Anda di halaman 1dari 2

NAMA : MUH.

IDRIS
NIM
: B 111 14 362
PERBANDINGAN UU NOMOR 14 TAHUN 2001 DENGAN UU
NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG PATEN
Kurang lebih sekitar 15 tahun lamanya Undang-undang Nomor 14 Tahun
2001 tentang Paten digunakan dan belum diadakan yang baru. Sehingga
Undang-undang ini dianggap telah usang dan sudah tidak relevan lagi dengan
perkembangan zaman. Pada Juli 2016, Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya
mengsahkan Undang-undang baru yakni Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016
tentang Paten. Berikut beberapa perubahan yang terjadi sebagai perbandingan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten yang lama dengan
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2016 tentang Paten yang baru.
1. Kelemahan yang ada di Undang-undang Paten yang lama :
Belum mengatur pengajuan permohonan pendaftaran paten secara
elektronik
Belum mengatur kewajiban untuk mencantumkan asal-asal sember daya
genetik yang dipakai dalam suatu invensi dan perlu adanya pembagian
keuntungan yang adil dan seimbang antara pemanfaat dan penyedia
sumber daya
Belum mengatur larangan pemberian paten, pada penggunaan kedua
Belum mengatur pembagian pemberian imbalan bagi Inventor dalam
hubungan dinas
Belum mengatur mengenai perlunya penjaminan resiko usaha atas
penggunaan teknologi lokal yang di patenkan
Belum mengatur mengenai pengecualian atas tuntunan pidana dan
perdata untuk Impor Paralel dan Provisi Bolar
2. Undang-undang Paten yang baru mengakomodasi hal-hal yang sebelumnya
tidak tercantum pada Undang-undang Paten yang lama. Salah satunya adalah
pemeriksa paten boleh direkrut dari luar Direktorat Jenderal KI, misalnya

perguruan tinggi maupun lembaga penelitian yang memahami dasar alih


teknologi dengan baik. Hal itu tentunya akan mempercepat proses
pendaftaran paten oleh para penemu atau inventor tanpa harus mengantri
lama untuk diperiksa produk patennya.
3. Undang-undang Paten yang baru benar-benar akan melindungi inventor di
kalangan mahasiswa dan usaha kecil menengah (UKM). Mereka langsung
bisa disebut sebagai pemegang paten pada setiap produk paten yang
dihasilkan, bukan hanya inventor atau penemu. Adapun pemegang paten
akan mendapatkan imbalan atau royalti apabila produk paten mereka
digunakan oleh pemerintah atau masyarakat luas.Tak tanggung-tanggung,
royalti yang bisa didapatkan oleh pemegang paten bisa mencapai 40% dari
nilai kapitalisasi. Hal itu tentunya akan menstimulasi inventor-inventor lokal
untuk segera mematennya produknya di Ditjen Kekayaan Intelektual. Selain
masuk dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP), royalti juga dapat
dinikmati oleh si peneliti produk yang dipatenkan. Dalam skala perguruan
tinggi, hak paten yang diciptakan oleh mahasiswanya dapat menguntungkan
tempat dia belajar untuk menuju universitas kelas dunia (world class
university). Pasalnya, syarat untuk menuju tahap tersebut yaitu harus ada
penemuan yang dipatenkan.
4. Undang-undang Paten yang baru akan lebih berpihak pada kepentingan
nasional. Hak paten akan didorong pada sumber daya genetik seperti
mikroorganisme dan pengetahuan tradisional, semisal jamu, herbal dan
kuliner. Apabila ada kerja sama dengan asing dalam dua hal tersebut, maka
mereka harus turut mencantumkan sumber daya alam dari Indonesia. Dengan
begitu, akan ada pembagian hasil antara ahli olah teknologi dari asing
dengan petani Indonesia. Ini benar-benar perubahan dan menjadi benefit
sharing. UU Paten tetap berpihak nasional tetapi tidak melanggar prinsip
internasional.
5. Di dalam Undang-undang Paten yang baru juga menguatkan peran

konsultasi KI di Indonesia. Nantinya paten dari luar negeri yang masuk ke


Indonesia harus melewati tahap registrasi, konsultasi dan maintenance pada
para konsultan KI.

Anda mungkin juga menyukai