikamentosa :

Tirah baring untuk membatasi kerja jantung.


Diet rendah garam mencegah retensi cairan yang dapat meningkatkan beban preload.
Minum air maksimal 4-5 gelas kecil / hari.
Edukasi penggunaan obat, kontrol ulang.
-

Medikamentosa :

Konsul Sp. JP

O2 Nasal Kanul 2-4 lpm

Bisoprolol 1x2,5 mg PO

IVFD NS 500cc/24jam

Valsartan 1x80 mg PO

Furosemide 3x40mg IV

Aspillet 1 x 80 mg PO

Maintenance:

Amiodaron 1x150mg IV drip

Clopidogrel 1 x 75 mg PO

dalam 10 menit, dilanjutkan drip

Atorvastatin 1x 20 mg PO

Amiodaron 600mg dalam D5%

500cc/24jam.
-

Elektrokardiogram 2 jam post Amiodaron

Irama

: Atrial

Frekuensi

: 120 x/menit Reguler

Axis

: Normal

Kelainan Gelombang :

Gelombang P (-)

Kompleks QRS= 2 kotak kecil


-

Kesimpulan : Supraventricular Tachycardia

Elektrokardiogram 6 jam post Amiodaron

Irama

: Sinus

Frekuensi

: 60 x/menit Reguler

Axis

: Normal

Kelainan Gelombang : -

Kesimpulan : Normal
-

E. Prognosis

Quo ad Vitam

: Dubia ad Malam

Quo ad Sanactionam

: Dubia ad Malam

Quo ad Functionam

: Dubia ad malam

BAB II

PEMBAHASAN

- Pasien atas nama Ny. EC, 67 tahun mengeluh sesak napas sejak 7 jam SMRS,
sesak terutama dirasakan saat beraktivitas seperti pergi ke kamar mandi, setelah buang
air besar dan juga kadang sesak napas dirasakan saat beristirahat. Keluhan dispnea atau
sesak napas adalah perasaan sulit bernapas dan merupakan gejala utama dari penyakit
kardiopulmonar. Penyebab dari sesak nafas dapat dibagi menjadi 4 tipe. Tipe kardiak
yaitu Gagal jantung, penyakit arteri koroner, infark miokard, kardiomiopati, disfungsi
katup, hipertrofi ventrikel kiri, hipertrofi asimetrik septum, pertikarditis, aritmia. Tipe
Pulmoner yaitu Penyakit Paru Obstruktif Kronis, Asma, Penyakit paru restriksi,
Gangguan penyakit paru, herediter, pneumotoraks. Tipe Campuran kardiak dan
pulmoner yaitu PPOK dengan hipertensi, pulmoner, emboli paru kronik, trauma Tipe
Non kardiak dan non pulmoner yaitu Kondisi metabolik, nyeri, gangguan
neuromuskular, gangguan panik, hiperventilasi, psikogenik, gangguan asam basa,
gangguan di saluran pencernaan (reflux, spasme oesophagus, tukak peptik). 1,2,3
- Gagal jantung adalah suatu keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi
jantung sehingga jantung tidak bisa memompa darah untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme jaringan. Gagal jantung terbagi menjadi gagal jantung kiri, gagal jantung
kanan dan gagal jantung kongestif, yakni gabungan gagal jantung kiri dan kanan.4

Gagal jantung kiri ditandai oleh dispneu deffort, kelelahan, orthopnea,


paroksismal nokturnal dispnea, batuk, pembesaran jantung, irama derap, bunyi
derap S3 dan S4, pernapasan cheyne stokes, takikardi, ronki dan kongesti vena
pulmonalis. Gagal jantung kanan ditandai oleh adanya kelelahan, pitting
edema,

ascites,

peningkatan

tekanan

vena

jugularis,

hepatomegali,

pembesaran jantung kanan, irama derap atrium kanan, murmur dan bunyi P2
mengeras, sedangkan gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gejala
gabungan keduanya.4
-

Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika terdapat 2 kriteria

mayor atau 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor kriteria framingham, ditambah dengan
pemeriksaan penunjang. Yang termasuk kriteria mayor yakni: dispneu nokturnal
paroksismal atau orthopneu, peningkatan tekanan vena jugularis, ronki basah tidak
nyaring, kardiomegali, edema paru akut, irama derap S3, peningkatan vena > 16 cm H 2O
dan refluks hepatojugular. Kriteria minor yakni: edema pergelangan kaki, batuk pada
malam hari, dispneu deffort, hepatomegali, efusi pleura, kapasitas vital berkurang
menjadi 1/3 maksimum dan takikardi (>120x/menit). Foto rontgen toraks dapat
mengarah ke kardiomegali dengan corakan bronkovaskuler yang meningkat.4
- Adanya sesak yang memberat/dipengaruhi saat beraktivitas merupakan ciri khas
dari gagal jantung kongestif (congestive heart failure; CHF) yang merupakan salah satu
dari kriteria minor Framingham criteria untuk CHF. Sesak yang timbul saat beraktivitas
diakibatkan adanya hipoksia jaringan sebagai akibat dari payahnya pompa jantung untuk
menyuplai kebutuhan oksigen jaringan. Oleh karena status tersebut, tubuh melakukan
kompensasi dengan mempercepat laju pernapasan dan kemudian menyebabkan sesak
pada pasien.
- Pada pasien ini, dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan adanya
dispneu on effort, dispneu nokturnal paroksismal, orthopneu, takikardi, takipneu, ronkhi
basah halus pada basal kedua lapang paru, dan pitting edema pada kedua ekstremitas.
Dari berbagai temuan klinis ini, dapat ditegakkan diagnosis gagal jantung kongestif
karena kriteria Framingham yang biasa digunakan sudah memenuhi syarat.
- Edem pada tungkai dapat terjadi karena ekstravasasi cairan ke jaringan tubuh
diakibatkan adanya peningkatan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang
mengakibatkan cairan bocor dan masuk ke dalam jaringan interstisial. Ortopnea (sesak

yang timbul apabila pasien berada dalam posisi datar/berbaring) disebabkan adanya gaya
fisika cairan yang terjadi di paru. Pada posisi berbaring, cairan akan bergerak ke bawah
oleh karena gaya gravitasi, sehingga akan semakin banyak luas permukaan paru yang
terhalang oleh cairan dan membuat pasien semakin sesak dibandingkan saat pasien
dalam posisi tegak/duduk.
- Pembagian New York Heart Association berdasarkan fungsional jantung yaitu:

Kelas 1 : Penderita dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan.


Kelas 2 : Penderita tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari-

hari tanpa keluhan.


Kelas 3: Penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.
-

Kelas 4 : Penderita sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apapun dan harus

tirah baring
- Pada kasus ini pasien mengeluhkan timbulnya sesak napas ketika melakukan
aktivitas sehari-hari berupa sesak timbul menuju kamar mandi, dan buang air besar.
Selain itu, pasien juga kadang mengeluhkan sesak saat istiahat. Dari keluhan tersebut
dapat diklasifikasikan dalam NYHA fungsional ke III-IV.
- Pada kasus ini, pasien juga memiliki riwayat hipertensi sejak 6 tahun. Hal ini
dapat menjadi salah satu penyebab terjadinya gagal jantung pada pasien. Hipertensi
menyebabkan terjadinya peningkatan resistensi perifer sehingga beban kerja jantung
menjadi bertambah dan apabila terjadi secara terus menerus, maka akan berujung pada
hipertrofi miokard.
- Pasien kemudian dilakukan pemeriksaan EKG. Hasil EKG menunjukkan adanya
irama atrial dengan frekuensi 150 x/menit reguler, normoaxis, gelombang p yang tidak
ada, dan interval QRS yang masih dalam rentang normal (2 kotak kecil ~ 0,08 mV). Dari
hasil ini dapat diambil kesimpulan berupa supraventicular tachycardia (SVT).
-

SVT adalah suatu jenis takidisritmia yang ditandai dengan perubahan laju

jantung yang mendadak bertambah cepat menjadi berkisar antara 150-250 x/menit.
Kelain pada SVT biasanya mencakup komponen sistem konduksi dan terjadi di bagian
atas bundel HIS. Pada kebanyakan kasus SVT mempunyai kompleks QRS normal. 5
Insidensi terjadinya SVT sekitar 1-3 orang per 100 orang. Dalam sebuah studi berbasis
populasi, resiko SVT dua kali lebih tinggi pada wanita dibandingkan pria.6

- Gangguan irama jantung yang dapat menimbulkan SVT karena adanya sebuah
lingkaran reentrant yang menghubungkan antara nodus AV dan jaringan atrium. Pada
pasien dengan takikardi, nodus AV memiliki dua jalur konduksi yaitu jalur konduksi
cepat dan jalur konduksi lambat. Jalur konduksi lambat yang terletak sejajar dengan
katup trikuspid, memungkinkan sebuah lingkaran reentrant sebagai jalur impuls listrik
baru melalui jalur tersebut, keluar dari nodus AV secara retrograde (yaitu, mundur dari
nodus AV ke atrium) dan secara anterograde (yaitu, maju ke atau dari nodus AV ke
ventrikel) pada waktu yang bersamaan. Akibat depolarisasi atrium dan ventrikel yang
bersamaan, gelombang P jarang terlihat pada gambaran EKG.7
-

Gejala yang biasanya timbul pada pasien dengan SVT adalah palpitasi, nyeri

dada, pusing, kesulitan bernapas, pucat, keringat berlebihan, mudah lelah, toleransi
latihan fisik menurun, kecemasan meningkat dan pingsan. Pada pasien ini, selain sesak,
pasien juga mengeluhkan palpitasi yang sudah dirasakan 1 hari SMRS. Keluhan ini
belum pernah dirasakan sebelumnya.8
-

Prinsip penatalaksanaan pada pasien dengan CHF ini adalah dengan

mengurangi beban jantung sehingga kerja jantung dapat lebih baik. Terapi yang
diberikan adalah furosemide 3x40mg (2 ampul) yang bertujuan untuk mengurangi
preload sehingga beban jantung juga ikut berkurang. Furosemide merupakan golongan
loop diuretic yang menghambat reabsorpsi dari ion sodium (Na+) dan klorida (Cl-) pada
tubulus renalis proksimal dan distal serta loop of Henle sehingga cairan yang ada di
dalam tubuh akan ikut terbuang melalui ginjal yang menyebabkan diuresis pada pasien.
Restriksi cairan juga merupakan hal yang penting pada pasien CHF, sehingga pada
pasien ini hanya diberikan infus 500cc dalam 24 jam guna membantu mengurangi beban
preload. Selain itu, pasien juga diberikan edukasi untuk minum tidak lebih dari 4-5 gelas
kecil (200cc) per hari serta diet rendah garam. Pemberian valsartan yang merupakan
golongan Angiotensin Receptor Blocker (ARB) bertujuan untuk mencegah konstriksi
pembuluh darah, sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa angiotensin II merupakan
vasokonstriktor poten, sehingga dengan dicegahnya konstriksi pembuluh darah,
resistensi perifer menurun yang juga akan menurunkan beban pemompaan jantung
(menurunkan besar tegangan ventrikel).
- Keadaan SVT pada pasien ini ditanggulangi menggunakan Amiodaron.
Amiodaron merupakan analog hormon tiroid. Selain memperpanjang masa refrakter

efektif melalui blokade kanal K+, obat ini memiliki efek farmakologi multipel.
Amiodarone adalah obat antiaritmia yang paling luas jangkauan terapeutiknya karena
efektif terhadap semua jenis takiaritmia. Selain itu, obat ini tidak menurunkan
kontraktilitas miokard sehingga aman diberikan pada pasien gagal jantung. Namun, obat
ini memiliki efek samping yang banyak bila diberikan kronis dengan dosis 3x200mg
selama 3 bulan maka akan menyebabkan fibrosis paru, sirosis hepatis, mikrodeposit
pada kornea atau fotosensitif, hipo- atau hiper-tiroid. Oleh sebab itu, amiodarone dosis
tinggi tidak boleh diberikan lebih dari 10 hari. Apabila perlu diberikan secara kronis
misalnya untuk mempertahanan irama sinus pada pasien fibrilasi atrium atau SVT cukup
dengan dosis 1x200mg/hari. Pada dosis tersebut, dilaporkan tidak menimbulkan efek
samping.9

Gambar 1. Berikut merupakan algoritma penatalaksanaan takikardi berdasarkan ACLS. 10

- Secara garis besar penatalaksanaan SVT dapat dibagi dalam dua kelompok yaitu
penatalaksanaan segera dan penatalaksanaan jangka panjang.
1) Penatalaksanaan segera
a. Direct Current Synchronized Cardioversion
Setiap kegagalan sirkulasi yang jelas dan dan dapat termonitor dengan
baik, dianjurkan penggunaan direct current synchronized cardioversion dengan
kekuatan listrik sebesar 0,25 watt-detik/pon yang pada umumnya cukup efektif.
DC shock yang diberikan perlu sinkron dengan puncak gelombang QRS, karena
rangsangan pada puncak gelombang T dapat memicu terjadinya fibrilasi
ventrikel. Tidak dianjurkan memberikan digitalis sebelum dilakukan DC Shock
oleh karena akan menambah kemungkinan terjadinya fibrilasi ventrikel.
Apabila terjadinya fibrilasi ventrikel maka dilakukan DC shock kedua yang
tidak sinkron. Apabila DC shock kedua ini tetap tidak berhasil, maka diperlukan
tindakan invasif.10
b. Manuver Vagal
Tindakan ini dulu lazim dicoba pada anak yang lebih besar namun tidak
dianjurkan pada bayi, karena jarang sekali berhasil. Maneuver vagal yang
terbukti efektif adalah perendaman wajah. Teknik ini dilakukan dengan cara
bayi terbungkus handuk dan terhubung ke EKG, wajah direndam selama sekitar
lima detik ke dalam mangkuk air dingin. Akan tetapi, maneuver vagal yang lain
seperti pemijatan sinus karotis dan penekanan pada bola mata tidak
direkomendasikan dan terbukti tidak efektif. Hal tersebut dikarenakan
pemijatan sinus karotis justru dapat menekan pernapasan dan penekanan pada
bola mata memiliki resiko terjadinya luka pada mata dan retina. Jika
perendaman wajah gagal, adenosin dengan dosis awal 200 g/kg dapat
diberikan secara intravena dengan cepat ke dalam pembuluh darah besar
(seperti pada fossa antecubital). Terkadang dibutuhkan dosis adenosine sampai
dengan 500 g/kg.8
c. Pemberian adenosin
Adenosin merupakan nukleotida endogen yang bersifat kronotropik
negatif, dromotropik, dan inotropik. Efeknya sangat cepat dan berlangsung

sangat singkat dengan konsekuensi pada hemodinamik sangat minimal.


Adenosin dengan cepat dibersihkan dari aliran darah (sekitar 10 detik) dengan
cellular uptake oleh sel endotel dan eritrosit. Obat ini akan menyebabkan blok
segera pada nodus AV sehingga akan memutuskan sirkuit pada mekanisme
reentry. Adenosin mempunyai efek yang minimal terhadap kontraktilitas.11
Adenosin merupakan obat pilihan dan sebagai lini pertama dalam terapi
SVT karena dapat menghilangkan hampir semua SVT. Efektivitasnya
dilaporkan pada sekitar 90% kasus.7 Adenosin diberikan secara bolus intravena
diikuti dengan flush saline, mulai dengan dosis 50 g/kg dan dinaikkan 50 /kg
setiap 1 sampai 2 menit (maksimal 200 /kg). Dosis yang efektif pada anak
yaitu 100 150 g/kg. Pada sebagian pasien diberikan digitalisasi untuk
mencegah takikardi berulang.12
Efek samping adenosin dapat berupa nyeri dada, dispnea, facial flushing,
dan terjadinya A-V bloks. Bradikardi dapat terjadi pada pasien dengan disfungsi
sinus node, gangguan konduksi A-V, atau setelah pemberian obat lain yang
mempengaruhi A-V node (seperti beta blokers, calsium channel blocker,
amiodaron). Adenosin bisa menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma.12
Kegagalan adenosine dalam menghilangkan takikardi masih mungkin
mengarah pada :
(1) Dosis yang tidak adekuat atau pemberian obat yang terlalu lambat
(2) Proses mekanisme menuju atrial takikardi
(3) Proses mekanisme menuju VT.
-

d.

Prokainamid. Pada pasien AVRT atau AVNRT, prokainamid mungkin

juga efektif. Obat ini bekerja memblok konduksi pada jaras tambahan atau pada
konduksi retrograd pada jalur cepat pada sirkuit reentry di nodus AV. Hipotensi
juga sering dilaporkan pada saat loading dose diberikan. Dosis oral yang biasa
diberikan berkisar antara 40-100 mg/kg/hari terbagi dalam 4-6 dosis. Dosis
awal untuk intravena yang dapat ditoleransi adalah 5-15 mg/kg, sedangkan
untuk dosis pemeliharaan dapat menggunakan 40-100 mcg/kg/menit.
-

BAB III

KESIMPULAN
-

Telah dilaporkan pasien atas nama Ny. EC 67 tahun mengeluh sesak


napas sejak 7 jam SMRS. Sesak dirasakan terutama saat beraktivitas seperti
pergi ke kamar mandi, setelah buang air besar dan kadang sesak napas juga
dirasakan saat beristirahat. Pasien mengaku sering terbangun karena sesaknya.
Pasien biasanya tidur dengan 2 bantal. Sesak napas disertai dengan jantung
terasa berdebar-debar yang dirasakan sejak 1 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan nyeri ulu hati dan mual. Bengkak pada kaki disangkal. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan kesadaran kompos mentis, tekanan darah 140/80
mmHg, frekuensi nadi 150x/menit, frekuensi napas 32 x/menit, suhu tubuh
36,7oC, dan saturasi oksigen 95%. Selain itu, ditemukan pula adanya rhonki
basah halus pada basal kedua lapang paru dan edem pitting pada ekstremitas
bawah. Pada pemeriksaan hematologi hanya ditemukan adanya leukositosis,
pemeriksaan profil lipid dan fungsi ginjal tidak ditemukan kelainan. Hasil

pemeriksaan EKG ditemukan adanya supraventrikular takikardi.


Telah ditegakkan diagnosa pada pasien ini yaitu CHF FC III-IV dan SVT.
Kepada pasien telah diberikan terapi:

IVFD RL 500cc/24 jam


Furosemide 3x40mg IV
Amiodaron 1x150mg IV bolus dalam 10 menit drip Amiodaron 600mg dalam

D5% 500cc/24jam.
Valsartan 1x80 mg PO.
-

DAFTAR PUSTAKA

1. Guyton AC. Hall JE. Textbook of medical physiology, 13th Ed. Philadelphia.
2010.
2. Price, Sylvia dan Lorraine M. Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses- Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 2. Jakarta; EGC. 2006.
3. Rahmatullah, Pasian. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 5th Ed Jilid III. Jakarta:
Interna Publishing. 2010.
4. Perhimpunan Dokter Spesialis Kardiovaskular Indonesia. Pedoman Tata Laksana
Gagal Jantung. 2015.
5. Olgin, Jeffrey E., Douglas P. Zipes. Tachyarrhythmias. Braunwalds Heart
Disease. A Textbook of Cardiovascular Medicine Ninth Ed. 2010.
6. Delacrtaz, E., Supraventricular Tachycardia. New England Journal of Medicine
2006. 354(10). pp. 1039-51.
7. Link, M. S. Evaluation and Initial Treatment of Supraventricular Tachycardia. The
New England Journal of Medicine. 2010. 367(15), pp. 1438-1448.
8. Schlechte, E. A., Boramanand, N. & Funk, M.,. Supraventricular Tachycardia in the
Primary Care Setting: Agerelated Presentation, Diagnosis, and Management.
Journal of Health Care 2011. 22(5). pp. 289-99.
9. Kabo, P. Bagaimana Menggunakan Obat-obat Kardiovaskular secara Rasional.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2010.
10. Andrew H. Travers, et al. Part 4: CPR Overview: 2010 American Heart Association
Guidelines for cardiopulmonary resuscitation and emergency cardiovascular care.
AHA 2010. 122; pp.676-84.
11. Manole, M. D. & Saladino, R. A. Emergency Department Management of the
Patient With Supraventricular Tachycardia. Pediatric Emergency Care, 2007. 23(3),
pp. 176-89.
12. Moghaddam, M. Y. A., Dalili, S. M. & Emkanjoo, Z., 2008. Efficacy of Adenosine

for Acute Treatment of Supraventricular Tachycardia. The Journal of Tehran


University Heart Center, Volume 3(3) 2008. pp. 157-162.
-

Anda mungkin juga menyukai