Anda di halaman 1dari 24

I.

INFLUENZA
Influenza adalah infeksi virus akut yang disebabkan oleh virus influenza,
dan menyebar dengan mudah dari orang ke orang. Virus ini beredar di seluruh
dunia dan dapat mempengaruhi orang tanpa memandang usia dan jenis kelamin
(WHO, 2009). Flu sendiri merupakan suatu penyakit yang self-limiting, dimana
bila tidak terjadi komplikasi dengan penyakit lain, maka setelah 4-7 hari penyakit
akan sembuh sendiri. Daya tahan tubuh seseorang akan sangat berpengaruh
terhadap berat ringannya penyakit tersebut. Daya tahan tubuh dipengaruhi oleh
pola hidup seseorang (BPOM, 2006).

A. ETIOLOGI
Dikenal tiga jenis influenza musiman (seasonal) yakni A, B dan Tipe C.
Di antara banyak subtipe virus influenza A, saat ini subtipe influenza A
(H1N1) dan A (H3N2) adalah yang banyak beredar di antara manusia. Virus
influenza bersirkulasi di setiap bagian dunia. Kasus flu akibat virus tipe C
terjadi lebihjarang dari A dan B. Itulah sebabnya hanya virus influenza A dan
B termasuk dalam vaksin influenza musiman. Influenza musiman menyebar
dengan mudah Saat seseorang yang terinfeksi batuk, tetesan yang terinfeksi
masuk ke udara dan orang lain bisa tertular. Mekanisme ini dikenal sebagai
air borne transmission.
Virus juga dapat menyebar oleh tangan yang terinfeksi virus. Untuk
mencegah penularan, orang harus menutup mulut dan hidung mereka dengan
tisu ketika batuk, dan mencuci tangan mereka secara teratur (WHO, 2009).
Virus influenza A inang alamiahnya adalah unggas akuatik. Virus ini dapat
ditularkan pada spesies lain dan dapat menimbulkan wabah yang berdampak
besar pada peternakan unggas domestik atau menimbulkan suatu wabah
influenza manusia. Virus A merupakan patogen manusia yang paling virulen
di antara ketiga tipe infleuenza dan menimbulkan penyakit paling berat, yang
paling terkenal di Indonesia adalah flu babi (H1N1) dan flu burung (H5N1)
(Spickler, 2009). Virus influenza B hampir secara ekslusif hanya menyerang

manusia dan lebih jarang dibandingkan virus influenza A. karena tidak


mengalami keragaman antigenik, beberapa tingkat kekebalan diperoleh pada
usia muda, tapi system kekebalan ini tidak permanen karena adanya
kemungkinan mutasi virus. Virus influenza C menginfeksi manusia, anjing
dan babi, kadangkala menyebabkan penyakit yang berat dan epidemi lokal.
Namun, influenza C jarang terjadi disbanding jenis lain dan biasanya hanya
menimbulkan penyakit ringan pada anak-anak (Spickler, 2009).
B. GEJALA
Gejala influenza biasanya diawali dengan demam tiba-tiba, batuk
(biasanya kering), sakit kepala, nyeri otot, lemas, kelelahan dan hidung berair.
Pada anak dengan influenza B dapat menjadi lebih parah dengan terjadinya
diare serta nyeri abdomen. Kebanyakan orang dapat sembuh dari gejala-gejala
ini dalam waktu kurang lebih satu minggu tanpa membutuhkan perawatan
medis yang serius. Waktu inkubasi yaitu dari saat mulai terpapar virus sampai
munculnya gejala kurang lebih dua hari (Abelson, 2009). Pada masa inkubasi
virus tubuh belum merasakan gejala apapun. Setelah masa inkubasi gejalagejala mulai dirasakan dan berlangsung terus-menerus kurang lebih selama
satu minggu. Hal ini akan memicu kerja dari sistem imun tubuh yang
kemudian setelah kurang lebih satu minggu tubuh akan mengalami pemulihan
hingga akhirnya benar-benar sembuh dari influenza (Spickler, 2009).
Untuk orang-orang dengan faktor resiko tinggi seperti usia di atas 65
tahun, atau orang-orang dengan penyakit tertentu seperti penyakit kronis pada
hati, paru-paru, ginjal, jantung, gangguan metabolik seperti diabetes melitus,
atau orang yang sistem imunnya rendah berpotensi mengalami keparahan.
Kadang sulit untuk membedakan flu dan salesma pada tahap awal infeksi ini,
namun flu dapat diidentifikasi dengan adanya demam mendadak dan rasa
lelah atau lemas (Spickler, 2009). Prognosis pada umumnya baik, penyakit
yang tanpa komplikasi berlangsung 1-7 hari. Kematian terbanyak oleh karena

infeksi bakteri sekunder. Bila panas menetap lebih dari 4 hari dan leukosit >
10.000/ul, biasanya didapatkan infeksi bakteri sekunder (WHO, 2009).
C. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Orang yang menderita flu disarankan banyak beristirahat, meminum
banyak cairan, dan bila perlu mengkonsumsi obat-obatan untuk meredakan
gejala yang mengganggu. Tindakan yang dianjurkan untuk meringankan
gejala flu tanpa pengobatan meliputi antara lain :
a. Beristirahat 2-3 hari, mengurangi kegiatan fisik berlebihan.
b. Meningkatkan gizi makanan. Makanan dengan kalori dan protein yang
tinggi akan menambah daya tahan tahan tubuh. Makan buah-buahan
segar yang banyak mengandung vitamin.
c. Banyak minum air, teh, sari buah akan mengurangi rasa kering di
tenggorokan, mengencerkan dahak dan membantu menurunkan
demam.
d. Sering-sering berkumur dengan air garam untuk mengurangi rasa nyeri di
tenggorokan.
D. TERAPI FARMAKOLOGI

Obat flu pada umumnya adalah obat tanpa resep dokter yang dapat
diperoleh di apotek-apotek dan toko obat berizin. Obat flu umumnya
merupakan kombinasi dari beberapa zat aktif, seperti kombinasi-kombinasi
dari :
a. Analgesik/antipiretik dikombinasikan dengan nasal dekongestan.
b. Analgesik/antipretik dikombinasikan dengan nasal dekongestan dan
antihistamin.
c. Analgesik/antipiretik

dikombinasikan

dengan

antihistamin dan antitusif atau ekspektoran.

nasal

dekongestan,

Berikut adalah zat aktif yang umumnya terdapat sebagai komponen obat
flu :
1. Analgesik dan antipiretik
Secara umum obat golongan ini mempunyai cara kerja obat yang dapat
meringankan rasa sakit dan menurunkan demam. Zat aktif yang memiliki
khasiat analgesik sekaligus antipiretik yang lazim digunakan dalam obat flu
adalah : parasetamol.
2. Antihistamin
Antihistamin adalah suatu kelompok obat yang dapat berkompetisi
melawan histamin, yaitu salah satu me diator dalam tubuh yang dilepas pada
saat terjadi reaksi alergi. Zat aktif yang termasuk golongan ini antara lain
klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat.
3. Dekongestan hidung
Dekongestan hidung adalah obat yang mempunyai efek mengurangi
hidung tersumbat. Obat-obat yang dapat digolongkan sebagai dekongestan
hidung antara lain : fenilpropanolamin, fenilefrin, pseudoefedrin dan efedrin.
4. Ekspektoran dan Mukolitik
Ekspektoran

dan

mukolitik

digunakan

untuk

batuk

berdahak,

dimaksudkan untuk mempermudah pengeluaran dahak. Zat aktif yang


termasuk ke dalam kelompok ini antara lain gliseril guaiakolat, ammonium
klorida, bromheksin
5. Antitusif
Antitusif yaitu obat yang bekerja pada susunan saraf pusat menekan pusat
batuk dan menaikkan ambang rangsang batuk. Zat aktif yang termasuk
antitusif antara lain dekstrometorfan HBr dan difenhidramin HCl (dalam
dosis tertentu). (BPOM, 2006)

II.

RINITIS ALERGI
Effy Huriyati, Al Hafiz

Rinitis alergi merupakan suatu kumpulan gejala kelainan hidung yang


disebabkan proses inflamasi yang diperantarai oleh imunoglobulin E (IgE) akibat
paparan alergen pada mukosa hidung.
Gejala rinitis alergi meliputi hidung gatal, bersin berulang, cairan hidung
yang jernih dan hidung tersumbat yang bersifat hilang timbul atau reversibel,
secara spontan atau dengan pengobatan.
Prevalensi terjadinya asma meningkat pada pasien yang menderita rinitis
alergi. Pasien rinitis alergi memiliki faktor risiko 3 kali lebih besar untuk
berkembang menjadi asma dibandingkan dengan orang yang sehat.
A. EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat rinitis alergi merupakan penyakit alergi terbanyak dan
menempati posisi ke-6 penyakit yang bersifat menahun (kronis). Rinitis alergi
juga merupakan alasan ke-2 terbanyak kunjungan masyarakat ke ahli kesehatan
profesional setelah pemeliharaan gigi. Angka kejadian rinitis alergi mencapai
20%.
Valovirta dkk melaporkan, di AS sekitar 20-40% pasien rinitis alergi
menderita asma bronkial. Sebaliknya 30-90% pasien asma bronkial memiliki
gejala rinitis alergi sebelumnya. Dikutip dari Evans, penelitian dilakukan dari
tahun 1965 sampai tahun 1984 di AS, didapatkan hasil yang hampir sama yaitu
38% pasien rinitis alergi juga memiliki gejala asma bronkial, atau sekitar 3-5%
dari total populasi.
Menurut International Study of Asthma and Allergies in Children
(ISAAC, 2006), Indonesia bersama-sama dengan negara Albania, Rumania,
Georgia dan Yunani memiliki prevalensi rinitis alergi yang rendah yaitu kurang
dari 5%. Begitu juga dengan prevalensi asma bronkial juga kurang dari 5%.
Prevalensi rinitis tertinggi di Nigeria (lebih dari 35%), Paraguay (30-35%) dan
Hongkong (25-30%).

Di Indonesia, dikutip dari Sundaru, menyatakan bahwa rinitis alergi yang


menyertai asma atopi pada 55% kasus dan menyertai asma atopi dan non atopi
pada 30,3% kasus.
B. NONFARMAKOLOGI DAN FARMAKOLOGI
Penyakit alergi disebabkan oleh mediator kimia seperti histamin yang
dilepaskan oleh sel mast yang dipicu oleh adanya ikatan alergen dengan IgE
spesifik yang melekat pada reseptornya di permukaan sel tersebut.
Tujuan pengobatan rinitis alergi adalah:

Mengurangi gejala akibat paparan alergen, hiperreaktifitas nonspesifik dan


inflamasi.

Perbaikan kualitas hidup penderita sehingga dapat menjalankan aktifitas


sehari-hari.

Mengurangi efek samping pengobatan.

Edukasi penderita untuk meningkatkan ketaatan berobat dan kewaspadaan


terhadap penyakitnya. Termasuk dalam hal ini mengubah gaya hidup seperti
pola makanan yang bergizi, olahraga dan menghindari stres.

Mengubah jalannya penyakit atau pengobatan kausal.


Untuk mencapai tujuan pengobatan rinitis alergi, dapat diberikan obat-

obatan sebagai berikut :


1) Antihistamin
Antihistamin merupakan pilihan pertama untuk pengobatan rinitis alergi.
Secara garis besar dibedakan atas antihistamin H1 klasik dan antihistamin H1
golongan baru. Antihistamin H1 klasik seperti Diphenhydramine, Tripolidine,
Chlorpheniramine dan lain-lain. Sedangkan antihistamine generasi baru seperti
Terfenadine, Loratadine, Desloratadine dan lain-lain.
Desloratadine memiliki efektifitas yang sama dengan montelukast dalam
mengurangi gejala rinitis yang disertai dengan asma. Levocetirizine yang

diberikan selama 6 bulan terbukti mengurangi gejala rinitis alergi persisten dan
meningkatkan kualitas hidup pasien rinitis alergi dengan asma.
2) Dekongestan hidung
Obat-obatan dekongestan hidung menyebabkan vasokonstriksi karena
efeknya pada reseptor-reseptor -adrenergik. Efek
vasokonstriksi terjadi dalam 10 menit, berlangsung selama 1 sampai 12
jam. Pemakaian topikal sangat efektif menghilangkan sumbatan hidung, tetapi
tidak efektif untuk keluhan bersin dan rinore. Pemakaiannya terbatas selama 10
hari. Kombinasi antihistamin dan dekongestan oral dimaksud untuk mengatasi
obstruksi hidung yang tidak dipengaruhi oleh antihistamin.
3) Kortikosteroid
Pemakaian sistemik kadang diberikan peroral atau suntikan sebagai depo
steroid intramuskuler. Data ilmiah yang mendukung relatif sedikit dan tidak ada
penelitian komparatif mengenai cara mana yang lebih baik dan hubungannya
dengan dose response. Kortikosteroid oral sangat efektif dalam mengurangi
gejala rinitis alergi terutama dalam episode akut.
Efek samping sistemik dari pemakaian jangka panjang kortikosteroid
sistemik baik peroral atau parenteral dapat berupa osteoporosis, hipertensi,
memperberat diabetes, supresi dari hypothalamic-pituitary-adrenal axis, obesitas,
katarak, glukoma, cutaneous striae. Efek samping lain yang jarang terjadi
diantaranya sindrom Churg-Strauss. Pemberian kortikosteroid sistemik dengan
pengawasan diberikan pada kasus asma yang disertai tuberkulosis, infeksi
parasit, depresi yang berat dan ulkus peptikus.
Pemakaian kortikosteroid topikal (intranasal) untuk rinitis alergi seperti
Beclomethason dipropionat, Budesonide, Flunisonide acetate fluticasone dan
Triamcinolone acetonide dinilai lebih baik karena mempunyai efek antiinflamasi
yang kuat dan mempunyai afinitas yang tinggi pada reseptornya, serta memiliki
efek samping sitemik yang lebih kecil. Tapi pemakaian dalam jangka waktu yang

lama dapat menyebabkan mukosa hidung menjadi atropi dan dapat memicu
tumbuhnya jamur.
4) Antikolinergik
Perangsangan saraf parasimpatis menyebabkan vasodilatasi dan sekresi
kelenjar. Antikolinergik menghambat aksi asetilkolin pada reseptor muskarinik
sehingga mengurangi volume sekresi kelenjar dan vasodilatasi.
Ipratropium bromida, yang merupakan turunan atropin secara topikal
dapat mengurangi hidung tersumbat atau bersin.
5) Natrium Kromolin
Digolongkan pada obat-obatan antialergi yang baru. Mekanisme kerja
belum diketahui secara pasti. Mungkin dengan cara menghambat penglepasan
mediator dari sel mastosit, atau mungkin melalui efek terhadap saluran ion
kalsium dan klorida.
6) Imunoterapi
Imunoterapi dengan alergen spesifik digunakan bila upaya penghindaran
alergen dan terapi medikamentosa gagal dalam mengatasi gejala klinis rinitis
alergi. Terdapat beberapa cara pemberian imunoterapi seperti injeksi subkutan,
pernasal, sub lingual, oral dan lokal.
Pemberian imunoterapi dengan menggunakan ekstrak alergen standar
selama 3 tahun, terbukti memiliki efek preventif pada anak penderita asma yang
disertai seasonal rhinoconjunctivitis mencapai 7 tahun setelah imunoterapi
dihentikan.
III.

SINUSITIS
Sinusitis

merupakan

peradangan

pada

mukosa

sinus

paranasal.

Peradangan ini banyak dijumpai pada anak dan dewasa yang biasanya didahului
oleh infeksi saluran napas atas. Sinusitis dibedakan menjadi sinusitis akut yaitu
infeksi pada sinus paranasal sampai dengan selama 30 hari baik dengan gejala
yang menetap maupun berat. Gejala yang menetap yang dimaksud adalah gejala
seperti adanya keluaran dari hidung, batuk di siang hari yang akan bertambah

parah pada malam hari yang bertahan selama 10-14 hari, yang dimaksud
dengan gejala yang berat adalah disamping adanya sekret yang purulen juga
disertai demam (bisa sampai 39C) selama 3-4 hari. Sinusitis berikutnya adalah
sinusitis subakut dengan gejala yang menetap selama 30-90 hari. Sinusitis
berulang adalah sinusitis yang terjadi minimal sebanyak 3 episode dalam kurun
waktu 6 bulan atau 4 episode dalam 12 bulan (2). Sinusitis kronik didiagnosis
bila gejala sinusitis terus berlanjut hingga lebih dari 6 minggu.(55) Sinusitis
bakteri dapat pula terjadi sepanjang tahun oleh karena itu selain virus, yaitu
adanya obstruksi oleh polip, alergi, berenang, benda asing, tumor dan infeksi
gigi. Sebab lain adalah immunodefisiensi, abnormalitas sel darah putih dan
bibir sumbing.
A. ETALOGI DAN PATOFIOLOGI
1. Tanda, Diagnosis dan Penyebab
Tanda lokal sinusitis adalah hidung tersumbat, sekret hidung yang kental
berwarna hijau kekuningan atau jernih, dapat pula disertai bau, nyeri tekan pada
wajah di area pipi, di antara kedua mata dan di dahi. Tanda umum terdiri dari
batuk, demam tinggi, sakit kepala/migraine, serta menurunnya nafsu makan,
malaise.(47)
Penegakan diagnosis adalah melalui pemeriksaan klinis THT, aspirasi
sinus yang dilanjutkan dengan kultur dan dijumpai lebih dari 104/ml koloni
bakteri, pemeriksaan x-ray dan CT scan (untuk kasus kompleks). Sinusitis viral
dibedakan dari sinusitis bakteri bila gejala menetap lebih dari 10 hari atau
gejala memburuk setelah 5-7 hari. Selain itu sinusitis virus menghasilkan
demam menyerupai sinusitis bakteri namun kualitas dan warna sekret hidung
jernih dan cair.(24)
Sinusitis bakteri akut umumnya berkembang sebagai komplikasi dari
infeksi virus saluran napas atas.(25) Bakteri yang paling umum menjadi
penyebab sinusitis akut adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus
influenzae dan Moraxella catarrhalis. Patogen yang menginfeksi pada sinusitis

kronik sama seperti pada sinusitis akut dengan ditambah adanya keterlibatan
bakteri anaerob dan S. aureus.
2. PENULARAN DAN FAKTOR RISIKO
Penularan sinusitis adalah melalui kontak langsung dengan penderita
melalui udara. Oleh karena itu untuk mencegah penyebaran sinusitis,
dianjurkan untuk memakai masker (penutup hidung), cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan penderita. Faktor predisposisi sinusitis adalah sebagai
berikut (2) :

ISPA yang disebabkan oleh virus


Rhinitis oleh karena alergi maupun non-alergi
Obstruksi nasal
Pemakaian nasogastric tube

3. KOMPLIKASI
Komplikasi yang timbul akibat sinusitis yang tidak tertangani dengan
baik adalah :
Meningitis
Septikemia
Sedangkan pada sinusitis kronik dapat terjadi kerusakan mukosa sinus,
sehingga memerlukan tindakan operatif untuk menumbuhkan kembali mukosa
yang sehat.(2)
B. TERAPI FARMAKOLOGI
Membebaskan

obstruksi,

mengurangi

viskositas

sekret,

mengeradikasi kuman.
Agen Antibiotika
SINUSITIS AKUT
Lini pertama
Amoksisilin/Amoksisilin-clav

Dosis
Anak: 20-40mg/kg/hari terbagi dalam
3
dosis /25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis

dan

Kotrimoxazol

Dewasa: 3 x 500mg/ 2 x 875 mg


Anak: 6-12mg TMP/30-60mg
SMX/kg/hari terbagi dlm 2 dosis
Dewasa: 2 x 2tab dewasa
Anak: 3050mg/kg/hari terbagi setiap

Eritromisin

6 jam
Dosisiklin
Lini Kedua
Amoksi-clavulanat

Dewasa: 4 x 250-500mg
Dewasa: 2 x 100mg
Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis

Cefuroksim
Klaritomisin

Dewasa:2 x 875mg
2 x 500mg
Anak:15mg/kg/hari terbagi dlm 2 dosis

Azitromisin

Dewasa: 2 x 250mg
1 x 500mg, kemudian 1x250mg selama

Levofloxacin
SINUSITIS KRONIK
Amoksi-clavulanat

4 hari berikutnya
Dewasa:1 x 250-500mg
Anak: 25-45mg/kg/hari terbagi dlm 2
dosis

Azitromisin

Dewasa:2 x 875mg
Anak: 10mg/kg pada hari 1 diikuti
5mg/kg selama 4 hari berikutnya
Dewasa: 1x500mg, kemudian

Levofloxacin

1x250mg selama 4 hari


Dewasa: 1 x 250-500mg

1. TERAPI POKOK
Terapi pokok meliputi pemberian antibiotika dengan lama terapi 10-14
hari, kecuali bila menggunakan azitromisin. Secara rinci antibiotika yang dapat
dipilih tertera pada tabel . Untuk gejala yang menetapsetelah 10-14 hari maka

antibiotika dapat diperpanjang hingga 10-14 hari lagi. Pada kasus yang
kompleks diperlukan tindakan operasi.
2. TERAPI PENDUKUNG
Terapi pendukung terdiri dari pemberian analgesik dan dekongestan.
Penggunaan antihistamin dibenarkan pada sinusitis yang disebabkan oleh alergi
(47), namun perlu diwaspadai bahwa antihistamin akan mengentalkan sekret.
Pemakaian dekongestan topikal dapat mempermudah pengeluaran sekret,
namun perlu diwaspadai bahwa pemakaian lebih dari lima hari dapat
menyebabkan penyumbatan berulang.
IV.

SALESMA
Selesma adalah iritasi atau peradangan selaput lendir hidung akibat
infeksi dari suatu virus. Selaput lendir yang meradang memproduksi banyak
lendir sehingga hidung menjadi tersumbat dan sulit bernafas. Tandanya di
antaranya pilek, mata mengeluarkan banyak air, kepala pusing dan seringkali
demam ringan. Lendir yang terbentuk mengakibatkan batuk dan bersin. Virus
yang menyebabkan adalah rhinovirus (dalam bahasa yunani Rhino adalah
hidung, dan virus adalah jasad renik terkecil dengan ukuran 0,02 0,3 mikron
jauh lebih kecil dari bakteri biasa) (Tjay dan Raharja, 2006).

A. ETIOLOGI
Rhinovirus adalah penyebab selesma. 50% selesma terjadi pada anak dan
dewasa. Penyebab lain selain rhinovirus antara lain respiratory sincitial virus,
coronaviruses, virus influenza, virus parainfluenza parainfluenza, adenovirus,
echovirus, dan coxsackie virus. Proses transmisinya dapat melalui inokulasi
mukosa hidung dengan virus yang berada pada benda hidup (tangan) atau benda
mati (gagang pintu dan telepon) (Berardi, 2004).
B. PATOFISIOLOGI
Rhinovirus mengikat molekul intraseluler 1 reseptors yang melekat pada
sel-sel ephitelial pernapasan di hidung dan nasofaring sehingga dapat

bereplikasi dan menyebar. Sel yang terinfeksi melepaskan chemokine sinyal


bahaya dan sitokin yang mengaktifkan mediator inflamasi dan refleks
neurogenik, sehingga ada tambahan mediator inflamasi, vasodilatasi, transudasi
plasma, sekresi kelenjar, stimulasi saraf nyeri, refleks bersin dan batuk.
Rhinovirus berada dalam nasofaring selama 16 sampai 18 hari setelah infeksi
awal. Infeksi virus berakhir dengan antibodi penetral (sekretori imunoglobulin
A atau serum imunoglobulin G) masuk ke dalam mukosa sampai akhir replikasi
virus (Berardi, 2004).
C. TANDA DAN GEJALA SALESMA
Gejala selesma muncul 1 sampai 3 hari setelah infeksi. Hidung tersumbat
adalah gejala pertama diikuti dengan, rhinorrea, bersin, sakit tenggorokan dan
batuk. Pasien kadang merasa kedinginan, sakit kepala, malaise, mialgia, batuk,
atau demam ringan. Gejala biasanya terjadi selama 2 atau 3 hari. Batuk
biasanya jarang terjadi dan jika muncul selama 4 atau 5 hari. Gejala selesma
bertahan sekitar 7 hari. Tanda dan gejala selesma mungkin sulit dibedakan
dengan influenza dan penyakit pernafasan lainnya (Berardi, 2004).
D. TERAPI NON FARMAKOLOGI
Untuk anak terapi tanpa obat mencakup peningkatan retensi cairan,
istirahat cukup, makan bernutrisi, termasuk hati-hati membersihkan saluran
hidung, meningkatkan kelembaban udara atau penguapan hangat, larutan
garam, dan larutan nasal. Larutan garam dapat membantu membran mukosa
mengeluarkan mukus. Makanan dan minuman seperti teh dengan lemon dan
madu, sop ayam, dan air daging hangat membantu meredakan pilek dan
meningkatkan retensi cairan. Mengkonsumsi sop hangat mempunyai aktifitas
sebagai anti inflamasi. Terapi tanpa obat untuk anak harus hati-hati. Jika
menggunakan semprotan, anak harus posisi tegak untuk melancarkan aliran
hidung, menjaga asupan cairan, meningkatkan kelembaban udara, dan mengairi
hidung dengan tetes garam (Berardi, 2004).
E. TERAPI FARMAKOLOGI

Dekongestan merupakan pilihan terapi untuk pilek. Hidung tersumbat


diobati dengan dekongestan topikal atau oral. Antihistamin dapat mengurangi
bersin, sedangkan batuk biasanya sembuh sendiri, tetapi dapat diobati dengan
dextromethorpan atau antitusif dan demam, diobati dengan antipiretik.
1. Dekongestan
Dekongestan dapat mengobati sinus dan hidung tersumbat. Penggunaan
dekongestan dosisnya harus dan dibatasi tidak lebih dari 3 sampai 5 hari untuk
menghindari rhinitis medicamentosa. Dekongestan adalah agonis adrenergik
(simpatomimetik). Mekanisme aksinya, stimulasi dari reseptor -adrenergik
menarik pembuluh darah, sehingga menurunkan pembengkakan pembuluh
sinus dan edema mukosa. Aksi langsung dekongestan (phenylephrine,
oxymetazoline, tetrahydrozoline) mengikat reseptor adrenergik (Berardi,
2004).
Untuk

farmakokinetiknya,

dekongestan

sistemik

dengan

cepat

dimetabolisme oleh monoamine oxidase dan katekol-O-methyltransferase di


gastrointestinal (GI) mukosa, hati, dan jaringan lain. Pseuodoephedrine
diserap dengan baik setelah pemberian oral, penylephrine memiliki
bioavailabilitas oral rendah. Pseuodoephedrine dan penylephrine memiliki
distribusi volume besar (2,6-5 L/kg) dan durasi pendek (6 jam untuk
pseudoefedrin dan 2,5 jam untuk phenylephrine), konsentrasi puncak untuk
kedua obat terjadi pada 0,5 jam sampai 2 jam setelah pemberian oral. Indikasi
dari dekongestan untuk mengurangi rasa sakit dari hidung serta untuk hidung
tersumbat. Efek samping yang ditimbulkan dekongestan seperti takikardi
(frekuensi denyut janting berlebihan, aritmia (penyimpangan irama jantung),
peningkatan tekanan darah atau stimulasi susunan saraf pusat (Depkes RI,
2007).
Table 1. Dosis Dekongestan menurut Berardi (2004)
Obat
Dewasa/anak 12

Dosis (maksimal per hari)


Anak 6-< 12 tahun
Anak 2-<6 tahun

Phenylephrine
Pdeudoephedrine

tahun
10 mg tiap 4

5 mg tiap 4

jam/hari
60 mg tiap 4-6

jam/hari
30 mg tiap 6

jam/hari

jam/hari

2,5 tiap 4 jam/hari


15 mg tiap 6
jam/hari

2. Antihistamin
Obat tanpa resep antihistamin penenang dapat mengurangi rhinorrhea
yang berhubungan dengan pilek dan mengurangi bersin (Berardi, 2004).
Mekanisme kerja antihistamin adalah antagonis reseptor H1 berikatan
dengan H1 tanpa mengaktivasi reseptor, sehingga mencegah terjadi ikatan dan
kerja histamin. Efek sedatif antihistamin tergantung dari kemampuan
melewati sawar darah otak. Kebanyakan antihistamin bersifat larut lemak dan
melewati sawar otak dengan mudah. Mengantuk adalah efek samping yang
paling sering ditimbulkan oleh antihistamin. Selain juga hilang nafsu makan,
mual, muntah, dan gangguan ulu hati. Efek samping pada sistem pencernaan
dapat dicegah dengan mengkonsumsi obat bersama makanan atau segelas
penuh air. Antihistamin lebih efektif jika dimakan 1-2 jam sebelum
diperkirakan

terjadinya

paparan

antihistamin

nonsedating

yang

pada
tidak

allergen.
punya

Loratadine,

aktivitas

sebuah

antikolinergik

(Puspitasari, 2010). Beberapa antihistamin yang dapat diperoleh tanpa resep


dokter antara lain: klorfenon (CTM), promethazin, triprolidin, dll. Dosis CTM
untuk anak uur 2-6 tahun 1 mg dan untuk anak umur 6-12 tahun 2 mg,
triprolidin untuk anak 4 - 6 tahun 0,9 mg 3-4 kali sehari, dan promethazin
untuk anak 1-6 tahun 5- 15 mg, dan untuk umur 6-12 10-20 mg sehari
(Depkes RI, 2007). Dalam pengobatan, antihistamin biasanya terdapat dalam
campuran dekongestan, obat penekan batuk, pereda nyeri (South-Paul dkk,
2004).
3. Analgesik

Analgesik efektif untuk nyeri atau demam yang berhubungan dengan


pilek. Pada pilek jarang terjadi demam diatas 37,8C. Antipiretik tanpa resep
seperti aspirin, asetaminofen, ibuprofen, naprofen, atau ketoprofen merupakan
obat yang efektif untuk mengurangi demam (Berardi, 2004). Dosis yang dapat
diberikan untuk anak 2 6 tahun adalah 1 2 sendok teh atau 120 250 mg
dan untuk anak 612 tahun di minum setiap 4 atau 6 jam. Dengan efek
samping kerusakan hati (jika digunakan jangka lama dan penggunaan dalam
dosis besar), selain itu juga dapat menimbulkan tukak lambung. (Depkes RI,
2007).
4. Antitusif
Infeksi virus dapat memproduksi sekret dalam jumlah besar pada saluran
pernapasan sehingga terjadi batuk. Fungsi batuk ini adalah mengeluarkan
sputum dan bakteri. Ketika batuk tidak produktif dapat ditekan dengan
antitusif yang bekerja dengan menekan sistem saraf pusat. Beberapa antitusif
yang dapat diperoleh tanpa resep dokter diantaranya,difenhidramin HCl dan
dextrometorpan yang terbukti efektif untuk pilek (Puspitasari, 2010). Dosis
yang dapat diberikan pada anak usia 2 12 tahun 2,5 5 ml 3 4 kali sehari.
Dan dengan efek samping yang ditimbulkan biasanya ringan dan jarang
terjadi seperti mual dan pusing (Depkes RI, 2007).
5. Vitamin
Suplemen yang dapat diberikan seperti vitamin C, jus lemon, teh herbal,
bioflavonoid, betakaroten. Vitamin C pada dosis tinggi (1-1,5 mg) berkhasiat
meringankan gejala, mempersingkat lamanya infeksi dan sebagai stimulan
sistem imun. Pada dosis tinggi limfosit dirangsang perbanyakan aktivitasnya
sehingga pembasmian virus berlangsung lebih cepat (Puspitasari, 2010). Dosis
yang dapat diberikan 50- 75 mg (Depkes RI, 2007)
SWAMEDIKASI
I.

OBAT-OBAT SINTESIS

A. Analgesik Dan Antipiretik


1. Paracetamol
Nama sedian

: Parasetamol

Produsen

: Indofarma

Bentuk sedian

: Larutan, Tablet

Dosis

: < 1 tahun : -1 sendok teh, atau 60-120 mg tiap 4-6

jam. 1-5 tahun 1-2 sedok teh atau 120-250 mg tiap 4-6 jam. 6-12 tahun 2-4
sendok teh atau 250-500 mg tiap 4-6 jam. > 12 tahun -1 g tiap 4 jam, maks 4
gram /hari.
Aturan pakai

: Dapat dimunum saat makan atau sebelum makan

Efek samping

: Dosis tinggi dapat mengakibatkan kerusakan fungsi hati

Kotraindikasi

: hipersensitif terhadap parasetamol dan difisiensi

glucose 6 fosfat dehidrogenasi.


OB/OBT/OWA

: OB

2. Ibuprofen
: Ibuprofen
Produsen

: Indofarma

Bentuk sedian

: Tablet 200 mg dan suspense 60 ml /botol

Dosis

: Dewasa 3-4 x 200 mg. anak 1-2 tahun 3-4 x 50 mg. 3-7

tahun 3-4 x 100 mg. 8-12 tahun 3-4 x 200 mg


Aturan pakai

: Setelah Makan

Efek samping

: jarang terjadi : mual, muntah ggn saluran cerna. Pernah

di laporkan ruam pada kulit


Kotraindikasi

hipersensitif

kehamilan trisemester pertama


OB/OBT/OWA

: OBT

B. Antihistamin
1. Chlopheniramini maleat
: CTM

ibuprofen,

penderita

ulkus

peptic,

Produsen

: Indofarma

Bentuk sedian

: Tablet

Dosis

: 1 tablet setiap 6-8 jam, Anak : < 12 tahun tablet

setiap 6-8 jam


Aturan pakai

: sebelum atau sesudah makan

Efek samping

: SSP depresi, sedasi, mengantuk, kelelahan, pusing.

gangguan GI, anoreksia, atau nafsu makan meningkat, nyeri epigastrium,


mengaburkan visi, disuria, mulut kering, sesak di dada, hipotensi, kelemahan
otot, tinnitus, euforia, sakit kepala, stimulasi SSP paradoks.
Kotraindikasi

: Hypersensitivity, neonates.

OB/OBT/OWA

: OBT

C. DEKONGESTAN
1. Pseudoefedrin HCl + Triprolidin HCl
: Tremenza
: Sanbe Farma
Bentuk sedian

: tablet dn sirup

Dosis

: Dws & anak >12 th 1 tab atau 2 sdt. Anak 6-12 thn

tab atau 1 sdt, 2-5 thn sdt. Slrh dosis diberikan 3-4 x/hr.
Aturan pakai

: sebelum atau sesudah makan

Efek samping

: Mulut, hidung & tenggorokan kering. Sedasi, pusing,

ggn koordinasi, tremor, insomnia, halusinasi, tinitus.


Kotraindikasi

: Peny sal napas bwh, termasuk asma. Glaukoma,

hipertensi, diabetes, peny arteri koroner, terapi MAOI.


OB/OBT/OWA
D. EKSPEKTORAN dan MUKOLITIK
1. Bromheksin HCl
: Bisolvon
: Boehringer Ingelheim

Bentuk sedian

: Eliksir

Dosis

: Dewasa 3 x 10 ml /hari. Anak 3 x 5 ml /hari. Bayi dan

anak kecil 3 x 2,5 ml /hari.


Aturan pakai

: sebaiknya di berikan bersama makan

Efek samping

: Angioedema, ruam, urtikaria, pruritus, bronkospasme,

mual, muntah, pusing, berkeringat, sakit kepala, diare, nyeri perut bagian atas,
peningkatan sementara nilai-nilai aminotransferase serum.
OB/OBT/OWA

: OBT

2. Deksomethorphan HBr
: Deksometorpan (DMP)
: Sampharindo
Bentuk sedian

: Tablet Salut dan sirup

Dosis

: tablet : dewas dan anak > 12 tahun 3x1 tab /hari, anak

6-12 tahun 3x tab /hari. Sirup : Dewasa 3-4x1-2 sendok /hari, anak 6-12
tahun 3-4x -1 sendok /hari
Aturan pakai

: sesudah makan

Efek samping

: Jarang menyebabkan kantuk, mual, pusing, konstipasi.

OB/OBT/OWA
E. ANTIBIOTIK
1. Amoxicilin
: Amoxicilin
: hexpharm
Bentuk sedian

: kapsul 500 mg dan sirup kering 125mg/5ml

Dosis

: Dewasa dan anak BB > 20kg 3x1 kapsul /hari,

Aturan pakai

: sesudah makan atau sebelum makan

Efek samping

: Keluhan saluran cerna, hipersensitif seperti urtikaria,

nyeri sendi demam, edema, dll


Kontraindikasi

: hipersnsitif terhadap betalaktam

OB/OBT/OWA
II.

OBAT-OBAT HERBAL
Selain obat sintetik yang diproduksi sebgai obat hidung, dalam masyarakat
dikenal beberapa tanaman obat yang dapat digunakan untuk mengobati
kelainan-kelainan pada hidung seperti mimisan (epitaksis) dan sinusitis.
Beberapa contoh tanaman obat yang digunakan, antara lain
1. Alang-alang (Imperata cylindrica L.)

Famili

: Poaceae (gramineae)

Nama daerah : Naleueng kako (sumatera)


Kand.kimia

: Mengandung manitol, glukosa, sakharosa

Bagian yang dipakai: Akar


Kegunaan

: Mimisan (Epitaksis)

Pemakaian

: Akar segar dicuci bersih, lalu ditumbuk &


diperas airnya sampai terkumpul sekitar 100
cc, minum. Atau 30 gram, akar segar dicuci
bersih lalu dogodok dengan 3 gelas air sampai
tersisa 1 gelas. Minum setelah dingin

2. Blustru (Lufta aegyptica Mill)

Famili

: Cucurbitaceae

Nama daerah

: Blustru , lopang , oyong ( jawa ) , ketola


timpul

Kand. Kimia

: Glutamine, arginine, lysine

Bagian yang dipakai : Bunga


Kegunaan

: Sinusitis

Pemakaian

: Bunga 10 - 15 gram dicuci bersih, ditumbuk


dan diperas airnya, minum.

3. Cabe jawa (Piper retrofactum Vahl)

Famili

: Piperaceae

Nama daerah

: Cabean, cabe areuy (jawa)

Kand. Kimia

: Asam palmitat, minyak atsiri

Bagian yang dipakai : Buah


Kegunaan

: Hidung berlendir

Pemakaian

: Untuk minum , 2,5-5 gram digodok


atau dijadikan pil, bubuk.

4. Jengger ayam (Celosia cristata L.)

Famili

: Amaranthaceae

Nama daerah

: Tatara manuk, sapiri mana (sulawesi)

Kand. Kimia

: Kaemfreritrin, amaranthan

Bagian yang dipakai

: Bunga

Kegunaan

: Epitaksis

Pemakaian

: Bunga ditambahkan urang-aring digodok,


minum.

5. Menghentikan pendarahan hidung (mimisan)


Nama Tanaman
Familia

: Sirih (Piper betle)


: Piperaceae

Nama Daerah

: Sirih

Kandungan kimia

: Bagian tanaman yang digunakan sebagai obat


adalah daunnya yang mengandung minyak
atsiri

berupa

eugenol,

kadinen,

kariofilen,

kavikol,

karvakrol,

sineol,
terpinen,

seskuiterpen, dan tannin.


Bahan

: 1 lembar daun sirih

Cara membuat

: daun sirih digulung sambil ditekan-tekan


sedikit supaya keluar minyaknya.

Cara menggunakan

: dipakai untuk menyumbat hidung yang


berdarah/mimisan.

DAFTAR PUSTAKA
WHO. 2010. Pharmacological Management of Pandemic Influenza A(H1N1) 2009
and other Influenza Viruses. Part 1 Recommendtion.
Anonim. 2006. http://www.pom.go.id/mobile/index.php/view/berita/158/OBATFLU.html. Diakses 09 Oktober 2016
Spickler, Anna Rovid. 2016. Influenza. Last Full Review; The Center For Food
Security & Public Health.
Anonim., 2009, Flu Shots, Antibiotics, & Your Immune
http://www.drabelson.com/PDF/Flu.pdf. Diakses 09 Oktober 2016.

System.

Huriyati Effy, dan Al Hafis,. Diagnosis dan Penatalaksanaan Rinitis Alergi yang
Disertai Asma Bronkial. Fakultas Kedokteran: Universitas Andalas

Departemen Kesehatan. 2005. Pharmaceutical Care Untuk penyakit Infeksi saluran


Pernapasan. Direktorat BINA Farmasi Komunitas Dan Klinik
Depkes. 2007. Kompendia Obat Bebas, Edisi 2, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat
dan Makanan, Jakarta. Hal: 93-96.
Berardi, R. 2004. Handbook of Nonprescription Drugs. Edisi IV. American
Pharmacist Assosiation. Amerika. Hal: 919-920.

Anda mungkin juga menyukai