Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN
Reaksi stres akut (juga disebut gangguan stres akut, shock psikologis, mental
shock, atau sekedar, shock) adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan
terhadap peristiwa yang mengerikan.
"Respons stres akut" pertama kali dideskripsikan oleh Walter Cannon pada tahun 1920 sebagai
sebuah teori bahwa hewan-hewan bereaksi terhadap ancaman dengan pembuangan umum dari
sistem saraf simpatik. Respons ini kemudian dikenal sebagai tahap pertama dari sindrom
adaptasi umum yang mengatur tanggapan stres di antara vertebrata dan organisme lain.
Gangguan stres akut ditandai dengan perkembangan kecemasan yang parah, disosiatif, dan gejala
lain yang terjadi dalam waktu satu bulan setelah terkena stresor traumatis yang ekstrem
(misalnya, menyaksikan kematian atau kecelakaan serius).
Sebagai tanggapan terhadap peristiwa traumatik, individu mengembangkan gejala disosiatif.
Individu dengan gangguan stres akut mempunyai penurunan respon emosional, seringkali sulit
atau tidak mungkin untuk mengalami kenikmatan dalam kegiatan-kegiatan menyenangkan
sebelumnya, dan sering merasa bersalah karena mengejar tugas-tugas kehidupan biasa.
Seseorang dengan gangguan stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi, merasa
terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau mengalami
kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia disosiatif).
BAB II
LAPORAN KASUS

Ny. Aria, 26 tahun. Karyawan sebuah perusahaan swasta di Jakarta, dibawa oleh kepala unit
kerjanya ke UGD RS Trisakti setelah ditemukan berguling-guling di lantai tempat kerjanya
sambil berulang-ulang berteriak ketakutan : Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya
sendiri, seperti orang kesurupan.
Ny. Aria adalah seorang karyawan yang rajin dan baik. Selama ini tidak ada masalah sama sekali
dalam pekerjaannya sampai terjadi peristiwa yang sangat mengejutkan 2 minggu yang lalu saat
Ny. Aria mendapat giliran tugas kerja malam hari. Ketika ia menuju ke tempat kerjanya, di
tempat pemberhentian bus yang waktu itu tampak sepi, tiba-tiba ada 2 orang pria bertubuh besar
yang sengaja mendorongnya hingga ia terjatuh. Kedua pria itu dengan garang mengancam akan
mencekik lehernya hingga patah bila ia berani berteriak. Kemudian kedua pria tadi berusaha
hendak memperkosa Ny. Aria. Beruntung mendadak terdengar ada orang yang sedang mendekat,
dengan serta merta kedua pria tadi lalu lari meninggalkan Ny. Aria tergeletak di lantai seorang
diri. Peristiwa itu membuat Ny. Aria sangat terkejut, namun tidak ada luka yang berarti di
tubuhnya. Setelah peristiwa itu, Ny. Aria tampak murung, namun ia tetap menjalankan tugas
pekerjaannya dan berusaha melupakan peristiwa itu. Ia menolak anjuran keluarga dan temantemannya untuk menceritakan kejadian yang ia alami. Ia terlihat menarik diri dari pergaulan
sosial, berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak bekerja. Seminggu setelah kejadian,
ia mulai sering mimpi buruk tentang peristiwa itu dan terbangun dengan keringat yang
membasahi tubuhnya. Teman-teman kerjanya memperhatikan perubahan pada dirinya, ia menjadi
sering gelisah dan mudah terkejut.
Ia juga menghindari transportasi umum dan menolak menonton acara tv apapun, takut kalaukalau melihat sesuatu yang dapat membangkitkan ingatannya terhadap peristiwa perkosaan itu
yang telah diusahakan dengan kuat untuk dilupakan. Ny. Aria akhirnya dibawa berobat ke UGD
RS Trisakti ketika suatu malam supervisornya melihat ia tergeletak berguling-guling di lantai
sambil berteriak-teriak: Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya sendiri. seperti orang
kesurupan. Kepada dokter, Ny. Aria menyatakan bahwa dalam pikirannya sering muncul kembali

peristiwa pemerkosaan itu dan ia juga sering mendengar suara kedua pria yang ingin
membunuhnya.
Ny. Aria sudah bekerja di kantornya selama lebih dari 5 tahun. Dari pernikahannya, ny. Aria
belum mendapat anak. Dua tahun yang lalu, ia cerai dari suaminya, sejak itu ia tinggal lagi
bersama orang tua dan saudara-saudaranya. Ny. Aria adalah anak pertama dari 3 bersaudara,
semuanya perempuan. Walaupun hanya tamat SMA, prestasi di sekolah cukup baik. Ny. Aria
tidak pernah tinggal kelas. Teman-temannya banyak dan hingga sekarang masih sering kumpulkumpul. Teman-temannya menilai Ny. Aria sebagai orang yang ramah dan mudah bergaul, serta
menyenangkan. Dari pemeriksaan fisik dan laboratorium, tidak ditemukan kelainan.
Identitas pasien:
Nama : Ny. Aria
Umur : 26 tahun
Jenis kelamin : perempuan
Alamat : Jl. X
Pekerjaan : Karyawan swasta
Status perkawinan : bercerai 2 tahun yang lalu
Riwayat Psikiatrik :
1.

Keluhan utama: berguling-guling di lantai tempat kerjanya sambil berulang-ulang

berteriak ketakutan : Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya sendiri, seperti orang
kesurupan.
2. Riwayat gangguan sekarang:

Sering mengalami mimpi buruk mengenai peristiwa percobaan pemerkosaan


yang pernah dialaminya.
Sering gelisah dan mudah terkejut.
Berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak bekerja.
Menghindari transportasi umum dan menolak menonton acara tv apapun.

3.

Riwayat gangguan dahulu:


Mengalami peristiwa percobaan pemerkosaan dua minggu yang lalu

4.

Kondisi medik umum: -

5.

Riwayat medikasi: -

6.

Riwayat kehidupan pribadi:


Bercerai dengan suaminya 2 tahun yang lalu dan sejak itu ia tinggal lagi bersama orang
tua dan saudara-saudaranya.

7.

Riwayat keluarga:
Anak pertama dari 3 bersaudara, semuanya perempuan.

8.

Riwayat sosial/ekonomi:
Menarik diri dari pergaulan sosial, berdiam diri saja di
rumah, dan hanya keluar bila hendak bekerja.

Pemeriksaan Status Mental:


I. Gambaran Umum:
A. Penampilan: tampak murung
B. Kesadaran:
Biologis : compos mentis
Psikologis dan sosial : terganggu
C. Perilaku dan aktifitas psikomotor: gelisah, mudah terkejut.
D. Sikap terhadap pemeriksa: terdapat kontak mata, kooperatif, dapat
menceritakan masalahnya.
II. Alam perasaan:
A. Mood: gejala mood hipothym, terdapatnya episode depresi, dapat dilihat
dari hilangnya minat terhadap pergaulan sosial, mimpi buruk berulang
yang menyebabkan gangguan tidur, gangguan psikomotor berupa sering
gelisah dan mudah terkejut.
B. Afek: ekspresi afektif tampak murung.

III. Fungsi intelektual:


- Taraf pendidikan : SMA
- Orientasi : - Daya Ingat : - Konsentrasi : - Pikiran Abstrak : - Bakat Kreatif : IV. Gangguan persepsi:
- Halusinasi visual: dalam pikirannya sering muncul kembali peristiwa
pemerkosaan itu.

- Halusinasi auditorik: sering mendengar suara kedua pria yang ingin membunuhnya.
V. Proses pikir:
A. Arus pikir: B. Isi pikir: VI. Pengendalian impuls: ditemukan berguling-guling di lantai kantornya sambil
berteriak-teriak.
VII. Daya nilai:
- Daya nilai realitas: halusinasi
- Daya nilai sosial: menarik diri
- Uji daya nilai:VIII. Tilikan: derajat 1
IX. Taraf kepercayaan: kebenaran informasi yang diberikan pasien dapat dipercaya.
Pemeriksaan fisik:
- Tidak ditemukan kelainan
Pemeriksaan penunjang:
Pemeriksaan laboratorium: Tidak ditemukan kelainan.
Diagnosis Multiaksial:

-Aksis I : gangguan terkait stress ( gangguan stress akut).


-Aksis II : Tidak ada gangguan kepribadian

Tidak ada retardasi mental .


-Aksis III : Tidak ada
-Aksis IV : Masalah berkaitan dengan interaksi hukum/criminal.
Dalam kasus ini terdapat percobaan pemerkosaan.
-Aksis V : GAF-70
Terdapat gejala ringan dan menetap.
Daftar Masalah yang ditemukan:
1. Problem Organobiologik: Tidak ada.
2. Problem Psikologis:
- Tampak murung, sering gelisah, dan mudah terkejut
- Mimpi buruk
-Halusinasi dan gangguan tingkah laku (berteriak-teriak dan berguling-guling)
- Pikirannya sering muncul kembali peristiwa pemerkosaan (flashback)
- Sering mendengar suara kedua pria yang ingin membunuhnya
3. Problem Sosiokultural:
- Berdiam diri di rumah
- Menolak menonton televisi
- Menarik diri dari pergaulan social
- Menghindari transportasi umum
Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan:
o

Pasien dibawa ke rumah sakit karena berteriak-teriak ketakutan dan berguling-guling di


lantai tempat kerjanya sehingga untuk menenangkan diberikan antipsikotik yaitu gologan
phenotiazide yaitu clorpromazin.

Setelah pasien tenang, dilakukan anamnesis untuk mengetahui lebih jauh tentang apa
yang sedang dialami oleh pasien. Anamnesis yang dapat dilakukan secara autoanamnesis atau
alloanamnesis.

Prognosis:
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanasionam : Dubia ad Bonam
( Sering kambuh jika ada stressor kembali)
BAB III
PEMBAHASAN
Problem problem Ny. Aria dapat dibagi menjadi, yaitu :

Berguling-guling di lantai tempat kerja

Berulang-ulang berteriak ketakutan : Lepaskan saya, lepaskan saya, tinggalkan saya


sendiri, seperti orang kesurupan.

Dua minggu yang lalu Ny. Aria mengalami peristiwa traumatik (percobaan pemerkosaan)

Tampak murung

Menarik diri dari pergaulan sosial, berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak
bekerja

Seminggu setelah kejadian, ia mulai sering mimpi buruk tentang peristiwa itu dan
terbangun dengan keringat yang membasahi tubuhnya

Teman-teman kerjanya memperhatikan perubahan pada dirinya, ia menjadi sering gelisah


dan mudah terkejut

Ia juga menghindari transportasi umum dan menolak menonton acara tv apapun, takut
kalau-kalau melihat sesuatu yang dapat membangkitkan ingatannya terhadap peristiwa perkosaan
itu yang telah diusahakan dengan kuat untuk dilupakan

Kepada dokter, Ny. Aria menyatakan bahwa dalam pikirannya sering muncul kembali
peristiwa pemerkosaan itu dan ia juga sering mendengar suara kedua pria yang ingin
membunuhnya

Dua tahun yang lalu, ia cerai dari suaminya


Untuk lebih ringkasnya, daftar problem Ny. Aria dibagi menjadi berikut ini:
Organobiologik
Psikologik
Sosiokultural
Tidak ada
Tampak murung, sering Berdiam diri di rumah
gelisah,
dan mudah
terkejut
Mimpi buruk
Menolak menonton tv
Halusinasi dan gangguan Menarik
diri
dari
tingkah laku (berteriak- pergaulan sosial
teriak
dan
bergulingguling)
pikirannya sering muncul Menghindari
kembali
peristiwa umum
pemerkosaan (flashback)
sering

mendengar

suara

kedua

pria

ingin

yang

transportasi

membunuhnya

Hipotesis yang dapat disimpulkan:


Post Traumatic Stress Disorder
Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat
traumatic bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana
alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman
kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (wakin through),
penghindaran yang eprsisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas
pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten.

Gangguan Stress Akut


Gangguan stress akut dengan PTSD pada dasarnya sama, baik dari segi gejala-gejala, etiologi
yang berupa stressor. Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD
adalah lamanya gejala berlangsung yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari
hingga 1 bulan sedangkan pada PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan.
Gangguan Panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak
diperkirakan. Gangguan panik ini sering disertai dengan adanya agoraphobia yaitu ketakutan
berada sendirian di tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan
keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai tempat kerjanya sehingga
hal ini mendukung adanya suatu serangan panic yang spontan. Selain itu, pasien juga
menghindari tempat-tempat umum atau transportasi umum.
Kriteria diagnostik Acute Stess Disorder :
A. Orang yang telah terpapar dari suatu kejadian traumatic apabila ditemukan:
1. Orang yang mengalami atau dihadapkan dengan suatu kejadian yang berupa ancaman
kematian atau cedera yang serius atau ancama kepada integritas fisik diri sendiri atau
orang lain.
2. Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horror.
B. Salah satu setelah mengalami kejadian yang menakutkan, individu mengalami salah satu dari
gejala disosiatif berikut:
1. Perasaan subjektif kaku, terlepas atau tidak ada responsifitas emosi.
2. Penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya.
3. Derealisasi.
4. Depersonalisasi.
5. Amnesia disosiatif, yaitu ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.

C. Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali dalam sekurangnya satu cara berikut:
pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuran atau penderitaan saat terpapar dengan
pengingat kejadian traumatik.
D. Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan trauma, misalnya pikiran, perasaan,
percakapan, aktifitas, tempat, orang.
E. Gejala kecemasan yang nyata atau peningkatan kesadaran.
F. Gangguan yang menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam
fungsi sosial, pekerjaan, atau kondisi penting lain.
G. Gangguan berlangsung minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam 4 minggu
setelah kejadian traumatik.
I. Tidak karena efek fisiologis dari suatu zat atau kondisi medis umum.
Pada pasien ini memenuhi kriteria diagnostik untuk Acute Stress Disorder adalah:
- Menolak menceritakan kembali kejadian yang pernah dialami, terlihat menarik diri dari
pergaulan social, berdiam diri saja di rumah, hanya keluar bila hendak bekerja,
menghindari transportasi umum, dan menolak menonton acara televisi apapun.
Hal ini merupakan bentuk dari suatu penghindaran yang jelas dari stimuli yang
menyadarkan trauma. (kriteria D).
- Sering mimpi buruk, terbangun dengan berkeringat, menjadi sering gelisah,
dan mudah terkejut.
Hal ini merupakan bentuk dari gejala kecemasan yang nyata dan peningkatan
kesadaran. (kriteria E).
- Kejadian tersebut berlangsung dua minggu yang lalu. (kriteria G).
Diagnosis multiaksial pada kasus ini :
- Aksis I : gangguan terkait stress ( gangguan stress akut).
- Aksis II : Tidak ada gangguan kepribadian
Tidak ada retardasi mental .

- Aksis III : Tidak ada


- Aksis IV : Masalah berkaitan dengan interaksi hukum/criminal.
Dalam kasus ini terdapat percobaan pemerkosaan.
- Aksis V : GAF-70
Terdapat gejala ringan dan menetap.
Patofisiologi terjadinya hal-hal yang dirasakan oleh pasien:
Disebabkan oleh adanya persitiwa traumatik yaitu percobaan pemerkosaan yang
membuat pasien stress. Sebagai contoh bila terdapat rasa takut, tubuh mengaktifkan "melawan
atau lari" jawaban. Dalam reaksi, tubuh melepaskan adrenalin, yang bertanggung jawab untuk
meningkatkan tekanan darah dan detak jantung dan peningkatan glukosa ke otot (untuk
memungkinkan melarikan diri dengan cepat dalam menghadapi ancaman bahaya). Namun, saat
bahaya yang cepat dan mengancam yang mungkin dilakukan adalah pergi, tubuh mulai proses
mematikan respons stres, dan proses ini melibatkan pelepasan lain hormon yang dikenal sebagai
kortisol.
Jika tubuh tidak cukup menghasilkan kortisol untuk menutup penerbangan atau reaksi
stres, dapat terus merasakan efek stres adrenalin. Korban trauma yang mengembangkan posttraumatic stress disorder seringkali memiliki tingkat yang lebih tinggi merangsang hormon lain
(katekolamin) di bawah kondisi normal di mana ancaman trauma tidak hadir. Hormon yang sama
ini meningkat ketika mereka diingatkan pada trauma yang pernah dialami.
Secara fisik, tubuh juga akan meningkatkan detak jantung. Kaskade ini perubahan fisik, satu
pemicu lain, menunjukkan bahwa awal intervensi dapat menjadi kunci untuk berangkat efek
post-traumatic stress disorder.
Stress inilah yang akan merangsang HPA axis (hippothalamus-pituitary-adrenal axis)
yang akan menghasilkan hormon kortisol. Hormon kortisol yang meningkat menandakan adanya

stress. Dalam keadaan normal hormone kortisol dapat mengirimkan mekanisme umpan balik
negatif sehingga pembentukan hormone kortisol dapat dihentikan bila stress telah dapat diatasi
oleh diri seseorang. Namun, bila stress berlangsung terus menerus mekanisme umpan balik
negative dari hormone kortisol tidak dapat melakukan fungsinya dengan optimal sehingga
hormone kortisol terus diproduksi yang mengakibatkan ketidakseimbangan neurotransmitter
yang akhirnya menyebabkan gangguan neuroendokrin dan perubahan neurofisiologi.
Tindakan-tindakan yang perlu dilakukan di UGD adalah sebagai berikut :
Pasien ini dibawa ke rumah sakit karena berteriak-teriak ketakutan dan berguling-guling
di lantai tempat kerjanya sehingga untuk menenangkan diberikan antipsikotik yaitu
gologan phenotiazide yaitu clorpromazin.
Setelah pasien tenang, dilakukan anamnesis untuk mengetahui lebih jauh tentang apa
yang sedang dialami oleh pasien. Anamnesis yang dapat dilakukan secara autoanamnesis
atau alloanamnesis.
Pemeriksaan Fisik
Untuk mengetahui adanya cedera pada anggota tubuh pasien karena dilihat dari riwayat
pasien pernah sengaja didorong oleh pemerkosa hingga terjatuh. Dalam kasus ini pasien
tidak mengalami kelainan dalam pemeriksaan fisik dan laboratorium.
Terapi
Pada umumnya gangguan sress akut (ASD) dapat sembuh dengan sendirinya, namun
perlu mendapat tindakan lebih lanjut apabila berkembang menjadi gangguan stress pasca trauma
(PTSD).
Terapi perilaku kognitif yang mencakup eksposur dan restrukturisasi kognitif efektif
dalam mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis dengan klinis ASD dengan hasil yang
signifikan. Kombinasi relaksasi, restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur
lebih unggul untuk mendukung konseling.

Apabila sudah berkembang menjadi PTSD, ada dua macam terapi pengobatan yang dapat
dilakukan penderita PTSD, yaitu dengan menggunakan farmakoterapi dan psikoterapi.
Farmakoterapi :
Benzodiazepin
- Estazolam 0,5-1 mg per os,
- Oksanazepam10-30 mg per os,
- Diazepam (valium) 5-10 mg per os,
- Klonazepam 0,25-0,5 mg per os, atau
- Lorazepam 1-2 mg per os atau IM
Psikoterapi
Para terapis yang sangat berkonsentrasi pada masalah PTSD percaya
bahwa ada tiga tipe psikoterapi yang dapat digunakan dan efektif untuk penanganan PTSD,
yaitu:
Anxiety management
1) relaxation training, yaitu belajar mengontrol ketakutan dan kecemasan secara sistematis dan
merelaksasikan kelompok otot -otot utama,
2) breathing retraining, yaitu belajar bernafas dengan perut secara perlahan -lahan, santai dan
menghindari bernafas dengan tergesa-gesa yang menimbulkan perasaan tidak nyaman, bahkan
reaksi fisik yang tidak baik seperti jantung berdebar dan sakit kepala,
3) positive thinking dan self-talk, yaitu belajar untuk menghilang-kan pikiran negatif dan
mengganti dengan pikiran positif ketika menghadapi hal hal yang membuat stress (stresor),
4) asser-tiveness training, yaitu belajar bagaimana mengekspresikan harapan, opini dan emosi
tanpa menyalahkan atau menyakiti orang lain,
5) thought stopping, yaitu belajar bagaimana mengalihkan pikiran ketika kita sedang memikirkan
hal-hal yang membuat kita stress (Anonim, 2005b).
Cognitive therapy
Terapis membantu untuk merubah kepercayaan yang tidak rasional

yang mengganggu emosi dan mengganggu kegiatan -kegiatan kita. Misalnya seorang korban
kejahatan mungkin menyalahkan diri sendiri karena tidak hati -hati.
Tujuan

kognitif

terapi

adalah

mengidentifikasi

pikiran-pikiran

yang

tidak

rasional,

mengumpulkan bukti bahwa pikiran tersebut tidak rasional untuk melawan pikiran tersebut yang
kemudian mengadopsi pikiran yang lebih realistik untuk membantu mencapai emosi yang lebih
seimbang (Anonim, 2005b).
Exposure therapy
Para terapis membantu menghadapi situasi yang khusus, orang lain, obyek, memori atau emosi
yang mengingatkan pada trauma dan menimbulkan ketakutan yang tidak realistik dalam ke
-hidupannya.
Exposure in the imagination
Bertanya pada penderita untuk mengulang cerita secara detail sampai tidak mengalami hambatan
menceritakan
Exposure in reality
Membantu menghadapi situasi yang sekarang aman tetapi ingin dihindari karena menyebabkan
ketakutan yang sangat kuat (misal: kembali ke rumah setelah terjadi perampokan di rumah).
Ketakutan bertambah kuat jika kita berusaha mengingat situasi tersebut dibanding berusaha
melupakannya.
Pengulangan situasi disertai penyadaran yang berulang akan membantu menyadari situasi
lampau yang menakutkan tidak lagi berbahaya dan dapat diatasi.
Play therapy
Berguna pada penyembuhan anak dengan PTSD. Terapi bermain dipakai untuk menerapi anak
dengan PTSD.
Terapis memakai permainan untuk memulai topik yang tidak dapat dimulai secara langsung. Hal
ini dapat membantu anak lebih merasa nya -man dalam berproses dengan pengalaman
traumatiknya.
Support group therapy dan terapi bicara.

Dalam support group therapy seluruh peserta merupakan penderita PTSD yang mempunyai
pengalaman serupa (misalnya korban bencana tsunami, korban gempa bumi) dimana dalam
proses terapi mereka saling menceritakan tentang pengalaman traumatis mereka, kemudian
mereka sa ling memberi penguatan satu sama lain (Swalm, 2005). Sementara itu dalam terapi
bicara memperlihatkan bahwa dalam sejumlah studi penelitian dapat membuktikan bahwa terapi
saling berbagi cerita
mengenai trauma, mampu memperbaiki kondisi jiwa penderita.
Dengan berbagi, bisa memperingan beban pikiran dan kejiwaan yang dipendam. Bertukar cerita
membuat merasa senasib, bahkan merasa dirinya lebih baik dari orang lain.
Kondisi ini memicu seseorang untuk bangkit dari trauma yang diderita dan melawan kecemasan.
Prognosis:
Ad Vitam : Bonam
Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam
Ad Sanasionam : Dubia ad Bonam
( Sering kambuh jika ada stressor kembali)
BAB IV
TINJAUAN PUSTAKA
ACUTE STRESS DISORDER
Definisi
Acute Stress Disorder adalah sebuah kondisi psikologis yang timbul sebagai tanggapan
terhadap peristiwa yang mengerikan, hasil dari sebuah peristiwa traumatis di mana seseorang
mengalami atau saksi suatu peristiwa yang menyebabkan korban / saksi untuk mengalami
ekstrim, mengganggu atau tidak terduga takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang
melibatkan atau mengancam serius, dirasakan cedera serius (biasanya kepada orang lain), atau
kematian. Reaksi stres akut adalah variasi dari Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD) dan

adalah pikiran dan tubuh terhadap perasaan (baik yang dirasakan dan nyata) yang intens
ketidakberdayaan.
Epidemiologi
Secara umum, prevalensi seumur hidup gangguan stress akut sebesar 8% sementara 515% mengalami bentuk subklinis. Pada kelompok yang pernah mengalami trauma sebelumnya,
prevalensinya antara 5-75%. Wanita memiliki risiko yang lebih tinggi (10-12%) dibandingkan
pria (5-6%) pada kelompok usia dewasa muda.
Etiologi
Stressor atau peristiwa traumatis di mana seseorang mengalami atau saksi suatu peristiwa
yang menyebabkan korban / saksi untuk mengalami ekstrim, mengganggu atau tidak terduga
takut, stres, (dan kadang-kadang rasa sakit) dan yang melibatkan atau mengancam, cedera serius,
atau kematian.
Walaupun stressor diperlukan, namun stressor tidak cukup untuk menyebabkan
gangguan. Faktor-faktor yang harus ikut dipertimbangkan adalah faktor biologis individual,
faktor

psikososial

sebelumnya

dan

peristiwa

yang

terjadi

setelah

trauma.

Faktor kerentanan yang merupakan predisposisi tampaknya memainkan peranan penting dalam
menentukan apakah gangguan akan berkembang, yaitu :
1.

Adanya trauma masa anak-anak

2.

Sifat gangguan kepribadian ambang, paranoid, dependen, atau anti sosial

3.

Sistem pendukung yang tidak adekuat

4.

Kerentanan konstitusional genetika pada penyakit psikiatrik

5.

Perubahan hidup penuh stress yang baru terjadi

6.

Persepsi lokus kontrol eksternal

7.

Penggunaan alkohol, walaupun belum sampai taraf ketergantungan

Jika trauma terjadi pada masa anak-anak maka akan terjadi penghentian perkembangan
emosional, sedangkan jika terjadi pada masa dewasa akan terjadi regresi emosional.

Manifestasi Klinis
Gejala menunjukkan variasi yang besar, tetapi biasanya mereka menyertakan sebuah
keadaan awal dari "linglung", dengan beberapa penyempitan bidang kesadaran dan penyempitan
perhatian, ketidakmampuan untuk memahami rangsangan, dan disorientasi. Keadaan ini dapat
diikuti baik oleh penarikan lebih lanjut dari situasi sekitarnya, atau dengan agitasi dan
overeaktifitas. Tanda-tanda panik otonom kecemasan (takikardia, berkeringat, kemerahan) yang
umumnya hadir. Gejala biasanya muncul dalam beberapa menit dari dampak dari stres
rangsangan atau aktivitas, dan menghilang dalam waktu 2-3 hari (seringkali dalam beberapa
jam). Amnesia sebagian atau lengkap untuk episode mungkin ada.
Seseorang dengan Gangguan Stress akut dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi,
merasa terlepas dari tubuh mereka, pengalaman dunia sebagai tidak nyata atau mimpi, atau
mengalami kenaikan kesulitan mengingat detail spesifik dari peristiwa traumatik (amnesia
disosiatif). Peristiwa traumatik yang dialami kembali terus-menerus dalam setidaknya salah satu
dari cara berikut: berulang, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik, atau rasa menghidupkan
kembali pengalaman atau penderitaan pemaparan pada pengingat dari peristiwa traumatik.
Diagnosis
Kriteria diagnostik untuk gangguan stress akut menurut DSM IV adalah sebagai berikut:
A.

Orang telah terpapar dengan suatu kejadian traumatik dimana kedua dari berikut ini

ditemukan:
a.

Orang mengalami, menyaksikan, atau dihadapkan dengan suatu kejadian atau

kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sesungguhnya atau cedera
yang serius, atau ancaman kepada integritas diri atau orang lain.
b.
B.

Respon orang tersebut berupa rasa takut yang kuat, rasa tidak berdaya atau horor.
Salah satu selama mengalami atau setelah mengalami kejadian yang menakutkan,

individu tiga (atau lebih) gejala disosiatif berikut :


a.

perasaan subyektif kaku, terlepas, atau tidak ada responsivitas emosi

b.

penurunan kesadaran terhadap sekelilingnya (misalnya, berada dalam keadaan

tidak sadar)
c.

derealisasi

d.

depersonalisasi

e.

amnesia disosiatif (yaitu, ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari

trauma)
B

Kejadian traumatik secara menetap dialami kembali sekurangnya satu cara berikut:

bayangan, pikiran, mimpi, ilusi, episode kilas balik yang rekuren, atau suatu perasaan hidupnya
kembali pengalaman atau penderitaan saat terpapar dengna pengingat kejadian traumatic
C

Penghindaran jelas terhadap stimuli yang menyadarkan rekoleksi trauma (misalnya,

pikiran, perasaan, percakapan, aktivitas, tempat, orang).


D

Gejala kecemasan yang nyata atau pengingat kesadaran (misalnya, sulit tidur, iritabilias,

konsentrasi buruk, kewaspadaan berlebihan, respon kejut yang berlebihan, dan kegelisahan
motorik).
E

Gangguan menyebabkan penderitaan yang bermakna secara klinis atau gangguan dalam

fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting lain, menganggu kemampuan individu untuk
mengerjakan tugas yang diperlukan, seperti meminta bantuan yang diperlukan atau menggerakan
kemampuan pribadi dengan menceritakan kepada anggota keluarga tentang pengalaman
traumatic.
F

Gangguan berlangsung selama minimal 2 hari dan maksimal 4 minggu dan terjadi dalam

4 minggu setelah traumatik


G

Tidak karena efek fisiologis langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan,

medikasi) atau kondisi medis umum, tidak lebih baik diterangkan oleh gangguan psikotik singkat
dan tidak semata-mata suatu eksaserbasi gangguan Aksis I atau Aksis II dan telah ada
sebelumnya.

Pasien dengan gangguan disosiatif biasanya tidak memiliki derajat perilaku menghindar,
kesadaran berlebih (hiperarousal) otonomik, atau riwayat trauma yang dilaporkan oleh pasien
gangguan stress pascatraumatik. Sebagian karena publikasi yang luas dan telah diterima, istilah
gangguan stress pascatraumatik dalam berita popular, klinisi harus juga mempertimbangkan
kemungkinan suatu gangguan buatan atau berpura-pura.
Diagnosis Banding
Post Traumatic Stress Disorder
Pada PTSD, pasien harus mengalami suatu stress emosional yang besar yang bersifat
traumatic bagi setiap orang. Peristiwa trauma tersebut termasuk trauma peperangan, bencana
alam, penyerangan, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius. PTSD terdiri dari pengalaman
kembali trauma melalui mimpi dan pikiran yang membangunkan (wakin through),
penghindaran yang persisten oleh penderita terhadap trauma dan penumpulan responsivitas
pada penderita tersebut, kesadaran berlebihan (hyperarousal) yang persisten.
Menurut DSM-IV perbedaan antara gangguan stress akut dengan PTSD adalah lamanya gejala
berlangsung yaitu pada gangguan stress akut berlangsung 2 hari hingga 1 bulan sedangkan pada
PTSD berlangsung lebih dari 1 bulan.
Gangguan Panik
Gangguan panik adalah ditandai dengan terjadinya serangan panik yang spontan dan tidak
diperkirakan. Gangguan panik ini sering disertai dengan adanya agoraphobia yaitu ketakutan
berada sendirian di tempat-tempat publik. Pasien ini dibawa berobat ke rumah sakit dengan
keluhan berteriak-teriak ketakutan serta berguling-guling di lantai tempat kerjanya sehingga
hal ini mendukung adanya suatu serangan panic yang spontan. Selain itu, pasien juga
menghindari tempat-tempat umum atau transportasi umum.
Penatalaksanaan
Gangguan ini dapat diatasi sendiri dengan waktu atau mungkin berkembang menjadi
gangguan yang lebih berat seperti PTSD. Namun hasil Creamer, O'Donnell dan Pattison's (2004)

penelitian terhadap 363 pasien menunjukkan bahwa diagnosa Gangguan Stres akut hanya
memiliki validitas prediktif terbatas untuk PTSD. Namun tidak menemukan bahwa pengalaman
kembali peristiwa traumatik dan gairah lebih baik prediktor PTSD. Obat dapat digunakan untuk
jangka waktu yang sangat singkat (sampai empat minggu)
Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk menilai efektivitas konseling dan psikoterapi
bagi orang-orang dengan ASD. Terapi perilaku kognitif yang mencakup eksposur dan
restrukturisasi kognitif ternyata efektif dalam mencegah PTSD pada pasien yang didiagnosis
dengan klinis ASD dengan hasil yang signifikan pada 6 bulan follow-up. Kombinasi relaksasi,
restrukturisasi kognitif, imaginal eksposur dan vivo eksposur lebih unggul untuk mendukung
konseling
Prognosis
Prognosis untuk gangguan ini sangat baik. Jika berkembang ke gangguan lain (biasanya PTSD),
tingkat keberhasilan dapat bervariasi sesuai dengan spesifikasi yang terjadi pada gangguan.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
1.

Kaplan

HI.

Sadock

BJ.Synopsis

of Psychiatry

Behavioral

Science/Clinical

Psychiatry.10th ed.New York: Lippincot Williams & Wilkins.2007.pg: 322:28.


2.

American Psychiatric association. Diagnostic and Statistical Manual ofMental Disorder

(DSM-IV). 4th ed. Washington,DC:American Psychiatric Association; 2000.


3.

Ingram IM. Catatan Kuliah Psikiatri. 6th ed. Jakarta : Penerbit Buku kedokteran.1995.

pg: 28:42.
4.

Kapita Selekta Kedokteran. 3th ed. Jakarta : Penerbit Media Aesculapsius Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia. 2001.pg :189:192.


5.

Maslim. Rusdi. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ III: Reaksi Akut

Stres. Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa Fakultas Kedokteran Atmajaya.2001; pg 53.

Anda mungkin juga menyukai