Referat SSJ
Referat SSJ
Pembimbing :
dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK.
Disusun oleh :
Fachrurozi Irsyad S.
G4A015033
LEMBAR PENGESAHAN
REFERAT
SINDROM STEVENS - JOHNSON
Juli 2016
Disusun oleh :
Fachrurozi Irsyad S.
Purwokerto,
G4A015033
Juli 2016
Mengetahui,
Pembimbing
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan Referat yang berjudul Sindrom Stevens Johnson tepat pada waktunya. Penulisan Referat merupakan salah satu syarat
untuk mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Pada kesempatan
ini, penulis ucapkan terima kasih kepada :
1. dr. Amelia Budi Rahardjo, Sp. KK. selaku pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan masukan dalam penyusunan presentasi kasus.
2. Rekan-rekan FK Unsoed dan semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan presentasi kasus.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan Referat ini masih terdapat
kekurangan. Oleh karena itu, segala masukan yang bersifat membangun sangat
diharapkan.
Purwokerto,
Juli 2016
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Sindrom Steven-Johnson adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema,
vesikel/bula, dapat disertai purpura yang dapat mengenai kulit, selaput lendir
yang orifisium dan dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk
( Mansjoer, 2000).
Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkat sebagai SSJ, adalah reaksi
buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi
kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih
buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (Toxic Epidermal
Necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai Eritema
Multiformis (EM) (Adithan,2006).
B. Etiologi
Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa faktor yang
dapat dianggap sebagai penyebab, adalah (Mansjoer, 2002; Siregar, 2005) :
1. Alergi obat secara sistemik ( misalnya penisilin, analgetik, anti- piretik )
Penggunaan obat paling sering pada anak yang berkaitan dengan
timbulnya sindrom ini adalah sebagai berikut :
a. Carbamazepine (Tegretol pengobatan anti kejang)
b. Cotrimoxazole (Septra, Bactrim dan berbagai nama generik dari
trimethoprim-sulfazoxazole). Ini adalah golongan sulfa antibiotik yang
digunakan untuk mengatasi infeksi saluran kemih dan mencegah infeksi
pada telinga
c. Sulfadoxine dan pyrimethamine, digunakan sebagai pengobatan malaria
dan pada anak dipakai pada pasien dengan penyakit immunodefisiensi
2. Infeksi
Penyakit infeksi yang telah dilaporkan dapat menyebabkan sindrom ini
meliputi:
a. Viral : Herpes Simplex Virus (HSV) 1 dan 2, HIV, morbili, coxsackie,
cat-scratch fever, influenza, hepatitis B, mumps, Lymphogranuloma
3.
4.
5.
6.
dan
histoplasmosis.
d. Protozoa : malaria and trichomoniasis.
Neoplasma dan faktor endokrin
Faktor fisik (sinar matahari, radiasi, sinar X)
Makanan (coklat)
Paska vaksinasi : BCG, Smallpox, Poliomyelitis
C. Faktor Predisposisi
Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SSJ terjadi 13 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih
sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang
dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan
sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2005).
D. Patogenesis
Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan hipersensitivitas yang
dimediasi kompleks imun yang disebabkan oleh obat-obatan, infeksi virus dan
keganasan. Patogenesisnya belum jelas, disangka disebabkan oleh reaksi
hipersensitif tipe III dan IV.
1. Reaksi hipersensitif tipe III
Reaksi hipersensitif tipe III terjadi akibat terbentuknya komplek
antigen antibodi yang mikro presitipasi sehingga terjadi aktifitas sistem
komplemen. Akibatnya terjadi akumulasi neutrofil yang kemudian
melepaskan enzim dan menyebab kerusakan jaringan pada organ
sasaran/organ target. Hal ini terjadi sewaktu komplek antigen antibodi yang
bersikulasi dalam darah mengendap didalam pembuluh darah atau jaringan.
Antibiotik tidak ditujukan kepada jaringan tersebut, tetapi
terperangkap dalam jaringan kapilernya. Pada beberapa kasus antigen asing
f. Walaupun lesi dapat terjadi dimana saja tetapi telapak tangan, dorsal
dari tangan dan permukaan ekstensor merupakan tempat yang paling
umum.
g. Kemerahan dapat terjadi di bagian manapun dari tubuh tetapi yang
paling umum di batang tubuh.
2. Kelainan pada orifisium
a. Kelainan sering terjadi pada mukosa mulut (100%), disusul pada lubang
alat genitalia (50%), jarang pada lubang hidung dan anus (masingmasing 8% dan 4%).
b. Gejala pada mukosa mulut berupa eritema, edema, vesikel / bula yang
gampang pecah sehingga timbul erosi, ekskoriasi dan krusta kehitaman,
terutama pada bibir. Juga dapat timbul pseudomembran. Lesi terdapat
pada traktus respiratorius bagian atas, faring dan esofagus.
c. Stomatitis pada mulut dapat menyebabkan pasien sulit menelan.
d. Pseudomembran pada faring menyebabkan pasien sukar bernapas.
e. Walaupun beberapa ahli menyarankan adanya kemungkinan SSJ tanpa
lesi pada kulit tetapi sebagian besar percaya bahwa lesi mukosa saja
tidak cukup untuk menegakkan diagnosis. Beberapa ahli menyebut kasus
yang tanpa lesi kulit sebagai atipikal atau inkomplit.
3. Kelainan pada mata
Yang paling sering adalah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat
berupa konjungtivitis purulen, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea,
iritis, iridosiklitis.
F. Penegakan Diagnosis
Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias
kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang
secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada
mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan penunjang, diantaranya
adalah:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam
diagnosis selain pemeriksaan biopsi.
b. Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih
yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel
darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat.
histopatologi
dan
imunohistokimia
dapat
mendukung
2.
3. Pemfigus Vulgaris
Sering dijumpai pada orang dewasa, keadaan umum buruk, tidak gatal,
bula berdinding kendor dan biasanya generalisata.
4. Pemfigoid Bulosa
Pada penyakit ini keadaan umumnya baik, dinding bula tegang, letaknya
subepidermal.
5. Dermatitis Herpertiformis
Didapatkan keadaan umum yang baik, keluhan dengan gatal dan dinding
vesikel/bula tegang dan berkelompok.
H. Penatalaksanaan
Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat
yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah
keburukan. Orang dengan SSJ biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien
dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat
untuk menghindari infeksi. Pasien SSJ biasanya dirawat di ICU. Perawatan
membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit
dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori
tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik
diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis.
Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman
(Adithan, 2006; Siregar, 2005).
Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati
SSJ. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam
beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini
sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang
meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem
kekebalan yang sudah lemah.
Pada umumnya penderita SSJ datang dengan keadaan umum berat
sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah :
1. Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.
2. Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji
resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.
3. Kotikosteroid parenteral: deksametason dosis awal 1mg/kg BB bolus,
kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan
steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat
dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap
steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.
4. Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen
maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5
mg/dosis, untuk usia 3-12 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari.
Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun :
disebabkan
oleh
gangguan
keseimbangan
cairan
dan
elektrolit,
BAB IV
KESIMPULAN
1. Sindrom Steven Johnson adalah penyakit kulit akut dan berat terdiri dari
erupsi kulit, kelainan mukosa dan lesi pada mata
2. Tata laksana yang diberikan berupa terapi medikamentosa dan non medika
mentosa
3. Terapi non medikamentosa meliputi edukasi kepada pasien dan keluarga,
penghindaran terhadap obat yang menimbulkan reaksi serupa, aspirasi bula,
kompres lesi dan diet tinggi kalori serta protein.
4. Terapi medikamentosa meliputi terapi secara sistemik dengan menggunakan
antibiotik spektrum luas, kortikosteroid parenteral serta antihistamin dan terapi
secara topikal dengan menggunakan kenalog in orabase untuk lesi di mulut,
antibiotik topikal pada kulit, serta pemberian antibiotik tetes mata dan salep
mata.
5. Prognosis pada kasus SSJ adalah baik dan penyembuhan terjadi dalam waktu
2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai
komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Adithan C. 2006. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1.
Departement of Pharmacology. JIPMER. India. Available at:
www.jipmer.edu
Delfitri, L., Ismi Z., Ratna D., Eddy A. 2007. Limbal Stem Cell Transplantation in
Limbal Stem Cell Deficiency After Steven Johnson Syndrome.
Surabaya : Jurnal Oftalmologi Indonesia Vol. 5., No. 3. Hal 235 238.
Djuanda, Adhi., Mochtar Hamzah. 2009. Sindrom Steven Johnson.In: Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin. 5th edition. Balai Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal.163-168.
Hamzah M. 2002. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd
edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Jakarta.. p:139-142
Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. 2004. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 135-136.
Karsenda. 2013. Pemberian Kortikosteroid pada Pasien Sindrom Steven-Johnson.
Lampung : Jurnal Medula Volume 1 Nomer 3. Hal 92 100.
Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. 2002. Erupsi Alergi Obat.
In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. p:133139
Monica. 2013. Sindrom Steven-Johnson. Surabaya : Fakultas Kedokteran
Universitas Wijaya Kusuma Surabaya.
Siregar, R.S. 2005. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit Edisi
kedua. EGC. Jakarta.. hal 141-142.
Sharma, V.K. 2006. Proposed IADVL Consensus Guidelines : Management of
Stevens-Johnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis
( TEN). IADVL.
Viswanadh, B. 2002. Ophthalmic complications and management of Steven
Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V
Prasad
Eye
Institute.
Available
at
:
www.indianjournalofophthalmology.com