Anda di halaman 1dari 2

Sabtu, 101216.

12:00

Selamat Jalan, George..


Oleh: Rio Heykhal Belvage

Dalam hidup, hanya satu yang sudah pasti setia menanti, yaitu kematian itu sendiri.
Pagi ini saya membaca kabar di whatsapp dan media, George Junus Aditjondro wafat.
Saya belum sempat mengenal George secara langsung. Tapi satu tahun belakangan
saya mengikuti gagasan dalam karya-karya yang pernah ditulisnya. Bermula dari
tulisan Fahri Salam di www.pindai.org berjudul "Perjalanan Mencari Rumah", saya
menjadi penasaran untuk mencari tahu siapa gerangan George Junus, yang berkat olah
ketrampilan media, kini jadi sinonim dengan kontroversi Gurita Cikeas ketimbang
karyanya yang lain. Sejak itulah saya mulai mengkliping tulisannya yang tersebar di
internet, mengumpulkan yang sudah diterbitkan menjadi buku, karena saya berpikir
ada banyak pelajaran dan pengetahuan yang bisa didapat dari membaca tulisannya.
Setidaknya ada tiga hal yang saya peroleh dari mempelajari karya George. Pertama,
keberpihakannya kepada yang tertindas, yang didukung dengan argumentasi matang
dan analisa yang terasah. Ia bisa dengan mudahnya menjadi peneliti bertangan-dingin
ketika dihadapkan pada realitas yang panas. Misalnya, pada saat ia menghadiri dialog
dan mubahasah Alim Ulama se-Jawa Tengah mengenai PLTN Muria yang diadakan
PCNU Jepara-Kudus awal September 2007. Ia mengutarakan penolakannya terhadap
rencana pembangunan PLTN dengan mengemukakan dampak akumulatif yang bisa
diakibatkan oleh PLTN terhadap kesehatan balita.
Kedua, pemilihan topik penelitian yang selalu nyrempet bahaya dan beresiko karena
bersinggungan dengan kepentingan penguasa. Tentu saja dibutuhkan keberanian yang
berlapis untuk memilih topik semacam itu. Apalagi dulu, di masa Orde Babe masih
berkuasa. Melakukan hal semacam itu, orang akan berada pada batas-batas keamanan
dirinya karena siapa saja bisa lenyap atau tewas diracun setiap saat. Tapi bagi George,
yang pernah saya baca dari tulisan hasil wawancaranya, ia mengatakan dengan enteng
saja, Ini hobi saya. Kalau ada orang yang hobi mengkoleksi perangko, hobi saya
adalah mencari data-data korupsi. Jika ada orang yang memilih memacu adrenalinnya
dengan naik gunung, saya memilih memacu adrenalin lewat pemberantasan korupsi.

Ketiga, pelajaran yang saya peroleh dari membaca karya George adalah ketekunan
dan ketelatenannya yang luar biasa dalam mengumpulkan data. Sejauh pengalaman
membaca tulisan George, saya mendapati satu kecenderungan darinya, yaitu tulisan
yang kaya dengan data dan argumentasi yang kokoh. Bahkan data-data yang dianggap
tabu karena di masanya tidak banyak yang berani menuliskannya sekalipun tak
luput darinya. Ini mengingatkan saya pada salah seorang Indonesianis - barangkali
yang juga pernah menjadi mentornya ketika belajar tentang sosiologi pedesaan di
kampus Cornell, Benedict Anderson. Saat terakhir membaca karya Ben berjudul "Di
Bawah Tiga Bendera", isinya padat sekali. Pembahasannya mendetail. Bak seorang
penjahit profesional, ia tidak membiarkan ada teks yang luput terlewat dari jahitannya.
Itu pula yang dilakukan oleh George, yang sebagian terkumpul di buku "Korupsi,
Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa",
dengan gaya yang menurut saya lebih berani. Mungkin menyerupai gaya Ben semasa
muda saat menulis analisis awal kudeta 1 Oktober 1965 (Cornell Paper).
Tadi malam saya masih membaca tulisan George di buku Oligarki Berkaki Tiga itu,
di bagian yang berjudul "Reformasi yang Gagal: Tidak Adanya Pengadilan Soeharto
dan Kroni". Sebuah tulisan pendek terjemahan dari "We're not Finished with You Yet,
Soeharto" yang pernah dimuat di surat kabar Australia 22 Mei 1998, selang satu hari
setelah Soeharto mundur dari kursi presiden.
Saya tidak menyangka, rupanya itulah tulisan terakhir yang saya baca ketika maut
sedang dalam perjalanan menyambanginya. Pejuang kemanusiaan yang tangguh. Kini
ia memang telah tiada. Tapi karyanya akan selalu beranak-pinak, menghidupkan
kembali semangatnya di benak siapa saja yang tengah menyelidiki bagaimana pola
kesewenang-wenangan dilakukan para penguasa negeri ini atas rakyatnya.

Selamat beristirahat, George.

Anda mungkin juga menyukai