Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

SINDROM STEVENS - JOHNSON

Pembimbing :
dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK.

Disusun oleh :
Fachrurozi Irsyad S.

G4A015033

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SODIRMAN
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2016

LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SINDROM STEVENS - JOHNSON

Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Prof. Margono Soekarjo
Purwokerto

Telah disetujui dan dipresentasikan


Pada tanggal

Juli 2016

Disusun oleh :
Fachrurozi Irsyad S.

Purwokerto,

G4A015033

Juli 2016

Mengetahui,

Pembimbing

dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK.

PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat yang berjudul Sindrom Stevens Johnson tepat pada waktunya. Penulisan Referat merupakan salah satu syarat
untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada kesempatan
ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan FK Unsoed dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat
diharapkan.

Purwokerto,

Juli 2016
Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kulit seringkali mempunyai gejala klinis dalam mulut. Salah


satunya adalah sindrom Stevens-Johnson. Sindrom Stevens-Johnson pertama
diketahui pada 1922 oleh dua orang dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua
pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan
penyebabnya. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan
dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk
yang tidak teratur, disertai macula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas
terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar
10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua
organ atau lebih. Sindrom Stevens-Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda terutama pria. Tanda-tanda oral sindrom Stevens-Johnson sama
dengan eritema multi-forme, perbedaannnya yaitu melibatkan kulit dan membran
mukosa yang lebih luas, disertai gejala-gejala umum yang lebih parah, termasuk
demam, malaise, sakit kepala, batuk, nyeri dada, diare, muntah dan artralgia.
Sindrom Steven Johnson adalah penyakit akut dan berat, terdiri dari erupsi
kulit, kelainan mukosa dan lesi pada mata (Siregar, 2005). Sedangkan menurut
Labreze (2005), Sindrom Steven Johnson atau eritema multiformis mayor adalah
variasi eritema multiformis mukokutan yang lebih parah dengan ditandai
keterlibatan membran mukosa. Ada berbagai sinonim yang digunakan untuk
penyakit ini, diantaranya ektoderma erosive pluorifisialis, dinsroma mukokutan
okuler, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme exudatorum dan
eritema bulosa maligna.
Penyebab yang pasti dari penyakit ini belum diketahui, bahkan dikatakan
multifaktorial. Salah satu penyebab yang dianggap sering ialah alergi sistemik
terhadap obat. Sebagaimana kita ketahui hampir semua obat dapat dibeli bebas di
luar apotik dan adanya kecenderungan para pasien mengobati dirinya sendiri lebih
dahulu sebelum berobat ke dokter karena faktor biaya. Oleh karena itu penyakit
ini makin sering ditemukan (Monica, 2013).

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom Steven-Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir
yang orifisium dan dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
( Mansjoer, 2000).
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkat sebagai SSJ, adalah reaksi
buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih
buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (Toxic Epidermal
Necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema
Multiformis (EM) (Adithan,2006).
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang
dapat dianggap sebagai penyebab, adalah (Mansjoer, 2002; Siregar, 2005) :
1. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- piretik )
Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan
timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut :
a. Carbamazepine (Tegretol pengobatan anti kejang)
b. Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari
trimethoprim-sulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang
digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi
pada telinga
c. Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria
dan pada anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi
2. Infeksi
Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini
meliputi:
a. Viral : Herpes Simplex Virus (HSV) 1 dan 2, HIV, morbili, coxsackie,
cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, Lymphogranuloma

Venereum(LGV), mononucleosis infeksiosa, vaccinia rickettsia dan


variola. Epstein-Barr virus and enteroviruses diidentifikasi sebagai
penyebab timbulnya sindrom ini pada anak.
b. Bakteri : termasuk kelompok A beta haemolytic streptococcus, cholera,
fracisella tularensis, yersinia, diphtheria, proteus, pneumokokus, vincent
agina, legionaire, vibrio parahemolitikus brucellosis, mycobacteriae,
mycoplasma pneumonia tularemia and salmonella typhoid.
c. Jamur : termasuk coccidioidomycosis, dermatophytosis

3.
4.
5.
6.

dan

histoplasmosis.
d. Protozoa : malaria and trichomoniasis.
Neoplasma dan faktor endokrin
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar X)
Makanan (coklat)
Paska vaksinasi : BCG, Smallpox, Poliomyelitis

C. Faktor Predisposisi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 13 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang
dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan
sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2005).
D. Patogenesis
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
1. Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek
antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ
sasaran/organ target. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing

dapat melekat ke jaringan menyebabkan terbentuknya komplek antigen


antibodi ditempat tersebut. Reaksi tipe ini mengaktifkan komplemen dan
degranulasi sel mast sehingga terjadi kerusakan jaringan atau kapiler
ditempat terjadinya reaksi tersebut. Neutrofil tertarik ke daerah tersebut dan
mulai memfagositosis sel-sel yang rusak sehingga terjadi pelepasan enzimenzim sel, serta penimbunan sisa sel. Hal ini menyebabkan siklus
peradangan berlanjut.
2. Reaksi hipersensitif tipe IV
Reaksi hipersensitifit tipe IV terjadi akibat limfosit T yang
tersintesisasi berkontak kembali dengan antigen yang sama kemudian
limtokin dilepaskan sebagai reaksi radang.
Pada reaksi ini diperantarai oleh sel T, terjadi pengaktifan sel T.
Penghasil limfokin atau sitotoksik atau suatu antigen sehingga terjadi
penghancuran sel-sel yang bersangkutan. Reaksi yang diperantarai oleh sel
ini bersifat lambat ( delayed ) memerlukan waktu 14 jam sampai 27 jam
untuk terbentuknya (Carroll, 2001).
E. Manifestasi Klinis
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia 3 tahun kebawah. Keadaan
umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya
menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut
dapat disertai gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala,
batuk, pilek dan nyeri tenggorokan. Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari
berupa demam, malaise, batuk, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot
dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala
tersebut. Pada sindrom ini terdapat trias kelainan berupa (Djuanda, 2009):
1. Kelainan pada kulit
a. Kemerahan pada kulit bermula sebagai makula yang berkembang
menjadi papula, vesikel, bula, plak urtikaria atau eritema konfluen.
b. Pusat dari lesi ini mungkin berupa vesikular, purpura atau nekrotik.
c. Lesi dapat menjadi bula dan kemudian pecah, menyebabkan erosi dan
ekskoriasi pada kulit. Kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder.
d. Lesi urtikaria biasanya tidak bersifat pruritik.
e. Infeksi merupakan penyebab scar yang berhubungan dengan
morbiditas.

f. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal
dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling
umum.
g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang
paling umum di batang tubuh.
2. Kelainan pada orifisium
a. Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada lubang
alat genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masingmasing 8% dan 4%).
b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang
gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman,
terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat
pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
c. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
d. Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
e. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa
lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus
yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan pada mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis.
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan penunjang, diantaranya
adalah:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam
diagnosis selain pemeriksaan biopsi.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel
darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.

c. Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven


Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya.
d. Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin.
e. Pemeriksaan elektrolit.
f.

Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi


infeksi.

g. Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy (EGD), dan


kolonoskopi dapat dilakukan.
2. Imaging studies
Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis.
3. Pemeriksaan

histopatologi

dan

imunohistokimia

dapat

mendukung

ditegakkannya diagnose (Adithan, 2006).


G. Diagnosis Banding
Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson :
1.

Toxic Epidermolysis Necroticans


Sindrom steven johnson sangat dekat dengan TEN. SSJ dengan bula lebih
dari 30% disebut TEN.

2.

Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease)


Pada penyakit ini lesi kulit ditandai dengan krusta yang mengelupas pada
kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004).

3. Pemfigus Vulgaris
Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal,
bula berdinding kendor dan biasanya generalisata.
4. Pemfigoid Bulosa
Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya
subepidermal.
5. Dermatitis Herpertiformis
Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding
vesikel/bula tegang dan berkelompok.
H. Penatalaksanaan

Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat
yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien
dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat
untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan
membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit
dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.
Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman
(Adithan, 2006; Siregar, 2005).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati
SSJ. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam
beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini
sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang
meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem
kekebalan yang sudah lemah.
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :

2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan


kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.
5. Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.
6. Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.
7. Lesi mulut diberi kenalog in orabase.
8. Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi,
berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik,
misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2
kali/hari.
9. Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada
hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat
reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS
(Adithan, 2006; Siregar, 2005).
Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan
dengan :
1. Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam
fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan
terjadinya kekeringan pada bola mata.
2. Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah
terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).
I. Prognosis
SSJ adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini
dapat menyebabkan kematian, umumnya 5-15 persen orang, walaupun angka
ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang baik sebelum gejala menjadi
terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan
pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan.
Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi
dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat
dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya

disebabkan

oleh

gangguan

keseimbangan

cairan

dan

elektrolit,

bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2005).


J. Komplikasi
Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain
sebagai berikut:
1. Oftalmologi-ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan
2. Gastroenterologi-Esophageal strictures
3. Genitourinaria-nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina
4. Pulmonari-pneumonia
5. Kutaneus. timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi
kulit sekunder
6. Infeksi sitemik, sepsis
7. Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002).

BAB IV
KESIMPULAN
1. Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat terdiri dari
erupsi kulit, kelainan mukosa dan lesi pada mata
2. Tata laksana yang diberikan berupa terapi medikamentosa dan non medika
mentosa
3. Terapi non medikamentosa meliputi edukasi kepada pasien dan keluarga,
penghindaran terhadap obat yang menimbulkan reaksi serupa, aspirasi bula,
kompres lesi dan diet tinggi kalori serta protein.
4. Terapi medikamentosa meliputi terapi secara sistemik dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas, kortikosteroid parenteral serta antihistamin dan terapi
secara topikal dengan menggunakan kenalog in orabase untuk lesi di mulut,
antibiotik topikal pada kulit, serta pemberian antibiotik tetes mata dan salep
mata.

5. Prognosis pada kasus SSJ adalah baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.

DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1.
Departement of Pharmacology. JIPMER. India. Available at:
www.jipmer.edu
Delfitri, L., Ismi Z., Ratna D., Eddy A. 2007. Limbal Stem Cell Transplantation in
Limbal Stem Cell Deficiency After Steven Johnson Syndrome.
Surabaya : Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5., No. 3. Hal 235 238.
Djuanda, Adhi., Mochtar Hamzah. 2009. Sindrom Steven Johnson.In: Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.163-168.
Hamzah M. 2002. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.. p:139-142
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. 2004. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 135-136.
Karsenda. 2013. Pemberian Kortikosteroid pada Pasien Sindrom Steven-Johnson.
Lampung : Jurnal Medula Volume 1 Nomer 3. Hal 92 100.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2002. Erupsi Alergi Obat.
In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. p:133139
Monica. 2013. Sindrom Steven-Johnson. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Siregar, R.S. 2005. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit Edisi
kedua. EGC. Jakarta.. hal 141-142.
Sharma, V.K. 2006. Proposed IADVL Consensus Guidelines : Management of
Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis
( TEN). IADVL.
Viswanadh, B. 2002. Ophthalmic complications and management of Steven
Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V
Prasad
Eye
Institute.
Available
at
:
www.indianjournalofophthalmology.com

Anda mungkin juga menyukai